Langsung ke konten utama

Hizbut Tahrir Indonesia



HIZBUT TAHRIR INDONESIA ( HTI )
Hizbut tahrir adalah sebuah partai politik yg berideologi Islam, bukan organisasi kerohanian, bukan pula lembaga ilmiah ataupun akademis. Hizbut tahrir didirikan di lebanon oleh syekh Taqiyyuddin an-Nabhani,  dan masuk ke indonesia pada tahun 1972. Hizbut Tahrir didirikan pada tahun 1952 M, dengan aktifitas menerbitkan buku-buku dan brosur sebagai sumber ajaran dari hizbut tahrir. Pendiri hizbut tahrir berpindah-pindah dari Yordania, Syiria, dan lebanon. Namun wafatnya Sang Pendiri itu di Bairut.
Sumber
&   (الموسوعة الميسرة, ج 1 ص 341)
حِزب التحرير حزب سياسي إسلامي يدعو إلى تبني مفاهيم الإسلام وأنظمته وتثقيف الناس به والدعوة إليه والسعي جديا لإقامة دولة الخلافة الإسلامية معتمدا الفكر أداة رئيسة في التغيير.
&   (الموسوعة الميسرة, ج 1 ص 341)
أسسه الشيخ تقي الدين النبهاني 1326-1297 هـ, 1908-1977 م فلسطيني, من مواليد قرية إجزم قضاء حيفا بفلسطين. تلقى تعليمه الأولى في قريته ثم التحق بالأزهر ثم دار العلوم بالقاهرة, وعاد ليعمل مدرسا فقاضيا في عدد من مدن فلسطين.
&   في عام 1952 م أسس حزبه وتفرغ لرئاسته ولإصدار الكتب والنشرات التي تعد في مجمعوعها المنهل الثقفي الرئيسي للحزب. تنقل بين الأردن وسوريا ولبنان إلى أن كانت وفاته في بيروت وفيها دفن
Metode yang digunakan Hizbut tahrir adalah metode yang diemban oleh Rasulullah Saw . HTI beranggapan bahwa umat Islam sekarang hidup dalam Darul kufur yang serupa dengan kehidupan di mekkah ( sebelum hijrah ke madinah ) pada zaman Nabi Saw.
Dalam berdakwah, HTI punya beberapa tahapan
1.      Tahap pembinaan dan pengkaderan
2.      Tahapan berinteraksi dengan umat agar ikut memikul kegiatan dakwahnya
3.      Tahap pengambilan kekuasaan untuk menerapkan Islamsecara menyueluruh
IDEOLOGI HTI
a.      Mengadopsi Ideologi Mu’tazilah
Pada masa Bani Umayyah, lahir gerakan revivalis yg dipelopori oleh Ma’bad bin Kholid al-Juhani, penggagas ideologi Qodariyah, yg berpijak pada pengingkaran qadha’ dan qadar Allah Swt. Ideologi ini menjadi embrio lahirnya sekte mu’tazilah. Ideologi ini lalu diikuti oleh Taqiyuddin an-Nabhani, perintis Hizbut tahrir. Dalam bukunya, ia berkata
وهذه الأفعال أي أفعال الإنسان لا دخل لها بالقضاء ولا دخل للقضاء بها لان الإنسان هو الذي قام بها بإرادته واختياره وعلى ذلك فإن الأفعال الإختيارية لا تدخل تحت القضاء( الشخصية الأسلامية 1 ص 71-72)
“semua perbuatan ikhtiyari manusia ini, tidak ada kaitannya dengan ketentuan / qadha’ dan qadha’ juga tidak ada kaitannya dengannya, karena manusialah yang melakukannya dengan kemauan dan ikhtiyarnya, oleh karena itu perbuatan ikhtiyari manusia tidak masuk dalam lingkup qadha’ Allah”.( al-Syakhshiyyat al-islamiyyah juz 1 hal. 71-72)
Taqiyuddin juga mengatakan
فتعليق المثوبة او العقوبة بالهدى والضلال يدل على أن الهداية والضلال هما من فعل الإنسان وليسا من الله
“mengkaitkan pahala dan siksa dengan petunjuk dan kesesatan menjadi dalil bahwa hidayah dan kesesatan itu sebenarnya termasukl perbuatan manusia dan bukan datang dari Allah”. (al-Syakhshiyyat al-islamiyyah juz 1 hal 74)
Pernyataan an-Nabhani diatas memberi dua kesimpulan; pertama, perbuatan ikhtiyari manusia tidak ada kaitannya dengan ketentuan atau qadha’ Allah, dan kedua , hidayah dan kesesatan itu adalah perbuatan manusia sendiri bukan dari Allah. Ini jelas bertentangan dengan al-Quran, sunnah dan akal sehat. Dalam al-Quran
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا [الفرقان/2]
“dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukurannya  dengan serapi-rapinya”. (Qs, al-Furqon, 2)
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ  [الصافات/96]
“Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.(QS, al-Shaffat, 96)
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ [القمر/49]
“sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”.(QS, al-Qomar, 49)
Beberapa ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah swt. Kata “segala sesuatu” dalam ayat itu mencakup segala apa yang ada didunia ini seperti benda, sifat-sifat benda seperti gerakan dan diamnya manusia. Seandainya perbuatan ikhtiyari manusia itu adalah ciptaan manusia sendiri , tentu saja perbuatan yang diciptakan oleh manusia akan lebih banyak dari pada perbuatan yang diciptakan oleh Allah.  Dari sini dapat kita simpulkan, bahwa pernyataan an-Nabhani diatas merupakan penolokan terhadap teks-teks al-Quran dan Hadits.
Dalam ayat lain
{ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ} [الروم: 29]
“maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah ?”. (QS, ar-Rum : 29)
 { إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشَاءُ} [الأعراف: 155]
“Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki”. (QS. Al-A’rof: 155)
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya”.(QS, al-Qashash; 56)
Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa hidayah dan kesesatan itu berasal dari Allah, bukan dari perbuatan manusia. Pernyataan an-Nabhani juga bertentangan dengan ayat berikut
{ وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ} [الأنعام: 110]
“dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka”. (QS, al-An’am, 110)
Ayat ini menegaskan bahwa perbuatan hati dan perbuatan lahiriah manusia termasuk perbuatan Allah.
Pandangan HTI juga bertentangan dengan hadits-hadits Nabi Saw. Diantaranya
عن إبن عمر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قال كُلُّ شيئٍ بقَدَرٍ حتى العَجْزِ والكَيْسِ
“ibnu Umar berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda:”segala sesuatu itu terjadi dengan ketentuan Allah, sampai kebodohan dan kecerdasan”.(HR, Muslim)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوا فَلاَ تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلاَ تَشْهَدُوهُمْ
“ibnu Umar meriwayatkan, bahwa Nabi Saw bersabda: “Qodariyah itu majusinya Umat ini, apabila mereka sakit maka janganlah menjenguk mereka dan apabila mereka meninggal, maka janganlah menyaksikan jenazah mereka”.(HR, Abu Dawud)
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada adalah ciptaan Allah.  Dengan pandangan di atas HTI juga menyalahi Hadits berikut
عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم  صنفان من أمتى لا يدخلون الجنة القدرية والمرجئة
“ibnu Abbas berkata,”Rasulullah Saw bersabda:” dua golongan dari umat-ku yang tidak memiliki bagian dari islam, yaitu Qodariyah dan Murji’ah”.(HR, Ibnu Jarir al-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar, no.1965)
Hadits ini sangat tegas dalam mengkafirkan golongan Qodariyah yang berpandangan bahwa perbuatan manusia diciptakannya sendiri dengan kemauan dan ketentuannya. Menurut sebagian Ulama, pandangan ini persis dengan pandangan Hizbut Tahrir yang menanggalkan Islam, laksana ular yang menanggalkan kulitnya.
Pendekatan Ta’wil dan Ulama Salaf
Pendekatan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat telah dilakukan dan diajarkan oleh ulama salaf yang salih. Akan tetapi Taqiyyuddin an-Nabhani mengingkari dan mengatakan bahwa pendekatan ta’wil tidak dikenal dikalangan ulama salaf. Dalam hal ini an-Nabhani mengatakan
كان التأويل أوّل مظاهر المتكلمين .... وكان التأويل عُنْصُرًا من عناصر المتكلمين وأكبر مُمَيّزٍ لهم عن السلف (الشخصية الأسلامية 1 ص 53 )
“Ta’wil merupakan fenomena yang pertama kala dimunculkan oleh para teolog. Jadi ta’wil itu merupakan salah satu unsur dan yang paling membedakan antara mereka dengan salaf”. (al-Syakhshiyyat al-islamiyyah juz 1 hal 53)
            Pernyataan an-Nabhani diatas menyimpulkan bahwa ta’wil terhadap ayat musytabihat pertama kali diperkenalkan oleh para teolog dan menjadi ciri khas utama yang membedakan antara para teolog dan ulama salaf. Sudah barang tentu pernyataan itu mengandung kerancauan dan kebohongan. Pertama, pernyataan an-Nabhani itu bisa mengesankan bahwadikalangan ulama salaf tidak ada ulama yang ahli dalam bidang teolog (ilmu kalam). Kedua, pernyataan itu juga mengesankan bahwa ta’wil belum dikenal pada masa generasi salaf.
            Asumsi Hizbut Tahrir bahwa dikalangan generasi salaf tidak ada ulama tidak ada ulama yang ahli dalam bidang teologi adalah tidak benar. Al-Imam Abu Manshur Abdul Qohir bin Thohir al-Tamimi al-Baghdadi menegaskan bahwa telog pertama dari generasi sahabat adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Umar, sedangkan teolog pertama kali dari generasi tabi’in adalah Umar bin Abdul ‘Aziz, Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan al-Bashri, kemudian al-Sya’bi, Ibnu Syihab al-Zuhri, ja’far bin Muhammad al-Shadiq dll. Mereka sangat keras dalam membantah ajaran Qodariyah yang menjadi Embrio lahirnya sekte Mu’tazilah, dan belakangan ideologi mu’tazilah tersebut diikuti oleh Hizbut Tahrir.
            Sedangkan asumsi bahwa ta’wil belum pernah dikenal pada masa generasi salaf juga tidak benar. Pendekatan ta’wil terhadap ayat-ayat musytabihat telah dikenal sejak generasi sahabat dan ulama-ulama sesudah mereka. Dalam konteks ini al-Imam Badruddin al-Zarkasyi berkata dalam kitabnya
&   البرهان في علوم القرآن (2/  78)
 وقد اختلف الناس في الوارد منها في الآيات والأحاديث على ثلاث فرق  أحدها أنه لا مدخل للتأويل فيها بل تجري على ظاهرها ولا تؤول شيئا منها وهم المشبهة  والثاني أن لها تأويلا ولكنا نمسك عنه مع تنزيه اعتقادنا عن الشبه والتعطيل ونقول لا يعلمه إلا الله وهو قول السلف  والثالث أنها مؤولة وأولوها على ما يليق به  والأول باطل والأخيران منقولان عن الصحابة
Para pakar berbeda pendapat tentang teks musytabihat dalam ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa teks-teks itu tidak boleh ditakwil, tetapi diberlakukan sesuai dengan pengertian literalnya, dan kami tidak melakukan ta’wil apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran Musyabbihah ( faham yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut boleh dita’wil , tetapi kami menghindar untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan kami dari menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan menafikan (sifat-sifat yang ada dalam teks tersebut), kami berkeyakinan bahwa ta’wil terhadap teks-teks tersebut hanya Allah yang mengetahuinya, mereka adalah aliran salaf. Ketiga, mereka mentakwil-nya sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian Allah. Madzhab yang pertama, yaitu madzhab musyabbihah adalah pendapat yang bathil. Sedangkan dua madzhab yang terakhir dinukil dari sahabat Nabi Saw.(burhan fi ulumi al-Quran 2 hal 78, maktabah syamilah)
            Pernyataan senada juga dikemukakan oleh al-Imam Muhammad bin Ali as-Syaukani. Ia berkata dalam kitab Irsyad al-Fuhul
&   إرشاد الفحول الي تحقيق الحق من علم الاصول - (ج 1 / ص 376)
الفصل الثاني فيما يدخله التأويل وهو قسمان
أحدهما أغلب الفروع ولا خلاف في ذلك والثاني الأصول كالعقائد وأصول الديانات وصفات الباري عز وجل وقد اختلفوا في هذا القسم على ثلاثة مذاهب :
الأول : أنه لا مدخل للتأويل فيها بل يجري على ظاهرها ولا يؤول شيء منها وهذا قول المشبهة
والثاني : أن لها تأويلا ولكنا نمسك عنه مع تنزيه اعتقادنا عن التشبيه والتعطيل لقوله تعالى : { وما يعلم تأويله إلا الله } قال ابن برهان وهذا قول السلف  .....
والمذهب الثالث : أنها مؤولة قال ابن برهان والأول من هذه المذاهب باطل والآخران منقولان عن الصحابة ونقل هذا المذهب الثالث عن علي وابن مسعود وابن عباس وأم سلمة
Bagian kedua, tentang teks yang dapat dita’wil, yaitu ada dua bagian. Pertama, teks yang berkaitan dengan furu’ (cabang & ranting) yang sebagian besar memang dita’wil, dan hal ini tidak diperselisihkan oleh kalangan ulama. Kedua, teks-teks yang berkaitan dengan ushul (pokok-pokok agama) seperti aqidah, dasar-dasar agama dan sifat-sifat Allah. Para pakar berbeda pendapat mengenai bagian kedua ini menjadi tiga aliran. Pertama, kelompok yg berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak boleh di ta’wil, tetapi dilakukan sesuai dengan pengertian literalnya, dan tidak boleh melakukan ta’wil apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran Musyabbihah (faham yg menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Kedua, kelompok yang berpandang bahwa teks-teks tersebut boleh dita’wil, tetapi kami menghindar untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan kami dari menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan menafikan (sifat-sifat yang ada dalam teks tersebut), karena firman Allah,”tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah”. Ibnu burhan berkata, ini adalah pendapat Ulama salaf ... ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut harus di ta’wil, Ibnu Burhan berkata, madzhab yang pertama, dari ketiga madzhab ini adalah pendapat yang bathil. Sedangkan dua madzhab yang terakhir dinukil dari sahabat Nabi Saw. Bahkan madzhab yang ketiga ini diriwayatkan dari sayyidina ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas dan Ummu Salamah. ( irsyad al-fuhul 1 hal 376 syamila).
Pernyataan al-Zarkasyi dan asy-Syaukani di atas memberikan kesimpulan bahwa pendekatan ta’wil telah dikenal dan diajarkan oleh generasi salaf yg shalih termasuk para sahabat Nabi Saw yang menjadi rujukan Ahlis sunnah wal jamaah.
Link terkaithttp://lintassantri.blogspot.co.id/2016/02/takwil-ayat-dan-majaz-kiasan-dalam.html
b.      Qodar dan ilmu Allah
Taqiyyuddin al-Nabhani berkata
قد ورد الإيمان بالقدر في حديث جبريل في بعض الروايات فقد جاء قال: ”وتؤمن بالقدر خيره وشره“. إلا أنه خبر آحاد علاوة على أن المراد هنا علم الله وليس القضاء والقدر الذي هو موضع خلاف في فهمه.    (النبهاني: الشخصية الإسلامية 1/43)
telah datang ke-imanan dengan qodar dalam hadits jibril  menurut sebagian riwayat, dimana Nabi Saw bersabda :” dan kamu percaya dengan qodar, baik dan buruknya.” Hanya saja hadits ini tergolong hadits ahad (persumtif), disamping yang dimaksud dengan qodar disini adalah ilmu Allah, dan bukan qodha’ dan qadar yang menjadi fokus perselisihan dalam memahaminya.

Menurut HTI Qadha’ dan Qadar tidak meyakinkan:


أما مسألة الإيمان بالقضاء والقدر بهذا الاسم وبمسماها الذي جرى الخلاف في مفهومه فلم يرد بها نص قطعي، إلا أن الإيمان بمسماها من العقيدة فهي مما يجب الإيمان به. ولم تعرف بهذا الاسم وهذا المسمى في عصر الصحابة مطلقا فلم يرد نص صحيح بورودها بهذا الاسم والمسمى، وإنما اشتهرت في أوئل عصر التابعين، وصارت تعرف وتبحث منذ ذلك الحين، والذي أتى بها وجعلها موضوع البحث هم المتكلمون (النبهاني، الشخصية الإسلامية: 1/43).

 Pernyataan an-Nabhani diatas memberikan kesimpulan bahwa 1) hadits tentang keimanan denga qadar Allah hanya tergolong hadits Ahad (asumtif/zhanni), dan 2) bermaksud pada pengetahuan Allah, bukan qadha’ dan qadar yang menjadi objek perselisihan di antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan Mu’tazilah
            Sudah barang tentu pernyataan al-Nabhani tersebut tidak benar. Pertama, asumsi bahwa keimanan terhadap Qadar Allah hanya terdapat dalam hadits Jibril melalui sebagian riwayat adalah tidak benar. Keimanan dengan qadar Allah disamping terdapat dalam hadits jibril, juga dijelaskan dalam sekian banyak ayat-ayat al-Quran sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Sementara hadits lain yang juga menjelaskan keimanan terhadap qadar juga banyak , diantaranya
صحيح مسلم (8/  48)
عَنْ أَبِى الأَسْوَدِ الدِّئَلِىِّ قَالَ قَالَ لِى عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَىْءٌ قُضِىَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ مِنْ قَدَرِ مَا سَبَقَ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتِ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ فَقُلْتُ بَلْ شَىْءٌ قُضِىَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ قَالَ فَقَالَ أَفَلاَ يَكُونُ ظُلْمًا قَالَ فَفَزِعْتُ مِنْ ذَلِكَ فَزَعًا شَدِيدًا وَقُلْتُ كُلُّ شَىْءٍ خَلْقُ اللَّهِ وَمِلْكُ يَدِهِ فَلاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ. فَقَالَ لِى يَرْحَمُكَ اللَّهُ إِنِّى لَمْ أُرِدْ بِمَا سَأَلْتُكَ إِلاَّ لأَحْزُرَ عَقْلَكَ إِنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ مُزَيْنَةَ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالاَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَىْءٌ قُضِىَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ مِنْ قَدَرٍ قَدْ سَبَقَ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتِ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ فَقَالَ « لاَ بَلْ شَىْءٌ قُضِىَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا)
Abu al-aswad al-dili berkata :”imran bin al-husain berkata kepadaku, “bagaimana menurutmu, apakah sesuatu yang dikerjakan & diusahakan oleh manusia sekarang merupakan sesuatu yang telah diputuskan sebelumnya oleh Allah dan sesuai dengan ketentuan yang telah berlalubagi mereka, atau juga apa yang akan mereka hadapi dari hal-hal yang telah dibawa oleh Nabi mereka dan hujjah telah berlaku pada mereka ?” Aku menjawab : “tentu, sesuatu yang telah diputuskan dan ditetapkan sebelumnya pada mereka.” Abu al-Aswad berkata ;” Imran bertanya lagi :” Apakah hal itu bukan kezhaliman dari Allah ?” Abu al-Aswad berkata ;”aku sangat terkejut dengan pernyataan Imran. Lalu aku berkata:” segala sesuatu adalah ciptaan Allah dan milik-Nya. Jadi, Allah tidak akan ditanya atas perbuatan-Nya, melainkan manusia yang akan ditanya atas perbuatan mereka. Lalu imran berkata kepadaku:” semoga Allah mengasihimu. Sesungguhnya aku bertanya hanya karena ingin menguji kemampuan akal-mu. Sesungguhnya dua orang laki-laki dari suku Muzainah mendatangi Rasulullah Saw dan bertanya :” wahai Rasulullah, apakah apa yang dikerjakan dan diusahakan oleh manusia sekarang ini merupakan sesuatu yang telah diputuskan dan ketentuan yang telah berlalu bagi mereka? “ Nabi menjawab: “ tentu, sesuatu yang telah diputuskan dan ketetapan yang telah berlalu bagi mereka.” Pembenaran hal tersebut ada dalam firman Allah :” Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu ( jalan ) kefasikan dan ketakwaannya”. (HR. Muslim no. 4790 )
Dalam buku al-Dausiyyah hal. 18 , kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir, dijelaskan bahwa istilah qadha’ dan qadar tidak pernah ada dalam al-Quran dan as-sunnah dalam satu paket bersama-sama. Asumsi ini jelas tidak benar berdasarkan hadits shahih berikut ini :
مشكل الآثار للطحاوي (6/  388، بترقيم الشاملة آليا)
أكثر من يموت من أمتي بعد كتاب الله وقضائه وقدره بالأنفس

Jabir bin Abdullah berkata;” Rasulullah Saw bersabda:” sebagian besar orang yang meninggal diantara umatku setelah karena ketentuan, qadha’ dan qadar Allah adalah disebabkan penyakit ‘ain”. (HR. Al-bazzar dengan sanad yang hasan , lihat juga al-Hafidh Ibnu Hajar, fathul bari syarah shahih al-Bukhori, juz 6, www.al-islam.com hal. 246 dan 268)
Sedangkan asumsi an-Nabhani bahwa hadits tentang keimanan terhadap qadha’ dan qadar Allah termasuk hadits ahad adalah tidak benar. Keimana terhadap qadha’ dan qadar Allah selain ditegaskan dalam sekian banyak ayat al-Quran, juga dijelaskan dalam sekian banyak hadits, seperti hadits-hadits diatas, sehingga kedudukan hadits Jibril tersebut naik peringkatnya menjadi mutawatir ma’nawi, karena substansinya telah dimuat oleh hadits-hadits lain. Anehnya, an-Nabhani sendiri dalam bukunya al-Syakhshiyyat al-islamiyyah juga menjelaskan tentang pembagian hadits mutawatir menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Namun sayang sekali, an-Nabhani tidak obyektif dalam menerapkan kaidah pembagian mutawatir tersebut ketika menjelaskan hadits tentang qadha’ dan qadar Allah yang mutawatir secara ma’nawi.
Benarkah Hadits tentang qadha’ dan qadar Allah bernilai Ahad/zhanni? Al-Qur’an menjawab
       باب القول في الإيمان بالقدر قال الله عز وجل ( وكل شيء أحصيناه في إمام مبين (يس:12) ) وقال : ( ما أصاب من مصيبة في الأرض ولا في أنفسكم إلا في كتاب من قبل أن نبرأها (الحديد: 22) ) وقال : ( يعلم السر وأخفى (طه : 7) ) وقال : ( إنا كل شيء خلقناه بقدر (القمر : 49) ) والقدر اسم لما صدر مقدرا عن فعل القادر ، يقال : قدرت الشيء وقدرته بالتشديد والتخفيف فهو قدر أي : مقدور ومقدر ، كما يقال : هدمت البناء فهو هدم أي : مهدوم ، وقبضت الشيء فهو قبض أي : مقبوض ، فالإيمان بالقدر هو الإيمان بتقدم علم الله سبحانه بما يكون من أكساب الخلق وغيرها من المخلوقات وصدور جميعها عن تقدير منه ، وخلق لها خيرها وشرها. (البيهقي، الاعتقاد : 88).

An-nabhani juga berasumsi bahwa makna qadar dalam hadits jibril (kamu beriman terhadap qadar Allah, baik dan buruknya)  adalah pengetahuan dan ilmu Allah.sementara para ulama ahlis sunnah wal-jamaah mengartikan qadar dalam hadits tersebut dengan al-maqdur, yaitu sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah, bukan ilmu Allah. Karena apabila qadar dalam hadits tersebut diartikan dengan ilmu Allah, maka akan menimbulkan pengertian, bahwa ilmu Allah itu ada yang baik dan ada yang buruk. Padahal keburukan atau kejelekan tidak boleh dinisbatkan kepada Allah berdasarkan sabda Nabi Saw
والشَّرُّ لَيْسَ إلَيْكَ
Keburukan tidak boleh dinisbatkan kepada-Mu. (HR,Muslim no. 1290)
Dengan demikian, asumsi an-nabhani yang menganggap bahwa qadar adalah pengetahuan dan ilmu Allah jelas bertentangan dengan hadits shahih diatas.
c.       Kema’shuman Para Nabi
Menurut ahlissunnah wal-jamaah, setiap muslim harus meyakini bahwa para Nabi itu adalah orang yang ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa), baik sesudah mereka diangkat menjadi nabi atau sebelumnya. Namun keyakinan ini berbeda dengan keyakinan Hizbut Tahrir, dalam hal ini, an-Nabhani berkata dalam kitabnya
أن هذه العصمة (عن كل ما يسمى معصية) للأنبياء والرسل انما تكون بعد أن يصبح نبيا أو رسولا بالوحي إليه. أما قبل النبوة والرسالة فإنه يجوز عليهم ما يجوز على سائر البشر، لأن العصمة هي للنبوة والرسالة. (النبهاني: الشخصية الاسلامية 1/133).
“sesungguhnya keterjagaan para Nabi dan Rasul itu terjadi sesudah mereka menjadi Nabi dan Rasul dengan memperoleh wahyu, adapun sebelum menjadi Nabi dan Rasul, maka sesungguhnya bagi mereka boleh terjadi perbuatan yg terjadi pada manusia biasa, karena keterjagaan itu hanya bagi kenabian dan kerasulan”.
Tentu pernyataan diatas tidak benar. Para ulama Ahlissunnah wal-jamaah telah berpendapat bahwa para Nabi itu harus memiliki sifat shidiq (jujur), amanah dan fatonah(cerdas). Oleh karena itu, Allah tidak akan memilih seseorang menjadi Nabi & Rasul kecuali orang yg selamat dari perbuatan hina, khianat, dusta dan dungu. Orang yang pada masa lalunya melakukan sifat-sifat tercela tidak layak menjadi seorang Nabi, meskipun kini telah melepaskan diri dari sifat-sifat tercela tersebut.
Dalam konteks ini al-Imam Muhammad bin Ahmad al-Dasuqi berkata:
(فوله والأمانة) المراد بها حفظ ظواهرهم وبواطنهم من الوقوع فى المكروهات والمحرمات سوآء كانت المحرمات صغائر او كبائر كانت تلك الصغائر صغائر خسة كسرقة لقمة وتطفيف كيل او صغائر غير خسة كنظر لإمراءة او لأمرد بشهوة كانت قبل النبوة او بعدها عمدا او سهوا (حاشية على الشرح ام البراهين ص 173)
Yang dimaksud dengan amanah mereka adalah keterjagaan lahir dan batin mereka dari terjerumus dalam hal-hal yg makruh dan haram, baik hal-hal yg haram itu berupa dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kecil itu berupa dosa kecil yang hina seperti mencuri sesuap nasi dan mengurang takaran, atau dosa kecil yang tidak hina seperti memandang perempuan atau amrod (laki-laki ganteng) dengan syahwat, baik sebelum kenabian atau sesudahnya, baik sengaja maupun lupa”.
Dengan berpijak terhadap pendapat an-Nabhani, bahwa para Nabi boleh jadi melakukan dosa apa saja sebelum menjadi Nabi sebagaimana mausia binasa, Hizbut Tahrir berpandangan bahwa derajat kenabian yang agung boleh saja disandang oleh orang yang masa lalunya sebagai pencuri, homo sex, pembohongdan melakukan kehinaan-hinaan lainnya.  
d.      Melecehkan Umat Islam
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani berkata:
والحقيقة انّ رأي أهل السنة ورأي الجبرية واحد فهم جبريون. وقد اخفقوا كل الإخفاق في مسألة الكسب فلا هي جارية على طريق العقل إذ ليس عليها أيّ برهان عقليّ ولا على طريق النقل إذ ليس عليها أيّ دليل من النصوص الشرعية وانما هي محاولة مخفقة للتوفيق بين رأي المعتزلة ورأي الجبرية (النبهاني: الشخصية الاسلامية 1 ص 70 )
Pada dasarnya pendapat ahlissunnah dan pendapat jabariyah itu sama. Jadi ahlissunnah itu Jabariyah. Mereka telah gagal segagal-gagalnya dalam masalah kasab (perbuatan makhluk), sehingga masalah tersebut tidak mengikuti pendekatan rasio, karena tidak didasarkan oleh argument rasional sama sekali, dan tidak pula mengikuti pendekatan naqli karena tidak didasarkan atas dalil dari teks-teks syar’i sama sekali. Masalah kasb itu hanyalah usaha yang gagal untuk menggabungkan antara pendapat Mu’tazilah dan Jabariyah. (al-syakhshiyyat al-islamiyyah 1 hal 70)
An-nabhani juga mengatakan
الإجبار هو رأي الجبرية واهل السنة مع اختلاف بينهما في التعابير والإحتيال على الألفاظ واستقرّ المسلمون على هذاالرأي ورأي المعتزلة وحوِّلوا عن رأي القرأن ورأي الحديث وما كان يفهمه الصحابة منهما
Ijbar (keterpaksaan) adalah pendapat Jabariyah dan ahlussunnah, hanya antara keduanya ada perbedaan dalam retorika dan memanipulasi kata-kata. Kaum Muslimin konsisten dengan pendapat Ijbar ini dan pendapat Mu’tazilah. Mereka telah dipalingkan dari pendapat al-Quran, hadits dan pemahaman shahabat dari al-Quran dan Hadits. ( Ibid. hal, 74)
Pernyataan an-Nabhani di atas mengantarkan pada beberapa kesimpulan. Pertama, pendapat ahlissunnah dan jabariyah itu pada dasarnya sama dalam masalah perbuatan manusia, perbedaan antara keduanya hanya dalam retorika dan dalam manipulasi kata-kata. Kedua, Ahlus sunnah telah gagal dalam dalam mengatasi problem perbuatan manusia melalui pendekatan teori kasb, sehingga tercebak dalam pendapat yang tidak didukung oleh dalil rasional maupun dalil naqli. Ketiga,kaum muslimin sejak sekian lamanya telah berpaling dari al-Quran, hadits dan ajran sahabat, dan keempat, pernyataan itu memberikan kesan yang cukup kuat bahwa an-Nabhani dan Hizbut Tahrir telah keluar dari golongan Ahlis sunnah wal-jamaah dan mayoritas kaum muslimin.
Sudah tentu pernyataan an-Nabhani diatas termasuk kesalahan fatal dalam soal ideologi dan pelecehan terhadap para Ulama kaum muslimin. Pertama, asumsi an-Nabhani bahwa pendapat ahlis sunnah wal-jamaah sama dengan pendapat Jabariyah dalam masalah perbuatan manusia adalah tidak benar. Pendapat ahlussunnah berbeda dengan pendapat Jabariyyah dalam menanggapi perbuatan manusia. Menurut al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi , dalil yang membantah terhadap Jabariyyah dan Qadariyah adalah ayat berikut
{وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ} [الصافات: 96]
“padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS, al-Shaffat, 96)
Kedua, asumsi an-Nabhani bahwa seluruh kaum muslimin sejak sekian lama telah berpaling dari al-Quran, hadits dan pendapat para sahabat juga tidak benar dan bertentangan dengan dalil-dalil al-Quran dan hadits. Allah Swt melindungi kaum muslimin dari bersepakat dan bersekongkol dalam kebatilan. Justru orang yang keluar dari mainstream umat islam yang diancam oleh Allah Swt dalam firmannya
{وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} [النساء: 115]
“dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”( QS, an-Nisa’, 115)
Menurut al-Imam Fakhruddin al-Razi, ayat diatas memberikan pesan hukum bahwa keluar dari jalan orang-orang mukmin adalah haram. Setiap muslim harus mengikuti jalan orang-orang mukmin. Sementara an-Nabhani bukan hanya keluar dari jalan orang-orang mukmin, justru ia melecehkan mereka dan menganggap bahwa orang-orang mukmin telah tersesat jalan dari ajaran al-Quran, hadits dan ajaran sahabat.
جامع الأحاديث (41/  258)
إن الله لا يجمع أمتى على ضلالة ، ويد الله مع الجماعة ، من شذ شذ إلى النار (الترمذى عن ابن عمر)
“sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan. Pertolongan Allah selalu bersama jamaah. Dan barang siapa yang mengucilkan diri dari jamaah, maka ia mengucilkan dirinya keneraka.” (HR, at-Tirmidzi)
Hadits di atas menunjukkan pada beberapa pesan, Pertama, umat islam tidak akan bersepakat pada kesesatan dan kekeliruan dalam menjalani kehidupan beragama. Kedua, Allah Swt akan menolong orang-orang yang mengikuti jalan mayoritas kaum Muslimin. Dan ketiga, orang yang mengucilkan diri dari mayoritas kaum Muslimin, berarti telah mengucilkan dirinya dan diancam akan ke neraka.
Sementara an-Nabhani dan Hizbut Tahrir mengambil sikap sebaliknya. Pertama, hizbut tahrir berpendapat bahwa seluruh muslimin telah berpaling dari ajaran al-Quran, hadits dan pendapat sahabat. Kedua, hizbut tahrir tidak menjaga kebersamaan dengan cara mengikuti mayoritas kaum muslimin. Dan ketiga, hizbut tahrir mengucilkan diri dari mayoritas kaum muslimin. Ini menjadi bukti yang kuat, bahwa Hizbut Tahrir telah keluar dari Ahlis Sunnah wal-Jamaah.
Pernyataan hizbut tahrir diatas bahwa seluruh kaum  muslimin telah berpaling dari al-Quran, hadits dan ajaran sahabat, merupakan penilaian sesat terhadap kaum muslimin. Sedangkan para ulama bersepakat bahwa setiap pendapat yang berimplikasi pada penilaian sesat terhadap seluruh kaum muslimin adalah kufur secara definitif  berdasarkan kesepakatan para Ulama. Dalam konteks ini, al-Hafizh Ibnu Hajar dengan mengutip dari al-Qadhi Iyadh dan Imam al-Nawawi berkata:
وقال صاحب الشفاء فيه وكذا نقطع بكفر كل من قال قولا يتوصل به إلى تضليل الأمة أو تكفير الصحابة وحكاه صاحب الروضة في كتاب الردة عنه وأقره
“pengarang kitab al-Syifa berkata mengenai hal itu,:” demikian pula kami pastikan kekufuran setiap orang yang mengeluarkan suatu pendapat yang dapat mengantar pada penilaian sesat seluruh umat atau pengkafiran sahabat.” Hal ini juga diceritakan oleh pengarang kitab al-Raudhoh dalam kitab al-riddah dari kitab al-Syifa dan mengakuinya.” ( fathu al-bariy syarh shahih al-bukhori juz 19, www.al-islam.com hal.389.)
e.       Pengingkaran Siksa Kubur
Diantara keyakinan mendasar setiap Muslim adalah meyakini adanya siksa kubur. Hal ini seperti ditegaskan oleh al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Thahawiyyah
صحيح شرح العقيدة الطحاوية (18/ 4)
ونؤمن بملك الموت الموكل بقبض أرواح العالمين وبعذاب القبر لمن كان له أهلا
“kami beriman kepada malaikat Maut yang diserahi mencabut roh semesta alam, dan beriman kepada siksa kubur bagi orang yang berhak menerimanya.”
Berdasarkan keyakinan ini, Rasulullah Saw menganjurkan agar umatnya selalu memohon kepada Allah agar diselamatkan dari siksa kubur. Namun tidak demikian halnya dengan Hizbut Tahrir yang mengingkari adanya siksa kubur, mengingkari kebolehan tawassul dengan para Nabi dan orang shalih serta peringatan maulid Nabi Saw. Pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur juga dijelaskan dalam buku al-Dausiyyah, kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir ketika menjelaskan hadits yang menyebutkan tentang siksa kubur. Menurut buku itu, meyakini siksa kubur yang terdapat dalam hadits itu adalah haram, karena haditsnya berupa hadits ahad, akan tetapi boleh membenarkannya.  . Bahkan salah seorang tokoh Hizbut Tahrir, yaitu Syaikh Umar Bakri pernah mengatakan:
"Aku mendorong kalian untuk mempercayai adanya siksa kubur dan Imam Mahdi, namun barang siapa yang beriman kepada hal tersebut, maka ia berdosa."
(Jawwad Bahr al-Natsyah, Qira'at fi Fikr Hizb al-Tahrir al-Islami, (alnatshi_2007@hotmail.com), hlm. 93).
Sudah barang tentu pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap siksa kubur karena alasan haditsnya hadits ahad dan bukan mutawatir adalah tidak benar. Karena  disamping adanya siksa kubur merupakan keyakinan kaum muslimin sejak generasi salaf, juga hadits-hadits yang menerangkan adanya siksa kubur sampai pada tingkat mutawatir, dan bukan hadits ahad sebagaimana asumsi Hizbut Tahrir. Dalam konteks ini al-Imam Hafizh al-Baihaqi berkata :
الاعتقاد للبيهقي (ص: 225، بترقيم الشاملة آليا)
والأخبار في عذاب القبر كثيرة ، وقد أفردنا لها كتابا مشتملا على ما ورد فيها من الكتاب والسنة والآثار ، وقد استعاذ منه رسول الله صلى الله عليه وسلم وأمر أمته بالاستعاذة منه
"hadits-hadits mengenai adanya siksa kubur banyak sekali. Kami telah menyendirikannya dalam satu kitab yang memuat dalil-dalil dari al-Quran, sunnah dan atsar tentang siksa kubur. Rasulullah Saw telah memohon perlindungan kepada Allah dari siksa kubur dan memerintahkan umatnya agar memohon perlindungan darinya.
قال الشافعي إنّ عذاب القبر حقٌّ
Al-Imam al-Syafi’i berkata:” sesungguhnya siksa kubur itu benar.”
Al-Hafizh Abu Hasan al-Hanbali berkata
فأما أحاديث عذاب القبر ومسألة منكر ونكير فكثيرة متواترة (مجموع الفتاوى 4 ص 258 )
“adapun hadits-hadits yang menerangkan tentang siksa kubur dan pertanyaan munkar dan Nakir,   maka haditsnya banyak sekali dan mutawatir.”
Al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali berkata dalam kitabnya Ahwal al-Qubur dan kitab Tafsir Ibnu Rajab
تفسير ابن رجب الحنبلي (2/  356)
وقد تواترتِ الأحاديثُ عن النبيِّ - صلى الله عليه وسلم - في عذابِ القبرِ والتعوّذِ منه وفي "الصحيحينِ " عن مسروق عن عائشةَ - رضي الله عنها - ، أنها سألتِ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - عن عذابِ القبرِ ، قال : "نَعمْ ، عذابُ القبرِ حق" قالتْ عائشةُ - رضي الله عنها - : فما رأيتُ رسولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بعدَ ذلكَ صلَّى صلاةً إلا تعوَّذ من عذابِ القبرِ
“hadits-hadits yang menerangkan tentang siksa kubur dan berlindung darinya telah datang secara mutawatir dari Nabi Saw. Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhori dan Muslim dari Masruq, dari sayyidah ‘Aisyah Ra, bahwa beliau bertanya kepada Nabi Saw tentang siksa Kubur, maka Nabi Saw menjawab: “ ya, siksa kubur memang benar”. Sayyidah ‘Aisyah Ra berkata :” sesudah kejadian itu, aku melihat Rasulullah selalu memohon perlindungan dari siksa kubur setiap selesai shalat.”
MENURUT AL-HAFIZH ABU ABDILLAH MUHAMMAD BIN JA’FAR AL-KATTANI, HADITS TENTANG SIKSA KUBUR, HADITS MUTAWATIR DAN DIRIWAYATKAN DARI TIGA PULUH DUA ORANG SAHABAT.  BUKAN HADITS AHAD. LIHAT KITAB BELIAU (NAZHMUL MUTANATSIR MINAL HADITSIL MUTAWATIR HAL. 125) dalam kitab tersebut, al-Hafizh al-Kattani mengutip pernyataan banyak ulama yang menegaskan bahwa hadits-hadits tentang siksa kubur sampai pada peringkat mutawatir. Para ulama tersebut antara lain, Imam Sa’duddin al-Taftazani, Imam al-Fasi, Imam al-Ubbi dalam syarh Shahih Muslim, Imam al-‘Aini dalam ‘Umdat al-Qari, Imam al-Qasthalani dalam Irsyad al-Sari, Imam al-Luqani dalam Syarh al-Jauharah dan lain-lain. Bahkan al-Imam al-Qasthalani berkata
مشكاة المصابيح مع شرحه مرعاة المفاتيح (1/  524، بترقيم الشاملة آليا)
وقد كثرت الأحاديث في عذاب القبر حتى قال غير واحد : إنها متواترة لا يصح عليها التواطئ وإن لم يصح مثلها لم يصح شيء من أمر الدين
hadits-hadits yang menerangkan tentang siksa Kubur banyak sekali, sampai tidak sedikit Ulama yang mengatakannya mencapai tingkat mutawatir, dan tidak mungkin terjadi rekayasa kebohongan. Seandainya hadits seperti yang menerangkan tentang siksa kubur tidak dianggap shahih, maka tentu saja tidak ada hadits shahih dalam urusan agama ini.”
          Al-Imam Abdul Qahir al-Baghdadi berkata dalam kitabnya, al-Farqu Bayna al-Firaq, hal. 348, bahwa orang yang tidak mengimani adanya siksa kubur akan disiksa di alam kubur.




“kaum muslimin telah bersepakat tentang pertanyaan didalam kubur dan siksa kubur bagi yang berhak disiksa. Mereka juga memastikan bahwa orang-orang yang mengingkari adanya siksa kubur (seperti Hizbut Tahrir ) akan disiksa di kuburnya. (al-Farqu Bayna al-Firaq, hal. 348).
f.        Mengkafirkan Kaum Muslimin
Sikap yang paling baik dalam menghadapi suatu persoalan adalah sikap moderat,netral dan tidak berlebih-lebihan. Sikap demikian akan dapat mengantar seseorang untuk mengambil keputusan secara bijak, adil, berimbang dan tidak memihak. Agama kita juga melarang bersikap ekstrem (ghuluw) dalam menghadapi persoalan, meskipun berkaitan dengan soal-soal agama. Karena tidak jarang sikap ekstrem menjerumuskan seseorang ke dalam keputusan yang fatal dan merugikan diri sendiri. Nabi Saw bersabda
إياكم والغلو فى الدين فإنما هلك من كان قبلكم بالغلو فى الدين
“Jauhilah sikap ekstrem (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya yang mencelakakan orang-orang sebelum kamu adalah sikap ekstrem dalam agama.” (HR, an-Nasa’i)
Tegaknya khilafah Islamiyah, sebagai simbol pemersatu umat Islam dan lambang kejayaan kaum pada masa silam, memang diwajibkan dalam Agama apabila kita mampu melakukannya. Namun berlebih-lebihan dan terlalu semangat dalam menyikapi khilafah, juga kurang baik dan dapat menjerumuskan kita pada sikap yang keliru. Tidak sedikit sikap ekstrem seseorang justru menjerumuskannya ke dalam jurang kesalahan yang sangat fatal. Seperti yang terjadi pada Taqiyyuddin an-Nabhani dalam pernyataannya berikut ini
والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي لإنها قعود عن القيام بفرض من أهمِّ فروض الإسلام بل يتوقف عليه وجود الإسلام في معترك الحياة
"berpangku tangan dari usaha mendirikan seorang kholifah bagi kaum muslimin adalah termasuk perbuatan dosa yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan diantara kewajiban Islam yang paling penting, dan bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya kholifah.” (al-Syakhshiyyat al-Islamiyyah, juz 2, hal. 19)

            Tentu saja pernyataan an-Nabhani di atas sangat berlebih-lebihan. Dalam pernyataan di atas, an-Nabhani menganggap orang yang tidak ikut memperjuangkan visi dan misi Hizbut Tahrir tentang khilafah berdosa besar.
Dalam bukunya, al-Syakhshiyyat al-Islamiyah dan al-Nizham al-Ijtima’ fi al-Islam, an-Nabhani tidak pernah menyinggung kewajiban-kewajiban utama dalam Islam seperti membaca syahadat, shalat,zakat, puasa dan hajji. An-Nabhani juga tidak pernah menyinggung dosa-dosa besar dan terbesar dalam Islam seperti kekufuran dan kesyirikan, membunuh orang dan lain-lain. Namun dibagian akhir bukunya an-Nabhani berlebih-lebihan dalam menyikapi khilafah, seakan-akan tidak ada kewajiban lain yang lebih penting dari pada khilafah, dan tidak ada dosa lain selain berpangku tangan dari memperjuangkan tegaknya khilafah.

            Sedangkan pernyataan an-Nabhani diatas bahwa, “wujudnya Islam dalam kancah kehidupan  tergantung pada adanya khilafah,” jelas keliru fatal dan tidak benar. Pernyataan tersebut memberikan makna bahwa, Islam itu ada kalau ada kholifah, dan islam tidak ada kalau tidak ada kholifah. Pernyataan itu bermakna pula terhadap pengkafiran kaum Muslimin di muka bumi sejak satu abad yang lalu, setelah sistem khilafah dihapus dari negeri Turki. Demikian pula, pernyataan sebagian aktivis Hizbut Tahrir, la syari’ata illa bidaulah al-Khilafah (tidak ada syariat kecuali ada negara khilafah) dan pernyataan Hizbut Tahrir, la Islama bila khilafatin (tidak ada islam tanpa khilafah).

            Pernyataan di atas bisa bermakna pengkafiran terhadap seluruh kaum muslimin sejak satu abad yang silam setelah khilafah tidak ada.pernyataan tersebut berangkat dari sikap ekstrem dan semangat yang over dalam menyikapi khilafah sampai pada batas menafikan Islam ketika tidak ada khilafah. Padahal tak seorang pun dari kalangan Ulama yang menganggap bahwa Islam tidak ada ketika khilafah tidak ada. Bahkan Al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali berkata dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal. 200, “Kajian tentang khilafah tidak penting, dan lebih selamat tidak mengkajinya.”
النظر في الإمامة ليس من المهمّات وليس أيضا من فنّ المعقولات فيها بل من الفقهيّات ثم إنها مَثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب فكيف إذا أخطأ ( الإقتصاد في الإعتقاد ص 200 )
"
kajian tentang Imamah / khilafah bukan termasuk hal yang penting. Ia juga bukan termasuk bagian dari studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ilmu fiqh, kemudian masalah imamah berpotensi melahirkan sifat fanatik. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah lebih selamat dari pada yang menyelaminya, meskipun ia menyelaminya dengan benar, dan apalagi ketika salah dalam menyelaminya.”
            Sebagaimana dimaklumi wajibnya imamah atau khilafah bukan termasuk bagian rukun iman dan bukan pula rukun Islam. Karenanya asumsi bahwa Islam tidak ada ketika khilafah tidak ada adalah berlebih-lebihan dan bisa bermakna mengkafirkan terhadap kaum muslimin.
Nabi Saw ketika ditanya tentang Islam, tidak pernah menjawabnya dengan khilafah sebagaimana dalam sekian banyak riwwayat hadits-hadits Shahih. Bahkan Nabi Saw telah mengabarkan kepada kita tentang kondisi di akhir zaman ketika umat islam hidup tanpa khilafah. Dalam suatu riwayat
عن حذيفة بن اليمان قال قلت : يا رسول الله إنا كنا في جاهلية و شر فجاء الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير من شر ؟ قال : نعم و فيه دخن قلت : و ما دخنه ؟ قال : قوم يهدون بغير هديي يعرف منهم و ينكر قلت : و هل بعد ذلك الخير شر ؟ قال : نعم دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليه قذفوه فيها قلت : يا رسول الله صفهم لنا قال : هم من جلدتنا و يتكلمون بألسنتنا قلت : فما تأمرني إن أدركت ذلك ؟ قال : تلزم جماعة المسلمين و إمامهم قلت : فإن لم يكن إمام و لا جماعة ؟ قال : فاعتزل تلك الفرق كلها و لو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت و أنت كذلك
“hudzaifah bin al-Yaman berkata:”aku berkata: “ ya Rasulallah, dulu kami hidup dalam jahiliyyahdan keburukan, lalu Allah memberikan kebaikan kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan ?” Beliau menjawab: “Ya.” Aku berkata: apakah setelah keburukan itu ada kebaikan ?” Beliau menjawab: “Ya, tetapi ada keruhnya.”  Aku berkata:”apa keruhnya?” Beliau menjawab : “kaum yang tidak mengikuti jejakku, kamu mengenal mereka dan mengingkari.” Aku berkata : “Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan ?” Beliau menjawab : “ Ya, para dai yang berdiri di pintu-pintu jahannam. Barang siapa yang menerima ajakan mereka maka akan dilempar kedalamnya,” aku berkata :” ya Rasulallah, terangkan sifat mereka kepada kami.” Beliau menjawab :”secara lahiriah mereka dari golongan kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku berkata : “apa perintahmu kepada-ku jika aku menemukannya ?” Beliau menjawab : “ikuti jamaah kaum muslimin dan imamnya.” Aku berkata :”jika mereka tidak lagi berjamaah dan tidak memiliki imam ?” Beliau menjawab : “jauhi aliran-aliran itu seluruhnya, meskipun kamu harus menggigit akar pohon, sampai kamu mati dengannya.” (HR, al-Bukhori, no 7084)
Maksud dari jawaban Beliau di atas, ketika umat Islam tidak lagi dipimpin oleh seorang kholifah, dan mereka terkotak-kotak dalam banyak negara dan aliran, kita tidak boleh mengikuti aliran-aliran baru yg berkembang dan mengajak mendirikan khilafah, akan tetapi kita harus menjauhi mereka semua karena khawatir terjerumus dalam keburukan. Dalam konteks ini Ibnu Hajar berkata ketika mengomentari hadits tersebut
فتح الباري - ابن حجر (13/ 36)
قال البيضاوي المعنى إذا لم يكن في الأرض خليفة فعليك بالعزلة والصبر على تحمل شدة الزمان    ...
وفي الحديث انه متى لم يكن للناس امام فافترق الناس احزابا فلا يتبع أحدا في لفرقة ويعتزل الجميع ان استطاع ذلك خشية من الوقوع في الشر
al-baidowi berkata:” apabila kholifah di bumi tidak ad, maka lakukanlah ‘uzlah dan sabar menghadapi beratnya kehidupan.” Hadits tersebut mengandung pengertian bahwa ketika umat Islam tidak memiliki pemimpin tunggal, lalu manusia terpecah menjadi banyak golongan, janganlah mengikuti siapapun dari mereka, akan tetapi jauhi mereka semua, khawatir terjerumus dalam keburukan.”
Seandainya umat islam ketika tidak memiliki seorang kholifah menanggung dosa besar secara kolektif, tentu saja Nabi Saw akan menjawab, bahwa umat islam telah menanggung dosa besar dan wajib mendirikan organisasi untuk memperjuangkan berdirinya negara khilafah.
Keshahihan hadits Khilafah hanya 30 tahun
عن سفينة قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : (الخِلَافَةُ بَعْدِي ثَلَاثُوْنَ سَنَةً ثُمَّ تَكُوْنُ مُلُكًا) قَالَ : أمسك خلافة أبي بكر رضي الله عنه سنتين و عمر رضي الله عنه عشرا و عثمان رضي الله عنه اثنتي عشرة و علي رضي الله عنه ستا (صحيح ابن حبان - (ج 15 / ص 392)
Khilafah itu hanya 30 tahun, kemudian kerajaan, kata Safinah: Khilafah Abu Bakar 2 tahun, Khilafah Sayyidina Umar 10 tahun, dan Sayyidina Utsman 12 tahun, Khilafah Sayyidina Ali 6 tahun  (HR. Ibn Hibban, [15/392])
وأخرج البيهقي(1) عن أبي بكرة قال: سمعت  رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "خلافة النبوة ثلاثون عاما ثم يؤتي الله الملك من يشاء", فقال معاوية: قد رضينا بالملك.
وهذا الحديث حسنه الحافظ أبو زرعة في فتاويه, والحافظ ابن حجر في شرح البخاري فقد أورده في أكثر من موضع (2) رمزا الى تصحيح ابن حبان وغيره للحديث, وقد الترم الحافظ في مقدمة شرح البخاري (3) أن ما يورده من شرح حديث أوتتمة أو زيادة لحديث فهو صحيح أو حسن, وصحح هذا الحديث ابن حبان والحافظ السيوطي. (4)
----------------
1)      دلائل النبوة (6/ 342)
2)      فتح البري (7/ 58, 8/ 77, 12/ 287, 13/ 212)
3)      مقدمة فتح البري (ص 4)
4)      الإحسان بترتيب صحيح ابن حبان (8/ 227, 9/48), الجامع الصغير (1/ 638)
g.      Fatwa Boleh Berciuman dengan Wanita Ajnabiyah
السُّؤَالُ: مَا حُكْمُ الْقُبْلَةِ بِشَهْوَةٍ مَعَ الدَّلِيْلِ؟ الْجَوَابُ: ... قَدْ فُهِمَ مِنْ مَجْمُوْعِ اْلأَجْوِبَةِ الْمَذْكُوْرَةِ أَنَّ الْقُبْلَةَ بِشَهْوَةٍ مُبَاحَةٌ وَلَيْسَتْ حَرَامًا... لِذَلِكَ نُصَارِحُ النَّاسَ بِأَنَّ التَّقْبِيْلَ مِنْ حَيْثُ هُوَ تَقْبِيْلٌ لَيْسَ بِحَرَامٍ لأَنَّهُ مُبَاحٌ لِدُخُوْلِهِ تَحْتَ عُمُوْمَاتِ اْلأَدِلَّةِ الْمُبِيْحَةِ لأَفْعَالِ اْلإِنْسَانِ الْعَادِيَةِ، فَالْمَشْيُ وَالْغَمْزُ وَالْمَصُّ وَتَحْرِيْكُ اْلأَنْفِ وَالتَّقْبِيْلُ وَزَمُّ الشَّفَتَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ اْلأَفْعَالِ الَّتِيْ تَدْخُلُ تَحْتَ عُمُوْمَاتِ اْلأَدِلَّةِ...فَالصُّوْرَةُ الْعَادِيَةُ لَيْسَتْ حَرَامًا، بَلْ هِيَ مِنَ الْمُبَاحَاتِ، وَلَكِنْ الدَّوْلَةُ تَمْنَعُ تَدَاوُلَهَا...وَتَقْبِيْلُ رَجُلٍ لاِمْرَأَةٍ فِي الشَّارِعِ سَوَاٌء كَانَ بِشَهْوَةٍ أَمْ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ فَإِنَّ الدَّوْلَةَ تَمْنَعُهُ فِي الْحَيَاةِ الْعَامَّةِ...فَالدَّوْلَةُ فِي الْحَيَاةِ الْعَامَّةِ قَدْ تَمْنَعُ الْمُبَاحَاتِ...فَمِنَ الرِّجَالِ مَنْ يَلْمَسُ ثَوْبَ الْمَرْأَةَ بِشَهْوَةٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْظُرُ إِلَى حِذَائِهَا بِشَهْوَةٍ، وَيَسْمَعُ صَوْتَهَا مِنَ الرَّادِيُو بِشَهوْةَ،ٍ وَتَتَحَرَّكُ فِيْهِ غَرِيْزَةُ الْجِنْسِ عَلىَ وَجْهٍ يُحَرِّكُ ذَكَرَهُ مِنْ سَمَاعِ صَوْتِهَا مُبَاشَرَةً، أَوْ مِنَ الْغِنَاءِ، أَوْ مِنْ قِرَاءَةِ إِعْلاَنَاتِ الدِّعَايَةِ أَوْ مِنْ وُصُوْلِ رِسَالَةٍ مِنْهَا، أَوْ نَقْلٍ لَهُ مِنْهَا مَعَ غَيْرِهَا...فَهَذِهِ أَفْعَالٌ بِشَهْوَةٍ كُلُّهَا تَتَعَلَّقُ بِالْمَرْأَةٍ، وَهِيَ مُبَاحَةٌ لِدُخُوْلِهَا تَحْتَ أَدِلَّةِ اْلإِبَاحَةِ. اهـ.( النظام الإجتماعي)
  Soal: Bagaimana hukum ciuman dengan syahwat beserta dalilnya?
  Jawab: Dapat dipahami dari kumpulan jawaban yang lalu bahwa ciuman dengan syahwat adalah perkara yang mubah dan tidak haram... karena itu kita berterus terang kepada masyarakat bahwa mencium dilihat dari segi ciuman saja bukanlah perkara yang haram, karena ciuman tersebut mubah sebab ia masuk dalam keumuman dalil-dalil yang membolehkan perbuatan manusia yang biasa, maka perbuatan berjalan, menyentuh, mengecup dua bibir dan yang semacamnya tergolong dalam perbuatan yang masuk dalam keumuman dalil... makanya status hukum gambar (seperti gambar wanita telanjang) yang biasa tidaklah haram tetapi tergolong hal yang mubah tetapi negara kadang melarang beredarnya gambar seperti itu. Karena negara bisa saja melarang dalam pergaulan dan kehidupan umum beberapa hal yang sebenarnya mubah ... di antara lelaki ada yang menyentuh baju perempuan dengan syahwat. sebagian ada yang melihat sandal perempuan dengan syahwat atau mendengar suara perempuan dari radio dengan syahwat lalu nafsunya bergejolak sehingga dzakarnya bergerak dengan sebab mendengar suaranya secara langsung atau dari nyanyian, atau dari suara-suara iklan atau dengan sampainya surat darinya ... maka perbuatan-perbuatan itu seluruhnya disertai dengan syahwat dan semuanya berkaitan dengan perempuan. Kesemuanya itu boleh, karena masuk dalam keumuman dalil yang membolehkannya.
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, pendidi Hizbut Tahrir, berkata dalam kitab al-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 57
يجوز للرجل أن يصافح المرأة وللمرأة أن تصافح الرجل دون حائل بينهما (النظام الإجتماعي ص 57 )
“laki-laki boleh menyalami perempuan dan sebaliknya tanpa tabir antara keduanya.”




Komentar

  1. semoga apa yang anda sebarkan tidak memecah belah umat islam.

    BalasHapus
  2. semoga apa yang anda sebarkan tidak memecah belah umat islam.

    BalasHapus
  3. kata siapa ajaran Hizbut Tahrir seperti itu?
    Hizbut Tahrir berdiri di Al Quds, bukan Lebanon.

    BalasHapus
  4. pelajarilah di kitabnya langsung. supaya jelas mana yang yang benar dan mana yang salah?

    BalasHapus
  5. Salah satu tulisan para penebar fitnahh...aduh mudahnya fitnah disebarkan...!!!..apakah mereka ini muslim??

    BalasHapus

Posting Komentar

Harap berkomentar yang baik

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا