Langsung ke konten utama

𝐇𝐔𝐊𝐔𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐎𝐋𝐀𝐊 𝐀𝐉𝐀𝐊𝐀𝐍 𝐒𝐔𝐀𝐌𝐈 𝐒𝐀𝐀𝐓 𝐖𝐀𝐊𝐓𝐔 𝐒𝐇𝐀𝐋𝐀𝐓 𝐓𝐈𝐁𝐀


 ۞HASIL KAJIAN OBROLAN SEPUTAR PERNIKAHAN ۞:

𝐇𝐔𝐊𝐔𝐌 𝐌𝐄𝐍𝐎𝐋𝐀𝐊 𝐀𝐉𝐀𝐊𝐀𝐍 𝐒𝐔𝐀𝐌𝐈 𝐒𝐀𝐀𝐓 𝐖𝐀𝐊𝐓𝐔 𝐒𝐇𝐀𝐋𝐀𝐓 𝐓𝐈𝐁𝐀 


➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖


Assalamu'alaikum  warahmatullahi wabarakatuh 🙏


Mohon ma'af izin bertanya?🙏


Apakah yg harus saya lakukan? Jika d waktu shalat subuh saya membangunkan suami namun kala itu dia minta jatah?


apa saya harus tetap menyuruh nya shalat terlebih dulu atau gimaana...?


mohon bimbingannya.syukron🙏


🗳𝐉𝐀𝐖𝐀𝐁𝐀𝐍𝐍𝐘𝐀


𝐀𝐝𝐚 𝐤𝐚𝐢𝐝𝐚𝐡 𝐟𝐢𝐪𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐮𝐧𝐲𝐢 : 


اذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام 


“𝐀𝐏𝐀𝐁𝐈𝐋𝐀 𝐊𝐄𝐓𝐄𝐍𝐓𝐔𝐀𝐍 𝐇𝐀𝐋𝐀𝐋 𝐃𝐀𝐍 𝐇𝐀𝐑𝐀𝐌 𝐁𝐄𝐑𝐊𝐔𝐌𝐏𝐔𝐋, 𝐌𝐀𝐊𝐀 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐃𝐈𝐌𝐄𝐍𝐀𝐍𝐆𝐊𝐀𝐍 𝐀𝐃𝐀𝐋𝐀𝐇 𝐊𝐄𝐓𝐄𝐍𝐓𝐔𝐀𝐍 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐇𝐀𝐑𝐀𝐌”.


اذا تعارض المانع والمقتض قدم المنع 


“𝘼𝙋𝘼𝘽𝙄𝙇𝘼 𝙏𝙀𝙍𝙅𝘼𝘿𝙄 𝙆𝙊𝙉𝙏𝙍𝘼𝘿𝙄𝙆𝙎𝙄 𝘼𝙉𝙏𝘼𝙍𝘼 𝙃𝘼𝙇 𝙔𝘼𝙉𝙂 𝙈𝙀𝙉𝙂𝙃𝙀𝙉𝘿𝘼𝙆𝙄 𝘿𝘼𝙉 𝙃𝘼𝙇 𝙔𝘼𝙉𝙂 𝙈𝙀𝙉𝙂𝙃𝘼𝙇𝘼𝙉𝙂𝙄, 𝙈𝘼𝙆𝘼 𝙔𝘼𝙉𝙏 𝙈𝙀𝙉𝙂𝙃𝘼𝙇𝘼𝙉𝙂𝘼𝙄 𝙃𝘼𝙍𝙐𝙎 𝘿𝙄𝘿𝘼𝙃𝙐𝙇𝙐𝙆𝘼𝙉" 


𝐑𝐄𝐅𝐄𝐑𝐄𝐍𝐒𝐈 : 

📖𝐀𝐒𝐘𝐁𝐀𝐇 𝐖𝐀𝐍 𝐍𝐀𝐃𝐇𝐀𝐈𝐑, 𝐇 : 𝟕𝟒 𝐃𝐀𝐍 𝟖𝟎, 𝐜𝐞𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 : 𝐡𝐚𝐫𝐚𝐦𝐚𝐢𝐧


𝟐 Kaidah ini bisa kita kaitkan ke permasalahan yang ditanyakan. Caranya : 


1. wanita yang telah dinikahi boleh disetubuhi kapanpun waktunya kecuali pada waktu² yang telah ditetapkan haram untuk disetubuhi, dengan kata lain bersetubuh setelah nikah  adalah perkara halal dan bila mana istri menolak maka dianggap nusyud. 


Pada permasalahan nusyud. Nusyudnya istri punya ketentuan tersendiri, seperti sang suami selalu memberikan nafaqah yang cukup setiap harinya sesuai qadar kemampuan suami, maka bila mana istri menolak ajakan suami, baru bisa dikatakan istri telah nusyud, lain hal nya bila terdapat suatu penegah, seperti istri sedang haid.maka penolakan istri untuk tidak bersetubuh tidak dianggap nusyud demi menghindari hal yang buruk dari berhubungan dalam keadaan haid, berdasarkan qaidah : 


اذا تعارض المانع والمقتض قدم المنع 


 “Apabila terjadi kontradiksi antara hal yang menghendaki dan hal yang menghalangi, maka yang menghalangi harus didahulukan.”


Kenteks berhubungan diatas boleh di cegah bila mana suami ingin memasukkan anunya ke organ v, namun untuk melakukan selain memasukkan anunya boleh hukumnya. 


2. Meninggalkan shalat adalah perkara yang diharamkan dan mendapatkan ancaman yang besar akibat meninggalkan shalat. 


Maka permasalahan ajakan dan meninggalkan shalat adalah dua perkara saling bertentangan. 


Bila ajakan suami tersebut dipenuhi oleh siitri padahal istri yakin dengan durasi waktu bersetubuh akan membuat shalat subuh tertinggal, maka istri boleh menolak ajakan suaminya dan menganjurkan suaminya untuk shalat terlebih dahulu karna berpegang pada qaidah diatas. 


📚𝐑𝐄𝐅𝐄𝐑𝐄𝐍𝐒𝐈 : 


 ولا تقربوهُن حتى يطهرن فاذا تطهرن فأْتوهن من حيث امركم الله انَّ الله يحب التوابين ويحب المتطهريْن


“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid, dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri”.(QS. Al-Baqarah: 222)


📖𝐓𝐚𝐟𝐬𝐢𝐫 𝐈𝐛𝐧𝐮 𝐊𝐚𝐭𝐬𝐢𝐫, 𝐣 : 𝟏 , 𝐡 : 𝟓𝟖𝟕 , 𝐜𝐞𝐭 : 𝐦𝐚𝐤𝐭𝐚𝐛𝐚𝐡 𝐬𝐲𝐚𝐦𝐢𝐥𝐚𝐡 


وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَابْنُ مَاجَهْ مِنْ حديث العلاء بن الحارث، عن حزام بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ عَمِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدٍ الْأَنْصَارِيِّ: أَنَّهُ سَأَلَ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا يَحِل لِي مِنَ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ؟ قَالَ: "مَا فَوْقَ الْإِزَارِ"


Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi serta Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Al-Ala, dari Hizam ibnu Hakim, dari pamannya (yaitu Abdullah ibnu Sa'd Al-Ansari):


أَنَّهُ سَأَلَ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا يَحِل لِي مِنَ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ؟ قَالَ: "مَا فَوْقَ الْإِزَارِ"


bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Apakah yang dihalalkan olehku terhadap istriku jika ia sedang haid?" Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Bagian di atas kain sarung."


وَلِأَبِي دَاوُدَ أَيْضًا، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمَّا يَحِلُّ لِي مِنَ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ (٣) . قَالَ: "مَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَالتَّعَفُّفُ عَنْ ذَلِكَ أَفْضَلُ". وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ عَائِشَةَ -كَمَا تَقَدَّمَ -وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، وَشُرَيْحٍ


Imam Abu Daud meriwayatkan pula dari Mu'az ibnu Jabal yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang apa yang dihalalkan baginya terhadap istrinya yang sedang haid. Maka Rasulullah Saw. bersabda:


"مَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَالتَّعَفُّفُ عَنْ ذَلِكَ أَفْضَلُ"


Bagian di atas kain sarung, tetapi menahan diri dari hal tersebut adalah lebih utama.


Hal ini semakna dengan riwayat dari Siti Aisyah seperti yang telah disebutkan di atas, juga riwayat Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab serta Syuraih.


فَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ وَمَا شَابَهَهَا حُجَّةُ مَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ يَحِلُّ مَا فَوْقَ الْإِزَارِ مِنْهَا، وَهُوَ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ، الَّذِي رَجَّحَهُ كَثِيرٌ مِنَ الْعِرَاقِيِّينَ وَغَيْرِهِمْ. 


Hadis-hadis di atas dan lain-lainnya yang serupa merupakan hujah bagi orang-orang yang berpendapat bahwa dihalalkan bersenang-senang dengan istri yang sedang haid pada bagian di atas kain sarungnya. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat di kalangan mazhab Syafii yang dinilai rajih oleh kebanyakan ulama Irak dan lain-lainnya.

وَمَأْخَذُهُمْ  أَنَّهُ حَرِيمُ الْفَرْجِ، فَهُوَ حَرَامٌ، لِئَلَّا يُتَوَصَّلَ إِلَى تَعَاطِي مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، الَّذِي أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى تَحْرِيمِهِ، وَهُوَ الْمُبَاشِرَةُ فِي الْفَرْجِ. ثُمَّ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَثِمَ، فَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَيَتُوبُ إِلَيْهِ. وَهَلْ يَلْزَمُهُ مَعَ ذَلِكَ كَفَّارَةٌ أَمْ لَا؟ فِيهِ قَوْلَانِ:


Kesimpulan pendapat mereka menyatakan bahwa daerah yang ada di sekitar farji hukumnya haram, untuk menghindari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan telah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu bersetubuh pada farjinya.

Kemudian orang yang melanggar hal tersebut, berarti dia telah berdosa dan harus meminta ampun kepada Allah serta bertobat kepada-Nya.

Akan tetapi, apakah orang yang bersangkutan harus membayar kifarat atau tidak. Maka jawabannya ada dua hal,


أَحَدُهُمَا: نَعَمْ، لِمَا رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ، وَأَهْلُ السُّنَنِ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ: "يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ، أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ" (٥) . 


salah satunya mengatakan harus. Pendapat ini berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan kitab-kitab sunnah dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. mengenai seseorang yang mendatangi istrinya yang sedang haid.


"يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ، أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ"


Maka dia harus menyedekahkan satu dinar atau setengah dinar.

 

وَفِي لَفْظٍ لِلتِّرْمِذِيَ: "إِذَا كَانَ دَمًا أَحْمَرَ فَدِينَارٌ، وَإِنْ كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ".


Menurut lafaz Imam Turmuzi disebutkan seperti berikut:


«إِذَا كَانَ دَمًا أَحْمَرَ فَدِينَارٌ، وَإِنْ كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ»


Apabila darah haid berupa merah, maka kifaratnya satu dinar; dan jika darah haid berupa kuning, maka kifaratnya setengah dinar.


وَلِلْإِمَامِ أَحْمَدَ أَيْضًا، عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ فِي الْحَائِضِ تُصَابُ، دِينَارًا فَإِنْ أَصَابَهَا وَقَدْ أَدْبَرَ الدَّمُ عَنْهَا وَلَمْ تَغْتَسِلْ، فَنِصْفُ دِينَارٍ.


Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. menetapkan denda satu dinar apabila menyetubuhi wanita yang sedang haid; dan jika disetubuhi darah telah berhenti darinya, sedangkan ia belum mandi, maka kifaratnya adalah setengah dinar.


وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ الصَّحِيحُ الْجَدِيدُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ، وَقَوْلِ الْجُمْهُورِ: أَنَّهُ لَا شَيْءَ فِي ذَلِكَ، بَلْ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، لِأَنَّهُ لَمْ يَصِحَّ عِنْدَهُمْ رَفْعُ هَذَا الْحَدِيثِ، فَإِنَّهُ [قَدْ] (٦) رُوِيَ مَرْفُوعًا كَمَا تَقَدَّمَ وَمَوْقُوفًا، وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ


أَئِمَّةِ الْحَدِيثِ، فَقَوْلُهُ تَعَالَى: {وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ} تَفْسِيرٌ لِقَوْلِهِ: {فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} وَنَهْيٌ عَنْ قُرْبَانِهِنَّ بِالْجِمَاعِ مَا دَامَ الْحَيْضُ مَوْجُودًا، وَمَفْهُومُهُ حِلُّهُ إِذَا انْقَطَعَ، [وَقَدْ قَالَ بِهِ طَائِفَةٌ مِنَ السَّلَفِ. قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: وَقَالَ مُجَاهِدٌ وَعِكْرِمَةُ وَطَاوُسٌ: انْقِطَاعُ الدَّمِ يُحِلُّهَا لِزَوْجِهَا وَلَكِنْ بِأَنْ تَتَوَضَّأَ]


Pendapat kedua — yang merupakan pendapat yang sahih— adalah qaul jadid dari mazhab Imam Syafii dan pendapat jumhur- ulama menyebutkan bahwa tidak ada kifarat dalam masalah ini, melainkan orang yang bersangkutan diharuskan beristigfar, meminta ampun kepada Allah Swt., mengingat tidak ada hadis marfu' yang sahih menurut pendapat mereka. Dalam pembahasan yang lalu telah diriwayatkan hadis mengenai ini secara marfu'. Ada juga yang diriwayatkan secara mauquf, bahkan yang mauquf inilah yang sahih menurut kebanyakan pendapat ulama hadis.


📖 الزواجر عن اقتراف الكبائر ١/‏٢٢٦ — ابن حجر الهيتمي (ت ٩٧٤) كتاب الصلاة←الكبيرة السابعة والسبعون تعمد تأخير الصلاة عن وقتها أو تقديمها عليه


وأخْرَجَ أبُو داوُد أنَّهُ - ﷺ - قالَ: «ثَلاثٌ لا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنهُمْ صَلاتَهُمْ وذَكَرَ مِنهُمْ مَن أتى الصَّلاةَ دِبارًا» أيْ بَعْدَ أنْ تَفُوتَهُ.


قالَ بَعْضُهُمْ: ووَرَدَ فِي الحَدِيثِ: أنَّ «مَن حافَظَ عَلى الصَّلاةِ أكْرَمَهُ اللَّهُ بِخَمْسِ خِصالٍ: يَرْفَعُ عَنْهُ ضِيقَ العَيْشِ، وعَذابَ القَبْرِ، ويُعْطِيهِ اللَّهُ كِتابَهُ بِيَمِينِهِ، ويَمُرُّ عَلى الصِّراطِ كالبَرْقِ، ويَدْخُلُ الجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسابٍ، ومَن تَهاوَنَ عَنْ الصَّلاةِ عاقَبَهُ اللَّهُ بِخَمْسَ عَشْرَةَ عُقُوبَةً: خَمْسَةٌ فِي الدُّنْيا، وثَلاثَةٌ عِنْدَ المَوْتِ، وثَلاثٌ فِي قَبْرِهِ، وثَلاثٌ عِنْدَ خُرُوجِهِ مِن القَبْرِ. فَأمّا اللَّواتِي فِي الدُّنْيا: فالأُولى تُنْزَعُ البَرَكَةُ مِن عُمْرِهِ، والثّانِيَةُ تُمْحى سِيما الصّالِحِينَ مِن وجْهِهِ، والثّالِثَةُ كُلُّ عَمَلٍ يَعْمَلُهُ لا يَأْجُرُهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، والرّابِعَةُ لا يُرْفَعُ لَهُ دُعاءٌ إلى السَّماءِ، والخامِسَةُ لَيْسَ لَهُ حَظٌّ فِي دُعاءِ الصّالِحِينَ. وأمّا الَّتِي تُصِيبُهُ عِنْدَ المَوْتِ، فَإنَّهُ يَمُوتُ ذَلِيلًا، والثّانِيَةُ يَمُوتُ جائِعًا، والثّالِثَةُ يَمُوتُ عَطْشانًا ولَوْ سُقِيَ بِحارَ الدُّنْيا ما رُوِيَ مِن عَطَشِهِ. وأمّا الَّتِي تُصِيبُهُ فِي قَبْرِهِ: فالأُولى يَضِيقُ عَلَيْهِ القَبْرُ حَتّى تَخْتَلِفَ أضْلاعُهُ، والثّانِيَةُ يُوقَدُ عَلَيْهِ القَبْرُ نارًا فَيَنْقَلِبُ عَلى الجَمْرِ لَيْلًا ونَهارًا، والثّالِثَةُ يُسَلَّطُ عَلَيْهِ فِي قَبْرِهِ ثُعْبانٌ اسْمُهُ الشُّجاعُ الأقْرَعُ، عَيْناهُ مِن نارٍ وأظْفارُهُ مِن حَدِيدٍ طُولُ كُلِّ ظُفْرٍ مَسِيرَةُ يَوْمٍ يُكَلِّمُ المَيِّتَ فَيَقُولُ: أنا الشُّجاعُ الأقْرَعُ، وصَوْتُهُ مِثْلُ الرَّعْدِ القاصِفِ يَقُولُ أمَرَنِي رَبِّي أنْ أضْرِبَك عَلى تَضْيِيعِ صَلاةِ الصُّبْحِ إلى بَعْدِ طُلُوعِ الشَّمْسِ، وأضْرِبَك عَلى تَضْيِيعِ صَلاةِ الظُّهْرِ إلى العَصْرِ، وأضْرِبَك عَلى تَضْيِيعِ صَلاةِ العَصْرِ إلى المَغْرِبِ، وأضْرِبَك عَلى تَضْيِيعِ 



۩ OBROLAN SEPUTAR PERNIKAHAN ۩


Tg : https://t.me/Minhajzaujain1


 ۞HASIL KAJIAN OBROLAN SEPUTAR PERNIKAHAN  ۞


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا

Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy

 *Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy* Maklum diketahui bahwa ketika seseorang mengadakan acara walimah, maka penganten, bahkan ibu penganten dan keluarga terdekat, merias wajah dengan make up yang cukup tebal. Acara walimah ini biasanya memakan waktu berjam-jam bahkan tak jarang belum selesai sampai waktu shalat tiba. Maka bagaimanakah tata cara thaharah dan shalat bagi wanita yang memakai riasan ini? Solusi 1: Menghapus riasan wajah dan shalat sesuai waktunya Perlu diketahui bahwa salah satu syarat sah wudhu adalah tidak terdapat hal yang menghalangi tersampainya air wudhu ke anggota badan yang wajib dibasuh, tentu penggunaan make up yang tebal sudah pasti menghalangi air wudhu. Maka bagi wanita yang memakai riasan pengantin tersebut tidak boleh berwudhu kecuali sudah menghapus bersih riasan yang ada di wajah, sehingga yakin jika air wudhu benar-benar mengenai anggota wudhu, tidak cukup hanya dengan mengalirkan air tanpa terlebih dahulu menghapus make up nya seperti yan