PERINGATAN MAULID NABI
@
Sejarah Peringatan
Maulid Nabi
Peringatan Maulid
Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama
Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam
kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi
pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau
adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah
merahmatinya-”.
Dijelaskan oleh Sibth
(cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja al-Muzhaffar
mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin
ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli
tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah
melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan
para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.
Segenap para ulama
saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar
tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi
yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat
al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn
Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika
melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar,
raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi.
Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang
Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir
an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.
Para ulama,
semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga sampai sekarang ini
menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Jajaran para
ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian.
Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh
al-'Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh
as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar
al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz
ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit
al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W
1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi
menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal
al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan
Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa
ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Sumber ...
& بلوع المأمول (ص: 27)
أما أدلة الإجماع فقد انعقد
على استحسان الاحتفال بالمولد . فقد ذكر العلماء أن أول من فعل المولد هو الملك
المظفر صاحب إربل* وكان يحضر المولد الأكابر من العلماء وغيرهم .
@ هو السلطان المعظم مظفر
الدين أبو سعيد كوكبري بن علي التركماني الأصل كان شهما شجاعا ، قال الحافظ الذهبي في سير أعلامالنبلاء (22/336) : كان
متواضعا خيرا سنيا يحب الفقهاء والمحدثين . توفي سنة 630 رحمه الله تعالى .
وقد استحسنه غير واحد من
الأئمة المجتهدين ، فيقول الإمام المجتهد أبو شامة المقدسي في كتابه "الباعث على
إنكار البدع والحوداث" : ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل في اليوم الموافق
ليوم مولده صلى الله عليه وآله وسلم من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور فإن
في ذلك - مع ما فيه من الإحسان للفقراء - إشعارا بمحبته صلى الله عليه وآله وسلم .
اه
ولم نجد من اعترض على الاحتفال
بالمولد النبوي الشريف من معاصري الملك المعظم أو أبي شامة المقدسي ، وقد توفي سنة
665 ه رحمه الله تعالى . فكان إجماعا سكوتيا على مشروعية الاحتفال بالمولد واستحسان
العلماء له . وقد صح عن عبد الله ابن مسعود رضي الله عنه أنه قال : "ما رآه المسلمون
حسنا فهو حسن عند الله" . صححه الحاكم في المستدرك (3/78) وأقره الذهبي . وانظر
المقاصد الحسنة (ص367) وهو موقوف لكن له حكم الرفع لأنه ليس مما للرأي فيه مجال والله
تعالى أعلم
& أهل السنة و الجماعة مع
الاحتفال بمولد سيد الخلق (ص: 2)
وللحافظ السيوطي رسالة سماها
"حسن المقصد في عمل المولد"، قال: "فقد وقع السؤال عن عمل المولد النبوي
في شهر ربيع الأول ما حكمه من حيث الشرع؟ وهل هو محمود أو مذموم؟ وهل يثاب فاعله أو
لا؟ والجواب عندي: أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس، وقراءة ما تيسر من القرءان،
ورواية الأخبار الواردة في مبدإ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من
الآيات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة
التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح
والاستبشار بمولده الشريف.
وأول
من أحدث فعل ذلك صاحب إربل الملك المظفر أبو سعيد كوكبري بن زين الدّين علي بن بكتكين أحد الملوك
الأمجاد والكبراء الأجواد، وكان له ءاثار حسنة، وهو الذي عمَّر الجامع المظفري بسفح
قاسيون".ا. هـ.
قال ابن
كثير في تاريخه: "كان يعمل المولد الشريف - يعني الملك المظفر - في ربيع الأول
ويحتفل به احتفالاً هائلاً، وكان شهمًا شجاعًا بطلاً عاقلاً عالمًا عادلاً رحمه الله
وأكرم مثواه. قال: وقد صنف له الشيخ أبو الخطاب ابن دحية مجلدًا في المولد النبوي سماه
"التنوير في مولد البشير النذير" فأجازه على ذلك بألف دينار، وقد طالت مدته
في المُلك إلى أن مات وهو محاصر للفرنج بمدينة عكا سنة ثلاثين وستمائة محمود السيرة
والسريرة".ا. هـ.
ويذكر سبط ابن الجوزي في
مرءاة الزمان أنه كان يحضر عنده في المولد أعيان العلماء.
وقال ابن خلكان في ترجمة
الحافظ ابن دحية: "كان من أعيان العلماء ومشاهير الفضلاء، قدم من المغرب فدخل
الشام والعراق، واجتاز بإربل سنة أربع وستمائة فوجد ملكها المعظم مظفر الدين بن زين
الدين يعتني بالمولد النبوي، فعمل له كتاب "التنوير في مولد البشير النذير"،
وقرأه عليه بنفسه فأجازه بألف دينار
Atau link http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=130&ID=206
@
Hukum Peringatan
Maulid Nabi
Peringatan Maulid
Nabi Muhammad yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan
menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh
dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar
dari bid’ah-bid’ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’.
Sebagaimana
dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan
abad ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah,
para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan
Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para
sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para
ulama menggolongkan perayaan Maulid Nabi sebagai bagian dari bid’ah hasanah.
Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru yang sejalan
dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak
bertentangan dengan keduanya.
@
Dalil-Dalil
Peringatan Maulid Nabi
1. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk
membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari’at Islam.
Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ
سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم في صحيحه)
“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik maka
ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga
mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang
pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim
dalam kitab Shahihnya).
Faedah Hadits:
Hadits ini
memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis
perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an,
Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang
baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut.
Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk
mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi,
berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada
hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada
masa Nabi.
2. Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah
Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid’ah. Silahkan
buka di link ini
3. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya.
Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah
bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini
adalah hari ditenggelamkan Fir'aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami
berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah
bersabda:
أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.
Faedah Hadits:
Pelajaran penting
yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk
melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat
yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur
karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian
perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya.
Bersyukur kepada
Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud
syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran
Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang
lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah
nikmat dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang
menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan
oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani.
4. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih. Bahwa Rasulullah
ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (HR
Muslim)
Faedah Hadits:
Hadits ini
menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur
kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari
Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur
kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula
bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk
melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah
kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya.
Kemudian, oleh
karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan
maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih
diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka
sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau
pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam
sebulan penuh sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh
as-Sakhawi seperti yang akan dikutip di bawah ini.
@
Fatwa Beberapa
Ulama Ahlussunnah
1. Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits
al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan
sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ
الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ
الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ
وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا
كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا
عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.
“Asal peringatan
maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup
pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan
dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan
hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu
adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata
bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit
(Shahih)”.
2. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam
risalahnya Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai
berikut:
عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ
عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ
مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ
النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ
سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ
مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ
مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ
بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل
الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ
بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ،
وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ
بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Menurutku: pada
dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan orang-orang, berisi bacaan beberapa
ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah
dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu
dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa
ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya akan
memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan
terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan
suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis
peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu Sa'id
Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan
dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang
membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
3. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah
al-Mardliyyah, sebagai berikut:
لَمْ يُنْقَلْ عَنْ
أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ،
وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ
الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ
-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ
الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ،
وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ
السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ
مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ
عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ". ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ
مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ
مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ،
وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ
فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى
حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا
وَلَيَالِيْهِ.
“Peringatan Maulid
Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf Saleh yang hidup
pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian.
Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan
peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan
jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang
menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam
sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan
kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca
buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan
ini semua telah teruji”.
Kemudian as-Sakhawi
berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling
shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat
lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh
karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan
malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan
pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya”
Jika kita membaca
fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang
jernih, kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari
sebagian orang yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan
kepada hawa nafsu belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli
dengan fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang
sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid
Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah
seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini,
dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali berkata:
إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ
النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ.
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang
dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.
Orang-orang anti
maulid ini menganggap bahwa perbuatan bid’ah semcam Maulid Nabi ini adalah
perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian, -menurut mereka-, lebih besar
dosanya dari pada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak
mengandung unsur syirik.
Jawab:
Na’udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam ini. Bagaimana ia
berani dan tidak punya rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi,
-yang telah disetujui oleh para ulama dan orang-orang saleh dan telah dianggap
sebagai perkara baik oleh para ahli hadits dan lainnya-, dengan perkataan
seburuk seperti ini?! Orang seperti ini benar-benar tidak tahu diri. Apakah dia
merasa telah menjadi seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Hafzih
as-Suyuthi atau al-Hafizh as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim dari
mereka?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan
tegas hukum haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan
Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari nash-nash syari’at?!
Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan maulid ini tidak
mengetahui Maratib al-Ahkam; tingkatan-tingkatan hukum. Mereka tidak
mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan
mana yang haram dengan istinbath. Tentunya orang-orang semacam ini sama
sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan atau ikutan dalam
mengamalkan ajaran agama Allah ini.
@
Pembacaan Buku-Buku
Maulid
Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah
tentang kelahiran Rasulullah. Al-Hafizh as-Sakhawi menuliskan sebagai
berikut:
وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ
يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ
تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ –
وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ
الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ
لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ
أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ
يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ
رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ
إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ
إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ
وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ
وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ
لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ.
“Adapun pembacaan
kisah kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca hanya yang disebutkan oleh
para ulama ahli hadits dalam karangan-karangan mereka yang khusus berbicara
tentang kisah kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karya al-‘Iraqi (Aku
juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus -dengan
karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat
yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il an-Nubuwwah karya
al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah
Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah
riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus
memunculkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak layak
didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya
orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca.
Padahal sebetulnya tidak mesti ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam
peringatan maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat al-Qur’an,
memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah
(pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud,
mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi
petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.
@
Kerancuan Faham
Kalangan Anti Maulid
1. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan
Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan
oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka
telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah
tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan
oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang
haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh
Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر: 7)
“Apa yang diberikan
oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)
Dalam firman Allah
di atas disebutkan “Apa yang dilarang ole Rasulullah atas kalian maka
tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka
tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang
dan diharamkan oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu
perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh
Rasulullah. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan
mengharamkannya.
Lalu kita katakan
kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh atau sunnah
harus ada nash dari Rasulullah langsung yang secara khusus menjelaskannya?!
Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash
khusus dari Rasulullah yang berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana
mungkin Rasulullah berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam
umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik
ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya
tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan
terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan
oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan apa fungsi
ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalkan firman
Allah:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج:
77)
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj:
77)
Apakah kemudian
setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah supaya
dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian.
Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya
saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang
disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan
Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas.
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ
سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه الإمام مسلم في صحيحه)
“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah
perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut
dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang
pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan
berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini
Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang
“bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak
adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan
pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena,
seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh
para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa
terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi
mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud”
(Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini suatu apapun maka ia
pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini
bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu
hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits
riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu
yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam.
Dengan demikian
tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru
harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan
kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka
tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar
al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ
تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا
تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq
(penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan
tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah,
dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk
bid’ah yang buruk”.
Pantaskah dengan
keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap
perkara baru adalah sesat?
2. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan
maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara haram dan maksiat”.
Jawab:
Apakah karena
alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?!
Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan
alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka
aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian.
Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau
perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah
yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum
maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ
السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ
قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا
الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum
Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid
mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid
berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk
yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.
3. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan
Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah
perbuatan tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat
yang lebih penting?”.
Jawab:
Laa Hawla Walaa
Quwwata Illa Billah. Perkara yang telah
dianggap baik oleh para ulama disebutnya sebagai tabdzir?! Orang yang
berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu
perbuatan tabdzir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja
berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus
mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid
tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan
Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah dalam berdakwah
sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah
dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita
kepada Rasulullah dan menjadikan kita banyak bershalawat kepadanya?!
Sesungguhnya maslahat-maslahat besar semacam ini bagi orang yang beriman tidak
bisa diukur dengan harta.
4. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata: “Peringatan
Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuan
beliau saat itu adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti orang yang
melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari
tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”.
Jawab:
Pernyataan seperti
ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama
kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Para
ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir, al-Hafizh
as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan
bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja
al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Orang yang
mengatakan bahwa sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan
Maulid Nabi telah membuat “rekayasa jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka
bahwa sultan Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan mobilisasi umat untuk
jihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini
berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang menyesesatkan. Target mereka
yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak
hendak mengatakan tidak perlu.
Kita katakan kepada
mereka: Apakah jika orang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara
sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala
tentara sultan Shalahuddin saja? Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti
metode dan strategi Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang
namanya?!
Hal yang sangat
mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid ini,
dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka
mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi
kemudian terhadap orang lain mereka mengharamkan ilustrasi
Hasbunallah. Para ahli sejarah yang
telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun dari mereka yang
mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk memobilisasi ummat untuk jihad
dalam perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?!
Tidak lain, pemikiran tersebut hanya muncul dari hawa nafsu belaka. Benar,
mereka selalu mencari-cari celah sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian”
dan “sinisme” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka
mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya
mobilisasi massa untuk jihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali
tidak ada.
Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi, al-Hafizh as-Sakhawi dan
para ulama lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid
Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan mobilisasi massa untuk
berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak
menyebut prihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini
kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka bila sudah berkaitan
dengan hukum, istinbath dan istidlal.
Semoga Allah
merahmati para ulama kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat
ini dan sebagai penuntun bagi kita semua menuju jalan yang diridlai Allah. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik