BERHENTILAH BERDUSTA ATAS NAMA IMAM SYAFI’I DAN PARA ULAMA SYAFI’IYYAH DALAM MENGHARAMKAN KENDURI KEMATIAN !!!
Oleh: Abu Hilya
Sekitar sebulan yang lalu penulis disodori selebaran oleh
seorang sahabat, selebaran setebal 14 halaman tsb bertitel “Manhaj
Salaf” dengan artikel utama berjudul “Imam Syafi’ie Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan.”
Setelah kami lakukan penelusuran, ternyata kami yang berdomisili
disalah satu kota di Jawa timur adalah orang yang terlambat mengetahui
selebaran tersebut, karena selebaran tsb telah beredar pada pertengahan
2011 di Yogyakarta. Namun demikian hal tersebut kami pandang tetap perlu
diungkap, karena barang kali ada diantara saudara kita yang belum
mengetahuinya dan mungkin bermanfaat baginya.Selebaran tsb jika dari saudara kita salafi tidak mengakuinya, maka semestinya mereka meluruskan hal tsb, karena sungguh didalamnya kami temui banyak penyelewengan dan atau manipulasi pendapat para Ulama diantaranya :
Pada halaman 2 dalam selebaran tsb terdapat pemotongan (memenggal isi tidak pada tempatnya) dari isi kitab I’anah sbb:
وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعل الناس من الوحشة والجمع والأربعين بل كل ذلك حرام
Dengan manipulasi terjemah sbb: “ Dan diantara bid’ah yang munkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat puluh harinya) padahal semuanya ini adalah haram “.
Selanjutnya hal pada hal. 5 dalam selebaran tsb terdapat kutipan tidak lengkap dari isi kitab Hasyiyah al Jamal dan Syarah Muslim Imam Nawawi sbb:
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها إلى الميت
Dengan terjemah sbb: “Adapun bacaan al Qur’an maka yang masyhur di kalangan madzhab Syafi’i, bahwa tidak sampai pahala bacaan yang dikirim kepada orang yang telah mati”
Selanjutnya pada bagian lain dalam selebaran tsb tertulis : “Sekali lagi Imam an Nawawi rahimahulloh menjelaskan dalam kitab السبكي – تكملة المجموع شرح مهذب juz 10 hlm, 426 bahwa :
وأما قراءة القرآن وجعل ثوابها للميت والصلاة عنه ونحوها فذهب الشافعي والجمهور انها لاتلحق الميت, وكرر ذلك في عدة مواضع في شرح مسلم
Dengan terjemah sbb: “Adapun pembacaan al Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang mati, membayar solatnya dan sebagainya, maka menurut Imam Syafie dan jumhur ulama Syafie adalah tidak sampai kepada si mati. Penjelasan ini telah diulang-ulang (oleh Imam Muslim) dalam kitab syarah Muslim.”
Kami tidak mendapati pernyataan tsb dalam Takmilah al Majmu’ Syarh al Muhadzzab karya al Imam as Subki. Dan sejauh yang kami ketahui Imam as Subki menulis Takmilah Majmu’ tsb hanya seputar Bai’ (jual-beli) dan Mu’amalah, jadi rasanya nggak mungkin jika pernyataan tsb dinisbatkan sebagai pernyataan Imam as Subki dalam Takmilah al Muhadzzab. Dan jika kita perhatikan terjemahnya juga ada yang janggal, karena kami belum mengetahui ada Syarh Muslim oleh Imam Muslim. (maaf jika kami tidak dapat menyampaikan selebaran tsb dlm bentuk copy scann karena keterbatasan sarana, namun kami bertanggung jawab dihadapan Alloh bahwa kami menulis apa adanya/sesuai isi selebaran tsb.)
Selanjutnya kami juga mendapati kejanggalan-kejanggalan lain yang ada dalam selebaran tsb pada hal. 9 dan pada bagian-bagian yang lain.
Kami katakan kepada siapapun yang mengedarkan selebaran tsb, : Berhentilah berdusta atas nama para Ulama!! sesungguhnya hal itu hanya akan mendatangkan murka Alloh baik didunia maupun di akhirat. Dan ketahuilah jika memang apa yang kalian sampaikan adalah kebenaran, lantas mengapa harus anda tempuh dengan cara-cara licik dan tidak bertanggung jawab…!!!
Kepada saudaraku dari Salafi, jika anda tidak mauh dituduh sebagai dalang dibalik beredarnya selebaran tsb, maka kami juga menuntut pertanggung jawaban anda semua untuk menemukan aktor dibalik beredarnya selebaran tsb, mengingat dengan jelas tertulis “Manhaj Salaf”.
Selanjutnya dalam rangka meluruskan itu semua ikuti tulisan kami berikutnya…. Insya Alloh
BENARKAH IMAM SYAFI’IY DAN PARA ULAMA SYAFI’IYYAH MENGHARAMKAN KENDURI KEMATIAN ? (bagian 2)
Berikut kami sampaikan pendapat dan pandangan Imam Syafi’i dan para Ulama Syafi’iyyah dalam masalah kenduri kematian, tahlilan, yasinan dst..
ASPEK-ASPEK YANG TERKANDUNG DALAM PROSESI KEMATIAN :
1. Tradisi penetapan hari: 7 hari, 40, 100, 1000 dst….
Diantara para ulama Syafi’iyyah yang secara spesifik menerangkan hal tersebut adalah:– Syekh Nawawi Ibn Umar dalam kitabnya “Nihayatuz Zain”, berikut kutipannya :
وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاده شيخنا يوسف السنبلاوينيArtinya: “Sedangkan pembatasannya (sedekah sebagai ganti dari mayit) pada hari-hari tertentu adalah termasuk bagian dari tradisi semata, sebagaimana as Sayyid Ahmad Zaini Dahlan telah berfatwa akan hal tersebut. Dan sungguh telah berlaku kebiasaan (adat/tradisi) manusia berupa sedekah sebagai ganti dari mayyit pada hari ke 3 (terhitung) sejak kematiannya, hari ke 7, pada genapnya hari ke 20, 40, 100, dan selanjutnya dilakukan setiap tahun sebagai Haul tepat pada hari kematian, sebagaimana yang telah di -ifadah-kan Syaikhuna Yusuf as Sunbulawini.” (Nihayah Az Zain, Bab Washiyyah, 1/281)
– Al Hafizh Ahmad Ibn Hajar al Haitami dalam al Fatawa al Kubro :
وَسُئِلَ فَسَّحَ اللَّهُ في مُدَّتِهِ بِمَا لَفْظُهُ ما قِيلَ إنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ في قُبُورِهِمْ أَيْ يُسْأَلُونَ كما أَطْبَقَ عليه الْعُلَمَاءُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ هل له أَصْلٌ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ نعم له أَصْلٌ أَصِيلٌ فَقَدْ أَخْرَجَهُ جَمَاعَةٌ عن طَاوُسِ بِالسَّنَدِ الصَّحِيحِ وَعُبَيْدِ بن عُمَيْرٍ بِسَنَدٍ احْتَجَّ بِهِ ابن عبد الْبَرِّ وهو أَكْبَرُ من طَاوُسِ في التَّابِعِينَ بَلْ قِيلَ إنَّهُ صَحَابِيٌّ لِأَنَّهُ وُلِدَ في زَمَنِهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم وكان بَعْضُ زَمَنِ عُمَرَ بِمَكَّةَ وَمُجَاهِدٍ وَحُكْمُ هذه الرِّوَايَاتِ الثَّلَاثِ حُكْمُ الْمَرَاسِيلِ الْمَرْفُوعَةِ لِأَنَّ ما لَا يُقَالُ من جِهَةِ الرَّأْيِ إذَا جاء عن تَابِعِيٍّ يَكُونُ في حُكْمِ الْمُرْسَلِ الْمَرْفُوعِ إلَى النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم كما بَيَّنَهُ أَئِمَّةُ الحديث وَالْمُرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ وَكَذَا عِنْدَنَاAl Hafizh Ahmad Ibn Hajar al Haitami ditanya tentang ucapan yang redaksinya disampaikan berupa; “Sesungguhnya mayit diuji (ditanya) dalam kuburnya selama 7 hari,” adakah pernyataan tsb memiliki asal (dasar)?… Beliau Ibnu Hajar menjawab; “Benar pernyataan tersebut memiliki sumber yang kuat dan telah diriwayatkan oleh sekelompok (jama’ah) dari Thowus dengan sanad yang shohih, dan (pernyataan tsb juga diriwayatkan) dari ‘Ubaid ibn ‘Umair dengan sanad yang shohih yang dijadikan hujjah oleh Ibn Abdil Barr, dan dia lebih tua dari Thowus dari kalangan Tabi’in, bahkan ada yang mengatakan dia (Ubaid ibn ‘Umair) termasuk Sohabiy (generasi sahabat) karena dilahirkan pada masa Rosululloh saw, dan dia tinggal di Makkah pada masa Umar ra, dan (juga diriwayatkan dari) Mujahid, sedang hukum tiga riwayat tersebut termasuk hadits-hadits mursal yang marfu’, karena apa yang tidak diucapkan bersumber dari pendapat (pikiran semata) jika ia datang dari seorang tabi’in maka keberadaannya masuk dalam kategori hadits Mursal yang Marfu’ pada Nabi saw, sebagaimana telah dijelaskan oleh para Imam Hadits, dan hadits Mursal adalah Hujjah bagi tiga Imam dan juga bagi kami…. dst. (Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubro, Bab Janaiz, 2/30)
Dari dua pendapat Ulama’ kalangan Syafi’iyyah diatas yang sekaligus memiliki sandaran Hadits Mursal Marfu’ dari beberapa riwayat, jelaslah bagi kita bahwa penetapan 7 hari bukanlah perkara yang menyalahi syari’at (setidaknya hal ini adalah pandangan sebagian para Ulama Syafi’iyyah). Adapun 40 hari, 100, Haul dst dipandang hanya sebatas tradisi semata sebagaimana yang telah disampaikan Syekh Nawawi Ibn Umar yang merupakan fatwa dari mufti al haromain dari kalangan madzhab Syafi’iyyah as Sayyid Ahmad Zaini Dakhlan. Hal ini sekaligus mematahkan anggapan sebagian kalangan bahwa tradisi tsb merupakan warisan dari agama sebelum Islam masuk tanah Jawa, dimana sampai saat ini anggapan tsb tidak memiliki sumber data yang valid.
2. Ta’ziyah Dengan Membawa Bahan Makanan Untuk Keluarga Yang Tertimpa Musibah
– Imam as Syafi’i dalam al Umm;وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
“Dan aku suka jika para tetangga si mati atau kerabatnya menyediakan makanan untuk keluarga si mati pada hari kematian dan malam harinya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya hal itu sunnah dan Ibadah yang mulia. Itu juga perbuatan para ahli kebajikan dari orang-orang sebelum dan sesudah kita, karena ketika berita kematian Ja’far datang, Rosululloh saw bersabda; “Sediakan makanan bagi keluarga Ja’far, karena mereka sedang kedatangan urusan (mushibah) yang menyibukkan mereka.” (al Umm, 1/278)
– Obyek Pembahasan (Mahkum Fiih) : Menyediakan bantuan makanan untuk keluarga yang ditinggal si mati
– Status Hukum : Di sukai (Mustahab)
3. Berkumpulnya Orang Banyak di Rumah Keluarga Orang Yang Meninggal dan Menghidangkan Makanan Untuk Mereka
a. Imam as Syafi’iy dalam al Umm:
وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ على الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ على الِانْفِرَادِ لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عز وجل من الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مع ما مَضَى فيه من الْأَثَرِ(Imam As Syafi’iy berkata): “Dan aku membenci Niyahah (meratapi/menangisi) orang yang meninggal setelah kematiannya, dan orang yang meratap menyebut-nyebut kemaikan mayit sambil menyendiri, tetapi hendaknya orang tersebut di ta’ziyahi (dihibur) dengan apa yang telah diperintahkan Alloh Azza Wa Jalla berupa (perintah) sabar dan Istirja’ (Inna Lillah Wa Inna Ilahi Roji’un/mengembalikannya kepada Alloh). Dan aku membenci “Ma’tam” yakni kumpulan (dirumah duka) meskipun didalamnya tidak terdapat tangisan, karena yang demikian bisa memperbaharui kesedihan dan juga membebani secara materi sebagai dampak apa yang telah terjadi” (Imam as Syafi’i, al Umm , 1/279)
– Mahkum Fiih (obyek pembahasan) : Niyaha (meratap) dan Ma’tam (berkumpul untuk menunjukkan ikut berduka)
– Status Hukum : Makruh (di benci)
– Mahkuhm Fiih : Ta’ziyah (menghibur dengan wasiyat Sabar dan Istirja’)
– Status Hukum : di anjurkan
b. Syekh al Bakri dalam I’anatuth Tholibin.
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة مكروهة كإجابتهم لذلك لما صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم فمن صادفهم عزاهم اه وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك“Apa yang telah dibiasakan (menjadi tradisi) oleh keluarga mayit berupa membuat makanan guna mendatangkan manusia padanya adalah “Bid’ah Makruh” seperti halnya mendatangi undangan tsb, karena adanya riwayat dari Jari ra. Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga si mati dan menghidangkan makanan untuk mereka setelah penguburan mayit adalah termasuk “Niyahah”. Sedangkan hal tersebut dipandang sbagai Niyahah dilihat dari sudut pandang keberadaannya menambah kesedihan… dst (hingga pada…) Dalam “Hasyiyah al Jamal Syarah al Minhaj” dijelaskan; “ dan diantara bid’ah yang munkar dan makruh untuk melakukannya adalah tradisi selamatan (kenduri) kematian yang disebut Wakhsyah, Juma’ dan Arba’in (nama-nama tradisi di Hijaz sebelum kerajaan as Su’ud berkuasa). Bahkan semua itu dihukumi haram jika hidangan tersebut diambil dari harta Mahjur (orang yang tidak/belum diperkenankan mentasharrufkan hartanya, semisal anak yang belum dewasa), atau harta si mayyit yang memiliki tanggungan hutang, atau menimbulkan madhorot atas si mayyit atau sejenisnya.” (I’anah, 2/146)
Dari kandungan kitab “I’anah” tsb yang sekaligus tercakup didalamnya keterangan dalam “Hasyiyah al Jamal” kita dapati kesimpulan beberapa hal:
– Obyek pembahasan (Mahkum Fih) : Berkumpulnya manusia di rumah duka dan Menghidangkan makanan untuk mereka. (kami tidak mendapati secara tegas dalam keterangan diatas obyek (mahkum fiih) berupa penetapan hari, bacaan Tahlil maupun Yasinan atau Menghadiahkan Pahala)
– Label amal : Bid’ah Munkaroh
– Status Hukum :
1. Makruh
2. Haram, jika penyajian hidangan diambil dari harta Mahjur (orang yang tidak/belum diperkenankan mentasharrufkan hartanya, semisal anak yang belum dewasa), atau si mati yang memiliki tanggungan hutang atau jika dapat menimbulkan madhorot bagi si mati, atau madhorot yang lain. (Jika kita cermati Illat atau sebab yang menjadi alasan keharaman pada keterangan dalam kitab I’anah tsb, maka kita dapati obyek yang hukumnya bisa menjadi haram terletak pada obyek berupa Penghidangan makanan.)
c. Fatwa NU dalam Ahkamul Fuqoha’ (keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU 1926-2010 M)
Soal : Bagaimana hukumnya keluarga mayit menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziyah pada hari wafatnya atau pada hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayit tersebut? Apakah ia (keluarga) memperoleh pahala sedekah tsb?Jawab : Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila dengan cara harus berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tsb tidak menghilangkan pahala sedekah itu.
Maroji’ (kitab-kitab rujukan) : I’anah, 2/145 dan Al Fatawa al fiqhiyyah al Kubro Ibn Hajar, 2/7. (Ahkamul Fuqoha’, soal No:18, hal 17-19, Khalista)
Catatan : Illat atau sebab-sebab kemakruhan pada perkara diatas yang kami dapati adalah; adanya unsur Niyahah, Ritsa’, Ma’tam, dan sejenisnya
4. Sedekah Pahalanya Untuk Orang Yang Telah Meninggal
a. Imam Abu Ishaq as Syirozi dalam al Muhadzab.
وأما الصدقة فالدليل عليها ما روى ابن عباس أن رجلا قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم إن أمه توفيت أفينفعها أن أتصدق عنها فقال نعم قال فإن لي مخرفا فأشهدك أني قد تصدقت به عنها“Adapun sedekah maka dalil yang menunjukkannya adalah apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas, bahwa ada seseorang bertanya kepada Rosululloh Saw: “Sesungguhnya ibuku sudah meninggal, apakah bermanfaat baginya (jika) aku bersedekah atas (nama)nya?”. Roasululloh menjawab; “ Ya “. Orang itu kemudian berkata : “Sesungguhnya aku memiliki sekeranjang buah, maka aku ingin engkau menyaksikan bahwa sesungguhnya aku menyedekahkannya atas (nama)nya.” (al muhaddzab, 1/464)
– Obyek perkara : Manfaatnya (pahala) sedekah orang hidup untuk yang sudah meninggal
– Status : Dapat Bermanfaat
b. Syekh Nawawi dalam Nihayah az Zain :
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل“Bersedekah sebagai ganti dari mayyit dengan cara yang syar’iy adalah perkara yang dituntut (untuk dilakukan), dan sedekah tsb tidak dibatasi keberedaannya dalam tujuh hari atau lebih atau kurang (dari tujuh hari).” (Nihayah Az Zain, Bab Washiyyah, 1/281)
– Obyek perkara : sedekah orang hidup sebagai ganti dari orang yang sudah meninggal
– Status : Dianjurkan
5. Berkumpul Untuk Membaca Yasiin, Tasbih, Tahmid, Tahlil dll (tahlilan)
a. Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqolani dalam Fathul Bari.
Ketika mensyarah Hadits; “Sesungguhnya Alloh memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan, mereka senantiasa mencari orang-orang yang berdzikir….dst (HR. Bukhori [6408]) al Hafizh Ibnu Hajar berkata :وفي الحديث فضل مجالس الذكر والذاكرين وفضل الاجتماع علي ذلك وان جليسهم يندرج معهم في جميع ما يتفضل الله تعالى به عليهم اكراما لهم ولو لم يشاركهم في أصل الذكر وفيه محبة الملائكة بني ادم واعتناؤهم بهم
“Dalam Hadits tsb mengandung keutamaan majelis-majelis dzikir, orang-orang yang berdzkir dan keutamaan berkumpul untuk berdzikir, orang yang duduk bersama mereka akan masuk dalam golongan mereka dalam semua apa yang Alloh anugerahkan kepada mereka karena memuliakan mereka, meskipun ia tidak mengikuti mereka dalam berdzkir.” (al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 11/213)
– Obyek perkara : Berkumpul untuk berdzikir, Majlis dzikir dan orang yang hadir bersama mereka
– Status : Amal yang utama
6. IHDAA’UTS TSAWAB (menghadiahkan pahala kebaikan) UNTUK ORANG YANG TELAH MENINGGAL
a. Imam as Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibn Katsir :
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم؛ ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء، ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة، رضي الله عنهم، ولو كان خيرا لسبقونا إليه، وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء، فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما“Dan dari ayat yang mulia ini (QS, An Najm:39) Imam as Syafi’iy dan orang-orang yang mengikutinya mengeluarkan ketetapan bahwa: Sesungguhnya menghadiahkan pahala bacaan (al qur’an) tidak bisa sampai kepada orang-orang yang telah meninggal, karena hal tersebut bukan amal dan upaya mereka…. dst (sampai pada..) Adapun do’a dan shodaqoh maka keduanya disepakati atas sampainya (pahala untuk mayit) dan ditetapkan dari Syari’ atas keduanya.” (Tafsir Ibn Katsir, 7/465, shameela)
Catatan : disini penulis mendapati Musykilah (kejanggalan) mengenai alasan yang disampaikan oleh Imam Ibn Katsir bahwa tidak sampainya pahala bacaan qur’an tsb karena bukan termasuk amal dan usaha mayit. lantas bagaiman dengan shodaqoh dan do’a ? dimana pada akhir redaksi diatas dengan tegas dinyatakan sampai, tanpa batasan harus dilakukan mayit atau hasil dari usaha mayit?… Wallohu a’lam, bukan kapasitas penulis untuk membantah beliau rohimahullohu wa a’aadallohu alaina min barokatihi wa ‘uluumihi…
b. Abu Zakariya al Anshori dalam Hasyiyah al Jamal:
وَكَمَا يَنْتَفِعُ الْمَيِّتُ بِذَلِكَ يَنْتَفِعُ بِهِ الْمُتَصَدِّقُ وَالدَّاعِي أَمَّا الْقِرَاءَةُ فَقَالَ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ : الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَصِلُ ثَوَابُهَا إلَى الْمَيِّتِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا : يَصِلُ وَذَهَبَ جَمَاعَاتٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ إلَى أَنَّهُ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُ جَمِيعِ الْعِبَادَاتِ مِنْ صَلَاةٍ وَصَوْمٍ وَقِرَاءَةٍ وَغَيْرِهَا ، وَمَا قَالَهُ مِنْ مَشْهُورِ الْمَذْهَبِ مَحْمُولٌ عَلَى مَا إذَا قَرَأَ لَا بِحَضْرَةِ الْمَيِّتِ وَلَمْ يَنْوِ ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لَهُ ، أَوْ نَوَاهُ وَلَمْ يَدْعُ بَلْ قَالَ السُّبْكِيُّ :الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ الْخَبَرُ بِالِاسْتِنْبَاطِ أَنَّ بَعْضَ الْقُرْآنِ إذَا قُصِدَ بِهِ نَفْعُ الْمَيِّتِ نَفَعَهُ وَبَيَّنَ ذَلِكَ وَقَدْ ذَكَرْتُهُ فِي شَرْحِ الرَّوْضِ“Sebagaimana mayit mendapatkan kemanfaatan dengan itu semua (sedekah dan do’a oleh yang masih hidup), orang yang bersedekah dan berdo’a juga mendapat kemanfaatan dari sedekah dan do’anya. Adapun tentang bacaan al qur’an Imam an Nawawi dalam Syarah Muslim berkata: “ Yang populer (masyhur) dari madzhab Syafi’iy, “sesungguhnya pahala bacaan al qur’an tidak sampai kepada mayit”, dan sebagian Ashabuna (para Ulama Syafi’iyyah) berkata : “pahala tsb (bacaan qur’an) bisa sampai”, dan segolongan para Ulama’ memilih : “Sesungguhnya pahala semua Ibadah berupa sholat, puasa, bacaan al qur’an dan yang lain bisa sampai kepada si mayit, mengenai pendapat yang masyhur dari “Al Madzhab” (Imam as Syafi’iy tentang tidak sampainya pahala bacaan qur’an kepada mayit) diartikan ketika membaca al qur’an tsb tidak berada di sisi mayit atau tidak diniatkan pahala bacaannya untuk mayit, atau tidak di do’akan untuk mayit…dst (Hasyiyah al Jamal, 16/4 shameela)
c. Imam an Nawawi dalam Syarah Muslim:
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها إلى الميت وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إلى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك“Adapun bacaan al qur’an maka yang populer (masyhur) dari madzhab Syafi’iy, “sesungguhnya pahala bacaan al qur’an tidak sampai kepada mayit”, dan sebagian Ashabuna (para Ulama Syafi’iyyah) berkata : “pahala tsb (bacaan qur’an) bisa sampai kepada mayit”, dan segolongan para Ulama’ memilih : “Sesungguhnya pahala semua Ibadah berupa sholat, puasa, bacaan al qur’an dan yang lain bisa sampai kepada si mayit.” (Syarah Muslim, 1/90. Shameela)
– Obyek Perkara : Sampainya Pahala Kebaikan Untuk Orang Yang Telah Meninggal
– Status : Khilaf (terjadi perbedaan pendapat) dengan rincian sbb:
1. Khusus pahala bacaan al qur’an (bukan yang lain)
a. Yang populer dari Imam Syafi’iy : Tidak sampai
b. Sebagian Ulama Syafi’iyyah : Sampai Mutlaq
c. Sebagian yang lain : Sampai, dengan cara meniatkannya untuk mayit, atau membacanya di sisi mayit, atau mendo’akan agar pahalanya di hadiahkan untuk mayit.
2. Berupa shodaqoh, do’a serta kebjikan yang lain : Sampai. (kami tidak mengetahui adanya khilafiyah dalam kalangan syafi’iyyah tentang masalah ini, wallohu a’lam)
KESIMPULAN
Dari beberapa pendapat Imam Syafi’iy dan para Ulama Syafi’iyyah diatas kita dapati beberapa hal :
1. Baik dari Imam Syafi’iy maupun Para Ulama Syafi’iyyah tidak kami dapati mereka mengharamkan kenduri kematian, kecuali jika dalam pembiayaannya menggunakan hak orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, (harta mahjur ‘alaih, atau tirkah mayit yang memiliki hutang, atau bagian dari ahli waris yang tidak setuju bagiannya digunakan selamatan), dan juga jika pelaksanaannya mengarah pada takalluf yang berlebihan.
2. Hukum yang kami dapati dari beberapa pandangan diatas adalah, “Makruh” dengan ketentuan jika tradisi tersebut dianggap “Niyaha, Ma’tam, Ritsa’,” atau memiliki kesamaan dengan tradisi yang dilakukan di Hijaz dengan sebutan “Wakhsyah, Juma’, Arba’in”. Maka sebelum menetapkan hukum tradisi yang ada disekitar kita, hendaknya difahami dulu batasan-batasan “Niyahah, Ma’tam, Ritsa’” menurut ketetapan Imam Syafi’iy dan para Ulama Syafi’iyyah. Selanjutnya dilakukan infestigasi mendalam dan menyeluruh terhadap tradisi-tradisi yang berlaku disekitar kita, apakah masuk dalam batasan-batasan Niyaha, Ma’tam dst…. agar kita tidak terjebak dalam kesalahan menempatkan hujjah.
3. Seandainya tradisi yang ada disekitar kita memang layak dihukumi makruh, kemakruhan tersebut tidak menghilangkan pahala kebaikan yang ada didalamnya, sebagaimana fatwa NU pertama 1926, pada soal No 18 dalam Ahkamul Fuqoha’. … wallohu a’lam. (Abu Hilya)
sumber http://ummatipress.com/salafi-wahabi-catut-nama-imam-syafii-untuk-mengharamkan-tahlilan.html
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik