1. Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH”
Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal
maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan
arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma,
SEBAGIAN makhluk hidup.Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang
penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi: Khalaqtanii min naarin. Artinya :
Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat
diterjemahkan secara mutlak dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya
jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai
dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna
KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari
BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan
SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat
dengan sabda Nabi saw., yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan
falahu ajruha wa ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiapa
memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.
Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh
orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi saw. dan
dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah
(menciptakan perbuatan baik) adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai
pengharakatan pada mushaf Alquran, serta pembagiannya pada juz, ruku`, maqra,
dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat
diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN
DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya :
1. Adanya sebagian masyarakat yang secara kontinyu
bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan
Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi
sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah
furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal sama-sama mempunyai
pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena merasa paling benar
sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik
yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan
syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik).
Contohnya:
- Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan shalat sunnah malam hari dengan berjamaah
yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang
tidak didapati tuntunannya secara langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama
salaf, tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang
dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih,
melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat Alquran-Hadits yang
memerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan adanya perintah menghidupkan
malam di bulan Ramadhan.
Tetapi mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di
bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah
jelas-jelas perbuatan BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan
ulama salaf. Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil
atau kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi saw. mengadakan
isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak
pernah dilakukan oleh Nabi saw. namun masih terdapat dalil-dalil
Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.
Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan
masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas,
Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam
kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah,
astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang jelas- jelas perintah
Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi saw. :
Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang
jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan
kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam
Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu
rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID`AH, tetapi
termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH.
Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di
bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw. dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah
lewat pemancar radio atau menerbitkan majalah dan bulletin. Bahkan pada saat
awal Islam berkembang, Nabi saw. pernah melarang penulisan apapun yang
bersumber dari diri beliau saw. selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam
sabda beliau saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal
quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran,
barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir
perkembangan Islam, Nabi saw. menghapus larangan tersebut dengan Hadits : Uktub
li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan
Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat
dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas
sangat berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin,
penulis hanyalah mencetuskan pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada
syarat-syarat yang mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi
standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh
dari standar kebenaran syariat.
Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat
tsiqah (terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam
periwayatan dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat berbeda dengan penulisan
Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk diterima-tidaknya
Hadits yang diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya,
jika berisi nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat
dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau
bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh ulama salaf
manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam
ajaran Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.
2. Mengenal Makna Bidah
Ada sekelompok golongan yg suka membid’ah-bid’ahkan
(sesat) berbagai kegiatan yang baik di masyarakat, seperti peringatan Maulid,
Isra’ Mi’raj, Yasinan mingguan, Tahlilan dll. Kadang mereka berdalil dengan
dalih “Agama ini telah sempurna” atau dalih “Jika perbuatan itu baik, niscaya
Rasulullah saw. telah mencontohkan lebih dulu” atau mengatakan “Itu bid’ah”
karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Atau
“jikalau hal tersebut dibenarkan, maka pasti
Rasulullah saw. memerintahkannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari
Rasulullah?”
Mem-vonis bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru)
dengan argumen di atas adalah lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda
Rasul saw. tidak mencontohkan ataupun memerintahkannya. Teriwayatkan dalam
berbagai hadits dan dalam fakta sejarah.
1. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu
Hurairah bahwa Nabi saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh),
“Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya
yang pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara
terompamu di surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalkan amalan yang paling
aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di malam maupun siang
hari kecuali aku shalat untuk bersuciku itu”.Dalam riwayat at Turmudzi yang ia
shahihkan, Nabi saw. berkata kepada Bilal,
‘Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal
berkata, “Aku tidak mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan
aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk
shalat (sunnah).” Maka Nabi saw. bersabda “dengan keduanya ini (engkau
mendahuluiku masuk surga).
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia
berkata, “Hadis shahih berdasarkan syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan
adz Dzahabi mengakuinya.
Hadis di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat
ini (Bilal) melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah
dilakukan atau ada perintah dari Nabi saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis
lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu,
Dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami
shalat di belakang Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari
ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha mendengar orang
yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca, “Rabbanâ laka
al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami, hanya untuk-Mu
segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta diberkahi).
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah
orang yang membaca kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda,
“Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan
itu.”
Ibnu Hajar berkomentar, “Hadis itu dijadikan
hujjah/dalil dibolehannya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa yang
diajarkan (khusus oleh Nabi saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan.
Kedua dibolehkannya mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak menggangu.”
3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani
meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata,
Ada seorang lali-laki datang sementara orang-orang
sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ
كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah
yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi?
Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku
tidak mengucapkannya melainkan menginginkan kebaikan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Aku benar-benar menyaksikan
pintu-pintu langit terbuka untuk menyambutnya.”
Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku
tidak pernah meninggalkannya.”
Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka
shalat, hanya saja redaksi yang ia riwayatkan: “Kalimat-kalimat itu direbut
oleh dua belas malaikat.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak
pernah meningglakannya semenjak aku mendengar Rasulullah saw. bersabda
demikian.”
Di sini diterangkan secara jelas bahwa seorang sahabat
menambahkan kalimat dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan shalat yang tidak/
belum pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. Dan reaksi
Rasul saw. pun membenarkannya dengan pembenaran dan kerelaan yang luar biasa.
Al hasil, Rasulullah saw. telah men-taqrîr-kan
(membenarkan) sikap sahabat yang menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak
pernah beliau ajarkan.
4. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya,
pada bab menggabungkan antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia
berkata,
“Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di
masjid Quba’, setiap kali ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah
Qul Huwa Allahu Ahad sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya.
Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka
berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah
dengan surah lain, jadi sekarang engkau pilih, apakah membaca surah itu saja
atau membaca surah lainnya saja.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan apa
yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan aku mau mengimami kalian,
kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi imam.” Sementara mereka meyakini
bahwa orang ini paling layak menjadi imam shalat, akan tetapi mereka keberatan
dengan apa yang dilakukan.
Ketika mereka mendatangi Nabi saw. mereka
melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “hai fulan, apa yang
mencegahmu melakukan apa yang diperintahkan teman-temanmu? Apa yang mendorongmu
untuk selalu membaca surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab,
“Aku mencintainya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kecintaanmu kepadanya
memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah sunnah dan jalan Nabi saw. dalam menyikapi
kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak diajarkan secara khusus oleh beliau,
akan tetapi selama amalan itu sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau
bawa maka beliau selalu merestuinya. Jawaban orang tersebut membuktikan motifasi
yang mendorongnya melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah khusus
dalam masalah itu, akan tetapi ia menyimpulkannya dari dalil umum dianjurkannya
berbanyak-banyak berbuat kebajikan selama tidak bertentangan dengan dasar
tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam
yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan surah al Ikhlash
kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang kontinyu
diklakukan Nabi saw. adalah yang seharusnya dipelihara, akan tetapi ia
memberikan kaidah umum dan bukti nyata bahwa praktik-prakti seperti itu dalam
ragamnya yang bermacam-macam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan
yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti ia bid’ah (sesat).
5. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab at Tauhid,
dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus
seorang memimpin sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin
shalat membaca surah tertentu kemudian ia menutupnya dengn surah al Ikhlash
(Qulhu). Ketika pulang, mereka melaporkannya kepada nabi saw., maka beliau
bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka bertanya
kepadanya, ia menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat ar Rahman (Allah), dan
aku suka membacanya.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa
Allah mencintainya.” (Hadis Muttafaqun Alaihi).
Apa yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah
dilakukan oleh Nabi saw., namun kendati demikian beliau membolehkannya dan
mendukung pelakunya dengan mengatakan bahwa Allah mencintainya.
3. Pertanyaan dan Jawaban Seputar Bidah
Orang-orang yang tidak sependapat dengan amalan warga
NU biasanya membidahkan amalan warga Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut:
·
Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang
baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR.
Bukhari)
·
Sesungguhnya ucapan yang paling benar
adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad,
sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang
diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan
(menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)
·
Apabila kamu melihat orang-orang yang
ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasulullah Saw.) tiada maka
tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan
kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin
merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru
bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan
meningkatkan derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahawi)
·
Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang
sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau
mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas
bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?"
Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)
·
Tiga perkara yang aku takuti akan
menimpa umatku setelah aku tiada: kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan,
fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
·
Barangsiapa menipu umatku maka baginya
laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan, "Ya
Rasulullah, apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab,
"Mengada-adakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-orang
kepadanya." (HR. Daruquthin dari Anas).
Setelah kita membaca hadits-hadits di atas Coba
saudara cermati lagi. Telah kami terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunnah
Wal Jamaah sangat menolak bid'ah dhalalah, persis dengan hadits2 di atas, yaitu
menolak perilaku menciptakan ibadah baru yang bertentangan dengan ajaran
Syariat Islam, contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim, karena
perilaku itu bertentangan dengan Alquran, falaa taq'uduu ma'ahum hatta
yakhudhuu fi hadiitsin ghairih (janganlah kalian duduk dengan mereka -non
muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan
ritual). Serta dalil lakum diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku
agamaku. Jadi jelaslah, perilaku “Doa Bersama Muslim non Muslim” ini ini
jelas-jelas bid'ah dhalalah, tidak ada tuntunannya sedikitpun di dalam Islam.
Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa
untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan
syariat Islam,
bahkan ada perintahnya baik dari Alquran maupun
Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai
dengan
·
Mengumpulkan masyarakat untuk hadir di
majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur : idza
marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya
rasulullah? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka
masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai
Rasulullah? Beliau menjawab : majlis dzikir).
·
Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca
Alfatihah ini perintah syariat ?
·
Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin
juga perintah syariat ?
·
Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah
Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ringan
dari ayat Alquran).
·
Baca subhanallah, astaghfirullah,
shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah.
·
Doa penutup.
·
Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud
dhaif, menghormati tamu sesuai dengan kemampuannya.
Tentunya dalam masalah ini sangat bervariatif sesuai
dengan tingkat kemampuannya, tak ubahnya saat Akhi/keluarga Akhi melaksnakan
pernikahan dengan suguhan untuk tamu, yang disesuaikan dengan kemampuan tuan
rumah.
Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan
acara, maka itulah yang dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah
mengamalkan tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen dari ritual
tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw. maka yang demikian inilah yang
dinamakan dengan BID'AH HASANAH.
Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah
ini? Tiada lain adalah Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala
beliau tahu bahwa Nabi mengajarkan shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan
Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah
beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi
melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian.
Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat
kekhalifahan Sahabat Umar, beliau berinisiatif mengumpulkan semua masyarakat
untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh di dalam
masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu haadzihi (sebaik-baik bid’ah
adalah ini = pelaksanaan tarawih 20 rakaat dengan berjamaah di dalam masjid
sebulan penuh). Bid'ahnya sahabat Umar ini terus berjalan hingga saat ini,
malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Saudi Arabia seperti kita lihat
sampai saat ini bahwa di Masjidil Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat sebulan
penuh, sekaligus dengan mengkhatamkan Qur’an. Hal ini sama lestarinya dengan
bid'ahnya para Wali songo yang mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim
Indonesia. Jadi baik Sahabat Umar dan pelanjut shalat tarawih di masjid-masjid
di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutnya umat Islam
Indonesia, adalah pelaku BID'AH HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan,
fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min
ujurihim syaik (Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan hasanatan (perbuatan
baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan dengan syariat), maka
ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari orang yang mengamalkan
ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit pun.
Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali
songo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari kiriman
pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-beliau itu.
Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah maupun Bid'ahnya Tahlilan dan
amalan baik umat Islam yang lainnya.
Setelah baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal
perbuatan baik yang baru tetap dilakukan. Umat islam mengakuinya berdasar
dalil-dalil yang shahih. Simak berbagai contoh berikut,
1. Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat
Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi
sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian
oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat/
surat, harakat tanda baca, dll.
2. Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin
Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada
seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat
tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa
3. Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin
Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum
khotbah Jum’at.
4. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits
shohih, hasan, dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu
ke hadits lainnya. Bahkan Rasul saw. pernah melarang menuliskan hadits2 beliau
karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru digalakkan sejak
era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar abad ke 10 H.
5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab
nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll
6. Saat ini melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama
dengan zaman Rasul saw. atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di
hotel berbintang penuh fasilitas kemewahan, tenda juga diberi fasiltas
pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau
kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
7. Pendirian Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang
dalam pengajarannya dipakai sistem klasikal.
dan masih banyak contoh-contoh lain.
4. Bidah sebuah kata sejuta makna
Setelah adanya uraian singkat tapi cukup jelas pada
halaman sebelum ini mengenai faham Salafi/Wahabi dan pengikutnya, marilah kita
teruskan mengupas apa yang dimaksud Bid’ah menurut syari’at Islam serta
wejangan/ pandangan para ulama pakar tentang masalah ini. Dengan demikian insya
Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang dilarang dan yang dibolehkan dalam
syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan
dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang
berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak
dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah
ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap-
kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian
sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit
dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada
dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah.
Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka
akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa
Rasulullah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian
memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya
kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya
tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda)
yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk
ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah,
dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori
hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa
yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala
orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga.
Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan
dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’
(Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits
yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu
Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah
namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian
berdasar kan keumuman lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui
dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw., berhadap-hadapan
dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan
petunjuk Rasulullah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan
kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah
sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang
menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an
Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah
.Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan
Rasulullah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah
dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh
firman Allah SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah
berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah
itu’ .
Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at
sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan
tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada
keridhoan Allah SWT. Demikianlah menurut penjelasan Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul
Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang
berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu
berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang
dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai
peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath
dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa
beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah,
dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan
Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah
saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu
persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak
diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang
yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap
berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan
itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah saw.
dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan
mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan
yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang
terjadi sepeninggal Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah
beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak
sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw., itulah yang kita namakan
Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan
lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu
kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah saw.
termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang
dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat
mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima kenyataan
yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan
Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang
mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw.
Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu
kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw.
merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang
baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk
beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang
mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus
maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak
diperintah- kan secara khusus oleh Rasulullah saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan
hasan yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sering membenarkan prakarsa baik
(umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para
sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat
mengambil prakarsa dan mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya
sendiri, bahwa yang dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh
agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang
lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah SWT. dalam surat
Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh
keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar
prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil
prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang
telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh
para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan
dengan sunnah Rasulullah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak
bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka
prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan
tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
saw., dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah
menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah,
sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’
hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’
disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu
saja dengan berdalil sabda Rasulullah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…”
(“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap
amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam
pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja-kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada
hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang
membuktikan sikap Rasulullah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal
kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’) yang dilakukan oleh para sahabat- nya
yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang
dikerjakan setelah wafatnya Rasulullah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw.
‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana
amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka
kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca uraian
selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa
sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata
bid’ah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata
Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi
beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua
riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة
ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ
السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan
bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah
yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ
ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ
أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ
مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ
مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama,
perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah
bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang
mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang
disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang
baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para
Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak
lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu
‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan
lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu
adalah segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah
muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya
bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum syari’at,, hukumnya tetap terbagi
menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya
haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul
Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang
diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu
dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia
tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang
dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk
diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika
tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu
terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh
ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul
Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii
Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus
Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam
Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori,
dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak
saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu
dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka
sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah
(bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang
tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah
itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar
bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy
Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul
Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi
Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim
jilid 6/154—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti menyanggah orang yang
menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi
siapapun yang ingin memahami Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum
muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan
memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum
pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan
hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur’an
dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bid’ah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan),
memberi warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan), memakai
kopyah, memakai pakaian batik dan lain sebagainya.
5. Bid’ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai
dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak mengandung kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah
dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para
ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah saw. semuanya
dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta
pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh
sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal
tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan
ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang
hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang
mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam
adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah
Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan
seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang
pada zaman Rasulullah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar
ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara,
membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara
untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu
kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang
yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang
dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat
dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan
Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman
karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada
huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan
tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan
Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang
diperintahkan Allah SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan
cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw.,
lalu menolak atau melarang penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur, tank-tank
raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang
baru seperti mengada kan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal
bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan
sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan
syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya
Rasulullah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik
haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya
Rasulullah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan
hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full ac sehingga orang
tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap)
untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji
tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun
tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama
masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk
dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah
dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada
zaman sekarang teknologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran
dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa
para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan
Ibnu Katsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang
diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at,
semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan
dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum
salaf sepeninggal Rasulullah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan
Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan
setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat
diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut
dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us
Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang
dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah
dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa
hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau
tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan
kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab
dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam
kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan
orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf
dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah ,
mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain
sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di
Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina),
tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak
ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah
pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak
kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan
niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang
mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum
Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering
diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu
Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá
perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika
ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon
hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal
tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal
yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada
sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori
dalam shohihnya juz 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu
sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah
menyaksikan Rasulullah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam
Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang
mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.
Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang
duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha.
Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha
ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal
cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw.
tidak mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan
sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan
bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan ke
neraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan
dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh
isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah
dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan
hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah
yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki
Al-Hasani yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif
tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extrem) bahwa apa-apa
yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan
tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang
mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulullah saw.) menyebutnya
bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah
dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah SWT. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).
Allah SWT. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat
kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata;
bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ(رواه مسلم)
‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia
mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam
Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya
dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan
yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang
mengamalkannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas
riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud
dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan
gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulullah saw. dan
Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud
dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna
hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits
dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan
adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada
pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk
kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara
agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan
hadits Rasulullah saw. berikut ini:
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan
sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah
yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang
dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau
yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah
sepeninggal Rasulullah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas,
berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi
“. Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama
dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu),
zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi,
mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya
mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulullah dan Ulul-amri
(orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui
dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus
kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka
itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud
ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan
Rasulullah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “ .
Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan
dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah
dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa
keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat)
terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar
syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu
antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa)
dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat
pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara
baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap
bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa
adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama
adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash
dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah,
sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak
bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat
diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang
tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw., para sahabat dan mereka yang
hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah
mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah
yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak
bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang
lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya
dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini,
kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu
semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah SWT. dan menjauhi
yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari
pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun
diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan
tersebut akan diberi oleh Allah SWT. pahala yang sama dengan orang yang
mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang
kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada
kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada
semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak
hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap
ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu
sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan
hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik
antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara
muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan,
antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik
pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia
tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi
Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat
klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih
dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus
berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan
sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi
orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
5. Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulullah
saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas
prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah SWT. atau Nabi saw., dan
bagaimana Rasulullah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya
beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru
(bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan, diajarkan atau
diperintah- kan oleh Rasulullah saw. selama hal ini tidak merubah dan keluar
dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi
dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama dan mendapat pahala.
- Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulullah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan
disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang
mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa
Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada
tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua
raka’at demi karena Allah SWT. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath
mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad
menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal
kepada Rasulullah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata
dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
- Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal
dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya
sendiri-sendiri. Rasulullah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula
melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak
beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan
prakarsa dua orang sahabat itu.
- Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang
Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan
‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau
itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban
mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan
sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulullah saw.
bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab:
Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30
malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287
mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu
dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur)
jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan
dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw..
Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi
makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits
tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu
shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan
kebiasa- an yang telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan
orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan
keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq
untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq
Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah
- Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
- Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulullah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulullah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah
dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw. Itu hanya
merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulullah saw. tidak
mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan
ucapan “Allah menyukainya”.
- Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam
kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat
melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya
kepada surah tersebut. Namun Rasulullah saw. menggembirakan orang itu dengan
pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw.
meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna
hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat
mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan;
‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang
lain, mungkin Rasulullah saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal
Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia
mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas),
Rasulullah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik
dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits
tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau
ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu
tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi
Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun
pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu
merupa- kan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa
perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib
dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan
diperintahkan oleh Rasulullah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah
dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. bila tidak keluar dari
ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang
diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir
kepada Allah SWT.
- Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulullah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari;
bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man.
Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang
mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul
huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu
(dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali
dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin
Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam
hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
- Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulullah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat
tanggapan sangat meng- gembirakan dari Rasulullah saw. itu disusun atas
dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan
atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepadanya. Karena susunan do’a
itu sesuai dengan ketentu- an syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw.
menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
- Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulullah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulullah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran
dan keridhaan Rasulullah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang
berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau saw.
sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar
mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulullah saw. tapi karena
mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih mengherankan lagi ialah ada golongan yang
bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu
sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits
Rasulullah saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan
selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al Baihaqi
dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat berdirinya
untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarkan
hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah
bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok huffaz dan mereka
juga ikut menshahih-kannya serta para ulama lainnya diantaranya Hafiz Abu
Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam
Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi
saw. tersebut dikatakan bid’ah sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam
sholat yang tersebut diatas atas prakarsanya para sahabat sendiri tidak
dipersalahkan oleh Nabi saw. malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang
membaca nya ?
- Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah SWT. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat
Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa
mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang
sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan
makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat
Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah,
seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah
diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian.
Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah saw.
Setiba dihadapan Rasulullah saw., mereka menceriterakan apa yang telah mereka
lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana
engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulullah saw.
membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing
tersebut “. (HR.Bukhori)
- Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang meriwayatkan amal perbuatan
para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani
serta dianjurkan oleh Rasulullah saw. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulullah
saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak
diperintah atau dianjurkan oleh Rasulullah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena
semua itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi
dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan
syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan
berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits
diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar
dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya,
apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah
dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak
yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan
terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا
رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku
sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan
meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas
prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah
tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh
syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu
melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti
akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah
pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab,
yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama
Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah
dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman
abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang
bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut
kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan
ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu
cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh
yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum
muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an,
sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri
pada masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa pengkodifikasian
ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau
pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah SWT.,
Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian
hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw.
yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah
Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban
ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar
dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu
merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah SWT.
membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada
pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi
itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin
Tsabit dan diperintahkan supaya melaksana- kan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an
itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin
aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? Abu Bakar
menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik! Untuk lebih detail
keterangannya silahkan membaca riwayat hadits ini yang dikemukakan oleh Imam
Bukhori dalam Shohih-nya juz 4 halaman 243 mengenai pembukuan ayat-ayat suci
Al-Qur’an.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin
Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal
pada waktu Rasulullah saw. masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban
Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri masing-masing
telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah
saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra.
Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya
Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada
diluar perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan
membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang
telah kami kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau
saw. Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulullah saw. membenarkan
serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk
kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau
memerintahkan amalan-amalan tersebut. Begitu juga prakarsa para sahabat diatas
setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk
amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulullah saw.
atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta
mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu
adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulullah saw.:
اِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ هجْرَتُهُ الَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat,
dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang
hijrahnya (tujuannya) karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya
itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah
dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulullah saw. dalam meng-
hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang
telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai
orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering
mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini
malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah
menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim
untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang
benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat
didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah SWT. atas pemahaman mereka
semacam ini.
Dalil-dalil yang membantah dan jawabannya
Hanya orang-orang egois, fanatik dan mau menangnya
sendiri sajalah yang mengingkari hal tersebut. Seperti yang telah kemukakan
sebelum ini bahwa golongan pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan
Sunnah secara tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak
sesuai dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan
berdalil hadits Rasulullah saw. berikut ini :
كُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ
فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan
sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh mereka dipandang sebagai
pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat umum, karena
terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak,
yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada
hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah
zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh
Rasulullah saw. adalah bi’dah dholalah.
Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu
membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak.
Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai
prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam sholat yang mana
sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulullah saw. Mereka juga
tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama
sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh
golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan,
adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulullah saw. tidak pernah memerintahkan dan
mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara
mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in dan
tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa
hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin
diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua
yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..?
Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan
Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang
tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering dijadikan
pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga
sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan
bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan,
peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka
langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan
sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian
terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang
awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih namun
akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat
yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan,
peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang batil/salah atau
fasid adalah penghukum- an mereka terhadap semua perbuatan amalan yang
baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih
yang tidak mengerja- kan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan
penghukuman dengan berdasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa
dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan
nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan
mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam-
kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni
amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah dikerjakan atau
diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapinya.
Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan
ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari Rasulullah saw.,
maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama tidak mengatakan bahwa
suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada keterangan
dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh
dinisbahkan kepada Rasulullah saw. bila tidak ada dalil dari
beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau
setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering
kita baca dikitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa
dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan
atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini
sama-sama ber- pedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. tetapi
berbeda cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya, karena status keshahihan
itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya. Dari sini saja kita
sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu masih
berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil
kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun
berbeda juga !!
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan
hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam
meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan
didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa macam
sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulullah saw., umpama- nya; Sunnah
Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw.
sendiri menganjur-kan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu
kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara
langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang
dalilnya/riwayat- nya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan,
melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan itu tidak
selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam
bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits
Rasulullah saw. yang menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita
belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para sahabat telah belajar
atau kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah yang ada dalilnya
juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulullah saw. Misalnya ibadah shalat
sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan
kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya,
kemudian meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah
sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak
pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja.
Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah.
Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan
sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum
pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan
oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan)
misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlilan/ yasinan dan
lain sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah
kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil baik
dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang menganjurkan agar manusia
selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala-pahala bacaan dan
amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya
mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh
syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi,
tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering diteror oleh golongan tertentu,
disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada
Rasulullah saw. yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Semuanya ini mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah SWT.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا
اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu,
maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka
berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak
mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari
Rasulullah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ
يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya
(oleh Rasulullah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh
Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka
lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka
jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulullah saw. tidak
mengatakan:
وَاِذَا لَمْ
أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku
kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk
bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang
diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa yang didalam
agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa keterangan dari
Rasulullah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak
perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri
tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik
kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang
mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS
Asy-Syura :21) serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang
telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah
Rasulullah saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat
dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu
sujud saja; Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak
tiga raka’at dan lain sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena
bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan
sesuatu itu…. adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Saya ambil
perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib
itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali
sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan
lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu
puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun
saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi bukan
masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok
agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang
diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا
تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ
بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي
يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا
وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا وَاِنْ
سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan
sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya,
dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil
(amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku
telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia
mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan
Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi
kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan
bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah SWT. mencintai
orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu
yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa
berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah SWT dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa
as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang
orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya
karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua
perahu”.
Ayat ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan
dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja.
Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu
orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga
tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata safiinah
dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah atau perahu yang
baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak
semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah hasanah
saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap
perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah SWT.berfirman : “Angin
taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun
demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu
gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah SWT.berfirman : “Ratu
Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini
juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan
seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah SWT. berfirman : “Agar
setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”.
Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang
hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang
telah diampuni oleh Allah SWT. tidaklah termasuk yang akan
memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah SWT. berfirman
mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan
bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini
tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di
Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulullah saw.
dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau
semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian
dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..”.
Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as dan bundanya
yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga
para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan
mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah
mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan
(fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat
, tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi.
Allah SWT. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal
keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi
mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah
tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala
sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah
Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman Allah ini bersifat
umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang
mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi
tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai
telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah;
mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi
(QS.Al-A’raf : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah
makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan
binatang ternak, bahkan lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang
walaupun didalamnya terdapat keumuman namun ternyata keumumannya itu tidak
terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang menunaikan sholat sebelum
matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits
ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh
hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh
dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti
dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu Hajar mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai
satu persoalan2 harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan
jelas maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian
maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksana-
kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha
terdapat penegasan Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa jasad semua anak
Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid
mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya
adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang
lain Rasulullah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para
pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash
Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya
bersifat umum, dan dalam ayat yang lain dikhususkan maksud dan maknanya,
demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada
sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu
sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’
atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya
maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat
! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja.
Allah SWT. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan
segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang
hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak kenyataan membuktikan, bahwa Rasulullah saw.
membenarkan dan meirdhoi macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah
Allah dan perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah
kami kemukakan diatas. Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu?
Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah adalah
sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang
lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang
benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat
daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu
sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang
hadits-hadits Rasulullah saw. masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita
untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/baik. Untuk
lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan
membaca buku Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh H.M.H Al-HAMID –
AL-HUSAINI.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik