بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
Masyarakat
muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa
disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya
ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh
penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya.
Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam
syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara
satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang
bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah
yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo
dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di
Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus
kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan
dengan sangat bijaksana.
Tahlilan,
sebagian kaum Muslimin menyebutnya dengan “majelis tahlil”, “selamatan
kematian”, “kenduri arwah” dan lain sebagainya. Apapun itu, pada dasarnya
tahlilan adalah sebutan untuk sebuah kegiatan dzikir dan bermunajat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Yang mana didalamnya berisi kalimat-kalimat
thayyibah, tahmid, takbir, tasybih hingga shalawat, do’a dan permohonan
ampunan untuk orang yang meninggal dunia, pembacaan al-Qur’an untuk yang
meninggal dunia dan yang lainnya. Semua ini merupakan amaliyah yang tidak ada
yang bertentangan dengan syariat Islam bahkan merupakan amaliyah yang memang
dianjurkan untuk memperbanyaknya.
Istilah
tahlilan sendiri diambil dari mashdar dari fi’il madzi “Hallalla – Yuhallilu
– Tahlilan”, yang bermakna membaca kalimat Laa Ilaaha Ilaallah. Dari sini
kemudian kegiatan merahmati mayyit ini di namakan tahlilan karena kalimat
thayyibah tersebut banyak dibaca didalamnya dan juga penamaan seperti ini
sebagaimana penamaan shalat sunnah tasbih, dimana bacaan tasbih dalam shalat
tersebut dibaca dengan jumlah yang banyak (300 kali), sesuai dengan tuntunan
Rasulullah. Namun, masing-masing tempat kadang memiliki sebutan tersendiri yang
esensinya sebenarnya sama, sehingga ada yang menyebutnya sebagai “Majelis
Tahlil”, “Selamatan Kematian”, “Yasinan” (karena dimulai dengan pembacaaan
Yasiin), “Kenduri Arwah”, “Tahlil”, dan lain sebagainya.
Tahlilan
sudah ada sejak dahulu, di Indonesia pun atau Nusantara pun tahlilan sudah ada
jauh sebelum munculnya aliran yang kontra, yang mana tahlilan di Indonesia di
prakarsai oleh para ulama seperti walisongo dan para da’i penyebar Islam
lainnya. Tahlilan sebagai warisan walisongo terus di laksanakan oleh masyarakat
muslim hingga masa kini bersamaan dengan sikap kontra segelintir kaum muslimin
yang memang muncul di era-era dibelakangan. Dalam bahasan ini setidaknya ada
beberapa hal pokok dalam tahlilan yang harus dipaparkan sebab kadang sering
dipermasalah. Untuk mempermudah memahami masalah ini yakni amaliyah-amaliyah
masyru’ yang terdapat dalam tahlilan (kenduri arwah) maka bisa di rincikan
sebagai berikut :
||| DO'A UNTUK ORANG MATI |||
Kaitan dengan do’a, hal ini tidak begitu dipermasalahkan, sebab telah
menjadi kepakatan ulama ahlus sunnah wal jama’ah bahwa do’a sampai kepada orang
mati dan memberikan manfaat bagi orang mati. Begitu banyak dalil yang
menguatkan hal ini. Diantaranya dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’alaa telah berfirman :
والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر
لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك
رءوف رحيم
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."
(QS. al-Hasyr 59 ; 10)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’alaa memberitahukan bahwa orang-orang
yang datang setelah para sahabat Muhajirin maupun Anshar mendo’akan dan
memohonkan ampun untuk saudara-saudaranya yang beriman yang telah (wafat)
mendahului mereka sampai hari qiamat. Mereka yang dimaksudkan adalah para
tabi’in dimana mereka datang setelah masa para sahabat, mereka berdoa untuk diri
mereka sendiri dan untuk saudara mukminnya serta memohon ampun untuk mereka.
وَاسْتَغْفِرْ
لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan” (QS. Muhammad 47 : 19)
Ayat ini mengisyaratkan bermanfaatnya do’a atau permohonan ampun oleh yang
hidup kepada orang yang meninggal dunia. Serta perintah untuk memohonkan
ampunan bagi orang-orang mukmin.
رب اغفر
لي ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا وللمؤمنين والمؤمنات ولا تزد الظالمين إلا تبارا
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang
masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan
perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu
selain kebinasaan”. (QS. Nuh 71 : 28)
Allah Subhanahu wa Ta’alaa juga berfirman :
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ
سَكَنٌ لَهُمْ
“dan mendo'alah untuk mereka, sesungguhnya do'a kamu
itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka” (QS. at-Taubah : 104)
Frasa “shalli ‘alayhim” maksudnya adalah
berdolah dan mohon ampulan untuk mereka, ini menunjukkan bahwa do’a bermanfaat
kepada orang lain.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم كلما
كان ليلتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج من آخر الليل إلى البقيع فيقول
السلام عليكم دار قوم مؤمنين وأتاكم ما توعدون غدا مؤجلون وإنا إن شاء الله بكم
لاحقون اللهم اغفر لأهل بقيع الغرقد.
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada malam
hari yaitu keluar pada akhir malam ke pekuburan Baqi’, kemudian Rasulullah
mengucapkan “Assalamu’alaykum dar qaumin mu’minin wa ataakum ma tu’aduwna
ghadan muajjaluwna wa innaa InsyaAllahu bikum laa hiquwn, Allahummaghfir
lil-Ahli Baqi al-Gharqad”.
Ini salah satu ayat dan hadits yang menyatakan bahwa mendo’akan orang mati
adalah masyru’ (perkara yang disyariatkan), dan menganjurkan kaum muslimin agar
mendo’akan saudara muslimnya yang telah meninggal dunia. Banyak-ayat-ayat
serupa dan hadits-hadits yang menunjukkan hal itu.
‘Ulama besar madzhab Syafi’iyah yaitu al-Imam an-Nawawi dalam
al-Adzkar menyebutkan :
بابُ ما ينفعُ الميّتَ من قَوْل غيره :
أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويَصلُهم. واحتجّوا بقول اللّه
تعالى: {وَالَّذِينَ جاؤوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنا اغْفِرْ لَنا
ولإِخْوَانِنا الَّذين سَبَقُونا بالإِيمَانِ} وغير ذلك من الآيات المشهورة
بمعناها، وفي الأحاديث المشهورة كقوله صلى اللّه عليه وسلم: "اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لأهْلِ بَقِيعِ الغَرْقَدِ" وكقوله صلى اللّه عليه وسلم:
"اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنا وَمَيِّتِنَا" وغير ذلك.
“Bab perkataan dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi
mayyit : ‘Ulama telah ber-ijma’ (bersepakat ) bahwa do’a untuk orang
meninggal dunia bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mereka. Dan ‘Ulama’
berhujjah dengan firman Allah : {“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka, mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (59:10)”}, dan
ayat-ayat lainnya yang maknanya masyhur, serta dengan hadits-hadits masyhur
seperti do’a Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “ya Allah berikanlah ampunan
kepada ahli pekuburan Baqi al-Gharqad”, juga do’a : “ya Allah berikanlah
Ampunan kepada yang masih hidup dan sudah meninggal diantara kami”, dan hadits-
yang lainnya.”
Didalam Minhajuth Thalibin :
وتنفع
الميت صدقة ودعاء من وارث وأجنبي.
“dan memberikan manfaat kepada mayyit berupa
shadaqah juga do’a dari ahli waris dan orang lain”
Imam al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafi’i terkait do’a dan shadaqah
juga menyatakan sampai.
فأما
الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما
“Adapun do’a dan shadaqah, maka pada yang
demikian ulama telah sepakat atas sampainya pahala keduanya, dan telah ada
nas-nas dari syariat atas keduanya”.
Syaikh an-Nawawi al-Bantani (Sayyid ‘Ulama Hijaz) didalam Nihayatuz
Zain :
وَالدُّعَاء
ينفع الْمَيِّت وَهُوَ عقب الْقِرَاءَة أقرب للإجابة
“dan do’a memberikan manfaat bagi mayyit,
sedangkan do’a yang mengiringi pembacaan al-Qur‘an lebih dekat di ijabah”.
Syaikh al-‘Allamah Zainudddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari didalam
Fathul Mu’in :
وتنفع ميتا من وارث وغيره صدقة عنه ومنها
وقف لمصحف وغيره وبناء مسجد وحفر بئر وغرس شجر منه في حياته أو من غيره عنه بعد
موته. ودعاء له إجماعا وصح في الخبر أن الله
تعالى يرفع درجة العبد في الجنة باستغفار ولده له وقوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} عام مخصوص بذلك وقيل منسوخ.
“dan memberikan manfaat bagi mayyit dari ahli
waris atau orang lain berupa shadaqah darinya, diantara contohnya adalah
mewaqafkan mushhaf dan yang lainnya, membangun masjid, sumur dan menanam pohon
pada masa dia masih hidup atau dari orang lain yang dilakukan untuknya setelah
kematiannya, dan do’a juga bermanfaat bagi orag mati berdasarkan ijma’,
dan telah shahih khabar bahwa Allah Ta’alaa mengangkat derajat seorang hamba di
surga dengan istighafar (permohonan ampun) putranya untuknya [9].
dan tentang firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa} adalah ‘amun
makhsush dengan hal itu, bahkan dikatakan mansukh”.
Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi didalam I’anatuth Thalibin :
(قوله: ودعاء) معطوف على صدقة، أي وينفعه أيضا دعاء له
من وارث وغيره،
“Frasa (do’a) ma’thuf atas lafadz shadaqah,
yakni do’a juga memberikan manfaat bagi orang mati baik dari ahli waris atau
orang lain”
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari didalam Fathul Wahab :
" وينفعه
" أي الميت من وارث وغيره " صدقة ودعاء " بالإجماع وغيره وأما قوله
تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} فعام مخصوص بذلك وقيل منسوخ وكما ينتفع
الميت بذلك ينتفع به المتصدق والداعي
“dan memberikan manfaat bagi orang mati baik dari ahli
waris atau orang lain berupa shadaqah dan do’a berdasarkan ijma’ dan
hujjah lainnnya, adapun firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa}
adalah ‘amun makhshush dengan hal itu bahkan dikatakan mansukh, sebagaimana itu
bermanfaat bagi mayyit juga bermanfaat bagi person yang bershadaqah dan yang
berdo’a”.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj :
(وينفع الميت صدقة)
عنه ومنها وقف لمصحف وغيره وحفر بئر وغرس شجر منه في حياته أو من غيره عنه بعد
موته (ودعاء) له (من وارث وأجنبي) إجماعا وصح في الخبر: «إن الله تعالى يرفع درجة
العبد في الجنة باستغفار ولده له» وهما مخصصان وقيل ناسخان لقوله تعالى {وأن ليس
للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] إن أريد ظاهره وإلا فقد أكثروا في تأويله، ومنه
أنه محمول على الكافر أو أن معناه لا حق له إلا فيما سعى، وأما ما فعل عنه فهو محض
فضل لا حق له فيه
“dan memberikan manfaat kepada mayyit berupa
shadaqah darinya, seperti mewaqafkan mushhaf dan yang lainnya, menggali
sumur dan menanam pohon pada masa hidupnya atau dari orang lain untuknya
setelah kematiannya, dan do’a juga bermanfaat bagi orang mati baik berasal
dari ahli waris atau orang lain berdasarkan ijma’ dan telah shahih didalam
khabar bahwasanya Allah mengangkat derajat seorang hamba didalam surga dengan
istighafar anaknya untuknya, keduanya (ijma’ dan khabar) merupakan pengkhusus,
bahkan dikatakan sebagai penasikh untuk firman Allah {wa an laysa lil-insaani
ilaa ma sa’aa} jika menginginkan dhahirnya, namun jika tidak maka kebanyakan
ulama menta’wilnya, diantaranya itu dibawa atas pengertian kepada orang kafir
atau maknanya tidak ada haq baginya kecuali pada perkara yang diusahakannya”.
Imam Syamsuddin al-Khathib as-Sarbiniy didalam Mughni :
ثم شرع فيما ينفع الميت فقال (وتنفع الميت
صدقة) عنه، ووقف، وبناء مسجد، وحفر بئر ونحو ذلك (ودعاء) له (من وارث وأجنبي) كما
ينفعه ما فعله من ذلك في حياته
“kemudian disyariatkan tentang perkara yang
bermanfaat bagi mayyit, maka kemudian ia berkata (dan bermanfaat bagi mayyit
berupa shadaqah) darinya, waqaf, membangun masjid, menggali sumur dan
seumpamanya, (juga bermanfaat berupa do’a) untuknya (baik dari ahli waris atau
orang lain) sebagaimana bermanfaatnya perkara yang ia kerjakan pada masa
hidupnya”.
Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri al-Ghamrawi didalam As-Siraajul Wahaj :
وتنفع الميت صدقة عنه ووقف مثلا ودعاء من
وارث وأجنبي كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته ولا ينفعه غير ذلك من صلاة وقراءة
ولكن المتأخرون على نفع قراءة القرآن وينبغي أن يقول اللهم أوصل ثواب ما قرأناه
لفلان بل هذا لا يختص بالقراءة فكل أعمال الخير يجوز أن يسأل الله أن يجعل مثل
ثوابها للميت فان المتصدق عن الميت لا ينقص من أجره شيء
“dan shadaqah darinya bisa memberikan manfaat
bagi mayyit seumpama mewaqafkan sesuatu, juga do’a dari ahli waris atau orang
lain sebagaimana bermanfaatnya sesuatu yang itu ia lakukan pada masa hidupnya
dan tidak memberikan manfaat berupa shalat dan pembacaan al-Qur’an akan tetapi
ulama mutaakhirin berpendapat atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, dan
sepatutrnya mengucapakan : “ya Allah sampaikan apa apa yang kami baca untuk
fulan”, bahkan ini tidak khusus untuk qira’ah saja tetapi juga seluruh amal
kebaikan boleh untuk memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk
mayyit, sungguh orang yang bershadaqah untuk mayyit tidak mengurangi pahalanya
dirinya”.
Al-‘Allamah Syaikh Sulaiman al-Jamal didalam Futuhat al-Wahab :
قوله: وينفعه صدقة) ومنها وقف لمصحف وغيره
وحفر بئر وغرس شجرة منه في حياته، أو من غيره عنه بعد موته ودعاء له من وارث
وأجنبي إجماعا
“(frasa bermanfaatnya shadaqah) diantaranya
yakni waqaf untuk mushhaf dan yang lainnya, menggali sumur dan menanam pohon
darinya pada masa hidupnya atau dari orang lain untuknya setelah kematiannya,
dan do’a untuknya dari ahli waris dan orang lain berdasarkan ijma’”.
Masih banyak lagi pertanyaan ulama-ulama Syafi’iyah yang termaktub didalam
kitab-kitab mereka. Oeh karena itu dapat disimpulkan bahwa do’a jelas sampai
dan memberikan kepada orang mati dan ulama telah berijma’ tentang ini. Artinya
dari sini, mayyit bisa memperoleh manfaat dari amal orang lain berupa do’a.
Ini adalah amal baik dan penuh kasih sayang terhadap saudara muslimnya yang
telah meninggal dunia, dan telah menjadi kebiasaan kaum muslimin terutama yang
bermandzhab syafi’i baik di Indonesia yang lainnya, yang dikemas dalam kegiatan
tahlilan.
|||
SHADAQAH UNTUK MAYYIT |||
Telah
diketahui sebelumnya pada kutipan-kutipan diatas bahwa pahala shadaqah juga
sampai kepada orang mati sebagaimana do’a, dan memberikan manfaat bagi orang
mati. Sebagai tanbahan dari pernyataan sebelumnya maka berikut diantara hadits
dan juga pendapat ‘ulama Syafi’iyah lainnya tentang bermanfaatnya shadaqah
untuk orang mati. Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan :
أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أمي
افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
“Sesungguhnya seorang
laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, kemudian ia berkata
; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia (mendadak) namun
ia belum sempat berwasiat, dan aku menduga seandainya sempat berkata-kata ia
akan bershadaqah, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bershadaqah
atas beliau ?, Nabi kemudian menjawab ; “Iya (maka bershadaqahlah, riwayat
lain)”.
Ketika
mengomentari hadits ini, Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan :
وفي هذا الحديث : أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها ،
وهو كذلك بإجماع العلماء ، وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص
الواردة في الجميع ، ويصح الحج عن الميت إذا كان حج الإسلام ، وكذا إذا وصى بحج
التطوع على الأصح عندنا ، واختلف العلماء في الصواب إذا مات وعليه صوم ، فالراجح
جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه
“Pengertian dalam
hadits ini adalah bahwa shadaqah dari mayyit bermanfaat dan pahalanya sampai
kepada mayyit, dan hal itu dengan ijma’ ulama, sebagaimana juga ulama ber-ijma’
atas sampainya pahala do’a dan membayar hutang berdasarkan nas-nas yang
telah warid didalam keseluruhannya, dan juga sah berhaji atas mayyit apabila
haji Islam, dan seperti itu juga ketika berwasiat haji sunnah berdasarkan
pendapat yang ashah (lebih sah), dan Ulama berikhtilaf tentang pahala orang
yang meninggal dunia namun memiliki tanggungan puasa, pendapat yang rajih
(lebih unggul) memperbolehkannya (berpuasa atas namanya) berdasarkan
hadits-hadits shahih tentang hal itu”.
وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردي البصري الفقيه
الشافعي في كتابه الحاوي عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب
فهو مذهب باطل قطعا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة وإجماع الأمة فلا التفات
إليه ولا تعريج عليه
“Adapun mengenai yang
dikisahkan oleh Qadli dari pada qadli Abul Hasan al-Mawardi al-Bashriy al-Faqih
asy-Syafi’i didalam kitabnya (al-Hawiy) tentang sebagian ahli bicara yang
menyatakan bahwa mayyit tidak bisa menerima pahala setelah kematiannya, itu
adalah pendapat yang bathil secara qath’i dan kekeliruan diantara mereka
berdasarkan nas-nas al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan (ijma’) umat Islam, maka
tidak ada toleransi bagi mereka dan tidak perlu di hiraukan.
Banyak
penjelasan kitab-kitab syafi’iyah yang senada dengan hal diatas. Hal yang juga
perlu di garis bawahi disini adalah bahwa seseorang bisa memperolah manfaat
dari amal orang lain.
||| QIRA'ATUL QUR'AN UNTUK ORANG
MATI |||
Dalam
membahas masalah ini, memang ada perselisihan dalam madzhab Syafi’i yang mana
ada dua qaul (pendapat) yang seolah-olah bertentangan, namun kalau
dirincikan maka akan nampak tidak ada bedanya. Sedangkan Imam Tiga (Abu
Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal) berpendapat bahwa pahala bacaan
al-Qur’an sampai kepada orang mati. Apa yang telah dituturkan oleh para Imam
syafi’iyah yakni berupa petunjuk-petunjuk atau aturan dalam permasalahan ini
telah benar-benar diamalkan dengan baik dalam kegiatan tahlilan.
Perlu
diketahui, bahwa seandainya pun ada perselisihan dikalangan syafi’iyah
dalam masalah seperti ini, maka itu hanyalah hal biasa yang sering terjadi
ketika mengistinbath sebuah hukum diantara para mujtahid dan bukanlah sarana
untuk berpecah belah sesama kaum Muslimin, dan tidak pula pengikut syafi’iyah
berpecah belah hanya karena hal itu, tidak ada kamus yang demikian sekalipun
‘ulama berbeda pendapat, semua harus disikapi dengan bijak. Akan tetapi,
sebagian pengingkar tahlilan selalu menggembar-gemborkan adanya perselisihan
ini (masalah furu’), mereka mempermasalahkan yang tidak terlalu dipermasalahkan
oleh syafi’iyah dan mereka mencoba memecah belah persatuan umat Islam terutama
Syafi’iyah, dan ini tindakan yang terlarang (haram) dalam syariat Islam. Mereka
juga telah menebar permusuhan dan melemparkan banyak tuduhan-tuduhan bathil
terhadap sesama muslim, seolah-olah itu telah menjadi “amal dan dzikir”
mereka sehari-hari, tiada hari tanpa menyakiti umat Islam. Na’udzubillah min
dzalik. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sangat benci terhadap
mereka yang suka menyakiti sesama muslimin. Berikut diantara qaul-qaul didalam
madzhab Syafi’iyah yang sering dipermasalahkan : Imam an-Nawawi menyebut
didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها ، وقال جماعة
من أصحابنا : يصله ثوابها ، وبه قال أحمد بن حنبل
“Dan yang masyhur didalam
madzhab kami (syafi’iyah) bahwa bacaan al-Qur’an pahalanya tidak sampai
kepada mayyit, sedangkan jama’ah dari ulama kami (Syafi’iyah) mengatakan
pahalanya sampai, dengan ini Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat”.
Dihalaman
lainnya beliau juga menyebutkan :
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها إلى
الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها إلى الميت وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل
إلى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح
البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن بن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى
عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز
الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من
أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار إلى اختيار هذا، وقال الامام أبو محمد البغوى
من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام طعام وكل هذه
إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع
“Adapun pembacaan al-Qur’an,
yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i pahalanya tidak sampai kepada
mayyit, sedangkan sebagian ashabusy syafi’i (‘ulama syafi’iyah)
mengatakan pahalanya sampai kepada mayyit, dan pendapat kelompok-kelompok ulama
juga mengatakan sampainya pahala seluruh ibadah seperti shalat, puasa,
pembacaan al-Qur’an dan selain yang demikian, didalam kitab Shahih al-Bukhari
pada bab orang yang meninggal yang memiliki tanggungan nadzar, sesungguhnya
Ibnu ‘Umar memerintahkan kepada seseorang yang ibunya wafat sedangkan masih
memiliki tanggungan shalat supaya melakukan shalat atas ibunya, dan diceritakan
oleh pengarang kitab al-Hawi dari ‘Atha’ bin Abu Ribah dan Ishaq bin Ruwaihah
bahwa keduanya mengatakan kebolehan shalat dari mayyit (pahalanya untuk
mayyit). Asy-Syaikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad Hibbatullah bin Abu ‘Ishrun
dari kalangan syafi’iyyah mutaakhhirin (pada masa Imam an-Nawawi) didalam
kitabnya al-Intishar ilaa ikhtiyar adalah seperti pembahasan ini. Imam al-Mufassir
Muhammad al-Baghawiy dari anshabus syafi’i didalam kitab at-Tahdzib berkata
; tidak jauh (tidaklah melenceng) agar memberikan makanan dari setiap
shalat sebanyak satu mud, dan setiap hal ini izinnya sempurna, dan dalil mereka
adalah qiyas atas do’a, shadaqah dan haji, sesungguhnya itu sampai berdasarkan
ijma’.”
Juga dalam
al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab :
واختلف العلماء في وصول ثواب قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب
الشافعي وجماعة أنه لا يصل. وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى
أنه يصل، والمختار أن يقول بعد القراءة: اللهم أوصل ثواب ما قرأته، والله أعلم اه
“’Ulama’ berikhtilaf
(berselisih pendapat) terkait sampainya pahala bacaan al-Qur’an, maka yang
masyhur dari madzhab asy-Syafi’i dan sekelompok ulama syafi’i berpendapat
tidak sampai, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, sekelompok ‘ulama serta sebagian
sahabat sy-Syafi’i berpendapat sampai. Dan yang dipilih agar berdo’a setelah
pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang
telah aku baca”, wallahu a’lam”.
Imam
Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni :
تنبيه: كلام المصنف قد يفهم أنه لا ينفعه ثواب غير ذلك كالصلاة عنه
قضاء أو غيرها، وقراءة القرآن، وها هو المشهور عندنا، ونقله المصنف في شرح مسلم
والفتاوى عن الشافعي - رضي الله عنه - والأكثرين، واستثنى صاحب التلخيص من الصلاة
ركعتي الطواف
“Tahbihun : perkataan
mushannif sungguh telah dipahami bahwa tidak bermanfaat pahala selain itu
(shadaqah) seperti shalat yang di qadha’ untuknya atau yang lainnya, pembacaan
al-Qur’an, dan yang demikian itu adalah qaul masyhur disisi kami (syafi’iyah),
mushannif telah menuqilnya didalam Syarhu Muslim dan al-Fatawa dari Imam
asy-Syafi’i –radliyallahu ‘anh- dan kebanyak ulama, pengecualian shahiu Talkhis
seperti shalat ketika thawaf ”.
Imam
al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafi’i didalam penjelasan tafsir QS. An-Najm ayat
39 juga menyebutkan pendapat Imam asy-Syafi’i :
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن
القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛
“Dan dari ayat ini, Imam
asy-Syafi’i rahimahullah beristinbath (melakukan penggalian hukum), demikian
juga orang yang mengikutinya bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai
menghadiahkan pahalanya kepada mayyit”.
Dari
beberapa kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Madzhab Syafi’i ada dua pendapat
yang seolah-olah berseberangan, yakni ;
Pendapat
yang menyatakan pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai, ini pendapat Imam
asy-Syafi’i, sebagian pengikutnya ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam
an-Nawawi (dan ‘ulama lainnya) sebagai pendapat masyhur (qaul masyhur).
Pendapat
yang menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an, ini pendapat ba’dlu ashhabis
Syafi’i (sebagian ‘ulama Syafi’iyah) ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam
an-Nawawi (dan ulama lainnya) sebagai pendapat/qaul mukhtar (pendapat yang
dipilih/ dipegang sebagai fatwa Madzhab dan lebih kuat), pendapat ini juga
dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam lainnya.
|||
PERMASALAHAN QAUL MASYHUR DALAM MADZHAB IMAM ASY-SYAFI'I |||
Pernyataan
qaul masyhur bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada orang mati
adalah tidak mutlak, itu karena ada qaul lain dari Imam asy-Syafi’i sendiri
yang menyatakan sebaliknya. Yakni berhubungan dengan kondisi dan hal-hal
tertentu, seperti perkataan beliau Imam Syafi’i :
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
“asy-Syafi’i berkata : aku
menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk
mayyit”
Juga
disebutkan oleh al-Imam al-Mawardi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibnu ‘Allan dan
yang lainnya dalam kitab masing-masing yang redaksinya sebagai berikut :
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَأَ
عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسناً
“Imam asy-Syafi’i
rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi
quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’a disisi quburnya maka itu
bagus”
Kemudian
hal ini dijelaskan oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam
al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه
لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل
إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب
محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل
قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت
نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an,
Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab
asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan
sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama
berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat,
puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai
qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan
mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak
mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal
itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian
al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi
mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah
ar-Raudlah”.
Syaikhul
Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa:
وكلام الشافعي - رضي الله عنه - هذا تأييد للمتأخرين في حملهم
مشهور المذهب على ما إذا لم يكن بحضرة الميت أو لم يدع عقبه
“dan perkataan Imam
asy-Syafi’i ini (bacaan al-Qur’an disamping mayyit/kuburan) memperkuat
pernyataan ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam membawa pendapat masyhur diatas
pengertian apabila tidak dihadapan mayyit atau apabila tidak mengiringinya
dengan do’a”.
Lagi, dalam
Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا
بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له
“Sesungguhnya pendapat
masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit
(hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit”.
Oleh karena
itu Syaikh Sulaiman al-Jumal didalam Futuuhat al-Wahab (Hasyiyatul Jumal)
mengatakan pula sebagai berikut :
والتحقيق أن القراءة تنفع الميت بشرط واحد من ثلاثة أمور إما حضوره
عنده أو قصده له، ولو مع بعد أو دعاؤه له، ولو مع بعد أيضا اه
“dan tahqiq bahwa bacaan
al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari
3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila
di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh,
atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga.
Intahaa”.
فرع : ثواب القراءة للقارئ ويحصل مثله أيضا للميت لكن إن كانت
بحضرته، أو بنيته أو يجعل ثوابها له بعد فراغها على المعتمد في ذلك .... (قوله:
أما القراءة إلخ) قال م ر: ويصل ثواب القراءة إذا وجد واحد من ثلاثة أمور؛ القراءة
عند قبره والدعاء له عقبها ونيته حصول الثواب له
“(Cabang) pahala bacaan
al-Qur’an adalah bagi si pembaca dan pahalanya itu juga bisa sampai kepada
mayyit apabila dibaca dihadapan orang mati, atau meniatkannya, atau
menjadikan pahalanya untuk orang mati setelah selesai membaca menurut pendapat
yang kuat (muktamad) tentang hal itu,.... Frasa (adapun pembacaan al-Qur’an
–sampai akhir-), Imam Ramli berkata : pahala bacaan al-Qur’an sampai
kepada mayyit apabila telah ada salah satu dari 3 hal : membaca disamping
quburnya, mendo’akan untuknya mengiringi pembacaan al-Qur’an dan meniatkan
pahalanya sampai kepada orang mati.”
Imam
an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah:
فالاختيار أن يقول القارئ بعد
فراغه: اللهمّ أوصلْ ثوابَ ما قرأته إلى فلانٍ؛ والله أعلم
“Dan yang dipilih (qaul
mukhtar) agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan
(kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.
والمختار الوصول إذا سأل الله أيصال ثواب قراءته، وينبغى الجزم به
لانه دعاء، فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعى، فلان يجوز بما هو له أولى،
ويبقى الامر فيه موقوفا على استجابة الدعاء، وهذا المعنى لا يخص بالقراء بل يجرى
في سائر الاعمال، والظاهر أن الدعاء متفق عليه انه ينفع الميت والحى القريب
والبعيد بوصية وغيرها
“dan pendapat yang dipilih
(qaul mukhtar) adalah sampai, apabila memohon kepada Allah menyampaikan pahala
bacaannya, dan selayaknya melanggengkan dengan hal ini karena sesungguhnya
ini do’a, sebab apabila boleh berdo’a untuk orang mati dengan perkara yang
bukan bagi yang berdo’a, maka kebolehan dengan hal itu bagi mayyit lebih utama,
dan makna pengertian semacam ini tidak hanya khusus pada pembacaan al-Qur’an
saja saja, bahkan juga pada seluruh amal-amal lainnya, dan faktanya do’a,
ulama telah sepakat bahwa itu bermanfaat bagi orang mati maupun orang hidup,
baik dekat maupun jauh, baik dengan wasiat atau tanpa wasiat”.
Al-Imam
al-Bujairami didalam Tuhfatul Habib :
قوله: (لأن الدعاء ينفع الميت) والحاصل أنه إذا نوى ثواب قراءة له
أو دعا عقبها بحصول ثوابها له أو قرأ عند قبره حصل له مثل ثواب قراءته وحصل للقارئ
أيضا الثواب
“Frasa : (karena sesungguhnya
do’a bermanfaat bagi mayyit), walhasil sesungguhnya apabila pahala bacaan
al-Qur’an diniatkan untuk mayyit atau di do’akan menyampainya pahala bacaan
al-Qur’an kepada mayyit mengiringi bacaan al-Qur’an atau membaca al-Qur’an
disamping qubur niscaya sampai pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit dan
bagi si qari (pembaca) juga mendapatkan pahala”.
Al-‘Allamah
Muhammad az-Zuhri didalam As-Siraaj :
وتنفع الميت صدقة عنه ووقف مثلا ودعاء من وارث وأجنبي كما ينفعه ما
فعله من ذلك في حياته ولا ينفعه غير ذلك من صلاة وقراءة ولكن المتأخرون على نفع
قراءة القرآن وينبغي أن يقول اللهم أوصل ثواب ما قرأناه لفلان بل هذا لا يختص
بالقراءة فكل أعمال الخير يجوز أن يسأل الله أن يجعل مثل ثوابها للميت فان المتصدق
عن الميت لا ينقص من أجره شيء
“Bermanfaat bagi mayyit
yakni shadaqah mengatas namakan mayyit, misalnya waqaf, dan (juga bermanfaat
bagi mayyit yakni) do’a dari ahli warisnya dan orang lain, sebagaimana
bermanfaatnya perkara yang dikerjakannya pada masa hidupnya, namun yang lainnya
tidak memberikan manfaat seperti shalat dan membaca al-Qur’an, akan tetapi
ulama mutakhkhirin menetapkan atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, oleh
karena itu sepatutnya berdo’a : “ya Allah sampaikanlah pahala apa yang telah
kami baca kepada Fulan”, bahkan hal semacam ini tidak hanya khusus pembacaan
al-Qur’an saja tetapi seluruh amal-amal kebajikan lainnya juga boleh dengan
cara memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, dan
sesuangguhnya orang yang bershadaqah mengatas namakan mayyit pahalanya tidak
dikurangi”. .
Dari
beberapa keterangan ulama-ulama Syafi’iyah diatas maka dapat disimpulkan bahwa
qaul masyhur pun sebenarnya menyatakan sampai apabila al-Qur’an dibaca
hadapan mayyit termasuk membaca disamping qubur, juga sampai apabila
meniatkan pahalanya untuk orang mati yakni pahalanya ditujukan untuk orang
mati, dan juga sampai apabila mendo’akan bacaan al-Qur’an yang telah dibaca
agar disampaikan kepada orang yang mati.
|||
HILANGNYA PERSELISIHAN DAN PENERAPAN DALAM TAHLILAN |||
Setelah memahami maksud dari qaul masyhur maka marilah ketahui tentang keluasan
ilmu dan kebijaksaan ‘ulama yang telah merangkai tahlilan. Yakni bahwa
didalam tahlilan sudah tidak ada lagi perselisihan mengenai membaca
al-Qur’an untuk orang mati. Sebab semua dzikir yang dibaca, shalawat hingga
pembacaan al-Qur’an dalam rangkaian tahlilan ; seluruhnya diniatkan untuk
orang yang meninggal dunia yakni pada permulaan tahlilan. Sedangkan
diakhir rangkaian tahlilan adalah ditutup dengan do’a yang berisi pemohonan
ampun untuk yang meninggal, doa-doa yang lainnya serta do’a agar pahala
bacaannya disampaikan kepada mayyit, sedangkan do’a sendiri memberikan
bermanfaat bagi mayyit. Jika sudah seperti ini, tidak ada khilaf (perselisihan)
lagi. Sungguh sangat bijaksana.
Lebih jauh lagi, ulama bahkan mengatakan membacakan al-Qur’an kepada orang
mati telah menjadi Ijma’ sebab tidak ada yang mengingkarinya. Sebagaimana yang
disebutkan oleh al-Imam al-Hafidz Jalalauddin As-Suyuthi didalam Syarh
Ash-Shuduur :
إختلف في وصول ثواب القراءة للميت فجمهور
السلف والأئمة الثلاثة على الوصول وخالف في ذلك إمامنا الشافعي مستدلا بقوله تعالى
{وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} وأجاب الأولون عن الآية بأوجه. أحدها أنها منسوخة
بقوله تعالى {والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم} الآية أدخل الأبناء الجنة بصلاح
الآباء. الثاني أنها خاصة بقوم إبراهيم وقوم موسى عليه السلام فأما هذه الأمة فلها
ما سعت وما سعي لها قال عكرمة . الثالث أن المراد بالإنسان هنا الكافر فأما المؤمن
فله ما سعى وما سعي له قاله الربيع بن أنس الرابع
ليس للإنسان إلا ما سعى من طريق العدل فأما من باب الفضل فجائز أن يزيده الله
تعالى ما شاء قاله الحسين بن الفضل. الخامس أن اللام في {للإنسان} بمعنى على أي
ليس على الإنسان إلا ما سعى. واستدلوا على الوصول بالقياس على ما تقدم من الدعاء
والصدقة والصوم والحج والعتق فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة
أو وقف أو دعاء أو قراءة وبالأحاديث الآتي ذكرها وهي وإن كانت ضعيفة فمجموعها يدل
على أن لذلك أصلا وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من
غير نكير فكان ذلك إجماعا ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي
الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. قال القرطبي وقد كان الشيخ عز الدين بن عبد
السلام يفتي بأنه لا يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ له فلما توفي رآه بعض أصحابه فقال
له إنك كنت تقول إنه لا يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ ويهدى إليه فكيف الأمر قال له
كنت أقول ذلك في دار الدنيا والآن فقد رجعت عنه لما رأيت من كرم الله في ذلك وأنه
يصل إليه ثواب ذلك وأما القراءة على القبر فجزم بمشروعيتها أصحابنا وغيرهم وقال
الزعفراني سألت الشافعي رحمه الله عن القراءة عند القبر فقال لا بأس به وقال
النووي رحمه الله في شرح المهذب يستحب لزائر القبور أن يقرأ ما تيسر من القرآن
ويدعو لهم عقبها نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب وزاد في موضع آخر وإن ختموا
القرآن على القبر كان أفضل وكان الإمام أحمد بن حنبل ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه
فيه أثر ثم رجع حين بلغه ومن الوارد في ذلك ما تقدم في باب ما يقال عند الدفن من
حديث إبن العلاء بن اللجلاج مرفوعا كلاهما
“Ulama berselisih tentang sampainya pahala bacaan
al-Qur’an untuk orang mati. Pendapat jumhur Salafush shaleh dan Imam tiga
(Abu Hanifah, Malik, Ahmad) menyatakan sampai, sedangkan Imam kami yakni
Imam Syafi’i menyelisihi yang demikian, beliau beristidlal dengan firman Allah
Ta’alaa :
وَأَن
لَيْسَ للْإنْسَان إِلَّا مَا سعى
“dan tiada bagi manusia kecuali apa yang di usahakan”
(QS. an-Najm : 39)
Aku mengawali jawaban tentang ayat ini dengan berbagai
sudut pandangan jawaban : Pertama, ayat tersebut manshukh (hukumnya dihapus)
dengan firman Allah Ta’alaa :
وَالَّذين
آمنُوا وَاتَّبَعتهمْ ذُرِّيتهمْ
“dan orang-orang yang beriman, kami hubungkan mereka
dengan keturunan-keturunan mereka”
Berdasarkan ayat tersebut, anak-anak masuk surga
karena keshalihan (kebajikan) ayah-ayahnya.
Kedua, ayat tersebut hanya khusus qaum Nabi Ibrahim
‘alayhis salaam dan Nabi Musaa ‘alayhis salaam, adapun umat ini maka baginya
apa yang diusahakan dan apa yang diusahakan (orang lain) untuknya. ‘Ikrimah
telah menuturkan hal ini.
Ketiga, bahwa yang dimaksud dengan manusia (al-Insaan)
pada ayat tersebut dalah orang kafir, (maksudnya adalah “tiada bagi orang
kafir, kecuali apa yag diusahakan”, ket), sedangkan orang-orang beriman, maka
baginya apa yang diusahakannya dan apa yang diusahakan orang lain untuknya. Ini
qaul Ar-Rabi’ bin Anas.
Keempat, tiada bagi manusia kecuali apa yang
diusahakan seperti dari segi keadilan, adapun terkait keutamaan (fadlilah) maka
jaiz bagi Allah Ta’alaa menambahkan apa yang dikehendaki. Ini qaul al-Husain
bin al-Fadll.
Kelima, huruf Lam (ل) pada ladzhaf {lil-Insaan} bermakna ‘alaa (على) maksudnya tiada atas manusia kecuali apa yang diusahakan.
Dan para ulama beristidllal atas sampainya (bacaan
al-Qur’an) dengan Qiyas terhadap perkara sebelumnya seperti do’a, shadaqah,
puasa, haji dan membebaskan budak, maka tidak ada perbedaan terkait perpindahan
pahala antara haji, shadaqah, waqaf, do’a dan membaca al-Qur’an, dan
berdasarkan hadits-hadits sebelumnya yang telah disebutkan, dimana
jikalau kedudukan haditsnya memang dlaif, namun pengumpulannya (banyak
dihimpunnya hadits tersebut) itu menunjukkan bahwa yang demikian merupakan
pokok (al-Ashl) dan bahwa kaum Muslimin tidak pernah meninggalkan amalan
tersebut disepanjang masa , mereka berkumpul, mereka membaca al-Qur’an untuk
orang-orang mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkari, maka jadilah itu
sebagai Ijma’, semua itu telah dituturkan oleh al-Hafidz Syamsuddin bin
Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali pada sebagian dari beberapa masalah.”
Imam al-Qurthubi berkata : Syaikh ‘Izzuddin bin Abdis
Salam berfatwa bahwa bacaan al-Qur’an untuk mayyit tidak sampai kepada mayyit,
maka tatkala beliau wafat, sebagian shahabat-shahabatnya (bermimpi) melihatnya,
kemudian berkata : “sesungguhnya engkau pernah mengatakan bahwa pahala apa yang
dibaca (bacaan al-Qur’an) tidak sampai kepada mayyit walaupun menghadiahkannya,
bagaimanakah masalah tersebut ?” kemudian ia menjawab : aku memang
mengatakan demikian ketika di dunia, dan sekarang sungguh aku telah ruju’
darinya tatkala aku melihat karamah Allah tentang hal tersebut, dan
sesungguhnya yang demikian itu sampai kepada mayyit.
Adapun membaca al-Qur’an di atas qubur. Ashhabunaa
(ulama-ulama syafi’iyah kami) serta yang lainnya telah menetapkan
disyariatkannya hal tersebut.
Imam Az-Za’farani berkata : aku pernah bertanya kepada
Imam asy-Syafi’i rahimahullah tentang pembacaan al-Qur’an diatas qubur, lalu
beliau menjawab : “tidak apa-apa dengan yang demikian”.
al-Imam an-Nawawi rahimahullah didalam Syarhul
Muhadzdzab berkata : disunnahkan bagi peziarah qubur agar membaca apa yang
dirasa mudah dari al-Qur’an dan berdo’a untuk mereka mengiringi bacaan
al-Qur’an, nas atasnya oleh asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i telah
menyepakatinya, dan ditempat lain ditambahkan yakni jika mereka mengkhatamkan
al-Qur’an diatas qubur maka itu lebih afdlal (utama).
al-Imam Ahmad bin Hanbal awalnya mengingkari yang
demikian (membaca al-Qur’an diatas qubur) ketika belum sampai atsar terkait hal
itu kepada beliau, namun kemudian beliau ruju’ ketika atsar terkait hal
tersebut sampai kepadanya, dan diantara yang warid tentang yang demikian
yakni apa yang telah berlalu pada sebuah Bab Maa Yuqaal ‘Inda ad-Dafni dari
hadits Ibnu al-‘Alaa’ bin al-Lajlaj secara marfu’ pada kalam keduanya.”
||| JAMUAN MAKAN PARA
PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL |||
Dalam
kegiatan tahlilan, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah baik ala kadarnya
(makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan makan. Namun, ada juga yang
hanya berupa minuman saja. Apapun itu tidak menjadi masalah dalam tahlilan.
Sebab itu bukan tujuan dari tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi
tersendiri seperti dalam rangka menghormati tamu atau bermaksud untuk
bershadaqah yang pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang
meninggal dunia.
Ada hal
yang sering di permasalahkan oleh para pengingkar terkait yang ada di dalam
kegiatan tahlilan. Mereka mencari-cari “dalih” dalam kitab-kitab para imam
untuk mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada yang mengharamkannya.
Pada
dasarnya bahasan ini bukan mengenai tahlilan secara keseluruhan, akan tetapi
mengenai jamuan makan dari keluarga almarhum dan berkumpulnya manusia padanya
setelah kematian. Jamuan makan adalah satu hal, dan tahlilan juga satu hal.
Namun, karena jamuan makan juga ada pada kegiatan tahlilan maka pembahasannya
pun terkait dengan tahlilan. Walaupun demikian, tidak bisa dikatakan jamuan
makan adalah tahlilan atau tahlilan adalah jamuan makan, sebab memang bukan
seperti itu. Orang yang melarang tahlilan dengan alasan adanya jamuan makan
sebagaimana disebarkan oleh mereka yang benci tahlilan maka itu benar-benar
telah keliru dan tidak merinci sebuah permasalahan dengan tepat.
Tahlilan
hukumnya boleh, sedangkan unsur-unsur dalam tahlilan merupakan
amaliyah-amaliyah masyru’ seperti berdo’a, membaca dzikir baik tasybih, tahmid,
takbir, tahlil hingga shalawat, dan juga membaca al-Qur’an yang pahalanya untuk
mayyit. Disamping itu juga terkait dengan hubungan sosial masyarakat yang
dianjurkan dalam Islam yakni shilaturahim.
Adapun
jamuan makan dalam kegiatan tahlilan (kenduri arwah) jika bukan karena tujuan
untuk kebiasaan (menjalankan adat) dan tidak memaksakan diri jikalau tidak
mampu serta bukan dengan harta yang terlarang. Maka, membuat dengan niat
tarahhum (merahmati) mayyit dengan hati yang ikhlas serta dengan niat
menghadiahkan pahalanya kepada mayyit (orang mati) maka itu mustahab (sunnah).
Itu merupakan amalan yang baik karena tujuannya adalah demikian. Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
إنما الأعمال بالنيات
“Sesungguh sesuatu
perbuatan tergantung dengan niat”
Juga sebuah
qaidah menyatakan :
الأمور بمقاصدها
“Suatu perkara
tergantung pada tujuannya”.
Serta,
orang yang melakukannya dengan tujuan (niat) tersebut akan mendapatkan pahala,
sebab telah shahih hadits dari Ibnu ‘Umar radliyallah ‘anh :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ
ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ
عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا
اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى
أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا
اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا
اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
“Sesungguhnya Allah
mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelakan yang
demikian, maka barangsiapa yang berkeinginan melakukan kebaikan namun tidak
sampai melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya kebaikan yang
sempurna, maka jika ia berkeinginan dengannya kemudian melakukannya niscaya
Allah akan mencatatkan untuknya sepuluh macam kebaikan sampai 700 kali lipat
kemudian hingga berlipat-lipat yang banyak ; barangsiapa yang berkeinginan
melakukan keburukan namun ia tidak mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan
untuknya kebaikan yang sempurna, namun jika ia mengerjakannya niscaya Allah
mencatatkan untuknya satu macam keburukan”.
Dan juga
telah tsabit didalam shahih al-Bakhari dari Abdullah bin ‘Umar bin al-‘Ash,
bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ
الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
“Ya Rasulullah apakah
amal yang baik dalam Islam ? Nabi menjawab : “memberikan makan, mengucapkan
salam kepada orang yang dikenal dan tidak dikenal”
Lafadz
“ith’am” pada hadits meliputi makan, minum, jamuan juga shadaqah dan yang
lainnya, sebab lafadz tersebut umum. Dalam sebuah hadits dari Thawus
radliyallahu ‘anh menyebutkan :
ان الموت يفتنون فى قبورهم سبعا .
فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati di
fitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari,
maka mereka menganjurkan untuk memberi jamuan makan yang pahalanya untuk mayyit
selama masa 7 hari tersebut”.
Imam
al-Hafidz As-Suyuthi mengatakan bahwa lafadz “kanuu yustahibbuna”,
memiliki makna kaum Muslimin (sahabat) yang hidup pada masa Nabi shallallahu
‘alayhi wa salllam , sedangkan Nabi mengetahuinya dan taqrir atas hal itu.
Namun, dikatakan juga sebatas berhenti pada pada sahabat saja dan tidak sampai
pada Rasulullah.
Berdasarkan
hal diatas, maka memberikan makanan yang pahalanya untuk orang mati merupakan
amalan yang memang dianjurkan. Adapun melakukannya setelah kematian juga tidak
masalah selama diniatkan untuk menshadaqahkan dalam rangka merahmati mayyit.
|||
PENJELASAN TERKAIT HADITS KELUARGA JA'FAR |||
Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ
طَعَامًا، فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
“hidangkanlah makanan
untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang
menyibukkan mereka”.
Imam
asy-Syafi’i rahimahullah didalam al-Umm beristidlal dengan hadits diatas
terkait anjuran memberi makan untuk keluarga almarhum :
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت،
وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة، وذكر كريم، وهو من فعل أهل الخير قبلنا، وبعدنا
لأنه لما «جاء نعي جعفر قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - اجعلوا لآل جعفر
طعاما فإنه قد جاءهم أمر يشغلهم
“Aku mengajurkan bagi
tetangga almarhum atau kerabat-kerabatnya agar membuatkan makanan pada hari
kematian dan malamnya, sebab itu merupakan sunnah, dzikr yang mulya dan
termasuk perbuatan ahlul khair sebelum kita serta sesudah kita”.
Demikian
juga dengan Imam Asy-Syairazi didalam al-Muhadzdzab :
فصل: ويستحب لأقرباء الميت وجيرانه أن يصلحوا لأهل الميت طعاماً
لما روي أنه لما قتل جعفر بن أبي طالب كرم الله وجهه
“sebuah fashal, yakni
disunnahkan bagi kerabat-kerabat almarhum dan tetangganya agar mengurusi
keperluan makan untuk keluarga almarhum berdasarkan riwayat tentang wafatnya
Ja’far bin Abi Thalib”.
Berdasarkan
hadits itu pula al-Imam an-Nawawi mengatakan :
ويستحب لا قرباء الميت وجيرانه أن يصلحوا لأهل الميت طعاما لما روى
أنه لما قتل جعفر ابن أبي طالب رضي الله عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم
اصنعوا لآل جعفر طعاما فانه قد جاء هم أمر يشغلهم عنه
“disunnahkan bagi
kerabat-kerabat mayyit dan tetangganya supaya mereka mengurusi keperluan makan
keluarga mayyit, berdasarkan riwayat bahwa tatkala Ja’far bin Abi Thalib
terbunuh, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “hidangkanlah makanan
untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang
menyibukkan mereka”.
Al-Imam
al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni al-Muhtaj :
(و) يسن
(لجيران أهله) ولأقاربه الأباعد وإن كان الأهل بغير بلد الميت (تهيئة طعام يشبعهم)
أي أهله الأقارب (يومهم وليلتهم) لقوله - صلى الله عليه وسلم - «لما جاء خبر قتل
جعفر: اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم» حسنه الترمذي وصححه الحاكم
“dan disunnahkan tetangga
keluarga mayyit dan kerabat-kerabatnya yang jauh, walaupun berada didaerah
negeri lainnya agar menyiapkan makanan yang mengenyangkan mereka pada siang dan
malamnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “ketika datang
berita terbunuhnya Ja’far ; “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab
sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”, a-Turmidzi
menghasankannya dan al-Hakim menshahihkannya.”
||| HARAMNYA NIYAHAH (MERATAP) DAN PENGERTIAN NIYAHAH |||
أجمعت الأمّةُ على تحريم النياحة، والدعاء بدعوى الجاهلية، والدعاء
بالويل والثبور عند المصيبة
“Umat bersepakat atas
haramnya niyahah, dan berdo’a dengan seruan orang jahiliyah serta do’a dengan
kejelekan dan keburukan ketika terjadi mushibah”.
Imam
al-‘Imraniy didalam al-Bayan mengatakan :
ويحرم النوح على الميت، وشق الجيوب، ونشر الشعور، وخمش الوجوه
“dan haram meratap atas orang
mati, merobek-robek saku baju, menjambak-jambak rambut dan mencoreng-coreng
wajah”.
al-Imam
Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz :
وكذا النياحة والجزع بضرب الخد وشق الثوب ونشر الشعر كل ذلك حرام
“demikian juga niyahah
(meratap), mengeluh dengan memukul pipi, menyobek pakaian dan menjambak-jambak
(mengacak-acak) rambut, semuaa itu haram”.
Adapun
pengertian niyahah sendiri, sebagaimana yang Imam Nawawi sebutkan adalah :
واعلم أن النياحة : رفع الصوت بالندب، والندب: تعديد النادبة
بصوتها محاسن الميت، وقيل: هو البكاء عليه مع تعديد محاسنه. قال أصحابنا:
ويحرم رفع الصوت بإفراط في البكاء. وأما البكاء على الميت من غير ندب ولا نياحة
فليس بحرام
“Ketahuilah, sesungguhnya
niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, adapun an-Nadb sendiri
adalah mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau menyebut berulang-ulang)
tentang kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang mengatakan) bahwa niyahah
adalah menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit”. Ashhab
kami (ulama syafi’iyah kami) mengatakan : “haram menyaringkan suara dengan
berlebih-lebihan dalam menangis”. Adapun menangisi mayyit tanpa
menyebut-menyebut dan tanpa meratapinya maka itu tidak haram”.
والنياحة رفع الصوت بالندب قال الشافعي والأصحاب البكاء على الميت
جائز قبل الموت وبعده ولكن قبله أولى
“Niyahah adalah menyaringkan
suara dengan an-nadb, al-Imam Asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i (ulama
syafi’iyah) mengatakan, menangisi orang mati boleh baik sebelum mati atau
setelah mati, akan tetapi menangisi sebelum mati itu lebih utama”.
Oleh karena
itu, penetapan hukum bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)
karena bisa menjadi sebab adanya niyahah atau bisa membawa pada niyahah. Jika
mengikuti kaidah ushul, inilah yang menjadi illat dihukuminya makruh (bid’ah
makruhah). Namun, jika illatnya tidak ada maka hukumnya juga berubah. Maka
pertanyaannya sekarang adalah : apakah tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan
oleh kaum Muslimin dengan digagas oleh ulama besar seperti para wali Allah
(wali songo) bersifat seperti itu ? Apakah tahlilan (kenduri arwah) mengarah
pada niyahah atau menjadi sebab terjadinya niyahah ?! Tentu saja tidak akan
terjadi pada kegiatan tahlil yang benar.
|||
KOMENTAR ULAMA YANG MEMAKRUHKAN |||
Adapun jika berkumpul untuk tujuan tersebut, maka itu tidak makruh,
sebagaimana telah jelas perkataan Syaikhul Madzhab Syafi’i yakni Imam an-Nawawi
rahimahullah :
فرع : لا كراهة في قراءة الجماعة مجتمعين
بل هي مستحبة
"Sebuah cabang : tidak dihukumi makruh pada
pembacaan Qur’an secara berkumpul (berhimpun) bahkan itu mustahabbah (sunnah)”
Bahkan telah warid didalam hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam
tentang perkumpulan dzikir ;
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ،
إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ
عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ
“Tidaklah sebuah qaum (perkumpulan) duduk berdzikir
kepada Allah, melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, mereka diliputi
oleh rahmat serta turun atas mereka ketetapan hati”.
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ
اللهَ، لَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلَّا وَجْهَهُ، إِلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ
السَّمَاءِ: أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ، قَدْ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ
حَسَنَاتٍ
“Tidaklah sebuah qaum berkumpul berdzikir kepada
Allah, karena mereka tiada menginginkan dengan hal itu kecuali keridlaan
Allah, maka malaikat akan menyeru dari langit, bahwa berdirilah kalian dengan
pengampunan bagi kalian, sungguh keburukan kalian telah digantikan dengan
kebaikan”.
لَا
يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ
الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ،
وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah sekelompok orang berkumpul dan berdzikir
menyebut Nama-nama Allah kecuali mereka dikelilingi oleh para Malaikat,
diliputi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah sebut mereka di
kalangan para Malaikat yang mulia”.
Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman ;
الَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ
“(Yaitu) orang-orang yang berdzikir kepada
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (QS. Ali Imran :
3)
Ayat ini berkorelasi dengan hadits sebelumnya, yakni juga bermakna majelis
dzikir. Itu karena frasa “yadzkuruuna atau mereka berdzikir” adalah dengan
lafadz jama’. Artinya berdzikir bersama-sama.
Maka dari hal ini, dapat dipahami bahwa dzikir dengan berhimpun adalah
lebih utama daripada seorang diri. Berkumpul berdzikir meliputi segala jenis
bacaan dzikir serta dimana saja, termasuk juga dimajelis tahlil (kegiatan
tahlilan), sebab tidak ada larangan baik al-Qur’an maupun hadits yang
melarang berdzikir seperti membaca do’a untuk mayyit, shalawat, membaca al-Qur’an
serta dzikir-dzikir lainnya yang dilakukan di kediaman keluarga almarhum.
Bahkan lebih jauh lagi, walaupun membuat jamuan makan karena menjalankan
adat tapi jika dalam rangka menghilangkan (menangkis) ocehan orang-orang awam
(daf’u alsinatil juhhal) serta untuk menjaga kehormatan dirinya, maka dalam
rangka hal tersebut tidak apa-apa, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar
al-Haitami dalam Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa.
Oleh karena itu, komentar-komentar ulama yang mengatakan makruh bukanlah
dalam pengertian tujuan shadaqah atau “ith’am ‘anil mayyit’”, melainkan
disebabkan adanya illat. Seperti misalnya perkataan Imam Ibu Hajar diatas, juga
seperti : Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab menukil perkataan
‘ulama lainnya didalam al-Majmu’ :
وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس
عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث
جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال " كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة
الطعام بعد دفنه من النياحة " رواه أحمد بن حنبل وابن ماجه بإسناد صحيح وليس
في رواية ابن ماجه بعد دفنه
“Shahibusy Syamil dan yang lainnya berkata ; adapun
keluarga almarhum mengurusi (membuat) makanan serta berkumpulnya manusia
padanya, maka itu pernah dinukil sesuatu pun tentangnya, dan itu adalah bid’ah
ghairu mustahabbah, inilah perkataan shahibusy Syamil. dan istidlal untuk
hal ini berdasarkan hadits Jarir bin Abdullah radliyallah ‘anh, ia berkata :
“Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat
makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”, Imam Ahmad bin
Hanbal dan Ibnu Majah telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih, namun
dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada kata “setelah pemakaman mayyit”.
Al-Imam al-Khathib as-Sarbini didalam al-Iqna’ :
وحرم تهيئته لنحو نائحة كنادبة لأنها
إعانة على معصية قال ابن الصباغ وغيره أما اصطناع أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه
فبدعة غير مستحبة
“dan haram menyiapkan makanan untuk semisal
wanita-wanita yang merapat (melakukan niyahah) seperti menyebut-menyebut,
karena itu sama saja membantu kemaksiatan, Ibnu Ash-Shabbagh dan yang lainnya
mengatakan : adapun mengurusi makanana ahlu mayyit dan manusia berkumpul
padanya, maka itu bid’ah ghairu mustahibbah”.
Al-‘Allamah Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam I’anathuth Thalibin
menyebutkan :
ويكره لأهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع
طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد
الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل
الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الأباعد - وإن
كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لأهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم
في الأكل. ويحرم صنعه للنائحة، لأنه إعانة على معصية
“dimakruhkan bagi ahlul mayyit duduk untuk ta’ziyah,
menghidangkan makananyang masyarakat berkumpul padanya, telah diriwayatkan oleh
Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, ia berkata ; “kami memandang berkumpul
pada keluarga mayyit juga mereka menghidangkan makanan setelah proses pemakaman
termasuk bagian dari niyahah”. Disunnahkan bagi tetangga mayyit –walaupun orang
lain – dan orang yang mengetahui – walaupun bukan sebagai tetangga – dan
kerabat-kerabatnya yang jauh – walaupun berada di negeri yang berbeda dengan
mayyit – supaya menghidangkan makanan untuk keluarga mayyit yang mencukupi
kebutuhan mareka baik siang maupun malamnya, dan supaya mereka memaksa keluarga
mayyit untuk makan, dan diharamkan menyiapkan makanan untuk wanita-wanita yang
meratap, karena itu membantu kepada kemaksiatan”.
ويحرم تهيئه للنائحات لأنه إعانة على
معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة -
كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت
وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام
بأمر الحزن
“dan diharamkan menyiapkan makanan untuk wanita-wanita
yang meratap, karena itu membantu kemaksiatan, dan perkara yang diadatkan
(dibiasakan) seperti ahlul mayyit membuat makanan untuk mengajak manusia
padanya, itu bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh) – seperti menerima
mereka untuk yang demikian, karena telah shahih hadits dari Jarir radliyallahu
‘anh : kami memandang berkumpul pada keluarga mayyit juga mereka menghidangkan
makanan setelah proses pemakaman termasuk bagian dari niyahah”, dan segi
dianggapnya sebagai bagian dari niyahah adalah apa yang ada didalamnya berupa
perhatian yang sangat terhadap perkara kesedihan”.
وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج:
ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل
كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو
ذلك اه
“dan didalam Hasyiyah al-‘Allamah al-Jamal ‘alaa
syarhil Minhaj : termasuk bid’a munkarah dan makruh mengerjakannya yakni :
perkara yang telah dilakukan manusia berupa al-wahsyah (duka cita), perkumpulan
dan empat puluh harian, bahkan semua itu haram jika berasal dari harta yang
terlarang, atau dari harta mayyit yang masih memiliki tanggungan hutang atau
mengakibatkan terjadinya dlarar atau semisalnya. Selesai”.
Syaikh Ibnu ‘Umar an-Nawawi al-Bantani didalam Nihayatuz Zain :
أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة
دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم كذا في
كشف اللثام
“Adapun acara makan-makan yang masyarakat berkumpul
disana pada malam hari ketika prosesi pemakaman yang dikenal dengan
al-wahsyah (berduka cita) maka itu makruh selama tidak ada harta anak
yatim kecuali ada (harta anak yatim) maka itu haram, sebagaimana telah
didalam kitab Kasyfu al-Litsam”.
Dan masih banyak yang menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk hal
serupa, yang intinya bukan untuk tujuan ith’am ‘anil mayyit’ (shadaqah) ataupun
tujuan mulya lainnya, melainkan tujuan-tujuan yang hanya menjalankan kebiasaan
semata atau yang lainnya, yang kadang memberatkan (membebani) keluarga almarhum
dan melakukannya secara terpaksa hanya karena rasa malu atau sebagainya.
Sehingga tentunya, berbeda apabila memberikan makanan itu dengan suka rela
(keikhlasan hati), paham maksud dan tujuannya yakni seperti motivasi ingin
menshadaqahkan hartanya yang pahalanya untuk mayyit maka ini hukumnya
sunnah (mustahab), sedangkan pahalanya sampai dan bermanfaat bagi mayyit
berdasarkan nas-nas yang kuat. Adapun orang yang melakukan shadaqah maka
terdapat pahala baginya. Hal ini karena terkait dengan hukum shadaqah itu
sendiri.
||| SEJAK DAHULU KALA DAN
TERJADI DI MAKKAH DAN MADINAH |||
Kegiatan
yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz
Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu pengarang kitab
tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan kaum
Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :
أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة
والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن
سلف إلى الصدر الأول
“Sesungguhnya sunnah
memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan
ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di
Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan
sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan
sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada
salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh
ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam)
menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’.
Ini
sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di Makkah dan
Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali di kisahkan oleh al-‘Allamah
al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang
khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan
menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :
أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة
والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر
انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه.
وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام
لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ
على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.
“Sungguh sunnah memberikan
makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan
sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai
sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali
Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di
tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima
(memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini
saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan.
al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah)
karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah
penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai
bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya
pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan
gertakannya”.
Istilah 7
hari tersebut adalah berdasarkan riwayat shahih dari Thawus sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Yang mana sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat
tersebut juga atas taqrir dari Rasulullah, sebagian juga mengatakan hanya
dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada masa Rasulullah.
Oleh karena itu, keliru
jika dikatakan bahwa 7 hari semata-mata di ambil dari budaya hindu hanya
karena adanya kemiripan. Mirip tidak berarti bahwa itu sama, bahkan dari
segi asasnya pun sudah berbeda. Adapun terkait istilah 14 hari, 20 hari, 40
hari, 100 hari, haul (setahun), 1000 hari dan seterusnya maka itu boleh dengan
penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari sebab itu
bisa di lakukan kapan saja. Sebab amaliyah tersebut boleh dilakukan kapan saja
atau dengan penentuan waktu. Seperti halnya penentuan waktu belajar (menuntut
ilmu tertentu) sedangkan menuntut ilmu sendiri merupakan kewajiban, menentukan
hari dalam mengkhatamkan al-Qur’an dengan menetapkan semisal satu hari
menyelesaikan satu juz atau sejumlah ayat tertentu, ini boleh demi ketertiban
(bab tartib), dan lain sebagainya. Demikian juga mendo’akan orang mati dan
dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja
atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah
kemaslahatan dan tidak ada larangannya. Oleh karena itulah, al-Imam al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari sebuah
hadits al-Bukhari no. 1118 terkait juga penentuan hari, sebagai berikut ;
وفي هذا
الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة
والمداومة على ذلك
“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang
menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian hari-hari dengan
amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan) melakukannya”.
Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari
tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal
tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya selama bukan ibadah
mahdlah atau ibadah yang terikat dengan rukun, waktu dan sebagainya seperti
shalat fardlu dan lainnya.
Meskipun, seandainya penentuan hari seperti itu bermula
dari warisan ajaran hindu, namun hal tersebut telah menjadi kultur budaya
masyarakat sehingga pembahasannya pun terkait dengan “al-Adaat”. Oleh karena
itu, ulama seperti walisongo dan dai-dai Islam lainnya dengan hanya menggiring
dan mengarahkan budaya yang penuh kemusyrikan tersebut ke budaya yang benar
sesuai dengan syariat Islam berdasarkan pertimbangan dengan kaidah-kaidah
syariat, sehingga yang awalnya (seperti) menyiapkan makanan sesajen untuk roh
orang mati dengan menyakini bahwa roh orang mati memakan sesajen tersebut, maka
diarahkan agar makanan tersebut sebagai bentuk shadaqah atas nama orang mati
yang diberikan kepada orang yang masih hidup, dan orang mati mendapatkan
manfaat dengan hal tersebut atas rahmat Allah Ta’alaa, inilah yang tepat
menurut syariat Islam. Hal semacam ini tidaklah keluar dari tatanan syariat
Islam bahkan sesuai dengan syarit Islam, sebagaimana sebuah kisah ketika
digantinya budaya Jahiliyyah yakni melumuri kepala bayi dengan darah hewan
sembelihan kemudian diganti dengan melumurinya dengan miyak za’faraan,
disebutkan pada sebuah hadits shahih yang tercantum didalam Sunan Abi Daud
[2843] dan As-Sunan al-Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [9/509] :
عَنْ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ، يَقُولُ: كُنَّا
فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ
رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا «نَذْبَحُ
شَاةً، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Dari ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : aku
mendengar Abu Buraidah mengatakan : ketika kami masih di masa Jahiliyyah,
apabila seorang bayi di lahirkan pada salah satu dari kami, menyembelih seekor
kambing, dan melumuri kepalanya dengan darah kambing sembelihan, maka tatkala
Allah mendatangkan Islam, kami tetap menyembelih kambing, memotong rambutnya
namun melumuri kepalanya dengan minyak za’faraan”.
Al-Syawkani didalam Nailul Awthar [5/ 16] dan disebutkan juga didalam ‘Aunul Ma’bu [8 33]dikomentari sebagai berikut :
قوله: (ونلطخه بزعفران) فيه دليل على
استحباب تلطيخ رأس الصبي بالزعفران أو غيره من الخلوق كما في حديث عائشة المذكور
“Frasa : (dan kami melumurinya dengan minyak
za’faraan), padanya merupakan dalil atas disunnahkannya melumuri kepala bayi
dengan minyak za’faraan atau yang lainnya sebagaimana didalam hadits ‘Aisyah
yang telah disebutkan”.
Lebih jauh lagi, istilah 40 hari pun sebenarnya
dikenal dalam sebuah riwayat ‘Ubaid bin ‘Umair. Ini disebutkan didalam Hasyiyah
al-Suyuthi ‘alaa Sunan al-Nasaa’i [4/104] karangan Imam al-Suyuthi (w 911 H).
وروى بن
جريج في مصنفه عن الحرث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق
فأما المؤمن فيفتن سبعا وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا
“Ibnu Juraij meriwayatkan didalam Mushannafnya dari
al-Harits bin Abul Harits, dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata : “dua orang
mengalami fitnah qubur yaitu orang mukmin dan orang munafiq ; orang mukmin
mengalami fitnah qubur selama 7 hari, sedangkan orang munafiq mengalami fitnah
qubur selama 40 hari”.
Imam al-Suyuthi juga menyebutkan didalam kitab
al-Daibah ‘alaa Shahih Muslim atau dikenal dengan Syarh al-Suyuthi ‘alaa Muslim
[2/491] sebagai berikut :
روى
أَحْمد بن حَنْبَل فِي الزّهْد وَأَبُو نعيم فِي الْحِلْية عَن طَاوس أَن
الْمَوْتَى يفتنون فِي قُبُورهم سبعا فَكَانُوا يستحبون أَن يطعموا عَنْهُم تِلْكَ
الْأَيَّام إِسْنَاده صَحِيح وَله حكم الرّفْع وَذكر بن جريج فِي مُصَنفه عَن عبيد
بن عُمَيْر أَن الْمُؤمن يفتن سبعا وَالْمُنَافِق أَرْبَعِينَ صباحا وَسَنَده
صَحِيح أَيْضا وَذكر بن رَجَب فِي الْقُبُور عَن مُجَاهِد أَن الْأَرْوَاح على
الْقُبُور سَبْعَة أَيَّام من يَوْم الدّفن لَا تُفَارِقهُ
“.... sanadnya shahih juga, dan Ibnu Rajab menyebutkan
tentang qubur dari Mujahid bahwa ruh-ruh berada diatas qubur selama 7 hari
sejak di makamkan serta tidak memisahkannya”.
Wallhu A’lam.
||| PENGHARAMAN TAHLILAN DI LUAR
AQAL SEHAT |||
Tidak
pernah ditemukan satu dalil pun yang menyatakan pengharaman terhadap kegiatan
tahlilan. Sebaliknya yang ada adalah anjuran untuk merahmati orang yang
meninggal dengan do’a, permohonan ampun, bacaan al-Qur’an serta dzikir-dzikir
lain. Semua ini tidak pernah diharamkan oleh para imam sekali pun.
Apabila
alasannya karena ada perkumpulan dikediaman keluarga almarhum maka ini
sudah tidak tepat sebagai “dalih’ untuk pengharaman tahlilan sebab ; Pertama ;
–seandainya memang yang dimaksud ulama adalah seperti kegiatan tahlilan
sekalipun- kebanyakan ulama hanya menghukumi makruh bukan haram. Kedua, “yang
dianggap makruh adalah perkumpulan jamuan makan”, sedangkan tahlilan bukanlah
kegiatan yang semata-mata untuk itu, melainkan untuk merahmati mayyit, sehingga
tidak bisa di dikatakan “jamuan makan adalah tahlilan atau tahlilan adalah
jamuan makan”, sebab masing-masing adalah satu hal. Ketiga, -seandainya memang
yang dimaksud ulama adalah tahlilan- itu hanya unsur tahlilan yang tidak
mutlak, sebab tahlilan tidak harus dilakukan di kediaman keluarga almarhum
melainkan bisa juga dilakukan ditempat yang lainnya, misalnya mushalla, masjid
atau tempat-tempat lain. Adanya unsur yang semisalnya diagggap memang kurang
tepat bukan berarti harus “menggusur” seluruhnya melainkan cukup unsur yang
kurang tepat tersebut yang dibenahi.
Keempat,
tahlilan bukan hanya dilakukan pada pasca kematian melainkan kapan saja atau
dengan menentukan waktu seperti pada malam Jum’at demi mendapatkan keutamaan,
disamping pada hari tersebut memang dianjurkan untuk memperbanyak dzikir juga
shalawat.
Oleh karena
itu, akal yang sehat akan mengatakan bahwa kegiatan berkumpul bukanlah sesuatu
yang haram pada sendirinya (muharram fi-nafsihi) sebaliknya merupakan
hal yang biasa (lumrah) dimanapun itu, baik di rumah, masjid, mushalla,
perkantoran, sekolah dan tempat-tempat lainnya. Hal itu mubah-mubah saja,
apalagi jika kegiatan berkumpul tersebut di isi dengan hal-hal kebajikan.
Seperti itu juga tahlil, didalamnya berisi amaliyah-amaliyah yang baik mulai
dari kalimat thayyibah hingga shalawat, apalagi bisa mempererat kasih sayang
(shilaturahim) antar kaum muslimin.
Segelintir
orang ada juga yang secara membabi buta mengharamkan tahlilan dengan
menyamakan dengan niyahah (meratap). Tentu saja, ini jelas-jelas kekeliruan
yang fatal, sebab telah diketahui bahwa pengertian niyahah adalah
menyaringkan suara atau berteriak-teriak sambil menyebut-nyebut kebaikan mayyit.
Hal semacam ini diharamkan, karena seolah-olah tidak ridla dengan takdir Allah
Ta’alaa atas kematian si mayyit atau menyesali kematian si mayyit dan bisa
menyebabkan mayyit semakin tersiksa. Namun, jika hanya menangis –berlinang air
mata- maka itu tidak haram, sebagaimana yang dituturkan oleh al-Imam an-Nawawi
rahimahullah :
وأما البكاء على الميت من غير ندب ولا
نياحة، فليس بحرام
“adapun menangisi mayyit tanpa disertai nadb
(menyebut-nyebut kebaikan mayyit) dan tanpa niyahah (meratapi mayyit),
maka itu tidak haram”.
Imam asy-Syafi’i mengatakan sebagaimana disebutkan didalam Mukhtashar
al-Muzanni :
قال الشافعي - رحمه الله تعالى - : وأرخص
في البكاء بلا ندب ولا نياحة لما في النوح من تجديد الحزن ومنع الصبر وعظيم الإثم
“Imam Syafi’i rahimahullah berkata : aku memberikan
rukhshah dalam dalam menangis tanpa disertai an-nadb dan niyahah, karena
didalam niyahah mengandung unsur memperbaharui kesedihan, mencegah kesabaran
dan mengandung dosa yang besar”.
Al-Imam al-‘Imrani didalam al-Bayan juga mengatakan :
وأما
البكاء من غير ندب، ولا نوح: فيجوز؛
“adapun menangis tanpa disertai menyebut-menyebut
kebaikan mayyit juga tanpa adanya niyahah maka itu boleh”.
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam pun pernah berlinang air mata, ketika
wafatnya putri beliau yang pada saat itu dibawa ke pangkuan Rasulullah. Sa’ad
(sahabat) pun bertanya : “air mata apa ini wahai Rasulullah ?. Rasulullah
pun menjawab :
هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَها اللَّهُ تَعالى
في قُلوبِ عِبَادِهِ، وإنمَا يَرْحَمُ
اللَّهُ تَعالى مِنْ عِبادِهِ الرُّحَماءَ
“Ini (airmata) kasih sayang yang Allah Ta’alaa telah
menjadikannya di setiap hati hamba-Nya, sesungguhnya Allah Ta’alaa mengasihi
hama-hamba-Nya yang penuh kasih sayang”.
Juga didalam Fathul Qarib karangan al-Imam Syamsuddin al-Ghazzi :
(ولا بأس بالبكاء
على الميت) أي يجوز البكاء عليه قبل الموت وبعده وتركه أولى ويكون البكاء عليه (من
غير نوح) أي رفع صوت بالندب
“tidak apa-apa menangisi mayyit yaitu boleh menangisi
mayyit sebelum maut juga setelahnya, akan tetapi meninggalkan menangis
setelahnya itu lebih utama, dan tangisan tersebu tanpa disertai niyahah yaitu
menyaringkan suara (berteriak-teriak) dengan menyebut-menyebut kebaikan
mayyit”.
Dengan memahami tentang niyahah diatas, maka akan diketahui bahwa tahlilan
(kenduri arwah) justru bertolak belakang dengan niyahah, sebab tahlilan adalah
kegiatan merahmati mayyit dengan berbagai dzikir untuknya sehingga akan
meringankan siksa atas dirinya, tentu saja ini sangat jauh dari unsur niyahah.
||| MA'TAM VS TAHLILAN ; URAIAN
UCAPAN IMAM SYAFI'I |||
Tahlilan
juga berbeda dengan ma’tam. Perbedaan ini sebenarnya nampak jelas baik dari
prakteknya, sebab pokok yang melatar belakangi juga tujuan masing-masing.
Namun, kadang masih saja ada yang melarang bahkan mengharamkan tahlilan dengan
beralasan ma’tam. Walaupun ini tidak tepat apalagi dengan membawa-bawa qaul
Imam Syafi’i. Istilah ma’tam sebenarnya muncul karena perempuan berkumpul
padanya dan ma’tam sendiri didalam kamus arab
didefinisikan antara lain :
والمأتم كل مجتمع من رجال أو نساء في حزن أو فرح
“ma’tam merupakan setiap
perkumpulan baik laki-laki maupun perempuan didalam hal kesedihan atau pun
kegembiraan”.
المأتم في الأصل: مجتمع الرجال والنساء في الغم والفرح، ثم خص به
اجتماع النساء للموت
“ma’tam pada asalnya
merupakan perkumpulan laki-laki dan perempuan didalam kesedihan atau pun
kegembiraan, kemudian pengertiannya hanya dikhususkan pada perkumpulan
perempuan pada kematian"
. الجوهري: المأتم عند العرب النساء يجتمعن في الخير والشر؛
" Al-Jauhari mengatakan bahwa ma’tam menurut orang-orang arab
adalah perempuan yang mereka berkumpul dalam hal kebaikan dan keburukan”.
قال ابن بري: لا يمتنع أن يقع المأتم بمعنى المناحة والحزن والنوح
والبكاء لأن النساء لذلك اجتمعن، والحزن هو السبب الجامع
“Ibnu Barri mengatakan :
tidak bisa dihindari untuk memahami ma’tam dengan pengertian
perempuan-perempuan yang meratap, kesedihan, ratapan dan tangisan, karena semua
inilah yang menyebabkan para perempuan berkumpul, dan kesedihan merupakan sebab
adanya perkumpulan”.
Syaikhul
Islam al-Imam Zakariyya al-Anshariy asy-Syafi’i terkait ma’tam mengatakan :
المأتم : بالمثناة أي في جماعة النساء في المصائب
“ma’tam adalah sebuah
perkumpulan (jama’ah) perempuan pada terjadinya mushibah”.
Ucapan Imam
Syafi’i rahimahullah yang kadang dijadikan dalil untuk melarang tahlilan bahkan
mengharamkan tahlilan yaitu sebagaimana tercantum dalam kitab al-Umm :
قال
الإمام الشافعى رحمه الله : وأكره المأتم، وهي الجماعة، وإن لم يكن لهم بكاء فإن
ذلك يجدد الحزن، ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر
“Aku benci (menghukumi makruh,
red) ma’tam, dan adalah sebuah kelompok (jama’ah), walaupun tidak ada tangisan
pada kelompok tersebut, karena yang demikian memperbaharui kesedihan, dan
membebani biaya bersamaan perkara yang sebelumnya pernah terjadi (membekas)
padanya”
Imam
Syafi’i rahimahullah sama sekali tidak memaksudkan kegiatan seperti tahlilan.
Oleh karena itu sama sekali tidak tepat jika membawanya pada pengertian
tahlilan, yang kemudian dengan alasan tersebut digunakan untuk melarang
tahlilan. Karena tahlilan memang berbeda dengan ma’tam. Penghukuman makruh oleh
al-Imam Syafi’i diatas dengan mempertimbangkan ‘illat yang beliau sebutkan
yaitu yujaddidul huzn (memperbaharui kesedihan), sehingga apabila ‘illat
tersebut tidak ada maka hukum makruh pun tidak ada, sebab dalam kaidah ushul
mengatakan :
واعلم أن العلة في الشرع هي المعنى الذي يقتضي الحكم
“ketahuilah
bahwa ‘illat didalam syariat adalah bermakna yang menunjukkan hukum”
Sedangkan
maksud ucapan Imam Syafi’i tersebut adalah duduk-duduk untuk ta’ziyah,
sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi didalam al-Majmu’ :
وأما قول الشافعي رحمه الله في الأم وأكره المآتم وهي الجماعة وإن
لم يكن لهم بكاء فمراده الجلوس للتعزية وقد سبق بيانه
“dan adapun ucapan Imam
Syafi’i rahimahullan didalam al-Umm : “aku memakruhkan ma’tam dan adalah sebuah
kelompok, walaupun tidak ada tangisan pada kelompok tersebut, maka maksudnya
adalah duduk-duduk untuk ta’ziyah, dan sungguh telah berlalu penjelasannya”.
Lihat Lisanul ‘Arab Ibnu Mandhur al-Anshari
al-Ifriqii [12/3-4]. Dan didalam kitab Fiqh Maliki yaitu Mawahibul Jalil karya
al-Hathib ar-Ru’ayni [2/ 241] menyebutkan masalah ma’tam dengan cukup jelas :
فائدة : اجتماع الناس في الموت يسمى المأتم بهمزة ساكنة ثم مثناة
فوقانية قال في النهاية: المأتم في الأصل مجتمع النساء والرجال في الغم والفرح، ثم
خص به اجتماع النساء للموت وقيل: هو للشواب من النساء لا غير انتهى. وفي الصحاح:
المأتم عند العرب النساء يجتمعن في الخير والشر والجمع المآتم وعند العامة
المصيبة، يقولون: كنا في مأتم فلان والصواب أن يقال: في مناحة فلان انتهى
Faidah : berkumpulnya manusia
pada kematian dinamakan ma’tam. Didalam an-Nihayah : ma’tam pada asalnya
merupakan berkumpulnya perempuan dan laki-laki didalam hal kegembiraan dan
kesedihan, kemudian dengannya hanya di khususkan bagi perkumpulan perempuan
pada kematian. Didalam Ash-Shihhah : ma’tam menurut orang arab adalah perempuan
yang berkumpul didalam hal kebaikan dan keburukan, umumnya pada mushibah,
mereka mengatakan : kami berada di ma’tam fulan, yang benar seharusnya di
katakan ; kami berada di tempat ratapannya fulan. Selesai.
||| ALIRAN WAHHABIYAH SEBAGAI
BID'AH MUHARRAMAH |||
Pengikut
Wahhbiyah merupakan orang-orang yang “getol” membid’ahkan amalan-amalan kaum
Muslimin seperti tahlilan dan sebagainya. Mereka sangat over ketika
membesar-besarkan masalah khilafiyah dan tidak segan-segan menyebut kaum
Muslimin yang berbeda paham sebagai ahli bid’ah, yang mereka sesatkan. Kaum
Muslimin yang melakukan tahlilan juga mereka sebut sebagai kelompok ahli bid’ah
yang sesat. Namun, pernahkah bertanya kenapa aliran wahhabiyah ini begitu over
dalam menuding-nuding kaum Muslimin ?
Pencetus
awal istilah Wahhabiyah yang benar adalah saudara (kakak) kandung dari
Muhammad bin Abdul Wahab yaitu Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab
rahimahullah. Beliau ulama Hanbali yang pertama kali menggunakan istilah Wahhabiyah
didalam kitabnya As-Shawaiq al-Ilahiyyah untuk menyebut ajaran adiknya
yang dianggapnya menyimpang. Istilah ini digunakan bukan tanpa pertimbangan
tetapi dengan pertimbangan yang matang terkait baik dan buruknya terhadap
ajaran Islam yang telah beliau jelaskan diawal-awal kitabnya, yang kemudian
istilah ini di ikuti (digunakan) oleh para ulama Ahl As-Sunnah lainnya untuk
melakukan bantahan terhadap pemikiran dan orang-orang yang mengikutinya,
sehingga tersebarlah ratusan kitab yang dikarang oleh para ulama Ahl As-Sunnah
yang memuat bantahan terhadap aliran Wahhabiyah. Jadi, istilah Wahhabiyah
berasal dari pihak keluarga Muhammad bin Abdul Wahab sendiri bukan dari luar,
juga pihak Madzhab Hanbali sendiri karena Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab adalah
bermadzhab Hanbali, bukan dari luar madzhab Hanbali, juga dari kaum Muslimin
Ahl Sunnah wal Jama'ah sendiri bukan dari luar Islam. Oleh karena itu, bohong
besar jika dikatakan bahwa istilah Wahhabiyah berasal dari non-Islam yang
memusuhi Islam.
Wahhabiyah juga dikenal sebagai aliran Mujassimah
(menjisimkan Allah Ta’alaa), aliran ini juga dikenal dengan nama Musyabbihah.
Berdasarkan hal ini, maka sebenarnya mereka terkategori sebagai pelaku bid’ah
Muharramah (bid’ah yang hukumnya haram). Sebagaiaman yang sudah
dijelaskan oleh al-Imam Shulthanul ‘Ulama ‘Izzuddin bin Abdissalaam
rahimahullah :
وللبدع المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة
والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة
“dan diantara contoh-contoh
bid’ah al-muharramah (bid’ah yang haram) adalah : aliran Qadariyyah, aliran
Jabariyyah, aliran Murji’ah dan aliran Mujassimah, sedangkan membantah mereka
merupakan bagian dari bid’ah wajibah (bid’ah yang dihukumi wajib)”.
Kategori
bid’ah muharramah (bid’ah yang haram) adalah kategori bid’ah yang memang
berdosa, berbeda halnya jika hanya sekedar bid’ah makruhah (bid’ah yang
makruh). Sedangkan membantah aliran mujassimah atau musyabbihah terkategori
sebagai bid’ah wajibah (bid’ah yang wajib). Oleh karena itu, perlu digalakkan
membantah mereka dan meluruskan mereka, sebab ini memang merupakan kewajiban
bagi kaum Muslimin, termasuk juga menyelamatkan kaum Muslimin yang memang tidak
mengerti (masih awam) dari paham-paham mereka.
Adapun
kewajiban kita hanyalah mengangkat mereka (menyelamatkan) mereka dari
paham-paham sesat, sedangkan apabila mereka keras kepala atau hatinya membantu,
maka kita serahkan kepada Allah sebagai Sang Pemberi dan Pemilik Hidayah.
-------------------
|||
BEBERAPA KOMENTAR ULAMA |||
Dari
paparan sebelumnya, sebenarnya sudah diketahui bahwa membaca al-Qur’an untuk
mayyit merupakan pendapat jumhur salafush shaleh juga ulama setelahnya,
bahkan dikatakan sebagai Ijma’, karena tidak ada yang mengingkari dan dilakukan
oleh kaum Muslimin setiap masa. Namun, alangkah baiknya jika lebih
mengetahui komentar-komentar ulama lainnya baik dari kalangan yang pro maupun
yang kontra ataupun yang dianggap kontra. ‘Ulama ada yang menyatakan secara
langsung namun ada juga yang tidak ; seperti mengajurkan membaca al-Qur’an di
kuburan atau memperbolehkan membaca al-Qur’an di kuburan, yang sebenarnya
mereka memahami bahwa bacaan al-Qur’an tersebut sampai kepada orang mati.
Al-Mughni merupakan kitab karangan pembesar madzhab Hanabilah yaitu Imam
Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali. Didalam kitab ini juga dikisahkan tentang
Imam Ahmad bin Hanbal yang awalnya berpendapat bid’ahnya membaca al-Qur’an di
quburan, namun setelah sampai atsar kepada beliau, maka Imam Ahmad pun ruju’
dan tidak membid’ahkan :
فصل: قال: ولا بأس بالقراءة عند القبر،
وقد روي عن أحمد أنه قال: إذا دخلتم المقابر اقرءوا آية الكرسي وثلاث مرات قل هو
الله أحد، ثم قل: اللهم إن فضله لأهل المقابر. وروي عنه أنه قال: القراءة عند
القبر بدعة، وروي ذلك عن هشيم، قال أبو بكر: نقل ذلك عن أحمد جماعة، ثم رجع رجوعا
أبان به عن نفسه، فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ عند القبر، وقال له: إن
القراءة عند القبر بدعة. فقال له محمد بن قدامة الجوهري: يا أبا عبد الله: ما تقول
في مبشر الحلبي؟ قال: ثقة. قال: فأخبرني مبشر، عن أبيه، أنه أوصى إذا دفن يقرأ
عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها، وقال: سمعت ابن عمر يوصي بذلك. قال أحمد بن حنبل:
فارجع فقل للرجل يقرأ. وقال الخلال: حدثني أبو علي الحسن بن الهيثم البزار، شيخنا
الثقة المأمون، قال: رأيت أحمد بن حنبل يصلي خلف ضرير يقرأ على القبور. وقد روي عن
النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف عنهم
يومئذ، وكان له بعدد من فيها حسنات» . وروي عنه - عليه السلام - من زار قبر والديه
أو أحدهما، فقرأ عنده أو عندهما يس غفر له
“Sebuah Pasal : Tidak apa-apa dengan membaca al-Qur’an
di samping qubur, dan sungguh telah diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa ia
berkata : apabila kalian masuk area pequburan maka bacalah oleh kalian ayat
Kursi dan 3 kali Qul huwallahu Ahad (surah al-Ikhlas) kemudian ucapkanlah : ya
Allah sesungguhnya fadlilahnya untuk penghuni qubur”. diriwayatkan bahwa
beliau juga berkata : “pembacaan al-Qur’an disisi qubur adalah bid’ah”,
diriwayatkan juga dari Husyaim. Abu Bakar kemudian berkata : sekelompok ulama
(hanbali) telah menaqal itu dari Imam Ahmad kemudian kembali ruju’ dari
pendapatnya sendiri, maka sekelompok ulama meriwayatkan bahwa Ahmad melarang
seorang buta membaca al-Qur’an disamping qubur, kemudian ia berkata kepadanya :
sesungguhnya membaca al-Qur’an disisi qubur adalah bid’ah, kemudian Muhammad
bin Qudamah al-Jauhariy berkata kepada Imam Ahmad : wahai Abu Abdillah (Ahmad),
apa yang akan engkau katakan tentang Mubasyyir al-Halabi ? Ahmad berkata :
tsiqah (terpecaya). Ibnu Qudamah al-Jauhari berkata : telah mengkhabarkan
kepadaku Mubasysyir, dari ayahnya, sesungguhnya ia berwasiat apabila dimakamkan
agar dibacakan disisi quburnya pembukaan surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya,
dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat tentang hal itu. Imam Ahmad
bin Hanbal berkata : kembalilah maka katakanlah pada laki-laki itu agar
membacanya. al-Khallal berkata : menceritakan kepadaku Abu ‘Ali
al-Hasan bin al-Haitsam al-Bazzar, syaikh kami seorang yang tsiqah lagi
terpercaya, ia berkata : aku melihat Imam Ahmad bin Hanbal shalat
mengikuti (bermakmum pada) seorang buta yang selalu membaca al-Qur’an diatas
quburan. Dan sungguh telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam : “barangsiapa yang masuk pekuburuan kemudian membaca surah Yasiin
niscaya diringankan (siksanya) dari mereka seketika itu, dan bagi pembacanya
ada kebaikan sebanyak penghuni qubur itu”, dan juga diriwayatkan : barangsiapa
yang melakukan ziarah qubur kedua orang tuanya atau salah satu dari orang
tuanya, bacalah Yasiin disisi quburnya atau qubur keduanya niscaya diampuni
baginya”.
فصل: وأي قربة فعلها، وجعل ثوابها للميت
المسلم، نفعه ذلك، إن شاء الله، أما الدعاء، والاستغفار، والصدقة، وأداء الواجبات،
فلا أعلم فيه خلافا، إذا كانت الواجبات مما يدخله النيابة، وقد قال الله تعالى:
والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان .
وقال الله تعالى: واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات
“Sebuah Pasal : adalah mengerjakan qurbah (amaliyah
untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan menjadikan pahalanya untuk orang mati
yang mulism, niscaya memberikan manfaat dengan yang demikian. InsyaAllah.
Adapun do’a, istighfar, shadaqah dan menegakkan ibadah wajib (wajibaat), maka
aku tidak mengetahui adanya perselisihan tentang hal itu. Apabila perkara
wajibaat termasuk dari perkara yang niyabah (perpindahan). Sungguh Allah
Ta’alaa berkata : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami” dan juga firman
Allah Ta’alaa : “dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mu'min, laki-laki dan perempuan”.
وقال بعضهم: إذا قرئ القرآن عند الميت، أو
أهدي إليه ثوابه، كان الثواب لقارئه، ويكون الميت كأنه حاضرها، فترجى له الرحمة.
ولنا، ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين؛ فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون
القرآن، ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير
“dan
sebagian dari mereka (syafi’iyyah) berkata : apabila dibacakan al-Qur’an
disamping orang mati atau menghadiahkan pahalanya kepada orang mati, maka
pahalanya bagi si pembacanya sedangkan mayyit laksana orang yang menghadirinya,
sehingga diharapkan adanya rahmat baginya. Dan bagi kami (Hanabilah) telah
menyebutkannya, bahwa sesungguhnya membaca al-Qur’an untuk mayyit merupakan
ijma’ kaum Muslimin, sebab mereka setiap masa dan kota mereka berkumpul, mereka
membaca al-Qur’an, dan menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang mati diantara
mereka tanpa ada yang mengingkarinya”.
AL-FURU' WA TASHHIH AL-FURU'
Karangan
ulama Hanabilah yaitu Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Muflah al-Maqdisi, kemudian
di tashhih oleh ‘Alauddin ‘Ali bin Sulaiman al-Mardawi. Termaktub didalam kitab
tersebut :
فصل: لا تكره القراءة على القبر وفي المقبرة، نص عليه، اختاره أبو
بكر والقاضي وجماعة، وهو المذهب "وش" وعليه العمل عند مشايخ الحنفية،
فقيل: تباح، وقيل: تستحب، قال ابن تميم: نص عليه
“Sebuah Pasal : tidak
dimakruhkan membaca al-Qur’an diatas qubur dan di area pekuburan, terdapat nas
atas hal tersebut, Abu Bakar, al-Qadli dan Jama’ah telah memilih pendapat
tersebut, dan itulah madzhab Hanbali, dan atasnya beramal menurut guru-guru
Hanafiyyah. Dikatakan : diperbolehkan. Dikatakan : disunnahkan. Ibnu Tamim
berkata : terdapat nas atas hal tersebut”.
مسألة -: قوله: لا تكره القراءة على القبر وفي المقبرة، نص عليه،
وهو المذهب، فقيل: تباح، وقيل: تستحب، قال ابن تميم: نص عليه، انتهى: أحدهما:
يستحب، قال في الفائق: تستحب القراءة على القبر، نص عليه أخيرا، انتهى، وتقدم كلام
ابن تميم و نقل المصنف. والقول الثاني: يباح، قال في الرعاية الكبرى: وتباح
القراءة على القبر، نص عليه، قال في المغني والشرح وشرح ابن رزين لا بأس بالقراءة
عند القبر، وقدم الإباحة في الرعاية الصغرى والحاويين. قلت: وهو الصواب.
“Frasa, tidak dimakruhkan
pembacaan al-Qur’an diatas qubur dan diarea pequburan, terdapat nas atas hal
itu, dan itulah madzhab Hanbali. Dikatakan : hukumnya mubah, juga dikatakan :
hukumnya sunnah (disunnahkan). Ibnu Tamim berkata : nas tentang hal itu telah
selesai (tidak bahas panjang lebar lagi) : salah satunya, disunnahkan, ia
berkata didalam al-Faiq : disunnahkan membaca al-Qur’an diatas qubur, nas
tentang hal itu telah diakhirkan, selesai, dan telah berlalu perkataan Ibnu
Tamim yang dinukil oleh mushannif. Pendapat kedua, diperbolehkan, ia berkata
didalam ar-Ra’ayatul Kubraa : diperbolehkan membaca al-Qur’an diatas qubur, ada
nas tentang hal itu, Ia berkata didalam al-Mughni, dan syarahnya (al-Muqna’),
serta syarah Ibnu Raziin yakni tidak apa-apa dengan membaca al-Qur’an diatas
qubur. Dan telah berlalu kebolehannya (mubah) didalam ar-Ra’ayatu ash-Shughraa
dan al-Hawiyayn. Aku katakan : itulah yang shawab (yang benar)”
فصل: كل قربة فعلها المسلم وجعل ثوابها للمسلم نفعه ذلك، وحصل له
الثواب، كالدعاء "ع" والاستغفار "ع" وواجب تدخله النيابة
"ع" وصدقة التطوع "ع" وكذا العتق
“Sebuah Pasal : setiap amaliyah
qurbah (amal yang mendekatkan diri kepada Allah) yang dilakukan oleh seorang
muslim dan menjadikan pahalanya untuk orang muslim lainnya, niscaya yang
demikian memberikan manfaat, dan mendapatkan pahala baginya, seperti do’a,
istighfar, hal wajib yang memaksukkannya pada masalah perpindahan, shadaqah
tathawwu’ dan seperti itu juga membebaskan budak.
||| AL-INSHAF FIY MA'RIFATIR
RAJIH MINAL KHILAF
Kitab ini
dikarang oleh al-Imam ‘Alauddin al-Mardawi yaitu salah seorang ulama Hanabilah.
Termaktub didalam kitab tersebut bahwa amal orang lain bisa bermanfaat bagi
orang lain yang muslim, dan itu merupakan pendapat mutlak dari madzhab Hanbali.
قوله (وأي قربة فعلها وجعلها للميت المسلم نفعه ذلك) . وهو المذهب
مطلقا، وعليه جماهير الأصحاب وقطع به كثير منهم، وهو من المفردات، وقال القاضي في
المجرد: من حج نفلا عن غيره وقع عمن حج لعدم إذنه. فائدة: نقل المروذي: إذا دخلتم
المقابر فاقرءوا آية الكرسي وثلاث مرات {قل هو الله أحد} ثم قولوا: اللهم إن
فضله لأهل المقابر يعني ثوابه
"Frasa
(dan adalah mengerjakan amaliyah qurubaat dan menjadikannya untuk mayyit
yang muslim, niscaya yang demikian bermanfaat), dan itu adalah madzhab
Hanbali secara mutlak, jumhur ulama Hanabilah berpegang pada pendapat tersebut,
dan banyak diantara mereka yang memutuskan dengannya, dan adalah berasal dari
kitab al-Mufradaat (Ibnu ‘Aqil), al-Qadli berkata didalam kitab al-Mujarrad :
barangsiapa berhaji nafilah mengatas namakan orang lain hanya untuk orang yang
berhaji karena ketiadaan idzinnya”.
Faidah : al-Marrduziy menaqal
(dari Imam Ahmad) : apabila kalian memasuki area pekuburan, bacalah Ayat Kursi
dan al-Ikhlas 3 kali, kemudian ucapkanlah : ya Allah sungguh fadlilahnya untuk
penghuni pekuburan ini, maksudnya pahalanya”.
تنبيه: قوله " وأي قربة فعلها، وجعلها للميت المسلم نفعه ذلك
" وكذا لو أهدى بعضه كنصفه، أو ثلثه ونحو ذلك كما تقدم عن القاضي وغيره
“Tanbih : frasa “dan
adalah mengerjakan amaliyah qurbah, kemudian menjadikannya untuk mayyit yang
muslim, niscaya memberikan kemanfaatan dengannya”, seperti itu juga seandainya
menghadiahkan sebagiannya seperti setengah (1/2) nya, atau seperti tiganya
(1/3) atau seumpamanya, sebagaimana telah berlalu penjabarannya dari
al-Qadli dan juga yang lainnya”.
||| AL-'UDDAH SYARH AL-'UMDAH
Merupakan kitab fiqh Hanabilah yang dikarang oleh Imam Abdurrahman bin Ibrahim
bin Ahmad Bahauddin al-Maqdisi al-Hanbali. Didalam kitab ini bahkan
menginformasikan adanya Ijma’ atas pembacaan al-Qur’an untuk mayyit :
وأما قراءة القرآن وإهداء ثوابه للميت
فالإجماع واقع على فعله من غير نكير
“Adapun membaca al-Qur’an dan menghadiahkan
pahala bacaan al-Qur'an untuk orang mati, maka telah ada ijma’ atas
mengerjakannya tanpa ada yang mengingkarinya”.
||| ZADUL MUSTAQNI' FIY IKHTISHAR
AL-MUQNA' |||
Dikarang oleh Imam Syarifuddin Musa bin Ahmad bin Musa bin Salim bin ‘Isa
bin Salim al-Hajawi al-Maqdisi al-Hanbali. Termaktub didalamnya :
ولا تكره القراءة على القبر وأي قربة
فعلها وجعل ثوابها لميت مسلم "أو حي" نفعه ذلك
“Dan pembacaan al-Qur’adn diatas qubur tidaklah di
makruhkan dan adalah mengerjakan amaliyah yang mendekatkan diri kepada Allah kemudian
menjadikan pahalanya untuk mayyit yang muslim atau “yang hidup”, niscaya yang
demikian memberikan kemanfaatan”.
Termaktub juga pernyataan yang sama didalam kitab beliau lainnya yaitu
al-Iqnaa’ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal [1/236], yang redaksinya sebagai
berikut :
ولا تكره القراءة على القبر وفي المقبرة
بل يستحب وكل قربة فعلها المسلم وجعل ثوابها أو بعضها كالنصف ونحوه لمسلم حي أو
ميت جاز ونفعه لحصول الثواب له حتى لرسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidaklah dimakruhkan membaca al-Qur’an di atas qubur
dan di area pekuburan, bahkan membaca al-Qur'an di tempat itu di sunnahkan, dan
setiap amaliyah qurubaat yang dikerjakan oleh seorang muslim kemudian
menjadikan pahalanya atau sebagian dari pahalanya seperti separuhnya dan
semisalnya kepada seorang muslim lainnya baik yang hidup atau yang mati, itu
boleh dan memberikan manfaat karena pahalanya sampai kepadanya hingga ke
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”.
||| AR-RAUDL AL-MARBI' SYARH
ZAAD AL-MUSTAQNI' |||
Karangan
Imam Manshur bin Yunus bin Shalahuddin Ibnu Hasan bin Idris al-Bahuti
al-Hanbali, atau lebih dikenal dengan Imam al-Bahuti. Sebagaimana pertanyaan
ulama-ulama Hanabilah, maka didalam kitab ini pun terdapat pernyataan yang sama
:
(ولا تكره
القراءة على القبر) لما روى أنس مرفوعا «من دخل المقابر فقرأ فيها "يس "
خفف عنهم يومئذ، وكان له بعددهم حسنات» ، وصح عن ابن عمر أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ
عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها، قاله في " المبدع "، (وأي قربة) من دعاء
واستغفار وصلاة وصوم وحج وقراءة وغير ذلك (فعلها) مسلم (وجعل ثوابها لميت مسلم أو
حي نفعه ذلك) قال أحمد: الميت يصل إليه كل شيء من الخير للنصوص الواردة فيه، ذكره
المجد وغيره حتى لو أهداها للنبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - جاز ووصل
إليه الثواب
“dan tidak dimakruhkan
membaca al-Qur’an diatas qubur, berdasarkan riwayat Anas secara marfu’
“barangsiapa yang masuk area pekuburan maka bacalah Yasiin didalamnya niscaya
meringakan siksa penghuni pekuburan seketika itu, sedangkan bagi pembacanya
terdapat kebaikan-kebaikan sejumlah penghuni pekuburan”, dan telah sah dari
Ibnu ‘Umar bahwa beliau berwasiat apabila di makamkan agar dibacakan pembukaan
surah al-Baqarah di sampingnya hingga menghatamkannya. Pengarang telah
mengatakannya didalam al-Mabda’ (fi syarhi al-Muqna), (dan adalah amaliyah
qurubaat) seperti do’a, istighfar, shalat, puasa, haji, membaca al-Qur’an dan
yang lainnya (yang dikerjakan) oleh seorang muslim (kemudian menjadikan
pahalanya untuk mayyit yang muslim atau yang masih hidup, niscaya yang demikian
bermanfaat) Ahmad berkata : setiap kebajikan bisa sampai kepada mayyit
berdasarkan nas-nash yang warid tentang hal tersebut. Al-Majd dan ulama lainnya
telah menyebutkannya bahkan seandainya menghadiahkan kepada Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam pun itu boleh dan pahalanya sampai kepada
beliau”.
||| AL-BAHR AR-RAIQ SYARH KANZ AD-DAQAIQ |||
Kitab fiqh
Hanafiyah yang dikarang oleh Imam Zainuddin bin
Ibrahim bin Muhammad, lebih dikenal sebagai Ibnu Najim al-Mishri al-Hanafi. Termaktub didalamnya :
ولا بأس بقراءة القرآن عند القبور وربما تكون أفضل من غيره ويجوز
أن يخفف الله عن أهل القبور شيئا من عذاب القبر أو يقطعه عند دعاء القارئ وتلاوته
وفيه ورد آثار «من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف الله عنهم يومئذ وكان له بعدد من
فيها حسنات» . اه
“dan tidak apa-apa membaca
al-Qur’an disamping qubur, dan diperbolehkan agar Allah meringakan siksa qubur
penghuni pekuburan atau menghentikan siksanya dengan do’a si pembaca dan
tilawahnya, dalam hal ini terdapat atsar : “barangsiapa yang masuk area
pekuburan, bacalah surah Yasiin niscaya Allah meringakan siksa seketika itu dan
bagi pembacanya mendapatkan kebaikan sejumlah penghuni pekuburan” selesai.
||| MURAQI AL-FALAH SYARH MATN NUR AL-IDLAH |||
Fiqh
Hanafiyah yang dikarang oleh Imam Hasan bin ‘Ammar bin ‘Ali al-Mishri
al-Hanafi. Merupakan kitab syarah atau penjelasan dari kitab Nurul Idlaah wa Najaatul
Arwah fil Fiqhi al-Hanafi, yaitu karangan beliau sendiri. Termaktub didalamnya
yang penjelasan sebagai berikut :
ويستحب" للزائر "قراءة" سورة "يس لما
ورد" عن أنس رضي الله عنه "أنه" قال قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: "من دخل المقابر فقرأ سورة يس" يعني وأهدى ثوابها للأموات
"خفف الله عنه يومئذ" العذاب ورفعه وكذا يوم الجمعة يرفع فيه العذاب عن
أهل البرزخ ثم لا يعود على المسلمين "وكان له" أي للقارئ "بعدد ما
فيها" رواية الزيلعي من فيها من الأموات "حسنات" وعن أنس أنه سأل
رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إنا نتصدق عن موتانا ونحج عنهم
وندعو لهم فهل يصل ذلك إليهم فقال: "نعم إنه ليصل ويفرحون به كما يفرح أحدكم
بالطبق إذا أهدي إليه" رواه أبو جعفر العكبري فلإنسان أن يجعل ثواب عمله
بغيره عند أهل السنة والجماعة صلاة أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن أو
الأذكار أو غير ذلك من أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه
“Disunnahkan bagi peziarah
membaca surah Yasiin, berdasarkan yang telah warid dari Anas radliyallahu ‘anh
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : (barangsiapa yang
masuk area pekuburan maka bacalah Yasiin) yakni dan hadiahkanlah pahalanya
untuk orang-orang mati (niscaya Allah akan meringakan siksa atas orang mati
seketika itu juga mengangkat derajatnya, seperti itu juga pada hari Jum’at
diangkat adzab bagi penghuni alam barzah, dan bagi pembacanya akan mendapatkan
kebaikan sejumlah penghuni pekuburan. Dan dari Anas bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam ditanya ; wahai Rasulullah sesungguhnya kami
bershadaqah atas nama orang-orang mati diantara kami dan berhaji atas nama
mereka, kamu juga berdoa’a untuk mereka, apakah yang demikian sampai kepada
mereka ?” Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : “betul,
sesungguhnya itu sampai dan mereka bahagian dengan hal tersebut, sebagaimana
bahagainya salah seorang diantara kalian ketika mendapatkan hadiah, dan
diriwayakan juga dari Abu Ja’far, seseorang yang menjadikan pahala amalnya
untuk orang lain menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah berupa shalat, puasa, haji,
shadaqah, membaca al-Qur’an, dzikir-dzikir atau yang lainnya seperti beragama
amal kebajikan niscaya yang demikian sampai kepada mayyit dan memberikan
manfaat”.
Kitab-kitab
Fiqh Hanafiyah yang lainnya banyak menuturkan hal serupa seperti didalam Durar
al-Hukkam syarah Gharar al-Ahkam, Hasyiyah ath-Thahthawi ‘alaa Muraqi al-Falah,
Raddul Mukhtar ‘alaa ad-Durr al-Mukhtar karangan Ibnu ‘Abidin dan lain sebagainya.
Demikian juga didalan fiqh Malikiyah seperti didalan kitab Mawahibul Jalil fiy syarhi Mukhtashar Khalil karya
al-Hathib ar-Ru’ayni al-Maliki dan lainnya sebagainya. Terkait membaca
al-Qur’an di kuburan, pendapat awal madzhab Maliki memakruhkannya namun
ulama-ulama mutaakhhiriin malikiyah memperbolehkannya seperti al-Qadli ‘Iyadl
dan al-Qarafi.
||| AL-FIQHU 'ALAA MADZAHIBIL ARBA'AH |||
Merupakan kitab fiqh yang merangkum pendapat-pendapat ulama madzhab, yang
dikarang oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad ‘Awdl al-Jaziri. Kitab ini juga
menjadi rujukan kaum Muslimin namun kebanyakan tidak menjadikannya sebagai
rujukan utama, seperti halnya Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq yang tidak dijadikan
rujukan utama. Termaktub didalam kitabnya :
وينبغي للزائر الاشتغال بالدعاء والتضرع
والاعتبار بالموتى وقراءة القرآن للميت، فإن ذلك ينفع الميت على الأصح
“dan selayaknya bagi peziarah menyimbukkan dengan do’a
serta mengambil i’tibar dengan kematian, juga membaca al-Qur’an untuk mayyit,
sesungguhnya yang demikian bermanfaat bagi mayyit berdasarkan qaul yang lebih
shahih”.
||| TUHFATUL AHWADZI BI-SYARHI JAMI' AT-TURMIDZI |||
Kitab ini
dikarang oleh Syaikh Abul ‘Alaa Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim
al-Mubarakfuri. Didalamnya terdapat beberapa riwayat terkait pembacaan
al-Qur’an untuk orang mati. Kemudian dikomentari sebagai berikut :
وهذه الأحاديث وإن كانت ضعيفة فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا وأن
المسلمين ما زالوا في كل مصر وعصر يجتمعون ويقرأون لموتاهم من غير نكير فكان ذلك
إجماعا
“Hadits-hadits ini jika
memang dlaif, maka pengumpulannya menunjukkan bahwa yang demikian memang asal,
dan sungguh kaum Muslimin tidak pernah meninggalkan amalan tersebut pada setiap
masa dan kota, mereka berkumpul dan membaca al-Qur’an untuk orang-orang mati
diantara mereka tanpa ada yang mengingkari maka jadilah itu sebagai Ijma’.”
||| MIRQATUL MAFAATIH SYARH MISYAKAH AL-MASHAABIH |||
Merupakan
kitab syarah terhadap kitab Misykatul Mashabih karangan At-Tabrizii. Didalam
kitab ini, menaqal beberapa komentar sebagai berikut ;
وذكر في " الأذكار " عن الشافعي وأصحابه، أنه يستحب أن
يقرأ عنده شيء من القرآن. قالوا: وإن ختموا القرآن كله كان حسنا. وفي سنن البيهقي،
أن ابن عمر استحب أن يقرأ على القبر بعد الدفن أول سورة البقرة وخاتمتها قاله
الطيبي، وفي رواية: يقرأ أول البقرة عند رأس الميت وخاتمتها عند رجله. (رواه أبو
داود)
“Dan disebutkan didalam
al-Adzkar dari Imam asy-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, bahwa disunnahkan untuk
membacakan sesuatu dari al-Qur’an disamping qubur, mereka berkata : dan jika
mengkhatamkan al-Qur’an seluruhnya maka itu bagus. Didalam Sunan al-Baihaqi
disebutkan : bahwa Ibnu ‘Umar (sahabat Nabi) menganjurkan untuk membacakan awal
surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya diatas qubur setelah pemakaman, ini juga
qaul ath-Thayyibi, dan didalam sebuah riwayat : membacakan awal surah
al-Baqarah disamping kepala mayyit dan menyelesaikannya disamping kakinya
(diriwayatkan oleh Abu Daud)”.
||| MADZHAB ZAIDIYYAH |||
Madzhab
Zaidiyah dengan pendiri al-Imam Zaid bin ‘Ali bin
al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, saat ini di anggap sebagai
madzhab yang paling dekat dengan madzhab yang empat yakni Madzhab Hanafi,
Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali.
Pasca
adanya sejumlah konflik dengan Khalifah al-Manshur, madzhab Zaidiyah mulai
melemah dan menyebabkan pendapat sejumlah Imam-Imam Syi’ah mempengaruhi madzhab
Zaidiyah. Beberapa dari Imam-Imam Syi’ah tidak mengakui Kekhalifahan Sayyidina
Abu Bakar dan Sayyidina ‘Umar sehingga masalah ini dianggap sebagai
karakteristik madzhab Zaidiyah.
Namun, pada
masa berikutnya para penganut Madzhab Zaidiyah mulai kembali ke ajaran Imam
Zaid yang semula. Sehingga muncullah sosok yang kita kenal dengan Imam
Asy-Syawkani yang mengikuti pemikiran-pemikiran awal madzhab Zaidiyah.
Selain itu juga muncul sosok Imam Ash-Shan’ani yakni pengarang kitab Subulus
Salaam. Yang mana kitab keduanya saat ini telah menjadi rujukan kaum
Muslimin.
||| NAILUL AWTHAAR |||
Didalam kitabnya, al-Imam asy-Syawkani
menyebutkan pandangan Ahl Sunnah terkait amal kebajikan untuk mayyit (orang
mati) yang dibandingkan dengan pandangan aliran Mu’tazilah.
وقد اختلف في غير الصدقة من أعمال البر هل يصل إلى الميت؟ فذهبت
المعتزلة إلى أنه لا يصل إليه شيء واستدلوا بعموم الآية وقال في شرح الكنز: إن
للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن
أو غير ذلك من جميع أنواع البر، ويصل ذلك إلى الميت وينفعه عند أهل السنة انتهى
والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة
القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل،
كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي: لا يصل إلى الميت عندنا
ثواب القراءة على المشهور، والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته،
وينبغي الجزم به؛ لأنه دعاء، فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي، فلأن يجوز بما
هو له أولى، ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء هذا المعنى لا يختص
بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال، والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت
والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة، بل كان أفضل الدعاء أن
يدعو لأخيه بظهر الغيب انتهى وقد حكى النووي في شرح مسلم الإجماع على وصول الدعاء
إلى الميت، وكذا حكى الإجماع على أن الصدقة تقع عن الميت ويصله ثوابها ولم يقيد
ذلك بالولد.
“Sungguh telah diperselisihkan
terkait amal-amal kebajikan selain shadaqah, apakah bisa sampai kepada orang
mati ataukah tidak ?. Madzhab Mu’tazilah menyatakan bahwa tidak ada yang
sampai sama sekali, mereka beristidlal dengan keumuman ayat (QS. an-Najm :
39). Didalam Syarh al-Kanz disebutkan : sesungguhnya bagi manusia yang
menjadikan pahala amalnya untuk orang lain seperti shalat, puasa, haji,
shadaqah, membaca al-Qur’an, atau seluruh amal-amal kebajikan lainnya, yang
demikian sampai kepada mayyit (orang mati) dan memberikan manfaat kepada mayyit
menurut Ahl Sunnah wal Jama’ah. Selesai. Qaul masyhur dari madzhab
Asy-Syafi’i dan sekelompok dari Ashhabusy Syafi’i menyatakan bahwa pahala
bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal,
jama’ah minal Ulamaa (sekelompok dari ulama) serta jama’ah min ashhabisy
Syafi’i (sekelompok dari Asyhabusy Syafi’i) menyatakan sampai kepada mayyit.
Seperti itu juga, al-Imam an-Nawawi telah menyebutkannya didalam al-Adzkar dan
didalam Syarhul Minhaj li-Ibni an-Nahwii (dengan menyatakan) : pahala bacaan
al-Qur’an untuk mayyit tidak sampai kepada orang mati berdasarkan qaul masyhur,
sedangkan yang dipilih (qaul mukhtar atau yang dipilih sebagai fatwa Madzhab
Syafi’i) adalah menyatakan sampai apabila memohon kepada Allah agar disampaikan
pahala bacaaan al-Qur’annya (maksudnya, membaca al-Qur’an disertai iishal,
red), dan selayaknya menetapkan dengan hal tersebut karena sesungguhnya do’a,
apabila boleh berdo’a untuk mayyit maka kebolehan dengan perkara lain untuk
mayyit lebih utama, dan perkara tersebut telah diperintahkan secara mauquf atas
dianjurkannya berdo’a, makna ini tidak hanya khusus pada pembacaan al-Qur’an
saja bahkan juga seluruh amal-amal kebajikan. Dan faktanya do’a telah
disepakati bahwa bisa memberikan manfaat kepada mayyit maupun orang mati, baik
dekat maupun jauh, baik dengan wasiat maupun tanpa wasiat, dan yang menunjukkan
hal tersebut adalah banyak hadits, bahkan do’a yang lebih afdlal (utama) supaya
berdo’a untuk saudaranya yang tidak terlihat (dhahrul ghayb). Selesai. Imam
an-Nawawi menuturkan didalam Syarh Muslim tentang adanya Ijma’ atas sampainya
do’a kepada orang mati, demikian juga ia menuturkan adanya ijma’ atas shadaqah
atas nama mayyit dan pahalanya sampai kepada mayyit, serta tidak hanya sebatas
dari anaknya saja”.
||| SUBULUS SALAAM |||
Demikian
juga, Imam al-Amir ‘Izzuddin Ash-Shan’ani didalam kitabnya menuturkan hal
serupa tentang pembacaan al-Qur’an untuk orang mati :
وأما غيرها من قراءة القرآن له فالشافعي يقول لا يصل ذلك إليه وذهب
أحمد وجماعة من العلماء إلى وصول ذلك إليه وذهب جماعة من أهل السنة والحنفية إلى
أن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة
قرآن أو ذكرا أو أي أنواع القرب وهذا هو القول الأرجح دليلا
“Adapun yang lainnya seperti
membaca al-Qur’an untuk orang mati, maka Asy-Syafi’i mengatakan yang demikian
tidak sampai, sedangkan pendapat Ahmad dan jama’ah dari ulama menyatakan
sampainya yang demikian kepada mayyit, dan pendapat jama’ah dari Ahl As-Sunnah
dan al-Hanafiyyah menyatakan bahwa bagi seorang manusia yang menjadikan pahala
amalnya untuk orang lain berupa shalat, atau puasa, atau haji, atau shadaqah
atau bacaan al-Qur’an atau dzikir-dzikir atau beragam amaliyah qurubaat, dan
ini merupakan qaul yang rajih sebagai dalil”.
-----------------
||| KOMENTAR IBNU TAIMIYAH
TENTANG QS. AN-NAJM 39 DAN HADITS TERPUTUSNYA AMAL |||
TENTANG QS. AN-NAJM 39 DAN HADITS TERPUTUSNYA AMAL |||
Ibnu
Taimiyah merupakan seorang ulama yang fatwa-fatwanya banyak menjadi rujukan
kaum Wahhabiyah. Beliau dianggap sebagai ulama yang bermadzhab Hanbali yang
sangat ketat. Sedangkan bagi ulama Syafi’iyyah, Ibnu Taimiyah dikatakan
menyimpang terkait pembahasan aqidah. Namun, banyak hal menarik yang juga bisa
di ambil hikmah dari fatwa-fatwa beliau tentang menghadiahkan pahala kepada
orang mati termasuk menghadiahkan bacaan al-Qur’an untuk orang mati (mayyit).
QS. an-Najm
Ayat 39 dan Hadits Terputusnya Amal
Ibnu
Taimiyah pernah ditanya tentang QS. an-Najm 39 dan hadits terputusnya amal
sebagaimana tercantum didalam kitabnya sebagai berikut :
سئل: عن قوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} وقوله -
صلى الله عليه وسلم -: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية، أو
علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فهل يقتضي ذلك إذا مات لا يصل إليه شيء من
أفعال البر؟
Ibnu Taimiyah di tanya
tentang firman Allah {tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} dan sabda
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {apabila anak adam wafat maka terputuslah
amalanya kecuali 3 hal yakni shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat untuknya
dan anak shalih yang berdo’a untuknya}, apakah hal itu menunjukkan apabila
seseorang wafat tidak perbuatan-perbuatan kebajikan tidak sampai kepadanya ?
الجواب: الحمد لله رب العالمين. ليس في الآية، ولا في الحديث أن
الميت لا ينتفع بدعاء الخلق له، وبما يعمل عنه من البر بل أئمة الإسلام متفقون على
انتفاع الميت بذلك، وهذا مما يعلم بالاضطرار من دين الإسلام، وقد دل عليه الكتاب
والسنة والإجماع، فمن خالف ذلك كان من أهل البدع
Jawab ; al-Hamdulillahi
Rabbil ‘Alamiin, tiada didalam ayat dan tidak pula didalam hadits bahwa mayyit
(orang mati) tidak mendapat manfaat dengan do’a untuknya dan dengan apa yang
amalkan (kerjakan) untuknya seperti kebajikan bahkan para Imam telah sepakat
bahwa mayyit (orang mati) mendapatkan manfaat atas hal itu, dan ini diketahui
dengan jelas dari agama Islam, dan sungguh al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah dan
Ijma’ telah menunjukkannya, oleh karena itu barangsiapa yang menyelisihi hal
itu maka ia termasuk dari ahli bid’ah.
Karena
panjangnya bahasan inii (ulasan Ibnu Taimiyah) yang intinya baik ibadah maliyah
dan badaniyah bisa sampai kepada mayyit dan memberikan manfaat bagi orang mati,
telah tersebar pembahasan ini dalam kitab-kitab beliau, maka kami singkatkan
(cukupkan) untuk menyoroti hadits Inqatha'a Amaluhu menurut Ibnu Taimiyah :
أما الحديث فإنه قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم
ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فذكر الولد، ودعاؤه له خاصين؛ لأن الولد من كسبه،
كما قال: {ما أغنى عنه ماله وما كسب} [المسد: 2] . قالوا: إنه ولده. وكما قال
النبي - صلى الله عليه وسلم -: «إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه، وإن ولده من كسبه»
. فلما كان هو الساعي في وجود الولد كان عمله من كسبه، بخلاف الأخ، والعم والأب،
ونحوهم. فإنه ينتفع أيضا بدعائهم، بل بدعاء الأجانب، لكن ليس ذلك من عمله
“Mengenai hadits bahwa Nabi
shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda : "apabila seorang manusia mati
maka terputus darinya amalnya (perbuatanya) kecuali yang berasal dari tiga hal
yakni : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang berdo’a
untuknya". Disini menyebutkan walad (anak-anak) dan do'anya kepadanya
secara khusus karena sungguh seorang anak termasuk dari usahanya, sebagaimana
firman Allah Ta'alaa : "Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan
apa yang ia usahakan” (QS. Al-Lahaab : 2). Ulama telah berkata : sesungguhnya
yang dimaksud itu adalah anaknya, dan sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam : "Sungguh sebaik-baiknya apa yang dimakan oleh
seseorang adalah yang berasal dari usahanya dan sungguh anaknya bagian dari
usahanya". Maka ia sebagai orang yang berusaha (sa’i) didalam hal
wujudnya seorang anak maka amalnya (amal anaknya) termasuk dari kasabnya
(usahanya), berbeda halnya dengan saudara, paman, ayah dan seumpama mereka.
Namun, mereka itu bisa memberikan manfaat juga dengan do’a mereka bahkan juga
do’a yang lainnya, akan tetapi yang demikian itu bukan dari amalnya.
والنبي - صلى الله عليه وسلم - قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث» لم
يقل: إنه لم ينتفع بعمل غيره. فإذا دعا له ولده كان هذا من عمله الذي لم ينقطع،
وإذا دعا له غيره لم يكن من عمله، لكنه ينتفع به
“Dan Nabi shallallahu 'alayhi
wa sallam bersabda : "terputus amalnya kecuali 3 hal", namun tidak
dikatakan : sesunggguhnya tidak mendapat manfaat dari amal orang lain.
Maka ketika anaknya berdo'a untuknya, itu menjadi bagian dari amalnya yang
tidak terputus,sedangkan apabila orang lain yang berdo'a untuknya, maka itu
tidak menjadi bagian dari amalnya, akan tetapi bisa mendapatkan manfaat dengan
hal tersebut.
||| HUKUM KELUAR ALMARHUM MEMBACA QUR'A UNTUK MAYYIT |||
Berikut
merupakan jawaban Ibnu Taimiyah ketika di tanya tentang keluarga al-marhum yang
membaca al-Qur’an untuk orang mati :
سئل: عن قراءة أهل الميت تصل إليه؟ والتسبيح والتحميد، والتهليل
والتكبير، إذا أهداه إلى الميت يصل إليه ثوابها أم لا؟. الجواب: يصل إلى الميت
قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل
إليه، والله أعلم
(Ibnu Taimiyah) ditanya
tentang keluarga al-Marhum yang membaca al-Qur’an yang disampaikan kepada
mayyit ? Tasybih, tahmid, tahlil dan takbir, apabila menghadiahkannya kepada
mayyit, apakah pahalanya sampai kepada mayyit ataukah tidak ?
Jawab : Pembacaaan
al-Qur’an oleh keluarga almarhum sampai kepada mayyit, dan tasbih mereka,
takbir dan seluruh dziki-dzikir karena Allah Ta’alaa apabila menghadiahkannya
kepada mayyit, maka sampai kepada mayyit. Wallahu A’lam.
||| BACAAN AL-QUR'AN
SAMPAI ATAU TIDAK ? |||
Ibnu
Taimiyah Pernah Ditanya Hal Yang Sama
سئل: هل القراءة تصل إلى الميت من الولد أو لا؟ على مذهب الشافعي
(Ibnu Taimiyah) ditanya
tentang pembacaan al-Qur’an oleh seorang anak apakah sampai kepada mayyit atau
tidak ? Bagaimana menurut madzhab asy-Syafi’i ?
الجواب: أما وصول ثواب العبادات البدنية: كالقراءة، والصلاة،
والصوم، فمذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها تصل،
وذهب أكثر أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها لا تصل، والله أعلم.
Jawab : Adapun sampai
pahala ibadah-ibadah badaniyah seperti membaca al-Qur’an, shalat dan puasa,
oleh karena itu madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sekelompok dari Ashhab
Malik dan asy-Syaf’i menyatakan sampai, sedangkan pendapat kebanyakan
Ashhab Malik dan asy-Syafi’i menyatakan tidak sampai. Wallahu A’lam
||| BERTAHLIL 70.000 DAN DIHADIAHKAN KEPADA MAYYIT |||
سئل: عمن
«هلل سبعين ألف مرة، وأهداه للميت، يكون براءة للميت من النار» حديث صحيح؟ أم لا؟
وإذا هلل الإنسان وأهداه إلى الميت يصل إليه ثوابه، أم لا؟ الجواب:
إذا هلل الإنسان هكذا: سبعون ألفا، أو أقل، أو أكثر. وأهديت إليه نفعه الله بذلك،
وليس هذا حديثا صحيحا، ولا ضعيفا. والله أعلم.
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang bertahlil
70.000 kali dan menghadiahkannya kepada mayyit, supaya memberikan keringan
kepada mayyit dari api neraka, haditsnya shahih ataukah tidak ? Apakah
seseorang manusia yang bertahlil dan menghadiahkan kepada mayyit, pahalanya
sampai kepada mayyti ataukah tidak ?
Jawab : Apabila seseorang bertahlil sejumlah yang
demikian ; 70.000 kali atau lebih sedikit atau lebih banyak dari itu
dan menghadiahkannya kepada mayyit niscaya Allah akan memberikan kemanfaatan
kepada mayyit dengan hal tersebut, dan tidaklah hadits ini shahih dan
tidak pula dlaif. Wallahu A’lam”.
||| PASAL KHUSUS TENTANG MEMBACA
AL-QUR'AN UNTUK MAYYIT |||
Berikut
merupakan penjabaran Ibnu Taimiyyah di dalam sebuah pasal khusus yang membahas
pembacaan al-Qur’an untuk orang mati :
فصل : وأما القراءة، والصدقة وغيرهما من أعمال البر، فلا نزاع بين
علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية، كالصدقة والعتق، كما يصل
إليه أيضا الدعاء والاستغفار، والصلاة عليه صلاة الجنازة، والدعاء عند قبره
Sebuah pasal : Qira’ah dan
shadaqah serta selain keduanya seperti amal-amal kebajikan : tidak ada
perselisihan diantara ‘ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama'ah tentang sampainya pahala
ibadah-ibadah maliyah, seperti shadaqah, memerdekakan budak, sebagaimana
sampainya do’a dan istighafar kepada orang mati, shalat untuk orang mati yakni
shalat jenazah, dan do’a disamping kubur orang mati.
وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم، والصلاة، والقراءة،
والصواب أن الجميع يصل إليه
Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah
telah berselisih pendapat tentang sampainya amal-amal badaniyah, seperti puasa,
shalat dan pembacaan al-Qur’an, namun yang shawab (benar) bahwa semuanya
sampai kepada orang mati,
فقد ثبت في الصحيحين عن النبي -
صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «من مات وعليه صيام صام عنه وليه» وثبت أيضا: «أنه
أمر امرأة ماتت أمها، وعليها صوم، أن تصوم عن أمها» . وفي المسند عن النبي - صلى
الله عليه وسلم - أنه قال لعمرو بن العاص: «لو أن أباك أسلم فتصدقت عنه، أو صمت،
أو أعتقت عنه، نفعه ذلك» وهذا مذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك،
والشافعي
Sungguh telah tsabit didalam
Ash-Shahihain (Bukhari Muslim) dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa
beliau bersabda : “barangsiapa yang wafat dan masih memiliki tanggungan puasa,
maka hendaknya walinya berpuasa untuknya”, dan telah tsabit juga “bahwa Nabi
memerintahkan perempuan yang ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan
puasa, agar berpuasa untuknya”, dan didalam al-Musnad dari Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam bahwa beliau berkata kepada ‘Amru bin ‘Ash “seandainya ayahmu
masuk Islam maka engkau bershadaqahlah menggantikannya (untuknya), atau engkau
berpuasa, atau memerdekan budak untuknya, niscaya itu bermanfaat untuknya”, dan
inilah madzhab Imam Ahmad, Abu Hanifah, sekelompok dari Ashhab Malik dan
asy-Syafi’i.
وأما احتجاج بعضهم بقوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى}
[النجم: 39] فيقال له قد ثبت بالسنة المتواترة وإجماع الأمة: أنه يصلى عليه، ويدعى
له، ويستغفر له وهذا من سعي غيره. وكذلك قد ثبت ما سلف من أنه ينتفع بالصدقة عنه،
والعتق، وهو من سعي غيره. وما كان من جوابهم في موارد الإجماع فهو جواب الباقين في
مواقع النزاع. وللناس في ذلك أجوبة متعددة
Adapun sebagian mereka yang
berhujjah dengan firman Allah Ta'alaa {tiada bagi manusia kecuali apa yang
diusahakan} maka dikatakan kepadanya (jawaban untuknya), sungguh telah
tsabit berdasarkan Sunnah yang Mutawatir dan Ijma’ Umat : bahwa
sesungguhnya mayyit dishalatkan atasnya, dido’akan untuknya, di istighfarkan
(dimohonkan ampun) untuknya dan ini dari usaha orang lain, dan sebagaimana juga
telah tsabit pada salafush shaleh seperti mayyit mendapatkan manfaat dengan
shadaqah untuknya dan membebaskan budak, dan semua itu dari usaha orang lain,
dan jawaban mereka didalam masalah yang bersifat ijma' merupakan jawaban yang
telah berlalu sebelumnya terhadap yang diperselisihkan, dan masalah tersebut
bagi umat Islam terdapat jawaban yang bermacam-macam.
لكن الجواب المحقق في ذلك أن الله تعالى لم يقل: إن الإنسان لا
ينتفع إلا بسعي نفسه، وإنما قال: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] فهو لا
يملك إلا سعيه، ولا يستحق غير ذلك. وأما سعي غيره فهو له، كما أن الإنسان لا يملك
إلا مال نفسه ونفع نفسه. فمال غيره ونفع غيره هو كذلك للغير؛ لكن إذا تبرع له
الغير بذلك جاز
Akan tetapi jawaban ulama
ahli Tahqiq terhadap masalah tersebut (an-Najm : 39) adalah yakni Allah Ta'alaa
tidak berfirman : "bahwasanya manusia tidak bisa mendapatkan manfaat
kecuali dengan amalnya sendiri", sebaliknya Allah Ta'alaa berfirman :
"dan tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan", maka ia tidak
memiliki kecuali yang diusahakannya dan juga tidak berhak selain yang demikian.
adapun usaha orang lain maka itu untuk orang lain tersebut, sebagaimana manusia
tidak memiliki (harta) kecuali harta yang ia usahakan sendiri dan
memanfaatkannya sendiri, maka harta orang lain dan manfaat orang lain itu
sebagaimana untuk orang lain itu sendiri, akan tetapi jika orang lain
memberikan untuknya dengan hal yang demikian maka itu boleh
وهكذا هذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه الله بذلك، كما ينفعه
بدعائه له، والصدقة عنه، وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم، سواء كان من
أقاربه، أو غيرهم، كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند قبره
Dan seperti itu juga apabila
orang lain memberikan untuknya dengan usaha orang tersebut niscaya Allah
memberikan manfaat dengan hal tersebut, sebagaimana bermanfaatnya do'a orang
tersebut untuknya, juga shadaqah untuknya, dan itu berarti mendapatkan manfaat
dengan setiap yang sampai kepadanya yang berasal dari setiap muslim, sama saja
baik yang berasal dari kerabatnya atau orang lain, sebagaimana mendapatkan
manfaat dengan shalat umat Islam atas mayyit dan do'a umat islam untuk mayyit
disamping quburnya.
||| IBNU TAIMIYYAH BICARA MASALAH KEUTAMAAN (AFDLALIYAH) |||
Ibnu
Taimiyyah Hanya Bicara Soal Keutamaan (Afdlaliyah) Bukan Membid’ahkan. Ibnu
Taimiyah pernah ditanya tentang mana yang lebih utama (afdlal) antara
menghadiahkan pahala kepada orang tua atau kepada kaum Muslimin. Dalam
hal ini, pembahasan Ibnu Taimiyah hanya menguraikan masalah keutamaan. Berikut
adalah redaksinya :
سئل: عمن يقرأ القرآن العظيم، أو شيئا منه، هل الأفضل أن يهدي
ثوابه لوالديه، ولموتى المسلمين؟ أو يجعل ثوابه لنفسه خاصة؟
“Ibnu Taimiyah ditanya
tentang orang yang membaca al-Qur’an al-‘Adhim atau sebagian dari al-Qur’an,
apakah lebih utama (afdlall) agar menghadiahkan pahalanya kepada kedua orang
tuanya, dan kepada orang muslim yang wafat ? atau hanya menjadikan pahalanya
untuk dirinya sendiri saja ?
الجواب: أفضل العبادات ما وافق هدي رسول الله - صلى الله عليه وسلم
- وهدي الصحابة، كما صح عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه كان يقول في خطبته:
«خير الكلام كلام الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة
ضلالة» . وقال - صلى الله عليه وسلم -: خير القرون قرني، ثم الذين يلونهم
Jawab : Ibadah-ibadah yang
lebih utama adalah yang sesuai dengan pentunjuk Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wa sallam dan petunjuk para sahabat, sebagaimana telah shahih dari Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam yang mana beliau bersabda didalam khutbahnya :
"sebaik-baiknya perkataan adalah Kalamullah dan sebaik-baiknya petunjuk
adalah petunjuk Muhammad, sedangkan seburuk-buruknya perkara adalah yang
diada-adakan dan setiap bid'ah itu sesat", Nabi shallallahu 'alayhi wa
salam juga bersabda : "sebaik-baiknya qurun (generasi) adalah kurun-ku,
kemudian yang datang setelah mereka".
وقال ابن مسعود: من كان منكم مستنا فليستن بمن قد مات؛ فإن الحي لا
تؤمن عليه الفتنة، أولئك أصحاب محمد
Ibnu Ma'sud berkata :
barangsiapa diantara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah
petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup
tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad
shallallahu 'alayhi wa sallam
فإذا عرف هذا الأصل. فالأمر الذي كان معروفا بين المسلمين في
القرون المفضلة، أنهم كانوا يعبدون الله بأنواع العبادات المشروعة، فرضها ونفلها،
من الصلاة، والصيام، والقراءة، والذكر، وغير ذلك وكانوا يدعون للمؤمنين والمؤمنات،
كما أمر الله بذلك لأحيائهم، وأمواتهم، في صلاتهم على الجنازة، وعند زيارة القبور،
وغير ذلك
Maka apabila telah diketahui
pondasi (pokok) ini, maka perkara yang telah ma’ruf diantara kaum muslimin pada
qurun mufadldlalah (penuh karunia), bahwa mereka beribadah kepada Allah dengan
berbagai macam ibadah yang masyru’, baik fardlu maupun nafilah (sunnah), seperti
shalat, puasa, qiraa’ah (membaca al-Qur'an), dzikir dan yang lainnya, mereka
berdo’a untuk mukminin dan mukminat, sebagaimana Allah perintahkan dengan hal
itu untuk orang-orang yang hidup dan orang mati, baik didalam shalat jenazah
juga ketika ziarah kubur dan yang lainnya.
وروي عن طائفة من السلف عند كل ختمة دعوة مجابة، فإذا دعا الرجل
عقيب الختم لنفسه، ولوالديه، ولمشايخه، وغيرهم من المؤمنين والمؤمنات، كان هذا من
الجنس المشروع. وكذلك دعاؤه لهم في قيام الليل، وغير ذلك من مواطن الإجابة
Telah diriwayatkan dari
sekelompok salafush shaleh dimana setiap kali khatam (al-Qur’an) merupakan
waktu do’a yang di ijabah, maka apabila seseorang berdo’a mengiringi
khatmil Qur’an untuk dirinya sendiri, kedua orang tuanya, masyayikh-nya dan
yang lainnya seperti mukminin dan mukminaat, hal ini merupakan termasuk dari
jenis ibadah yang masyru’, dan sebagaimana juga do’anya untuk mereka ketika
qiyamul lail (shalat malam), dan yang lainnya seperti momen-momen yang di
ijabah
وقد صح عن النبي - صلى الله عليه وسلم -: أنه أمر بالصدقة على
الميت، وأمر أن يصام عنه الصوم. فالصدقة عن الموتى من الأعمال الصالحة، وكذلك ما
جاءت به السنة في الصوم عنهم. وبهذا وغيره احتج من قال من العلماء: إنه يجوز إهداء
ثواب العبادات المالية، والبدنية إلى موتى المسلمين. كما هو مذهب أحمد، وأبي حنيفة،
وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي
Dan telah shahih dari Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau memerintahkan bershadaqah untuk
mayyit dan puasa untuk mayyit. Shadaqah untuk mayyit termasuk dari amal-amal
shalih, dan demikian juga perkara yang berasal dari sunnah tentang puasa untuk
mereka, dan berdasarkan hal ini serta berdasarkan yang lainnya sebagian ulama
berhujjah : bahwa boleh menghadiahkan (memberikan) pahala ibadah-ibadah
maliyah dan badaniyah kepada orang muslim yang meninggal, sebagaimana itu
adalah madzhab Ahmad, Abu Hanifah dan sekelompok ulama dari Ashhab Malikk dan
asy-Syafi’i
فإذا أهدي لميت ثواب صيام، أو صلاة، أو قراءة، جاز ذلك، وأكثر
أصحاب مالك، والشافعي يقولون: إنما يشرع ذلك في العبادات المالية، ومع هذا لم يكن
من عادة السلف إذا صلوا تطوعا، وصاموا، وحجوا، أو قرءوا القرآن. يهدون ثواب ذلك
لموتاهم المسلمين، ولا لخصوصهم، بل كان عادتهم كما تقدم، فلا ينبغي للناس أن
يعدلوا عن طريق السلف، فإنه أفضل وأكمل. والله أعلم.
Maka (oleh karena itu), apabila
puasa, shalat dan qiraa’ah di hadiahkan untuk mayyit maka itu boleh, namun
kebanyakan Ashhab Malik dan Ashhab asy-Syafi’i mengatakan : sesungguhnya yang
demikian disyariatkan pada ibadah-ibadah maliyah saja, dan bersamaan hal ini
tiada dari kebiasaan salafush shaleh ketika mereka shalat sunnah, puasa, haji
atau membaca al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahala yang demikian untuk
orang-orang mati diantara mereka yang muslim, tidak pula kepada orang-orang
khusus diantara mereka, bahkan itu menjadi kebiasaan mereka sebagaimana
(pemaparan) sebelumnya, maka tidak sepatutnya bagi manusia untuk mengadili dari
jalan shalafush shaleh, sebab itu lebih utama (afdlaliyah) dan lebih
sempurna. Wallahu A’lam
Lihat
: Ibid [3/37-38]. Ada juga hal menarik yang berasal dari Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyah mengenai pertanyaan yang di ajukan kepada Ibnu Taimiyah,
yang mana pertanyaan tersebut “mirip” dengan kegiatan majelis dzikir berupa
tahlilan beserta bacaannya seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan
sebagainya :
وسئل: عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم: هذا الذكر بدعة وجهركم
في الذكر بدعة وهم يفتتحون بالقرآن ويختتمون ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات
ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة ويصلون على النبي صلى الله
عليه وسلم والمنكر يعمل السماع مرات بالتصفيق ويبطل الذكر في وقت عمل السماع.
فأجاب: الاجتماع لذكر الله واستماع كتابه
والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات في الأوقات ففي الصحيح عن النبي
صلى الله عليه وسلم أنه قال: {إن لله ملائكة سياحين في الأرض فإذا مروا بقوم
يذكرون الله تنادوا هلموا إلى حاجتكم} وذكر الحديث وفيه {وجدناهم يسبحونك
ويحمدونك} لكن ينبغي أن يكون هذا أحيانا في بعض الأوقات والأمكنة فلا يجعل سنة
راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه في
الجماعات؟ من الصلوات الخمس في الجماعات ومن الجمعات والأعياد ونحو ذلك. وأما
محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة أو القراءة أو الذكر أو الدعاء طرفي النهار
وزلفا من الليل وغير ذلك: فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من
عباد الله قديما وحديثا
“Ibnu Taimiyah ditanya
tentang seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia
mengatakan kepada mereka (ahli dzikir) “ini dzikir bid’ah dan menyaringkan
suara didalam dzikir kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan
menutup dzikirnya dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a
untuk kaum muslimin yang hidup maupun yang mati, mereka mengumpulkan antara
bacaan tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah [Laa Hawla wa Laa Quwwata
Ilaa Billah], mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam.. .
Jawab : Berkumpul untuk
dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal shalih,
dan itu termasuk dari paling utamanya qurubaat (amal mendekatkan diri kepada
Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam hadits
Shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “sesungguhnya
Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian di bumi, ketika mereka melewati
sebuah qaum (perkumpulan) yang berdzikir kepada Allah, mereka (para malaikat)
berseru : “silahkan sampaikan hajat kalian”. dan disebutkan didalam hadits
tersebut, terdapat redaksi “dan kami menemukan mereka sedangkan bertasbih
kepada-Mu dan bertahmid (memuji)-Mu”, akan tetapi selayaknya ha ini di
hidupkan kapan saja dan dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah
yang dirutinkan kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam yang berketerusan dalam jama’ah ? seperti shalat 5 waktu (dilakukan)
dalam jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara rutinitas
wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an, atau mengingat
Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam atau pada waktu lainnya,
maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam,
orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah sebelumnya dan sekarang.
||| KOMENTAR IBNUL QAYYIM
AL-JAUZIYYAH |||
Ibnul
Qayyim al-Jauziyyah merupakan murid dari Ibnu Taimiyah, yang juga menjadi
rujukan kaum Wahhabiyah. Didalam salah satu kitabnya yaitu ar-Ruh termaktub
hal-hal sebagai berikut :
وَقد ذكر عَن جمَاعَة من السّلف أَنهم أوصوا أَن يقْرَأ عِنْد
قُبُورهم وَقت الدّفن قَالَ عبد الْحق يرْوى أَن عبد الله بن عمر أَمر أَن يقْرَأ
عِنْد قَبره سُورَة الْبَقَرَة وَمِمَّنْ رأى ذَلِك الْمُعَلَّى بن عبد الرَّحْمَن
وَكَانَ الامام أَحْمد يُنكر ذَلِك أَولا حَيْثُ لم يبلغهُ فِيهِ أثر ثمَّ رَجَعَ
عَن ذَلِك
“dan sungguh telah disebutkan
dari jama’ah salafush shalih bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an
disisi qubur mereka waktu dimakamkan, Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan
bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan agar dibacakan
surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah
al-Mu’alla bin Abdurrahman, sedangkan awalnya Imam Ahmad mengingkari yang
demikian karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian
Imam Ahmad ruju’ dari yang demikian”
وَقَالَ الْخلال فِي الْجَامِع كتاب الْقِرَاءَة عِنْد الْقُبُور
اُخْبُرْنَا الْعَبَّاس بن مُحَمَّد الدورى حَدثنَا يحيى بن معِين حَدثنَا مُبشر
الحلبى حَدثنِي عبد الرَّحْمَن بن الْعَلَاء بن اللَّجْلَاج عَن أَبِيه قَالَ
قَالَ أَبى إِذا أنامت فضعنى فِي اللَّحْد وَقل بِسم الله وعَلى سنة رَسُول الله
وَسن على التُّرَاب سنا واقرأ عِنْد رأسى بِفَاتِحَة الْبَقَرَة فإنى سَمِعت عبد
الله بن عمر يَقُول ذَلِك قَالَ عَبَّاس الدورى سَأَلت أَحْمد بن حَنْبَل قلت تحفظ
فِي الْقِرَاءَة على الْقَبْر شَيْئا فَقَالَ لَا وَسَأَلت يحيى ابْن معِين فحدثنى
بِهَذَا الحَدِيث
“dan al-Khallal didalam
al-Jami’ kitab tentang pembacaan al-Qur’an disisi kubur, telah mengkhabarkan
kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad ad-Dauri, menceritakan kepada kami Yahya bin
Mu’in, menceritakan kepada kami Mubasysyir al-Halabi, menceritakan kepadaku
Abdurrahman bin al-‘Alaa’ bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berkata : ayahnya
berkata : apabila aku mati, kuburlah aku didalam liang lahad dan ucapakanlah
“dengan asma Allah dan atas Sunnah Rasulillah”, kemudian ratakanlah diatas
tanah, dan bacalah disisi (qubur) kepalaku pembukaan surah al-Baqarah, sebab
aku mendengar Abdullah bin ‘Umar mengatakan hal itu, ‘Abbas ad-Dauri lalu
berkata : aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, aku katakan : Ia hafal
sesuatu tentang pembacaan al-Qur’an diatas qubur, ia menjawab : tidak, dan aku
bertanya kepada Yahya bin Mu’in, maka ia menceritakan kepadaku hadits ini.
قَالَ الْخلال وَأَخْبرنِي الْحسن بن أَحْمد الْوراق حَدَّثَنى على
بن مُوسَى الْحداد وَكَانَ صَدُوقًا قَالَ كنت مَعَ أَحْمد بن حَنْبَل وَمُحَمّد
بن قدامَة الجوهرى فِي جَنَازَة فَلَمَّا دفن الْمَيِّت جلس رجل ضَرِير يقْرَأ
عِنْد الْقَبْر فَقَالَ لَهُ أَحْمد يَا هَذَا إِن الْقِرَاءَة عِنْد الْقَبْر
بِدعَة فَلَمَّا خرجنَا من الْمَقَابِر قَالَ مُحَمَّد بن قدامَة لِأَحْمَد بن
حَنْبَل يَا أَبَا عبد الله مَا تَقول فِي مُبشر الْحلَبِي قَالَ ثِقَة قَالَ كتبت
عَنهُ شَيْئا قَالَ نعم فَأَخْبرنِي مُبشر عَن عبد الرَّحْمَن بن الْعَلَاء
اللَّجْلَاج عَن أَبِيه أَنه أوصى إِذا دفن أَن يقْرَأ عِنْد رَأسه بِفَاتِحَة
الْبَقَرَة وخاتمتها وَقَالَ سَمِعت ابْن عمر يُوصي بذلك فَقَالَ لَهُ أَحْمد
فَارْجِع وَقل للرجل يقْرَأ
“al-Khallal berkata : telah
mengkhabrkan kepadaku al-Hasan bin Ahmad al-Warraq, menceritakan kepadaku ‘Ali
bin Musa al-Haddad sedangkan ia adalah orang yang jujur (shaduq), ia berkata :
aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari pada sebuah
jenazah, ketika itu telah selesai pemakaman mayyit maka duduklah seorang
laki-laki buta membacakan al-Qur’an disisi qubur, kemudian Ahmad berkata kepadanya
: “hai.. apa ini ? sesungguhnya pembacaan al-Qur’an disisi qubur adalah
bid’ah”. Maka ketika kami keluar dari area pekuburan, kemudian Muhammad bin
Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal : “wahai Abu Abdillah, apa yang engkau
katakan tentang Mubasysyir al-Halabi ?” Ahmad berkata : “tsiqah”,
al-Jauhari berkata : “apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya ?” Ahmad
berkata : “iya”. Maka mengkhabarkan kepada Mubasyyir dari Abdurrahman bin
al-‘Alaa’ al-Lajlaj dari ayahnya bahwa ia berwasiat apabila dimakamkan agar
membaca disisi kepala (qubur) nya dengan pembukaan al-Baqarah dan
mengkhatamkannya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar mewasiatkan hal
itu, kemudian Ahmad berkata kepadanya : maka kembalilah dan katakanlah kepada
laki-laki agar membacanya”.
وَقَالَ الْحسن بن الصَّباح الزَّعْفَرَانِي سَأَلت الشَّافِعِي
عَن الْقِرَاءَة عِنْد الْقَبْر فَقَالَ لَا بَأْس بهَا
“al-Hasan bin ash-Shabbah
az-Za’farani berkata ; aku bertanya kepada Imam asy-Syafi’i tentang pembacaan
al-Qur’an disisi qubur, maka beliau menjawab : hal itu tidak apa-apa”.
وَذكر الْخلال عَن الشّعبِيّ قَالَ كَانَت الْأَنْصَار إِذا مَاتَ
لَهُم الْمَيِّت اخْتلفُوا إِلَى قَبره يقرءُون عِنْده الْقُرْآن قَالَ
وَأَخْبرنِي أَبُو يحيى النَّاقِد قَالَ سَمِعت الْحسن بن الجروى يَقُول مَرَرْت
على قبر أُخْت لي فَقَرَأت عِنْدهَا تبَارك لما يذكر فِيهَا فَجَاءَنِي رجل
فَقَالَ إنى رَأَيْت أختك فِي الْمَنَام تَقول جزى الله أَبَا على خيرا فقد انتفعت
بِمَا قَرَأَ أَخْبرنِي الْحسن بن الْهَيْثَم قَالَ سَمِعت أَبَا بكر بن الأطروش
ابْن بنت أبي نصر بن التمار يَقُول كَانَ رجل يَجِيء إِلَى قبر أمه يَوْم
الْجُمُعَة فَيقْرَأ سُورَة يس فجَاء فِي بعض أَيَّامه فَقَرَأَ سُورَة يس ثمَّ
قَالَ اللَّهُمَّ إِن كنت قسمت لهَذِهِ السُّورَة ثَوابًا فاجعله فِي أهل هَذِه
الْمَقَابِر
“al-Khallal menuturkan dari
asy-Sya’bi, ia berkata : shahabat (qaum) Anshar ketika seseorang antara mereka
wafat, mereka saling datang ke quburnya dan membacakan al-Qur’an disisi
quburnya, Ia berkata : “dan mengkhabarkanepadaku Abu Yahya an-Naqid, ia berkata
: aku mendengar al-Hasan bin al-Jarwiy mengatakan : aku berjalan ke qubur
saudara perempuanku kemudian aku membaca surah Tabarak (al-Mulk) disisi (qubur)
nya, setelah menuturkan tentangnya maka seorang laki-laki datang kepadaku,
kemudian berkata : sesungguhnya aku melihat saudara perempuanmu dalam
mimpi mengatakan : semoga Allah membalas kebaikan Abu ‘Ali, sungguh memberikan
manfaat kepadaku apa yang ia baca”, Telah mengkhabarkan kepadaku al-Hasan bin
al-Haitsam, ia berkata : aku mendengar Abu Bakar bin al-Athrusy Ibnu binti Abu
Nashr bin at-Tamar mengatakan : seorang laki-laki datang ke qubur ibunya pada
hari Jum’at kemudian membaca surah Yasiin, pada sebgian hari yang lain ia juga
datang membaca surah Yasiin, kemudian berdoa : “ya Allah jika Engkau membagikan
pahala dengan surah ini, maka jadikanlah pahalanya untuk penghuni pekuburan
ini”.
فَلَمَّا كَانَ يَوْم الْجُمُعَة الَّتِي تَلِيهَا جَاءَت امْرَأَة
فَقَالَت أَنْت فلَان ابْن فُلَانَة قَالَ نعم قَالَت إِن بِنْتا لي مَاتَت
فرأيتها فِي النّوم جالسة على شَفير قبرها فَقلت مَا أجلسك هَا هُنَا فَقَالَت إِن
فلَان ابْن فُلَانَة جَاءَ إِلَى قبر أمه فَقَرَأَ سُورَة يس وَجعل ثَوَابهَا لأهل
الْمَقَابِر فأصابنا من روح ذَلِك أَو غفر لنا أَو نَحْو ذَلِك
“Ketika telah tiba hari
Jum’at berikutnya, seorang perempuan datang menemuinya kemudian perempuan itu
berkata : apakah engkau Fulan bin Fulanah ? ia berkata : “betul”, perempuan itu
berkata : sesungguhnya putriku meninggal dunia dan aku melihat didalam mimpi ia
sedang duduk diatas quburnya, kemudian aku berkata : kenapa engkau duduk disini
? ia berkata : sesungguhnya Fulan bin Fulanah datang ke quburnya ibunya
kemudian membaca surah Yasiin, dan menjadikan pahalanya untuk seluruh penghuni
quburan, maka kami mendapatkan dari ruh yang demikian atau pengampunan bagi
kami atau seumpama itu”.
Masih
terkait penuturan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah tentang membaca al-Qur’an untuk
orang mati :
وأما قراءة القرآن وإهداؤها له تطوعا بغير أجرة فهذا يصل إليه
كما يصل ثواب الصوم والحج
“Adapun membaca al-Qur’an dan
menghadiahkannya kepada mayyit merupakan anjuran dengan tanpa bayaran, maka ini
sampai kepada mayyit sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji.”
||| POLEMIK KARYA MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB |||
Ahkam
at-Tamanni al-Maut dikenal sebagai kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab (pengasas Wahhabiyah). Akan tetapi ini di tolak oleh kalangan Wahhabiyah
sebagai karangan syaikh mereka. Mereka mengatakan bahwa kitab tersebut adalah
karangan orang lain yang di salin oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan tulisan
tangannya pada rihlah nya untuk memerika dan meneliti kandungannya. Salah satu
tokoh Wahhabi bahkan menulis risalah khusus sebagai penolakan sebagai nisbat
kitab tersebut kepada Muhammad bin Abdul Wahab.
Adalah
Shalih bin Fauzan al-Fauzan al-Wahhabi yang mengarang risalah khusus sebagai
pentuk penolakan dengan berjudul
إبطال نسبة كتاب "أحكام تمني الموت" إلى الشيخ
الإمام محمد بن عبد الوهاب
Ibthaal
Nisbati Kitaab “Ahkaami Tamanni Al-Maut” Ilaa Asy Syaikh Al-Imam Muhammad bin
Abdul Wahhab. Selain itu ada juga tokoh Wahhabi lainnya seperti Hasan Alu
Salman, Abdul ‘Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abdul Muhsin bin Hamma al-‘Abbad
al-Bard, Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan lain sebagainya.
Sedangkan
tokoh Wahhabi lainnya menshahihkan dan menerimanya sebagai karya Muhammad bin
Abdul Wahab berdasarkan penelitian (tahqiq) mereka atas kitab tersebut dan
salinannya [771/86] berada di Maktabah As-Su’udiyyah di Riyadl.
Tokoh
Wahhabiyah yang telah menshahihkannya kitab tersebut sebagai karya Muhammad bin
Abdul Wahab adalah Abdullah bin Muhammad As-Sarhan dan Abdullah bin Abdurrahman
al-Jibrin.
Belakangan
disebut-sebut juga bahwa tokoh Wahhabiyah yang telah melakukan tahqiq dan
menshahihkan kitab tersebut, telah ruju’ dan ikut menolaknya menurut kalangan
Wahhabiyah.
Apapun polemik
tersebut, berikut diantara redaksi menarik dalam kitab tersebut ;
أخرج ابن عبد البر عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: "ما من أحد يمر بقبر أخيه المؤمن - كان يعرفه في الدنيا - فيسلم عليه،
إلا عرفه ورد عليه السلام" صححه عبد الحق، وفي الباب عن أبي هريرة وعائشة
"Ibnu 'Abdil Barr
meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia berkata : "Rasulullah shallallahu
'alayhi wa sallam bersabda : "tidak seorang pun yang berjalan di qubur
saudaranya yang mukmin -yang dikenalnya ketika didunia, kemudian ia memberi
salam atasnya, kecuali ia mengetahuinya dan membalas salam kepadanya".
Abdul Haq menshahihkannya, dan didalam sebuah bab dari Abu Hurairah dan
'Aisyah". [3]
Pada
halaman berikutnya :
وأخرج سعد الزنجاني عن أبي هريرة مرفوعا: "من دخل المقابر ثم
قرأ فاتحة الكتاب، وقل هو الله أحد، وألهاكم التكاثر، ثم قال: إني جعلت ثواب ما
قرأت من كلامك لأهل المقابر من المؤمنين والمؤمنات، كانوا شفعاء له إلى الله
تعالى". وأخرج عبد العزيز صاحب الخلال بسنده عن أنس مرفوعا: "من دخل
المقابر، فقرأ سورة يس، خفف الله عنهم، وكان له بعدد من فيها حسنات".
“Sa’ad az-Zanjani telah
meriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu : “barangsiapa yang masuk area pekuburan,
kemudian membaca Fatihatul Kitab (surah al-Fatihah), Qul huwallahu Ahad
(al-Ikhlas) dan Alhaakumut Takatsur (at-Takatsur), kemudian berkata :
sesungguhnya aku menjadikan pahala apa yang aku baca dari firman-Mu (al-Qur’an)
ini untuk penghuni pekuburan yang mukminin maupun mukminaat”, maka mereka
menjadi penolongnya kepada Allah Ta’alaa”. Abdul ‘Aziz shahibul Khalal
meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Anas secara marfu : “barangsiapa yang
masuk area pekuburan, kemudian membaca surah Yasiin, niscaya Allah akan akan
meringakan siksa dari mereka, dan kebaikan bagi pembacanya sebanyak
penghuni qubur tersebut”.
||| FATWA MUHAMMAD BIN SHALIH AL-'UTSAIMIN |||
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin merupakan Syaikhul Wahhabiyah yang
fatwa-fatwanya juga banyak menjadi rujukan pengikut sekte Wahhabiyah. Nama
lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin
al-Wahib at-Tamimi atau lebih dikenal dengan Syaikh al-Utsaimin. Dalam beberapa
fatwanya, terdapat pernyataan menarik yang mungkin jarang di publikasikan oleh
pengikut Wahhabiyah tentang bacaaan al-Qur'an untuk orang mati. Berikut
diantara pernyataan beliau :
PENDAPAT YANG SHAHIH TENTANG MEMBACA AL-QUR'AN UNTUK ORANG MATI
وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان
يقرأوينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو
لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل
"Pembacaan al-Qur'an untuk orang mati dengan
pengertian bahwa manusia membaca al-Qur'an serta meniatkan untuk menjadikan
pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat
mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini
terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa
membaca al-Qur'an untuk orang mati memberikan manfaat, akan tetapi do'a
adalah yang lebih utama (afdlal).".
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin pernah ditanya tentang hukum
membaca al-Qur’an untuk roh orang mati. Menariknya adalah bahwa menurut
pandangan beliau ; yang rajih adalah bahwa bacaan al-Qur’an sampai kepada orang
mati apabila ditujukan untuk orang mati tersebut ;
PENDAPAT YANG RAJIH TENTANG MEMBACA AL-QUR'AN UNTUK ORANG MATI
سئل فضيلة الشيخ: عن حكم التلاوة لروح
الميت؟
Fadlilatusy Syaikh ditanya tentang hukum tilawah
(membaca al-Qur’an) untuk orang mati ?
فأجاب قائلًا: التلاوة لروح الميت يعني أن
يقرأ القرآن وهو يريد أن يكون ثوابه لميت من المسلمين هذه المسألة محل خلاف بين
أهل العلم على قولين: القول الأول: أن ذلك غير مشروع وأن الميت لا ينتفع به أي لا
ينتفع بالقرآن في هذه الحال. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن
يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبًا أو غير قريب.
Jawaban : Tilawah untuk roh orang mati yakni
membaca al-Qur’an karena ingin memberikan pahalanya untuk mayyit (orang mati)
yang muslim, masala h ini terdapat perselisihan diantara ahlul ilmi atas
dua pendapat : Pertama, sungguh itu bukan perkara yang masyru’ (tidak
disyariatkan) dan sungguh mayyit tidak mendapat manfaat dengan hal itu yakni
tidak mendapatkan manfaat dengan pembacaan al-Qur’an pada perkara ini. Kedua,
sesungguhnya mayyit mendapatkan manfaat dengan hal itu, dan sesungguhnya boleh
bagi umat Islam untuk membaca al-Qur’an dengan meniatkan pahalanya untuk fulan
atau fulanah yang beragama Islam, sama saja baik dekat atau tidak dekat (alias
jauh).
والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس
العبادات جواز صرفها للميت، كما في حديث سعد ابن عبادة -رضي الله عنه- حين تصدق
ببستانه لأمه، وكما في قصة الرجل الذي قال للنبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ-: «إن أمي افْتُلِتَت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها؟ قال
النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: "نعم» وهذه قضايا أعيان تدل على
أن صرف جنس العبادات لأحد من المسلمين جائز وهو كذلك، ولكن أفضل من هذا أن تدعو
للميت، وتجعل الأعمال الصالحة لنفسك لأن النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ- قال: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم
ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» . ولم يقل: أو ولد صالح يتلو له أو يصلي له أو
يصوم له أو يتصدق عنه بل قال: - «أو ولد صالح يدعو له» والسياق في سياق العمل، فدل
ذلك على أن الأفضل أن يدعو الإنسان للميت لا أن يجعل له شيئًا من الأعمال الصالحة،
والإنسان محتاج إلى العمل الصالح، أن يجد ثوابه له مدخرًا عند الله -عز وجل-.
Dan yang rajih (yang kuat) : adalah qaul
(pendapat) yang kedua, karena sesungguhnya telah warid sebagai sebuah jenis
ibadah yang boleh memindahkan pahalanya untuk mayyit (orang mati) karena
sesungguhnya telah warid sebagai , sebagaimana pada hadits Sa’ad bin ‘Ubadah
radliyallahu ‘anh ketika ia menshadaqahkan kebunnya untuk ibunya, dan
sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan aku menduga
seandainya ia sempat berbicara ia akan meminta untuk bershadaqah, maka bolehkah
bershadaqah untuknya ? Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”, ini
sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa memindahkan pahala jenis ibadah untuk
salah seorang kaum Muslimin adalah boleh, dan demikian juga terkait membaca
al-Qur’an. Akan tetapi yang lebih utama dari perkara ini agar mereka
berdo’a untuk mayyit, serta menjadikan amal-amal shalih untuk dirimu sendiri, karena
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “Apabila bani Adam mati maka
terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan
anak shalih yang selali mendo’akannya”. Tidak dikatakan, “atau anak shalih yang
melakukan tilawah untuknya, atau shalat untuknya, atau puasa untuknya, atau
shadaqah untuknya, akan tetapi Nabi bersabda : “atau anak shalih yang berdo’a
untuknya”,
Maka ini menunjukkan bahwa seorang manusia berdo’a
untuk mayyit itu lebih utama (afdlal) dari pada menjadikan amal-amal shalihnya
lainnya untuk mayyit, dan manusia membutuhkan amal shalih agar pahalanya
menjadi simpanan disisi Allah ‘Azza wa Jalla.”
Tidak hanya itu, Syaikh al-Utsaimin al-Wahhabi juga pernah ditanya tentang
surah an-Najm ayat 39. Ulama sendiri memiliki berbagai jawaban dalam
menjelaskan ayat ini namun ulama tidak menafikan bahwa seseorang memang bisa
memperoleh manfaat dari orang lain, sebab nas untuk hal ini telah mutawatir
baik didalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Seperti itu juga Syaikh al-Utsaimin
yang tidak menafikan bahwa seseorang bisa memperoleh manfaat dari amal orang
lain :
KOMENTAR TENTANG QS. AN-NAJM 39 DAN HADITS TERPUTUSNYA AMAL
وسئل فضيلة الشيخ: هل قوله تعالى: {وَأَنْ
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} يدل على أن الثواب لا يصل إلى الميت إذا
أهدي له؟
Fadlilatusy Syaikh ditanya : apakah firman Allah
{wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa} menunjukkan atas bahwa pahala tidak
sampai kepada mayyit apabila di hadiahkan untuknya ?
فأجاب بقوله: قوله - تعالى-: {وَأَنْ
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} المراد -والله أعلم- أن الإنسان لا يستحق
من سعي غيره شيئًا، كما لا يحمل من وزر غيره شيئًا، وليس المراد أنه لا يصل إليه
ثواب سعي غيره؛ لكثرة النصوص الواردة في وصول ثواب سعي الغير إلى غيره وانتفاعه به
إذا قصده به، فمن ذلك:
Jawab : tentang firman Allah { wa an laysa lil-insaani
ilaa maa sa’aa } maksudnya –wallahu a’lam- bahwa manusia tidak berhak terhadap
usaha orang lain, sebagaimana seseorang tidak memikul sesuatu tanggungan orang
lain, namun maksudnya bukanlah bahwa pahala usaha orang lain tidak sampai
kepadanya, sebab banyak nas-nas yang warid tentang sampainya pahala
usaha orang lain kepada orang lain dan memberi manfaat dengan hal itu apabila
di qashadkan (ditujukan) untuknya. Diantara yang demikian adalah :
الدعاء فإن المدعو له ينتفع به بنص القرآن
والسنة وإجماع المسلمين، ... الصدقة عن الميت ... الصيام عن الميت ... الحج عن
غيره ... الأضحية عن الغير ... اقتصاص المظلوم من الظالم بالأخذ من صالح أعماله
.... انتفاعات أخرى بأعمال الغير: كرفع درجات الذرية في الجنة إلى درجات آبائهم،
وزيادة أجر الجماعة بكثرة العدد، وصحة صلاة المنفرد بمصافة غيره له، والأمن والنصر
بوجود أهل الفضل
“Do’a, maka sesungguhnya orang yang berdo’a untuk
mayit niscaya bermanfaat dengan hal tersebut, berdasarkan nash al-Qur’an ,
As-Sunnah dan Ijma’ Muslimi ; shadaqah atas nama mayyit ; puasa atas nama
mayyit ; haji dari orang lain ; sembelihan dari orang lain ; orang yang
terdlalimin mendapatkan kebaikan yang diambil dari amal orang yang mendlalimi,
; mendapatkan manfaat yang lain dengan amal orang lain seperti anak-anak
diangkat derajatnya di surga ke derajat ayah-ayah mreka, shalat pahala
berjama’ah bertambah karena banyaknya jumlah (orang lain) ; sahnya shalat orang
yang sendiri dengan adanya orang yang mengikut kepadanya ; aman dan tentram
karena adanya orang-orang yang bijak sana”.
Masih seputar hal yang sama yang pernah di tanyakan kepada beliau :
YANG DISEPAKATI DAN DIPERSELISIHKAN
سئل فضيلة الشيخ رحمه الله تعالى: ما حكم
الصلاة عن الميت والصوم له؟ فأجاب فضيلته بقوله: هناك أربعة أنواع من العبادات تصل
إلى الميت بالإجماع، وهي: الأول: الدعاء. الثاني: الواجب الذي تدخله النيابة.
الثالث: الصدقة. الرابع: العتق. وما عدا ذلك فإنه موضع خلاف بين أهل
العلم: فمن العلماء من يقول: إن الميت لا ينتفع بثواب الأعمال الصالحة إذا
أهدي له في غير هذه الأمور الأربعة
“Al-Utsaimin di tanya : Apa hukum shalat dan puasa
dari orang lain untuk mayyit ? Jawab : terdapat 4 macam jenis ibadah yang
sampai kepada mayyit berdasarkan ijma’, yakni
1.
Do’a
2.
Ibadah wajib yang bisa di pindahkan
3.
Shadaqah
4.
Membebaskan budak
Dan yang tidak terhitung pada hal itu maka itu berada
pada kedudukan yang diperselisihkan diantara ulama. Sebagian ulama ada yang
mengatakan : sesungguhnya mayyit tidak mendapatkan manfaat dengan pahala
amal-amal shalih yang dihadiahkan untuknya selain empat hal tersebut.
ولكن الصواب: أن الميت ينتفع بكل عمل
صالح جعل له إذا كان الميت مؤمناً، ولكننا لا نرى أن إهداء القرب للأموات من
الأمور المشروعة التي تطلب من الإنسان، بل نقول: إذا أهدى الإنسان ثواب عمل من
الأعمال، أو نوى بعمل من الأعمال أن يكون ثوابه لميت مسلم فإنه ينفعه، لكنه غير
مطلوب منه أو مستحب له ذلك
Akan tetapi yang shawab (yang benar) : bahwa orang
mati bisa mendapatkan manfaat dengan setiap amal shalih yang dijadikan untuk
mayyit apabila mayyitnya mukmin, namun kami tidak melihat bahwa menghadiahkan
amal kebajikan untuk orang mati termasuk perkara masyru’ yang dituntut dari
manusia, bahkan kami katakan : apabila seorang manusia menghadiahkan pahala
amal dari berbagai amal atau meniatkan dengan beramal dari berbagai amal agar
dijadikan pahalanya untuk orang mati yang muslim maka itu bermanfaat bagi orang
mati tersebut, tetapi tanpa ada tuntutan atau anjuran baginya untuk melakukan
hal demikian.
والدليل على هذا أن النبي صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لم يرشد أمته إلى هذا العمل، بل ثبت عنه صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في صحيح مسلم من حديث أبي هريرة أنه قال: "إذا مات
الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: من صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح
يدعو له". ولم يقل النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أو ولد صالح
يعمل له، أو يتعبد له بصوم أو صلاة أو غيرهما
Dalil atas hal ini bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam tidak menunjuki umatnya kepada amal ini, bahkan telah tsabit dari Nabi
shalallallahu ‘alayhi wa sallam didalam shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah,
bahwa beliau bersabda : “apabila seorang manusia mati maka terputus amalnya
kecuali yang berasal dari tiga hal yakni dari shadaqah jariah, ilmu yang
bermanfaat dan anak shalih yanng berdo’a untuknya”, Nabi shalallahu ‘alayhi wa
sallam tidak mengatakan : “atau anak shalih yang beramal untuknya, atau
beribadah untuknya dengan puasa, shalat atau selainnya”
وهذا
إشارة إلى أن الذي ينبغي والذي يشرع هو الدعاء لأمواتنا، لا إهداء العبادات لهم،
والإنسان العامل في هذه الدنيا محتاج إلى العمل الصالح، فليجعل العمل الصالح
لنفسه، وليكثر من الدعاء لأمواته، فإن ذلك هو الخير وهو طريق السلف الصالح رضي
الله عنهم
Ini sebuah isyarat bahwa yang layak serta yang
disyariatkan adalah do’a untuk orang-orang mati diantara kita, bukan
menghadiahkan ibadah-ibadah kepada mereka, sebab manusia sebagai pelaku didunia
ini butuh kepada amal shalih, maka hendaklah menjadikan amal shalih untuk
dirinya sendiri, serta memperbanyak do’a untuk orang-orang yang mati, sebab itu
adalah baik dan merupakan jalan salafush shalih radliyallahu ‘anhum”.
||| SHALIH BIN FAUZAN AL-FAUZAN |||
Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan merupakan seorang tokoh wahhabiyah,
lahir pada tahun 1933 M. Terkait surah an-Najm ayat 39, pernah juga
ditanyakan kepada beliau, juga terkait dengan QS. ath-Thuur ayat 21. Berikut
jawaban beliau sebagaimana tercantum didalam kitabnya :
سؤال: ما معنى الآيتين الكريمتين في قوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى، وقوله: {وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ
ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ
مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ} ، وهل بينهما نسخ أو تعارض؟ وماذا نستفيد منهما؟
Soal : apa makna dua ayat
pada firman Allah {wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa} dan {walladziina
amanuu wat-taba’athum dzurriyyatuhum bi-imaanin bihim dzurriyyatahum wa maa
alatnaahum min ‘amalihim min syay’}, apakah antara keduanya telah di nasakh
ataukah bertentangan ? dan apa penjelasan tentang keduanya ?
الجواب: بين الآيتين إشكال، ذلك أن الآية الأولى فيها: أن الإنسان
لا يملك إلا سعيه ولا يملك سعي غيره {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا
سَعَى} ، فملكيته محصورة بسعيه، ولا ينفعه إلا سعيه، بينما الآية الأخرى فيها
أن الذرية إذا آمنت فإنها تلحق بآبائها في الجنة وتكون معهم في
درجتهم وإن لم تكن عملت عملهم، فالذرية إذا استفادت من عمل غيرها، قال تعالى:
{وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا
بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ} ، فالآية
الكريمة تدل على أن الذرية يلحقون بآبائهم في درجاتهم ويرفعون معهم في درجاتهم وإن
لم يكن عملهم كعمل آبائهم، فظاهر الآية أنهم انتفعوا بعمل غيرهم وسعي غيرهم، بينما
الآية الأخرى أن الإنسان لا ينفعه إلا سعيه
Jawab : Antara dua ayat
terdapat isykal (pertentangan), hal itu karena ayat pertama mengandung
pengertian bahwa manusia tidak memiliki kecuali usahanya dan tidak memiliki
usaha orang lain { dan tiada ada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} maka
kepemilikannya hanya sebatas dengan usahanya sendiri dan tidak mendapat manfaat
kecuali usahanya, sementara ayat lainnya tentang keturunan apabila beriman maka
terhubung dengan ayah-ayah mereka didalam surga dan bersama mereka didalam hal
kedudukan mereka, meskipun mereka tidak mengamalkan amal mereka, keturunan
(cucu-cucu) mendapat manfaat (faidah) dari amal orang lain , Allah berfirman {
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka , dan Kami tiada
mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka } maka ayat yang mulya ini
menunjukkan bahwa cucu-cucu tetap dihubungankan dengan ayah-ayah mereka didalam
hal kedudukan mereka dan kedudukan mereka di angkat walaupun amal mereka tidak
seperti amal ayah-ayah mereka, maka maksud dhahir ayat adalah bahwa mereka
mendapatkan manfaat dengan amal (perbuatan) selain mereka dan usaha orang lain,
sedangkan ayat yang lain adlah bahwa manusia tidak bisa mendapat manfaat
kecuali usahanya.
وقد أجاب العلماء عن هذا بعدة أجوبة: الجواب الأول: أن الآية
الأولى {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} مطلقة والآية الثانية
{أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ} مقيدة. والمطلق يحمل على المقيد كما هو مقرر
في علم الأصول. والجواب الثاني: أن الآية الأولى تخبر أن الإنسان لا يملك إلا
سعيه، ولا ينفعه إلا سعيه، ولكنها لم تنف أن الإنسان ينتفع بعمل غيره، من غير تملك
له، فالآية الأولى في الملكية، والثانية في الانتفاع، أن الإنسان قد ينتفع بعمل
غيره وإن لم يكن ملكه، ولهذا ينفعه إذا تصدق عنه، وينفعه إذا استغفر له، ودعي له،
فالإنسان يستفيد من دعاء غيره، ومن عمل غيره، وهو ميت. والانتفاع غير الملكية،
فالآية الأولى في نوع، والآية الثانية في نوع آخر، ولا تعارض بينهما. هذا الجواب
أحسن من الأول في نظري، فهذا الجواب هو الراجح في نظري.
Dan sungguh ulama telah
menjawab tentang hal ini dengan sejumlah jawaban :
Pertama, bahwa ayat pertama {
wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa } adalah mutlak, dan ayat kedua
{alhaqnaa bihim dzurriyyatahum} adalah muqayyad. Dan yang mutlak dibawa ke yang
muqayyad sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul.
Kedua, bahwa ayat pertama
mengkhabarkan tentang manusia tidak memiliki kecuali usahanya sendiri, dan
tidak mendapat manfaat kecuali usahanya sendiri, akan tetapi tidak menafikan
bahwa manusia mendapat manfaat dari amal (usaha/perbuatan) orang lain dan dari
milik orang lain untuknya, maka ayat pertama adalah tentang milkiyah
(kepemilikan), dan ayat kedua tentang intafa’ (kemanfaatan), bahwa manusia
sungguh mendapatkan manfaat dengan amal orang lain walaupun tiada miliknya,
oleh karena inilah seseorang mendapatkan manfaat apabila menshadaqahkan
untuknya, dan mendapatkan manfaat apabila di mohonkan ampun untuknya, dan
berdo’a untuknya. Maka manusia mendapatkan faidah dari do’a orang lain dan
dari amal orang lain, maksudnya mayyit bisa mendapat manfaat.
Dan manfaat bukan
kepemilikan. Ayat pertama adalah satu hal, dan ayat kedua adalah satu hal yang
lain, keduanya tidak bertentangan, jawaban inilah yang lebih bagus dari yang pertama
menurut tinjauanku, jawaban ini juga adalah rajih (kuat) menurut tinjauanku.
وهناك جواب آخر: هو أن الآية الأولى {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ
إِلَّا مَا سَعَى} منسوخة؛ لأنها في شرع من قبلنا لأن الله تعالى يقول: {أَمْ لَمْ
يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى أَلَّا تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} ،
فهذه تحكي ما كان في صحف موسى وصحف إبراهيم عليهما السلام، لكن جاءت شريعتنا بأن
الإنسان ينتفع بعمل غيره، فيكون ذلك نسخًا، ولكن هذا الجواب ضعيف، والجواب الذي
قبله أرجح في نظري، والله أعلم.
Dan disana juga ada jawaban
lainnya, yakni bahwa ayat pertama { wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa }
mansukh, karena sesungguhnya itu pada syariat umat sebelum kita (syar’u man
qablanaa), sebab Allah berfirman : “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa
yang ada dalam lembaran-lembaran Musa ? , dan lembaran-lembaran Ibrahim yang
selalu menyempurnakan janji? , (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya,” maka ini mengisahkan apa yang ada pada
shuhuf Nabi Musa ‘alayhiwa salam dan Nabi Ibrahim ‘alayhis salam, akan tetapi
telah datang pada syariat kita bahwa manusia mendapatkan manfaat dengan amal
orang lain, maka keberadaanya itu telah di hapus, namun jawaban ini lemah, dan
jawaban ulama sebelumnya itulah yang lebih rajih dalam tinjauanku. Wallahu
A’lam.
Namun,
didalam kitab yang sama terkait membaca surah al-Fatihah untuk orang mati, beliau
mengingkarinya, sebagaimana tercantum pada:
أما قراءة الفاتحة لروح الميت، فهذا لا أصل له في الشرع، ولم يرد
به دليل عن النبي صلى الله عليه وسلم، وإنما الوارد في الكتاب والسنة هو الدعاء
للميت والاستغفار له، والصلاة على جنازته، وكذلك التصدق عنه، وغير ذلك من أنواع
البر، كالحج عنه والعمرة عنه، فهذه الأمور تصل إلى الميت بإذن الله إذا تقبلها
الله، وكذلك الأضحية يضحى عن الميت، كل هذه الأمور ورد الشرع بأنها ينتفع بها
الميت
“Adapun membaca al-Qur’an
untuk roh orang mati, ini tidak ada asalnya pada sisi syariat dan tidak
ada dalil yang warid tentang hal itu dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam,
sebaliknya yang warid didalam al-Kitab dan As-Sunnah adalah do’a untuk mayyit,
istighfar untuk mayyit, shalat atas jenazahnya dan demikian juga dengan
shadaqah darinya untuk mayyit, serta berbagai macam perkara kebaikan lainnya
seperti haji dan umrah untuk mayyit. Maka ini merupakan perkara-perkara yang
sampai kepada mayyit dengan idzin Allah apabila Allah menerimanya
(mengabulkannya). Seperti itu juga dengan penyembelihan (berkorban) untuk
mayyit, setiap perkara ini telah warid dalam syariat oleh karena itu bermanfaat
bagi orang mati”.
Juga sebuah
jawaban pada Majmu' Fatawa :
الجواب: الفاتحة من أعظم سور القرآن، بل هي أم القرآن، ولها فضل
عظيم، ولكن قراءتها في مثل هذه الحال بأن تقرأ في بعض الأحوال للنبي، أو لغيره، أو
لروح فلان، أو لروح الميت، هذا من البدع، لأنه لم يرد به دليل عن النبي صلى الله
عليه وسلم
“Surah al-Fatihah termasuk
paling agungnya surah al-Qur’an bahkan merupakan Ummul Qur’an serta memiliki
fadliyah yang agung, akan tetapi membacanya untuk Nabi atau yang lainnya, atau
untuk ruh Fulan atau untuk ruh orang mati, maka ini termasuk bid’ah, karena
tidak warid tentang hal itu dalil dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam”.
||| ABDUL 'AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ |||
Merupakan salah seorang tokoh Wahhabiyah yang juga pernah menjadi ketua
Lajnad Daimah Saudi. Beliau mengingkari pembacaan al-Qur’an untuk orang mati
didalam banyak fatwa yang beliau keluarkan. Salah satunya termaktub didalam
kitab beliau :
القراءة على الأموات ليس لها أصل يعتمد
عليه ولا تشريع، وإنما المشروع القراءة بين الأحياء ليستفيدوا ويتدبروا كتاب الله
ويتعقلوه، أما القراءة على الميت عند قبره أو بعد وفاته قبل أن يقبر أو القراءة له
في أي مكان حتى تهدى له فهذا لا نعلم له أصلا
“Bacaan al-Qur’an atas orang-orang mati tidak ada
asal yang menguatkan atasnya dan tidak pula di syariatkan. Sebab yang
disyariatkan adalah membaca al-Qur’an diantara orang-orang yang hidup supaya
mereka mengambil pelajaran dan mentadzabburi Kitabullah, adapun membaca
al-Qur’an atas orang-orang mati disamping quburnya atau setelah wafatnya
sebelum di quburkan atau membaca al-Qur’an baginya ditempat mana saja hingga
menghadiahkan untuk mayyit, kami tidak mengetahui asal masalah ini”.
Jawaban beliau lainnya ketika ditanya pertanyaan yang sama :
أما قراءة القرآن فقد اختلف العلماء في
وصول ثوابها إلى الميت على قولين لأهل العلم، والأرجح أنها لا تصل لعدم الدليل؛
لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يفعلها لأمواته من المسلمين كبناته اللاتي متن
في حياته عليه الصلاة والسلام، ولم يفعلها الصحابة رضي الله عنهم وأرضاهم فيما
علمنا، فالأولى للمؤمن أن يترك ذلك ولا يقرأ للموتى ولا للأحياء ولا يصلي لهم،
وهكذا التطوع بالصوم عنهم؛ لأن ذلك كله لا دليل عليه، والأصل في العبادات التوقيف
إلا ما ثبت عن الله سبحانه أو عن رسوله صلى الله عليه وسلم شرعيته
“Tentang membaca al-Qur’an, maka sungguh ulama
berselisih tentang sampai pahalanya kepada mayyit atas dua qaul, sedangkan yang
lebih rajih bahwa itu tidak sampai, karena ketiadaan dalil dan karena
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salam tidak melakukannya kepada orang-orang
mati diantara kaum Muslimin, seperti kepada putri-putri beliau yang wafat pada
masa beliau shallallau ‘alayhi wa sallam, dan para sahabat radliyallahu ‘anhum
tidak pula mengerjakannya, maka yang lebih utama bagi mukmin agar meninggalkan
yang demikian dan tidak membaca al-Qur’an untuk orang mati serta tidak pula
untuk orang hidup, dan tidak sampai kepada mereka, seperti itu juga puasa
sunnah atas nama mereka, karena sesungguhnya yang demikian semuanya tidak ada
dalil atasnya, sedangkan asal ibadah sendiri adalah tauqifiyyah kecuali apa
yang telah tsabit dari Allah Ta’alaa dan dari Rasulu-Nya shallallah ‘alayhi wa
sallam pensyariatannya”.
Lagi, tentang thawaf dan membaca al-Qur’an untuk orag mati, dan berikut
jawabab bin Baz :
س: أقوم
أحيانا بالطواف لأحد أقاربي أو والدي أو أجدادي المتوفين ما حكم ذلك؟ وأيضا ما
حكم ختم القرآن لهم؟ جزاكم الله خيرا. ج: الأفضل ترك ذلك؛ لعدم الدليل عليه،
لكن يشرع لك الصدقة عمن أحببت من أقاربك وغيرهم إذا كانوا مسلمين، والدعاء لهم،
والحج والعمرة عنهم، أما الصلاة عنهم والطواف عنهم والقراءة لهم، فالأفضل تركه؛
لعدم الدليل عليه. وقد أجاز ذلك بعض أهل العلم قياسا على الصدقة والدعاء، والأحوط
ترك ذلك. وبالله التوفيق."
“Soal ; aku melakukan thawaf untuk salah satu
kerabatku atau orang tuaku atau kake-kakekku yang telah wafat, apa hukum yang
demikian ? dan juga apa hukum mengkhatamkan al-Qur’an untuk mereka ? Semoga
Allah membalas kebaikan anda.
Jawab : Yang lebih afdlal (utama) meninggalkan yang
demikian, karena ketiadaan dalil atas hal itu, akan tetapi disyariatkan bagi
anda adalah shadaqah atas nama orang-orang yang anda dikasihi baik kerabat anda
dan yang lainnya, apabila mereka muslim, juga berdo’a untuk mereka, berhaji dan
ber-umrah atas nama mereka. Adapun shalat atas nama mereka, thawaf atas nama
mereka dan membaca al-Qur’an untuk mereka, yang lebih utama adalah
meninggalkannya karena ketiadaan dalil atas hal tersebut, dan sungguh sebagian
ahlul ilmi memperbolehkan yang demikian sebagai qiyas atas shadaqah dan do’a,
namun yang lebih tepat adalah meninggalkan yang demikian. Wabillaahit Tawfiiq.
||| MUHAMMAD BIN IBRAHIM BIN
ABDUL LATHIF (ALU ASY-SYAIKH) |||
Merupakan
keturunan (cucu) dari Muhammad bin Abdul Wahab. Didalam kitabnya, beliau tidak
menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati namun beliau menyetujui bahwa
orang lain yang membaca al-Qur’an untuk orang yang menjelang mati adalah
perkara masyru’ :
القراءة على الميت سواء كان في المسجد أو عند القبر أو في البيت ثم
عمل طعام بعد الختمة وبعد الوفاة بثلاثة أيام يوزع على الفقراء من الأمور
المبتدعة. وأما القراءة المشروعة فهي ما كان قبل الموت وعند الاحتضار كقراءة سورة
"يس" أو " الفاتحة" أو " تبارك" أو غير ذلك من كتاب
الله
“Membaca al-Qur’an untuk
mayyit sama saja baik di masjid, atau disamping kubur atau di rumah, kemudian
membuat makanan setelah khataman dan setelah wafatnya mayyit selama 3 hari
untuk dibagikan kepada orang-orang faqir maka itu termasuk perkara bid’ah,
adapun membaca al-Qur’an yang masyru’ adalah sebelum meninggal dunia dan disamping
orang yang menjelang mati seperti membaca Yasiin atau surah al-Fatihah atau Tabarak
atau surah-surah al-Qur’an lainnya”
||| KOMISI FATWA KERAJAAN BANI SAUD |||
Lajnah
Daimah atau lengkapnya al-Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’
merupakan komisi fatwa kerajaan Arab Saudi, semacam “MUI” yang ada di
Indonesia. Terkait pembacaan al-Qur’an untuk orang mati, Lajnah ad-Daimah dalam
berbagai fatwanya tidak menyetuji amalan tersebut dan menyatakan tidak sampai.
Diantaranya adalah sebuah jawaban dari pertanyaan ke-3 dari fatwa no. 2634
yang anggotanya Syaikh Abdullah Qu’ud, Syaikh Abdur Razaq sebagai wakil ketua
dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua.
ج3: أولا: إذا قرأ إنسان قرآنا ووهب ثوابه للميت فالصحيح أنه لا
يصل إليه ثواب القراءة؛ لأنها ليست من عمله، وقد قال تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} وإنما هي من عمل الحي، وثواب عمله له، ولا
يملك أن يهب ثواب قراءة لغيره
“Jawaban : apabila seorang
manusia membaca al-Qur’an dan memberikan pahalanya untuk orang mati, maka
yang shahih sesungguhnya pahala bacaan al-Qur’an itu tidak sampai, karena
bukan amalnya, dan sungguh Allah telah berfirman {dan sungguh tiada bagi
manusia kecuali apa yang di usahakannya} sebab itu termasuk amal orang yang
hidup dan pahala amalnya baginya, pahala bacaan al-Qur’annya tidak bisa
dimiliki oleh orang lain”.
||| PENUTUP |||
Demikianlah
apa yang bisa penulis sampaikan, kurang lebih kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya atas segala khilaf yang berasal kekurangan al-faqir, dan
sebagai kesimpulan :
v Kegiatan
tahlilan atau amalan-amalan yang ada didalam tahlilan tidak ada satupun yang
bertentangan dengan syariat dan kaidah-kaidah madzhab Syafi’i. Bahkan
kebijaksanaan ‘ulama begitu nampak dalam penerapannya pada kegiatan tahlilan.
v Motivasi
memberi makan didalam tahlilan hendaknya adalah untuk bershadaqah yang
pahalanya untuk mayyit agar memperoleh pahala kesunnahan bershadaqah, atau
dalam rangka menghormati tamu bukan motivasi lain yang tidak dianjurkan oleh
syariat. Harta yang digunakan adalah harta yang halal bukan terlarang. Makanan
yang berasal dari harta yang halal, maka halal untuk dimakan.
v Adanya
kegiatan tahlilan yang kurang sehat yang terjadi pada lingkungan yang kurang
paham mengenai maksud, tujuan serta penerapannya, bukanlah “dalih” untuk
melarang tahlilan, sebaliknya hal itu harus diperbaiki agar sesuai dengan ketentuan
hukum Islam.
v Tidak semua
perkata baru atau bid’ah jatuh pada status hukum haram. Bahkan, para ulama
telah memberikan contohnya dalam kitab-kitab mereka tentang adanya perkara baru
(bid’ah) yang hanya jatuh pada status hukum makruh dan ini banyak tersebar
dalam kitab-kitab mereka.
v Ulama hanya
berbeda dalam penyebutan perkara yang dimanakan bid’ah, sebagain menyebutnya
sebagai bid’ah, sebagian tidak, namun esensinya sama.
v Aliran
Wahhabiyah dengan aqidahnya mujassimah atau musyabbihah maka termasuk dalam
kategori bid’ah yang haram (bid’ah muharramah).
Semoga
dengan semua ini bisa memberikan informasi berimbang mengenai komentar para
ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah demikian juga komentar dari yang tidak menyetujui.
Oleh : Al-Faqir
Al-Tsauriy
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik