Langsung ke konten utama

Sholat Jum’at Dua Gelombang Era New Normal

Rumusan Bahtsul Masail Daring

Ma’had Aly Situbondo

Sholat Jum’at 2 Gelombang Era New Normal


Deskripsi Masalah



Pemerintah melalui otoritas yang berwenang telah membuat sejumlah aturan untuk masyarakat agar lebih membiasakan pola hidup bersih dan sehat demi menekan persebaran dan penularan virus covid-19. Aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah juga membatasi ruang gerak serta interaksi masyarakat di luar rumah. Hal ini menuntut masyarakat untuk melakukan transisi dan beradaptasi dengan ‘kebiasaan-kebiasaan baru’ agar tetap dapat beraktivitas, produktif, dan survive di tengah pandemi.


Di masa pandemi, masyarakat tidak sepenuhnya bebas berinteraksi dan berkomunikasi karena harus disiplin menggunakan masker serta melakukan physical distancing. Pemerintah membatasi kegiatan-kegiatan masyarakat di luar rumah yang berpotensi mengundang kerumunan massa. Tempat-tempat yang biasa menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dibatasi dan dijaga dengan protokol kesehatan yang ketat, tak terkecuali di rumah ibadah.


Bagi umat muslim, masjid merupakan tempat untuk melaksanakan aktivitas ibadah terutama shalat berjamaah. Setiap pekan, umat muslim wajib melaksanakan shalat jum’at secara berjamaah di masjid. Namun demikian, di tengah situasi pagebluk yang tak menentu dan belum bisa diprediksi kapan berakhir, umat muslim khususnya di Indonesia dituntut memilih alternatif-alternatif untuk tetap beribadah shalat jum’at sembari memperhatikan keselamatan jiwa.


Di zona tertentu, ibadah shalat jum’at bahkan harus ditiadakan supaya virus tidak semakin merajalela. Di beberapa daerah, shalat jum’at tetap terlaksana dengan memperhatikan protokol kesehatan dan physical distancing. Akibatnya, daya tampung masjid menjadi berkurang dan tidak semua masyarakat bisa melaksanakan shalat jum’at bersamaan dalam satu waktu di satu masjid yang biasa mereka tempati.


Merespon hal tersebut, PP Dewan Masjid Indonesia (DMI) telah menerbitkan surat edaran mengenai protokol pelaksanaan shalat Jumat yang ditandatangani oleh Ketua Umum DMI H. Jusuf Kalla dan Sekretaris Jenderal DMI H. Imam Daruquthni. Di antara isi surat edaran bernomor 104/PP-DMI/A/V/2020 tentang Edaran ke-III dan Jamaah dalam The New Normal tersebut, selain mengimbau agar setiap masjid yang bisa dibuka mengikuti Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15 tahun 2020 dan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020, juga mengimbau masyarakat di daerah yang padat penduduknya untuk melaksanakan shalat Jumat dua gelombang. Berikut bunyinya:


Karena ketentuan jaga jarak minimal 1 meter, maka daya tampung masjid hanya tinggal 40 persen dari kapasitas normal sebelumnya. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan jemaah dan dengan mempedomani tujuan syariat (maqashidus-syariah) pelaksanaan sholat Jumat diatur sebagai berikut:


(a) Di samping di masjid-masjid, juga di musala-musala dan tempat umum; (b) Bagi daerah-daerah padat penduduk, dilaksanakan sholat Jum’at dua (dua) gelombang.


Imbauan DMI ini tentu berpotensi membawa polemik di tengah masyarakat. Polemik tersebut sangat mungkin didasari oleh perbedaan persepsi masyarakat dalam menyikapi fenomena pandemi covid-19 serta pemahaman masyarakat tentang ketentuan hukum pelaksanaan ibadah shalat jum’at wa bil khusus soal keabsahannya. Akan tetapi, walau bagaimanapun harus siap melakukan transisi dan beradaptasi di era new normal, bahkan dalam aktivitas ibadah.


Berdasarkan deskripsi masalah di atas, dirumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:


Pertanyaan


Pertama, apakah hukum merapatkan shaf dalam shalat jamaah? Apakah ia merupakan syarat keabsahan shalat atau syarat mendapatkan fadhîlah shalat jamaah?


Jawaban


Merapatkan barisan shaf (rassu al-sufûf) dalam shalat jamaah merupakan hal yang diperintahkan. Perintah tersebut tertuang dalam beberapa hadits:


صحيح البخاري- طوق النجاة  1/145 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ ابْنُ أَبِي رَجَاءٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ بْنُ قُدَامَةَ قَالَ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ قَالَ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي


{ سنن أبى داود-ن  1/249 }

عن جابر بن سمرة قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- « ألا تصفون كما تصف الملائكة عند ربهم جل وعز ». قلنا وكيف تصف الملائكة عند ربهم قال « يتمون الصفوف المقدمة ويتراصون فى الصف ».


{ سنن النسائي  2/92 }

أخبرنا محمد بن عبد الله بن المبارك المخرمي قال حدثنا أبو هشام قال حدثنا أبان قال حدثنا قتادة قال حدثنا أنس أن نبي الله صلى الله عليه و سلم قال : راصوا صفوفكم وقاربوا بينها وحاذوا بالأعناق فوالذي نفس محمد بيده اني لأرى الشياطين تدخل من خلل الصف كأنها الحذف


Para fuqahâ’ memahami bahwa perintah dalam hadits tersebut adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Ini artinya, merenggangkan shaf sebagai kebalikan dari merapatkan shaf yang diperintahkan, tidaklah haram. Melainkan, makruh. Itupun, makruh yang ringan bukan yang berat (مكروه كراهة غير شديدة). Fuqahâ’muta’akkhirîn menamakan makruh jenis ini dengan khilâful awlâ, yakni suatu larangan yang tidak memiliki acuan dalil secara langsung melainkan larangan yang digalli/dipahami dari perintah sunnah, sesuai dengan kaidah (الأمر بالشيء نهي عن ضده) Penegasan bahwa perintah merapatkan shaf adalah perintah sunnah ditemukan di dalam beberapa kitab:


{ شرح أبي داود للعيني  3/209 }

ص- نا عبد الله بن محمد النفيلي: نا زهير قال: سألتُ سليمان الأعمش عن حديث جابر بن سمرة في الصفوف المقدمة، فحدثنا عن المسيب بن رافع، عن تميم بن طرفة، عن جابر بن سَمُرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” ألا تصُفون كما تصف الملائكة عند ربهم؟ ” قلنا: وكيف تصف الملائكةُ عند ربهم؟ قال: ” يُتمون الصفوف المقدمة، ويتراصون في الصف “…………ويُستفاد من الحديث: استحباب إتمام الصف الأول، واستحباب التَراص في الصفوف. والحديث أخرجه مسلم، والنسائي، وابن ماجه.


{ شرح مسلم للنووي  13/141 }

(أقيموا صفوفكم) أمر بإقامة الصفوف وهو مأمور بإجماع الأمة وهو أمر ندب والمراد تسويتها والاعتدال فيها وتتميم

الأول فالأول منها والتراص فيها وسيأتي بسط الكلام فيها حيث ذكرها مسلم ان شاء الله تعالى


{ شرح النووي على مسلم  5/103 }

قالَ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَالْكُوفِيُّونَ يَقُومُونَ فِي الصَّفِّ إِذَا قَالَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ فَإِذَا قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ كَبَّرَ الْإِمَامُ وَقَالَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ لَا يُكَبِّرُ الْإِمَامُ حَتَّى يَفْرُغَ الْمُؤَذِّنُ مِنَ الْإِقَامَةِ قَوْلُهُ قُمْنَا فَعَدَلْنَا الصُّفُوفَ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ هَذِهِ سُنَّةٌ مَعْهُودَةٌ عِنْدَهُمْ وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ تَعْدِيلِ الصُّفُوفِ وَالتَّرَاصِّ فِيهَا


{ حاشية العطار  1/402}

( وَمَنْدُوبًا ) أَيْ الْقَصْرُ ، لَكِنْ فِي سَفَرٍ يَبْلُغُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا كَمَا هُوَ مَعْلُومٌ مِنْ مَحَلِّهِ فَإِنْ لَمْ يَبْلُغْهَا فَالْإِتْمَامُ أَوْلَى خُرُوجًا مِنْ قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ بِوُجُوبِهِ وَمَنْ قَالَ الْقَصْرُ مَكْرُوهٌ كَالْمَاوَرْدِيِّ أَرَادَ مَكْرُوهٌ كَرَاهَةً غَيْرَ شَدِيدَةٍ ٖوَهُوَ بِمَعْنَى خِلَافِ الْأَوْلَ

اسنى المطالب

وَفُهِمَ مِمَّا تَقَرَّرَ أَنَّهُ إذَا لَمْ تَكُنْ سُتْرَةٌ ، أَوْ تَبَاعَدَ عَنْهَا فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ ، أَوْ كَانَتْ دُونَ ثُلُثَيْ ذِرَاعٍ لَمْ يَجُزْ الدَّفْعُ وَلَمْ يَحْرُمْ الْمُرُورُ لِتَقْصِيرِهِ نَعَمْ الْمُرُورُ حِينَئِذٍ خِلَافُ الْأَوْلَى كَمَا فِي الرَّوْضَةِ ، أَوْ مَكْرُوهٌ كَمَا فِي شَرْحَيْ الْمُهَذَّبِ وَمُسْلِمٍ ، وَالتَّحْقِيقِ وَلَك أَنْ تَحْمِلَ الْكَرَاهَةَ عَلَى الْكَرَاهَةِ غَيْرِ الشَّدِيدَةِ


Dari paparan tersebut, bisa disimpulkan bahwa merapatkan shaf bukan merupakan syarat sah shalat. Melainkan menjadi syarat untuk mendapatkan keutamaan shalat jama’ah. Bahkan, menurut sebagian pendapat, hanya menjadi syarat untuk mendapatkan keutamaan shaf. Sebagaimana terdapat dalam;


{ حاشية إعانة الطالبين  2/30 }

(قوله: وكره لمأموم انفراد إلخ) أي ابتداء ودواما – كما في ح ل – وتفوت به فضيلة الجماعة. قال م ر في شرحه، وحجر وسم: إن الصفوف المتقطعة تفوت عليهم فضيلة الجماعة. اه. وقال م ر في الفتاوي، تبعا للشرف المناوي، إن الفائت عليهم: فضيلة الصفوف، لا فضيلة الجماعة. ومال ع ش إلى ما في شرح الرملي، لانه إذا تعارض ما فيه وغيره قدم ما في الشرح اه. بجيرمي.


{ حاشية قليوبي  1/275 }

قوله : ( فردا ) بأن يكون في كل من جانبيه فرجة تسع واقفا فأكثر , وإن كان بين الصفوف والفائت في تقطيع الصفوف فضيلة الصف لا فضيلة الجماعة عند شيخنا الرملي وأتباعه .


{ حواشي الشرواني والعبادي  2/301 }

وكره لمأموم انفراد إلخ ومع انفراده وكراهته لا تفوته فضيلة الجماعة خلافا للمحلي بل فضيلة الصف وفاقا للطبلاوي والبرلسي نعم فضيتله دون فضيلة من دخل الصف والرملي وافق المحلي اه.


Pertanyaan


Kedua, apakah upaya menghindari persebaran virus covid-19 dengan physical distancing menjadi alasan (عذر) yang menyebabkan rapatnya shaf tidak lagi menjadi syarat mendapatkan fadhîlah shalat jamaah?


Jawaban


Kemakruhan merenggangkan shaf yang dipahami dari perintah merapatkan shaf, berlaku dalam kondisi normal sebagai hukum azîmah. Sedangkan dalam kondisi tidak normal, karena terjadi hal-hal tertentu, maka berlaku hukum rukhsah, yaitu hilangnya kemakruhan. Dengan demikian, merapatkan shaf dalam kondisi tidak normal, tidak menjadi syarat untuk mendapatkan fadhîlah jama’ah atau fadhîlah shaf.


Ada beberapa hal yang bisa menjadi alasan untuk tidak merapatkan shaf, diantaranya adalah kondisi panas, kekhawatiran hilangnya harta, dan lain-lain.


{ نهاية الزين ص: 121 }

( و ) حينئذ كره ( شروع في صف قبل إتمام ما قبله ) وفي فتاوى محمد الرملي أن الصفوف المقطعة تحصل لهم فضيلة الجماعة دون فضيلة الصف والمعتمد الأول  نعم إن كان تأخرهم عن سد الفرجة لعذر كوقت الحر بالمسجد الحرام لم يكره لعدم التقصير فلا تفوتهم الفضيلة


{ تحفة الحبيب على شرح الخطيب, 2/۳۲۳ }

أن الصفوف المقطعة تحصل لهم فضيلة الجماعة دون فضيلة الصف الأوّل ، ونقل مثل ذلك عن الشرف المناوي وعن شيخ الإسلام هذا وقد علمت أن المعتمد ما قاله م ر …إلى أن قال …قوله : ( لتقصيرهم بتركها ) فإن لم يقصروا فلا كراهة كأن تركوا سد الفرجة لشدة حرها كوقت الحر بالمسجد الحرام لعدم تقصيرهم.


{ حاشية البجيرمي على الخطيب, 1/۱۰۸ }

( وَلَهُ أَنْ يَخْرِقَ الصَّفَّ الَّذِي إلَخْ ) فَقَدْ نَصَّ عَلَى نَدْبِ سَدِّ فُرَجِ الصُّفُوفِ وَأَنْ لَا يَشْرَعَ فِي صَفٍّ حَتَّى يُتِمَّ مَا قَبْلَهُ ، وَأَنْ يُفْسِحَ لِمَنْ يُرِيدُهُ فَلَوْ خَالَفُوا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ كُرِهَتْ صَلَاتُهُمْ ، وَفَاتَتْهُمْ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ شَرْحُ م ر .

فَإِنَّهُ قَالَ إنَّ ارْتِكَابَ كُلِّ مَكْرُوهٍ مِنْ حَيْثُ الْجَمَاعَةُ الْمَطْلُوبَةُ يَفُوتُهَا ، وَنَقَلَ سم عَنْ ابْنِ حَجَرٍ مِثْلَ ذَلِكَ وَأَقَرَّهُ لَكِنْ فِي فَتَاوَى ابْنِ الرَّمْلِيِّ. أَنَّ الصُّفُوفَ الْمُقَطَّعَةَ تَحْصُلُ لَهُمْ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ دُونَ فَضِيلَةِ الصَّفِّ الْأَوَّلِ ، وَنُقِلَ مِثْلُ ذَلِكَ عَنْ الشَّرَفِ الْمُنَاوِيِّ وَعَنْ شَيْخِ الْإِسْلَامِ هَذَا وَقَدْ عَلِمْت أَنَّ الْمُعْتَمَدَ مَا قَالَهُ م ر .


Keharusan untuk menerapkan physical distancing, sebagaimana diamanatkan oleh ûlil amri, diyakini sebagai salah satu hal yang menjadi alasan untuk tidak merapatkan shaf dalam shalat jum’at dan jama’ah. Kebijakan ûlil amri ini, selaras dengan maqâshid syarî’ah yang meniscayakan adanya perlindungan terhadap keselamatan jiwa (حفظ النفس). Menaati kebijakan ûlil amri sepanjang mengandung kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah merupakan kewajiban agama sebagaimana diamanatkan oleh al-Qur’an


{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ } [النساء: 59]


Ûlil amri di bidang politik kenegaraan adalah pemerintah (الأمرآء). Ûlil amri di bidang agama adalah para ahli agama (العلمآء). Ûlil amri di bidang kesehatan adalah ahli kesehatan (الأطبآء)


{ تفسير القرطبي 5/249 }

وقال جابر بن عبد الله و مجاهد : { وأولي الأمر } أهل القرآن والعلم وهو اختيار مالك رحمه الله ونحوه قول الضحاك قال : يعني الفقهاء والعلماء في الدين وحكي عن مجاهد أنهم أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم خاصة وحكي عن عكرمة أنها إشارة إلى أبي بكر وعمر رضي الله عنهما خاصة وروى سفيان بن عيينة عن الحكم بن أبان أنه سأل عكرمة عن أمهات الأولاد فقال : هن حرائر فلت بأي شيء ؟ قال بالقرآن قلت : بأي شيء في القرآن قال قال الله تعالى : { أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم } وكان عمر من أولي الأمر قال : عتقت ولو بسقط وسيأتي هذا المعنى مبينا في سور الحشر عند قوله تعالى : { وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا } [ الحشر : 7 ] وقال ابن كبسان : هم أولو العقل والرأي الذين يدبرون أمر الناس


{ تفسير ابن كثير  3/431 }

وَقَالَ عَلِيّ بْن أَبِي طَلْحَة عَنْ اِبْن عَبَّاس ” وَأُولِي الْأَمْر مِنْكُمْ ” يَعْنِي أَهْل الْفِقْه وَالدِّين وَكَذَا قَال مُجَاهِد وَعَطَاء وَالْحَسَن الْبَصْرِيّ وَأَبُو الْعَالِيَة ” وَأُولِي الْأَمْر مِنْكُمْ ” يَعْنِي الْعُلَمَاء وَالظَّاهِر وَاَللَّه أَعْلَم أَنَّهَا عَامَّة فِي كُلّ أُولِي الْأَمْر مِنْ الْأُمَرَاء وَالْعُلَمَاء كَمَا تَقَدَّمَ


{ نهاية الزين ص: 112 }

وَمِنْهَا امْتِثَال أَمر الإِمَام فِي جَمِيع مَا ذكر وَلَو مسافرين وَلَو فِي النّصْف الثَّانِي من شعْبَان لِأَن هَذَا الصَّوْم لسَبَب وَإِنَّمَا وَجب امْتِثَال أمره فِي ذَلِك لِأَنَّهُ إِذا أَمر بِوَاجِب تَأَكد وُجُوبه وَإِذا أَمر بمندوب وَجب وَإِن أَمر بمباح فَإِن كَانَ فِيهِ مصلحَة عَامَّة كَتَرْكِ شرب الدُّخان وَجب بِخِلَاف مَا إِذا أَمر بِمحرم أَو مَكْرُوه أَو مُبَاح لَا مصلحَة فِيهِ عَامَّة


{ حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب  2/238 }

قَوْلُهُ: (وَإِذَا أَمَرَهُمْ الْإِمَامُ) أَوْ نَائِبُهُ، وَيَظْهَرُ أَنَّ مِنْهُ الْقَاضِيَ الْعَامَّ الْوِلَايَةَ لَا نَحْوَ وَالِي الشَّوْكَةِ، وَأَنَّ الْبِلَادَ الَّتِي لَا إمَامَ فِيهَا يُعْتَبَرُ ذُو الشَّوْكَةِ الْمُطَاعُ فِيهَا، شَوْبَرِيٌّ. وَأَمْرُهُ بِذَلِكَ يَعُمُّ مَنْ حَضَرَ وَمَنْ لَمْ يَحْضُرْ وَصَحَّحَهُ م ر قَوْلُهُ: (لَزِمَهُمْ امْتِثَالُ أَمْرِهِ) وَلَوْ مُسَافِرِينَ عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَظَاهِرُهُ وَلَوْ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَعْبَانَ لِأَنَّهُ لِسَبَبِ أج. وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ إذَا أَمَرَ بِوَاجِبٍ تَأَكَّدَ وُجُوبُهُ، وَإِنْ أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ وَجَبَ، وَإِنْ أَمَرَ بِمُبَاحٍ فَإِنْ كَانَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ كَتَرْكِ شُرْبِ الدُّخَانِ وَجَبَ، بِخِلَافِ مَا إذَا أَمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوهٍ أَوْ مُبَاحٍ لَا مَصْلَحَةَ فِيهِ عَامَّةً م د قَوْلُهُ: (وَالْقِيَاسُ طَرْدُهُ) أَيْ تَعْمِيمُهُ أَيْ الْإِيجَابِ وَشُمُولُهُ لِلْجَمِيعِ إلَخْ. وَهَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ قَوْلُهُ: (تَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ) اعْتَمَدَهُ م ر.


Oleh karena itu,  merenggangkan shaf sebagaimana diamanatkan oleh ûlil amri dengan alasan menghindari penyebaran covid 19 termasuk kategori udzur syar’iy sehingga tidak menghilangkan fadîlah (keutamaan) jama’ah atau fadhîlah shaf.


Pertanyaan


Ketiga, apakah shalat jum’at tetap wajib dilaksanakan meski dengan shaf-shaf yang tidak rapat, atau tidak mungkinnya merapatkan shaf dapat menjadi alasan (عذر) untuk meninggalkan shalat Jumat?


Jawaban


Di atas sudah dijelaskan bahwa merapatkan shaf bukan syarat keabsahan shalat jama’ah yang menjadi salah satu syarat keabsahan shalat jum’at. Oleh karena itu, kondisi shaf-shaf yang renggang sebagai akibat dari penerapan physical distancing tidak menjadi penyebab gugurnya kewajiban shalat jum’at. Ini artinya bahwa shalat jum’at tetap wajib meski dengan kondisi shaf-shaf yang tidak rapat. Dikecualikan, daerah-daerah di mana kondisinya tidak bisa dikendalikan (zona coklat atau hitam). Dalam kondisi seperti ini, covid-19 bukan hanya menjadi udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jum’at (مبيح للترك), tetapi ia sekaligus menjadi udzur yang menjadi penghalang bolehnya melaksanakan shalat jum’at (مانع من الفعل).


Di bawah ini dipaparkan beberapa hal yang menjadi alasan (عذر) untuk tidak melaksanakan shalat jama’ah dan jum’at. Dan ternyata physical distancing dalam rangka menghindari penyebaran dan penularan covid-19, tidak tercover dalam beberapa referensi ini, baik secara redaksional maupun secara substansial.


{ حاشية إعانة الطالبين  2/57 }

(قوله: تتمة) أي في بيان الاعذار المرخصة لترك الجماعة حتى تنتفي الكراهة، حيث سنت، والاثم: حيث وجبت، والاصل فيها خبر ابن حيان والحاكم في صحيحيهما: من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له – أي كاملة – إلا من عذر وهي على قسمين: عامة: كالمطر، والريح، وشدة الحر، وشدة البرد. وخاصة: كشدة نعاس، ومرض يشق، وتمريض قريب.

قوله: وعذر الجماعة هو مفرد مضاف لمعرفة، فيعم جميع الاعذار التي ذكرها. وقوله: كالجمعة ومتعلق بمحذوف حال من الجماعة أي حال كونها كالجمعة. أي فأعذارهما متحدة. وكان الاولى أن يعد أولا أعذار الجماعة ثم يقول: وأعذار الجمعة هي أعذار الجماعة، أي مما يمكن مجيئه في الجمعة كما سيأتي التنبيه عليه في بابها.


{ حاشية البجيرمي على الخطيب  5/81 }

وَرُخِّصَ تَرْكُ الْجَمَاعَةِ بِعُذْرٍ عَامٍّ أَوْ خَاصٍّ كَمَشَقَّةِ مَطَرٍ وَشِدَّةِ رِيحٍ بِلَيْلٍ ، وَشِدَّةِ وَحْلٍ ، وَشِدَّةِ حَرٍّ ، وَشِدَّةِ بَرْدٍ ، وَشِدَّةِ جُوعٍ ، وَشِدَّةِ عَطَشٍ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ مَأْكُولٍ أَوْ مَشْرُوبٍ يَتُوقُ إلَيْهِ ، وَمَشَقَّةِ مَرَضٍ ، وَمُدَافَعَةِ حَدَثٍ ، وَخَوْفٍ عَلَى مَعْصُومٍ وَخَوْفٍ مِنْ غَرِيمٍ لَهُ وَبِالْخَائِفِ إعْسَارٌ يَعْسُرُ عَلَيْهِ إثْبَاتُهُ ، وَخَوْفٍ مِنْ عُقُوبَةٍ يَرْجُو الْخَائِفُ الْعَفْوَ بِغَيْبَتِهِ ، وَخَوْفٍ مِنْ تَخَلُّفٍ عَنْ رُفْقَةٍ وَفَقْدِ لِبَاسٍ لَائِقٍ ، وَأَكْلِ ذِي رِيحٍ كَرِيهٍ يَعْسُرُ إزَالَتُهُ ، وَحُضُورِ مَرِيضٍ بِلَا مُتَعَهِّدٍ أَوْ بِمُتَعَهِّدٍ ، وَكَانَ نَحْوَ قَرِيبٍ كَزَوْجٍ مُحْتَضَرٍ أَوْ لَمْ يَكُنْ مُحْتَضَرًا لَكِنَّهُ يَأْنِسُ بِهِ .

وَقَدْ ذَكَرْتُ فِي شَرْحِ الْمِنْهَاجِ زِيَادَةً عَلَى الْأَعْذَارِ الْمَذْكُورَةِ مَعَ فَوَائِدَ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ : وَمَعْنَى كَوْنِهَا أَعْذَارًا سُقُوطُ الْإِثْمِ عَلَى قَوْلِ الْفَرْضِ ، وَالْكَرَاهَةُ عَلَى قَوْلِ السُّنَّةِ لَا حُصُولُ فَضْلِهَا .وَجَزَمَ الرُّويَانِيُّ بِأَنَّهُ يَكُونُ مُحَصِّلًا لِلْجَمَاعَةِ إذَا صَلَّى مُنْفَرِدًا وَكَانَ قَصْدُهُ الْجَمَاعَةَ لَوْلَا الْعُذْرُ ، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِرُ وَيَدُلُّ لَهُ خَبَرُ أَبِي مُوسَى { إذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِنْ الْعَمَلِ مَا كَانَ يَعْمَلُهُ صَحِيحًا مُقِيمًا } رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ .


{ شرح الياقوت النفيس   1/309 }

ضبطوا أعذار الجمعة و الجماعة بقائدتين. القائدة الأولى : إذا كان يلحقه بالحضور مشقة شديدة ولا يقدر على تحملها سواء كان بمرض أو حر أو برد أو ما أشبه ذلك. فيسقط عنه الطلب. أما إذا كانت المشقة خفيفة كحمى خفيفة إذا لم يخش زيادتها بخروجه فليست بعذر عن تركه الجمعة……. الى أن قال القاعدة الثانية : إذا ترتب على خروجه فوات منفعة لا يقوم بها غيره مثل تمريض مريض أوعنده مريض يأنس به أو فوات مال أو نفس له أو لغيره فهذه من الاعذار لترك الجمعة و الجماعة. الى أن قال و الضابط أن كل ما يشق مشقة شديدة فهو عذر  ” لا يكلف الله نفسا الا وسعها”.


{ الحاوى الكبير ـ الماوردى  2/949 }

وَإِذَا كَانَ ذَلِكَ كَذَلِكَ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الزِّحَامِ هَلْ هُوَ مَعْذُورٌ بِهِ أَمْ لَا ؟ في صلاة الجمعة عَلَى وَجْهَيْنِ : أَحَدُهُمَا : أَنَّهُ مَعْذُورٌ بِهِ ، فَعَلَى هَذَا يُتِمُّ صَلَاتَهُ ظُهْرًا أَرْبَعًا . وَالْوَجْهُ الثَّانِيَ : أَنَّهُ غَيْرُ مَعْذُورٍ بِهِ : لِأَنَّ أَعْذَارَ الْجُمْعَةِ أَمْرَاضٌ مَانِعَةٌ ، وَلَيْسَ الزِّحَامُ مِنْهَا ، فَعَلَى هَذَا فِي صَلَاتِهِ قَوْلَانِ : أَحَدُهُمَا : وَهُوَ الْقَدِيمُ جَائِزَةٌ ، وَيَبْنِي عَلَى الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ . وَالثَّانِي : وَهُوَ الْجَدِيدُ بَاطِلَةٌ ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَأْنِفَهَا ظُهْرًا أَرْبَعًا .


Keempat, penerapan physical distancing dalam shalat Jum’at mengakibatkan daya tampung masjid menjadi berkurang sehingga banyak jamaah yang hadir tidak kebagian tempat.


Pertanyaannya


Bolehkah melaksanakan shalat Jum’at lebih dari satu kali (تعدد الجمعة) dalam satu kawasan di beberapa tempat atau satu tempat secara bergelombang?


Jawaban


Menurut Jumhûr Fuqahâ’, shalat jum’at cukup dilaksanakan satu kali di satu daerah/kawasan. Ini artinya, tidak boleh ada shalat jum’at lebih dari satu dalam satu kawasan, baik di satu tempat atau beberapa tempat. Akan tetapi, menurut mereka, ada beberapa hal yang menjadi sebab bolehnya ta’addud al-jum’ah di dua tempat atau lebih, tergantung kebutuhan. Salah satunya, sulitnya mengumpulkan seluruh jama’ah di satu tempat.


Pada saat ini, sulitnya mengumpulkan seluruh jama’ah di satu tempat mungkin banyak terjadi di negara ini akibat kasus covid-19 yang mengharuskan penerapan physical distancing. Ini artinya, ta’addud al-jum’ah di berbagai tempat bisa jadi pilihan yang bisa dilakukan ketika tidak mungkin mengumpulkan seluruh warga di satu tempat. Hal ini sebagaimana dalam beberapa kitab fiqh,


{ مغني المحتاج  1/276 }

الثالث ” من الشروط ” أن لا يسبقها ولا يقارنها جمعة في بلدتها ” ولو عظمت كما قاله الشافعي لأنه صلى الله عليه و سلم والخلفاء الراشدين لم يقيموا سوى جمعة واحدة ولأن الاقتصار على واحدة أفضى إلى المقصود من إظهار شعار الاجتماع واتفاق الكلمة  قال الشافعي ولأنه لو جاز فعلها في مسجدين لجاز في مساجد العشائر ولا يجوز إجماعا . ” إلا إذا كبرت ” أي البلدة ” وعسر اجتماعهم في مكان ” بأن لم يكن في محل الجمعة موضع يسعهم بلا مشقة ولو غير مسجد فيجوز التعدد للحاجة بحسبها لأن الإمام الشافعي رضي الله تعالى عنه دخل بغداد وأهلها يقيمون بها جمعتين وقيل ثلاثا فلم ينكر عليهم فحمله الأكثرون على عسر الاجتماع قال الروياني ولا يحتمل مذهب الشافعي غيره


{ بغية المسترشدين ص: 164 }

والحاصل


من كلام الأئمة أن أسباب جواز تعددها ثلاثة : ضيق محل الصلاة بحيث لا يسع المجتمعين لها غالباً ، والقتال بين الفئتين بشرطه ، وبعد أطراف البلد بأن كان بمحل لا يسمع منه النداء ، أو بمحل لو خرج منه بعد الفجر لم يدركها ، إذ لا يلزمه السعي إليها إلا بعد الفجر اهـ. وخالفه ي فقال : يجوز بل يجب تعدد الجمعة حينئذ للخوف المذكور ، لأن لفظ التقاتل نص فيه بخصوصه ، ولأن الخوف داخل تحت قولهم : إلا لعسر الاجتماع ، فالعسر عام لكل عسر نشأ عن المحل أو خارجه ؟ وانحصار التعدد في الثلاث الصور التي استدل بها المجيب المتقدم ليس حقيقة ، إذ لم يحصر العذر في التحفة والنهاية وغيرهما بل ضبطوه بالمشقة ، وهذا الحصر إما من الحصر المجازي لا الحقيقي إذ هو الأكثر في كلامهم ، أو من باب حصر الأمثلة ، فالضيق لكل عسر نشأ عن المحل والبعد ، ولكل عسر نشأ عن الطريق والتقاتل ولغيرهما ، كالخوف على النفس والمال والحر الشديد والعداوة ونحوها من كل ما فيه مشقة.


Persoalan berikutnya ialah bila di suatu kawasan hanya ada satu tempat shalat jum’at dan tidak bisa menampung seluruh jamaa’ah, sementara tidak ditemukan tempat-tempat lain untuk melaksanakan shalat jum’at. Bolehkah melakukan shalat jum’at secara bergelombang di tempat yang sama?


Jawaban


Secara manhajiy, dengan mengkaji dalil-dalil dan dasar-dasar yang ada, khususnya yang menyangkut larangan ta’addudul jum’at, bisa dikatakan “tampaknya tidak ada perbedaan (فارق)  antara ta’addud al-jum’ah di beberapa tempat dengan ta’addud al-jum’ah di satu tempat.” Karena keduanya sama-sama dapat mewujudkan tujuan syari’at, yakni selain untuk menunaikan kewajiban ritual juga dapat menjadi media syi’ar agama dan persatuan umat Islam.


Maka hal-hal yang menjadi alasan bolehnya ta’addudul jum’at di beberapa tempat juga menjadi alasan bolehnya ta’addudul jum’at di satu tempat secara bergelombang.


{ الميزان الكبرى ص: 209 }

وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَعَدُّدُ الْجُمُعَةِ فِي بَلَدٍ إِلَّا إِذَا كَثَرُوا وَعَسُرَ اجْتِمَاعُهُمْ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ … وَوَجْهُ الْأَوَّلِ أَنَّ إِمَامَةَ الْجُمُعَةِ مِنْ مَنْصَبِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ، فَكَانَ الصَّحَابَةُ لَا يُصَلُّونَ الْجُمُعَةَ إِلَّا خَلْفَهُ. وَتَبَعَهُمُ الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ عَلَى ذَلِكَ. فَكَانَ كُلُّ مَنْ جَمَعَ بِقَوْمٍ فِي مَسْجِدٍ آخَرَ خِلَافَ الْمَسْجِدِ الَّذِي فِيهِ الْإِمَامُ الْأَعْظَمُ يُلَوِّثُ النَّاسُ بِهِ وَيَقُولُونَ: إنَّ فُلَانًا يُنَازِعُ فِي الْإِمَامَةِ. فَكَانَ يَتَوَلَّدُ مِنْ ذَلِكَ فِتَنٌ كَثِيرَةٌ، فَسَدَّ الْأَئِمَّةُ هَذَا الْبَابَ إِلَّا لِعُذْرٍ يَرْضَى بِهِ الْإِمَامُ الْأَعْظَمُ، كَضَيْقِ مَسْجِدِهِ عَنِ جَمِيعِ أَهْلِ الْبَلَدِ. فَهَذَا سَبَبُ قَوْلِ الْأَئِمَّةِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَعَدُّدُ الْجُمُعَةِ فِي الْبَلَدِ الْوَاحِدِ إِلَّا إِذَا عَسُرَ اجْتِمَاعُهُمْ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ. فَبُطْلَانُ الْجُمُعَةِ الثَّانِيَةِ لَيْسَ لِذَاتِ الصَّلَاةِ وَإِنَّمَا ذَلِكَ لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ … فَلَمَّا ذَهَبَ هَذَا الْمَعْنَى الَّذِى هُوَ خَوْفُ الْفِتْنَةِ مِنْ تَعَدُّدِ الْجُمُعَةِ جَازَ التَّعَدُّدُ عَلَى الْأَصْلِ فِي إِقَامَةِ الْجَمَاعَةِ وَلَعَلَّ ذَلِكَ مُرَادُ دَاوُدَ بِقَوْلِهِ إِنَّ الْجُمُعَةَ كَسَائِرِ الصَّلَواتِ وَيُؤَيِّدُهُ عَمَلُ النَّاسِ بِالتَّعَدُّدِ فِي سَائِرِ الْأَمْصَارِ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ فِي التَّفْتِيشِ عَنْ سَبَبِ ذَلِكَ وَلَعَلَّهُ مُرَادُ الشَّارِعِ وَلَوْ كَانَ التَّعَدُّدُ مَنْهِيًّا عَنْهُ لَا يَجُوزُ فِعْلُهُ بِحَالٍ لِوُرُودِ ذَلِكَ وَلَوْ فِي حَدِيثٍ وَاحِدٍ فَلِهَذَا نَفَذَتْ هِمَّةُ الشَّارِعُ فِي التَّسْهِيلِ عَلَى أُمَّتِهِ فِي جَوَازِ التَّعَدُّدِ فِي سَائِرِ الْأَمْصَارِ حَيْثُ كَانَ أَسْهَلَ عَلَيْهِمْ مِنَ الْجَمْعِ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ


{ قرة العين بفتاوى اسمعيل بن زين (ص: 89) }

حكم تعدد الجمعة فى بلدة واحدة أو قرية واحدة.

مسألة : ما قولكم في تعدد الجمعة في بلدة واحدة أو قرية واحدة مع تحقق العدد المعتبر فى كل مسجد من مساجدها فهل تصح جمعة الجميع أو فيه تفصيل فيما يظهر لكم ؟

الجواب : أما مسألة تعدد الجمعة فالظاهر جواز ذلك مطلقا بشرط أن لا ينقص عدد كل عن أربعين رجلا , فإن نقص عن ذلك انضموا إلى أقرب جمعة إليهم إذ لم ينقل عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه جمع بأقل من ذلك. وكذلك السلف الصالح من بعده. و القول بعدم الجواز إلا عند تعذر الإجتماع فى مكان واحد ليس عليه دليل صريح ولا ما يقرب من الصريح لا نصا ولاشبهه بل إن سر مقصود الشرع هو فى اظهار الشعار فى ذلك اليوم وأن ترفع الأصوات على المنابر بالدعوة إلى الله و النصح للمسلمين. فكلما كانت المنابر أكثر كانت الشعارات أظهر و تبولت عزة الاسلام فى ان واحد فى أماكن متعددة إذا كان كل مسجد عامرا بأربعين فأكثر . هذا هو الظاهر لى. والله ولي التوفيق.


 

Kalau yang digunakan adalah pendekatan qawliy dengan menjadikan aqwâl ulama yang terdapat dalam kitab-kitab turats sebagai satu satunya acuan, tidak ditemukan teks yang membolehkan ta’addud al-jum’ah di satu tempat selain madzhab Daud al-Dzahiri. Yang banyak ditemukan adalah sebaliknya, yakni  pendapat ulama yang tidak membolehkan ta’addud al-jum’ah di satu tempat seperti berikut ini:


{ طرح التثريب  3/499 }

( السَّادِسَةَ عَشْرَةَ ) ظَاهِرُ إطْلَاقِ الْحَدِيثِ أَنَّ صَلَاةَ الْخَوْفِ تَأْتِي فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَيْضًا إذَا وُجِدَ الْخَوْفُ فِيهَا وَقَدْ قَالَ أَصْحَابُنَا الشَّافِعِيَّةُ إنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَهَا عَلَى هَيْئَةِ صَلَاةِ عُسْفَانَ بِأَنْ يُرَتِّبَهُمْ صَفَّيْنِ وَيَحْرُسَ فِي سُجُودِ كُلِّ رَكْعَةٍ صَفٌّ عَلَى مَا تَقَدَّمَ بَيَانُهُ وَاَلَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَهُوَ الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَهَا أَيْضًا عَلَى هَيْئَةِ صَلَاةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ لَكِنْ بِشَرْطَيْنِ : ( أَحَدُهُمَا ) أَنْ يَخْطُبَ بِهِمْ جَمِيعًا ثُمَّ يُفَرِّقَهُمْ أَوْ يَخْطُبَ بِفِرْقَةٍ وَيَجْعَلَ مِنْهَا مَعَ الْفِرْقَةِ الْأُخْرَى أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا فَلَوْ خَطَبَ بِفِرْقَةٍ وَصَلَّى بِأُخْرَى لَمْ يَجُزْ ( الثَّانِي ) أَلَّا يُنْقِصَ الْفِرْقَةَ الْأُولَى عَنْ أَرْبَعِينَ وَلَا يَضُرُّ نَقْصُ الثَّانِيَةِ عَنْ ذَلِكَ عَلَى الْأَصَحِّ قَالُوا وَلَا يَجُوزُ صَلَاةُ بَطْنِ نَخْلٍ عَلَى الْأَصَحِّ إذْ لَا تُقَامُ جُمُعَةٌ بَعْدَ جُمُعَةٍ وَهَذَا كُلُّهُ مَبْنِيٌّ عَلَى جَوَازِ صَلَاةِ الْخَوْفِ فِي الْحَضَرِ وَهُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ كَمَا تَقَدَّمَ وَكَذَا قَالَ الْحَنَابِلَةُ يَجُوزُ أَنْ تُصَلَّى الْجُمُعَةُ صَلَاةَ الْخَوْفِ إذَا كَانَتْ كُلُّ طَائِفَةٍ أَرْبَعِينَ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .


{ فتاوى السبكي  1/186 }

وبحثت مع كثير من حنفية هذا العصر فوجدت في أذهان أكثرهم أن القول بجواز التعدد مع عدم الحاجة رواية عن محمد ولقد فحصت ونقبت الكثير في كتبهم فلم أر أحدا صرح بجواز التعدد عند عدم الحاجة بل بعضهم أطلق عنه جواز التعدد وبعضهم قيد بالحاجة والتقييد بالحاجة موجود في كثير من كتبهم منها المحيط ومنها شرح المختار لمصنفه وجماعة من كتبهم ووقع في عبارة بعض متأخريهم في النقل عن محمد أنه قال كالظهر وتشبيهه إياها بالظهر مشكل توهم بعض من بحثت معه أنه يدل على الجواز عند عدم الحاجة كالظهر فقلت له يلزمك جواز جمعتين في مسجد واحد ثم أخرجت له قول صاحب الاختيار وغيره إن ذلك باطل إجماعا ولا شك أن هذه العبارة مؤولة محمولة على التشبيه بالظهر في شيء غير التعدد مطلقا ثم حسبنا كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم وإجماع السلف.


{ المحلى  ٣/٢٨٩ }

مسألة وان جاء اثنان فصاعدا وقد فاتت الجمعة صلوها جمعة لما ذكرنا من انها ركعتان فى الجماعة


Dugaan kuat kita, para ulama zaman dahulu tidak membolehkan ta’addud al-jum’ah di satu tempat karena mereka tidak  membayangkan akan terjadi kondisi darurat seperti digambarkan di atas.


Forum Bahtsul Masail Daring Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo memutuskan bahwa pelaksanaan shalat jum’at dua gelombang di satu tempat tidak diperbolehkan, kecuali memenuhi beberapa syarat sbb:


Benar-benar berada dalam kondisi darurat seperti digambarkan di atas.

Pergantian antar gelombang dari yang satu ke yang lainnya tidak menimbulkan penumpukan massa yang justru bertentangan dengan physical distancing.

Jam’ah yang ada bila dibagi dua (misalnya) masing-masing tidak kurang dari 40 orang (dalam madzhab Syafi’iy)

 


BAHTSUL MASAIL DARING

Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo


Mushahhih


KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag. (Rais Syuriah PBNU)

KH. A Muhyiddin Khotib, M.Ag. (Ketua Umum KAMALY)

Dr. Abdul Djalal, M.Ag. (Ketua AMALI)


Perumus


KH. Imam Nakha’i, M.H.I (Komnas Perempuan)

KH. Badrud Tamam, M.H.I (Aswaja Center Jember)

Ust. Khairuddin Habziz, M.H.I (Katib Ma’had Aly Situbondo)


Moderator


Muhamad Risqil Azizi, M.H.I. (Penulis Ushul Fiqh Millenial)


Notulen


Izzul Madid, M.H.I. (Musyrif Ma’had Aly Situbondo)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا

Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy

 *Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy* Maklum diketahui bahwa ketika seseorang mengadakan acara walimah, maka penganten, bahkan ibu penganten dan keluarga terdekat, merias wajah dengan make up yang cukup tebal. Acara walimah ini biasanya memakan waktu berjam-jam bahkan tak jarang belum selesai sampai waktu shalat tiba. Maka bagaimanakah tata cara thaharah dan shalat bagi wanita yang memakai riasan ini? Solusi 1: Menghapus riasan wajah dan shalat sesuai waktunya Perlu diketahui bahwa salah satu syarat sah wudhu adalah tidak terdapat hal yang menghalangi tersampainya air wudhu ke anggota badan yang wajib dibasuh, tentu penggunaan make up yang tebal sudah pasti menghalangi air wudhu. Maka bagi wanita yang memakai riasan pengantin tersebut tidak boleh berwudhu kecuali sudah menghapus bersih riasan yang ada di wajah, sehingga yakin jika air wudhu benar-benar mengenai anggota wudhu, tidak cukup hanya dengan mengalirkan air tanpa terlebih dahulu menghapus make up nya seperti yan