HIZBUT
TAHRIR PASTI GAGAL
Jika ada
yang bertanya, tentang prospek dan masa depan Hizbut Tahrir dalam
memperjuangkan khilafah al-Nubuwwah, maka bagaimana jawaban yang paling tepat?
Jawaban yang paling tepat adalah, Hizbut Tahrir pasti memperoleh kegagalan,
bukan kesuksesan dalam memperjuangkan khilafah al-nubuwwah yang mereka
obsesikan. Mengapa demikian? Tentu, karena khilafah al-nubuwwah telah berlalu
dan perjalanan sejarah. Berkaitan dengan khilafah al-nubuwwah tersebut ada dua
hadits yang patut menjadi renungan kita, agar tidak terpengaruh Hizbut Tahrir.
Pertama, hadits shahih berikut ini:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ قَالَ حدثني
سَفِينَةُ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
الْخِلاَفَةُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ
قَالَ لِي سَفِينَةُ أَمْسِكْ خِلاَفَةَ أَبِي بَكْرٍ ثُمَّ قَالَ وَخِلاَفَةَ
عُمَرَ وَخِلاَفَةَ عُثْمَانَ ثُمَّ قَالَ لِي أَمْسِكْ خِلاَفَةَ عَلِيٍّ قَالَ
فَوَجَدْنَاهَا ثَلاَثِينَ سَنَةً قَالَ سَعِيدٌ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّ بَنِي
أُمَيَّةَ يَزْعُمُونَ أَنَّ الْخِلاَفَةَ فِيهِمْ قَالَ كَذَبُوا بَنُو
الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ شَرِّ الْمُلُوكِ.
“Sa’id bin
Jumhan berkata: “Safinah menyampaikan hadits kepadaku, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Pemerintahan Khilafah pada umatku selama tiga puluh tahun, kemudian
setelah itu dipimpin oleh pemerintahan kerajaan.” Lalu Safinah berkata
kepadaku: “Hitunglah masa kekhilafahan Abu Bakar (2 tahun), Umar (10 tahun) dan
Utsman (12 tahun).” Safinah berkata lagi kepadaku: “Tambahkan dengan masa khilafahnya
Ali (6 tahun). Ternyata semuanya tiga puluh tahun.” Sa’id berkata: “Aku berkata
kepada Safinah: “Sesungguhnya Bani Umayah berasumsi bahwa khilafah ada pada
mereka.” Safinah menjawab: “Mereka (Bani Umayah) telah berbohong. Justru mereka
adalah para raja, yang tergolong seburuk-buruk para raja”. (HR. Ahmad dan
Tirmidzi).
Hadits di
atas menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa kepemimpinan khilafah yang
mengatur roda pemerintahan umat sesuai dengan ajaran kenabian (khilafah
al-nubuwwah) dan menerapkan syariat Islam secara sempurna, hanya berjalan
selama tiga puluh tahun, yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali -radhiyallahu ‘anhum. Sebagian ulama ada yang memasukkan
masa pemerintahasan Sayidina Hasan bin Ali -radhiyallahu ‘anhuma-, ke dalam
khilafah al-nubuwwah ini, karena masa kekuasaan beliau melengkapi masa tiga
puluh tahun tersebut.
Kedua,
hadits lain yang menjelaskan tentang khilafah al-nubuwwah, adalah hadits shahih
berikut ini:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رضي الله عنه
قَالَ إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ
مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا
شَاءَ، ثُمَّ تَكُوْنُ الْخِلاَفَةُ عَلىَ مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا
شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا،
ثُمَّ يَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًّا فَتَكُوْنُ مُلْكًا مَا شَاءَ اللهُ، ثُمَّ
يَرْفَعُهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهُ ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً،
ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ. قَالَ
حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا
الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ
الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ
فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ
وَأَعْجَبَهُ.
“Dari
Hudzaifah bin al-Yaman radhyalahu ‘anhu, berkata: “Sesungguhnya Nabi SAW
bersabda: “Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya, kemudian
Allah mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang
khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya.
Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang
kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah
mengangkatnya apabila menghendakinya dan diganti dengan kerajaan yang
memaksakan kehendaknya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan
kenabian. Lalu Nabi SAW diam”. “Habib bin Salim berkata: “Setelah Umar bin
Abdul Aziz menjadi khalifah, sedangkan Yazid bin al-Nu’man bin Basyir menjadi
sahabatnya, maka aku menulis hadits ini kepada Yazid. Aku ingin mengingatkannya
tentang hadits ini [yang aku riwayatkan dari ayahnya]. Lalu aku berkata kepada
Yazid dalam surat itu: “Sesungguhnya aku berharap, bahwa Amirul Mukminin Umar
bin Abdul Aziz adalah khalifah yang mengikuti minhaj al-nubuwwah sesudah
kerajaan yang menggigit dan memaksakan kehendak.” Kemudian suratku mengenai
hadits ini disampaikan kepada Umar bin Abdul Aziz, dan ternyata beliau merasa
senang dan kagum dengan hadits ini.” (HR. Ahmad, al-Bazzar, Abu Dawud,
al-Baihaqi dan lain-lain).
Hadits
pertama membatasi khilafah selama tiga puluh tahun, yaitu masa khilafahnya
khilafahnya Khulafaur Rasyidin. Sedangkan hadits Hudzaifah bin al-Yaman,
menjanjikan adanya khilafah lagi, pasca kerajaan yang diktator dan otoriter.
Akan tetapi semua ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan khilafah
al-nubuwwah dalam hadits Hudzaifah tersebut adalah khilafahnya Umar bin Abdul
Aziz. Oleh karena itu, al-Imam al-Syafi’i:
اَلْخُلَفَاءُ خَمْسَةٌ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ.
“Khalifah
itu ada lima orang, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz
radhiyallahu ‘anhum.” (Ibnu Abi Hatim al-Razi, Adab al-Syafi’i wa Manaqibuhu,
hal. 189).
Al-Imam
Sufyan al-Tsauri, juga berkata:
اَلْخُلَفَاءُ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ وَمَنْ سِوَاهُمْ فَهُوَ
مُبْتَزٌّ.
“Para
Khalifah itu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Sedangkan
selain mereka, itu adalah perampas atau pemeras.” (Ibnu Abi Hatim al-Razi, Adab
al-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 191).
Dua hadits
di atas menyatakan bahwa khalifah itu hanya tiga puluh tahun, ditambah dengan
seorang khalifah setelah penguasa yang diktator. Kemudian para ulama seperti
al-Imam al-Syafi’i dan al-Imam Sufyan al-Tsauri menyatakan, bahwa khalifah itu
hanya lima orang, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz,
sedangkan selain lima orang tersebut hanyalah penguasa yang merampas kekuasaan
dengan tidak benar. Dengan demikian, berarti obsesi Hizbut Tahrir dalam
memperjuangkan khilafah, pasti menemukan kegagalan, karena apa yang akan mereka
raih –seandainya berhasil-, itu bukan khilafah, tetapi kekuasaan diktator dan
perampas. Wallahu a’lam.
(Disadur
dari beberapa sumber, terutama buku HIZBUT TAHRIR DALAM SOROTAN, karya Ustadz
Muhammad Idrus Ramli [Aktivis LBM NU Jember], terbitan Bina ASWAJA Surabaya,
087853372523 Mei 2011 by Bindhere Saot El-Madury).
===
Mempertanyakan
Ideologi Hizbut Tahrir
Oleh:
Redaksi Buletin Tauiyah*
Pemikiran
Islam pada saat ini telah diwarnai dengan berbagai macam sekte. Di antaranya
adalah Hizbut Tahrir. Sekte ini ternyata cukup digandrungi oleh kaula muda dan
aktivis kampus. Namun, aliran yang didirikan oleh Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani
ini, ternyata dibangun dari pemikiran muktazilah yang dibungkus dengan kemasan
yang begitu rapi dan telah keluar dari keyakinan mayoritas ulama salaf.
Dari sini,
penulis akan menunjukkan beberapa bukti. Di antaranya:
1.
Mengingkari qadha dan qadarnya Allah.
Dalam kitab
al-Syakhshiyyat al-Islamiyyah juz 1/71-74, an-Nabhani secara vulgar memberikan dua
kesimpulan. Pertama, semua hal yang berkaitan dengan perbuatan manusia, sama
sekali tidak ada kaitannya dengan qadhanya Allah. Kedua, kesesatan dan hidayah
itu datangnya dari dirinya sendiri, bukan dari Allah.
Melihat
pernyataan an-Nabhani seperti itu, kita hanya bisa merasa lucu dibuatnya.
Karena kalau kita mau mengkaji ulang, ternyata banyak sekali ayat al-Qur’an dan
Hadis shahih yang menjelaskan tentang qadha dan qadarnya Allah. Dan penulis
kira tidak perlu untuk mencantumkannya karena terlalu banyak.
2. Takwil
bukan tradisi ulama salaf.
Dalam hal
mentakwil ayat mutasyâbihat, an-Nabhani memberikan kesan, pertama, di kalangan
ulama salaf tidak ada yang ahli di bidang ilmu kalam. Kedua, mengesankan bahwa
konsep takwil tidak dkenal pada masa generasi salaf. (baca: al-Syakhshiyyat
al-Islamiyyah juz 1/53).Mungkin an-Nabhani ingin menutupi sebuah data, bahwa
generasi salaf banyak yang mempunyai kapabilitas dalam mentakwil ayat
mutasyâbihat, semisal Ibnu Abbas, Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, Imam Ahmad bin Hambal
dan Imam Bukhari.
3.
Kemaksuman para Nabi
An-Nabhani
mempunyai asumsi, bahwa kemaksuman Nabi hanya disandang ketika diangkat menjadi
Nabi. Dalam artian, para Nabi sebelum diangkat menjadi Nabi, boleh-boleh saja
melakukan dosa, sebagaimana layaknya manusia biasa. (baca: al-Syakhshiyyat
al-Islamiyyah juz 1/132).
Hal ini
berbeda sama sekali dengan kayakinan mayoritas ulama salaf bahwa kemaksuman
para nabi telah disandang baik sebelum ataupun setelah diangkat menjadi Nabi,
semisal pendapatnya Imam ahmad bin Muhammad ad-Dasuqi (baca: Hasyiyah ‘ala
Syarh Ummul-Barahin hal,173)
4.
Mengingkari siksa kubur, tawasul dan maulid Nabi.
Dalam buku
ad-Dausiyyah (kumpulan fatwa Hizbut Tahrir) dan Qira’at fi Fikri Hizbut-Tahrir
al-Islami hal 93 dijelaskan, bahwa meyakini adanya siksa kubur adalah haram.
Karena yang dibuat landasan hukum adalah Hadis ahad yang sama sekali tidak
meyakinkan. Di samping itu dalam buletin al-Khilafah edisi Rabiul Awal,1416 H ,
menegaskan tentang pengingkaran mereka terhadap, tawasul dan maulid Nabi Saw.
-----------------------------------
Hizbut Tahrir
“SIKSA KUBUR TIDAK WAJIB DIPERCAYAI”
ALASAN TIDAK PERCAYA
• HADITS TENTANG SIKSA KUBUR, ADALAH HADITS AHAD, BUKAN HADITS MUTAWATIR
(Benarkah?)
HIZBUT TAHRIR BOHONG
• HADITS TENTANG SIKSA KUBUR MENURUT PARA ULAMA AHLI HADITS, HADITS MUTAWATIR, BUKAN HADITS AHAD
AL-HAFIZH AL-KATTANI
• MENURUT AL-HAFIZH ABU ABDILLAH MUHAMMAD BIN JA’FAR AL-KATTANI, HADITS TENTANG SIKSA KUBUR, HADITS MUTAWATIR, BUKAN HADITS AHAD. LIHAT KITAB BELIAU (NAZHMUL MUTANATSIR MINAL HADITSIL MUTAWATIR HAL. 125)
IBNUL QAYYIM: HADITS SIKSA KUBUR MUTAWATIR
AHLUSSUNNAH
SEPAKAT
MEYAKINI SIKSA KUBUR
AHLUSSUNNAH
MENGIMANI
SIKSA KUBUR
AKIDAH AHLUSSUNNAH
• WAJIB MEYAKINI BAHWA HIZBUT TAHRIR YANG TIDAK BERIMAN PADA SIKSA KUBUR AKAN DISIKSA DI ALAM KUBUR
AHLUSSUNNAH BERIMAN: YANG TIDAK PERCAYA SIKSA KUBUR AKAN DISIKSA DI ALAM KUBUR
Ulama Ahlussunnah wal-jamaah meyakini adzab
kubur bagi pendosa
عَنِ
الْبَرَاءِ بْنِ عَازَبٍ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ (يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِيْنَ
آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ) قَالَ نُزِلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ
لَهُ مَنْ رَبَّكَ فَيَقُوْلُ رَبِّيَ اللهُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ (رواه مسلم
5117).
Dari Sahabat al-Barra’ bin Azib, nabi bersabda, "Allah berfirman,
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh
itu". (QS.Ibrahim: 27). Nabi bersabda, "Ayat ini turun mengenai azab
kubur. Orang yang dikubur itu ditanya, "siapa Rabb (Tuhan)mu?" Lalu
dia menjawab, "Allah Rabbku, dan Muhammad Nabiku." (HR. Muslim,
5117).
Untuk hal
ini, kita tidak perlu resah dengan fatwanya. Karena landasan hukum yang
memperbolehkan tentang semua itu banyak kita temukan pada ayat al-Qur’an dan
Hadis shahih.
5. Melecehkan
umat Islam
Dalam kitab
al-Syakhshiyyat al-Islamiyyah juz 1/70-74, an-Nabhani juga secara tidak
langsung memvonis :
1.PERTAMA,
pendapat ahlussunnah dan jabariyah dalam masalah perbutan manusia sebenarnya
sama, hanya saja ahlus-sunnah pintar memanipulasi kata-kata,
2.KEDUA,
parakau muslimsejatinya sejak dulu telah keluar dari ajaran al-qur’an, hadis
dan shahabat.Sebenarnya apa yangdiungkakanan-nabhani merupakakn kebohongan
besar yang tidak bisa dipertanggung jawabkan
*)Penulis
adalah Redaksi Buletin Tauiyah asal PP Sidogiri.
TAQIYUDDIN AL-NABHANI
}
Inkonsistensi Tentang Rukun Iman
الأمور التي يجب الإيمان بها هي
خمسة أمور: الإيمان بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وتؤمن
أيضا بالقضاء والقدر، ولا يطلق الإيمان بالإسلام على الشخص ولا يعتبر مسلما إلا
إذا آمن بهذه الخمسةجميعها وآمن بالقضاء والقدر: قال الله تعالى: ” ومن يكفر
بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر فقد ضل ضلالا بعيدا“. فقد جاء القرآن
والحديث ينص على هذه الأمور الخمسة بشكل صريح ظاهر التنصيص على كل منها
باسمه ومسماه. (النبهاني: الشخصية الإسلامية 1/43).
}
Masalah Qadha’ dan Qadar
قد ورد الإيمان بالقدر في حديث جبريل في بعض
الروايات فقد جاء قال: ”وتؤمن بالقدر خيره وشره“. إلا أنه خبر آحاد علاوة على أن
المراد هنا علم الله وليس القضاء والقدر الذي هو موضع خلاف في فهمه. (النبهاني:
الشخصية الإسلامية 1/43).
Menurut al-Nabhani: Hadits yang menerangkan keimanan terhadap
Qadar Allah, 1) tergolong hadits Ahad (asumtif/zhanni), dan 2) bermaksud pada pengetahuan
Allah, bukan qadha’ dan qadar yang menjadi objek perselisihan di antara
Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan Mu’tazilah.
}
Qadha’ dan Qadar tidak meyakinkan:
} أما مسألة الإيمان بالقضاء والقدر بهذا الاسم وبمسماها الذي جرى الخلاف في
مفهومه فلم يرد بها نص قطعي، إلا أن الإيمان بمسماها من العقيدة فهي مما يجب
الإيمان به. ولم تعرف بهذا الاسم وهذا المسمى في عصر الصحابة مطلقا فلم يرد نص
صحيح بورودها بهذا الاسم والمسمى، وإنما اشتهرت في أوئل عصر التابعين، وصارت تعرف
وتبحث منذ ذلك الحين، والذي أتى بها وجعلها موضوع البحث هم المتكلمون (النبهاني،
الشخصية الإسلامية: 1/43).
}
Benarkah Hadits tentang qadha’ dan qadar Allah bernilai Ahad/zhanni?
Al-Qur’an menjawab:
باب القول في الإيمان بالقدر قال
الله عز وجل ( وكل شيء أحصيناه في إمام مبين (يس:12) ) وقال : ( ما أصاب
من مصيبة في الأرض ولا في أنفسكم إلا في كتاب من قبل أن نبرأها (الحديد: 22) )
وقال : ( يعلم السر وأخفى (طه : 7) ) وقال : ( إنا كل شيء خلقناه بقدر
(القمر : 49) ) والقدر اسم لما صدر مقدرا عن فعل القادر ، يقال : قدرت الشيء
وقدرته بالتشديد والتخفيف فهو قدر أي : مقدور ومقدر ، كما يقال : هدمت البناء فهو
هدم أي : مهدوم ، وقبضت الشيء فهو قبض أي : مقبوض ، فالإيمان بالقدر هو الإيمان
بتقدم علم الله سبحانه بما يكون من أكساب الخلق وغيرها من المخلوقات وصدور جميعها
عن تقدير منه ، وخلق لها خيرها وشرها. (البيهقي، الاعتقاد : 88).
}
Pengingkaran Terhadap Ta’wil
كان التأويل أول مظاهر المتكلمين، فإذا أداهم البحث الى أن الله منزه
عن الجهة والمكان اولوا الآيات التي تشعر بأنه تعالى في السماء وأولوا الاستواء
على العرش، وهكذا كان التأويل عنصرا من عناصر المتكلمين وأكبر مميز لهم عن
السلف. (النبهاني: الشخصية الاسلامية 1/53).
}
Menganggap Sesat Kaum Muslimin Tentang Qadha’ dan Qadar
رأيان اثنان أحدهما حرية الاختيار وهو رأي
المعتزلة والثاني الإجبار وهو رأي الجبرية وأهل السنة مع اختلاف بينهما بالتعابير
والاحتيال على الالفاظ واستقر المسلمون على هذين الرأيين وحولوا عن رأي القرآن
ورأي الحديث وما كان يفهمه الصحابة منهما الى المناقشة في اسم جديد هو القضاء
والقدر. (النبهاني: الشخصية الاسلامية 1/74).
}
Menuduh Kaum Muslimin Mengadopsi Konsep Qadha’ dan Qadar di Filosof Yunani,
Bukan dari al-Qur’an dan Hadits
جملة القضاء والقدر التي وضعها المتكلمون اسما
للمسمى الذي أخذوه عن فلاسفة اليونان، لم يسبق ان وضعت لهذا المعنى لا لغة ولا
شرعا. (النبهاني: الشخصية الاسلامية 1/76).
}
Perbuatan Manusia Tidak Ada Hubungannya Dengan Qadha’ dan Qadar Allah
وهذه الأفعال (أي أفعال الانسان) لا دخل لها بالقضاء ولا دخل للقضاء بها، لأن
الإنسان هو الذي قام بإرادته واختياره، وعلى ذلك فإن الأفعال الاختيارية لا تدخل
تحت القضاء. (النبهاني: الشخصية الاسلامية 1/91).
}
Konsep ‘Ishmah Para Nabi
أن هذه العصمة (عن كل ما يسمى معصية) للأنبياء والرسل انما تكون بعد أن يصبح
نبيا أو رسولا بالوحي إليه. أما قبل النبوة والرسالة فإنه يجوز عليهم ما يجوز على
سائر البشر، لأن العصمة هي للنبوة والرسالة. (النبهاني: الشخصية الاسلامية
1/133).
}
Konsep Hidayah dan Dholal
قد جعل الله الجنة للمهتدين والنار للضالين، اي أن الله أثاب المهتدي وعذب
الضال، فتعليق المثوبة أو العقوبة بالهدى والضلال يدل على أن الهداية والضلال هما
من فعل الإنسان وليسا من الله، إذ لو كانا من الله لما أثاب على الهداية وعاقب على
الضلال، لأن ذلك يؤدي إلى نسبة الظلم إلى الله تعالى، إذ أنه حين يعاقب من قام هو
بإضلاله يكون قد ظلمه، وتعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، قال تعالى: وما ربك بظلام
للعبيد. (النبهاني: الشخصية الاسلامية 1/94).
Fatwa Membolehkan Ciuman
} السُّؤَالُ: مَا حُكْمُ الْقُبْلَةِ بِشَهْوَةٍ مَعَ الدَّلِيْلِ؟ الْجَوَابُ:
... قَدْ فُهِمَ مِنْ مَجْمُوْعِ اْلأَجْوِبَةِ الْمَذْكُوْرَةِ أَنَّ الْقُبْلَةَ
بِشَهْوَةٍ مُبَاحَةٌ وَلَيْسَتْ حَرَامًا... لِذَلِكَ نُصَارِحُ النَّاسَ بِأَنَّ
التَّقْبِيْلَ مِنْ حَيْثُ هُوَ تَقْبِيْلٌ لَيْسَ بِحَرَامٍ لأَنَّهُ مُبَاحٌ
لِدُخُوْلِهِ تَحْتَ عُمُوْمَاتِ اْلأَدِلَّةِ الْمُبِيْحَةِ لأَفْعَالِ
اْلإِنْسَانِ الْعَادِيَةِ، فَالْمَشْيُ وَالْغَمْزُ وَالْمَصُّ وَتَحْرِيْكُ
اْلأَنْفِ وَالتَّقْبِيْلُ وَزَمُّ الشَّفَتَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ اْلأَفْعَالِ
الَّتِيْ تَدْخُلُ تَحْتَ عُمُوْمَاتِ اْلأَدِلَّةِ... فَالصُّوْرَةُ الْعَادِيَةُ
لَيْسَتْ حَرَامًا، بَلْ هِيَ مِنَ الْمُبَاحَاتِ، وَلَكِنْ الدَّوْلَةُ تَمْنَعُ
تَدَاوُلَهَا... وَتَقْبِيْلُ رَجُلٍ لاِمْرَأَةٍ فِي الشَّارِعِ سَوَاٌء كَانَ
بِشَهْوَةٍ أَمْ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ فَإِنَّ الدَّوْلَةَ تَمْنَعُهُ فِي الْحَيَاةِ
الْعَامَّةِ
Ijtihad Boleh Dilakukan Siapa Saja
}
(إِنَّ اْلإِنْسَانَ) مَتَى
أَصْبَحَ قَادِرًا عَلىَ اْلاِسْتِنْبَاطِ فَإِنَّهُ حِيْنَئِذٍ يَكُوْنُ
مُجْتَهِدًا، وَلِذَلِكَ فَإِنَّ اْلاِسْتِنْبَاطَ أَوِ اْلاِجْتِهَادَ مُمْكِنٌ
لِجَمِيْعِ النَّاسِ، وَمُيَسَّرٌ لِجَمِيْعِ النَّاسِ وَلاَ سِيَّمَا بَعْدَ أَنْ
أَصْبَحَ بَيْنَ أَيْدِي النَّاسِ كُتُبٌ فِي اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ
وَالشَّرْعِ اْلإِسْلاَمِيِّ.(كتاب التفكير، 149).
Laki-Perempuan Bebas
Jabatan Tangan
} يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يُصَافِحَ الْمَرْأَةَ وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ
تُصَافِحَ الرَّجُلَ دُوْنَ حَائِلٍ بَيْنَهُمَا. (النظام الاجتماعي في الاسلام، 57).
} Orang laki-laki boleh berjabat tangan dengan orang
perempuan, dan sebaliknya orang perempuan boleh berjabat tangan dengan orang
laki-laki tanpa ada penghalang.
Boleh Telanjang di
Depan Mahram
}
اَلْمُرَادُ فِي النَّهْيِ عَنْ نَظْرِ الرَّجُلِ
إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ ، وَالْمَرْأَةِ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ ،
الْمُرَادُ مِنْهُ الْعَوْرَةُ الْمُغَلَّظَةُ ، أَيِ السَّوْءَتَانِ ، وَهُمَا
الْقُبُلُ وَالدُّبُرُ ، وَلَيْسَ مُطْلَقَ الْعَوْرَةِ، أَمَّا الْمَحَارِمُ
فَإِنَّهُمْ لَيْسُوْا دَاخِلِيْنَ فِي الْحَدِيْثِ، لأَنَّ آيَةَ الْمَحَارِمِ
عَامَّةٌ فَيَجُوْزُ لِلأَبِ أَنْ يَكْشِفَ سَوْءَةَ وَلَدِهِ لِيُعَلِّمَهُ
اْلاِسْتِنْجَاءَ، وَيَجُوْزُ لِلْبِنْتِ أَنْ تَكْشِفَ عَوْرَةَ أَبِيْهَا
وَتُسَاعِدَهُ عَلىَ اْلاِسْتِنْجَاءِ وَعَلىَ اْلاِسْتِحْمَامِ. (ملف النشرات الفقهية، 53).
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik