SEKILAS
ISTIGHTSAH DAN TAWASSUL
Ø Definisi Tawassul
طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ
مَضَرَّةٍ مِنَ اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيِّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا
لِلْمُتُوُسَّلِ بِهِ (العبدري, الشرح القويم, ص 378)
“Memohon
datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah
SWT dengan menyebut nama seorang Nabi atau Wali untuk memuliakan (ikram)
keduanya.” (Al-Hafizh Al-‘Abdari, Al-Syarh Al-Qiyam, Hal.378)
وَاسْتَعِيْنُوا بِالصَّبْرِ وَالصَلاَةِ
وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِيْنَ
“Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’” (QS. Al-Baqarah: 45)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan” (QS. Al-Maidah: 35)
Al-Syaikh
Jamil Afandi Shidqi al-Zahawi menjelaskan bahwa yang dimaksud istighatsah
dan tawassul dengan para nabi dan orang-orang yang shaleh ialah
menjadikan mereka sebagai sebab dan perantara dalam memohon kepada Allah SWT
untuk mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah pelaku yang sebenarnya
(yang mengabulkan doa).
Sebagai contoh, pisau tidak mempunyai kemampuan memotong dari
dirinya sendiri karena pemotong yang sebenarnya adalah Allah SWT. Pisau hanya
sebagai penyebab yang alamiah (berpotensi untuk memotong), Allah SWT
menciptakan memotong melalui pisau tersebut. (Al-Fajr al-Shadiq, hal.
53-54).
Imam Malik memerintahkan Abu Ja’far al-Manshur al-Abbasi untuk menghadap
makam Nabi saat berdoa dan meminta syafaat pada beliau.
(Syarh al-Mawahib, 8/304-305, al-Madkhal, 1/248, dll)
وَقَدْ
رُوِيَ أَنَّ مَالِكًا لَمَّا سَأَلَهُ أَبُو جَعْفَرٍ الْمَنْصُورُ
الْعَبَّاسِيُّ - ثَانِي خُلَفَاء بَنِي الْعَبَّاسِ - يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ
أَأَسْتَقْبِل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَدْعُو أَمْ
أَسْتَقْبِل الْقِبْلَةَ وَأَدْعُو؟ فَقَال
لَهُ مَالِكٌ: وَلِمَ تَصْرِفْ وَجْهَك عَنْهُ وَهُوَ وَسِيلَتُك وَوَسِيلَةُ
أَبِيك آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟
بَل اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعُهُ اللَّهُ. وَقَدْ رَوَى هَذِهِ الْقِصَّةَ أَبُو الْحَسَنِ
عَلِيُّ بْنُ فِهْرٍ فِي كِتَابِهِ ”فَضَائِل مَالِكٍ" بِإِسْنَادٍ لاَ
بَأْسَ بِهِ وَأَخْرَجَهَا الْقَاضِي عِيَاضٌ فِي الشِّفَاءِ مِنْ طَرِيقِهِ عَنْ
شُيُوخٍ عِدَّةٍ مِنْ ثِقَاتِ مَشَايِخِهِ.
شرح
المواهب 8 / 304 - 305 ، والمدخل 1 / 248 ، 252 ، ووفاء الوفاء 4 / 1371
Ø TIDAK ADA PERBEDAAN ANTARA HIDUP
DAN MATI
Apabila
seseorang berkata bahwa memohon bantuan kepada Nabi (tawassul), mengadukan
keadaan, memohon syafaat dan pertolongan kepada Beliau serta segala sesuatu yg
sejenis hanya bisa dilakukan saat Beliau masih hidup, sedangkan jika dilakukan sesudah
Beliau wafat merpakan tindakan kufur, maka kami akan menjawab bahwa para Nabi
dalam kondisi hidup dalam kubur mereka dan para hamba Allah yg di-ridloi juga
hidup dlam kubur mereka.
Kalaupun
seandainya seorang pakar fiqih tidak menemukan dalil atas keabsahan tawassul
dan memohon bantuan kepada Beliau sesudah wafat kecuali dianalogikan dengan
tawassul dan memohon bantuan kepada beliau sewaktu masih hidup niscaya hal ini
sudah mencukupi. Karena Beliau Saw yg hidup di dunia dan akhirat, senantiasa
memberikan perhatian kepada umatnya, mengatur urusan-urusan umatnya atas seizin
Allah, mengatur kondisi umatnya, disampaikan kepadanya shalawat dari umatnya
dan sampai kepada Beliau salam mereka meskipun tak terhitung jumlah mereka.
Orang yg pengetahuannya luas mengenai arwah dan memiliki keistemawaan tentang
hal ghoib, pasti hatinya akan lapang untuk mengimani kehidupan arwah di alam
barzakh, terlebih arwah-arwah orang-orang yg memiliki keluhuran. Lalu bagaimana
dengan ruh dari segala arwah dan cahaya dari segala cahaya, yakni Nabi kita
Muhammad Saw ? seandainya memohon syafaat, meminta bantuan atau tawassul pada
Beliau setelah wafat dikatagorikan syirik atau kufur, maka hal itu juga tidak
akan diperbolehkan baik dalam kehidupan dunia, akhirat, pada hari kiamat atau
sebelumnya. Karena Tindakan syirik dimurkai Allah dalam kondisi apapun secara
mutlak.
Kata Ibnu Taimiyah: Tawassul dengan orang
shalih yang sudah wafat bukan kemusyrikan
“Tidak
masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan
bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi SAW atau makam
orang-orang salih, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi
SAW pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan
bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal
tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang
diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi SAW lalu mengadukan
musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut
bermimpi Nabi SAW
dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan
istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini
banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi SAW,
dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn
Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz 1, hal. 373).
Referensi
وَلاَ
يَدْخُلُ فِيْ هَذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا
يُرْوَى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ
بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَسْمَعُ اْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ
وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُ
أَجَلُّ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً
جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إِلَيْهِ الْجَدَبَ
عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ عُمَرَ فَيَأْمُرَهُ
أَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ
وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْ هُوَ دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ
تقي الدين ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).
Syaikh
Yusuf an-Nabhani menambahkan: “semua orang
yang memperbolehkan tawassul pada orang yang masih hidup, dan melarang hal itu
pada orang yang telah wafat adalah orang yang terjerumus dalam ke-syirikan
, karena mereka sama saja dengan meyakini bahwa orang
yang masih hidup bisa memberikan efek (manfaat) pada orang lain, sedangkan yang
sudah mati tidak, maka dengan keyakinan seperti itu , mereka tergolong
orang-orang yang meyakini ada yang bisa memberikan efek selain Allah Swt,
maka bagaimana mungkin mereka bisa mengaku sebagai golongan yang sangat menjaga
ketauhidan, bahkan menganggap golongan lainnya melakukan kesyirikan”.
(syawahidu al-Haq hal. 158-159)
Referensi
1.syawahid al-Haq
2. adillatu ahlis sunnah hal 85
شواهد
الحق ص 158- 159
فلا
فرق في التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم وغيره من الأنبياء والمرسلين صلوات الله
وسلامه عليهم أجمعين، وكذا بالأولياء والصالحين، لا فرق بين كونهم أحياء
وأمواتاً، لأنهم لا يخلقون شيئاً، وليس لهم تأثير في شيء، وإنما يتبرك بهم
لكونهم أحبَّاء الله تعالى، وأما الخلق والإيجاد والإعدام والنفع والضر فإنه لله
وحده لا شريك له وأما الذين يفرقون بين الأحياء والأموات فإنهم
بذلك الفرق يتوهم منهم أنهم يعتقدون التأثير للأحياء دون الأموات، ونحن
نقول: ( الله خالق كل شيء والله خلقكم وما تعملون(. فهؤلاء المجوزون التوسل
بالأحياء دون الأموات أو المعتقدون تأثير غير الله تعالى وهم الذين دخل الشرك في
توحيدهم لكونهم اعتقدوا تأثير الأحياء دون الأموات , فهم الذين إعتقدوا تأثير غير
الله تعالى فكيف يدعون المحافظة على التوحيد وينسبون غيرهم إلى الشرك .-
سبحانك هذا بهتان عظيم
أدلة
أهل السنة والجماعة المسمى " الرد المحكم المنيع " (ص: 85، بترقيم
الشاملة آليا)
والحاصل
أن مذهب أهل السنة والجماعة صحة التوسل وجوازه بالنبي صلى الله عليه وسلم في حياته
وبعد وفاته ، وكذا بغيره من الأنبياء والمرسلين والأولياء الصالحين ، كما دلت
الأحاديث السابقة ، لأنا لا نعتقد تأثيراً ، ولا خلفا ، ولا ايجادا ، ولا اعداما ،
ولا نفعا ، ولا ضرا ، إلا لله وحده لا شريك له ، فلا نعتقد تأثيراً ولا نفعاً ولا
ضراً للنبي صلى الله عليه وسلم ، باعتبار الخلق والإيجاد والتأثير ، ولا لغيره من
الأحياء والأموات ، فلا فرق في التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم وغيره من
الأنبياء والمرسلين صلوات الله عليه وعليهم أجمعين ، وكذا بالأولياء والصالحين ،
لا فرق بين كونهم أحياءا أو أمواتا ، لأنهم لا يخلقون شيئا ، وليس لهم تأثير في
شيء ، وإنما يتبرك بهم لكونهم أحباء الله تعالى ، والخلق والإيجاد والتأثير لله
وحده لا شريك له ( ولأنه تسري بركة المكأن على الداعي ) كما ذكر الإمام الشوكاني
في كتابه ( تحفة الذاكرين ) بعدة الحصن الحصين .
وأما
الذين يفرقون بين الأحياء والأموات حيث جوزا بعض التوسلات بالأحياء لا للأموات ،
فهم القريبون من الزلل ، لأنهم اعتبروا أن الأحياء لهم التأثير دون الأموات ، مع
أنه لا تأثير إيجادياً لغير الله سبحانه وتعالى على الإطلاق .
وأما
الإفادة وفيض البركات والاستفادة من أرواحهم استفادة اعتيادية ، وتوجه أرواحهم إلى
الله سبحانه وتعالى طالبين فيض الرحمة على ذلك المتوسل ، فهو شيء جائز وواقع وخال
عن كل خلل ، بدون الفرق بين الأحياء والأموات
Ø MEMBANTAH SYUBHAT
Berikut kami cantumkan syubhat
(pengkaburan) yang dilakukan oleh kalangan anti tawassul dan istighotsah
berikut jawaban atasnya.
Beristighotsah
adalah syirik sebab didalam rangkaian doa yang dibaca terdapat kata-kata yang
mengindikasikan meminta kepada selain Allah Swt.
Menanggapi
klaim tersebut, perlu diketahui bahwa untaian kata semisal
اَدْرِكْنِي يَا رَسُولَ اللهِ
“Tolonglah aku wahai Rasulullah”
Menurut Sunni, Redaksi di atas menurut mayoritas kaum Muslimin
sejak generasi sahabat hingga kini, adalah benar dan tidak syirik. Redaksi seperti di atas masuk dalam konteks
tawasul dan istighatsah, yaitu berdoa kepada Allah dengan memanggil nama
seorang yang mulia menurut Allah, dan hal ini telah berlangsung sejak generasi
sahabat dan diajarkan oleh Rasulullah r.
Menurut Salafi Wahabi, Redaksi tersebut masuk dalam konteks
penyembahan terhadap selain Allah, yang berarti syirik akbar, murtad dan
pelakunya masuk neraka selama-lamanya, dan hal ini telah dijelaskan oleh Syaikh
Ibn Taimiyah pada abad ke-8 Hijriah.
Bukan
redaksi yang menyebabkan syirik, redaksi ini merupakan bentuk majaz sebab
redaksi itu keluar dari orang-orang yg bertauhid sehingga mengandung kata yang
disimpan, yakni menjadi “tolonglah aku wahai Rasulullah sampaikan kepada
Allah”. Untaian kata itu juga merupakan bentuk kata tawassul yg jelas sekali
dibenarkan dalam islam.
Sayyid Muhammad menegaskan:”
apabila ditemukan dalam ucapan kaum mukminin penyandaran sesuatu kepada selain Allah maka wajib dipahami
sebagai majaz ‘aqli. Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya, karena majaz ‘aqli
digunakan dalam al-Quran dan as-sunnah”.
Dalam beberapa hadits disebutkan
tentang tawassul para sahabat yang mirip dengan redaksi diatas, antara lain
عن عبد الرحمن بن سعد قال : خَدِرَتْ رِجْلُ بنِ
عُمَرَ فقَال لَهُ رَجُلٌ اُذْكُرْ أَحَبَّ الناسِ إليكَ فَقَال يا محمد
“Dari Abdurrahman bin sa’id berkata:”ibnu
Umar tiba-tiba kakinya mati mati rasa (tidak dapat digerakkan), lalu seorang
laki-laki berkata kepadanya:”pangillah orang yang paling kamu cintai”. Ibnu
Umar berkata:” Ya Muhammad”.(HR.
Bukhori)
Kelompok anti istighotsah
mengatakan bahwa Nabi tidak bisa di mintai pertolongan, mereka beragumen dengan
memakai hadits
إنَّهُ لاَ يُسْتَغَاثُ بِيْ
“sesungguhnya saya tidak dapat dijadikan
tempat pertolongan”
Untuk
menjawab pernyataan di atas, sebelumnya kita harus tahu bahwa hadits itu adalah
penggalan sebuah hadits yang memuat kisah berikut
انه كان في زمن النبي صلى الله عليه وسلم منافق
يؤذى المؤمنين ، فقال أبو بكرالصديق :
قوموا بنا نستغيث برسول الله من هذا
المنافق ، فجاءوا إليه فقال
النبي صلى الله عليه وسلم : إنه لا يستغاث بي ، إنه يستغاث بالله تعالى
“sesungguhnya pada area Nabi Muhammad Saw
ada orang munafik yang menyakiti orang mukmin. Abu bakar berkata :” marilah
bersama-sama kita memohon pertolongan kepada Nabi dari si munafik itu, Nabi
menjawab:” sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat untuk memohon, hanya
Allah-lah yg menjadi tempat memohon”.
(HR. Thobraniy dalam al-Mu’jam al-kabir)
Hadits
ini terkadang dijadikan argumentasi oleh
orang yg menolak memohon pertolongan dengan Nabi Saw. Argumentasi ini dari awal
sudah keliru, sebab jika Hadits dipahami secara tekstual niscaya maksudnya
adalah melarang memohon pertolongan dengan Beliau secara total. Pemahaman
tekstual ini dimentahkan oleh oleh sikap sahabat bersama beliau, dimana mereka
memohon pertolongan dan hujan lewat beliau serta minta do’a kepada beliau dan
beliau pun mengabulkannya dengan suka cita. Karena itu hadits ini harus diberi
interpretasi (penafsiran) yg relevan dengan keumuman hadits-hadits lainnya agar
kesatuan nash-nash bisa terangkai. Dari situ kami katakan bahwa yg dimaksud
dengan إنَّهُ لاَ يُسْتَغَاثُ بِيْ (sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat untuk
memohon ) adalah menetapkan substansi tauhid dalam dasar keyakinan.
Dan memang yang bisa memberi pertolongan hanyalah Allah. Sedangkan dalam
masalah ini hamba hanyalah sebagai mediator dalam memohon pertolongan atau
maksud Nabi Saw adalah mengajari para sahabat bahwa tidak boleh meminta kpd
hamba sesuatu yg berada diluar kapasitasnya seperti meraih surga, selamat dari
neraka, hidayah terhindar dari kesesatan, dan jaminan mengakhiri ajal dalam
kebahagian.
Hadits
ini tidak menunjukkan atas pengkhususan memohon pertolongan dan memberikannya
hanya pada orang hidup saja, karena
jelas tidak memiliki keterkaitan dengan pengkhususan tersebut. Justru jika
dilihat secara tekstual hadits ini
melarang memohon pertolongan dengan selain Allah selamanya, tanpa ada
diskriminasi antara yg hidup dan yang mati. Namun tetap dengan koridor yang
telah kami jelaskan dimuka.
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’
al-fatawa mengisyaratkan pengertian ini dimana beliau mengatakan
مجموع
فتاوى ابن تيمية - (ج 1 / ص 20)
وَقَدْ
يَكُونُ فِي كَلَامِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِبَارَةٌ لَهَا مَعْنًى صَحِيحٌ لَكِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَفْهَمُ مِنْ تِلْكَ
غَيْرَ مُرَادِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَذَا
يُرَدُّ عَلَيْهِ فَهْمُهُ . كَمَا رَوَى الطبراني فِي مُعْجَمِهِ الْكَبِيرِ {
أَنَّهُ كَانَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَافِقٌ
يُؤْذِي الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ : قُومُوا بِنَا
لِنَسْتَغِيثَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا
الْمُنَافِقِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّهُ لَا
يُسْتَغَاثُ بِي وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاَللَّهِ } فَهَذَا إنَّمَا أَرَادَ
بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَعْنَى الثَّانِيَ وَهُوَ
أَنْ يُطْلَبَ مِنْهُ مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ إلَّا اللَّهُ وَإِلَّا
فَالصَّحَابَةُ كَانُوا يَطْلُبُونَ مِنْهُ الدُّعَاءَ وَيَسْتَسْقُونَ بِهِ كَمَا
فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : رُبَّمَا ذَكَرْت قَوْلَ
الشَّاعِرِ وَأَنَا أَنْظُرُ إلَى وَجْهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْتَسْقِي فَمَا يَنْزِلُ حَتَّى يَجِيشَ لَهُ مِيزَابٌ : وَأَبْيَضَ
يُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ ثِمَالُ الْيَتَامَى عِصْمَةٌ لِلْأَرَامِلِ
وَهُوَ قَوْلُ أَبِي طَالِبٍ
“terkadang dalam firman Allah
dan sabda Rasul terdapat ungkapan yg memiliki arti shahih namun sebagian orang
diluar yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Pemahaman ini tidak bisa diterima,
sebagaimana ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir meriwayatkan bahwa; “sesungguhnya
pada area Nabi Muhammad Saw ada orang munafik yang menyakiti orang mukmin. Abu
bakar berkata :” marilah bersama-sama kita memohon pertolongan kepada Nabi dari
si munafik itu, Nabi menjawab:” sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat
untuk memohon, hanya Allah-lah yg menjadi tempat memohon”. Pengertian
hadits ini yg dikehendaki Nabi Saw adalah pengertian yang kedua. Yakni meminta
kepada Beliau sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. Jika tidak
dikehendaki pengertian kedua, maka akan melenceng dari maksud aslinya, terbukti
para sahabat memohon do’a kpd beliau dan meminta hujan lewat Beliau sebagaimana
keterangan dalam Shahih al-Bukhori dari Ibnu Umar, ia berkata, : “kadang aku
mengingat seorang penyair seraya ku-pandang wajah Nabi Saw yang sedang memohon
hujan. Maka Beliau tidak turun sampai talang mengalirkan air-nya.”
وَأَبْيَضَ
يُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ * ثِمَالُ الْيَتَامَى
عِصْمَةٌ لِلْأَرَامِلِ
Figur
berwajah putih dimana mendung dimintakan hujan berkat dirinya * Sang pemelihara
anak-anak yatim dan pelindung para janda
Kelompok anti istighotsah juga berargumen dengan hadits
إِذَا سَألْتَ فَاسأَلِ الله ، وإِذَا
اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ باللهِ
“jika
engkau memohon maka memohonlah kepada Allah dan jika minta pertolongan mintalah
pada Allah”
Hadits
ini adalah penggalan dari sebuah hadits yg diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan
dinilai shahih dari Ibnu ‘Abbas dengan status marfu’. Banyak orang salah faham
dalam memahami hadits ini karena mereka menjadikannya sebagai dalil bahwa tidak
boleh meminta dan memohon pertolongan secara mutlak, dari sisi apapun, dan
dengan cara apapun kecuali kepada Allah. Mereka menganggap meminta &
memohon pertolongan kepada selain Allah sebagai kemusyrikan yg mengeluarkan
dari agama islam. Dengan anggapan demikian mereka menafikan penggunaan sebab
& mencari bantuan dengannya, serta meruntuhkan banyak nash yg ada dalam
masalah ini. Yang benar hadits ini tidak dimaksudkan untuk melarang meminta
atau memohon pertolongan kepada selain Allah sebagaimana dilihat dari teksnya,
namun maksudnya adalah melarang lupa bahwa kebaikan yang dihasilkan oleh suatu
sebab sesungguhnya berasal dari Allah, dan perintah untuk menyadari bahwa
kenikmatan yang ada pada makhluk hanyalah berasal dari Allah. Berarti makna
hadits ini adalah jika anda ingin memohon pertolongan kepada salah seorang
makhluk dan hal ini harus dilakukan maka
jadilah seluruh sandaranmu kepada Allah semata, jangan sampai perhatian kepada
sebab membuatmu lupa untuk mengingat sang pembuat sebab artinya jangan sampai
kita menjadi orang yg mengetahui sesuatu yang terlihat secara dhahir antara
berbagai hal yang saling berkaitan satu sama lainnya namun melupakan Dzat yang
mengaitkannya. Hadits di atas sendiri mengindisikan pengertian ini. Yakni dalam
sabda Nabi setelah ungkapan diatas, yaitu
وَاعْلَمْ : أنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ
عَلَى أنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إلاَّ بِشَيءٍ قَدْ كَتَبهُ اللهُ
لَكَ ، وَإِن اجتَمَعُوا عَلَى أنْ يَضُرُّوكَ بِشَيءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إلاَّ
بِشَيءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ
”ketahuilah bahwa sesungguhnya kalau umat bersatu untuk
memberimu manfaat dengan sesuatu maka mereka tidak akan memberimu manfaat
kecuali dengan sesuatu yang telah digariskan Allah untukmu, dan jika
mereka bersatu untuk memberimu bahaya
dengan sesuatu maka mereka tidak akan memberimu bahaya kecuali dengan sesuatu yang telah digariskan
Allah kepadamu”
(HR, at-Tirmidzi)
Sebagaimana kita lihat,hadits
ini menetapkan umat bisa memberi manfaat satu sama lain dengan sesuatu yang
telah digariskan Allah atas seorang hamba,. Kelanjutan dari hadits diatas
menjelaskan maksud yang dikehendaki Nabi Saw. Jadi mengapa kita mengingkari
permintaan bantuan kepada selain Allah padahal terdapat perintah untuk
melakukannya dalam banyak tempat dari al-Quran dan as-Sunnah ??
Allah Swt berfirman
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ [البقرة/45]
“jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu”.(al-baqorah, 45)
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ
قُوَّةٍ [الأنفال/60]
“dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”.(al-Anfal, 60)
Firman Allah berikut menceritakan seorang hamba yang
shaleh, Dzul Qurnain
قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي
بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا [الكهف/95]
“Dzul
Qurnain berkata:” Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhan-ku kepadaku terhadapnya
adalah lebih baik, Maka tolonglah aku dengan kekuatan agar aku
membuatkan dinding antara kamu dan mereka”.(al-kahfi, 95)
Serta dalam penyelenggaraan
shalat khouf yang ditetapkan dalam al-Quran dan as-sunnah supaya kita saling
tolong menolong antara sesama makhluk. Begitu pula Rasulullah Saw mendorong
kaum mukmin untuk saling membantu memenuhi kebutuhan yang lain,memudahkan orang
yang tertimpa kesulitan dan memberi solusi atas orang yang dilanda problem,
serta ancaman Beliau terhadap sikap tidak peduli atas hal-hal tersebut,
terdapat dalam sunnah
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي -
(ج 8 / ص 330)
مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ
فِى حَاجَتِهِ
“barang
siapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi
kebutuhannya”.(HR,al-Bukhori)
الأربعون الصغرى للبيهقي - (ج 1 / ص 152)
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ
الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِي
“Allah
senantiasa membantu seorang hamba sepanjang ia selalu membantu saudaranya.”(HR,
Muslim)
مجمع الزوائد - (ج 8 / ص 350)
إن لله خلقا خلقهم لحوائج الناس تفزع الناس
إليهم في حوائجهم أولئك الآمنون من عذاب الله
“Allaj
memiliki Makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia
datang kepada mereka mengadukan kebutuhannya. Mereka itu adalah orang-orang
yang aman dari adzab Allah”. (HR, ath-Thabrani)
Renungkanlah
sabda-sabda Nabi Saw , Beliau tidak menjadikan manusia tersebut sebagai
orang-orang musyrik (yang menyebabkan kemusyrikan) dan juga tidak sebagai
orang-orang yang melakukan maksiat.
Kami kira para pembaca cukup
jelas dengan membaca firman Allah dan hadits-hadits shahih yang berkaitan
dengan Tawassul tadi serta keterangan-keterangan para ahli Fiqih yang mana
tawassul itu, baik untuk orang yang masih hidup atau sudah wafat,
dibolehkan/tidak dilarang oleh agama dan tidak dikhususkan tawassul pada
Rasulallah saw. saja boleh tawassul pada waliyullah, orang-orang sholihin
lainnya.
Lebih mudahnya marilah kita
baca sanggahan Imam Syaukani terhadap orang yang
melarang Tawassul dengan makhluk atau sesama manusia dalam berdo’a memohon
sesuatu kepada Allah swt., berikut ini:
Imam Syaukani dalam Ad-Durr
An-Nadhiid Fi Ikhlashi Kalimatit Tauhid mengatakan:
“Syeikh ‘Izuddin Ibnu ‘Abdussalam
telah menegaskan: ‘Tawassul yang diper- bolehkan dalam berdo’a kepada Allah
hanyalah tawassul dengan Nabi Muhammad saw., itupun kalau hadits yang mengenai
itu shohih’.
Asy-Syaukani selanjutnya berkata,
mungkin hadits yang dimaksud oleh Syeikh ‘Izuddin ialah hadits mengenai soal
tawassul yang dikemukakan oleh An-Nasai dalam Sunan-nya, At-Tirmudzi dan dipandang shohih olehnya oleh Ibnu Majah dan lain-lain, yaitu ‘sebuah
hadits yang meriwayatkan adanya seorang buta datang menghadap Nabi Muhammad
saw…’. (baca hadits ‘Utsman bin Hunaif yang telah kami
kemukakan---pen). Mengenai soal itu ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Sebagaimana
yang dikatakan oleh ‘Umar bin Khattab ra. (dalam shohih Al-Bukhori dll.), yaitu
setelah Rasulallah saw. wafat, tiap musim gersang atau paceklik ia bersama kaum
Muslimin berdo’a kepada Allah swt. mohon diturunkan hujan (istisqa) dengan
bertawassul pada paman Nabi saw., yaitu ‘Abbas bin Abdul Mutthalib.
Pendapat kedua : Bertawassul
dengan Nabi Muhammad saw. diperkenan- kan baik dikala beliau saw. masih hidup
maupun setelah wafat, dihadapan beliau mau pun tidak sepengetahuan beliau saw.
Mengenai tawassul dengan Rasulallah saw. dikala hidupnya, tidak ada perbedaan
pendapat. Adapun mengenai tawassul dengan pribadi orang selain beliau saw.
setelah beliau wafat, hal ini disepakati bulat oleh para sahabat Nabi secara
diam-diam.
Tidak seorang pun dari para
sahabat Nabi yang mengingkari atau tidak mem benarkan prakarsa Khalifah Umar
ra. untuk bertawassul dengan paman Nabi saw. yaitu ‘Abbas ra.. Saya (Imam
Syaukani) berpendapat: ‘bahwa tawassul diperkenankan tidak hanya khusus pada
pribadi Rasulallah saw. sebagai- mana yang dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin.
Mengenai soal itu ada dua alasan (dalil/hujjah).
Pertama: Telah disepakati bulat
oleh para sahabat Nabi saw, yaitu sebagai- mana dikatakan dalam hadits ‘Umar
bin Khattab ra’.
Kedua: Tawassul pada para
‘ahlul-fadhl’ (pribadi-pribadi utama dan mulia) dan para ahli ilmu (para
ulama), pada hakekatnya adalah tawassul pada amal kebajikan mereka. Sebab,
tidak mungkin dapat menjadi ‘ahlul-fadhl’ dan ‘ulama’, kalau mereka itu tidak
cukup tinggi amal kebajikannya. Jadi kalau orang berdo’a kepada Allah swt.
dengan mengucap: ‘Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bertawassul kepada orang
alim yang bernama Fulan…., itu telah menunjukkan pengakuannya tentang kedalaman
ilmu yang ada pada orang ‘alim yang dijadikan washilah. Hal ini dapat
dipastikan kebenarannya berdasarkan sebuah hadits dalam Shohih Bukhori dan
Shohih Muslim tentang hikayat tiga orang dalam goa yang terhambat keluar karena
longsornya batu besar hingga menutup rapat mulut goa. Mereka kemudian berdo’a
dan masing-masing bertawassul dengan amal kebajikannya sendiri-sendiri. Pada
akhirnya Allah mengabulkan do’a mereka dan terangkatlah batu besar yang
menyumbat mulut goa.
Lebih jauh Asy-Syaukani
mengatakan: ‘Kalau bertawassul dengan amal ke bajikan tidak diperkenankan atau
merupakan perbuatan syirik, sebagai- mana dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin dan
para pengikutnya; Tentu Rasul- Allah saw. tidak akan menceriterakan hikayat
tersebut diatas, dan Allah tidak akan mengabulkan do’a mereka bertiga’.
Nash-nash Al-Qur’an yang
dijadikan hujjah/dalil untuk tidak membenarkan tawassul dengan para ahli takwa
dan orang-orang sholeh seperti firman-firman Allah swt.:
“Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala) kecuali
untuk men- dekatkan diri kami sedekatnya dengan Allah”.(Az-Zumar : 3)
َلاَ تَدْعُوْا
مَعَ اللهِ اَحَدًا
“...Maka janganlah kalian berdo’a
kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang”. (Al-Jin:18)
لَهُ دَعْوَةُ
اْلحَقُّ وَالّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لآيَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ
بِشَيْءٍ
“Hanya Allah lah (yang berhak
mengabulkan) do’a yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak
akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka.” (Ar-Ra’ad : 14)
Ayat-ayat diatas dan ayat-ayat
lainnya tidak pada tempatnya dijadikan hujjah bagi persoalan itu. Bahkan
ayat-ayat tersebut oleh mereka hanya dijadikan dalil untuk memperuncing
perselisihan pandanga. Sebab, ayat-ayat suci tersebut pada hakekatnya
adalah larangan menyekutukan Allah swt. Sedangkan
soal tawassul sama sekali buka soal menyembah sesuatu selain
Allah. Ayat-ayat tersebut ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a
kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a hanya kepada Allah
swt. tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah !
Juga golongan pengingkar ini
berhujjah/berdalil pada firman Allah swt. :
وَمَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ
الدِّ يْنِ ثُمَّ مَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْن يَوْمَ لآ تَمْلِكُ َنفْسُْ
لِنَفْسٍ شَيئًا وَالأَمْرُ
يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
“Tahukah engkau, apakah hari
pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Yaitu hari
pada saat seseorang tidak berdaya sedikitpun menolong orang lain; dan segala
urusan pada hari itu berada di dalam kekuasaan Allah” (Al-Infithar:17-19)
Ayat suci tersebut tidak dapat
dijadikan hujjah untuk mengingkari kebenaran tawassul, karena orang yang
bertawassul dengan Nabi, ulama yang sholeh dan ahli taqwa, sama sekali tidak
mempunyai pikiran atau keyakinan bahwa Nabi, ulama yang sholeh, ahli taqwa atau
waliyullah yang mereka jadikan washilah, itu akan menjadi sekutu Allah atau
menyaingi kekuasaan-Nya pada hari pembalasan ! Setiap muslim tahu benar bahwa
keyakinan seperti itu adalah sesat.
Pihak-pihak yang melarang
tawassul pada Nabi Muhammad saw. juga meng gunakan firman-firman Allah dibawah
ini sebagai dalil:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِشَئُْ
“Tidak ada sedikitpun
campur tanganmu (hai Muhammad) dalam urusan mereka (kaum musyrikin)”. (Ali
Imran : 128)
Dan firman-Nya lagi
:
قُلْ لآ اََمْلِكُ
لِنَفْسِى نَقْعًا وَلآ ضَرًّا
“Katakanlah (hai
Muhammad): ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan ke manfaatan bagi diriku, dan
tidak pula berkuasa menolak kemadharatan”. (Al-A’raf : 188)
Itu pun tidak pula pada
tempatnya, karena Allah swt. telah mengaruniakan kedudukan (maqam) terpuji dan
tertinggi kepada Rasulallah saw. yaitu kewenangan memberi syafa’at seizin
Allah. Demikian pula pernyataan beliau saw. kepada kaum kerabatnya, beberapa
saat setelah beliau menerima wahyu Ilahi, ‘dan berilah peringatan
kepada kaum kerabatmu yang terdekat’ (Asy-Syu’ara : 214), yaitu: ‘Hai
Fulan bin Fulan dan hai Fulanah binti Fulan, di hadapan Allah aku (Muhammad
saw.) tidak dapat memberi pertolongan apa pun kepada kalian…!
Pernyataan Rasulallah saw. itu
tidak berarti lain kecuali bahwa beliau tidak berdaya menangkal
madharat/malapetaka yang telah dikenakan Allah kepada
seseorang dan beliau saw. pun tidak berdaya menolak manfaat yang telah
diberikan Allah swt. kepada seseorang, sekalipun orang itu kerabat
beliau sendiri.
Pengertian itu tidak ada
kaitannya dengan tawassul. Karena orang yang bertawassul tetap memanjatkan
do’anya kepada Allah swt. Bertawassul kepada Rasulallah saw. dalam
berdo’a tidak berarti lain kecuali mengharap- kan syafa’at beliau
agar Allah swt. berkenan mengabulkan do’a dan per- mohonan yang diminta. Adapun
soal terkabulnya suatu do’a atau tidak, sepenuhnya berada didalam kekuasaan Allah
swt.”. Demikianlah garis besar pandangan Imam Asy-Syaukani mengenai soal
tawassul.
Ayat Az-Zumar : 3 diatas yang
oleh golongan pengingkar dijadikan dalil untuk melarang tabarruk (pengambilan
barokah) itu tidak tepat sekali, karena dalam ayat tersebut jelas tidak menyebutkan; Kami
tidak mengambil barokah mereka melainkan...., tapi diayat ini
menyebutkan; Kami tidak menyembah mereka
melainkan.....
Kaum musyrikin Jahiliyah
meyakini ’sifat ketuhanan’ buat obyek (patung-patung) yang
dimintainya berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung
itu dan menyekutukan Allah dalam masalah penyembahan. Dan tentu essensi
penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang
disembahnya. Tanpa keyakinan (sifat ketuhanan) itu, mustahil mereka menyebut
kata ‘sembah’. Jelas, sebagaimana yang sudah pernah kita singgung
pada tulisan terdahulu bahwa, sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta
masuk kategori menyembah.
Kaum musyrikin meyakini bahwa
patung-patung itu juga memiliki kekuatan secara bebas, dari
Allah swt. sehingga muncul di benak mereka untuk meyakini bahwa berhala itu
juga mampu menjauhkan segala mara bahaya dari mereka dan
memberikan manfaat kepada mereka. Sedangkan soal tawassul atau
tabarruk sama sekali bukan soal ‘menyembah sesuatu selain
Allah’. Ayat-ayat diatas itu ditujukan kepada mereka yang tidak
berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a pada Allah
swt. dan tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan
dengan Allah.
Ayat-ayat diatas juga menunjukkan
sikap dan pikiran kaum musyrikin yang sama Allah swt. dan Rasul-Nya tidak
dibenarkan. Orang musyrikin meyakini dan memandang berhala serta sesembahan
lainnya yang mereka puja-puja sebagai Tuhan secara hakiki/sebenarnya,
bukan hanya sebagai sekedar wasithah (sebagaimana menurut ucapan mereka) untuk mendekatkan hubungan
mereka dengan Allah.
Kalau kaum musyrikin benar-benar
memandang berhala atau sesembahan lainnya hanya sebagai wasithah,
maka mereka tidak akan menyembahnya serta memberi sajian-sajian dan sebagainya.
Juga kalau kaum musyrikin tidak memandang berhala sebagai Tuhannya, mereka
tentu dalam perang Uhud Abu Sufyan bin Harb tidak akan berteriak minta
pertolongan pada berhalanya yang bernama Hubal: U’lu Hubal artinya Jayalah
Hubal. Abu Sufyan dan pasukan musyrikin yang dipimpinnya percaya dan meyakini
bahwa berhala Hubal akan dapat mengalahkan Allah swt. dan Rasul-Nya serta
pasukan muslimin. Disini jelaslah kepercayaan atau keimanan kaum
musyrikin bahwa berhala Hubalbukan sebagai wasithah tapi sebagai
Tuhan mereka, dengan sendirinya keimananan kaum musyrikin jauh berbeda
dengan keimanan kaum muslimin yang bertawassul tersebut.
Bila golongan pengingkar tawassul
ini konsekwen dan adil (dengan berdalil surat Al-Jin:18 in) mereka harus melarang semua
orang yang berdo’a kepada Allah swt. sambil menyertakan nama seseorang (baik itu Rasulallah saw., para
sahabat atau para sholihin) yang masih hidup maupun telah wafat. Karena kalimat ayat itu (‘....janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan) menyertakan
seseorang’) tanpa menyebutkan orang yang telah wafat atau yang masih hidup.
Tetapi sayangnya mereka ini selalu mencari-cari dalil untuk melarang tawassul
dan mengartikan ayat Ilahi dan Sunnah Rasul saw. seenaknya sendiri,
sehingga sering berlawanan dengan paham- nya sendiri. Jadi tidak lain ayat ini
ditujukan kepada orang musyrikin yang menyekutukan Allah swt.
dengan sesembahan yang lain, sedangkan orang yang ber-
tawassul berdo’a dan menyembah kepada Allah swt. dan tidak menyekutu- kannya.
Selain telah kami singgung (baik dalam kajian sebelum
ini maupun kajian sesudah ini) bahwa, beberapa Nabiyyullah
yang mengajak ummat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga
melakukan pengambilan berkah dan tawassul.Nabi kita Muhammad saw. (sebagai penghulu para nabi dan
Rasul bahkan paling mulia dan taqwa dari semua makhluk Allah swt..) pun telah membiarkan
orang-orang mengambil berkah darinya dan tawassul padanya. Jika mencari berkah (baca
mengenai tabarruk pada halaman berikut) dan tawassul adalah haram, syirik
atau perbuatan ghuluw maka tentunya para nabi disetiap zaman adalah
orang yang pertama yang menjauhinya, bahkan melarangorang lain
untuk bertabarruk atau ber tawassul. Namun, mengapa justru mereka malah
melakukannya? Begitu juga para sahabat Rasulallah saw. dan para ulama
pakar telah mengamal- kan semuanya ini.
Apa yang di-isukan oleh golongan
Wahabi/Salafi dan pengikutnya selain tidak sesuai dengan makna yang dimaksud
Al-Qur’an, hadits, bukti sejarah/ riwayat dari para Salaf, para imam madzhab,
juga jauh dari logika pemaham- an ayat-ayat diatas itu sendiri.
Golongan pengingkar juga berdalil
pada hadits shohih berikut ini yang di riwayatkan oleh At-Tirmudzi bahwa
Rasulallah saw. bersabda pada sahabatnya sebagai berikut:
إذَا سَألْتَ فَاسْألِ
اللهَ, وَإذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بَاللهِ وَاعْلَمْ
أنَّ الاُمَّةَ لَوِ اجْتَمَـعَتْ عَلَى اَنْ يَنْفََعُوْنَكَََ بِشَيْئٍ لَمْ
يَنْفَـَعُوكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبهُ اللهُ لَكَ
, وَلَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إلاَّ
بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَليْـَكَ
“Jika engkau minta sesuatu
mintalah pada Allah dan jika engkau hendak minta pertolongan mintalah kepada
Allah. Ketahuilah, seumpama manusia sedunia berkumpul untuk menolongmu, mereka
tidak akan dapat memberi pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah
bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul untuk mencelakakan dirimupun mereka tidak
akan dapat berbuat mencelakakan dirimu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah
menjadi nasibmu”.
Juga didalam Majma’ul
Kabir Imam Thabrani mengetengahkan sebuah hadits bahwa pada zamannya
Rasulallah saw. ada seseorang munafik yang selalu mengganggu kehidupan kaum
muslimin. Ketika itu Abu Bakar r.a. berkata pada teman-temannya: ‘Mari kita
minta pertolongan pada Rasulallah dari gangguan si munafik itu !’. Kepada
mereka beliau saw. menjawab : ‘Itu tidak dapat dimintakan pertolongan
kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan pertolongan kepada Allah”.
Masih banyak orang yang memahami
hadits-hadits diatas itu secara keliru, yang mana mereka berpedoman semua
permintaan dan semua pertolongan yang diminta dari selain Allah adalah syirik
(keluar dari agama). Dengan pengertian seperti itu mereka melarang semua macam
permintaan yang ditujukan pada selain Allah swt. Padahal yang dimaksud oleh
hadits-hadits tersebut bukan seperti yang mereka tafsirkan. Rasulallah saw.
mengingatkan kita agar jangan lengah, bahwa segala sebab musabab yang
mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Jadi bila hendak minta tolong
pada manusia, anda harus tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau,
sepenuh nya tergantung pada kehendak dan izin Allah swt. Jangan sekali-kali
anda lupa kepada ‘Sebab Pertama’ yang berkenan
menolong anda yaitu Allah swt. Dan yang mengatur semua hubungan dalam kehidupan
ini adalah Allah swt..
Hadits-hadits diatas tidak
bermakna kecuali memantapkan akidah/ keyakinan kaum muslimin, yaitu akidah
tauhid, bahwa kita harus yakin penolong yang sebenarnya adalah Allah swt.,
sedangkan manusia adalah hanyalah sebagai washithah/perantara, tidak lebih dari
itu !
Begitu juga kalau semua
pertolongan yang diminta dari selain Allah swt. tersebut munkar, syirik maka
Allah swt. akan mencela dan tidak mengabul- kan permohonan Nabi Sulaiman as
pada ummatnya untuk mendatangkan singgasana Ratu Balqis (S.An-Naml : 38-40),
karena beliau as. tidak langsung minta pada Allah swt.. Sulaiman as. seorang
nabi dan Rasulallah yang do’anya mustajab dan bisa minta
langsung pada Allah swt. tapi toh masih minta tolong pada ummatnya dalam hal
yang luar biasa tersebut, apalagi kita-kita ini yang tidak memilik kedudukan
nabi dan Rasul! Penolong Sulaiman as. ini juga merupakan washitah/ perantara
bagi beliau.
Begitu juga riwayat nabi Yusuf
a.s.dalam surat Yusuf : 93 perantara ghamisnya ayahnya yang tuna netra disamping bisa mengenali ghamis/baju Yusuf
a.s., juga beliau setelah mengusapkan ghamis kemukanya atas perintah Yusuf asbisa melihat kembali. Padahal
kalau kita baca dalam ayat itu bahwa Yusuf as. berkata pada saudaranya ‘dengan
usapan bajunya tersebut ayahnya bisa melihat’ tanpa mengiringi dengan
kata-kata seizin Allah. Ini tidak lain karena beliau as. sudah
meyakini dan mengetahui walau pun tanpa menyebutnya, semua itu tidak akan
terjadi kecuali dengan izin Allah swt.. Dengan demikian keyakinan seseorang
itu sangat penting dalam syari’at Islam.
Mengapa nabi Yusuf a.s. tidak
langsung berdo’a pada Allah swt. agar ayahnya bisa melihat kembali tanpa
harus mengusap mukanya dengan Ghamis tersebut ? Jadi
ghamish itu juga bisa dikatakan sebagai wasithah/ perantara atau bisa dikatakan
pengambilan barokah (tabarruk).
Bila tawassul atau minta tolong
pada makhluk tidak langsung pada Allah swt. itu dilarang/diharamkan oleh agama,
maka Rasulallah saw. tidak akan men- ceriterakan mengenai Nabi Adam as. yang
waktu berdo’a bertawassul dengan beliau saw. dan riwayat-riwayat tawassul yang
telah kami kemuka- kan pada halaman sebelumnya.
Rasulallah saw. menerima wahyu
juga melalui Jibril as. padahal Allah swt.bila Dia kehendaki bisa menurunkan wahyu tersebut langsung pada Rasulallah saw. mengapa harus
melalui Jibril a.s.? Dan masih banyak lagi contoh dari tawassul/ washithah ini,
semuanya ini dibolehkan oleh agama selama orang yang bertawassul tersebut tetap
meyakini dan mengetahui bahwa sebab utama terkabulnya do’a dan amal
lain-lainnya adalah Allah swt. sedangkan orang yang ditawassuli itu hanya
sebagai perantara saja agar lebih cepat do’anya/hajatnya terkabul . Sekali
lagi sudah tentu orang yang ditawassuli itu orang ahli taqwa yang cinta dan
dicintai oleh Allah swt.
Penghormatan, pemuliaan, tawassul
dan tabarruk terhadap para waliyullah serta orang-orang shalih lainnya itu juga
mustahab/baik dan mereka tersebut pantas juga dipuji dan dimuliakan. Mereka
selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berdzikir siang malam baik
berdzikir secara perorangan maupun bersama majlis dzikir. Berapa banyak firman
ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menyebutkan kemuliaan dan keistemewaan
dan pahala orang-orang yang sering berdzikir (silahkan rujuk pada bab Faedah
dzikir dibuku ini).
Dalam surat Yunus : 62-63 Allah swt. berfirman :
اَلآ اِنَّ
اَوْلِيَاءَ الََلهِ لآ خَوْفُْ عَلَيْهِمْ وَلاهُمْ يَحْزَنُوْنَ الَّذِيْنَ
آمَنُوْا وَكاَنُوْا يَتَّقُونَ
"Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya para wali Allah itu tidak khawatir terhadap
mereka dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang orang beriman
dan senantiasa bertakwa”.
Hadits Rasulallah saw. yang
diriwayatkan oleh Ad-Dailami didalam Masnadul-Firdaus berasal dari Mu’adz
bin Jabal ra.yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. bersabda :
ذِكْرُ الأنْبِيَاءِ
مِنَ العِبَادَةِ , وَذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ
المَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ القَبْرِ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الجَنَّةِ.
“Ingat kepada para Nabi adalah
bagian dari ‘ibadah, ingat kepada kaum sholihin
adalah kaffarah (menebus dosa), ingat mati adalah shadaqah dan ingat
kuburan mendekatkan kalian kepada surga”.
Ibnu Babuwaih didalam kitab Al-Mujalasah dan
Ibnu ‘Uqdah didalam Masnad-nya meriwayatkan sebuat hadits dari
‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda:
ذِكْرُ عَلِيِّ (بْنِ أبِي طَالِبْ) عِبَادَة
“Ingat kepada ‘Ali (bin Abi
Thalib) adalah ibadah”.
Dengan adanya firman Allah dan
hadits Rasulallah saw. itu kita bisa ambil kesimpulan bahwa para sahabat Nabi
saw. dan orang-orang ahli taqwa lainnya juga dicintai dan dipuji-puji oleh
Allah swt. dan Rasul-Nya karena mereka banyak berdzikir pada Allah swt. Mengingat mereka saja sudah
termasuk ‘ibadah apalagi sering mendekati mereka itu adalah amalan yang
baik.Sebagaimana firman Allah swt.:
وَكُونُوا مَعَ
الصَّادِقِينِ
“Dan bergabunglah kamu
sekalian dengan orang-orang yang tulus (Rasulallah, para sholihin). (At-Taubah
: 119)
Perjalanan dan gerak-gerik
mereka (para nabi, wali/sholihin) selalu dalam bimbingan Allah swt. dan
segala permintaan mereka akan cepat dikabulkan oleh Allah swt. Dengan demikian
panteslah kalau kita-kita ini minta dido’akan oleh mereka yang selalu makbul,
tawassul dengan para ahli taqwa ini, tabarruk (pengambilan barokah) dari tempat
dan benda-benda yang pernah mereka gunakan untuk beribadah pada Allah swt dan
sebagainya.
Jelaslah bagi golongan yang mau
berpikir, sekalipun Rasulallah saw. telah wafat namun ketinggian martabatnya,
kemuliaan kedudukannya dan segala keutamaannya masih tetap disisi Allah swt.
Dan pujian-pujian, tawassul serta salam pada beliau saw. selalu sampai
kepadanya. Tidak lain semua itu dalam usaha mendekatkan diri pada Allah swt.
pada hakekatnya berdasar- kan keyakinan akan kebenaran ayat-ayat Allah dan Sunnah
Nabi saw.
Hadits yang dikemukakan oleh Al-Hafidz Ismail Al-Qadhi dalam
kitabnya tentang shalawat kepada Nabi Muhammad saw. dan
Al-Haitsami dalam Majma'uz Zawa'id dan menilainya sebagai
hadits shohih sebagai berikut:
حَياَتيِ خَيْرُْ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ
كَانَتْ وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَىَّ أَعْمَالَكُم
فَاِنْ رَأَيْتُ
خَيْرًا حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ
“Hidupku didunia ini baik untuk
kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi kalian. Amal perbuatan
kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik, kupanjatkan
puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang buruk aku mohon
kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”.
Juga sabda beliau saw. yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra
:
مَا مِنْ اَحَدٍ
يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أرُدَّ عَلَيْهِ
السَّلاَمُ.
“Setiap salam yang disampaikan
kepadaku oleh seseorang, Allah akan menyampaikan kepada ruhku agar aku menjawab
salam itu”.(HR.Imam Ahmad bin Hambal dan Abu
Dawud). Imam Nawawi mengatakan hadits ini isnadnya shohih.
‘Ammar bin Yasir ra meriwayatkan, bahwasanya
Rasulallah saw bersabda:
قاَلَ رَسُولُ
اللهِ.صَ. اِنَّ اللهَ
وَكَّلَ بِقَبْرِى َملَكاً أَعْطاَهُ اللهُ أَسْماَء الْخَلآِئقِ،
فَلآ يُصَلِّى عَلَىَّ اَحَدًا أِلىَ يَوْمِ
الْقِياَمَةِ أِلآّ أَبْلَغَنِى بِاِسْمِهِ وَاسْمِ أَبِيْهِ،
هَذَا فُلآنُ اِبْنُ فُلآنُ قَدْ صَلَّى عَلَيْكَ
“Allah mewakilkan Malaikat
didalam kuburku. Kepadanya Allah memberikan nama-nama seluruh umat manusia.
Karena itu hingga hari kiamat kelak setiap orang yang mengucapkan shalawat
kepadaku pasti akan disampaikan oleh Malaikat itu nama dan nama ayahnya:
si Fulan bin si Fulan telah mengucapkan shalawat kepada anda”. (Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Bazar. Dalam riwayat Abu Syaikh Ibnu Hibban
disampaikan dalam kalimat agak berbeda tetapi sama maknanya, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh At-Thabarani dan lain-lain.)
Dari semua hadits tersebut jelas
buat kita bahwa Rasulallah saw. dialam barzakh senantiasa menjawab setiap salam
yang disampaikan oleh ummat-nya kepada beliau saw. Salam artinya keselamatan,
dengan demikian terang lah bahwa Rasulallah saw. selalu berdo'a keselamatan
dan ampunan untuk ummatnya.
Ibnu Taimiyyah sendiri dalam
beberapa kitabnya menegaskan bahwa ber tawassul dengan Nabi Muhammad saw.
diperbolehkan. Beliau tidak membeda-bedakan apakah tawassul itu dilakukan
orang selagi Rasulallah saw. masih hidup, setelah wafat, dihadapan beliau
sendiri ataupun diluar pengetahuan beliau saw. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal
dan Al 'Izzu bin 'Abdussalam yang memperbolehkan orang bertawassul pun
diketengahkan juga oleh Ibnu Taimiyyah didalam kitab Al-Fatawil-Kubra. Ibnu
Taimiyyah juga mengatakan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam risalah yang
ditulis nya kepada Al-Maruzy berkata: Bahwa ia dalam
berdo'a kepada Allah swt. bertawassul dengan Rasulallah saw.
Kami sayangkan, walaupun banyak
dalil mengenai tawassul/istighotsah serta wejangan para ulama pakar dalam buku
ini, masih ada saja golongan yang mengingkari atau sampai-sampai berani
mensyirikkan orang-orang yang berdo’a pada Allah swt. sambil menyertakan nama
beliau saw. atau para ahli taqwa lainnya didalam do’anya atau bertabarruk pada
mereka ini.
Apakah golongan pengingkar ini
tidak siap untuk mengambil pengajaran dari sebagian Al-Qur’an dan Sunnah karena
berlawanan secara langsung dengan keyakinan literalisme mereka?, sehingga ulama-ulama mereka
berusaha sebisa mungkin menyembunyikan firman Allah dan hadits-hadits
agar orang-orang tetap tidak mengetahui riwayat-riwayat yang telah di kemukakan
tadi. Golongan pengingkar ini juga berusaha meyakinkan dirinya bahwa hanya
Allah sajalah yang bisa diminta secara langsung, dan telah Syirik jika
berkeyakinan bahwa Allah mempunyai beberapa perantara antara Dia dan mahlukNya
!
Kami juga ingin bertanya lagisetelah adanya keterangan riwayat-riwayat dan wejangan para ulama pakar
dibuku ini pada golongan pengingkar tawassul/ tabarruk ini:
‘Apakah Rasulallah saw. dan para
sahabatnya yang menjalankan tawassul dan tabarruk tidak mengerti makna nash
Al-Qur’an yang dijadikan
dalil oleh mereka untuk melarang serta mensyirikkan tawassul, tabarruk yang
tercantum dilembaran buku ini ? Apakah mungkin para ulama pakar
yang sudah dikenal pribadi mereka sendiri mencantumkan riwayat-riwayat yang
berbau kesyirikan, kekufuran, dan penyembahan
kepada hamba Allah swt.? Apakah semua riwayat yang cukup jelas diperbolehkannya
tawassul dan tabarruk itu, bukan dianggap sebagai dalil tawassul/tabarruk, karena
berlawanan dengan pahamnya? Saya berlindung pada Allah dalam hal
ini.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik