Pengelolaan Zakat Kontemporer
DESKRIPSI MASALAH
Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang harus dipenuhi oleh
orang-orang (kelompok) muslim yang kaya yang mempunyai harta dalam batas 1
nishob (seukuran emas 96 kg) dan dalam kurun waktu 1 haul (1 tahun). Zakat
berfungsi untuk menyucikan harta dan jiwa disamping untuk membantu meringankan
beban orang-orang yang dalam hal kehidupan duniawi kurang diuntungkan; lebih
tegasnya untuk kelompok masyarakat miskin.
Secara umum zakat dikelola dengan menyerahkan harta zakat berupa uang) dari
orang-orang yang wajib zakat (Muzakki) kepada orang-orang yang berhak menerima
zakat (Mustahiq). Akan tetapi secara khusus, saat ini ada trend pengelolaan
zakat yang pendistribusiannya bukan dalam bentuk uang, namun dalam bentuk
program. Program pendistribusian zakat kontemporer (saat ini) dilakukan dalam
bentuk pemberian beasiswa kepada peserta didik miskin (seperti yang dilakukan
Yayasan Dompet Dhuafa), atau dalam bentuk lain yang tujuannya memang ingin
memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat miskin dalam beragam dimensi yang
ada.
Pengelolaan zakat saat ini juga terkadang diwujudkan dalam bentuk pemberian
lahan usaha atau wujud-wujud lain yang tidak diberikan dalam bentuk uang.
Problemnya, terkadang calon penerima bantuan itu harus memenuhi persyaratan
tertentu, misalnya, surat keterangan miskin dari aparat setempat. Celah ini
yang kemudian mengilhami orang untuk mencari surat keterangan miskin, padahal
sebenarnya ia tidak miskin. Hal-hal ini yang akan diajukan untuk ditemukan
jawabannya dalam bahtsul masail.
PERTANYAAN
Dalam tinjauan fiqih Islam, bagaimanakah hukumnya penyaluran zakat yang
dikelola bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk program, seperti
pemberian beasiswa atau lahan usaha atau yang lain?
Bagaimanakah hukumnya menerima dana bantuan beasiswa atau bantuan lahan usaha dari lembaga pemerintah atau non pemerintah yang mana sumber dana tersebut berasal dari pengelolaan dana zakat?
Adakah dalam sejarah Islam upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Muslim dalam pengelolaan penyaluran zakat yang tidak diwujudkan dalam bentuk uang?
Bagaimanakah hukumnya menerima dana bantuan beasiswa atau bantuan lahan usaha dari lembaga pemerintah atau non pemerintah yang mana sumber dana tersebut berasal dari pengelolaan dana zakat?
Adakah dalam sejarah Islam upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Muslim dalam pengelolaan penyaluran zakat yang tidak diwujudkan dalam bentuk uang?
JAWABAN
PENDAHULUAN
Zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam, disamping Syahadat,
Sholat, Puasa dan Haji. Zakat dan Sholat dirangkai dalam satu perintah dalam
Al-Qur’an sebagai perlambang dari keseluruhan ajaran Islam, betapa banyaknya
perintah menmgerjakan Sholat yang diiringi dengean perintah membayar Zakat
dalam Al-Qur’an antara lain (Q.S. Al-Baqooroh 43) “Dirikanlah sholat dan
bayarkanlah zakat, dan ber ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’”,
Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Pertumbuhan dan
perkembangana usaha manusia yang mendatangkan hasil dan keuntungan membawa
pengaruh pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan zakat. Seseorang yang
memenuhi syarat-syarat, yaitu setiap muslim yang mempunyai kekayaan tertentu
dan terlah sampai pada batas Nisobnya, wajib mengeluarkan zakatnya.
Para pengusaha yang sukses apakah melalui usaha pertanian, perkebunan,
perhutanan, peternakan, periknan, pertambangan, perindustrian, perdangan dan
jasa atau usaha lainnya, harus menyadari bahwa didalam kekayaannya itu ada
sebagian milik orang lain yang harus diberikan kepada yang berhak menerimanya
melalui zakat bila telah sampai nisobnya. Dan jika belum sampai nisobnya
mengamalkan, mengamalkan sunnah melalui Infaq dan Sodaqoh :
“Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian”. ( Ad Dzariyat 19)
Hadits Abi Hurairah. Imam Malaik Fil Muwatto’ 1/277 , Imam Bukhori Fil
Zakat 1463-1464 Imam Muslim Fil Zakat 982.
سنن أبى داود – (ج 5 / ص 130)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- قَالَ
« لَيْسَ عَلَى
الْمُسْلِمِ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فِى فَرَسِهِ صَدَقَةٌ ».
Dari Abi Hurairah RA. Rosululloh SAW. Bersabda:” tidak ada kewajiban bagi
Muslim untuk mengeluarkan sodaqoh (zakat) dalam budak yang ia miliki dan kuda
(kendaraan),”
Dalam kitab Majmu’ Juz 5 hal. 303. dijelaskan karena keduanya hanya untuk
Zinah (perhiasan) dan transportasi harian, bukan untuk An-Nama’ (budidaya /
meraup keuntungan).
PEMBAGIAN ZAKAT
Zakat mempunyai kehususan, zaitu dari ummat Islam oleh umat Islam dan untuk
umat Islam dengan sasaran khusus, seperti tersebut dalam Al-Qur’an Surat
At-Taubah ayat 60, bahwa yang berhak menerima harta zakat (Mustahiq )adalah :
Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Ghorimin, Sabilillah dan Ibnu Sabil.
Betapa pentingnya ibadah zakat bagi kesejahteraan umat, Ibadah yang
bersifat individual tetapi mempunyai dampak social kemasyarakatan yang amat
luas. Itulah sebabnya betapa pentingnya menumbuhkan kesadaran umat untuk
membayar zakat, disamping itu, agar zakat lebih berdaya guna dan berhasil guna,
perlu pengelolaan yang sebaik-baiknya.
BEBERAPA PENDAPAT TENTANG SEBAGIAN ASNAF.
Al-Fuqoro’
كفاية الآخيار جز 1 ص 197
وحد الفقير هو الذي لا مال له ولا كسب أو له مال أو كسب
ولكن لا يقع موقعاً من حاجته كمن يحتاج إلى عشرة مثلاً ولا يملك إلا درهمين، وهذا
لا يسلبه اسم الفقر، وكذا ملك الدار التي يسكنها والثوب الذي يتجمل به لا يسلبه
اسم الفقر،
Definisi Faqir : Orang yang tidak punya harta dan tidak punya pekerjan,
atau; punya harta dan pekerjaan akan tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhannya,
seperti orang yang kebutuhan harian 10.000 namun hanya mampu meraih 2000, maka
hal ini tetap dinamakan Faqi, begitu pula punya rumah dan pakaian tetapi
kebutuhannya selalu tidak mencukupi itu juga tetap dimakan Faqir ( Kifayatul
Ahyar I / 197)
Pendapat lain Tentang orang mencari Ilmu , boleh menerima zakat :
كفاية الآخيار جز 1 ص 197
ولو قد ر على الكسب إلا أنه مشتغل بالعلوم الشرعية ولو
أقبل على الكسب لا نقطع عن التحصيل حلت له الزكاة على الصحيح المعروف،
“Jika orang mampu bekerja, namun dia disibukkan dengan Ilmu Syari’at
(belajar/mengajar ngaji) jika dia disibukkan dengan pekerjaan maka tidak akan
hasil Ilmu. Baginya boleh menerima Zakat menurut Qoul Shohih Al-Ma’ruf” (
Kifayatul Ahyar I / 197).
Dalam Kitab Al-Majmu’ VI / 177 dikatakan:
المجموع جز 6 ص 177
ولو قدر على كسب يليق بحاله إلا أنه مشتغل بتحصيل بعض
العلوم الشرعية بحيث لو أقبل على الكسب لانقطع عن التحصيل حلت له الزكاة لأن تحصيل
العلم فرض كفاية.
“Para Ulama’ berkata : jika dia mampu bekerja sesuai dengan martabatnya,
namun dia disibukkan dengan mencari sebagian Ilmu Syariat, sekira dia bekerja
maka akan sulit menghasilkan Ilmu, maka halal baginya mendapat Zakat, karena
melakukan Fardlu Kifayah.” (Al-Majmu’ VI / 177)
Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin (Roddul Muhtar) III / 358, Menyamakan kedudukan
orang mencari Ilmu dengan orang yang perang. Dan juga memperbolehkan pemberian
zakat kepada anak kecil, ketika anak itu orang tuanya tidak mampu (Roddul
Muhtar III/224).
PENGELOLAAN ZAKAT
Pada dasarnya pembayaran zakat dilaksanakan sesuai dengan harta yang
dizakati, begitu juga pembagiannya sehingga harta zakat tersebut sudah menjadi
hal yang baku tidak bisa dikembangkan macam-macamnya, hal ini sesuai dengan
pendapat madzhab Syafi’i.
Imam Ibnu Hajar dari Madzhab Syafi’ie menyarankan jika ingin memberikan
zakat dengan bentuk lain (diberdayakan) agar Taqlid (mengikuti) pendapat yang
memperbolehkan. Ibnu Ziyad berkata dalam Ftwanya, mengutip Fatwa Imam
Al-Bulqini yang memperbolehkan pemberian zakat dalam bentuk lain asalkan lebih
bermanfaat bagi Mustahiqqin (Penerimanya).
Lihat Bughyah al-Mustarsyidin Hal. 109
بغية المسترشدين ص 109
(مسألة): أفتى البلقيني
بجواز إخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقير في زكاة النقد والتجارة وقال: إنه
الذي أعتقده وبه أعمل وإن كان مخالفاً لمذهب الشافعي، والفلوس أنفع للمستحقين
وأسهل، وليس فيها غش كما في الفضة المغشوشة، ويتضرر المستحق إذا وردت عليه ولا يجد
لها بدلاً اهـ. ويسع المقلد تقليده لأنه من أهل التخريج والترجيح، لا سيما إذا
راجت الفلوس وكثرت رغبة الناس فيها، وقد سلف البلقيني في ذلك البخاري وهو معدود من
الشافعية، فإنه قال في صحيحه باب العروض في الزكاة،
“Al Bulqini memberi fatwa dengan diperbolehkannya mengeluarkan mata uang
baru dalam zakat emas-perak dan perdagangan., uang tersebut dikenal dengan
manaqir. Al Bulqini berkata: Inilah yang saya yakini dan saya amalkan, meski
tidak sesuai dengan madzhab Syafii, (karena) uang lebih bermanfaat dan praktis
bagi penerima zakat, dan dalam membayar zakat dengan uang tersebut tidak akan
terjadi kerugian sebagaimana dalam perak pecahan, dan mustahik akan merasa
dirugikan ketika tidak ditemukan pengganti uang. Dalam hal ini siapapun diberi
keleluasaan untuk mengikuti pendapat Al Bulqini karena dia termasuk ulama ahli
takhrij dan tarjih dalam madzhab Syafii, terlebih ketika mata uang sedang ramai
diperdagangkan dan digandrungi oleh banyak orang. Sebelum Al Bulqini, Imam
Bukhari berpendapat seperti itu di dalam kitab Shahihnya, sementara beliau
termasuk pengikut madzhab Syafiiyah.”
Dalam kitab Majmu’ Juz VI / 164 dijelaskan, bahwa bagi pengelola zakat atau
Imam tidak diperkenankan menasarufkan (mendayagunakan) zakat tanpa seizin
mustahiqnya terlebih dahulu. Oleh sebab itu maka ada celah helah hokum apa bila
harata zakat itu akan diberdayakan, maka harus jelas jumlahnya berapa yang
kekmudian diikrarkan kepada calon penerimanya. Hal ini yang perlu disikapi dan
menjadi perhatian.
المجموع جز 6 ص 164
قال المصنف رحمه الله تعالى: ولا يجوز للساعي ولا للإمام
أن يتصرف فيما يحصل عنده من الفرائض حتى يوصلها إلى أهلها، لأن الفقراء أهل رشد لا
يولي عليهم، فلا يجوز التصرف في مالهم بغير إذنهم
“Tidak boleh bagi pengelola zakat atau pemerintah untuk mengelola harta
zakat sehingga telah diberikan kepada pihak penerimanya. Karena orang-orang
faqir orang yang mandiri (dalam hal pengelolaan) dan tidak boleh untuk diatur
orang lain. Dengan demikian siapapun tidak boleh mengelola harta mereka tanpa
seizing mereka.”
بغية المسترشدين ص 105
ويجوز تقليد هؤلاء في نقلها ودفعها إلى شخص واحد، كما
أفتى به ابن عجيل وغيره،
Dan diperbolehkan mengikuti pendapat para ulama dalam hal memindah zakat
(ke daerah lain) atau memberikan harta zakat kepada satu orang, seperti yang
difatwakan oleh Ibnu Ujail dan yang lain.
المحموع جز 6 ص 172
وقال الحسن البصري وعطاء وسعيد بن جبير والضحاك والشعبي
والثوري ومالك وأبو حنيفة وأحمد وأبو عبيد : له صرفها إلى صنف واحد. قال ابن
المنذر وغيره: وروي هذا عن حذيفة وابن عباس . قال أبو حنيفة : وله صرفها إلى شخص
واحد من أحد الأصناف
“Abuhanifah berpendapat; boleh baginya menasarufkan zakat pada seorang dari
salah satu Asnaf yang berhak menerima.”
Melihat Ibarat diatas, maka praktek untuk mendapatkan izin dari mustahiq
tidak harus semua mustahiq (yang berhak menerima) zakat mengizini, bahkan salah
satu dari mereka menerima dan kemudian mengizini untuk dikembangkan agar lebih
meluas itu bisa jadi dan itu sah-sah saja.
PENERIMAAN BANTUAN DARI DANA ZAKAT
Penerimaan bantuan dari dana zakat yang dikelola oleh pemerintah maupun
lembaga lain bagi Mustahiqnya (Asnaf Tsamaniyah) atau yang disamakan boleh
saja. Namun jika dana tersebut untuk pembangunan maka tidak boleh kecuali
menurut Imam Al-Qoffal yang memperbolehkan dana zakat digunakan untuk
kemaslahatan umum.
تفسير الرازي جز 16 ص 89
نقل القفال في «تفسيره» عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف
الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد،
“Imam Qaffal mengutip dalam tafsirnya dari sebagian ulama fiqih yang
memperbolehkan penyaluran (alokasi) harta zakat ke semua bentuk kebaikan,
seperti untuk mengkafani mayat, membangun benteng dan membangun masjid.”
SEJARAH ISLAM DALAM PENYALURAN ZAKAT
Pemikiran tentang penyaluran zakat dengan bentuk yang disesuaikan kebutuhan
mustahiq zakat, telah terjadi pada masa-masa dahulu, seperti Imam Hanafi dengan
konsep zakat yang di uangkan dan Imam Al-Bulqini dengan konsep zakat berupa
qimah (kurs).
المحموع جز 6 ص 180-181
المسألة الثانية: في قدر المصروف إلى الفقير والمسكين،
قال أصحابنا العراقيون وكثيرون من الخراسانيين: يعطيان ما يخرجهما من الحاجة إلى
الغني، وهو ما تحصل به الكفاية على الدوام. وهذا هو نص للشافعي رحمه الله، واستدل
له الأصحاب بحديث قبيصة بن المخارق الصحابي رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله
عليه وسلّم قال: «لا تحل المسألة إلا لأحد ثلاثة، رجل تحمل حمالة فحلت له المسألة
حتى يصيبها ثم يمسك، ورجل أصابته جائحة اجتاحت ماله فحلت له المسألة حتى يصيب
قواماً من عيش، أو قال سداداً من عيش، ورجل أصابته فاقة حتى يقول ثلاثة من ذوي
الحجى من قومه: لقد أصابت فلاناً فاقة فحلت له المسألة حتى يصيب قواماً من عيش، أو
قال سداداً من عيش، فما سواهن من المسألة يا قبيصة سحت يأكلها صاحبها سحتاً» رواه
مسلم في «صحيحه»، والقوام والسداد بكسر أولهما، وهما بمعنى.
قال أصحابنا: فأجاز رسول الله صلى الله عليه وسلّم
المسألة حتى يصيب ما يسد حاجته فدل على ما ذكرناه. قالوا: وذكر الثلاثة في الشهادة
للاستظهار لا للاشتراط قال أصحابنا: فإن كان عادته الاحتراف أعطى ما يشتري به
حرفته أولا آلات حرفته، قلت قيمة ذلك أم كثرت، ويكون قدره بحيث يحصل له من ربحه ما
يفي بكفايته غالباً تقريباً.
ويختلف ذلك باختلاف
الحرف والبلاد والأزمان والأشخاص. وقرب جماعة من أصحابنا ذلك فقالوا: من يبيع
البقل يعطى خمسة دراهم أو عشرة، ومن حرفته بيع الجوهر يعطى عشرة آلاف درهم مثلاً
إذا لم يتأت له الكفاية بأقل منها. ومن كان تاجراً أو خبازاً أو عطاراً أو صرافاً
أعطى بنسبة ذلك، ومن كان خياطاً أو نجاراً أو قصاراً أو قصاباً أو غيرهم من أهل
الصنائع أعطى ما يشتري به الآلات التي تصلح لمثله، وإن كان من أهل الضياع يعطى ما
يشتري به ضيعة أو حصة في ضيعة تكفيه غلتها على الدوام.
قال أصحابنا: فإن لم يكن محترفاً ولا يحسن صنعة أصلاً
ولا تجارة ولا شيئاً من أنواع المكاسب أعطي كفاية العمر الغالب لأمثاله في بلاده
ولا يتقدر بكفاية سنة
“Masalah Kedua tentang kisaran harta yang diberikan kepada fakir miskin.
Menurut ulama Iraq dan khurasan (Iran), mereka diberikan harta zakat sehingga
mereka terlepas dari kemiskinannya, yaitu untuk mencukupi kebutuhan selama
hidupnya. Ini sesuai pendapat Imam Syafii. Pendapat tersebut berdasarkan hadis
Qabishah bin Mukhariq bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Meminta-minta tidak boleh
kecuali bagi tiga orang, yaitu orang yang terbebani tanggungan, maka boleh
baginya untuk mengemis hingga dia mendapatkannya dan tidak meminta lagi. Atau
orang yang hartanya hilang karena musibah, maka boleh baginya untuk mengemis
hingga memenuhi kebutuhannya. Atau orang yang jatuh miskin, dan menurut tiga
orang yang pandai dia memang jatuh miskin, maka boleh baginya untuk mengemis
hingga memenuhi kebutuhannya. Selain yang tiga itu, wahai Qabishah, adalah
harta haram yang dimakan oleh pemiliknya”. Ulama Syafiiyah berkata: dengan
demikian Rasul Saw memperbolehkan meminta-minta hingga bias memenuhi
kebutuhannya. Ashabus Syafii berkata: Jika mustahiq tersebut terbiasa dengan
kerja, maka penyaluran zakat untuk orang tersebut dibelikan untuk keperluan
atau alat-alat pekerjaanya, baik harganya murah atau mahal, dan kadar yang
diperoleh sekira bias diambil keuntungan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
secara wajar. Dan pemberian itu jelas berbeda antara jenis pekerjaannya,
tempat, masa dan pelakunya. Para ulama memberi sebuah gambaran dalam hal ini:
Bagi penjual bawang merah diberi zakat antara 5-10 dirham. Bagi penjual mutiara
diberi zakat 1000 dirham, jika memang harus menerima sekian banyaknya. Sementara
pedagang, pengrajin roti, pembuat minyak wangi atau penukar uang, diberikan
sesuai dengan profesinya. Sedangkan bagi penjahit, panadai besi dan pekerja
lainnya diberikan zakat untuk membeli peralatan pekerjaannya tersebut. Bagi
orang-orang yang menganggur maka dibelikan sebidang tanah yang bias diambil
keuntungannya secara terus-menerus. Dan jika penerima zakat tersebut sama
sekali tidak memiliki keterampilan dalam bidang pekerjaan apapun, maka dia
diberi zakat yang bias mencukupi usia rata rata manusia (sekitar 60 tahun), dan
tidak dapat diperkirakan dengan batas satu tahun.”
SOLUSI NAHDLIYIN (LBM NU Jawa Timur)
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik