Al-Hâfidz
adz-Dzahabi merupakan murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal
Adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, -terutama dalam masalah
akidah-, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta
orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan
mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah pengikut madzhab al-Imâm Abu
al-Hasan al-Asy’ari.
Kondisi
ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya
agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti
dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian
adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn
Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap
penyimpangan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl
al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah
adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
NASEHAT
KEPADA IBNU TAIMIYYAH
Dalam
risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang
diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [1]:
“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah
bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau
menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri
dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini
tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat
kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini
ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan
terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam
membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun.
Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn
Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan
ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir
dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka
membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya,
adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus
terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya
terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana
yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap
kehormatan semacam ini!”.
Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam
risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya
sebagai berikut [2]:
“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah
rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah
imanku di dalam diriku.
Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat
sedih!!
Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang
berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh... Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang
dapat membantuku dalam menangis!!
Oh... Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan
pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan
orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!
Oh... Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal
dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan.
Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya
sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya
seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia
memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai
kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di
dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang
nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji
pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu
sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang
lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian
menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali
dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan
apa yang telah mereka perbuat”.
Benar,
saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata
kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama
sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul
tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi
mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila
kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi
sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak
mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang
sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya
(Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang
adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi
dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai engkau…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus
mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen
dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah
engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam
agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci
perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya
ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan
yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam
lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah
perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika
banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum
al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan
menjadikan hati itu buta.
Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak
makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya
mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah
mereka dengan logika kita??
Hai engkau…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum
filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan
menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah
dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah
karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang
orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut
disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika
orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan,
dilecehkan, dan dilaknat.
Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana
dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan
di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang
“Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan
kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”.
(Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian
dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya
maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak
mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan
kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata);
Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau
ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau
menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang
yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah
mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan
kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah
seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar,
namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal
hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa
yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn
Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang
“terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian
maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak
demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?!
Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli
ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham
apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang
yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!
Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan
syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan
engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang
saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya
membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan
engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak
lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa
banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu
sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji
hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim)
dengan caramu tersebut?!
Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari
keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits
tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau
berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah
sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu
sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau
sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu,
demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat
kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati!
Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan
mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan
besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan
engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap
selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata
kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
Jika
penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat
menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap
dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh,
orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah
orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran
yang tidak berilmu.
Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan,
namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah
telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang
menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang
saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak
bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang
maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali
ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.
Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas
tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para
sahabatnya sekalian.
Catatan Kaki ;
[1].
Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah
al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9.
[2].
Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam
dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11
|
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik