Langsung ke konten utama

DALIL TAHLILAN



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.
Tahlilan, sebagian kaum Muslimin menyebutnya dengan “majelis tahlil”, “selamatan kematian”, “kenduri arwah” dan lain sebagainya. Apapun itu, pada dasarnya tahlilan adalah sebutan untuk sebuah kegiatan dzikir dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Yang mana didalamnya berisi kalimat-kalimat thayyibah,  tahmid, takbir, tasybih hingga shalawat, do’a dan permohonan ampunan untuk orang yang meninggal dunia, pembacaan al-Qur’an untuk yang meninggal dunia dan yang lainnya. Semua ini merupakan amaliyah yang tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam bahkan merupakan amaliyah yang memang dianjurkan untuk memperbanyaknya.
Istilah tahlilan sendiri diambil dari mashdar dari fi’il madzi “Hallalla – Yuhallilu – Tahlilan”, yang bermakna membaca kalimat Laa Ilaaha Ilaallah. Dari sini kemudian kegiatan merahmati mayyit ini di namakan tahlilan karena kalimat thayyibah tersebut banyak dibaca didalamnya dan juga penamaan seperti ini sebagaimana penamaan shalat sunnah tasbih, dimana bacaan tasbih dalam shalat tersebut dibaca dengan jumlah yang banyak (300 kali), sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Namun, masing-masing tempat kadang memiliki sebutan tersendiri yang esensinya sebenarnya sama, sehingga ada yang menyebutnya sebagai “Majelis Tahlil”, “Selamatan Kematian”, “Yasinan” (karena dimulai dengan pembacaaan Yasiin), “Kenduri Arwah”, “Tahlil”, dan lain sebagainya.
Tahlilan sudah ada sejak dahulu, di Indonesia pun atau Nusantara pun tahlilan sudah ada jauh sebelum munculnya aliran yang kontra, yang mana tahlilan di Indonesia di prakarsai oleh para ulama seperti walisongo dan para da’i penyebar Islam lainnya. Tahlilan sebagai warisan walisongo terus di laksanakan oleh masyarakat muslim hingga masa kini bersamaan dengan sikap kontra segelintir kaum muslimin yang memang muncul di era-era dibelakangan. Dalam bahasan ini setidaknya ada beberapa hal pokok dalam tahlilan yang harus dipaparkan sebab kadang sering dipermasalah. Untuk mempermudah memahami masalah ini yakni amaliyah-amaliyah masyru’ yang terdapat dalam tahlilan (kenduri arwah) maka bisa di rincikan sebagai berikut : 
||| DO'A UNTUK ORANG MATI |||
Kaitan dengan do’a, hal ini tidak begitu dipermasalahkan, sebab telah menjadi kepakatan ulama ahlus sunnah wal jama’ah bahwa do’a sampai kepada orang mati dan memberikan manfaat bagi orang mati. Begitu banyak dalil yang menguatkan hal ini. Diantaranya dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’alaa telah berfirman :
والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr 59 ; 10)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’alaa memberitahukan bahwa orang-orang yang datang setelah para sahabat Muhajirin maupun Anshar mendo’akan dan memohonkan ampun untuk saudara-saudaranya yang beriman yang telah (wafat) mendahului mereka sampai hari qiamat. Mereka yang dimaksudkan adalah para tabi’in dimana mereka datang setelah masa para sahabat, mereka berdoa untuk diri mereka sendiri dan untuk saudara mukminnya serta memohon ampun untuk mereka.
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan” (QS. Muhammad 47 : 19)
Ayat ini mengisyaratkan bermanfaatnya do’a atau permohonan ampun oleh yang hidup kepada orang yang meninggal dunia. Serta perintah untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang mukmin.
رب اغفر لي ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا وللمؤمنين والمؤمنات ولا تزد الظالمين إلا تبارا
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan”. (QS. Nuh 71 : 28)
Allah Subhanahu wa Ta’alaa juga berfirman :
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
“dan mendo'alah untuk mereka, sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka” (QS. at-Taubah : 104)
Frasa “shalli ‘alayhim” maksudnya adalah berdolah dan mohon ampulan untuk mereka, ini menunjukkan bahwa do’a bermanfaat kepada orang lain.

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم كلما كان ليلتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج من آخر الليل إلى البقيع فيقول السلام عليكم دار قوم مؤمنين وأتاكم ما توعدون غدا مؤجلون وإنا إن شاء الله بكم لاحقون اللهم اغفر لأهل بقيع الغرقد.
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada malam hari yaitu keluar pada akhir malam ke pekuburan Baqi’, kemudian Rasulullah mengucapkan “Assalamu’alaykum dar qaumin mu’minin wa ataakum ma tu’aduwna ghadan muajjaluwna wa innaa InsyaAllahu bikum laa hiquwn, Allahummaghfir lil-Ahli Baqi al-Gharqad”.
Ini salah satu ayat dan hadits yang menyatakan bahwa mendo’akan orang mati adalah masyru’ (perkara yang disyariatkan), dan menganjurkan kaum muslimin agar mendo’akan saudara muslimnya yang telah meninggal dunia. Banyak-ayat-ayat serupa dan hadits-hadits yang menunjukkan hal itu.
‘Ulama besar madzhab Syafi’iyah yaitu al-Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar menyebutkan :
بابُ ما ينفعُ الميّتَ من قَوْل غيره : أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويَصلُهم‏.‏ واحتجّوا بقول اللّه تعالى‏:‏ ‏{‏وَالَّذِينَ جاؤوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنا اغْفِرْ لَنا ولإِخْوَانِنا الَّذين سَبَقُونا بالإِيمَانِ‏} وغير ذلك من الآيات المشهورة بمعناها، وفي الأحاديث المشهورة كقوله صلى اللّه عليه وسلم‏:‏ ‏"‏اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأهْلِ بَقِيعِ الغَرْقَدِ‏"‏  وكقوله صلى اللّه عليه وسلم‏:‏ ‏"‏اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنا وَمَيِّتِنَا‏"‏ وغير ذلك‏.‏
“Bab perkataan dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi mayyit : ‘Ulama telah ber-ijma’  (bersepakat ) bahwa do’a untuk orang meninggal dunia bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mereka. Dan ‘Ulama’ berhujjah dengan firman Allah  : {“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (59:10)”}, dan ayat-ayat lainnya yang maknanya masyhur, serta dengan hadits-hadits masyhur seperti do’a Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “ya Allah berikanlah ampunan kepada ahli pekuburan Baqi al-Gharqad”, juga do’a : “ya Allah berikanlah Ampunan kepada yang masih hidup dan sudah meninggal diantara kami”, dan hadits- yang lainnya.” 
Didalam Minhajuth Thalibin :
وتنفع الميت صدقة ودعاء من وارث وأجنبي.
“dan memberikan manfaat kepada mayyit berupa shadaqah juga do’a dari ahli waris dan orang lain”
Imam al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafi’i terkait do’a dan shadaqah juga menyatakan sampai.
فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما
Adapun do’a dan shadaqah, maka pada yang demikian ulama telah sepakat atas sampainya pahala keduanya, dan telah ada nas-nas dari syariat atas keduanya”.
Syaikh an-Nawawi al-Bantani (Sayyid ‘Ulama Hijaz) didalam Nihayatuz Zain :
وَالدُّعَاء ينفع الْمَيِّت وَهُوَ عقب الْقِرَاءَة أقرب للإجابة
“dan do’a memberikan manfaat bagi mayyit, sedangkan do’a yang mengiringi pembacaan al-Qur‘an lebih dekat di ijabah”.
Syaikh al-‘Allamah Zainudddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari didalam Fathul Mu’in :
وتنفع ميتا من وارث وغيره صدقة عنه ومنها وقف لمصحف وغيره وبناء مسجد وحفر بئر وغرس شجر منه في حياته أو من غيره عنه بعد موته. ودعاء له إجماعا وصح في الخبر أن الله تعالى يرفع درجة العبد في الجنة باستغفار ولده له وقوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}  عام مخصوص بذلك وقيل منسوخ.
 “dan memberikan manfaat bagi mayyit dari ahli waris atau orang lain berupa shadaqah darinya, diantara contohnya adalah mewaqafkan mushhaf dan yang lainnya, membangun masjid, sumur dan menanam pohon pada masa dia masih hidup atau dari orang lain yang dilakukan untuknya setelah kematiannya, dan do’a juga bermanfaat bagi orag mati berdasarkan ijma’, dan telah shahih khabar bahwa Allah Ta’alaa mengangkat derajat seorang hamba di surga dengan istighafar (permohonan ampun) putranya untuknya [9]. dan tentang firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa} adalah ‘amun makhsush dengan hal itu, bahkan dikatakan mansukh”.
Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi didalam I’anatuth Thalibin :
(قوله: ودعاء) معطوف على صدقة، أي وينفعه أيضا دعاء له من وارث وغيره،
 “Frasa (do’a) ma’thuf atas lafadz shadaqah, yakni do’a juga memberikan manfaat bagi orang mati baik dari ahli waris atau orang lain
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari didalam Fathul Wahab :
" وينفعه " أي الميت من وارث وغيره " صدقة ودعاء " بالإجماع وغيره وأما قوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى}  فعام مخصوص بذلك وقيل منسوخ وكما ينتفع الميت بذلك ينتفع به المتصدق والداعي
“dan memberikan manfaat bagi orang mati baik dari ahli waris atau orang lain berupa shadaqah dan do’a berdasarkan ijma’ dan hujjah lainnnya, adapun firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa} adalah ‘amun makhshush dengan hal itu bahkan dikatakan mansukh, sebagaimana itu bermanfaat bagi mayyit juga bermanfaat bagi person yang bershadaqah dan yang berdo’a”.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj :
(وينفع الميت صدقة) عنه ومنها وقف لمصحف وغيره وحفر بئر وغرس شجر منه في حياته أو من غيره عنه بعد موته (ودعاء) له (من وارث وأجنبي) إجماعا وصح في الخبر: «إن الله تعالى يرفع درجة العبد في الجنة باستغفار ولده له» وهما مخصصان وقيل ناسخان لقوله تعالى {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] إن أريد ظاهره وإلا فقد أكثروا في تأويله، ومنه أنه محمول على الكافر أو أن معناه لا حق له إلا فيما سعى، وأما ما فعل عنه فهو محض فضل لا حق له فيه
“dan memberikan manfaat kepada mayyit berupa shadaqah darinya, seperti mewaqafkan mushhaf dan yang lainnya, menggali sumur dan menanam pohon pada masa hidupnya atau dari orang lain untuknya setelah kematiannya, dan do’a juga bermanfaat bagi orang mati baik berasal dari ahli waris atau orang lain berdasarkan ijma’ dan telah shahih didalam khabar bahwasanya Allah mengangkat derajat seorang hamba didalam surga dengan istighafar anaknya untuknya, keduanya (ijma’ dan khabar) merupakan pengkhusus, bahkan dikatakan sebagai penasikh untuk firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa ma sa’aa} jika menginginkan dhahirnya, namun jika tidak maka kebanyakan ulama menta’wilnya, diantaranya itu dibawa atas pengertian kepada orang kafir atau maknanya tidak ada haq baginya kecuali pada perkara yang diusahakannya”.
Imam Syamsuddin al-Khathib as-Sarbiniy didalam Mughni :
ثم شرع فيما ينفع الميت فقال (وتنفع الميت صدقة) عنه، ووقف، وبناء مسجد، وحفر بئر ونحو ذلك (ودعاء) له (من وارث وأجنبي) كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته
 “kemudian disyariatkan tentang perkara yang bermanfaat bagi mayyit, maka kemudian ia berkata (dan bermanfaat bagi mayyit berupa shadaqah) darinya, waqaf, membangun masjid, menggali sumur dan seumpamanya, (juga bermanfaat berupa do’a) untuknya (baik dari ahli waris atau orang lain) sebagaimana bermanfaatnya perkara yang ia kerjakan pada masa hidupnya”.
Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri al-Ghamrawi didalam As-Siraajul Wahaj :
وتنفع الميت صدقة عنه ووقف مثلا ودعاء من وارث وأجنبي كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته ولا ينفعه غير ذلك من صلاة وقراءة ولكن المتأخرون على نفع قراءة القرآن وينبغي أن يقول اللهم أوصل ثواب ما قرأناه لفلان بل هذا لا يختص بالقراءة فكل أعمال الخير يجوز أن يسأل الله أن يجعل مثل ثوابها للميت فان المتصدق عن الميت لا ينقص من أجره شيء
 “dan shadaqah darinya bisa memberikan manfaat bagi mayyit seumpama mewaqafkan sesuatu, juga do’a dari ahli waris atau orang lain sebagaimana bermanfaatnya sesuatu yang itu ia lakukan pada masa hidupnya dan tidak memberikan manfaat berupa shalat dan pembacaan al-Qur’an akan tetapi ulama mutaakhirin berpendapat atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, dan sepatutrnya mengucapakan : “ya Allah sampaikan apa apa yang kami baca untuk fulan”, bahkan ini tidak khusus untuk qira’ah saja tetapi juga seluruh amal kebaikan boleh untuk memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, sungguh orang yang bershadaqah untuk mayyit tidak mengurangi pahalanya dirinya”.
Al-‘Allamah Syaikh Sulaiman al-Jamal didalam Futuhat al-Wahab :
قوله: وينفعه صدقة) ومنها وقف لمصحف وغيره وحفر بئر وغرس شجرة منه في حياته، أو من غيره عنه بعد موته ودعاء له من وارث وأجنبي إجماعا
 “(frasa bermanfaatnya shadaqah) diantaranya yakni waqaf untuk mushhaf dan yang lainnya, menggali sumur dan menanam pohon darinya pada masa hidupnya atau dari orang lain untuknya setelah kematiannya, dan do’a untuknya dari ahli waris dan orang lain berdasarkan ijma’”.
Masih banyak lagi pertanyaan ulama-ulama Syafi’iyah yang termaktub didalam kitab-kitab mereka. Oeh karena itu dapat disimpulkan bahwa do’a jelas sampai dan memberikan kepada orang mati dan ulama telah berijma’ tentang ini. Artinya dari sini, mayyit bisa memperoleh manfaat dari amal orang lain berupa do’a. Ini adalah amal baik dan penuh kasih sayang terhadap saudara muslimnya yang telah meninggal dunia, dan telah menjadi kebiasaan kaum muslimin terutama yang bermandzhab syafi’i baik di Indonesia yang lainnya, yang dikemas dalam kegiatan tahlilan.
 ||| SHADAQAH UNTUK MAYYIT |||
Telah diketahui sebelumnya pada kutipan-kutipan diatas bahwa pahala shadaqah juga sampai kepada orang mati sebagaimana do’a, dan memberikan manfaat bagi orang mati. Sebagai tanbahan dari pernyataan sebelumnya maka berikut diantara hadits dan juga pendapat ‘ulama Syafi’iyah lainnya tentang bermanfaatnya shadaqah untuk orang mati. Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan :
أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
“Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, kemudian ia berkata ; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia (mendadak) namun ia belum sempat berwasiat, dan aku menduga seandainya sempat berkata-kata ia akan bershadaqah, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bershadaqah atas beliau ?, Nabi kemudian menjawab ; “Iya (maka bershadaqahlah, riwayat lain)”.
Ketika mengomentari hadits ini, Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan :
وفي هذا الحديث : أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها ، وهو كذلك بإجماع العلماء ، وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ، ويصح الحج عن الميت إذا كان حج الإسلام ، وكذا إذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا ، واختلف العلماء في الصواب إذا مات وعليه صوم ، فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه
 “Pengertian dalam hadits ini adalah bahwa shadaqah dari mayyit bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mayyit, dan hal itu dengan ijma’ ulama, sebagaimana juga ulama ber-ijma’ atas sampainya pahala do’a dan membayar hutang berdasarkan nas-nas yang telah warid didalam keseluruhannya, dan juga sah berhaji atas mayyit apabila haji Islam, dan seperti itu juga ketika berwasiat haji sunnah berdasarkan pendapat yang ashah (lebih sah), dan Ulama berikhtilaf tentang pahala orang yang meninggal dunia namun memiliki tanggungan puasa, pendapat yang rajih (lebih unggul) memperbolehkannya (berpuasa atas namanya) berdasarkan hadits-hadits shahih tentang hal itu”.

وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردي البصري الفقيه الشافعي في كتابه الحاوي عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة وإجماع الأمة فلا التفات إليه ولا تعريج عليه
“Adapun mengenai yang dikisahkan oleh Qadli dari pada qadli Abul Hasan al-Mawardi al-Bashriy al-Faqih asy-Syafi’i didalam kitabnya (al-Hawiy) tentang sebagian ahli bicara yang menyatakan bahwa mayyit tidak bisa menerima pahala setelah kematiannya, itu adalah pendapat yang bathil secara qath’i dan kekeliruan diantara mereka berdasarkan nas-nas al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan (ijma’) umat Islam, maka tidak ada toleransi bagi mereka dan tidak perlu di hiraukan.
Banyak penjelasan kitab-kitab syafi’iyah yang senada dengan hal diatas. Hal yang juga perlu di garis bawahi disini adalah bahwa seseorang bisa memperolah manfaat dari amal orang lain.
||| QIRA'ATUL QUR'AN UNTUK ORANG MATI |||
Dalam membahas masalah ini, memang ada perselisihan dalam madzhab Syafi’i yang mana ada dua qaul (pendapat) yang seolah-olah bertentangan, namun kalau dirincikan maka akan nampak tidak ada bedanya. Sedangkan Imam Tiga (Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal) berpendapat bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada orang mati. Apa yang telah dituturkan oleh para Imam syafi’iyah yakni berupa petunjuk-petunjuk atau aturan dalam permasalahan ini telah benar-benar diamalkan dengan baik dalam kegiatan tahlilan.
Perlu diketahui, bahwa seandainya pun ada perselisihan dikalangan syafi’iyah dalam masalah seperti ini, maka itu hanyalah hal biasa yang sering terjadi ketika mengistinbath sebuah hukum diantara para mujtahid dan bukanlah sarana untuk berpecah belah sesama kaum Muslimin, dan tidak pula pengikut syafi’iyah berpecah belah hanya karena hal itu, tidak ada kamus yang demikian sekalipun ‘ulama berbeda pendapat, semua harus disikapi dengan bijak. Akan tetapi, sebagian pengingkar tahlilan selalu menggembar-gemborkan adanya perselisihan ini (masalah furu’), mereka mempermasalahkan yang tidak terlalu dipermasalahkan oleh syafi’iyah dan mereka mencoba memecah belah persatuan umat Islam terutama Syafi’iyah, dan ini tindakan yang terlarang (haram) dalam syariat Islam. Mereka juga telah menebar permusuhan dan melemparkan banyak tuduhan-tuduhan bathil terhadap sesama muslim, seolah-olah itu telah menjadi “amal dan dzikir” mereka sehari-hari, tiada hari tanpa menyakiti umat Islam. Na’udzubillah min dzalik. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sangat benci terhadap mereka yang suka menyakiti sesama muslimin. Berikut diantara qaul-qaul didalam madzhab Syafi’iyah yang sering dipermasalahkan : Imam an-Nawawi menyebut didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها ، وقال جماعة من أصحابنا : يصله ثوابها ، وبه قال أحمد بن حنبل
“Dan yang masyhur didalam madzhab kami (syafi’iyah) bahwa bacaan al-Qur’an pahalanya tidak sampai kepada mayyit, sedangkan jama’ah dari ulama kami (Syafi’iyah) mengatakan pahalanya sampai, dengan ini Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat”.
Dihalaman lainnya beliau juga menyebutkan :
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها إلى الميت وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إلى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن بن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار إلى اختيار هذا، وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع
“Adapun pembacaan al-Qur’an, yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i pahalanya tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashabusy syafi’i (‘ulama syafi’iyah) mengatakan pahalanya sampai kepada mayyit, dan pendapat kelompok-kelompok ulama juga mengatakan sampainya pahala seluruh ibadah seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan selain yang demikian, didalam kitab Shahih al-Bukhari pada bab orang yang meninggal yang memiliki tanggungan nadzar, sesungguhnya Ibnu ‘Umar memerintahkan kepada seseorang yang ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan shalat supaya melakukan shalat atas ibunya, dan diceritakan oleh pengarang kitab al-Hawi dari ‘Atha’ bin Abu Ribah dan Ishaq bin Ruwaihah bahwa keduanya mengatakan kebolehan shalat dari mayyit (pahalanya untuk mayyit). Asy-Syaikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad Hibbatullah bin Abu ‘Ishrun dari kalangan syafi’iyyah mutaakhhirin (pada masa Imam an-Nawawi) didalam kitabnya al-Intishar ilaa ikhtiyar adalah seperti pembahasan ini. Imam al-Mufassir Muhammad al-Baghawiy dari anshabus syafi’i didalam kitab at-Tahdzib berkata ;  tidak jauh (tidaklah melenceng) agar memberikan makanan dari setiap shalat sebanyak satu mud, dan setiap hal ini izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah qiyas atas do’a, shadaqah dan haji, sesungguhnya itu sampai berdasarkan ijma’.”
Juga dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab :
واختلف العلماء في وصول ثواب قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل. وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل، والمختار أن يقول بعد القراءة: اللهم أوصل ثواب ما قرأته، والله أعلم اه
“’Ulama’ berikhtilaf (berselisih pendapat) terkait sampainya pahala bacaan al-Qur’an, maka yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i dan sekelompok ulama syafi’i berpendapat tidak sampai, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, sekelompok ‘ulama serta sebagian sahabat sy-Syafi’i berpendapat sampai. Dan yang dipilih agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.
Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni :
تنبيه: كلام المصنف قد يفهم أنه لا ينفعه ثواب غير ذلك كالصلاة عنه قضاء أو غيرها، وقراءة القرآن، وها هو المشهور عندنا، ونقله المصنف في شرح مسلم والفتاوى عن الشافعي - رضي الله عنه - والأكثرين، واستثنى صاحب التلخيص من الصلاة ركعتي الطواف
“Tahbihun : perkataan mushannif sungguh telah dipahami bahwa tidak bermanfaat pahala selain itu (shadaqah) seperti shalat yang di qadha’ untuknya atau yang lainnya, pembacaan al-Qur’an, dan yang demikian itu adalah qaul masyhur disisi kami (syafi’iyah), mushannif telah menuqilnya didalam Syarhu Muslim dan al-Fatawa dari Imam asy-Syafi’i –radliyallahu ‘anh- dan kebanyak ulama, pengecualian shahiu Talkhis seperti shalat ketika thawaf ”.
Imam al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafi’i didalam penjelasan tafsir QS. An-Najm ayat 39 juga menyebutkan pendapat Imam asy-Syafi’i :
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛
“Dan dari ayat ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah beristinbath (melakukan penggalian hukum), demikian juga orang yang mengikutinya bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai menghadiahkan pahalanya kepada mayyit”.
Dari beberapa kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Madzhab Syafi’i ada dua pendapat yang seolah-olah berseberangan, yakni ;
Pendapat yang menyatakan pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai, ini pendapat Imam asy-Syafi’i, sebagian pengikutnya ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ‘ulama lainnya) sebagai pendapat masyhur (qaul masyhur).
Pendapat yang menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an, ini pendapat ba’dlu ashhabis Syafi’i (sebagian ‘ulama Syafi’iyah) ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ulama lainnya) sebagai pendapat/qaul mukhtar (pendapat yang dipilih/ dipegang sebagai fatwa Madzhab dan lebih kuat), pendapat ini juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam lainnya.
 ||| PERMASALAHAN QAUL MASYHUR DALAM MADZHAB IMAM ASY-SYAFI'I |||
Pernyataan qaul masyhur bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada orang mati adalah tidak mutlak, itu karena ada qaul lain dari Imam asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan sebaliknya. Yakni berhubungan dengan kondisi dan hal-hal tertentu, seperti perkataan beliau Imam Syafi’i :
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
“asy-Syafi’i berkata : aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit”
Juga disebutkan oleh al-Imam al-Mawardi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibnu ‘Allan dan yang lainnya dalam kitab masing-masing yang redaksinya sebagai berikut :
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسناً
“Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’a disisi quburnya maka itu bagus”
Kemudian hal ini dijelaskan oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”.
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa:
وكلام الشافعي - رضي الله عنه - هذا تأييد للمتأخرين في حملهم مشهور المذهب على ما إذا لم يكن بحضرة الميت أو لم يدع عقبه
“dan perkataan Imam asy-Syafi’i ini (bacaan al-Qur’an disamping mayyit/kuburan) memperkuat pernyataan ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam membawa pendapat masyhur diatas pengertian apabila tidak dihadapan mayyit atau apabila tidak mengiringinya dengan do’a”.
Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit”.
Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-Jumal didalam Futuuhat al-Wahab (Hasyiyatul Jumal) mengatakan pula sebagai berikut :
والتحقيق أن القراءة تنفع الميت بشرط واحد من ثلاثة أمور إما حضوره عنده أو قصده له، ولو مع بعد أو دعاؤه له، ولو مع بعد أيضا اه
“dan tahqiq bahwa bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga. Intahaa”.
فرع : ثواب القراءة للقارئ ويحصل مثله أيضا للميت لكن إن كانت بحضرته، أو بنيته أو يجعل ثوابها له بعد فراغها على المعتمد في ذلك .... (قوله: أما القراءة إلخ) قال م ر: ويصل ثواب القراءة إذا وجد واحد من ثلاثة أمور؛ القراءة عند قبره والدعاء له عقبها ونيته حصول الثواب له
“(Cabang) pahala bacaan al-Qur’an adalah bagi si pembaca dan pahalanya itu juga bisa sampai kepada mayyit apabila dibaca dihadapan orang mati, atau meniatkannya, atau menjadikan pahalanya untuk orang mati setelah selesai membaca menurut pendapat yang kuat (muktamad) tentang hal itu,.... Frasa (adapun pembacaan al-Qur’an –sampai akhir-), Imam Ramli berkata :  pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit apabila telah ada salah satu dari 3 hal : membaca disamping quburnya, mendo’akan untuknya mengiringi pembacaan al-Qur’an dan meniatkan pahalanya sampai kepada orang mati.”
Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah:
 فالاختيار أن يقول القارئ بعد فراغه: اللهمّ أوصلْ ثوابَ ما قرأته إلى فلانٍ؛ والله أعلم
“Dan yang dipilih (qaul mukhtar) agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.
والمختار الوصول إذا سأل الله أيصال ثواب قراءته، وينبغى الجزم به لانه دعاء، فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعى، فلان يجوز بما هو له أولى، ويبقى الامر فيه موقوفا على استجابة الدعاء، وهذا المعنى لا يخص بالقراء بل يجرى في سائر الاعمال، والظاهر أن الدعاء متفق عليه انه ينفع الميت والحى القريب والبعيد بوصية وغيرها
“dan pendapat yang dipilih (qaul mukhtar) adalah sampai, apabila memohon kepada Allah menyampaikan pahala bacaannya, dan selayaknya melanggengkan dengan hal ini karena sesungguhnya ini do’a, sebab apabila boleh berdo’a untuk orang mati dengan perkara yang bukan bagi yang berdo’a, maka kebolehan dengan hal itu bagi mayyit lebih utama,  dan makna pengertian semacam ini tidak hanya khusus pada pembacaan al-Qur’an saja saja, bahkan juga pada seluruh amal-amal lainnya, dan faktanya do’a, ulama telah sepakat bahwa itu bermanfaat bagi orang mati maupun orang hidup, baik dekat maupun jauh, baik dengan wasiat atau tanpa wasiat”.
Al-Imam al-Bujairami didalam Tuhfatul Habib :
قوله: (لأن الدعاء ينفع الميت) والحاصل أنه إذا نوى ثواب قراءة له أو دعا عقبها بحصول ثوابها له أو قرأ عند قبره حصل له مثل ثواب قراءته وحصل للقارئ أيضا الثواب
“Frasa : (karena sesungguhnya do’a bermanfaat bagi mayyit), walhasil sesungguhnya apabila pahala bacaan al-Qur’an diniatkan untuk mayyit atau di do’akan menyampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit mengiringi bacaan al-Qur’an atau membaca al-Qur’an disamping qubur niscaya sampai pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit dan bagi si qari (pembaca) juga mendapatkan pahala”.
Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri didalam As-Siraaj :
وتنفع الميت صدقة عنه ووقف مثلا ودعاء من وارث وأجنبي كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته ولا ينفعه غير ذلك من صلاة وقراءة ولكن المتأخرون على نفع قراءة القرآن وينبغي أن يقول اللهم أوصل ثواب ما قرأناه لفلان بل هذا لا يختص بالقراءة فكل أعمال الخير يجوز أن يسأل الله أن يجعل مثل ثوابها للميت فان المتصدق عن الميت لا ينقص من أجره شيء
 “Bermanfaat bagi mayyit yakni shadaqah mengatas namakan mayyit, misalnya waqaf, dan (juga bermanfaat bagi mayyit yakni) do’a dari ahli warisnya dan orang lain, sebagaimana bermanfaatnya perkara yang dikerjakannya pada masa hidupnya, namun yang lainnya tidak memberikan manfaat seperti shalat dan membaca al-Qur’an, akan tetapi ulama mutakhkhirin menetapkan atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, oleh karena itu sepatutnya berdo’a : “ya Allah sampaikanlah pahala apa yang telah kami baca kepada Fulan”, bahkan hal semacam ini tidak hanya khusus pembacaan al-Qur’an saja tetapi seluruh amal-amal kebajikan lainnya juga boleh dengan cara memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, dan sesuangguhnya orang yang bershadaqah mengatas namakan mayyit pahalanya tidak dikurangi”. .
Dari beberapa keterangan ulama-ulama Syafi’iyah diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaul masyhur pun sebenarnya menyatakan sampai apabila al-Qur’an dibaca hadapan mayyit termasuk membaca disamping qubur, juga sampai apabila meniatkan pahalanya untuk orang mati yakni pahalanya ditujukan untuk orang mati, dan juga sampai apabila mendo’akan bacaan al-Qur’an yang telah dibaca agar disampaikan kepada orang yang mati.
 ||| HILANGNYA PERSELISIHAN DAN PENERAPAN DALAM TAHLILAN |||
Setelah memahami maksud dari qaul masyhur maka marilah ketahui tentang keluasan ilmu dan kebijaksaan ‘ulama yang telah merangkai tahlilan. Yakni bahwa didalam tahlilan sudah tidak ada lagi perselisihan mengenai membaca al-Qur’an untuk orang mati. Sebab semua dzikir yang dibaca, shalawat hingga pembacaan al-Qur’an dalam rangkaian tahlilan ; seluruhnya diniatkan untuk orang yang meninggal dunia yakni pada permulaan tahlilan. Sedangkan diakhir rangkaian tahlilan adalah ditutup dengan do’a yang berisi pemohonan ampun untuk yang meninggal, doa-doa yang lainnya serta do’a agar pahala bacaannya disampaikan kepada mayyit, sedangkan do’a sendiri memberikan bermanfaat bagi mayyit. Jika sudah seperti ini, tidak ada khilaf (perselisihan) lagi. Sungguh sangat bijaksana.
Lebih jauh lagi, ulama bahkan mengatakan membacakan al-Qur’an kepada orang mati telah menjadi Ijma’ sebab tidak ada yang mengingkarinya. Sebagaimana yang disebutkan oleh al-Imam al-Hafidz Jalalauddin As-Suyuthi didalam Syarh Ash-Shuduur :
إختلف في وصول ثواب القراءة للميت فجمهور السلف والأئمة الثلاثة على الوصول وخالف في ذلك إمامنا الشافعي مستدلا بقوله تعالى {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} وأجاب الأولون عن الآية بأوجه. أحدها أنها منسوخة بقوله تعالى {والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم} الآية أدخل الأبناء الجنة بصلاح الآباء. الثاني أنها خاصة بقوم إبراهيم وقوم موسى عليه السلام فأما هذه الأمة فلها ما سعت وما سعي لها قال عكرمة . الثالث أن المراد بالإنسان هنا الكافر فأما المؤمن فله ما سعى وما سعي له قاله الربيع بن أنس الرابع ليس للإنسان إلا ما سعى من طريق العدل فأما من باب الفضل فجائز أن يزيده الله تعالى ما شاء قاله الحسين بن الفضل. الخامس أن اللام في {للإنسان} بمعنى على أي ليس على الإنسان إلا ما سعى. واستدلوا على الوصول بالقياس على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة وبالأحاديث الآتي ذكرها وهي وإن كانت ضعيفة فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير فكان ذلك إجماعا ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. قال القرطبي وقد كان الشيخ عز الدين بن عبد السلام يفتي بأنه لا يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ له فلما توفي رآه بعض أصحابه فقال له إنك كنت تقول إنه لا يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ ويهدى إليه فكيف الأمر قال له كنت أقول ذلك في دار الدنيا والآن فقد رجعت عنه لما رأيت من كرم الله في ذلك وأنه يصل إليه ثواب ذلك وأما القراءة على القبر فجزم بمشروعيتها أصحابنا وغيرهم وقال الزعفراني سألت الشافعي رحمه الله عن القراءة عند القبر فقال لا بأس به وقال النووي رحمه الله في شرح المهذب يستحب لزائر القبور أن يقرأ ما تيسر من القرآن ويدعو لهم عقبها نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب وزاد في موضع آخر وإن ختموا القرآن على القبر كان أفضل وكان الإمام أحمد بن حنبل ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع حين بلغه ومن الوارد في ذلك ما تقدم في باب ما يقال عند الدفن من حديث إبن العلاء بن اللجلاج مرفوعا كلاهما
“Ulama berselisih tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an untuk orang mati. Pendapat jumhur Salafush shaleh dan Imam tiga (Abu Hanifah, Malik, Ahmad) menyatakan sampai, sedangkan Imam kami yakni Imam Syafi’i menyelisihi yang demikian, beliau beristidlal dengan firman Allah Ta’alaa : 
وَأَن لَيْسَ للْإنْسَان إِلَّا مَا سعى
“dan tiada bagi manusia kecuali apa yang di usahakan” (QS. an-Najm : 39)
Aku mengawali jawaban tentang ayat ini dengan berbagai sudut pandangan jawaban : Pertama, ayat tersebut manshukh (hukumnya dihapus) dengan firman Allah Ta’alaa :
وَالَّذين آمنُوا وَاتَّبَعتهمْ ذُرِّيتهمْ
“dan orang-orang yang beriman, kami hubungkan mereka dengan keturunan-keturunan mereka”
Berdasarkan ayat tersebut, anak-anak masuk surga karena keshalihan (kebajikan) ayah-ayahnya.
Kedua, ayat tersebut hanya khusus qaum Nabi Ibrahim ‘alayhis salaam dan Nabi Musaa ‘alayhis salaam, adapun umat ini maka baginya apa yang diusahakan dan apa yang diusahakan (orang lain) untuknya. ‘Ikrimah telah menuturkan hal ini.
Ketiga, bahwa yang dimaksud dengan manusia (al-Insaan) pada ayat tersebut dalah orang kafir, (maksudnya adalah “tiada bagi orang kafir, kecuali apa yag diusahakan”, ket), sedangkan orang-orang beriman, maka baginya apa yang diusahakannya dan apa yang diusahakan orang lain untuknya. Ini qaul Ar-Rabi’ bin Anas.
Keempat, tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan seperti dari segi keadilan, adapun terkait keutamaan (fadlilah) maka jaiz bagi Allah Ta’alaa menambahkan apa yang dikehendaki. Ini qaul al-Husain bin al-Fadll.
Kelima, huruf Lam (ل) pada ladzhaf {lil-Insaan} bermakna ‘alaa (على) maksudnya tiada atas manusia kecuali apa yang diusahakan.
Dan para ulama beristidllal atas sampainya (bacaan al-Qur’an) dengan Qiyas terhadap perkara sebelumnya seperti do’a, shadaqah, puasa, haji dan membebaskan budak, maka tidak ada perbedaan terkait perpindahan pahala antara haji, shadaqah, waqaf, do’a dan membaca al-Qur’an, dan berdasarkan hadits-hadits sebelumnya  yang telah disebutkan, dimana jikalau kedudukan haditsnya memang dlaif, namun pengumpulannya (banyak dihimpunnya hadits tersebut) itu menunjukkan bahwa yang demikian merupakan pokok (al-Ashl) dan bahwa kaum Muslimin tidak pernah meninggalkan amalan tersebut disepanjang masa , mereka berkumpul, mereka membaca al-Qur’an untuk orang-orang mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkari, maka jadilah itu sebagai Ijma’, semua itu telah dituturkan oleh al-Hafidz Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali pada sebagian dari beberapa masalah.”
Imam al-Qurthubi berkata : Syaikh ‘Izzuddin bin Abdis Salam berfatwa bahwa bacaan al-Qur’an untuk mayyit tidak sampai kepada mayyit, maka tatkala beliau wafat, sebagian shahabat-shahabatnya (bermimpi) melihatnya, kemudian berkata : “sesungguhnya engkau pernah mengatakan bahwa pahala apa yang dibaca (bacaan al-Qur’an) tidak sampai kepada mayyit walaupun menghadiahkannya, bagaimanakah masalah tersebut ?” kemudian ia menjawab : aku memang mengatakan demikian ketika  di dunia, dan sekarang sungguh aku telah ruju’ darinya tatkala aku melihat karamah Allah tentang hal tersebut, dan sesungguhnya yang demikian itu sampai kepada mayyit.
Adapun membaca al-Qur’an di atas qubur. Ashhabunaa (ulama-ulama syafi’iyah kami) serta yang lainnya telah menetapkan disyariatkannya hal tersebut.
Imam Az-Za’farani berkata : aku pernah bertanya kepada Imam asy-Syafi’i rahimahullah tentang pembacaan al-Qur’an diatas qubur, lalu beliau menjawab : “tidak apa-apa dengan yang demikian”.
al-Imam an-Nawawi rahimahullah didalam Syarhul Muhadzdzab berkata : disunnahkan bagi peziarah qubur agar membaca apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an dan berdo’a untuk mereka mengiringi bacaan al-Qur’an, nas atasnya oleh asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i telah menyepakatinya, dan ditempat lain ditambahkan yakni jika mereka mengkhatamkan al-Qur’an diatas qubur maka itu lebih afdlal (utama).
al-Imam Ahmad bin Hanbal awalnya mengingkari yang demikian (membaca al-Qur’an diatas qubur) ketika belum sampai atsar terkait hal itu kepada beliau, namun kemudian beliau ruju’ ketika atsar terkait hal tersebut sampai kepadanya, dan diantara yang warid tentang yang demikian yakni apa yang telah berlalu pada sebuah Bab Maa Yuqaal ‘Inda ad-Dafni dari hadits Ibnu al-‘Alaa’ bin al-Lajlaj secara marfu’ pada kalam keduanya.”
||| JAMUAN MAKAN PARA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL |||
Dalam kegiatan tahlilan, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah baik ala kadarnya (makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan makan. Namun, ada juga yang hanya berupa minuman saja. Apapun itu tidak menjadi masalah dalam tahlilan. Sebab itu bukan tujuan dari tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi tersendiri seperti dalam rangka menghormati tamu atau bermaksud untuk bershadaqah yang pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Ada hal yang sering di permasalahkan oleh para pengingkar terkait yang ada di dalam kegiatan tahlilan. Mereka mencari-cari “dalih” dalam kitab-kitab para imam untuk mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada yang mengharamkannya.
Pada dasarnya bahasan ini bukan mengenai tahlilan secara keseluruhan, akan tetapi mengenai jamuan makan dari keluarga almarhum dan berkumpulnya manusia padanya setelah kematian. Jamuan makan adalah satu hal, dan tahlilan juga satu hal. Namun, karena jamuan makan juga ada pada kegiatan tahlilan maka pembahasannya pun terkait dengan tahlilan. Walaupun demikian, tidak bisa dikatakan jamuan makan adalah tahlilan atau tahlilan adalah jamuan makan, sebab memang bukan seperti itu. Orang yang melarang tahlilan dengan alasan adanya jamuan makan sebagaimana disebarkan oleh mereka yang benci tahlilan maka itu benar-benar telah keliru dan tidak merinci sebuah permasalahan dengan tepat.
Tahlilan hukumnya boleh, sedangkan unsur-unsur dalam tahlilan merupakan amaliyah-amaliyah masyru’ seperti berdo’a, membaca dzikir baik tasybih, tahmid, takbir, tahlil hingga shalawat, dan juga membaca al-Qur’an yang pahalanya untuk mayyit. Disamping itu juga terkait dengan hubungan sosial masyarakat yang dianjurkan dalam Islam yakni shilaturahim.
Adapun jamuan makan dalam kegiatan tahlilan (kenduri arwah) jika bukan karena tujuan untuk kebiasaan (menjalankan adat) dan tidak memaksakan diri jikalau tidak mampu serta bukan dengan harta yang terlarang. Maka, membuat dengan niat tarahhum (merahmati) mayyit dengan hati yang ikhlas serta dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada mayyit (orang mati) maka itu mustahab (sunnah). Itu merupakan amalan yang baik karena tujuannya adalah demikian. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
إنما الأعمال بالنيات
 “Sesungguh sesuatu perbuatan tergantung dengan niat”
Juga sebuah qaidah menyatakan : 
الأمور بمقاصدها
 “Suatu perkara tergantung pada tujuannya”.
Serta, orang yang melakukannya dengan tujuan (niat) tersebut akan mendapatkan pahala, sebab telah shahih hadits dari Ibnu ‘Umar radliyallah ‘anh :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
 “Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelakan yang demikian, maka barangsiapa yang berkeinginan melakukan kebaikan namun tidak sampai melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, maka jika ia berkeinginan dengannya kemudian melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya sepuluh macam kebaikan sampai 700 kali lipat kemudian hingga berlipat-lipat yang banyak ; barangsiapa yang berkeinginan melakukan keburukan namun ia tidak mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, namun jika ia mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya satu macam keburukan”.
Dan juga telah tsabit didalam shahih al-Bakhari dari Abdullah bin ‘Umar bin al-‘Ash, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :
 أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
 “Ya Rasulullah apakah amal yang baik dalam Islam ? Nabi menjawab : “memberikan makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal dan tidak dikenal”
Lafadz “ith’am” pada hadits meliputi makan, minum, jamuan juga shadaqah dan yang lainnya, sebab lafadz tersebut umum. Dalam sebuah hadits dari Thawus radliyallahu ‘anh menyebutkan :
 ان الموت يفتنون فى قبورهم سبعا . فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka menganjurkan untuk memberi jamuan makan yang pahalanya untuk mayyit selama masa 7 hari tersebut”.
Imam al-Hafidz As-Suyuthi mengatakan bahwa lafadz “kanuu yustahibbuna”, memiliki makna kaum Muslimin (sahabat) yang hidup pada masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa salllam , sedangkan Nabi mengetahuinya dan taqrir atas hal itu. Namun, dikatakan juga sebatas berhenti pada pada sahabat saja dan tidak sampai pada Rasulullah.
Berdasarkan hal diatas, maka memberikan makanan yang pahalanya untuk orang mati merupakan amalan yang memang dianjurkan. Adapun melakukannya setelah kematian juga tidak masalah selama diniatkan untuk menshadaqahkan dalam rangka merahmati mayyit.
 ||| PENJELASAN TERKAIT HADITS KELUARGA JA'FAR |||
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
 اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
 “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah didalam al-Umm beristidlal dengan hadits diatas terkait anjuran memberi makan untuk keluarga almarhum :
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت، وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة، وذكر كريم، وهو من فعل أهل الخير قبلنا، وبعدنا لأنه لما «جاء نعي جعفر قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - اجعلوا لآل جعفر طعاما فإنه قد جاءهم أمر يشغلهم
 “Aku mengajurkan bagi tetangga almarhum atau kerabat-kerabatnya agar membuatkan makanan pada hari kematian dan malamnya, sebab itu merupakan sunnah, dzikr yang mulya dan termasuk perbuatan ahlul khair sebelum kita serta sesudah kita”.
Demikian juga dengan Imam Asy-Syairazi didalam al-Muhadzdzab :
فصل: ويستحب لأقرباء الميت وجيرانه أن يصلحوا لأهل الميت طعاماً لما روي أنه لما قتل جعفر بن أبي طالب كرم الله وجهه
 “sebuah fashal, yakni disunnahkan bagi kerabat-kerabat almarhum dan tetangganya agar mengurusi keperluan makan untuk keluarga almarhum berdasarkan riwayat tentang wafatnya Ja’far bin Abi Thalib”.
Berdasarkan hadits itu pula al-Imam an-Nawawi mengatakan :
ويستحب لا قرباء الميت وجيرانه أن يصلحوا لأهل الميت طعاما لما روى أنه لما قتل جعفر ابن أبي طالب رضي الله عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم  اصنعوا لآل جعفر طعاما فانه قد جاء هم أمر يشغلهم عنه
“disunnahkan bagi kerabat-kerabat mayyit dan tetangganya supaya mereka mengurusi keperluan makan keluarga mayyit, berdasarkan riwayat bahwa tatkala Ja’far bin Abi Thalib terbunuh, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”.
Al-Imam al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni al-Muhtaj :
(و) يسن (لجيران أهله) ولأقاربه الأباعد وإن كان الأهل بغير بلد الميت (تهيئة طعام يشبعهم) أي أهله الأقارب (يومهم وليلتهم) لقوله - صلى الله عليه وسلم - «لما جاء خبر قتل جعفر: اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم» حسنه الترمذي وصححه الحاكم
“dan disunnahkan tetangga keluarga mayyit dan kerabat-kerabatnya yang jauh, walaupun berada didaerah negeri lainnya agar menyiapkan makanan yang mengenyangkan mereka pada siang dan malamnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “ketika datang berita terbunuhnya Ja’far ; “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”, a-Turmidzi menghasankannya dan al-Hakim menshahihkannya.”
|||  HARAMNYA NIYAHAH (MERATAP) DAN PENGERTIAN NIYAHAH |||
 
أجمعت الأمّةُ على تحريم النياحة، والدعاء بدعوى الجاهلية، والدعاء بالويل والثبور عند المصيبة‏‏
“Umat bersepakat atas haramnya niyahah, dan berdo’a dengan seruan orang jahiliyah serta do’a dengan kejelekan dan keburukan ketika terjadi mushibah”.
Imam al-‘Imraniy didalam al-Bayan mengatakan :
ويحرم النوح على الميت، وشق الجيوب، ونشر الشعور، وخمش الوجوه
“dan haram meratap atas orang mati, merobek-robek saku baju, menjambak-jambak rambut dan mencoreng-coreng wajah”.
al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz :
وكذا النياحة والجزع بضرب الخد وشق الثوب ونشر الشعر كل ذلك حرام
“demikian juga niyahah (meratap), mengeluh dengan memukul pipi, menyobek pakaian dan menjambak-jambak (mengacak-acak) rambut, semuaa itu haram”.
Adapun pengertian niyahah sendiri, sebagaimana yang Imam Nawawi sebutkan adalah :
واعلم أن النياحة‏ :‏ رفع الصوت بالندب، والندب‏:‏ تعديد النادبة بصوتها محاسن الميت، وقيل‏:‏ هو البكاء عليه مع تعديد محاسنه‏.‏ قال أصحابنا‏:‏ ويحرم رفع الصوت بإفراط في البكاء‏.‏ وأما البكاء على الميت من غير ندب ولا نياحة فليس بحرام
“Ketahuilah, sesungguhnya niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, adapun an-Nadb  sendiri adalah mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau menyebut berulang-ulang) tentang kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang mengatakan) bahwa niyahah adalah menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit”. Ashhab kami (ulama syafi’iyah kami) mengatakan : “haram menyaringkan suara dengan berlebih-lebihan dalam menangis”. Adapun menangisi mayyit tanpa menyebut-menyebut dan tanpa meratapinya maka itu tidak haram”.
والنياحة رفع الصوت بالندب قال الشافعي والأصحاب البكاء على الميت جائز قبل الموت وبعده ولكن قبله أولى
“Niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, al-Imam Asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i (ulama syafi’iyah) mengatakan, menangisi orang mati boleh baik sebelum mati atau setelah mati, akan tetapi menangisi sebelum mati itu lebih utama”.
Oleh karena itu, penetapan hukum bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh) karena bisa menjadi sebab adanya niyahah atau bisa membawa pada niyahah. Jika mengikuti kaidah ushul, inilah yang menjadi illat dihukuminya makruh (bid’ah makruhah). Namun, jika illatnya tidak ada maka hukumnya juga berubah. Maka pertanyaannya sekarang adalah : apakah tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan digagas oleh ulama besar seperti para wali Allah (wali songo) bersifat seperti itu ? Apakah tahlilan (kenduri arwah) mengarah pada niyahah atau menjadi sebab terjadinya niyahah ?! Tentu saja tidak akan terjadi pada kegiatan tahlil yang benar.
 ||| KOMENTAR ULAMA YANG MEMAKRUHKAN  |||
Adapun jika berkumpul untuk tujuan tersebut, maka itu tidak makruh, sebagaimana telah jelas perkataan Syaikhul Madzhab Syafi’i yakni Imam an-Nawawi rahimahullah :
فرع : لا كراهة في قراءة الجماعة مجتمعين بل هي مستحبة
"Sebuah cabang : tidak dihukumi makruh pada pembacaan Qur’an secara berkumpul (berhimpun) bahkan itu mustahabbah (sunnah)”
Bahkan telah warid didalam hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang perkumpulan dzikir ;
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ، إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ
“Tidaklah sebuah qaum (perkumpulan) duduk berdzikir kepada Allah, melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat,  mereka diliputi oleh rahmat serta turun atas mereka ketetapan hati”.
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ اللهَ، لَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلَّا وَجْهَهُ، إِلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ، قَدْ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ
“Tidaklah sebuah qaum berkumpul berdzikir kepada Allah, karena mereka tiada menginginkan dengan hal itu kecuali keridlaan Allah, maka malaikat akan menyeru dari langit, bahwa berdirilah kalian dengan pengampunan bagi kalian, sungguh keburukan kalian telah digantikan dengan kebaikan”.
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah sekelompok orang berkumpul dan berdzikir menyebut Nama-nama Allah kecuali mereka dikelilingi oleh para Malaikat, diliputi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah sebut mereka di kalangan para Malaikat yang mulia”.
Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman ;
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ
“(Yaitu) orang-orang yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (QS. Ali Imran : 3)
Ayat ini berkorelasi dengan hadits sebelumnya, yakni juga bermakna majelis dzikir. Itu karena frasa “yadzkuruuna atau mereka berdzikir” adalah dengan lafadz jama’. Artinya berdzikir bersama-sama.
Maka dari hal ini, dapat dipahami bahwa dzikir dengan berhimpun adalah lebih utama daripada seorang diri. Berkumpul berdzikir meliputi segala jenis bacaan dzikir serta dimana saja, termasuk juga dimajelis tahlil (kegiatan tahlilan),  sebab tidak ada larangan baik al-Qur’an maupun hadits yang melarang berdzikir seperti membaca do’a untuk mayyit, shalawat, membaca al-Qur’an serta dzikir-dzikir lainnya yang dilakukan di kediaman keluarga almarhum.
Bahkan lebih jauh lagi, walaupun membuat jamuan makan karena menjalankan adat tapi jika dalam rangka menghilangkan (menangkis) ocehan orang-orang awam (daf’u alsinatil juhhal) serta untuk menjaga kehormatan dirinya, maka dalam rangka hal tersebut tidak apa-apa, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa.
Oleh karena itu, komentar-komentar ulama yang mengatakan makruh bukanlah dalam pengertian tujuan shadaqah atau “ith’am ‘anil mayyit’”, melainkan disebabkan adanya illat. Seperti misalnya perkataan Imam Ibu Hajar diatas, juga seperti : Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab menukil perkataan ‘ulama lainnya didalam al-Majmu’ :
وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال " كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة " رواه أحمد بن حنبل وابن ماجه بإسناد صحيح وليس في رواية ابن ماجه بعد دفنه
“Shahibusy Syamil dan yang lainnya berkata ; adapun keluarga almarhum mengurusi (membuat) makanan serta berkumpulnya manusia padanya, maka itu pernah dinukil sesuatu pun tentangnya, dan itu adalah bid’ah ghairu mustahabbah, inilah perkataan shahibusy Syamil. dan istidlal untuk hal ini berdasarkan hadits Jarir bin Abdullah radliyallah ‘anh, ia berkata : “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih, namun dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada kata “setelah pemakaman mayyit”.
Al-Imam al-Khathib as-Sarbini didalam al-Iqna’ :
وحرم تهيئته لنحو نائحة كنادبة لأنها إعانة على معصية قال ابن الصباغ وغيره أما اصطناع أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فبدعة غير مستحبة
“dan haram menyiapkan makanan untuk semisal wanita-wanita yang merapat (melakukan niyahah) seperti menyebut-menyebut, karena itu sama saja membantu kemaksiatan, Ibnu Ash-Shabbagh dan yang lainnya mengatakan : adapun mengurusi makanana ahlu mayyit dan manusia berkumpul padanya, maka itu bid’ah ghairu mustahibbah”.
Al-‘Allamah Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam I’anathuth Thalibin menyebutkan :
ويكره لأهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الأباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لأهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الأكل. ويحرم صنعه للنائحة، لأنه إعانة على معصية
“dimakruhkan bagi ahlul mayyit duduk untuk ta’ziyah, menghidangkan makananyang masyarakat berkumpul padanya, telah diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, ia berkata ; “kami memandang berkumpul pada keluarga mayyit juga mereka menghidangkan makanan setelah proses pemakaman termasuk bagian dari niyahah”. Disunnahkan bagi tetangga mayyit –walaupun orang lain – dan orang yang mengetahui – walaupun bukan sebagai tetangga – dan kerabat-kerabatnya yang jauh – walaupun berada di negeri yang berbeda dengan mayyit – supaya menghidangkan makanan untuk keluarga mayyit yang mencukupi kebutuhan mareka baik siang maupun malamnya, dan supaya mereka memaksa keluarga mayyit untuk makan, dan diharamkan menyiapkan makanan untuk wanita-wanita yang meratap, karena itu membantu kepada kemaksiatan”.
ويحرم تهيئه للنائحات لأنه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة - كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن
“dan diharamkan menyiapkan makanan untuk wanita-wanita yang meratap, karena itu membantu kemaksiatan, dan perkara yang diadatkan (dibiasakan) seperti ahlul mayyit membuat makanan untuk mengajak manusia padanya, itu bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh) – seperti menerima mereka untuk yang demikian, karena telah shahih hadits dari Jarir radliyallahu ‘anh : kami memandang berkumpul pada keluarga mayyit juga mereka menghidangkan makanan setelah proses pemakaman termasuk bagian dari niyahah”, dan segi dianggapnya sebagai bagian dari niyahah adalah apa yang ada didalamnya berupa perhatian yang sangat terhadap perkara kesedihan”.
وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك اه
“dan didalam Hasyiyah al-‘Allamah al-Jamal ‘alaa syarhil Minhaj : termasuk bid’a munkarah dan makruh mengerjakannya yakni : perkara yang telah dilakukan manusia berupa al-wahsyah (duka cita), perkumpulan dan empat puluh harian, bahkan semua itu haram jika berasal dari harta yang terlarang, atau dari harta mayyit yang masih memiliki tanggungan hutang atau mengakibatkan terjadinya dlarar atau semisalnya. Selesai”.
Syaikh Ibnu ‘Umar an-Nawawi al-Bantani didalam Nihayatuz Zain :
أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم كذا في كشف اللثام
“Adapun acara makan-makan yang masyarakat berkumpul disana pada malam hari ketika prosesi pemakaman yang dikenal dengan al-wahsyah  (berduka cita) maka itu makruh selama tidak ada harta anak yatim kecuali ada (harta anak yatim) maka itu haram, sebagaimana telah didalam kitab Kasyfu al-Litsam”.
Dan masih banyak yang menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk hal serupa, yang intinya bukan untuk tujuan ith’am ‘anil mayyit’ (shadaqah) ataupun tujuan mulya lainnya, melainkan tujuan-tujuan yang hanya menjalankan kebiasaan semata atau yang lainnya, yang kadang memberatkan (membebani) keluarga almarhum dan melakukannya secara terpaksa hanya karena rasa malu atau sebagainya. Sehingga tentunya, berbeda apabila memberikan makanan itu dengan suka rela (keikhlasan hati), paham maksud dan tujuannya yakni seperti motivasi ingin menshadaqahkan hartanya yang pahalanya untuk mayyit maka ini hukumnya sunnah (mustahab), sedangkan pahalanya sampai dan bermanfaat bagi mayyit berdasarkan nas-nas yang kuat. Adapun orang yang melakukan shadaqah maka terdapat pahala baginya. Hal ini karena terkait dengan hukum shadaqah itu sendiri.
||| SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH DAN MADINAH |||
Kegiatan yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan kaum Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :
أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’.
Ini sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di Makkah dan Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali di kisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :
أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.
“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”.
Istilah 7 hari tersebut adalah berdasarkan riwayat shahih dari Thawus sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Yang mana sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir dari Rasulullah, sebagian juga mengatakan hanya dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada masa Rasulullah.
 Oleh karena itu, keliru  jika dikatakan bahwa 7 hari semata-mata di ambil dari budaya hindu hanya karena adanya kemiripan. Mirip tidak berarti bahwa itu sama, bahkan dari segi asasnya pun sudah berbeda. Adapun terkait istilah 14 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, haul (setahun), 1000 hari dan seterusnya maka itu boleh dengan penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari sebab itu bisa di lakukan kapan saja. Sebab amaliyah tersebut boleh dilakukan kapan saja atau dengan penentuan waktu. Seperti halnya penentuan waktu belajar (menuntut ilmu tertentu) sedangkan menuntut ilmu sendiri merupakan kewajiban, menentukan hari dalam mengkhatamkan al-Qur’an dengan menetapkan semisal satu hari menyelesaikan satu juz atau sejumlah ayat tertentu, ini boleh demi ketertiban (bab tartib), dan lain sebagainya. Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya. Oleh karena itulah, al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari sebuah hadits al-Bukhari no. 1118 terkait juga penentuan hari, sebagai berikut ;
وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة والمداومة على ذلك
“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan) melakukannya”.
Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya selama bukan ibadah mahdlah atau ibadah yang terikat dengan rukun, waktu dan sebagainya seperti shalat fardlu dan lainnya.
Meskipun, seandainya penentuan hari seperti itu bermula dari warisan ajaran hindu, namun hal tersebut telah menjadi kultur budaya masyarakat sehingga pembahasannya pun terkait dengan “al-Adaat”. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dan dai-dai Islam lainnya dengan hanya menggiring dan mengarahkan budaya yang penuh kemusyrikan tersebut ke budaya yang benar sesuai dengan syariat Islam berdasarkan pertimbangan dengan kaidah-kaidah syariat, sehingga yang awalnya (seperti) menyiapkan makanan sesajen untuk roh orang mati dengan menyakini bahwa roh orang mati memakan sesajen tersebut, maka diarahkan agar makanan tersebut sebagai bentuk shadaqah atas nama orang mati yang diberikan kepada orang yang masih hidup, dan orang mati mendapatkan manfaat dengan hal tersebut atas rahmat Allah Ta’alaa, inilah yang tepat menurut syariat Islam. Hal semacam ini tidaklah keluar dari tatanan syariat Islam bahkan sesuai dengan syarit Islam, sebagaimana sebuah kisah ketika digantinya budaya Jahiliyyah yakni melumuri kepala bayi dengan darah hewan sembelihan kemudian diganti dengan melumurinya dengan miyak za’faraan, disebutkan pada sebuah hadits shahih yang tercantum didalam Sunan Abi Daud [2843] dan As-Sunan al-Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [9/509] :
عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ، يَقُولُ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا «نَذْبَحُ شَاةً، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Dari ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : aku mendengar Abu Buraidah mengatakan : ketika kami masih di masa Jahiliyyah, apabila seorang bayi di lahirkan pada salah satu dari kami, menyembelih seekor kambing, dan melumuri kepalanya dengan darah kambing sembelihan, maka tatkala Allah mendatangkan Islam, kami tetap menyembelih kambing, memotong rambutnya namun melumuri kepalanya dengan minyak za’faraan”.
Al-Syawkani didalam Nailul Awthar [5/ 16] dan disebutkan juga didalam ‘Aunul Ma’bu [8 33]dikomentari sebagai berikut :
قوله: (ونلطخه بزعفران) فيه دليل على استحباب تلطيخ رأس الصبي بالزعفران أو غيره من الخلوق كما في حديث عائشة المذكور
“Frasa : (dan kami melumurinya dengan minyak za’faraan), padanya merupakan dalil atas disunnahkannya melumuri kepala bayi dengan minyak za’faraan atau yang lainnya sebagaimana didalam hadits ‘Aisyah yang telah disebutkan”.
Lebih jauh lagi, istilah 40 hari pun sebenarnya dikenal dalam sebuah riwayat ‘Ubaid bin ‘Umair. Ini disebutkan didalam Hasyiyah al-Suyuthi ‘alaa Sunan al-Nasaa’i [4/104] karangan Imam al-Suyuthi (w 911 H).
وروى بن جريج في مصنفه عن الحرث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا
“Ibnu Juraij meriwayatkan didalam Mushannafnya dari al-Harits bin Abul Harits, dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata : “dua orang mengalami fitnah qubur yaitu orang mukmin dan orang munafiq ; orang mukmin mengalami fitnah qubur selama 7 hari, sedangkan orang munafiq mengalami fitnah qubur selama 40 hari”.
Imam al-Suyuthi juga menyebutkan didalam kitab al-Daibah ‘alaa Shahih Muslim atau dikenal dengan Syarh al-Suyuthi ‘alaa Muslim [2/491] sebagai berikut :
روى أَحْمد بن حَنْبَل فِي الزّهْد وَأَبُو نعيم فِي الْحِلْية عَن طَاوس أَن الْمَوْتَى يفتنون فِي قُبُورهم سبعا فَكَانُوا يستحبون أَن يطعموا عَنْهُم تِلْكَ الْأَيَّام إِسْنَاده صَحِيح وَله حكم الرّفْع وَذكر بن جريج فِي مُصَنفه عَن عبيد بن عُمَيْر أَن الْمُؤمن يفتن سبعا وَالْمُنَافِق أَرْبَعِينَ صباحا وَسَنَده صَحِيح أَيْضا وَذكر بن رَجَب فِي الْقُبُور عَن مُجَاهِد أَن الْأَرْوَاح على الْقُبُور سَبْعَة أَيَّام من يَوْم الدّفن لَا تُفَارِقهُ
“.... sanadnya shahih juga, dan Ibnu Rajab menyebutkan tentang qubur dari Mujahid bahwa ruh-ruh berada diatas qubur selama 7 hari sejak di makamkan serta tidak memisahkannya”.
Wallhu A’lam.
||| PENGHARAMAN TAHLILAN DI LUAR AQAL SEHAT |||
Tidak pernah ditemukan satu dalil pun yang menyatakan pengharaman terhadap kegiatan tahlilan. Sebaliknya yang ada adalah anjuran untuk merahmati orang yang meninggal dengan do’a, permohonan ampun, bacaan al-Qur’an serta dzikir-dzikir lain. Semua ini tidak pernah diharamkan oleh para imam sekali pun.
Apabila alasannya karena ada perkumpulan dikediaman keluarga almarhum maka ini sudah tidak tepat sebagai “dalih’ untuk pengharaman tahlilan sebab ; Pertama ; –seandainya memang yang dimaksud ulama adalah seperti kegiatan tahlilan sekalipun- kebanyakan ulama hanya menghukumi makruh bukan haram. Kedua, “yang dianggap makruh adalah perkumpulan jamuan makan”, sedangkan tahlilan bukanlah kegiatan yang semata-mata untuk itu, melainkan untuk merahmati mayyit, sehingga tidak bisa di dikatakan “jamuan makan adalah tahlilan atau tahlilan adalah jamuan makan”, sebab masing-masing adalah satu hal. Ketiga, -seandainya memang yang dimaksud ulama adalah tahlilan- itu hanya unsur tahlilan yang tidak mutlak, sebab tahlilan tidak harus dilakukan di kediaman keluarga almarhum melainkan bisa juga dilakukan ditempat yang lainnya, misalnya mushalla, masjid atau tempat-tempat lain. Adanya unsur yang semisalnya diagggap memang kurang tepat bukan berarti harus “menggusur” seluruhnya melainkan cukup unsur yang kurang tepat tersebut yang dibenahi.
Keempat, tahlilan bukan hanya dilakukan pada pasca kematian melainkan kapan saja atau dengan menentukan waktu seperti pada malam Jum’at demi mendapatkan keutamaan, disamping pada hari tersebut memang dianjurkan untuk memperbanyak dzikir juga shalawat.
Oleh karena itu, akal yang sehat akan mengatakan bahwa kegiatan berkumpul bukanlah sesuatu yang haram pada sendirinya (muharram fi-nafsihi) sebaliknya merupakan hal yang biasa (lumrah) dimanapun itu, baik di rumah, masjid, mushalla, perkantoran, sekolah dan tempat-tempat lainnya. Hal itu mubah-mubah saja, apalagi jika kegiatan berkumpul tersebut di isi dengan hal-hal kebajikan. Seperti itu juga tahlil, didalamnya berisi amaliyah-amaliyah yang baik mulai dari kalimat thayyibah hingga shalawat, apalagi bisa mempererat kasih sayang (shilaturahim) antar kaum muslimin.
Segelintir orang ada juga yang secara membabi buta mengharamkan tahlilan dengan menyamakan dengan niyahah (meratap). Tentu saja, ini jelas-jelas kekeliruan yang fatal, sebab telah diketahui bahwa pengertian niyahah adalah menyaringkan suara atau berteriak-teriak sambil menyebut-nyebut kebaikan mayyit. Hal semacam ini diharamkan, karena seolah-olah tidak ridla dengan takdir Allah Ta’alaa atas kematian si mayyit atau menyesali kematian si mayyit dan bisa menyebabkan mayyit semakin tersiksa. Namun, jika hanya menangis –berlinang air mata- maka itu tidak haram, sebagaimana yang dituturkan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah :

وأما البكاء على الميت من غير ندب ولا نياحة، فليس بحرام
“adapun menangisi mayyit tanpa disertai nadb (menyebut-nyebut kebaikan mayyit) dan tanpa niyahah  (meratapi mayyit), maka itu tidak haram”.
Imam asy-Syafi’i mengatakan sebagaimana disebutkan didalam Mukhtashar al-Muzanni :
قال الشافعي - رحمه الله تعالى - : وأرخص في البكاء بلا ندب ولا نياحة لما في النوح من تجديد الحزن ومنع الصبر وعظيم الإثم
“Imam Syafi’i rahimahullah berkata : aku memberikan rukhshah dalam dalam menangis tanpa disertai an-nadb dan niyahah, karena didalam niyahah mengandung unsur memperbaharui kesedihan, mencegah kesabaran dan mengandung dosa yang besar”.
Al-Imam al-‘Imrani didalam al-Bayan juga mengatakan :
وأما البكاء من غير ندب، ولا نوح: فيجوز؛
“adapun menangis tanpa disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit juga tanpa adanya niyahah maka itu boleh”.
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam pun pernah berlinang air mata, ketika wafatnya putri beliau yang pada saat itu dibawa ke pangkuan Rasulullah. Sa’ad (sahabat) pun bertanya : “air mata apa ini wahai Rasulullah ?. Rasulullah  pun menjawab :
هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَها اللَّهُ تَعالى في قُلوبِ عِبَادِهِ، وإنمَا يَرْحَمُ اللَّهُ تَعالى مِنْ عِبادِهِ الرُّحَماءَ
“Ini (airmata) kasih sayang yang Allah Ta’alaa telah menjadikannya di setiap hati hamba-Nya, sesungguhnya Allah Ta’alaa mengasihi hama-hamba-Nya yang penuh kasih sayang”.
Juga didalam Fathul Qarib karangan al-Imam Syamsuddin al-Ghazzi :
(ولا بأس بالبكاء على الميت) أي يجوز البكاء عليه قبل الموت وبعده وتركه أولى ويكون البكاء عليه (من غير نوح) أي رفع صوت بالندب
“tidak apa-apa menangisi mayyit yaitu boleh menangisi mayyit sebelum maut juga setelahnya, akan tetapi meninggalkan menangis setelahnya itu lebih utama, dan tangisan tersebu tanpa disertai niyahah yaitu menyaringkan suara (berteriak-teriak) dengan menyebut-menyebut kebaikan mayyit”.
Dengan memahami tentang niyahah diatas, maka akan diketahui bahwa tahlilan (kenduri arwah) justru bertolak belakang dengan niyahah, sebab tahlilan adalah kegiatan merahmati mayyit dengan berbagai dzikir untuknya sehingga akan meringankan siksa atas dirinya, tentu saja ini sangat jauh dari unsur niyahah.
||| MA'TAM VS TAHLILAN ; URAIAN UCAPAN IMAM SYAFI'I |||
Tahlilan juga berbeda dengan ma’tam. Perbedaan ini sebenarnya nampak jelas baik dari prakteknya, sebab pokok yang melatar belakangi juga tujuan masing-masing. Namun, kadang masih saja ada yang melarang bahkan mengharamkan tahlilan dengan beralasan ma’tam. Walaupun ini tidak tepat apalagi dengan membawa-bawa qaul Imam Syafi’i. Istilah ma’tam sebenarnya muncul karena perempuan berkumpul padanya dan ma’tam sendiri didalam kamus arab  didefinisikan antara lain :
والمأتم كل مجتمع من رجال أو نساء في حزن أو فرح
“ma’tam merupakan setiap perkumpulan baik laki-laki maupun perempuan didalam hal kesedihan atau pun kegembiraan”.
المأتم في الأصل: مجتمع الرجال والنساء في الغم والفرح، ثم خص به اجتماع النساء للموت
“ma’tam pada asalnya merupakan perkumpulan laki-laki dan perempuan didalam kesedihan atau pun kegembiraan, kemudian pengertiannya hanya dikhususkan pada perkumpulan perempuan pada kematian"
. الجوهري: المأتم عند العرب النساء يجتمعن في الخير والشر؛
" Al-Jauhari mengatakan bahwa ma’tam menurut orang-orang arab adalah perempuan yang mereka berkumpul dalam hal kebaikan dan keburukan”.
قال ابن بري: لا يمتنع أن يقع المأتم بمعنى المناحة والحزن والنوح والبكاء لأن النساء لذلك اجتمعن، والحزن هو السبب الجامع
“Ibnu Barri mengatakan : tidak bisa dihindari untuk memahami ma’tam dengan pengertian perempuan-perempuan yang meratap, kesedihan, ratapan dan tangisan, karena semua inilah yang menyebabkan para perempuan berkumpul, dan kesedihan merupakan sebab adanya perkumpulan”.
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshariy asy-Syafi’i terkait ma’tam mengatakan :
المأتم : بالمثناة أي في جماعة النساء في المصائب
“ma’tam adalah sebuah perkumpulan (jama’ah) perempuan pada terjadinya mushibah”.
Ucapan Imam Syafi’i rahimahullah yang kadang dijadikan dalil untuk melarang tahlilan bahkan mengharamkan tahlilan yaitu sebagaimana tercantum dalam kitab al-Umm :
 قال الإمام الشافعى رحمه الله : وأكره المأتم، وهي الجماعة، وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن، ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر
“Aku benci (menghukumi makruh, red) ma’tam, dan adalah sebuah kelompok (jama’ah), walaupun tidak ada tangisan pada kelompok tersebut, karena yang demikian memperbaharui kesedihan, dan membebani biaya bersamaan perkara yang sebelumnya pernah terjadi (membekas) padanya”
Imam Syafi’i rahimahullah sama sekali tidak memaksudkan kegiatan seperti tahlilan. Oleh karena itu sama sekali tidak tepat jika membawanya pada pengertian tahlilan, yang kemudian dengan alasan tersebut digunakan untuk melarang tahlilan. Karena tahlilan memang berbeda dengan ma’tam. Penghukuman makruh oleh al-Imam Syafi’i diatas dengan mempertimbangkan ‘illat yang beliau sebutkan yaitu yujaddidul huzn (memperbaharui kesedihan), sehingga apabila ‘illat tersebut tidak ada maka hukum makruh pun tidak ada, sebab dalam kaidah ushul mengatakan :

واعلم أن العلة في الشرع هي المعنى الذي يقتضي الحكم
“ketahuilah bahwa ‘illat didalam syariat adalah bermakna yang menunjukkan hukum”  
Sedangkan maksud ucapan Imam Syafi’i tersebut adalah duduk-duduk untuk ta’ziyah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi didalam al-Majmu’ :
وأما قول الشافعي رحمه الله في الأم وأكره المآتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فمراده الجلوس للتعزية وقد سبق بيانه
“dan adapun ucapan Imam Syafi’i rahimahullan didalam al-Umm : “aku memakruhkan ma’tam dan adalah sebuah kelompok, walaupun tidak ada tangisan pada kelompok tersebut, maka maksudnya adalah duduk-duduk untuk ta’ziyah, dan sungguh telah berlalu penjelasannya”.
Lihat   Lisanul ‘Arab Ibnu Mandhur al-Anshari al-Ifriqii [12/3-4]. Dan didalam kitab Fiqh Maliki yaitu Mawahibul Jalil karya al-Hathib ar-Ru’ayni [2/ 241] menyebutkan masalah ma’tam dengan cukup jelas :

فائدة : اجتماع الناس في الموت يسمى المأتم بهمزة ساكنة ثم مثناة فوقانية قال في النهاية: المأتم في الأصل مجتمع النساء والرجال في الغم والفرح، ثم خص به اجتماع النساء للموت وقيل: هو للشواب من النساء لا غير انتهى. وفي الصحاح: المأتم عند العرب النساء يجتمعن في الخير والشر والجمع المآتم وعند العامة المصيبة، يقولون: كنا في مأتم فلان والصواب أن يقال: في مناحة فلان انتهى
Faidah : berkumpulnya manusia pada kematian dinamakan ma’tam. Didalam an-Nihayah : ma’tam pada asalnya merupakan berkumpulnya perempuan dan laki-laki didalam hal kegembiraan dan kesedihan, kemudian dengannya hanya di khususkan bagi perkumpulan perempuan pada kematian. Didalam Ash-Shihhah : ma’tam menurut orang arab adalah perempuan yang berkumpul didalam hal kebaikan dan keburukan, umumnya pada mushibah, mereka mengatakan : kami berada di ma’tam fulan, yang benar seharusnya di katakan ; kami berada di tempat ratapannya fulan. Selesai.
||| ALIRAN WAHHABIYAH SEBAGAI BID'AH MUHARRAMAH |||
Pengikut Wahhbiyah merupakan orang-orang yang “getol” membid’ahkan amalan-amalan kaum Muslimin seperti tahlilan dan sebagainya. Mereka sangat over ketika membesar-besarkan masalah khilafiyah dan tidak segan-segan menyebut kaum Muslimin yang berbeda paham sebagai ahli bid’ah, yang mereka sesatkan. Kaum Muslimin yang melakukan tahlilan juga mereka sebut sebagai kelompok ahli bid’ah yang sesat. Namun, pernahkah bertanya kenapa aliran wahhabiyah ini begitu over dalam menuding-nuding kaum Muslimin ?
Pencetus awal istilah Wahhabiyah yang benar adalah saudara (kakak) kandung dari Muhammad bin Abdul Wahab yaitu Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab rahimahullah. Beliau ulama Hanbali yang pertama kali menggunakan istilah Wahhabiyah didalam kitabnya As-Shawaiq al-Ilahiyyah untuk menyebut ajaran adiknya yang dianggapnya menyimpang. Istilah ini digunakan bukan tanpa pertimbangan tetapi dengan pertimbangan yang matang terkait baik dan buruknya terhadap ajaran Islam yang telah beliau jelaskan diawal-awal kitabnya, yang kemudian istilah ini di ikuti (digunakan) oleh para ulama Ahl As-Sunnah lainnya untuk melakukan bantahan terhadap pemikiran dan orang-orang yang mengikutinya, sehingga tersebarlah ratusan kitab yang dikarang oleh para ulama Ahl As-Sunnah yang memuat bantahan terhadap aliran Wahhabiyah. Jadi, istilah Wahhabiyah berasal dari pihak keluarga Muhammad bin Abdul Wahab sendiri bukan dari luar, juga pihak Madzhab Hanbali sendiri karena Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab adalah bermadzhab Hanbali, bukan dari luar madzhab Hanbali, juga dari kaum Muslimin Ahl Sunnah wal Jama'ah sendiri bukan dari luar Islam. Oleh karena itu, bohong besar jika dikatakan bahwa istilah Wahhabiyah berasal dari non-Islam yang memusuhi Islam.
Wahhabiyah  juga dikenal sebagai aliran Mujassimah (menjisimkan Allah Ta’alaa), aliran ini juga dikenal dengan nama Musyabbihah. Berdasarkan hal ini, maka sebenarnya mereka terkategori sebagai pelaku bid’ah Muharramah (bid’ah yang hukumnya haram).  Sebagaiaman yang sudah dijelaskan oleh al-Imam Shulthanul ‘Ulama ‘Izzuddin bin Abdissalaam rahimahullah :
وللبدع المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة
“dan diantara contoh-contoh bid’ah al-muharramah (bid’ah yang haram) adalah : aliran Qadariyyah, aliran Jabariyyah, aliran Murji’ah dan aliran Mujassimah, sedangkan membantah mereka merupakan bagian dari bid’ah wajibah (bid’ah yang dihukumi wajib)”.
Kategori bid’ah muharramah (bid’ah yang haram) adalah kategori bid’ah yang memang berdosa, berbeda halnya jika hanya sekedar bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh). Sedangkan membantah aliran mujassimah atau musyabbihah terkategori sebagai bid’ah wajibah (bid’ah yang wajib). Oleh karena itu, perlu digalakkan membantah mereka dan meluruskan mereka, sebab ini memang merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin, termasuk juga menyelamatkan kaum Muslimin yang memang tidak mengerti (masih awam) dari paham-paham mereka.
Adapun kewajiban kita hanyalah mengangkat mereka (menyelamatkan) mereka dari paham-paham sesat, sedangkan apabila mereka keras kepala atau hatinya membantu, maka kita serahkan kepada Allah sebagai Sang Pemberi dan Pemilik Hidayah.
-------------------
 ||| BEBERAPA KOMENTAR ULAMA |||
Dari paparan sebelumnya, sebenarnya sudah diketahui bahwa membaca al-Qur’an untuk mayyit merupakan pendapat jumhur salafush shaleh juga ulama setelahnya, bahkan dikatakan sebagai Ijma’, karena tidak ada yang mengingkari dan dilakukan oleh kaum Muslimin setiap masa. Namun, alangkah baiknya jika lebih mengetahui komentar-komentar ulama lainnya baik dari kalangan yang pro maupun yang kontra ataupun yang dianggap kontra. ‘Ulama ada yang menyatakan secara langsung namun ada juga yang tidak ; seperti mengajurkan membaca al-Qur’an di kuburan atau memperbolehkan membaca al-Qur’an di kuburan, yang sebenarnya mereka memahami bahwa bacaan al-Qur’an tersebut sampai kepada orang mati.
||| AL-MUGHNI LI-IBNI QUDAMAH AL-HANBALI[1] |||
Al-Mughni merupakan kitab karangan pembesar madzhab Hanabilah yaitu Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali. Didalam kitab ini juga dikisahkan tentang Imam Ahmad bin Hanbal yang awalnya berpendapat bid’ahnya membaca al-Qur’an di quburan, namun setelah sampai atsar kepada beliau, maka Imam Ahmad pun ruju’ dan tidak membid’ahkan :
فصل: قال: ولا بأس بالقراءة عند القبر، وقد روي عن أحمد أنه قال: إذا دخلتم المقابر اقرءوا آية الكرسي وثلاث مرات قل هو الله أحد، ثم قل: اللهم إن فضله لأهل المقابر. وروي عنه أنه قال: القراءة عند القبر بدعة، وروي ذلك عن هشيم، قال أبو بكر: نقل ذلك عن أحمد جماعة، ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه، فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ عند القبر، وقال له: إن القراءة عند القبر بدعة. فقال له محمد بن قدامة الجوهري: يا أبا عبد الله: ما تقول في مبشر الحلبي؟ قال: ثقة. قال: فأخبرني مبشر، عن أبيه، أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها، وقال: سمعت ابن عمر يوصي بذلك. قال أحمد بن حنبل: فارجع فقل للرجل يقرأ. وقال الخلال: حدثني أبو علي الحسن بن الهيثم البزار، شيخنا الثقة المأمون، قال: رأيت أحمد بن حنبل يصلي خلف ضرير يقرأ على القبور. وقد روي عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف عنهم يومئذ، وكان له بعدد من فيها حسنات» . وروي عنه - عليه السلام - من زار قبر والديه أو أحدهما، فقرأ عنده أو عندهما يس غفر له
“Sebuah Pasal : Tidak apa-apa dengan membaca al-Qur’an di samping qubur, dan sungguh telah diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa ia berkata : apabila kalian masuk area pequburan maka bacalah oleh kalian ayat Kursi dan 3 kali Qul huwallahu Ahad (surah al-Ikhlas) kemudian ucapkanlah : ya Allah sesungguhnya fadlilahnya untuk penghuni qubur”. diriwayatkan bahwa beliau juga berkata : “pembacaan al-Qur’an disisi qubur adalah bid’ah”, diriwayatkan juga dari Husyaim. Abu Bakar kemudian berkata : sekelompok ulama (hanbali) telah menaqal itu dari Imam Ahmad kemudian kembali ruju’ dari pendapatnya sendiri, maka sekelompok ulama meriwayatkan bahwa Ahmad melarang seorang buta membaca al-Qur’an disamping qubur, kemudian ia berkata kepadanya : sesungguhnya membaca al-Qur’an disisi qubur adalah bid’ah, kemudian Muhammad bin Qudamah al-Jauhariy berkata kepada Imam Ahmad : wahai Abu Abdillah (Ahmad), apa yang akan engkau katakan tentang Mubasyyir al-Halabi ? Ahmad berkata : tsiqah (terpecaya). Ibnu Qudamah al-Jauhari berkata : telah mengkhabarkan kepadaku Mubasysyir, dari ayahnya, sesungguhnya ia berwasiat apabila dimakamkan agar dibacakan disisi quburnya pembukaan surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat tentang hal itu. Imam Ahmad bin Hanbal berkata : kembalilah maka katakanlah pada laki-laki itu agar membacanya.  al-Khallal berkata : menceritakan kepadaku Abu ‘Ali al-Hasan bin al-Haitsam al-Bazzar, syaikh kami seorang yang tsiqah lagi terpercaya, ia berkata :  aku melihat Imam Ahmad bin Hanbal shalat mengikuti (bermakmum pada) seorang buta yang selalu membaca al-Qur’an diatas quburan. Dan sungguh telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam  : “barangsiapa yang masuk pekuburuan kemudian membaca surah Yasiin niscaya diringankan (siksanya) dari mereka seketika itu, dan bagi pembacanya ada kebaikan sebanyak penghuni qubur itu”, dan juga diriwayatkan : barangsiapa yang melakukan ziarah qubur kedua orang tuanya atau salah satu dari orang tuanya, bacalah Yasiin disisi quburnya atau qubur keduanya niscaya diampuni baginya”.
فصل: وأي قربة فعلها، وجعل ثوابها للميت المسلم، نفعه ذلك، إن شاء الله، أما الدعاء، والاستغفار، والصدقة، وأداء الواجبات، فلا أعلم فيه خلافا، إذا كانت الواجبات مما يدخله النيابة، وقد قال الله تعالى: والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان . وقال الله تعالى: واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات
“Sebuah Pasal : adalah mengerjakan qurbah (amaliyah untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan menjadikan pahalanya untuk orang mati yang mulism, niscaya memberikan manfaat dengan yang demikian. InsyaAllah. Adapun do’a, istighfar, shadaqah dan menegakkan ibadah wajib (wajibaat), maka aku tidak mengetahui adanya perselisihan tentang hal itu. Apabila perkara wajibaat termasuk dari perkara yang niyabah (perpindahan). Sungguh Allah Ta’alaa berkata : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami” dan juga firman Allah Ta’alaa : “dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan”.
وقال بعضهم: إذا قرئ القرآن عند الميت، أو أهدي إليه ثوابه، كان الثواب لقارئه، ويكون الميت كأنه حاضرها، فترجى له الرحمة. ولنا، ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين؛ فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون القرآن، ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير
“dan sebagian dari mereka (syafi’iyyah) berkata : apabila dibacakan al-Qur’an disamping orang mati atau menghadiahkan pahalanya kepada orang mati, maka pahalanya bagi si pembacanya sedangkan mayyit laksana orang yang menghadirinya, sehingga diharapkan adanya rahmat baginya. Dan bagi kami (Hanabilah) telah menyebutkannya, bahwa sesungguhnya membaca al-Qur’an untuk mayyit merupakan ijma’ kaum Muslimin, sebab mereka setiap masa dan kota mereka berkumpul, mereka membaca al-Qur’an, dan menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkarinya”.

AL-FURU' WA TASHHIH AL-FURU'
Karangan ulama Hanabilah yaitu Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Muflah al-Maqdisi, kemudian di tashhih oleh ‘Alauddin ‘Ali bin Sulaiman al-Mardawi. Termaktub didalam kitab tersebut :
فصل: لا تكره القراءة على القبر وفي المقبرة، نص عليه، اختاره أبو بكر والقاضي وجماعة، وهو المذهب "وش" وعليه العمل عند مشايخ الحنفية، فقيل: تباح، وقيل: تستحب، قال ابن تميم: نص عليه
“Sebuah Pasal : tidak dimakruhkan membaca al-Qur’an diatas qubur dan di area pekuburan, terdapat nas atas hal tersebut, Abu Bakar, al-Qadli dan Jama’ah telah memilih pendapat tersebut, dan itulah madzhab Hanbali, dan atasnya beramal menurut guru-guru Hanafiyyah. Dikatakan : diperbolehkan. Dikatakan : disunnahkan. Ibnu Tamim berkata : terdapat nas atas hal tersebut”.
مسألة -: قوله: لا تكره القراءة على القبر وفي المقبرة، نص عليه، وهو المذهب، فقيل: تباح، وقيل: تستحب، قال ابن تميم: نص عليه، انتهى: أحدهما: يستحب، قال في الفائق: تستحب القراءة على القبر، نص عليه أخيرا، انتهى، وتقدم كلام ابن تميم و نقل المصنف. والقول الثاني: يباح، قال في الرعاية الكبرى: وتباح القراءة على القبر، نص عليه، قال في المغني والشرح وشرح ابن رزين لا بأس بالقراءة عند القبر، وقدم الإباحة في الرعاية الصغرى والحاويين. قلت: وهو الصواب.
“Frasa, tidak dimakruhkan pembacaan al-Qur’an diatas qubur dan diarea pequburan, terdapat nas atas hal itu, dan itulah madzhab Hanbali. Dikatakan : hukumnya mubah, juga dikatakan : hukumnya sunnah (disunnahkan). Ibnu Tamim berkata : nas tentang hal itu telah selesai (tidak bahas panjang lebar lagi) : salah satunya, disunnahkan, ia berkata didalam al-Faiq : disunnahkan membaca al-Qur’an diatas qubur, nas tentang hal itu telah diakhirkan, selesai, dan telah berlalu perkataan Ibnu Tamim yang dinukil oleh mushannif. Pendapat kedua, diperbolehkan, ia berkata didalam ar-Ra’ayatul Kubraa : diperbolehkan membaca al-Qur’an diatas qubur, ada nas tentang hal itu, Ia berkata didalam al-Mughni, dan syarahnya (al-Muqna’), serta syarah Ibnu Raziin yakni tidak apa-apa dengan membaca al-Qur’an diatas qubur. Dan telah berlalu kebolehannya (mubah) didalam ar-Ra’ayatu ash-Shughraa dan al-Hawiyayn. Aku katakan : itulah yang shawab (yang benar)”
فصل: كل قربة فعلها المسلم وجعل ثوابها للمسلم نفعه ذلك، وحصل له الثواب، كالدعاء "ع" والاستغفار "ع" وواجب تدخله النيابة "ع" وصدقة التطوع "ع" وكذا العتق
“Sebuah Pasal : setiap amaliyah qurbah (amal yang mendekatkan diri kepada Allah) yang dilakukan oleh seorang muslim dan menjadikan pahalanya untuk orang muslim lainnya, niscaya yang demikian memberikan manfaat, dan mendapatkan pahala baginya, seperti do’a, istighfar, hal wajib yang memaksukkannya pada masalah perpindahan, shadaqah tathawwu’ dan seperti itu juga membebaskan budak.
||| AL-INSHAF FIY MA'RIFATIR RAJIH MINAL KHILAF
Kitab ini dikarang oleh al-Imam ‘Alauddin al-Mardawi yaitu salah seorang ulama Hanabilah. Termaktub didalam kitab tersebut bahwa amal orang lain bisa bermanfaat bagi orang lain yang muslim, dan itu merupakan pendapat mutlak dari madzhab Hanbali.
قوله (وأي قربة فعلها وجعلها للميت المسلم نفعه ذلك) . وهو المذهب مطلقا، وعليه جماهير الأصحاب وقطع به كثير منهم، وهو من المفردات، وقال القاضي في المجرد: من حج نفلا عن غيره وقع عمن حج لعدم إذنه. فائدة: نقل المروذي: إذا دخلتم المقابر فاقرءوا آية الكرسي وثلاث مرات {قل هو الله أحد}  ثم قولوا: اللهم إن فضله لأهل المقابر يعني ثوابه
"Frasa (dan adalah mengerjakan amaliyah qurubaat dan menjadikannya untuk mayyit yang muslim, niscaya yang demikian bermanfaat), dan itu adalah madzhab Hanbali secara mutlak, jumhur ulama Hanabilah berpegang pada pendapat tersebut, dan banyak diantara mereka yang memutuskan dengannya, dan adalah berasal dari kitab al-Mufradaat (Ibnu ‘Aqil), al-Qadli berkata didalam kitab al-Mujarrad : barangsiapa berhaji nafilah mengatas namakan orang lain hanya untuk orang yang berhaji karena ketiadaan idzinnya”.
Faidah : al-Marrduziy menaqal (dari Imam Ahmad) : apabila kalian memasuki area pekuburan, bacalah Ayat Kursi dan al-Ikhlas 3 kali, kemudian ucapkanlah : ya Allah sungguh fadlilahnya untuk penghuni pekuburan ini, maksudnya pahalanya”.
تنبيه: قوله " وأي قربة فعلها، وجعلها للميت المسلم نفعه ذلك " وكذا لو أهدى بعضه كنصفه، أو ثلثه ونحو ذلك كما تقدم عن القاضي وغيره
“Tanbih : frasa “dan adalah mengerjakan amaliyah qurbah, kemudian menjadikannya untuk mayyit yang muslim, niscaya memberikan kemanfaatan dengannya”, seperti itu juga seandainya menghadiahkan sebagiannya seperti setengah (1/2) nya, atau seperti tiganya (1/3) atau seumpamanya, sebagaimana telah berlalu penjabarannya dari al-Qadli dan juga yang lainnya”.

||| AL-'UDDAH SYARH AL-'UMDAH
Merupakan kitab fiqh Hanabilah yang dikarang oleh Imam Abdurrahman bin Ibrahim bin Ahmad Bahauddin al-Maqdisi al-Hanbali. Didalam kitab ini bahkan menginformasikan adanya Ijma’ atas pembacaan al-Qur’an untuk mayyit  :
وأما قراءة القرآن وإهداء ثوابه للميت فالإجماع واقع على فعله من غير نكير
“Adapun membaca al-Qur’an dan menghadiahkan pahala  bacaan al-Qur'an untuk orang mati, maka telah ada ijma’ atas mengerjakannya tanpa ada yang mengingkarinya”.

||| ZADUL MUSTAQNI' FIY IKHTISHAR AL-MUQNA'  |||
Dikarang oleh Imam Syarifuddin Musa bin Ahmad bin Musa bin Salim bin ‘Isa bin Salim al-Hajawi al-Maqdisi al-Hanbali. Termaktub didalamnya :
ولا تكره القراءة على القبر وأي قربة فعلها وجعل ثوابها لميت مسلم "أو حي" نفعه ذلك
“Dan pembacaan al-Qur’adn diatas qubur tidaklah di makruhkan dan adalah mengerjakan amaliyah yang mendekatkan diri kepada Allah kemudian menjadikan pahalanya untuk mayyit yang muslim atau “yang hidup”, niscaya yang demikian memberikan kemanfaatan”.
Termaktub juga pernyataan yang sama didalam kitab beliau lainnya yaitu al-Iqnaa’ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal [1/236], yang redaksinya sebagai berikut :
ولا تكره القراءة على القبر وفي المقبرة بل يستحب وكل قربة فعلها المسلم وجعل ثوابها أو بعضها كالنصف ونحوه لمسلم حي أو ميت جاز ونفعه لحصول الثواب له حتى لرسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidaklah dimakruhkan membaca al-Qur’an di atas qubur dan di area pekuburan, bahkan membaca al-Qur'an di tempat itu di sunnahkan, dan setiap amaliyah qurubaat yang dikerjakan oleh seorang muslim kemudian menjadikan pahalanya atau sebagian dari pahalanya seperti separuhnya dan semisalnya kepada seorang muslim lainnya baik yang hidup atau yang mati, itu boleh dan memberikan manfaat karena pahalanya sampai kepadanya hingga ke Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”.
||| AR-RAUDL AL-MARBI' SYARH ZAAD AL-MUSTAQNI'  |||
Karangan Imam Manshur bin Yunus bin Shalahuddin Ibnu Hasan bin Idris al-Bahuti al-Hanbali, atau lebih dikenal dengan Imam al-Bahuti. Sebagaimana pertanyaan ulama-ulama Hanabilah, maka didalam kitab ini pun terdapat pernyataan yang sama :
(ولا تكره القراءة على القبر) لما روى أنس مرفوعا «من دخل المقابر فقرأ فيها "يس " خفف عنهم يومئذ، وكان له بعددهم حسنات» ، وصح عن ابن عمر أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها، قاله في " المبدع "، (وأي قربة) من دعاء واستغفار وصلاة وصوم وحج وقراءة وغير ذلك (فعلها) مسلم (وجعل ثوابها لميت مسلم أو حي نفعه ذلك) قال أحمد: الميت يصل إليه كل شيء من الخير للنصوص الواردة فيه، ذكره المجد وغيره حتى لو أهداها للنبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - جاز ووصل إليه الثواب
“dan tidak dimakruhkan membaca al-Qur’an diatas qubur, berdasarkan riwayat Anas secara marfu’ “barangsiapa yang masuk area pekuburan maka bacalah Yasiin didalamnya niscaya meringakan siksa penghuni pekuburan seketika itu, sedangkan bagi pembacanya terdapat kebaikan-kebaikan sejumlah penghuni pekuburan”, dan telah sah dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau berwasiat apabila di makamkan agar dibacakan pembukaan surah al-Baqarah di sampingnya hingga menghatamkannya. Pengarang telah mengatakannya didalam al-Mabda’ (fi syarhi al-Muqna), (dan adalah amaliyah qurubaat) seperti do’a, istighfar, shalat, puasa, haji, membaca al-Qur’an dan yang lainnya (yang dikerjakan) oleh seorang muslim (kemudian menjadikan pahalanya untuk mayyit yang muslim atau yang masih hidup, niscaya yang demikian bermanfaat) Ahmad berkata : setiap kebajikan bisa sampai kepada mayyit berdasarkan nas-nash yang warid tentang hal tersebut. Al-Majd dan ulama lainnya telah menyebutkannya  bahkan seandainya menghadiahkan kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam pun itu boleh dan pahalanya sampai kepada beliau”.
||| AL-BAHR AR-RAIQ SYARH KANZ AD-DAQAIQ  |||
Kitab fiqh Hanafiyah yang dikarang oleh Imam Zainuddin bin Ibrahim bin Muhammad, lebih dikenal sebagai Ibnu Najim al-Mishri al-Hanafi. Termaktub didalamnya :
ولا بأس بقراءة القرآن عند القبور وربما تكون أفضل من غيره ويجوز أن يخفف الله عن أهل القبور شيئا من عذاب القبر أو يقطعه عند دعاء القارئ وتلاوته وفيه ورد آثار «من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف الله عنهم يومئذ وكان له بعدد من فيها حسنات» . اه
“dan tidak apa-apa membaca al-Qur’an disamping qubur, dan diperbolehkan agar Allah meringakan siksa qubur penghuni pekuburan atau menghentikan siksanya dengan do’a si pembaca dan tilawahnya, dalam hal ini terdapat atsar : “barangsiapa yang masuk area pekuburan, bacalah surah Yasiin niscaya Allah meringakan siksa seketika itu dan bagi pembacanya mendapatkan kebaikan sejumlah penghuni pekuburan” selesai.
||| MURAQI AL-FALAH SYARH MATN NUR AL-IDLAH  |||
Fiqh Hanafiyah yang dikarang oleh Imam Hasan bin ‘Ammar bin ‘Ali al-Mishri al-Hanafi. Merupakan kitab syarah atau penjelasan dari kitab Nurul Idlaah wa Najaatul Arwah fil Fiqhi al-Hanafi, yaitu karangan beliau sendiri. Termaktub didalamnya yang penjelasan sebagai berikut :
ويستحب" للزائر "قراءة" سورة "يس لما ورد" عن أنس رضي الله عنه "أنه" قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من دخل المقابر فقرأ سورة يس" يعني وأهدى ثوابها للأموات "خفف الله عنه يومئذ" العذاب ورفعه وكذا يوم الجمعة يرفع فيه العذاب عن أهل البرزخ ثم لا يعود على المسلمين "وكان له" أي للقارئ "بعدد ما فيها" رواية الزيلعي من فيها من الأموات "حسنات" وعن أنس أنه سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إنا نتصدق عن موتانا ونحج عنهم وندعو لهم فهل يصل ذلك إليهم فقال: "نعم إنه ليصل ويفرحون به كما يفرح أحدكم بالطبق إذا أهدي إليه" رواه أبو جعفر العكبري فلإنسان أن يجعل ثواب عمله بغيره عند أهل السنة والجماعة صلاة أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن أو الأذكار أو غير ذلك من أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه
“Disunnahkan bagi peziarah membaca surah Yasiin, berdasarkan yang telah warid dari Anas radliyallahu ‘anh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : (barangsiapa yang masuk area pekuburan maka bacalah Yasiin) yakni dan hadiahkanlah pahalanya untuk orang-orang mati (niscaya Allah akan meringakan siksa atas orang mati seketika itu juga mengangkat derajatnya, seperti itu juga pada hari Jum’at diangkat adzab bagi penghuni alam barzah, dan bagi pembacanya akan mendapatkan kebaikan sejumlah penghuni pekuburan. Dan dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ditanya ; wahai Rasulullah sesungguhnya kami bershadaqah atas nama orang-orang mati diantara kami dan berhaji atas nama mereka, kamu juga berdoa’a untuk mereka, apakah yang demikian sampai kepada mereka ?” Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : “betul, sesungguhnya itu sampai dan mereka bahagian dengan hal tersebut, sebagaimana bahagainya salah seorang diantara kalian ketika mendapatkan hadiah, dan diriwayakan juga dari Abu Ja’far, seseorang yang menjadikan pahala amalnya untuk orang lain menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah berupa shalat, puasa, haji, shadaqah, membaca al-Qur’an, dzikir-dzikir atau yang lainnya seperti beragama amal kebajikan niscaya yang demikian sampai kepada mayyit dan memberikan manfaat”.
Kitab-kitab Fiqh Hanafiyah yang lainnya banyak menuturkan hal serupa seperti didalam Durar al-Hukkam syarah Gharar al-Ahkam, Hasyiyah ath-Thahthawi ‘alaa Muraqi al-Falah, Raddul Mukhtar ‘alaa ad-Durr al-Mukhtar  karangan Ibnu ‘Abidin dan lain sebagainya. Demikian juga didalan fiqh Malikiyah seperti didalan kitab Mawahibul Jalil fiy syarhi Mukhtashar Khalil karya al-Hathib ar-Ru’ayni al-Maliki dan lainnya sebagainya. Terkait membaca al-Qur’an di kuburan, pendapat awal madzhab Maliki memakruhkannya namun ulama-ulama mutaakhhiriin malikiyah memperbolehkannya seperti al-Qadli ‘Iyadl dan al-Qarafi.
||| AL-FIQHU 'ALAA MADZAHIBIL ARBA'AH  |||
Merupakan kitab fiqh yang merangkum pendapat-pendapat ulama madzhab, yang dikarang oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad ‘Awdl al-Jaziri. Kitab ini juga menjadi rujukan kaum Muslimin namun kebanyakan tidak menjadikannya sebagai rujukan utama, seperti halnya Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq yang tidak dijadikan rujukan utama. Termaktub didalam kitabnya :
وينبغي للزائر الاشتغال بالدعاء والتضرع والاعتبار بالموتى وقراءة القرآن للميت، فإن ذلك ينفع الميت على الأصح
“dan selayaknya bagi peziarah menyimbukkan dengan do’a serta mengambil i’tibar dengan kematian, juga membaca al-Qur’an untuk mayyit, sesungguhnya yang demikian bermanfaat bagi mayyit berdasarkan qaul yang lebih shahih”.
 ||| TUHFATUL AHWADZI BI-SYARHI JAMI' AT-TURMIDZI |||
Kitab ini dikarang oleh Syaikh Abul ‘Alaa Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri. Didalamnya terdapat beberapa riwayat terkait pembacaan al-Qur’an untuk orang mati. Kemudian dikomentari sebagai berikut :
وهذه الأحاديث وإن كانت ضعيفة فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا وأن المسلمين ما زالوا في كل مصر وعصر يجتمعون ويقرأون لموتاهم من غير نكير فكان ذلك إجماعا
“Hadits-hadits ini jika memang dlaif, maka pengumpulannya menunjukkan bahwa yang demikian memang asal, dan sungguh kaum Muslimin tidak pernah meninggalkan amalan tersebut pada setiap masa dan kota, mereka berkumpul dan membaca al-Qur’an untuk orang-orang mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkari maka jadilah itu sebagai Ijma’.”
||| MIRQATUL MAFAATIH SYARH MISYAKAH AL-MASHAABIH |||
Merupakan kitab syarah terhadap kitab Misykatul Mashabih karangan At-Tabrizii. Didalam kitab ini, menaqal beberapa komentar sebagai berikut ;
وذكر في " الأذكار " عن الشافعي وأصحابه، أنه يستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن. قالوا: وإن ختموا القرآن كله كان حسنا. وفي سنن البيهقي، أن ابن عمر استحب أن يقرأ على القبر بعد الدفن أول سورة البقرة وخاتمتها قاله الطيبي، وفي رواية: يقرأ أول البقرة عند رأس الميت وخاتمتها عند رجله. (رواه أبو داود)
“Dan disebutkan didalam al-Adzkar dari Imam asy-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, bahwa disunnahkan untuk membacakan sesuatu dari al-Qur’an disamping qubur, mereka berkata : dan jika mengkhatamkan al-Qur’an seluruhnya maka itu bagus. Didalam Sunan al-Baihaqi disebutkan : bahwa Ibnu ‘Umar (sahabat Nabi) menganjurkan untuk membacakan awal surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya diatas qubur setelah pemakaman, ini juga qaul ath-Thayyibi, dan didalam sebuah riwayat : membacakan awal surah al-Baqarah disamping kepala mayyit dan menyelesaikannya disamping kakinya (diriwayatkan oleh Abu Daud)”.
||| MADZHAB ZAIDIYYAH |||
Madzhab Zaidiyah dengan pendiri al-Imam Zaid bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, saat ini di anggap sebagai madzhab yang paling dekat dengan madzhab yang empat yakni Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali.
Pasca adanya sejumlah konflik dengan Khalifah al-Manshur, madzhab Zaidiyah mulai melemah dan menyebabkan pendapat sejumlah Imam-Imam Syi’ah mempengaruhi madzhab Zaidiyah. Beberapa dari Imam-Imam Syi’ah tidak mengakui Kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina ‘Umar sehingga masalah ini dianggap sebagai karakteristik madzhab Zaidiyah.
Namun, pada masa berikutnya para penganut Madzhab Zaidiyah mulai kembali ke ajaran Imam Zaid yang semula. Sehingga muncullah sosok yang kita kenal dengan Imam Asy-Syawkani yang mengikuti pemikiran-pemikiran awal madzhab Zaidiyah. Selain itu juga muncul sosok Imam Ash-Shan’ani yakni pengarang kitab Subulus Salaam. Yang mana kitab keduanya saat ini telah menjadi rujukan kaum Muslimin.
||| NAILUL AWTHAAR |||
Didalam kitabnya, al-Imam asy-Syawkani menyebutkan pandangan Ahl Sunnah terkait amal kebajikan untuk mayyit (orang mati) yang dibandingkan dengan pandangan aliran Mu’tazilah.
وقد اختلف في غير الصدقة من أعمال البر هل يصل إلى الميت؟ فذهبت المعتزلة إلى أنه لا يصل إليه شيء واستدلوا بعموم الآية وقال في شرح الكنز: إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن أو غير ذلك من جميع أنواع البر، ويصل ذلك إلى الميت وينفعه عند أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل، كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي: لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور، والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته، وينبغي الجزم به؛ لأنه دعاء، فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي، فلأن يجوز بما هو له أولى، ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء هذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال، والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة، بل كان أفضل الدعاء أن يدعو لأخيه بظهر الغيب انتهى وقد حكى النووي في شرح مسلم الإجماع على وصول الدعاء إلى الميت، وكذا حكى الإجماع على أن الصدقة تقع عن الميت ويصله ثوابها ولم يقيد ذلك بالولد.
“Sungguh telah diperselisihkan terkait amal-amal kebajikan selain shadaqah, apakah bisa sampai kepada orang mati ataukah tidak ?. Madzhab Mu’tazilah menyatakan bahwa tidak ada yang sampai sama sekali, mereka beristidlal dengan keumuman ayat (QS. an-Najm : 39). Didalam Syarh al-Kanz disebutkan : sesungguhnya bagi manusia yang menjadikan pahala amalnya untuk orang lain seperti shalat, puasa, haji, shadaqah, membaca al-Qur’an, atau seluruh amal-amal kebajikan lainnya, yang demikian sampai kepada mayyit (orang mati) dan memberikan manfaat kepada mayyit menurut Ahl Sunnah wal Jama’ah. Selesai. Qaul masyhur dari madzhab Asy-Syafi’i dan sekelompok dari Ashhabusy Syafi’i menyatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, jama’ah minal Ulamaa (sekelompok dari ulama) serta jama’ah min ashhabisy Syafi’i (sekelompok dari Asyhabusy Syafi’i) menyatakan sampai kepada mayyit. Seperti itu juga, al-Imam an-Nawawi telah menyebutkannya didalam al-Adzkar dan didalam Syarhul Minhaj li-Ibni an-Nahwii (dengan menyatakan) : pahala bacaan al-Qur’an untuk mayyit tidak sampai kepada orang mati berdasarkan qaul masyhur, sedangkan yang dipilih (qaul mukhtar atau yang dipilih sebagai fatwa Madzhab Syafi’i) adalah menyatakan sampai apabila memohon kepada Allah agar disampaikan pahala bacaaan al-Qur’annya (maksudnya, membaca al-Qur’an disertai iishal, red), dan selayaknya menetapkan dengan hal tersebut karena sesungguhnya do’a, apabila boleh berdo’a untuk mayyit maka kebolehan dengan perkara lain untuk mayyit lebih utama, dan perkara tersebut telah diperintahkan secara mauquf atas dianjurkannya berdo’a, makna ini tidak hanya khusus pada pembacaan al-Qur’an saja bahkan juga seluruh amal-amal kebajikan. Dan faktanya do’a telah disepakati bahwa bisa memberikan manfaat kepada mayyit maupun orang mati, baik dekat maupun jauh, baik dengan wasiat maupun tanpa wasiat, dan yang menunjukkan hal tersebut adalah banyak hadits, bahkan do’a yang lebih afdlal (utama) supaya berdo’a untuk saudaranya yang tidak terlihat (dhahrul ghayb). Selesai. Imam an-Nawawi menuturkan didalam Syarh Muslim tentang adanya Ijma’ atas sampainya do’a kepada orang mati, demikian juga ia menuturkan adanya ijma’ atas shadaqah atas nama mayyit dan pahalanya sampai kepada mayyit, serta tidak hanya sebatas dari anaknya saja”. 
||| SUBULUS SALAAM |||
Demikian juga, Imam al-Amir ‘Izzuddin Ash-Shan’ani didalam kitabnya menuturkan hal serupa tentang pembacaan al-Qur’an untuk orang mati :
وأما غيرها من قراءة القرآن له فالشافعي يقول لا يصل ذلك إليه وذهب أحمد وجماعة من العلماء إلى وصول ذلك إليه وذهب جماعة من أهل السنة والحنفية إلى أن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن أو ذكرا أو أي أنواع القرب وهذا هو القول الأرجح دليلا
“Adapun yang lainnya seperti membaca al-Qur’an untuk orang mati, maka Asy-Syafi’i mengatakan yang demikian tidak sampai, sedangkan pendapat Ahmad dan jama’ah dari ulama menyatakan sampainya yang demikian kepada mayyit, dan pendapat jama’ah dari Ahl As-Sunnah dan al-Hanafiyyah menyatakan bahwa bagi seorang manusia yang menjadikan pahala amalnya untuk orang lain berupa shalat, atau puasa, atau haji, atau shadaqah atau bacaan al-Qur’an atau dzikir-dzikir atau beragam amaliyah qurubaat, dan ini merupakan qaul yang rajih sebagai dalil”.
-----------------
||| KOMENTAR IBNU TAIMIYAH
TENTANG QS. AN-NAJM 39 DAN HADITS TERPUTUSNYA AMAL |||
Ibnu Taimiyah merupakan seorang ulama yang fatwa-fatwanya banyak menjadi rujukan kaum Wahhabiyah. Beliau dianggap sebagai ulama yang bermadzhab Hanbali yang sangat ketat. Sedangkan bagi ulama Syafi’iyyah, Ibnu Taimiyah dikatakan menyimpang terkait pembahasan aqidah. Namun, banyak hal menarik yang juga bisa di ambil hikmah dari fatwa-fatwa beliau tentang menghadiahkan pahala kepada orang mati termasuk menghadiahkan bacaan al-Qur’an untuk orang mati (mayyit).
QS. an-Najm Ayat 39 dan Hadits Terputusnya Amal
Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang QS. an-Najm 39 dan hadits terputusnya amal sebagaimana tercantum didalam kitabnya sebagai berikut  :
سئل: عن قوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى}  وقوله - صلى الله عليه وسلم -: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فهل يقتضي ذلك إذا مات لا يصل إليه شيء من أفعال البر؟
Ibnu Taimiyah di tanya tentang firman Allah {tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} dan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {apabila anak adam wafat maka terputuslah amalanya kecuali 3 hal yakni shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat untuknya dan anak shalih yang berdo’a untuknya}, apakah hal itu menunjukkan apabila seseorang wafat tidak perbuatan-perbuatan kebajikan tidak sampai kepadanya ?
الجواب: الحمد لله رب العالمين. ليس في الآية، ولا في الحديث أن الميت لا ينتفع بدعاء الخلق له، وبما يعمل عنه من البر بل أئمة الإسلام متفقون على انتفاع الميت بذلك، وهذا مما يعلم بالاضطرار من دين الإسلام، وقد دل عليه الكتاب والسنة والإجماع، فمن خالف ذلك كان من أهل البدع
Jawab ; al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, tiada didalam ayat dan tidak pula didalam hadits bahwa mayyit (orang mati) tidak mendapat manfaat dengan do’a untuknya dan dengan apa yang amalkan (kerjakan) untuknya seperti kebajikan bahkan para Imam telah sepakat bahwa mayyit (orang mati) mendapatkan manfaat atas hal itu, dan ini diketahui dengan jelas dari agama Islam, dan sungguh al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah dan Ijma’ telah menunjukkannya, oleh karena itu barangsiapa yang menyelisihi hal itu maka ia termasuk dari ahli bid’ah.
Karena panjangnya bahasan inii (ulasan Ibnu Taimiyah) yang intinya baik ibadah maliyah dan badaniyah bisa sampai kepada mayyit dan memberikan manfaat bagi orang mati, telah tersebar pembahasan ini dalam kitab-kitab beliau, maka kami singkatkan (cukupkan) untuk menyoroti hadits Inqatha'a Amaluhu menurut Ibnu Taimiyah :
أما الحديث فإنه قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فذكر الولد، ودعاؤه له خاصين؛ لأن الولد من كسبه، كما قال: {ما أغنى عنه ماله وما كسب} [المسد: 2] . قالوا: إنه ولده. وكما قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: «إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه، وإن ولده من كسبه» . فلما كان هو الساعي في وجود الولد كان عمله من كسبه، بخلاف الأخ، والعم والأب، ونحوهم. فإنه ينتفع أيضا بدعائهم، بل بدعاء الأجانب، لكن ليس ذلك من عمله
“Mengenai hadits bahwa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda : "apabila seorang manusia mati maka terputus darinya amalnya (perbuatanya) kecuali yang berasal dari tiga hal yakni : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang berdo’a untuknya". Disini menyebutkan walad (anak-anak) dan do'anya kepadanya secara khusus karena sungguh seorang anak termasuk dari usahanya, sebagaimana firman Allah Ta'alaa : "Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” (QS. Al-Lahaab : 2). Ulama telah berkata : sesungguhnya yang dimaksud itu adalah anaknya, dan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : "Sungguh sebaik-baiknya apa yang dimakan oleh seseorang adalah yang berasal dari usahanya dan sungguh anaknya bagian dari usahanya". Maka ia sebagai orang yang berusaha (sa’i) didalam hal wujudnya seorang anak maka amalnya (amal anaknya) termasuk dari kasabnya (usahanya), berbeda halnya dengan saudara, paman, ayah dan seumpama mereka. Namun, mereka itu bisa memberikan manfaat juga dengan do’a mereka bahkan juga do’a yang lainnya, akan tetapi yang demikian itu bukan dari amalnya.
والنبي - صلى الله عليه وسلم - قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث» لم يقل: إنه لم ينتفع بعمل غيره. فإذا دعا له ولده كان هذا من عمله الذي لم ينقطع، وإذا دعا له غيره لم يكن من عمله، لكنه ينتفع به
“Dan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda : "terputus amalnya kecuali 3 hal", namun tidak dikatakan : sesunggguhnya tidak mendapat manfaat dari amal orang lain. Maka ketika anaknya berdo'a untuknya, itu menjadi bagian dari amalnya yang tidak terputus,sedangkan apabila orang lain yang berdo'a untuknya, maka itu tidak menjadi bagian dari amalnya, akan tetapi bisa mendapatkan manfaat dengan hal tersebut.
||| HUKUM KELUAR ALMARHUM MEMBACA QUR'A UNTUK MAYYIT |||
Berikut merupakan jawaban Ibnu Taimiyah ketika di tanya tentang keluarga al-marhum yang membaca al-Qur’an untuk orang mati :
سئل: عن قراءة أهل الميت تصل إليه؟ والتسبيح والتحميد، والتهليل والتكبير، إذا أهداه إلى الميت يصل إليه ثوابها أم لا؟. الجواب: يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه، والله أعلم
(Ibnu Taimiyah) ditanya tentang keluarga al-Marhum yang membaca al-Qur’an yang disampaikan kepada mayyit ? Tasybih, tahmid, tahlil dan takbir, apabila menghadiahkannya kepada mayyit, apakah pahalanya sampai kepada mayyit ataukah tidak ?
Jawab : Pembacaaan al-Qur’an oleh keluarga almarhum sampai kepada mayyit, dan tasbih mereka, takbir dan seluruh dziki-dzikir karena Allah Ta’alaa apabila menghadiahkannya kepada mayyit, maka sampai kepada mayyit. Wallahu A’lam.
|||  BACAAN AL-QUR'AN SAMPAI ATAU TIDAK ? |||
Ibnu Taimiyah Pernah Ditanya Hal Yang Sama
سئل: هل القراءة تصل إلى الميت من الولد أو لا؟ على مذهب الشافعي
(Ibnu Taimiyah) ditanya tentang pembacaan al-Qur’an oleh seorang anak apakah sampai kepada mayyit atau tidak ? Bagaimana menurut madzhab asy-Syafi’i ?
الجواب: أما وصول ثواب العبادات البدنية: كالقراءة، والصلاة، والصوم، فمذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها تصل، وذهب أكثر أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها لا تصل، والله أعلم.
Jawab : Adapun sampai pahala ibadah-ibadah badaniyah seperti membaca al-Qur’an, shalat dan puasa, oleh karena itu madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sekelompok dari Ashhab Malik dan asy-Syaf’i menyatakan sampai, sedangkan pendapat kebanyakan Ashhab Malik dan asy-Syafi’i menyatakan tidak sampai. Wallahu A’lam
||| BERTAHLIL 70.000 DAN DIHADIAHKAN KEPADA MAYYIT |||
سئل: عمن «هلل سبعين ألف مرة، وأهداه للميت، يكون براءة للميت من النار» حديث صحيح؟ أم لا؟ وإذا هلل الإنسان وأهداه إلى الميت يصل إليه ثوابه، أم لا؟ الجواب: إذا هلل الإنسان هكذا: سبعون ألفا، أو أقل، أو أكثر. وأهديت إليه نفعه الله بذلك، وليس هذا حديثا صحيحا، ولا ضعيفا. والله أعلم.
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang bertahlil 70.000 kali dan menghadiahkannya kepada mayyit, supaya memberikan keringan kepada mayyit dari api neraka, haditsnya shahih ataukah tidak ? Apakah seseorang manusia yang bertahlil dan menghadiahkan kepada mayyit, pahalanya sampai kepada mayyti ataukah tidak ?
Jawab : Apabila seseorang bertahlil sejumlah yang demikian  ; 70.000 kali atau lebih sedikit atau lebih banyak dari itu dan menghadiahkannya kepada mayyit niscaya Allah akan memberikan kemanfaatan kepada mayyit dengan hal tersebut, dan  tidaklah hadits ini shahih dan tidak pula dlaif. Wallahu A’lam”.
||| PASAL KHUSUS TENTANG MEMBACA AL-QUR'AN UNTUK MAYYIT |||
Berikut merupakan penjabaran Ibnu Taimiyyah di dalam sebuah pasal khusus yang membahas pembacaan al-Qur’an untuk orang mati :
فصل : وأما القراءة، والصدقة وغيرهما من أعمال البر، فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية، كالصدقة والعتق، كما يصل إليه أيضا الدعاء والاستغفار، والصلاة عليه صلاة الجنازة، والدعاء عند قبره
Sebuah pasal : Qira’ah dan shadaqah serta selain keduanya seperti amal-amal kebajikan : tidak ada perselisihan diantara ‘ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama'ah tentang sampainya pahala ibadah-ibadah maliyah, seperti shadaqah, memerdekakan budak, sebagaimana sampainya do’a dan istighafar kepada orang mati, shalat untuk orang mati yakni shalat jenazah, dan do’a disamping kubur orang mati.
وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم، والصلاة، والقراءة، والصواب أن الجميع يصل إليه
Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah telah berselisih pendapat tentang sampainya amal-amal badaniyah, seperti puasa, shalat dan pembacaan al-Qur’an, namun yang shawab (benar) bahwa semuanya sampai kepada orang mati,
 فقد ثبت في الصحيحين عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «من مات وعليه صيام صام عنه وليه» وثبت أيضا: «أنه أمر امرأة ماتت أمها، وعليها صوم، أن تصوم عن أمها» . وفي المسند عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال لعمرو بن العاص: «لو أن أباك أسلم فتصدقت عنه، أو صمت، أو أعتقت عنه، نفعه ذلك» وهذا مذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي
Sungguh telah tsabit didalam Ash-Shahihain (Bukhari Muslim) dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau bersabda : “barangsiapa yang wafat dan masih memiliki tanggungan puasa, maka hendaknya walinya berpuasa untuknya”, dan telah tsabit juga “bahwa Nabi memerintahkan perempuan yang ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan puasa, agar berpuasa untuknya”, dan didalam al-Musnad dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau berkata kepada ‘Amru bin ‘Ash “seandainya ayahmu masuk Islam maka engkau bershadaqahlah menggantikannya (untuknya), atau engkau berpuasa, atau memerdekan budak untuknya, niscaya itu bermanfaat untuknya”, dan inilah madzhab Imam Ahmad, Abu Hanifah, sekelompok dari Ashhab Malik dan asy-Syafi’i.
وأما احتجاج بعضهم بقوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] فيقال له قد ثبت بالسنة المتواترة وإجماع الأمة: أنه يصلى عليه، ويدعى له، ويستغفر له وهذا من سعي غيره. وكذلك قد ثبت ما سلف من أنه ينتفع بالصدقة عنه، والعتق، وهو من سعي غيره. وما كان من جوابهم في موارد الإجماع فهو جواب الباقين في مواقع النزاع. وللناس في ذلك أجوبة متعددة
Adapun sebagian mereka yang berhujjah dengan firman Allah Ta'alaa {tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} maka dikatakan kepadanya (jawaban untuknya), sungguh telah tsabit berdasarkan Sunnah yang Mutawatir dan Ijma’ Umat : bahwa sesungguhnya mayyit dishalatkan atasnya, dido’akan untuknya, di istighfarkan (dimohonkan ampun) untuknya dan ini dari usaha orang lain, dan sebagaimana juga telah tsabit pada salafush shaleh seperti mayyit mendapatkan manfaat dengan shadaqah untuknya dan membebaskan budak, dan semua itu dari usaha orang lain, dan jawaban mereka didalam masalah yang bersifat ijma' merupakan jawaban yang telah berlalu sebelumnya terhadap yang diperselisihkan, dan masalah tersebut bagi umat Islam terdapat jawaban yang bermacam-macam.
لكن الجواب المحقق في ذلك أن الله تعالى لم يقل: إن الإنسان لا ينتفع إلا بسعي نفسه، وإنما قال: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] فهو لا يملك إلا سعيه، ولا يستحق غير ذلك. وأما سعي غيره فهو له، كما أن الإنسان لا يملك إلا مال نفسه ونفع نفسه. فمال غيره ونفع غيره هو كذلك للغير؛ لكن إذا تبرع له الغير بذلك جاز
Akan tetapi jawaban ulama ahli Tahqiq terhadap masalah tersebut (an-Najm : 39) adalah yakni Allah Ta'alaa tidak berfirman : "bahwasanya manusia tidak bisa mendapatkan manfaat kecuali dengan amalnya sendiri", sebaliknya Allah Ta'alaa berfirman : "dan tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan", maka ia tidak memiliki kecuali yang diusahakannya dan juga tidak berhak selain yang demikian. adapun usaha orang lain maka itu untuk orang lain tersebut, sebagaimana manusia tidak memiliki (harta) kecuali harta yang ia usahakan sendiri dan memanfaatkannya sendiri, maka harta orang lain dan manfaat orang lain itu sebagaimana untuk orang lain itu sendiri, akan tetapi jika orang lain memberikan untuknya dengan hal yang demikian maka itu boleh
وهكذا هذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه الله بذلك، كما ينفعه بدعائه له، والصدقة عنه، وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم، سواء كان من أقاربه، أو غيرهم، كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند قبره
Dan seperti itu juga apabila orang lain memberikan untuknya dengan usaha orang tersebut niscaya Allah memberikan manfaat dengan hal tersebut, sebagaimana bermanfaatnya do'a orang tersebut untuknya, juga shadaqah untuknya, dan itu berarti mendapatkan manfaat dengan setiap yang sampai kepadanya yang berasal dari setiap muslim, sama saja baik yang berasal dari kerabatnya atau orang lain, sebagaimana mendapatkan manfaat dengan shalat umat Islam atas mayyit dan do'a umat islam untuk mayyit disamping quburnya.
||| IBNU TAIMIYYAH BICARA MASALAH KEUTAMAAN (AFDLALIYAH) |||
Ibnu Taimiyyah Hanya Bicara Soal Keutamaan (Afdlaliyah) Bukan Membid’ahkan. Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mana yang lebih utama (afdlal) antara menghadiahkan pahala kepada orang tua atau kepada kaum Muslimin. Dalam  hal ini, pembahasan Ibnu Taimiyah hanya menguraikan masalah keutamaan. Berikut adalah redaksinya :
سئل: عمن يقرأ القرآن العظيم، أو شيئا منه، هل الأفضل أن يهدي ثوابه لوالديه، ولموتى المسلمين؟ أو يجعل ثوابه لنفسه خاصة؟
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang membaca al-Qur’an al-‘Adhim atau sebagian dari al-Qur’an, apakah lebih utama (afdlall) agar menghadiahkan pahalanya kepada kedua orang tuanya, dan kepada orang muslim yang wafat ? atau hanya menjadikan pahalanya untuk dirinya sendiri saja ?
الجواب: أفضل العبادات ما وافق هدي رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وهدي الصحابة، كما صح عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه كان يقول في خطبته: «خير الكلام كلام الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة» . وقال - صلى الله عليه وسلم -: خير القرون قرني، ثم الذين يلونهم
Jawab : Ibadah-ibadah yang lebih utama adalah yang sesuai dengan pentunjuk Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan petunjuk para sahabat, sebagaimana telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang mana beliau bersabda didalam khutbahnya : "sebaik-baiknya perkataan adalah Kalamullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sedangkan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid'ah itu sesat", Nabi shallallahu 'alayhi wa salam juga bersabda : "sebaik-baiknya qurun (generasi) adalah kurun-ku, kemudian yang datang setelah mereka".
وقال ابن مسعود: من كان منكم مستنا فليستن بمن قد مات؛ فإن الحي لا تؤمن عليه الفتنة، أولئك أصحاب محمد
Ibnu Ma'sud berkata : barangsiapa diantara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam
فإذا عرف هذا الأصل. فالأمر الذي كان معروفا بين المسلمين في القرون المفضلة، أنهم كانوا يعبدون الله بأنواع العبادات المشروعة، فرضها ونفلها، من الصلاة، والصيام، والقراءة، والذكر، وغير ذلك وكانوا يدعون للمؤمنين والمؤمنات، كما أمر الله بذلك لأحيائهم، وأمواتهم، في صلاتهم على الجنازة، وعند زيارة القبور، وغير ذلك
Maka apabila telah diketahui pondasi (pokok) ini, maka perkara yang telah ma’ruf diantara kaum muslimin pada qurun mufadldlalah (penuh karunia), bahwa mereka beribadah kepada Allah dengan berbagai macam ibadah yang masyru’, baik fardlu maupun nafilah (sunnah), seperti shalat, puasa, qiraa’ah (membaca al-Qur'an), dzikir dan yang lainnya, mereka berdo’a untuk mukminin dan mukminat, sebagaimana Allah perintahkan dengan hal itu untuk orang-orang yang hidup dan orang mati, baik didalam shalat jenazah juga ketika ziarah kubur dan yang lainnya.
وروي عن طائفة من السلف عند كل ختمة دعوة مجابة، فإذا دعا الرجل عقيب الختم لنفسه، ولوالديه، ولمشايخه، وغيرهم من المؤمنين والمؤمنات، كان هذا من الجنس المشروع. وكذلك دعاؤه لهم في قيام الليل، وغير ذلك من مواطن الإجابة
Telah diriwayatkan dari sekelompok salafush shaleh dimana setiap kali khatam (al-Qur’an) merupakan waktu do’a yang di ijabah, maka apabila seseorang berdo’a mengiringi khatmil Qur’an untuk dirinya sendiri, kedua orang tuanya, masyayikh-nya dan yang lainnya seperti mukminin dan mukminaat, hal ini merupakan termasuk dari jenis ibadah yang masyru’, dan sebagaimana juga do’anya untuk mereka ketika qiyamul lail (shalat malam), dan yang lainnya seperti momen-momen yang di ijabah
وقد صح عن النبي - صلى الله عليه وسلم -: أنه أمر بالصدقة على الميت، وأمر أن يصام عنه الصوم. فالصدقة عن الموتى من الأعمال الصالحة، وكذلك ما جاءت به السنة في الصوم عنهم. وبهذا وغيره احتج من قال من العلماء: إنه يجوز إهداء ثواب العبادات المالية، والبدنية إلى موتى المسلمين. كما هو مذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي
Dan telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau memerintahkan bershadaqah untuk mayyit dan puasa untuk mayyit. Shadaqah untuk mayyit termasuk dari amal-amal shalih, dan demikian juga perkara yang berasal dari sunnah tentang puasa untuk mereka, dan berdasarkan hal ini serta berdasarkan yang lainnya sebagian ulama berhujjah : bahwa boleh menghadiahkan (memberikan) pahala ibadah-ibadah maliyah dan badaniyah kepada orang muslim yang meninggal, sebagaimana itu adalah madzhab Ahmad, Abu Hanifah dan sekelompok ulama dari Ashhab Malikk dan asy-Syafi’i
فإذا أهدي لميت ثواب صيام، أو صلاة، أو قراءة، جاز ذلك، وأكثر أصحاب مالك، والشافعي يقولون: إنما يشرع ذلك في العبادات المالية، ومع هذا لم يكن من عادة السلف إذا صلوا تطوعا، وصاموا، وحجوا، أو قرءوا القرآن. يهدون ثواب ذلك لموتاهم المسلمين، ولا لخصوصهم، بل كان عادتهم كما تقدم، فلا ينبغي للناس أن يعدلوا عن طريق السلف، فإنه أفضل وأكمل. والله أعلم.
Maka (oleh karena itu), apabila puasa, shalat dan qiraa’ah di hadiahkan untuk mayyit maka itu boleh, namun kebanyakan Ashhab Malik dan Ashhab asy-Syafi’i mengatakan : sesungguhnya yang demikian disyariatkan pada ibadah-ibadah maliyah saja, dan bersamaan hal ini tiada dari kebiasaan salafush shaleh ketika mereka shalat sunnah, puasa, haji atau membaca al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahala yang demikian untuk orang-orang mati diantara mereka yang muslim, tidak pula kepada orang-orang khusus diantara mereka, bahkan itu menjadi kebiasaan mereka sebagaimana (pemaparan) sebelumnya, maka tidak sepatutnya bagi manusia untuk mengadili dari jalan shalafush shaleh, sebab itu lebih utama (afdlaliyah) dan lebih sempurna. Wallahu A’lam
Lihat : Ibid [3/37-38]. Ada juga hal menarik yang berasal dari Majmu’ Fatawa Ibnu    Taimiyah mengenai pertanyaan yang di ajukan kepada Ibnu Taimiyah, yang mana pertanyaan tersebut “mirip” dengan kegiatan majelis dzikir berupa tahlilan beserta bacaannya seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan sebagainya :
وسئل: عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم: هذا الذكر بدعة وجهركم في الذكر بدعة وهم يفتتحون بالقرآن ويختتمون ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة ويصلون على النبي صلى الله عليه وسلم والمنكر يعمل السماع مرات بالتصفيق ويبطل الذكر في وقت عمل السماع. فأجاب: الاجتماع لذكر الله واستماع كتابه والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات في الأوقات ففي الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: {إن لله ملائكة سياحين في الأرض فإذا مروا بقوم يذكرون الله تنادوا هلموا إلى حاجتكم} وذكر الحديث وفيه {وجدناهم يسبحونك ويحمدونك} لكن ينبغي أن يكون هذا أحيانا في بعض الأوقات والأمكنة فلا يجعل سنة راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه في الجماعات؟ من الصلوات الخمس في الجماعات ومن الجمعات والأعياد ونحو ذلك. وأما محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة أو القراءة أو الذكر أو الدعاء طرفي النهار وزلفا من الليل وغير ذلك: فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من عباد الله قديما وحديثا
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia mengatakan kepada mereka (ahli dzikir) “ini dzikir bid’ah dan menyaringkan suara didalam dzikir kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan menutup dzikirnya dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a untuk kaum muslimin yang hidup maupun yang mati, mereka mengumpulkan antara bacaan tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah [Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billah], mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.. .
Jawab : Berkumpul untuk dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal shalih, dan itu termasuk dari paling utamanya qurubaat (amal mendekatkan diri kepada Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam hadits Shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian di bumi, ketika mereka melewati sebuah qaum (perkumpulan) yang berdzikir kepada Allah, mereka (para malaikat) berseru : “silahkan sampaikan hajat kalian”. dan disebutkan didalam hadits tersebut, terdapat redaksi “dan kami menemukan mereka sedangkan bertasbih kepada-Mu dan bertahmid (memuji)-Mu”, akan tetapi selayaknya ha ini di hidupkan kapan saja dan dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah yang dirutinkan kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang berketerusan dalam jama’ah ? seperti shalat 5 waktu (dilakukan) dalam jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara rutinitas wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an, atau mengingat Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam atau pada waktu lainnya, maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah sebelumnya dan sekarang.
||| KOMENTAR IBNUL QAYYIM AL-JAUZIYYAH |||
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah merupakan murid dari Ibnu Taimiyah, yang juga menjadi rujukan kaum Wahhabiyah. Didalam salah satu kitabnya yaitu ar-Ruh termaktub hal-hal sebagai berikut :
وَقد ذكر عَن جمَاعَة من السّلف أَنهم أوصوا أَن يقْرَأ عِنْد قُبُورهم وَقت الدّفن قَالَ عبد الْحق يرْوى أَن عبد الله بن عمر أَمر أَن يقْرَأ عِنْد قَبره سُورَة الْبَقَرَة وَمِمَّنْ رأى ذَلِك الْمُعَلَّى بن عبد الرَّحْمَن وَكَانَ الامام أَحْمد يُنكر ذَلِك أَولا حَيْثُ لم يبلغهُ فِيهِ أثر ثمَّ رَجَعَ عَن ذَلِك
“dan sungguh telah disebutkan dari jama’ah salafush shalih bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an disisi qubur mereka waktu dimakamkan, Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman, sedangkan awalnya Imam Ahmad mengingkari yang demikian karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’ dari yang demikian”
وَقَالَ الْخلال فِي الْجَامِع كتاب الْقِرَاءَة عِنْد الْقُبُور اُخْبُرْنَا الْعَبَّاس بن مُحَمَّد الدورى حَدثنَا يحيى بن معِين حَدثنَا مُبشر الحلبى حَدثنِي عبد الرَّحْمَن بن الْعَلَاء بن اللَّجْلَاج عَن أَبِيه قَالَ قَالَ أَبى إِذا أنامت فضعنى فِي اللَّحْد وَقل بِسم الله وعَلى سنة رَسُول الله وَسن على التُّرَاب سنا واقرأ عِنْد رأسى بِفَاتِحَة الْبَقَرَة فإنى سَمِعت عبد الله بن عمر يَقُول ذَلِك قَالَ عَبَّاس الدورى سَأَلت أَحْمد بن حَنْبَل قلت تحفظ فِي الْقِرَاءَة على الْقَبْر شَيْئا فَقَالَ لَا وَسَأَلت يحيى ابْن معِين فحدثنى بِهَذَا الحَدِيث
“dan al-Khallal didalam al-Jami’ kitab tentang pembacaan al-Qur’an disisi kubur, telah mengkhabarkan kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad ad-Dauri, menceritakan kepada kami Yahya bin Mu’in, menceritakan kepada kami Mubasysyir al-Halabi, menceritakan kepadaku Abdurrahman bin al-‘Alaa’ bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berkata : ayahnya berkata : apabila aku mati, kuburlah aku didalam liang lahad dan ucapakanlah “dengan asma Allah dan atas Sunnah Rasulillah”, kemudian ratakanlah diatas tanah, dan bacalah disisi (qubur) kepalaku pembukaan surah al-Baqarah, sebab aku mendengar Abdullah bin ‘Umar mengatakan hal itu, ‘Abbas ad-Dauri lalu berkata : aku bertanya kepada Ahmad  bin Hanbal, aku katakan : Ia hafal sesuatu tentang pembacaan al-Qur’an diatas qubur, ia menjawab : tidak, dan aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in, maka ia menceritakan kepadaku hadits ini.
قَالَ الْخلال وَأَخْبرنِي الْحسن بن أَحْمد الْوراق حَدَّثَنى على بن مُوسَى الْحداد وَكَانَ صَدُوقًا قَالَ كنت مَعَ أَحْمد بن حَنْبَل وَمُحَمّد بن قدامَة الجوهرى فِي جَنَازَة فَلَمَّا دفن الْمَيِّت جلس رجل ضَرِير يقْرَأ عِنْد الْقَبْر فَقَالَ لَهُ أَحْمد يَا هَذَا إِن الْقِرَاءَة عِنْد الْقَبْر بِدعَة فَلَمَّا خرجنَا من الْمَقَابِر قَالَ مُحَمَّد بن قدامَة لِأَحْمَد بن حَنْبَل يَا أَبَا عبد الله مَا تَقول فِي مُبشر الْحلَبِي قَالَ ثِقَة قَالَ كتبت عَنهُ شَيْئا قَالَ نعم فَأَخْبرنِي مُبشر عَن عبد الرَّحْمَن بن الْعَلَاء اللَّجْلَاج عَن أَبِيه أَنه أوصى إِذا دفن أَن يقْرَأ عِنْد رَأسه بِفَاتِحَة الْبَقَرَة وخاتمتها وَقَالَ سَمِعت ابْن عمر يُوصي بذلك فَقَالَ لَهُ أَحْمد فَارْجِع وَقل للرجل يقْرَأ
“al-Khallal berkata : telah mengkhabrkan kepadaku al-Hasan bin Ahmad al-Warraq, menceritakan kepadaku ‘Ali bin Musa al-Haddad sedangkan ia adalah orang yang jujur (shaduq), ia berkata : aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari pada sebuah jenazah, ketika itu telah selesai pemakaman mayyit maka duduklah seorang laki-laki buta membacakan al-Qur’an disisi qubur, kemudian Ahmad berkata kepadanya : “hai.. apa ini ? sesungguhnya pembacaan al-Qur’an disisi qubur adalah bid’ah”. Maka ketika kami keluar dari area pekuburan, kemudian Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal : “wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Mubasysyir al-Halabi ?” Ahmad berkata  : “tsiqah”, al-Jauhari berkata : “apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya ?” Ahmad berkata : “iya”. Maka mengkhabarkan kepada Mubasyyir dari Abdurrahman bin al-‘Alaa’ al-Lajlaj dari ayahnya bahwa ia berwasiat apabila dimakamkan agar membaca disisi kepala (qubur) nya dengan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar mewasiatkan hal itu, kemudian Ahmad berkata kepadanya : maka kembalilah dan katakanlah kepada laki-laki agar membacanya”.
وَقَالَ الْحسن بن الصَّباح الزَّعْفَرَانِي سَأَلت الشَّافِعِي عَن الْقِرَاءَة عِنْد الْقَبْر فَقَالَ لَا بَأْس بهَا
“al-Hasan bin ash-Shabbah az-Za’farani berkata ; aku bertanya kepada Imam asy-Syafi’i tentang pembacaan al-Qur’an disisi qubur, maka beliau menjawab : hal itu tidak apa-apa”.
وَذكر الْخلال عَن الشّعبِيّ قَالَ كَانَت الْأَنْصَار إِذا مَاتَ لَهُم الْمَيِّت اخْتلفُوا إِلَى قَبره يقرءُون عِنْده الْقُرْآن قَالَ وَأَخْبرنِي أَبُو يحيى النَّاقِد قَالَ سَمِعت الْحسن بن الجروى يَقُول مَرَرْت على قبر أُخْت لي فَقَرَأت عِنْدهَا تبَارك لما يذكر فِيهَا فَجَاءَنِي رجل فَقَالَ إنى رَأَيْت أختك فِي الْمَنَام تَقول جزى الله أَبَا على خيرا فقد انتفعت بِمَا قَرَأَ أَخْبرنِي الْحسن بن الْهَيْثَم قَالَ سَمِعت أَبَا بكر بن الأطروش ابْن بنت أبي نصر بن التمار يَقُول كَانَ رجل يَجِيء إِلَى قبر أمه يَوْم الْجُمُعَة فَيقْرَأ سُورَة يس فجَاء فِي بعض أَيَّامه فَقَرَأَ سُورَة يس ثمَّ قَالَ اللَّهُمَّ إِن كنت قسمت لهَذِهِ السُّورَة ثَوابًا فاجعله فِي أهل هَذِه الْمَقَابِر
“al-Khallal menuturkan dari asy-Sya’bi, ia berkata : shahabat (qaum) Anshar ketika seseorang antara mereka wafat, mereka saling datang ke quburnya dan membacakan al-Qur’an disisi quburnya, Ia berkata : “dan mengkhabarkanepadaku Abu Yahya an-Naqid, ia berkata : aku mendengar al-Hasan bin al-Jarwiy mengatakan : aku berjalan ke qubur saudara perempuanku kemudian aku membaca surah Tabarak (al-Mulk) disisi (qubur) nya, setelah menuturkan tentangnya maka seorang laki-laki datang kepadaku, kemudian berkata :  sesungguhnya aku melihat saudara perempuanmu dalam mimpi mengatakan : semoga Allah membalas kebaikan Abu ‘Ali, sungguh memberikan manfaat kepadaku apa yang ia baca”, Telah mengkhabarkan kepadaku al-Hasan bin al-Haitsam, ia berkata : aku mendengar Abu Bakar bin al-Athrusy Ibnu binti Abu Nashr bin at-Tamar mengatakan : seorang laki-laki datang ke qubur ibunya pada hari Jum’at kemudian membaca surah Yasiin, pada sebgian hari yang lain ia juga datang membaca surah Yasiin, kemudian berdoa : “ya Allah jika Engkau membagikan pahala dengan surah ini, maka jadikanlah pahalanya untuk penghuni pekuburan ini”.
فَلَمَّا كَانَ يَوْم الْجُمُعَة الَّتِي تَلِيهَا جَاءَت امْرَأَة فَقَالَت أَنْت فلَان ابْن فُلَانَة قَالَ نعم قَالَت إِن بِنْتا لي مَاتَت فرأيتها فِي النّوم جالسة على شَفير قبرها فَقلت مَا أجلسك هَا هُنَا فَقَالَت إِن فلَان ابْن فُلَانَة جَاءَ إِلَى قبر أمه فَقَرَأَ سُورَة يس وَجعل ثَوَابهَا لأهل الْمَقَابِر فأصابنا من روح ذَلِك أَو غفر لنا أَو نَحْو ذَلِك
“Ketika telah tiba hari Jum’at berikutnya, seorang perempuan datang menemuinya kemudian perempuan itu berkata : apakah engkau Fulan bin Fulanah ? ia berkata : “betul”, perempuan itu berkata : sesungguhnya putriku meninggal dunia dan aku melihat didalam mimpi ia sedang duduk diatas quburnya, kemudian aku berkata : kenapa engkau duduk disini ? ia berkata : sesungguhnya Fulan bin Fulanah datang ke quburnya ibunya kemudian membaca surah Yasiin, dan menjadikan pahalanya untuk seluruh penghuni quburan, maka kami mendapatkan dari ruh yang demikian atau pengampunan bagi kami atau seumpama itu”.
Masih terkait penuturan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah tentang membaca al-Qur’an untuk orang mati :
وأما قراءة القرآن وإهداؤها له تطوعا بغير أجرة فهذا يصل إليه كما يصل ثواب الصوم والحج
“Adapun membaca al-Qur’an dan menghadiahkannya kepada mayyit merupakan anjuran dengan tanpa bayaran, maka ini sampai kepada mayyit sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji.”
 ||| POLEMIK KARYA MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB |||
Ahkam at-Tamanni al-Maut dikenal sebagai kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (pengasas Wahhabiyah). Akan tetapi ini di tolak oleh kalangan Wahhabiyah sebagai karangan syaikh mereka. Mereka mengatakan bahwa kitab tersebut adalah karangan orang lain yang di salin oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan tulisan tangannya pada rihlah nya untuk memerika dan meneliti kandungannya. Salah satu tokoh Wahhabi bahkan menulis risalah khusus sebagai penolakan sebagai nisbat kitab tersebut kepada Muhammad bin Abdul Wahab.
Adalah Shalih bin Fauzan al-Fauzan al-Wahhabi yang mengarang risalah khusus sebagai pentuk penolakan dengan berjudul
إبطال نسبة كتاب ‏"‏أحكام تمني الموت‏"‏ إلى الشيخ الإمام محمد بن عبد الوهاب
Ibthaal Nisbati Kitaab “Ahkaami Tamanni Al-Maut” Ilaa Asy Syaikh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. Selain itu ada juga  tokoh Wahhabi lainnya seperti Hasan Alu Salman, Abdul ‘Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abdul Muhsin bin Hamma al-‘Abbad al-Bard, Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan lain sebagainya.
Sedangkan tokoh Wahhabi lainnya menshahihkan dan menerimanya sebagai karya Muhammad bin Abdul Wahab berdasarkan penelitian (tahqiq) mereka atas kitab tersebut dan salinannya [771/86] berada di Maktabah As-Su’udiyyah di Riyadl.
Tokoh Wahhabiyah yang telah menshahihkannya kitab tersebut sebagai karya Muhammad bin Abdul Wahab adalah Abdullah bin Muhammad As-Sarhan dan Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin.

Belakangan disebut-sebut juga bahwa tokoh Wahhabiyah yang telah melakukan tahqiq dan menshahihkan kitab tersebut, telah ruju’ dan ikut menolaknya menurut kalangan Wahhabiyah.
Apapun polemik tersebut, berikut diantara redaksi menarik dalam kitab tersebut ;
أخرج ابن عبد البر عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "ما من أحد يمر بقبر أخيه المؤمن - كان يعرفه في الدنيا - فيسلم عليه، إلا عرفه ورد عليه السلام" صححه عبد الحق، وفي الباب عن أبي هريرة وعائشة
"Ibnu 'Abdil Barr meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia berkata : "Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda : "tidak seorang pun yang berjalan di qubur saudaranya yang mukmin -yang dikenalnya ketika didunia, kemudian ia memberi salam atasnya, kecuali ia mengetahuinya dan membalas salam kepadanya". Abdul Haq menshahihkannya, dan didalam sebuah bab dari Abu Hurairah dan 'Aisyah". [3]
Pada halaman berikutnya :
وأخرج سعد الزنجاني عن أبي هريرة مرفوعا: "من دخل المقابر ثم قرأ فاتحة الكتاب، وقل هو الله أحد، وألهاكم التكاثر، ثم قال: إني جعلت ثواب ما قرأت من كلامك لأهل المقابر من المؤمنين والمؤمنات، كانوا شفعاء له إلى الله تعالى". وأخرج عبد العزيز صاحب الخلال بسنده عن أنس مرفوعا: "من دخل المقابر، فقرأ سورة يس، خفف الله عنهم، وكان له بعدد من فيها حسنات".
“Sa’ad az-Zanjani telah meriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu : “barangsiapa yang masuk area pekuburan, kemudian membaca Fatihatul Kitab (surah al-Fatihah), Qul huwallahu Ahad (al-Ikhlas) dan Alhaakumut Takatsur (at-Takatsur), kemudian berkata : sesungguhnya aku menjadikan pahala apa yang aku baca dari firman-Mu (al-Qur’an) ini untuk penghuni pekuburan  yang mukminin maupun mukminaat”, maka mereka menjadi penolongnya kepada Allah Ta’alaa”. Abdul ‘Aziz shahibul Khalal meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Anas secara marfu : “barangsiapa yang masuk area pekuburan, kemudian membaca surah Yasiin, niscaya Allah akan akan meringakan siksa dari mereka, dan kebaikan bagi pembacanya sebanyak penghuni qubur tersebut”.
||| FATWA MUHAMMAD BIN SHALIH AL-'UTSAIMIN |||
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin merupakan Syaikhul Wahhabiyah yang fatwa-fatwanya juga banyak menjadi rujukan pengikut sekte Wahhabiyah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin al-Wahib at-Tamimi atau lebih dikenal dengan Syaikh al-Utsaimin. Dalam beberapa fatwanya, terdapat pernyataan menarik yang mungkin jarang di publikasikan oleh pengikut Wahhabiyah tentang bacaaan al-Qur'an untuk orang mati. Berikut diantara pernyataan beliau :
PENDAPAT YANG SHAHIH TENTANG MEMBACA AL-QUR'AN UNTUK ORANG MATI
وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان يقرأوينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل
"Pembacaan al-Qur'an untuk orang mati dengan pengertian bahwa manusia membaca al-Qur'an serta meniatkan untuk menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa membaca al-Qur'an untuk orang mati memberikan manfaat, akan tetapi do'a adalah yang lebih utama (afdlal).".
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin pernah ditanya tentang hukum membaca al-Qur’an untuk roh orang mati. Menariknya adalah bahwa menurut pandangan beliau ; yang rajih adalah bahwa bacaan al-Qur’an sampai kepada orang mati apabila ditujukan untuk orang mati tersebut ;
PENDAPAT YANG RAJIH TENTANG MEMBACA AL-QUR'AN UNTUK ORANG MATI
سئل فضيلة الشيخ: عن حكم التلاوة لروح الميت؟
Fadlilatusy Syaikh ditanya tentang hukum tilawah (membaca al-Qur’an) untuk orang mati ?
فأجاب قائلًا: التلاوة لروح الميت يعني أن يقرأ القرآن وهو يريد أن يكون ثوابه لميت من المسلمين هذه المسألة محل خلاف بين أهل العلم على قولين: القول الأول: أن ذلك غير مشروع وأن الميت لا ينتفع به أي لا ينتفع بالقرآن في هذه الحال. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبًا أو غير قريب.
Jawaban : Tilawah  untuk roh orang mati yakni membaca al-Qur’an karena ingin memberikan pahalanya untuk mayyit (orang mati) yang muslim, masala h ini terdapat perselisihan diantara ahlul ilmi atas dua pendapat : Pertama, sungguh itu bukan perkara yang masyru’ (tidak disyariatkan) dan sungguh mayyit tidak mendapat manfaat dengan hal itu yakni tidak mendapatkan manfaat dengan pembacaan al-Qur’an pada perkara ini. Kedua, sesungguhnya mayyit mendapatkan manfaat dengan hal itu, dan sesungguhnya boleh bagi umat Islam untuk membaca al-Qur’an dengan meniatkan pahalanya untuk fulan atau fulanah yang beragama Islam, sama saja baik dekat atau tidak dekat (alias jauh).
والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت، كما في حديث سعد ابن عبادة -رضي الله عنه- حين تصدق ببستانه لأمه، وكما في قصة الرجل الذي قال للنبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «إن أمي افْتُلِتَت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها؟ قال النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: "نعم» وهذه قضايا أعيان تدل على أن صرف جنس العبادات لأحد من المسلمين جائز وهو كذلك، ولكن أفضل من هذا أن تدعو للميت، وتجعل الأعمال الصالحة لنفسك لأن النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قال: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» . ولم يقل: أو ولد صالح يتلو له أو يصلي له أو يصوم له أو يتصدق عنه بل قال: - «أو ولد صالح يدعو له» والسياق في سياق العمل، فدل ذلك على أن الأفضل أن يدعو الإنسان للميت لا أن يجعل له شيئًا من الأعمال الصالحة، والإنسان محتاج إلى العمل الصالح، أن يجد ثوابه له مدخرًا عند الله -عز وجل-.
Dan yang rajih (yang kuat) : adalah qaul (pendapat) yang kedua, karena sesungguhnya telah warid sebagai sebuah jenis ibadah yang boleh memindahkan pahalanya untuk mayyit (orang mati) karena sesungguhnya telah warid sebagai , sebagaimana pada hadits Sa’ad bin ‘Ubadah radliyallahu ‘anh ketika ia menshadaqahkan kebunnya untuk ibunya, dan sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan aku menduga seandainya ia sempat berbicara ia akan meminta untuk bershadaqah, maka bolehkah bershadaqah untuknya ? Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”, ini sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa memindahkan pahala jenis ibadah untuk salah seorang kaum Muslimin adalah boleh, dan demikian juga terkait membaca al-Qur’an. Akan tetapi yang lebih utama dari perkara ini agar mereka berdo’a untuk mayyit, serta menjadikan amal-amal shalih untuk dirimu sendiri, karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “Apabila bani Adam mati maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selali mendo’akannya”. Tidak dikatakan, “atau anak shalih yang melakukan tilawah untuknya, atau shalat untuknya, atau puasa untuknya, atau shadaqah untuknya, akan tetapi Nabi bersabda : “atau anak shalih yang berdo’a untuknya”,
Maka ini menunjukkan bahwa seorang manusia berdo’a untuk mayyit itu lebih utama (afdlal) dari pada menjadikan amal-amal shalihnya lainnya untuk mayyit, dan manusia membutuhkan amal shalih agar pahalanya menjadi simpanan disisi Allah ‘Azza wa Jalla.”
Tidak hanya itu, Syaikh al-Utsaimin al-Wahhabi juga pernah ditanya tentang surah an-Najm ayat 39. Ulama sendiri memiliki berbagai jawaban dalam menjelaskan ayat ini namun ulama tidak menafikan bahwa seseorang memang bisa memperoleh manfaat dari orang lain, sebab nas untuk hal ini telah mutawatir baik didalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Seperti itu juga Syaikh al-Utsaimin yang tidak menafikan bahwa seseorang bisa memperoleh manfaat dari amal orang lain :
KOMENTAR TENTANG QS. AN-NAJM 39 DAN HADITS TERPUTUSNYA AMAL
وسئل فضيلة الشيخ: هل قوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} يدل على أن الثواب لا يصل إلى الميت إذا أهدي له؟
Fadlilatusy Syaikh  ditanya : apakah firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa} menunjukkan atas bahwa pahala tidak sampai kepada mayyit apabila di hadiahkan untuknya ?
فأجاب بقوله: قوله - تعالى-: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} المراد -والله أعلم- أن الإنسان لا يستحق من سعي غيره شيئًا، كما لا يحمل من وزر غيره شيئًا، وليس المراد أنه لا يصل إليه ثواب سعي غيره؛ لكثرة النصوص الواردة في وصول ثواب سعي الغير إلى غيره وانتفاعه به إذا قصده به، فمن ذلك:
Jawab : tentang firman Allah { wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa } maksudnya –wallahu a’lam- bahwa manusia tidak berhak terhadap usaha orang lain, sebagaimana seseorang tidak memikul sesuatu tanggungan orang lain, namun maksudnya bukanlah bahwa pahala usaha orang lain tidak sampai kepadanya, sebab banyak nas-nas yang warid tentang sampainya pahala usaha orang lain kepada orang lain dan memberi manfaat dengan hal itu apabila di qashadkan (ditujukan) untuknya. Diantara yang demikian adalah :
الدعاء فإن المدعو له ينتفع به بنص القرآن والسنة وإجماع المسلمين، ... الصدقة عن الميت ... الصيام عن الميت ... الحج عن غيره ... الأضحية عن الغير ... اقتصاص المظلوم من الظالم بالأخذ من صالح أعماله .... انتفاعات أخرى بأعمال الغير: كرفع درجات الذرية في الجنة إلى درجات آبائهم، وزيادة أجر الجماعة بكثرة العدد، وصحة صلاة المنفرد بمصافة غيره له، والأمن والنصر بوجود أهل الفضل
“Do’a, maka sesungguhnya orang yang berdo’a untuk mayit niscaya bermanfaat dengan hal tersebut, berdasarkan nash al-Qur’an , As-Sunnah dan Ijma’ Muslimi ; shadaqah atas nama mayyit ; puasa atas nama mayyit ; haji dari orang lain ; sembelihan dari orang lain ; orang yang terdlalimin mendapatkan kebaikan yang diambil dari amal orang yang mendlalimi, ; mendapatkan manfaat yang lain dengan amal orang lain seperti anak-anak diangkat derajatnya di surga ke derajat ayah-ayah mreka, shalat pahala berjama’ah bertambah karena banyaknya jumlah (orang lain) ; sahnya shalat orang yang sendiri dengan adanya orang yang mengikut kepadanya ; aman dan tentram karena adanya orang-orang yang bijak sana”.
Masih seputar hal yang sama yang pernah di tanyakan kepada beliau :
YANG DISEPAKATI  DAN DIPERSELISIHKAN
سئل فضيلة الشيخ رحمه الله تعالى: ما حكم الصلاة عن الميت والصوم له؟ فأجاب فضيلته بقوله: هناك أربعة أنواع من العبادات تصل إلى الميت بالإجماع، وهي: الأول: الدعاء. الثاني: الواجب الذي تدخله النيابة. الثالث: الصدقة.  الرابع: العتق. وما عدا ذلك فإنه موضع خلاف بين أهل العلم: فمن العلماء من يقول: إن الميت لا ينتفع بثواب الأعمال الصالحة إذا أهدي له في غير هذه الأمور الأربعة
“Al-Utsaimin di tanya : Apa hukum shalat dan puasa dari orang lain untuk mayyit ? Jawab : terdapat 4 macam jenis ibadah yang sampai kepada mayyit berdasarkan ijma’, yakni
1.      Do’a
2.      Ibadah wajib yang bisa di pindahkan
3.      Shadaqah
4.      Membebaskan budak
Dan yang tidak terhitung pada hal itu maka itu berada pada kedudukan yang diperselisihkan diantara ulama. Sebagian ulama ada yang mengatakan : sesungguhnya mayyit tidak mendapatkan manfaat dengan pahala amal-amal shalih yang dihadiahkan untuknya selain empat hal tersebut.
ولكن الصواب: أن الميت ينتفع بكل عمل صالح جعل له إذا كان الميت مؤمناً، ولكننا لا نرى أن إهداء القرب للأموات من الأمور المشروعة التي تطلب من الإنسان، بل نقول: إذا أهدى الإنسان ثواب عمل من الأعمال، أو نوى بعمل من الأعمال أن يكون ثوابه لميت مسلم فإنه ينفعه، لكنه غير مطلوب منه أو مستحب له ذلك
Akan tetapi yang shawab (yang benar) : bahwa orang mati bisa mendapatkan manfaat dengan setiap amal shalih yang dijadikan untuk mayyit apabila mayyitnya mukmin, namun kami tidak melihat bahwa menghadiahkan amal kebajikan untuk orang mati termasuk perkara masyru’ yang dituntut dari manusia, bahkan kami katakan : apabila seorang manusia menghadiahkan pahala amal dari berbagai amal atau meniatkan dengan beramal dari berbagai amal agar dijadikan pahalanya untuk orang mati yang muslim maka itu bermanfaat bagi orang mati tersebut, tetapi tanpa ada tuntutan atau anjuran baginya untuk melakukan hal demikian.
والدليل على هذا أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لم يرشد أمته إلى هذا العمل، بل ثبت عنه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في صحيح مسلم من حديث أبي هريرة أنه قال: "إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: من صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له". ولم يقل النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أو ولد صالح يعمل له، أو يتعبد له بصوم أو صلاة أو غيرهما
Dalil atas hal ini bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak menunjuki umatnya kepada amal ini, bahkan telah tsabit dari Nabi shalallallahu ‘alayhi wa sallam didalam shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah, bahwa beliau bersabda : “apabila seorang manusia mati maka terputus amalnya kecuali yang berasal dari tiga hal yakni dari shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yanng berdo’a untuknya”, Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam tidak mengatakan : “atau anak shalih yang beramal untuknya, atau beribadah untuknya dengan puasa, shalat atau selainnya”
 وهذا إشارة إلى أن الذي ينبغي والذي يشرع هو الدعاء لأمواتنا، لا إهداء العبادات لهم، والإنسان العامل في هذه الدنيا محتاج إلى العمل الصالح، فليجعل العمل الصالح لنفسه، وليكثر من الدعاء لأمواته، فإن ذلك هو الخير وهو طريق السلف الصالح رضي الله عنهم
Ini sebuah isyarat bahwa yang layak serta yang disyariatkan adalah do’a untuk orang-orang mati diantara kita, bukan menghadiahkan ibadah-ibadah kepada mereka, sebab manusia sebagai pelaku didunia ini butuh kepada amal shalih, maka hendaklah menjadikan amal shalih untuk dirinya sendiri, serta memperbanyak do’a untuk orang-orang yang mati, sebab itu adalah baik dan merupakan jalan salafush shalih radliyallahu ‘anhum”.
||| SHALIH BIN FAUZAN AL-FAUZAN |||
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan merupakan seorang tokoh wahhabiyah, lahir pada tahun 1933 M.  Terkait surah an-Najm ayat 39, pernah juga ditanyakan kepada beliau, juga terkait dengan QS. ath-Thuur ayat 21. Berikut jawaban beliau sebagaimana tercantum didalam kitabnya :
سؤال: ما معنى الآيتين الكريمتين في قوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى، وقوله: {وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ} ، وهل بينهما نسخ أو تعارض؟ وماذا نستفيد منهما؟
Soal : apa makna dua ayat pada firman Allah {wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa} dan {walladziina amanuu wat-taba’athum dzurriyyatuhum bi-imaanin bihim dzurriyyatahum wa maa alatnaahum min ‘amalihim min syay’}, apakah antara keduanya telah di nasakh ataukah bertentangan ? dan apa penjelasan tentang keduanya ?
الجواب: بين الآيتين إشكال، ذلك أن الآية الأولى فيها: أن الإنسان لا يملك إلا سعيه ولا يملك سعي غيره {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} ، فملكيته محصورة بسعيه، ولا ينفعه إلا سعيه، بينما الآية الأخرى فيها أن    الذرية إذا آمنت فإنها تلحق بآبائها في الجنة وتكون معهم في درجتهم وإن لم تكن عملت عملهم، فالذرية إذا استفادت من عمل غيرها، قال تعالى: {وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ} ، فالآية الكريمة تدل على أن الذرية يلحقون بآبائهم في درجاتهم ويرفعون معهم في درجاتهم وإن لم يكن عملهم كعمل آبائهم، فظاهر الآية أنهم انتفعوا بعمل غيرهم وسعي غيرهم، بينما الآية الأخرى أن الإنسان لا ينفعه إلا سعيه
Jawab : Antara dua ayat terdapat isykal (pertentangan), hal itu karena ayat pertama mengandung pengertian bahwa manusia tidak memiliki kecuali usahanya dan tidak memiliki usaha orang lain { dan tiada ada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} maka kepemilikannya hanya sebatas dengan usahanya sendiri dan tidak mendapat manfaat kecuali usahanya, sementara ayat lainnya tentang keturunan apabila beriman maka terhubung dengan ayah-ayah mereka didalam surga dan bersama mereka didalam hal kedudukan mereka, meskipun mereka tidak mengamalkan amal mereka, keturunan (cucu-cucu) mendapat manfaat (faidah) dari amal orang lain , Allah berfirman { Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka } maka ayat yang mulya ini menunjukkan bahwa cucu-cucu tetap dihubungankan dengan ayah-ayah mereka didalam hal kedudukan mereka dan kedudukan mereka di angkat walaupun amal mereka tidak seperti amal ayah-ayah mereka, maka maksud dhahir ayat adalah bahwa mereka mendapatkan manfaat dengan amal (perbuatan) selain mereka dan usaha orang lain, sedangkan ayat yang lain adlah bahwa manusia tidak bisa mendapat manfaat kecuali usahanya.
وقد أجاب العلماء عن هذا بعدة أجوبة: الجواب الأول: أن الآية الأولى {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} مطلقة والآية الثانية {أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ} مقيدة. والمطلق يحمل على المقيد كما هو مقرر في علم الأصول. والجواب الثاني: أن الآية الأولى تخبر أن الإنسان لا يملك إلا سعيه، ولا ينفعه إلا سعيه، ولكنها لم تنف أن الإنسان ينتفع بعمل غيره، من غير تملك له، فالآية الأولى في الملكية، والثانية في الانتفاع، أن الإنسان قد ينتفع بعمل غيره وإن لم يكن ملكه، ولهذا ينفعه إذا تصدق عنه، وينفعه إذا استغفر له، ودعي له، فالإنسان يستفيد من دعاء غيره، ومن عمل غيره، وهو ميت. والانتفاع غير الملكية، فالآية الأولى في نوع، والآية الثانية في نوع آخر، ولا تعارض بينهما. هذا الجواب أحسن من الأول في نظري، فهذا الجواب هو الراجح في نظري.
Dan sungguh ulama telah menjawab tentang hal ini dengan sejumlah jawaban :
Pertama, bahwa ayat pertama { wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa } adalah mutlak, dan ayat kedua {alhaqnaa bihim dzurriyyatahum} adalah muqayyad. Dan yang mutlak dibawa ke yang muqayyad sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul.
Kedua, bahwa ayat pertama mengkhabarkan tentang manusia tidak memiliki kecuali usahanya sendiri, dan tidak mendapat manfaat kecuali usahanya sendiri, akan tetapi tidak menafikan bahwa manusia mendapat manfaat dari amal (usaha/perbuatan) orang lain dan dari milik orang lain untuknya, maka ayat pertama adalah tentang milkiyah (kepemilikan), dan ayat kedua tentang intafa’ (kemanfaatan), bahwa manusia sungguh mendapatkan manfaat dengan amal orang lain walaupun tiada miliknya, oleh karena inilah seseorang mendapatkan manfaat apabila menshadaqahkan untuknya, dan mendapatkan manfaat apabila di mohonkan ampun untuknya, dan berdo’a untuknya. Maka manusia mendapatkan faidah dari do’a orang lain dan dari amal orang lain, maksudnya mayyit bisa mendapat manfaat.
Dan manfaat bukan kepemilikan. Ayat pertama adalah satu hal, dan ayat kedua adalah satu hal yang lain, keduanya tidak bertentangan, jawaban inilah yang lebih bagus dari yang pertama menurut tinjauanku, jawaban ini juga adalah rajih (kuat) menurut tinjauanku.
وهناك جواب آخر: هو أن الآية الأولى {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} منسوخة؛ لأنها في شرع من قبلنا لأن الله تعالى يقول: {أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}  ، فهذه تحكي ما كان في صحف موسى وصحف إبراهيم عليهما السلام، لكن جاءت شريعتنا بأن الإنسان ينتفع بعمل غيره، فيكون ذلك نسخًا، ولكن هذا الجواب ضعيف، والجواب الذي قبله أرجح في نظري، والله أعلم.
Dan disana juga ada jawaban lainnya, yakni bahwa ayat pertama { wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa } mansukh, karena sesungguhnya itu pada syariat umat sebelum kita (syar’u man qablanaa), sebab Allah berfirman : “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa ? , dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? , (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” maka ini mengisahkan apa yang ada pada shuhuf Nabi Musa ‘alayhiwa salam dan Nabi Ibrahim ‘alayhis salam, akan tetapi telah datang pada syariat kita bahwa manusia mendapatkan manfaat dengan amal orang lain, maka keberadaanya itu telah di hapus, namun jawaban ini lemah, dan jawaban ulama sebelumnya itulah yang lebih rajih dalam tinjauanku. Wallahu A’lam.
Namun, didalam kitab yang sama terkait membaca surah al-Fatihah untuk orang mati, beliau mengingkarinya, sebagaimana tercantum pada:
أما قراءة الفاتحة لروح الميت، فهذا لا أصل له في الشرع، ولم يرد به دليل عن النبي صلى الله عليه وسلم، وإنما الوارد في الكتاب والسنة هو الدعاء للميت والاستغفار له، والصلاة على جنازته، وكذلك التصدق عنه، وغير ذلك من أنواع البر، كالحج عنه والعمرة عنه، فهذه الأمور تصل إلى الميت بإذن الله إذا تقبلها الله، وكذلك الأضحية يضحى عن الميت، كل هذه الأمور ورد الشرع بأنها ينتفع بها الميت
“Adapun membaca al-Qur’an untuk roh orang mati, ini tidak ada asalnya pada sisi syariat dan tidak ada dalil yang warid tentang hal itu dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, sebaliknya yang warid didalam al-Kitab dan As-Sunnah adalah do’a untuk mayyit, istighfar untuk mayyit, shalat atas jenazahnya dan demikian juga dengan shadaqah darinya untuk mayyit, serta berbagai macam perkara kebaikan lainnya seperti haji dan umrah untuk mayyit. Maka ini merupakan perkara-perkara yang sampai kepada mayyit dengan idzin Allah apabila Allah menerimanya (mengabulkannya). Seperti itu juga dengan penyembelihan (berkorban) untuk mayyit, setiap perkara ini telah warid dalam syariat oleh karena itu bermanfaat bagi orang mati”.
Juga sebuah jawaban pada Majmu' Fatawa :
الجواب: الفاتحة من أعظم سور القرآن، بل هي أم القرآن، ولها فضل عظيم، ولكن قراءتها في مثل هذه الحال بأن تقرأ في بعض الأحوال للنبي، أو لغيره، أو لروح فلان، أو لروح الميت، هذا من البدع، لأنه لم يرد به دليل عن النبي صلى الله عليه وسلم
“Surah al-Fatihah termasuk paling agungnya surah al-Qur’an bahkan merupakan Ummul Qur’an serta memiliki fadliyah yang agung, akan tetapi membacanya untuk Nabi atau yang lainnya, atau untuk ruh Fulan atau untuk ruh orang mati, maka ini termasuk bid’ah, karena tidak warid tentang hal itu dalil dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam”.
||| ABDUL 'AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ |||
Merupakan salah seorang tokoh Wahhabiyah yang juga pernah menjadi ketua Lajnad Daimah Saudi. Beliau mengingkari pembacaan al-Qur’an untuk orang mati didalam banyak fatwa yang beliau keluarkan. Salah satunya termaktub didalam kitab beliau :
القراءة على الأموات ليس لها أصل يعتمد عليه ولا تشريع، وإنما المشروع القراءة بين الأحياء ليستفيدوا ويتدبروا كتاب الله ويتعقلوه، أما القراءة على الميت عند قبره أو بعد وفاته قبل أن يقبر أو القراءة له في أي مكان حتى تهدى له فهذا لا نعلم له أصلا
“Bacaan al-Qur’an atas orang-orang mati tidak ada asal yang menguatkan atasnya dan tidak pula di syariatkan. Sebab yang disyariatkan adalah membaca al-Qur’an diantara orang-orang yang hidup supaya mereka mengambil pelajaran dan mentadzabburi Kitabullah, adapun membaca al-Qur’an atas orang-orang mati disamping quburnya atau setelah wafatnya sebelum di quburkan atau membaca al-Qur’an baginya ditempat mana saja hingga menghadiahkan untuk mayyit, kami tidak mengetahui asal masalah ini”.
Jawaban beliau lainnya ketika ditanya pertanyaan yang sama :
أما قراءة القرآن فقد اختلف العلماء في وصول ثوابها إلى الميت على قولين لأهل العلم، والأرجح أنها لا تصل لعدم الدليل؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يفعلها لأمواته من المسلمين كبناته اللاتي متن في حياته عليه الصلاة والسلام، ولم يفعلها الصحابة رضي الله عنهم وأرضاهم فيما علمنا، فالأولى للمؤمن أن يترك ذلك ولا يقرأ للموتى ولا للأحياء ولا يصلي لهم، وهكذا التطوع بالصوم عنهم؛ لأن ذلك كله لا دليل عليه، والأصل في العبادات التوقيف إلا ما ثبت عن الله سبحانه أو عن رسوله صلى الله عليه وسلم شرعيته
“Tentang membaca al-Qur’an, maka sungguh ulama berselisih tentang sampai pahalanya kepada mayyit atas dua qaul, sedangkan yang lebih rajih bahwa itu tidak sampai, karena ketiadaan dalil dan karena Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salam tidak melakukannya kepada orang-orang mati diantara kaum Muslimin, seperti kepada putri-putri beliau yang wafat pada masa beliau shallallau ‘alayhi wa sallam, dan para sahabat radliyallahu ‘anhum tidak pula mengerjakannya, maka yang lebih utama bagi mukmin agar meninggalkan yang demikian dan tidak membaca al-Qur’an untuk orang mati serta tidak pula untuk orang hidup, dan tidak sampai kepada mereka, seperti itu juga puasa sunnah atas nama mereka, karena sesungguhnya yang demikian semuanya tidak ada dalil atasnya, sedangkan asal ibadah sendiri adalah tauqifiyyah kecuali apa yang telah tsabit dari Allah Ta’alaa dan dari Rasulu-Nya shallallah ‘alayhi wa sallam pensyariatannya”.
Lagi, tentang thawaf dan membaca al-Qur’an untuk orag mati, dan berikut jawabab bin Baz :
س: أقوم أحيانا بالطواف لأحد أقاربي أو والدي أو أجدادي المتوفين ما حكم ذلك؟ وأيضا ما حكم ختم القرآن لهم؟ جزاكم الله خيرا. ج: الأفضل ترك ذلك؛ لعدم الدليل عليه، لكن يشرع لك الصدقة عمن أحببت من أقاربك وغيرهم إذا كانوا مسلمين، والدعاء لهم، والحج والعمرة عنهم، أما الصلاة عنهم والطواف عنهم والقراءة لهم، فالأفضل تركه؛ لعدم الدليل عليه. وقد أجاز ذلك بعض أهل العلم قياسا على الصدقة والدعاء، والأحوط ترك ذلك. وبالله التوفيق."
“Soal ; aku melakukan thawaf untuk salah satu kerabatku atau orang tuaku atau kake-kakekku yang telah wafat, apa hukum yang demikian ? dan juga apa hukum mengkhatamkan al-Qur’an untuk mereka ? Semoga Allah membalas kebaikan anda.
Jawab : Yang lebih afdlal (utama) meninggalkan yang demikian, karena ketiadaan dalil atas hal itu, akan tetapi disyariatkan bagi anda adalah shadaqah atas nama orang-orang yang anda dikasihi baik kerabat anda dan yang lainnya, apabila mereka muslim, juga berdo’a untuk mereka, berhaji dan ber-umrah atas nama mereka. Adapun shalat atas nama mereka, thawaf atas nama mereka dan membaca al-Qur’an untuk mereka, yang lebih utama adalah meninggalkannya karena ketiadaan dalil atas hal tersebut, dan sungguh sebagian ahlul ilmi memperbolehkan yang demikian sebagai qiyas atas shadaqah dan do’a, namun yang lebih tepat adalah meninggalkan yang demikian. Wabillaahit Tawfiiq.
||| MUHAMMAD BIN IBRAHIM BIN ABDUL LATHIF (ALU ASY-SYAIKH) |||
Merupakan keturunan (cucu) dari Muhammad bin Abdul Wahab. Didalam kitabnya, beliau tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati namun beliau menyetujui bahwa orang lain yang membaca al-Qur’an untuk orang yang menjelang mati adalah perkara masyru’ :
القراءة على الميت سواء كان في المسجد أو عند القبر أو في البيت ثم عمل طعام بعد الختمة وبعد الوفاة بثلاثة أيام يوزع على الفقراء من الأمور المبتدعة. وأما القراءة المشروعة فهي ما كان قبل الموت وعند الاحتضار كقراءة سورة "يس" أو " الفاتحة" أو " تبارك" أو غير ذلك من كتاب الله
“Membaca al-Qur’an untuk mayyit sama saja baik di masjid, atau disamping kubur atau di rumah, kemudian membuat makanan setelah khataman dan setelah wafatnya mayyit selama 3 hari untuk dibagikan kepada orang-orang faqir maka itu termasuk perkara bid’ah, adapun membaca al-Qur’an yang masyru’ adalah sebelum meninggal dunia dan disamping orang yang menjelang mati seperti membaca Yasiin atau surah al-Fatihah atau Tabarak atau surah-surah al-Qur’an lainnya
||| KOMISI FATWA KERAJAAN BANI SAUD |||
Lajnah Daimah atau lengkapnya al-Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’ merupakan komisi fatwa kerajaan Arab Saudi, semacam “MUI” yang ada di Indonesia. Terkait pembacaan al-Qur’an untuk orang mati, Lajnah ad-Daimah dalam berbagai fatwanya tidak menyetuji amalan tersebut dan menyatakan tidak sampai. Diantaranya adalah sebuah jawaban dari pertanyaan ke-3 dari fatwa no. 2634  yang anggotanya Syaikh Abdullah Qu’ud, Syaikh Abdur Razaq sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua.
ج3: أولا: إذا قرأ إنسان قرآنا ووهب ثوابه للميت فالصحيح أنه لا يصل إليه ثواب القراءة؛ لأنها ليست من عمله، وقد قال تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}  وإنما هي من عمل الحي، وثواب عمله له، ولا يملك أن يهب ثواب قراءة لغيره
“Jawaban : apabila seorang manusia membaca al-Qur’an dan memberikan pahalanya untuk orang mati, maka yang shahih sesungguhnya pahala bacaan al-Qur’an itu tidak sampai, karena bukan amalnya, dan sungguh Allah telah berfirman {dan sungguh tiada bagi manusia kecuali apa yang di usahakannya} sebab itu termasuk amal orang yang hidup dan pahala amalnya baginya, pahala bacaan al-Qur’annya tidak bisa dimiliki oleh orang lain”. 
 ||| PENUTUP |||
Demikianlah apa yang bisa penulis sampaikan, kurang lebih kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala khilaf yang berasal kekurangan al-faqir, dan sebagai kesimpulan :
v  Kegiatan tahlilan atau amalan-amalan yang ada didalam tahlilan tidak ada satupun yang bertentangan dengan syariat dan kaidah-kaidah madzhab Syafi’i. Bahkan kebijaksanaan ‘ulama begitu nampak dalam penerapannya pada kegiatan tahlilan.
v  Motivasi memberi makan didalam tahlilan hendaknya adalah untuk bershadaqah yang pahalanya untuk mayyit agar memperoleh pahala kesunnahan bershadaqah, atau dalam rangka menghormati tamu bukan motivasi lain yang tidak dianjurkan oleh syariat. Harta yang digunakan adalah harta yang halal bukan terlarang. Makanan yang berasal dari harta yang halal, maka halal untuk dimakan.
v  Adanya kegiatan tahlilan yang kurang sehat yang terjadi pada lingkungan yang kurang paham mengenai maksud, tujuan serta penerapannya, bukanlah “dalih” untuk melarang tahlilan, sebaliknya hal itu harus diperbaiki agar sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
v  Tidak semua perkata baru atau bid’ah jatuh pada status hukum haram. Bahkan, para ulama telah memberikan contohnya dalam kitab-kitab mereka tentang adanya perkara baru (bid’ah) yang hanya jatuh pada status hukum makruh dan ini banyak tersebar dalam kitab-kitab mereka.
v  Ulama hanya berbeda dalam penyebutan perkara yang dimanakan bid’ah, sebagain menyebutnya sebagai bid’ah, sebagian tidak, namun esensinya sama.
v  Aliran Wahhabiyah dengan aqidahnya mujassimah atau musyabbihah maka termasuk dalam kategori bid’ah yang haram (bid’ah muharramah).
Semoga dengan semua ini bisa memberikan informasi berimbang mengenai komentar para ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah demikian juga komentar dari yang tidak menyetujui.
Oleh :  Al-Faqir Al-Tsauriy





















Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا