TAKWIL AYAT DAN MAJAZ ( KIASAN ) DALAM KITAB AL-QURAN
Saat ini banyak sekali ditemukan asumsi-asumsi yg dikembangkan oleh
sebagian muslimin bahwa pen-takwil-an terhadap
sebagian teks-teks al-Quran merupakan madzhab yg tergolong bid’ah dan
metodologi yg sesat, begitu juga metodologi majaz yg dipakai dalam
men-terjemah sebagian teks al-Quran juga tidak luput dari kecaman yang sama
(bid’ah).
Artinya, mereka menyikapi keberadaan takwil ataupun majaz terhadap
sebagian ayat al-Quran sebagai tindakan tahtif ( mengubah ) terhadap al-Quran,
sedangkan seperti yg kita ketahui bahwa tahrif terhadap ayat-ayat al-Quran
merupakan bagian dari adat kebiasaan orang-orang yahudi, sebagaimana yang telah
disebutkan dalam al-Quran
وَقَدْ
كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ
مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ [البقرة: 75]
“dan sesungguhnya segolongan dari mereka mendengar firman Allah,
lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui”.(
al-Baqoroh 75 )
A.
TAKWIL
Takwil menurut kaca mata syara’ adalah
mengarahkan sebuah lafadz dari makna harfiah menuju makna lain yg berpotensi
dapat dijadikan makna dari lafadz itu dan diyakini sesuai dengan al-Quran dan
Hadits. Artinya, mengalihkan pengertian teks-teks ayat Mutasyabihat
( samar maknanya ) dari makna harfiahnya dan meletakkan makna-makna lain yang
dipaham darinya kedalam bingkai pengertian yang sejalan dengan ayat Muhkamat (
jelas maknanya ).
Metodologi
takwil ternyata telah dikenal lama sejak zaman Nabi SAW. Bahkan Nabi SAW sendiri
telah merestui metodologi itu dengan mendo’akan sahabatnya ( Ibnu ‘Abbas )
supaya dipandaikan dalam masalah takwil sebagaimana dalam hadits
للَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“ya Allah,
pintarkanlah dia dalam bidang Agama dan takwil”.(HR. Ahmad)
Oleh karena itu, secara tegas asy-Syaikh Badr ad-Din az-Zarkasi
menegaskan bahwa metologi takwil dapat dibenarkan dan telah diriwayatkan oleh
Ulama-ulama pada generasi sahabat.
Jika kita
mengamati pada takwil yg dilakukan oleh sebagian Ulama ahlis sunnah wal-jamaah
maka kita akan mengetahui bahwa sebenarnya metodologi ini tidak lain hanya berpegangan
pada ayat-ayat al-Quran yg bersifat Muhkamat yang menunjukkan bahwa Allah SWT
tidak menyerupai terhadap makhluk , sebagaimana firman Allah
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}
[الشورى: 11
“tidak ada
satu-pun yang menyamai-Nya”.( QS. Asy-syuroo 11)
Dalam konsep pemikiran ASWAJA terhadap takwil yang berkenaan
dengan al-Quran maupun Hadits, keberadaan metode takwil dalam al-Quran maupun
Hadits ini telah diterapkan sejak generasi salaf ash-sholih yang diakui
kredibilitas ilmiyahnya ( hasil kajiannya telah dipercaya dan bisa
dipertanggung jawabkan ). Metode takwil ini terus berlangsung hingga masa kini,
bahkan secara nyata mereka telah melakukan banyak penakwilan terhadap banyak
sekali nash-nash yang berkaitan dengan permasalahan peng-Esa-an Dzat Allah SWT
dan sifat-Nya. Semua Ulama ahlussunnah wal-jamaah juga sepakat bahwa arti harfiah
dari nash-nash ayat yang bersebrangan dengan dalil nash lainnya bukanlah arti /
makna hakikat yang dikehendaki ayat tersebut.
Pen-takwilan
yang dilakukan oleh para Ulama bukanlah hal yang baru, namun metode takwil ini
adalah hasil penelitian dari apa yang mereka pelajari dan mengacu pada al-Quran
dan as-Sunnah, berikut adalah bukti-bukti yang terkait dengan permasalahan
tersebut.
Firman Allah
{إِنَّا نَسِينَاكُمْ } [السجدة: 14
“sungguh
Kami akan melupakan kalian”.(QS. As-sajdah 14)
{ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ} [الحشر: 19
“mereka
melupakan Allah maka Allah pun akan melupakan mereka”.( QS.al-Hasyr ,19 )
Dalam dua ayat diatas terdapat lafad “lupa” yang dinisbatkan
kepada Allah SWT, lantas akankah kita tetap
paksakan untuk menisbatkan sifat “lupa” kepada Dzat Allah yang maha Suci
?? atau akankah dikatakan bahwa Allah
memiliki sifat “lupa” namun tidak seperti yang terjadi pada kita ?? padahal
Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia tidak memiliki sifat “lupa”, sebagaimana
dalam firman-Nya
{وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا} [مريم: 64]
“dan
Tuhan-mu tidaklah lupa”.(QS. Maryam, 64)
Lalu kita
perhatikan hadits Qudsi berikut ini terkait “ mendekatkan hamba pada-Nya”.
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ
رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِى فُلاَنًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عِنْدَهُ
“Allah
berfirman:”wahai bani Adam,Aku sakit tapi kamu tidak menjenguk-Ku,” anak adam
berkata:” wahai Tuhan-ku bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah
Tuhan semesta alam ?? Allah berfirman:”tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku
sakit namun engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau tahu jika engkau menjenguknya
niscaya engkau menemukan-Ku disisinya .....”(al-Hadits)
Al-Imam an-Nawawi dalam mengomentari takwil hadits ini
mengatakan ; “Ulama berkata bahwa penyandaran sifat sakit kepada Allah akan
tetapi yang dikehendaki adalah hamba-Nya merupakan bentuk pemulyaan terhadap
hamba dan pendekatan, mengenai yang dikehendaki dengan “
maka engkau temukan Aku disisi hamba-Ku yang sakit” artinya
engkau akan dapatkan pahala dan kedermawanan-Ku.”
Maka dapat kita pahami dari penjelasan diatas bahwa tidak boleh
menetapkan sifat sakit kepada Allah meskipun makna harfiah Hadits mengatakan
demikian, karena hal ini bertentangan dengan akidah yang benar.
Juga pada ayat
{ يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ} [القلم: 42
“pada hari
dimana betis disingkap”.(QS. Al-Qolam, 42)
Kata saaq / سَاقٍ
(betis) ditakwil menjadi asy-syiddah / الشدة (kesusahan, penderitaan)
demikian juga penakwilan yang dilakukan oleh sahabat dan tabi’in, seperti
Syaikh Mujahid, Sa’ad bin Jabir, Qotadah dan yang lainnya.
Ø PENTAKWILAN YANG DILAKUKAN OLEH PARA ULAMA DARI GENERASI
KEGENERASI
I.
IBNU ‘ABBAS
RA
Telah dikutip dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau sering men-takwil
nash yang berkaitan dengan sifat, antara lain ayat
فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ
هَذَا [الأعراف/51
“maka pada
hari ini Kami melupakan mereka, sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka
dengan hari ini”.(Qs al-A’rof, 51)
Kata nisyan (lupa) beliau artikan menggunakan makna tarku
(meninggalkan) maka secara keseluruhan maknanya adalah;” pada hari kiamat Kami meningggalkan mereka dlam siksaan”.
Sebagaimana komentar ath-Thobari dalam tafsirnya mengatakan bahwa takwil ini
beserta sanadnya dikutip dari Ibnu ‘Abbas dan Mujahid.
تفسير الطبري - (ج 12 / ص 476)
- حدثني
المثتي قال، حدثنا عبد الله بن صالح قال، حدثني معاوية، عن علي، عن ابن عباس:"فاليوم
ننساهم كما نسوا لقاء يومهم هذا" ، قال: نتركهم من الرحمة، كما تركوا أن يعملوا
للقاء يومهم هذا.
14759
- حدثنا محمد بن سعد قال، حدثني أبي قال، حدثني عمي
قال، حدثني أبي، عن أبيه، عن ابن عباس قوله:"فاليوم ننساهم كما نسوا لقاء يومهم
هذا" ، الآية ، يقول: نسيهم الله من الخير، ولم ينسهم من الشرّ.
14760
- حدثني الحارث قال، حدثنا عبد العزيز قال، حدثنا أبو
سعد قال، سمعت مجاهدًا في قوله:"فاليوم ننساهم كما نسوا لقاء يومهم هذا"
، قال: نؤخرهم في النار.
*
* *
وأما قوله:"وما كانوا بآياتنا يجحدون"
، فإن معناه:"اليوم ننساهم كما نسوا لقاء يومهم هذا"، وكما كانوا بآياتنا
يجحدون.
*
* *
فـ"ما" التي في قوله:"وما كانوا"
معطوفة على"ما" التي في قوله:"كما نسوا".
*
* *
قال أبو جعفر: وتأويل الكلام: فاليوم نتركهم في العذاب،
كما تركوا العمل في الدنيا للقاء الله يوم القيامة، وكما كانوا بآيات الله يجحدون
= وهي حججه التي احتج بها عليهم، من الأنبياء والرسل والكتب وغير ذلك (1)
يجحدون"، يكذبون ولا يصدقون بشيء من ذلك
---
Selanjutnya beliau (Ibnu ‘Abbas) juga mentakwil ayat
وَالسَّمَاءَ
بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
[الذاريات/47]
”dan langit Kami bangun dengan tangan Kami, dan sungguh Kami
meluaskannya”.(Qs. Adz-Dzariyat, 47)
Syaikh Ibnu ‘Abbas mentakwil lafadz “ayydin (tangan)” dengan
makna “kekuatan”. Selain itu, dikesempatan yang lain lafad “ayydin” juga
dipergunakan sebagai majaz (kiasan) dalam banyak arti, diantaranya diartikan “
kekuatan” seperti pada ayat yg telah lewat, atau diartikan “keutamaan dan
kenikmatan” seperti pada ayat
وَاذْكُرْ
عَبْدَنَا دَاوُودَ ذَا الْأَيْدِ إِنَّهُ أَوَّابٌ [ص/17]
“ingatlah,
pada hamba Kami Dawud yang memiliki keutamaan dan kenikmatan, sesungguhnya dia
amat banyak kembalinya pada Allah”.(Qs. Shad, 17)
II.
Imam Ahmad
Ibnu Hanbal
Beliau mentakwil ayat
وَجَاءَ
رَبُّكَ [الفجر/22]
“dan datang Tuhan-mu”.(Qs.al-fajr, 22)
Beliau men-takwil ( dan datang Tuhan-mu) dengan makna “ telang
datang pahala Tuhan-mu”. Syaikh Ibnu Katsir berkata :” inti pembahasan
Imam Ahmad adalah menafikan tasybih (keserupaan) dan meninggalkan kajian
mendalam dalam prihal teolog (aqidah) serta berpegang teguh dengan al-Quran dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW juga para sahabat-nya”.
Imam al-Khalal meriwayatkan dari Syaikh Hanbal dari pamanya
yakni Imam Ahmad bin Hanbal bahwa beliau pernah mendengar Imam Ahmad berkata: “
Mereka beradu argumen denga-ku pada hari perdebatan dan mereka berkata: “ kelak
akan datang dihari kiamat surah al-baqoroh ....”, aku berkata kepada mereka
bahwa yang dikehendaki ungkapan Nabi SAW adalah,” akan datang pahala
bacaan surah al-Baqarah”. Ini merupakan pen-takwilan yang sharih (
jelas dan nyata) dari Imam Ahmad.
III.
Imam
al-Bukhori
Beliau men-takwil kata الضحك (tertawa) dalam hadits
يُضْحِكُ اللهُ مِنْ رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا
الآخَرَ يَدْخُلاَنِ الْجَنَّةَ
"Allah mengasihi dua orang yang
salah satu dari keduanya membunuh terhadap yang lain, keduanya dimasukkan ke
dalam surga”.(HR. al-Bukhori)
Imam al-Bukhori mengartikan adl-dlohak (tertawa ) dengan
ar-Rahmah (mengasihi ). Beliau juga men-takwil lain seperti yang tertera dalam
kitab shahih-nya
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“segala
sesuatu akan hancur binasa kecuali wajah-Nya”.(QS.al-Qosash,
88)
Kata wajahnya, oleh Beliau diartikan dengan Mulkahu yang artinya
adalah kekuasaan-Nya.
صحيح البخاري - (ج 4 / ص 1787)
{ كل شيء هالك إلا وجهه } / 88 / إلا ملكه ويقال إلا ما أريد به وجه
الله . وقال مجاهد { الأنباء }
IV.
Imam
at-Thabari
Didalam tafsirnya dalam pembahasan mengenai pen-takwilan yang beliau
lakukan terhadap makna ayat
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ [البقرة/29]
“kemudaian
Allah Istiwa’ ke langit”.(al-Baqarah, 29)
Beliau berkata :” yang mengheran adalah adanya pihak yang
mengingkari atas makna yang dipaham dari perkataan orang arab yang mentakwil
firman Allah di atas dengan makna الْعُلُوُّ وَالإِرْتِفَاع (tinggi dan kebesaran ), maka dikatakan
kepada si pengingkar:” enkau mengklaim bahwa takwil dari Istiwa’ adalah
menghadap, lantas apakah Allah sebelumnya membelakangi langit lalu kemudian
menghadap ke langit ? jika engkau memiliki pandangan bahwa yang dikehendaki
dengan menghadap bukanlah menghadap
sebagaimana perbuatan , namun mengatur , maka katakanlah pula bahwa
Allah maha tinggi atas langit dengan maha tinggi-Nya serta merajai dan
menguasainya, bukan malah diartikan dengan tinggi dalam arti peralihan atau
pergeseran ( dari tempat yang rendah )”
تفسير الطبري - (ج 1 / ص 430)
والعجبُ ممن أنكر المعنى المفهوم من كلام العرب في
تأويل قول الله:"ثم استوى إلى السماء"، الذي هو بمعنى العلو والارتفاع، هربًا
عند نفسه من أن يلزمه بزعمه -إذا تأوله بمعناه المفهم كذلك- أن يكون إنما علا وارتفع
بعد أن كان تحتها - إلى أن تأوله بالمجهول من تأويله المستنكر. ثم لم يَنْجُ مما هرَب
منه! فيقال له: زعمت أن تأويل قوله"استوى" أقبلَ، أفكان مُدْبِرًا عن السماء
فأقبل إليها؟ فإن زعم أنّ ذلك ليس بإقبال فعل، ولكنه إقبال تدبير، قيل له: فكذلك فقُلْ:
علا عليها علوّ مُلْك وسُلْطان، لا علوّ انتقال وزَوال. ثم لن يقول في شيء من ذلك قولا
إلا ألزم في الآخر مثله. ولولا أنا كرهنا إطالة الكتاب بما ليس من جنسه، لأنبأنا عن
فساد قول كل قائل قال في ذلك قولا لقول أهل الحق فيه مخالفًا. وفيما بينا منه ما يُشرِف
بذي الفهم على ما فيه له الكفاية إن شاء الله تعالى.
V.
Imam
al-Hafidh Ibnu Hajar
Beliau mengatakan :” kemustahilan arah atas dan bawah bagi
Allah tidak lantas melazimkan ( menetapkan ) untuk tidak men-sifati Allah
dengan sifat maha Tinggi, karena menshifati Allah dengan Maha Tinggi adalah
dipandang dari aspek maknanya , sedangkan yang dikatakan mustahil disini adalah
jika dipandang dari aspek arah penglihatan”.
Ø DALIL YANG SEKILAS MELARANG TAKWIL
Dalam sebagian redaksi Hadits Nabi SAW terdapat beberapa redaksi
Hadits yang sekilas memberikan larangan terkait dengan permasalahan takwil,
sebagaimana beberapa hadits berikut ini
مَنْ قَالَ فِى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ
فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
“barang
siapa berbicara tentang Kitab Allah ‘Azza wajalla menggunakan pendapatnya,
meskipun benar maka ia telah salah.”(HR. Abu Dawud-3167)
من قال
في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار قال أبو
عيسى هذا حديث حسن صحيح
“barang
siapa berkata tentang al-Quran tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati
tempatnya di neraka”.Abu Ishaq berkata ; hadits ini hasan shahih.”(HR.
Tirmidzi- 2847)
Terkait penjelasan hadits diatas Imam al-Qori’ berkata: “berbicara
al-Quran dengan tanpa ilmu artinya adalah tanpa berlandaskan dalil yang
bersifat yaqin atau dhon (dugaan kuat), baik naqli ataupun aqli ysng sesuai
dengan syara’”.
Para Ulama
memberikan penjelasan menenai ancaman yang terdapat dalam hadits diatas dengan
dua arahan.
Pertama, menalarkan al-Quran dengan pendapatnya sendiri dengan
berlandaskan naluri dan hawa nafsunya, untuk dijadikan sebagai alasan atau
argumentasi atas kepentingan pribadinya. Didalam perihal menalarkan al-Quran
dengan pendapatnya sendiri, bisa terjadi karena adanya beberapa kemungkinan
1.
Dijadikan sebagai alasan
perbuatan bid’ah yang telah ia perbuat, walaupun dia telah mengetahui bahwa
penalarannya terkait ayat itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki al-Quran
2.
Disebabkan karena ketidak
tahuannya terhadap makna ayat al-Quran
3.
Menjadikan ayat-ayat al-Quran
sebagai pemanis kata / ucapan semata.
Kedua, tergesa-gesa dalam menafsirkan suatu ayat al-Quran dengan
memakai makna yg harfiah dari kosa kata bahasa arab dengan tanpa diperjelas
sebelumnya dengan sebuah dalil yg berupa ayat lain atau-pun hadits-hadits yang
memiliki keterkaitan, terutama pada hal-hal yang ghorib(langka) dari al-Quran
dan lafad-lafad mubhamah ( samar maknanya) dan lafad-lafad yg diganti atau yg
terdapat peringkasan, penyimpanan,taqdim (pendahuluan) dan ta’khir (pengakhiran
peletakan). Artinya, bila dalam men-ta’wilkan sebuah ayat didasari dengan ayat
atau hadits lain yang saling berhubungan dan takwilnya disesuaikan dengan makna
dalil yg sesuai dan terbebas dari penafsiran bi-ra’yi (murni pemikiran akal)
dan didasari nafsu semata, maka takwil semacam ini bukanlah merupakan takwil
yang diancam neraka sebagaimana dalam redaksi hadits yg telah lewat.
فيض القدير - (ج 6 / ص 247)
(من قال في القرآن) وفي رواية
للترمذي وغيره من قال في كتاب الله وفي رواية من تكلم في القرآن (برأيه) أي بما سنح
في ذهنه وخطر بباله من غير دراية بالأصول ولا خبرة بالمنقول (فأصاب) أي فوافق هواه
الصواب دون نظر كلام العلماء ومراجعة القوانين العلمية ومن غير أن يكون له وقوف على
لغة العرب ووجوه استعمالها من حقيقة ومجاز ومجمل ومفصل وعام وخاص وعلم بأسباب نزول
الآيات والناسخ والمنسوخ منها وتعرف لأقوال الأئمة وتأويلاتهم (فقد أخطأ) في حكمه على
القرآن بما لم يعرف أصله وشهادته على الله تعالى بأن ذلك هو مراده أما من قال فيه بالدليل
وتكلم فيه على وجه التأويل فغير داخل في هذا الخبر ولما لم يتفطن بعض الناس لإدراك
هذا [ ص 191 ] المعنى طعن في صحة الخبر وحاول إنكاره بغير دليل
B.
MAJAZ
Sebagaimana halnya takwil, yang merupakan salah satu metode yg
digunakan oleh golongan ASWAJA dalam memahami teks al-Quran dan as-Sunnah, para
ulama menyatakan bahwa Majaz juga berlaku pada al-Quran dan as-sunnah, sebab
jika kita hanya kukuh menggunakan arti hakikat dari suatu kata tanpa melirik ke
arah majaz ( kiasan), maka kita tidak akan menemukan celah untuk menyatukan dan
menyelaraskan antara berbagai nash yg secara harfiah sekilas akan memberikan
pemahaman yang bertentangan, padahal kita tahu bahwa tidak mungkin Allah SWT
menyampaikan sebuah ayat yang bertolak belakang dan berlawanan dengan ayat yang
lainnya. Dalam permasalahan ini, tidakkah kita melihat terhadap apa yang telah
diceritakan Allah tentang kisah Nabi Ibrahim yang seolah-olah Nabi Ibrahim telah
melakukan tindakan yang mengandung unsur menyekutukan Allah dengan menyandarkan
“kemampuan” kepada berhala dengan tujuan untuk memalingkan umat-nya agar
ber-iman kepada Allah, padahal disisi lain kita tahu bahwa tidak ada satupun
yang bisa memberikan manfaat dan bahaya kepada siapapun saja kecuali hanya
Allah semata. Seperti yang telah diabadikan dalam ayat;
رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ
[إبراهيم/36
“ya Tuhan-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu
telah menyesatkan kebanyakan dari pada manusia”.(QS,
Ibrahim 36)
Majas ‘Aqli adalah menyandarkan sebuah fi’il (kata kerja) atau
yang semakna dengannya terhadap sesuatu yang tidak memiliki hubungan dengannya
yang disertai dengan adanya Qorinah (indikasi) yang menunjukkan atas
tercegahnya untuk menyandarkan fi’il tersebut terhadap sesuatu yang disebutkan
dalam teks secara harfiah.
Jika kita mengabaikan makna majaz pada ayat diatas, justru akan
menghantarkan kita kedalam pemahaman yang dapat merobohkan sifat ‘Ishmah
(terjaga dan terpeliharanya ) para Rasul dari kemaksiatan batim mereka.
Artinya, untuk menghindari anggapan bahwa Nabi Ibrahim telah menisbatkan
“kemampauan menyesatkan” kepada berhala, padahal yang demikian itu hanya mampu
dilakukan oleh Allah, maka diperlukan adanya peneapan metode majaz ‘aqli, yakni
adanya menyandarkan hukum “kemampuan” bukan terhadap pelaku yg sebenarnya
(hakiki) dengan tettap berkeyakinan bahwa hanya pelaku yg hakiki (Allah) lah
yang mampu melakukannya. Sehingga ayat di atas dapat diartikan “berhala-berhala itu telah menyebabkan kebanyakan dari manusia
tersesat” namun dengan tetap meyakini bahwa Allah yg telah
menjadikan kebanyakan manusia tersesat. Dengan demikian dapat kita temukan
makna yg dapat menghilangkan kepahaman bahwa Nabi Ibrahim telah menyekutukan
Allah dengan berhala.
Contoh lain dalam ayat berikut
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ [الأنفال/2]
”sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang ketika
disebut nama Allah maka bergetarlah hati mereka dan ketika dibacakan kepada
mereka ayat-ayat-Nya maka akan menambah keimanan mereka dan kepada Tuhanlah
mereka berpasrah diri”.(Qs. Al-anfal 2)
Menyandarkan hukum “menambah keimanan” pada ayat di atas
merupakan salah satu bentuk majaz ‘aqli, karena ayat al-Quran hanyalah
merupakan salah satu faktor yg menjadikan sebab bertambahnya keimanan,
sedangkan yg menambah keimanan pada hakikatnya adalah hanya Allah SwT.
Majaz juga terdapat pada ayat
فَكَيْفَ
تَتَّقُونَ إِنْ كَفَرْتُمْ يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا [المزمل/17]
“maka bagaimana kamu dapat bertaqwa terhadap hari yang
menjadikan anak-anak beruban (dengan panjagaan yang manakah kamu semua
melindungi dirimu dari siksa hari yg menjadikan anak-anak beruban yaitu hari
kiamat ) jika kamu tetap kafir (didunia)
(Qs, al-Muzammil, 17)
Menyandarkan “ yaj’alu (menjadikan)” terhadap kalimah “ yauman
(hari)” merupakan majaz ‘aqli, sebab “hari” merupakan ruang waktu menjadikan anak-anak
ber-uban, sedangkan yg menjadikan mereka beruban secara hakikat tetaplah Allah.
Dalam ayat lain juga disebutkan
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا
تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا (23) وَقَدْ
أَضَلُّوا كَثِيرًا [نوح/23، 24
“jangan
sekali-kali kamu meninggalkan Tuhan-tuhan kamu dan jangan juga sekali-kali kamu
meninggalkan wadd,dan jangan pula suwa, yaguts, ya’uq dan nasr. Dan sungguh
mereka telah menyesatkan banyak manusia.”
(Qs, Nuh,
23-24)
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik