NASAKH - MANSUKH
(وَأَمَّا النَّسْخُ فَمَعْنَاهُ) لُغَةً
(الإِزَالَةُ يُقَالُ نَسَخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ إِذَا أَزَالَتْهُ)
وَرَفَعَتْهُ بِانْبِسَاطِهَا. (وَقِيْلَ مَعْنَاهُ النَّقْلُ مِنْ قَوْلِهِمْ
نَسَخْتُ مَا فِى الْكِتَابِ إِذَا نَقَلْتُهُ بِأَشْكَالِ كِتَابَتِهِ)
(وَحَدُّهُ) شَرْعًا (الخِطَابُ الدَّالُ علَىَ
رَفْعِ الحُكْمِ الثَّابِتِ بِالْخِطَابِ اْلمتَقَدِّمِ عَلَى وَجْهٍ لَوْلَاهُ
لَكَانَ ثَابِتًا مَعَ
|
|
Nasakh
secara lughat memiliki arti menghilangkan. Diucapkan, “matahari telah menghilangkan bayangan”, saat matahari melenyapkan
dan menghilangkan bayangan dengan pancaran sinar terangnya. Menurut pendapat
lain, arti nasakh adalah memindah. Diambil dari perkataan orang Arab, “aku memindah isi kitab”, saat aku
memindahnya sekalian bentuk tulisan aslinya.
Definisi
nasakh secara syar’i adalah khithab yang menunjukkan dihilangkannya hukum
yang ditetapkan khithab sebelumnya, dengan cara yang seandainya tidak
ditemukan khitab (kedua) tersebut, maka hukum tetap berlaku, serta datangnya
khitab (kedua) setelah ada
selang waktu dari
khithab
|
تَرَاخِيْهِ عَنْهُ) هَذَا حَدُّ النَّاسِخِ
وَيُؤْخَذُ مِنْهُ حَدُّ النَّسْخِ بِأَنَّهُ رَفْعُ الْحُكْمِ الْمَذْكُوْرِ
بِخِطَابٍ اِلَى أَخِرِهِ أَىْ رَفْعُ تَعَلُّقِهِ باِلْفِعْلِ .
فَخَرَجَ بِقَوْلِهِ الثَّابِتِ بِالْخِطاَبِ رَفْعُ
الْحُكْمِ الثَّابِتِ بِالْبَرَاءَةِ الْأَصْلِيَّةِ أَىْ عَدَمِ التَّكْلِيْفِ
بِشَيْءٍ.
وَبِقَوْلِنَا بِخِطَابٍ الْمَأْخُوْذِ مِنْ
كَلاَمِهِ الرَّفْعُ بِالْمَوْتِ وَالْجُنُوْنِ
وَبِقَوْلِهِ عَلَى وَجْهٍ اِلَى أَخِرِهِ مَا لَوْ
كَانَ الْخِطَابُ اْلأَوَّلُ مُغَيًّا بِغَايَةٍ أَوْ مُعَلَّلاً بِمَعْنًى
وَصُرِّحَ بِالْخِطَابِ الثَّانِى بِمُقْتَضَى ذَلِكَ فَاِنَّهُ لَا يُسَمَّى
نَاسِخًا لِلْأَوَّلِ مِثَالُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى:
"اِذَا نُوْدِيَ
لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ فَاسْعَوْ اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ"
فَتَحْرِيْمُ الْبَيْعِ مُغَيًّا بِانْقِضَاءِ
الْجُمْعَةِ فَلاَ يُقَالُ أَنَّ قوْلَهُ تَعَالَى:
"فَاِذَا قُضِيَتِ
الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا
|
|
(pertama).
Penjelasan ini adalah definisi dari nasikh (dalil penasakh). Dari pengertian
nasikh inilah, definisi nasakh diambil, yakni menghilangkan hukum yang
tersebut di atas menggunakan khithab dan seterusnya. Dalam arti,
menghilangkan keterkaitan hukum dengan perbuatan manusia.
§ Dari ucapan pengarang, “yang ditetapkan khithab
sebelumnya”, mengecualikan dihilangkannya hukum yang ditetapkan berdasarkan bara’ah ashliyah (tidak adanya
tanggungan secara asal), yakni tidak adanya tuntutan atas sebuah perbuatan.
§ Dari ucapanku (pensyarah), “menggunakan khithab” yang diambil dari perkataan pengarang,
mengecualikan hilangnya hukum sebab kematian dan gila.
§ Dari ucapan pengarang, “dengan cara…dan seterusnya”, mengecualikan ketika khithab pertama
dibatasi dengan batas akhir atau diikat dengan sebuah alasan makna, kemudian
khithab kedua menjelaskan kesimpulan dari batas dan alasan makna tersebut.
Maka khithab kedua ini tidak bisa disebut menasakh khithab pertama. Contoh
firman Allah swt QS. Al-Jum’ah:09:“Apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli”
Haramnya
melakukan transaksi jual beli dibatasi dengan batas akhir selesainya shalat
jum’at. Maka firman Allah swt QS. Al-Jum’ah:10: “Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
|
فِى الْأَرْضِ وَابْتَغُوا
مِنْ فَضْلِ اللهِ"
نَاسِخٌ لِلْأَوَّلِ بَلْ بَيَّنَ غَايَةَ
التَّحْرِيْمِ وَكَذَا قَوْلُهُ تَعَالىَ:
"وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ
صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا"
لاَ يُقَالُ نَسَخَهُ قَوْلُهُ تَعَالَى:
"وَاِذَا حَلَلْتُمْ
فَاصْطَادُوْا"
لِأَنَّ التَّحْرِيْمَ لِلْإِحْرَامِ وَقَدْ زاَلَ
وَخَرَجَ بِقَوْلِهِ مَعَ تَرَاخِيْهِ عَنْهُ مَا اتَّصَلَ بِالْخِطاَبِ مِنْ
صِفَةٍ اَوْ شَرْطٍ اَوْ اِسْتِثْنَاءٍ
|
|
carilah
karunia Allah”
tidak
bisa dikatakan menasakh khithab pertama, namun (ayat ini) sekedar menjelaskan
batas akhir keharaman. Contoh lain, firman Allah swt QS. Al-Maidah:96:“Dan diharamkan atasmu (menangkap)
binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram”
Tidak
bisa dikatakan ayat di atas telah dinasakh oleh firman Allah QS.
Al-Maidah:02: “Dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu”
Dikarenakan
haramnya berburu adalah lantaran status ihram yang kemudian menjadi hilang.
§ Dari ucapan pengarang, “setelah ada selang waktu”, mengecualikan hal-hal yang bersambung
dengan khithab, seperti shifat, syarat dan istitsna’.
|
Penjelasan :
Nasakh secara lughat memiliki dua arti, menghilangkan
dan memindah. Nasakh secara istilah adalah menghilangkan hukum syar’i dengan
jalan syar’i dengan adanya selang waktu.
Uraian:
§ Maksud ‘menghilangkan’, bahwasanya khithab Allah swt mengikat
perbuatan manusia seandainya dalil penasakh tidak ada, maka hukum tetap
berlaku. Namun kemudian dalil penasakh menghilangkan dan memutus ikatan
tersebut dari perbuatan manusia.
§ Maksud ‘hukum syar’i’ mengecualikan hukum akal seperti
bara’ah ashliyah di atas.
§ Maksud ‘jalan syar’i’, memasukkan khithab Allah swt
dan Nabi saw, perbuatan dan taqrir Nabi
saw. Mengecualikan jalan akal, seperti hilangnya hukum dari orang mati, tidur,
lupa, gila dan sebab mati, lupa, tidur dan gila.
§ Maksud ‘adanya selang waktu’, mengecualikan syarath,
shifat, dan istitsna’.
Beberapa persyaratan nasakh;
1. Dalil yang dinasakh berbentuk syar’i, bukan aqli
(akal)
2. Dalil penasakh turun dengan selang waktu dan terpisah.
3. Dengan jalan syar’i, bukan jalan akal.
4. Dalil yang dinasakh tidak dibatasi waktu atau dibatasi
dengan batas tertentu, seperti keterangan di atas.
5. Dalil yang ada boleh dinasakh. Tidak boleh menasakh
dasar tauhid dan hal-hal yang diketahui secara dharuri (pasti).
6. Penasakh berupa dalil khash disyaratkan datang setelah
dalil umum diamalkan.
7. Hal yang menuntut dalil yang dinasakh berbeda dengan
yang menuntut dalil penasakh.
8. Terjadi di masa Nabi saw. Setelah Beliau wafat tidak
ada nasakh karena telah sempurnanya syariat [1][52].
Pertanyaan :
Bagaimana kita mengetahui penasakh turun lebih akhir?
Jawab :
Dengan beberapa cara;
1. Dengan ijma’
2. Penjelasan Nabi saw. Contoh Nabi saw mengatakan,
“dalil ini menasakh dalil sebelumnya”, “dalil ini setelah dalil sebelumnya”
3. Dengan dalalah. Contoh hadits tentang ziarah
kubur.
4. Menjelaskan perbedaan dengan dalil pertama. Seperti
menyebutkan sesuatu berbeda dengan apa yang disebutkan pertama kali.
5. Ucapan perawi. Contoh perawi mengatakan, “dalil ini
lebih dahulu dari dalil itu”.
Referensi :
(خَاتِمَةٌ) وَيُعْرَفُ النَّسْخُ بِتَأَخُّرِ تاَرِيْخِ الناَّسِخِ
وَيُعْرَفُ ذَلِكَ بِالإِجْمَاعِ أَوْ بِتَصْرِيْحِ النَّبِيِّ بِهِ كَأَنْ قاَلَ
هَذاَ نَسْخٌ لِكَذَا أَوْ هَذَا بَعْدَ كَذَا أَوْ بِالدَّلاَلَةِ كَحَدِيْثِ
مُسْلِمٍ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا أَوْ
بِالنَّصِّ عَلىَ خِلاَفِ الأَوَّلِ كَأَنْ يَذْكُرَ شَيْئاً عَلىَ خِلاَفِ مَا
ذَكَرَهُ فِيْهِ أَوّلاً أَوْ قَوْلِ الرَّاوِي هَذاَ سَابِقٌ عَلىَ ذَلِكَ اهـ
(النَّفَحاَتُ صـ 109)
“(Penutup) nasakh diketahui dengan penanggalan
penasakh yang lebih akhir. Hal ini dapat diketahui dengan ijma’, atau
penjelasan Nabi saw, seperti Nabi saw mengatakan, “dalil ini menasakh dalil
sebelumnya”, “dalil ini setelah dalil sebelumnya”. Atau dengan dalalah, seperti
HR. Muslim; “Aku telah melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) ziarailah
kuburan!”, atau menjelaskan perbedaan dengan dalil pertama, seperti menyebutkan
sesuatu berbeda dengan apa yang disebutkan pertama kali. Atau ucapan perawi, “dalil
ini lebih dahulu dari dalil itu”.
Pertanyaan :
Mengapa dalil khash yang datang setelah dalil ‘am
(umum) diamalkan dinamakan nasakh,
bukan dinamakan takhsish?
Jawab :
Karena seandainya dinamakan takhsish, maka akan
mewajibkan adanya bayan (menjelaskan) sebelum dalil ‘am diamalkan. Jika tidak
demikian, maka akan terjadi penundaan bayan dari waktu hajat (saat dibutuhkan)
yang tidak diperbolehkan.
Referensi :
وَإِنَّمَا اعْتَبَرْناَهُ
بَعْدَ العَمَلِ نَسْخاً لاَ تَخْصِيْصًا لِأَنَّهُ لَوْ كاَنَ تَخْصِيْصاً
لَوَجَبَ بَيَانُهُ قَبْلَ العَمَلِ بِالعَامِ وَإِلاَّ كاَنَ تَأْخِيْرُ
لِلْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الحاَجَةِ وَهُوَ غَيْرُ جَائِزٍ اهـ (اَلوَجِيْزُ صـ
244)
“Dan
sesungguhnya saya menganggap dalil khash setelah (dalil ‘am) diamalkan sebagai nasakh,
bukan takhsish, karena seandainya dinamakan takhsish, maka akan mewajibkan
adanya bayan (menjelaskan) sebelum dalil ‘am diamalkan. Jika tidak demikian,
maka akan terjadi penundaan bayan dari waktu hajat (saat dibutuhkan). Dan
(penundaan) itu tidak diperbolehkan”.
(وَيَجُوْزُ نَسْخُ الرَّسْمِ وَبَقاَءُ الْحُكْمِ)
نَحْوُ الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ اِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا اَلبَتَّةَ.
|
|
Diperbolehkan
menasakh rosm (tulisan) dan menetapkan hukumnya. Contoh:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ اِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا اَلبَتَّةَ
“Laki-laki tua dan wanita tua ketika keduanya
berzina, maka rajamlah keduanya dengan pasti”
|
قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَاِنَّا قَدْ
قَرَأْنَاهَا رَوَاهُ الشَافِعِى وَغَيْرُهُ وَقَدْ رَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحْصَنَيْنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا وَهُمَا
الْمُرَادُ بِالشَّيْخِ وَالشَّيْخَةُ
(وَنَسْخُ الْحُكْمِ وَبَقَاءُ الرَّسْمِ) نَحْوُ
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً
لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاًعا اِلَى الْحَوْلِ نُسِخَ بِاَيَةِ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعَشْرًا
(وَنَسْخُ الْأَمْرَيْنِ مَعًا) نَحْوُ حَدِيْثُ
مُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ كَانَ فِيْمَا نَزَلَ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٌ
يُحَرِّمْنَ فَنُسِخْنَ بِخَمْسَةٌ مَعْلُوْمَاتٌ يُحَرِّمْنَ
|
|
Sayyidina
Umar ra mengatakan, “Aku sungguh telah membaca ayat tersebut”, diriwayatkan
oleh Imam As-Syafi’i dan lain-lain. Dan Rasulullah saw telah (memerintahkan)
merajam dua orang pezina muhshan, riwayat Muttafaq alaih. Dua orang inilah
yang dimaksud الشَّيْخُ dan الشَّيْخَةُ.
Diperbolehkan
juga menasakh hukum dan menetapkan rosmnya. Contoh:
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً
لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاًعا اِلَى الْحَوْلِ (البقرة:240)
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara
kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya,
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya”
Dinasakh
dengan ayat:
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”
Dan
juga menasakh hukum dan rosm sekaligus. Contoh HR. Muslim dari ‘Aisyah ra :
كَانَ فِيْمَا نَزَلَ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٌ يُحَرِّمْنَ
“Ada dalam perkara yang diturunkan, sepuluh susuan
yang diketahui dapat menjadikan mahram”
بِخَمْسَةٌ مَعْلُوْمَاتٌ يُحَرِّمْنَ
“Lima susuan yang diketahui dapat menjadikan mahram”
|
Penjelasan :
Pembagian nasakh berdasarkan hukum, bacaan (tilawah)
dan tulisan (rasm) secara lebih terperinci;
1. Manasakh hukum, menetapkan tilawah dan rasm.
Contoh ayat tentang ‘iddah di atas.
Contoh ini terdapat banyak dalam al-Qur’an.
2. Menasakh hukum, menetapkan tilawah dan rasm,
serta menghilangkan tilawah ayat penasakh dan menetapkan hukumnya. Contoh
firman Allah swt QS. An-Nisa:15;
فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى
يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ
“Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka
menemui ajalnya”
Dinasakh hukumnya dengan dalil penasakh yang tilawah dan rasm-nya
dinasakh, namun hukumnya ditetapkan, yakni;
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ اِذَا زَنَيَا
فَارْجُمُوْهُمَا اَلبَتَّةَ
“Laki-laki tua dan wanita tua ketika keduanya berzina, maka rajamlah
keduanya dengan pasti”
3.
Menasakh tilawah, menetapkan hukum dan tidak
diketahui dalil penasakhnya. Contoh;
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ اِذَا زَنَيَا
فَارْجُمُوْهُمَا اَلبَتَّةَ
“Laki-laki tua dan wanita tua ketika keduanya berzina, maka rajamlah
keduanya dengan pasti”
4.
Menasakh hukum dan tilawah, serta manasakh tilawah
dan rasm dalil penasakh, namun hukumnya ditetapkan. Contoh ayat tentang
masalah susuan di atas [2][53].
Pertanyaan :
Apa maksud menasakh rasm?
Jawab :
Maksudnya adalah menasakh lafadz al-Qur’an.
Artinya, menghilangkan wajibnya meyakini
sifat qur’aniyah dalam lafadz
tersebut, serta menghilangkan
hukum-hukum khusus di dalamnya, seperti haramnya menyentuh bagi orang yang
berhadats dan haramnya membaca bagi yang junub.
Referensi :
(قَوْلُهُ الرَّسْمِ) أَيْ
لَفْظِ القُرْآنِ أَيْ رَفْعُ وُجُوْبِ اعْتِقَادِ قُرْآنِيَّتِهِ وَرَفْعُ
خَوَاصِّ قُرْآنِيَّتِهِ كَحُرْمَةِ مَسِّ المُحْدِثِ وَقِرَاءَةِ الجُنُبِ اهـ
(النَّفَحاَتُ صـ 103)
“(Ucapan pengarang: rasm), maksudnya adalah (menasakh) lafadz al-Qur’an.
Artinya, menghilangkan wajibnya meyakini
sifat qur’aniyah dalam lafadz tersebut, serta menghilangkan hukum-hukum khusus
di dalamnya, seperti haramnya menyentuh bagi orang yang berhadats dan haramnya
membaca bagi yang junub”.
(وَيَنْقَسِمُ النَّسْخُ اِلَى بَدَلٍ وَاِلَى
غَيْرِ بَدَلٍ ) اْلأَوَّلُ كَمَا فِى نَسْخِ اسْتِقْبَالِ بَيْتِ الْمُقَدَّسِ
بِاسْتِقْبَالِ الْكَعْبَةِ وَسَيَأْتِى وَالثَّانِى كَمَا فِى قَوْلِهِ
تَعَالَى اِذَا ناَجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ
صَدَقَةً.
(وَاِلَى مَا هُوَ أَغْلَظُ) كَنَسْخِ التَّخْيِيْرِ
بَيْنَ صَوْمِ رَمَضَانَ وَالْفِدْيَةِ اِلَى تَعْيِيْنِ الصَّوْمِ قَالَ
تَعَالَى وَعلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ اِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
(وَاِلَى مَا هُوَ أَخَفُّ) كَنُسْخِ قَوْلِهِ
تعَالَى اِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَابِرُوْنَ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِ
بِقَوْلِهِ تَعَالَى فَاِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوْا
مِاتَيْنِ.
|
|
Nasakh
terbagi menjadi nasakh dengan pengganti dan nasakh tanpa pengganti.
Bagian yang pertama seperti menasakh menghadap Baitul Maqdis dengan menghadap
Ka’bah, dan akan dijelaskan nanti. Bagian yang kedua seperti dalam firman
Allah swt: “Apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (pada fakir-miskin) sebelum
pembicaraan kamu”[3][54]
Terbagi
juga dalam nasakh yang penggantinya lebih berat, seperti menasakh bolehnya
memilih antara puasa Ramadhan dan membayar fidyah, menjadi ditentukan puasa saja.
Allah swt berfirman:
“Dan wajib
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah”..sampai firman Allah swt: “barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu” [4][55]
Dan nasakh
yang penggantinya lebih ringan, seperti dinasakhnya firman Allah swt:“Jika ada dua puluh orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”[5][56]
Dengan
firman Allah swt:“Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir”
|
Penjelasan :
Nasakh terbagi menjadi dua;
1. Nasakh dengan tanpa pengganti. Contoh QS.
Al-Mujadilah:12 di atas.
2. Nasakh dengan pengganti, terbagi tiga;
a. Penggantinya lebih berat. Contoh seperti di atas
(menasakh bolehnya memilih antara puasa Ramadhan dan membayar fidyah)
b. Penggantinya lebih ringan. Contoh ayat tentang
mushabarah (sabar dalam perang) di atas.
c. Pengganti yang menyamai. Contoh dinasakhnya menghadap
Baitul Maqdis yang ditetapkan berdasarkan sunnah fi’liyyah (perbuatan) dalam
hadits shahih Bukhari-Muslim dengan menghadap Masjidil Haram dalam firman
Allah;
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
(البقرة 144)
“Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram”
(وَيَجُوْزُ نَسْخُ الْكِتَابِ بِالْكِتَابِ) كَمَا
تَقَدَّمَ فِى أَيَتَيِ الْعِدَّةِ وَأَيَتَيِ الْمُصَابَرَةِ
(وَنَسْخُ السُّنَّةِ بِالْكِتَابِ) كَمَا تَقَدَّمَ
فِى اسْتِقْبَالِ بَيْتِ الْمُقَدَّسِ الثَّابِتِ باِلسُّنَّةِ الْفِعْلِيَّةِ
فِى حَدِيْثِ الصَّحِيْحَيْنِ بِقَوْلِهِ تعَالَى فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَبِالسُّنَّةِ نَحْوُ حَدِيْثِ مُسْلِمٍ كُنْتُ
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
|
|
Diperbolehkan
menasakh al-Kitab dengan al-Kitab, seperti contoh terdahulu dalam dua ayat
tentang ‘iddah dan mushabarah (bertahan dalam
peperangan). Dan menasakh as-Sunnah dengan al-Kitab seperti contoh terdahulu
tentang menghadap Baitul Maqdis yang ditetapkan berdasarkan sunnah fi’liyyah
(perbuatan) dalam hadits shahih Bukhari-Muslim, dinasakh dengan firman Allah
swt:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ (البقرة 144)
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram”
Serta (menasakh
as-Sunnah) dengan as-Sunnah, contoh HR. Muslim :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“Aku telah melarang kalian ziarah
kubur, maka (sekarang) ziarailah kuburan!”
|
وَسَكَتَ عَنْ نَسْخِ الْكِتَابِ بِالسُّنَّةِ وقَدْ
قِيْلَ بِجَوَازِهِ وَمُثِّلَ لَهُ بِقَوْلِهِ تعالَى كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا
حَضرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا اْلوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِيْنَ مَعَ حَدِيْثِ التُّرْمُذِى وَغَيْرِهِ لاَ وَصِيَّةَ
لِوَارِثٍ وَاعْتُرِضَ بِاَنَّهُ خَبَرُ أَحاَدٍ وَسَيَأْتِى اَنَّهُ لَا
يُنْسَخُ الْمُتَوَاِترُ بِالْأَحَادِ وَفِى نُسْخَةٍ وَلَا يَجُوْزُ نَسْخُ
الْكِتَابِ بِالسُّنَّةِ أَىْ بِخِلاَفِ تَخْصِيْصِهِ بِهَا كَمَا تَقَدَّمَ
لِأَنَّ التَّخْصِيْصَ أَهْوَنُ مِنَ النَّسْخِ
|
|
Pengarang
tidak menjelaskan tentang menasakh al-Kitab dengan as-Sunnah dan menurut
sebagian pendapat hal ini diperbolehkan. Dicontohkan dengan firman Allah swt:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang
di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya”. Dinasakh dengan
HR. At-Tirmidzi dan selainnya : “Tidak
ada wasiat (diperbolehkan) bagi ahli waris”
Pendapat
ini tidak disetujui dengan alasan hadits yang digunakan berupa hadits Ahad,
dan nanti akan dijelaskan bahwa dalil mutawatir tidak boleh dinasakh dengan
dalil ahad. Dalam redaksi lain dikatakan, tidak diperbolehkan menasakh
al-Kitab dengan as-Sunnah. Berbeda halnya takhsish al-Kitab dengan as-Sunnah,
karena takhsish dinilai lebih ringan dibanding nasakh.
|
Penjelasan :
Perincian nasakh yang diperbolehkan sebagai berikut;
1.
Menasakh al-Kitab dengan al-Kitab, contoh dalam dua
ayat tentang ‘iddah dan mushabarah (bertahan dalam peperangan) di
atas.
2.
Menasakh as-Sunnah dengan al-Kitab, contoh tentang
menghadap Masjidil Haram di atas
3.
Menasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah, contoh HR. Muslim
:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ
فَزُوْرُوْهَا
“Aku telah
melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) ziarailah kuburan!”
4.
Menasakh al-Kitab dengan as-Sunnah, contoh QS.
Al-Baqarah:180 dan hadits at-Tirmidzi di atas. Dan bagian ini masih
diperdebatkan ulama.
Pertanyaan :
Mengapa takhsish dinilai lebih ringan dibanding
nasakh?dan apa perbedaan keduanya?
Jawab :
Karena nasakh menghilangkan hukum secara
keseluruhan, beda dengan takhsish. Perbedaan keduanya, takhsish
adalah menjelaskan dan mengkompromikan dua dalil, sedangkan nasakh
membatalkan dan menghilangkan.
Referensi :
(قَوْلُهُ أَهْوَنُ مِنَ النَّسْخِ) لِأَنَّ النَّسْخَ يَرْفَعُ
الحُكْمَ بِالكُلِّيَّةِ بِخِلاَفِ التَّخْصِيْصِ قَالَ العَضُدُ وَقَدْ فَرَقْنَا
بَيْنَهُمَا بِأَنَّ التَّخْصِيْصَ بَياَنٌ وَجَمْعٌ لِدَلِيْلَيْنِ وَالنَّسْخُ
اِبْطَالٌ وَرَفْعٌ اهـ (النَّفَحاَتُ صـ 108)
“(Ucapan pensyarah:
lebih ringan dari nasakh), karena nasakh menghilangkan hukum secara
keseluruhan, beda dengan takhsish. Imam Al-Adhud mengatakan, saya telah
membedakan keduanya, bahwasanya takhsish adalah menjelaskan dan mengkompromikan
dua dalil, sedangkan nasakh membatalkan dan menghilangkan”.
(وَيَجُوْزُ نَسْخُ الْمُتَوَاتِرِ بِالْمُتَوَاتِرِ
وَنْسْخُ الْأَحَادِ بِالْأَحَادِ وَبِالْمُتَوَاتِرِ وَلاَيَجُوْزُ نَسْخُ
الْمُتَوَاِتِر) كَالْقُرْأَنِ (بِالْأحَادِ) لِأَنَّهُ دُوْنَهُ فِى الْقُوَّةِ
وَالرَّاجِحُ جَوَازُ ذَلِكَ لِأَنَّ مَحَلَّ النَّسْخِ الْحُكْمُ
وَالدِّلَالَةُ عَلَيْهِ بِالْمُتَوَاتِرِ ظَنِّيَّةٌ كَالْأحَادِ
|
|
Diperbolehkan
menasakh dalil mutawatir dengan dalil mutawatir dan dalil ahad dengan dalil
ahad dan dengan dalil mutawatir. Dan tidak diperbolehkan menasakh dalil
mutawatir seperti al-Qur’an dengan dalil ahad, karena dalil ahad lebih lemah
kekuatannya. Menurut pendapat Rajih (unggul) hal ini diperbolehkan, karena
sasaran nasakh adalah hukum, dan dalalah (arah makna) atas hukum dari dalil
mutawatir bersifat dhanni (dugaan)
sebagaimana dalil ahad.
|
Penjelasan :
Mempertimbangkan derajat dalilnya, disimpulkan nasakh
yang diperbolehkan sebagai berikut;
1. Menasakh dalil mutawatir dengan dalil mutawatir
2. Menasakh dalil ahad dengan dalil ahad
3. Menasakh dalil ahad dengan dalil mutawatir
4. Menasakh dalil mutawatir dengan dalil ahad, menurut
pendapat Rajih (unggul). Karena sasaran nasakh adalah hukum, dan dalalah (arah
makna) atas hukum dari dalil mutawatir bersifat dhanni (dugaan) sebagaimana dalil ahad.
Pertanyaan :
Mengapa dalalah (arah makna) dari dalil mutawatir
bersifat dhanni (dugaan) menurut
pendapat Rajih?
Jawab :
Karena ada kemungkinan makna yang dikehendaki adalah
selain yang sudah ada.
Referensi :
(قُوْلُهُ ظَنِّيَّةٌ) أيْ لِجَوَازِ أَنْ يَكُوْنَ المُرَادُ
غَيْرَ ذَلِكَ اهـ (النَّفَحاَتُ صـ 108)
“(Ucapan
pensyarah: bersifat dugaan), karena ada kemungkinan makna yang dikehendaki
adalah selain yang sudah ada”.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik