Langsung ke konten utama

NAHI (LARANGAN)

NAHI (LARANGAN)

(وَالنَّهْيُ إِسْتِدْعَاءٌ أَىْ طَلَبُ التَّرْكِ بِالْقَوْلِ مِمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ عَلَى سَبِيْلِ الْوُجُوْبِ) عَلَى وِزَانِ مَا تَقَدَّمَ فِى حَدِّ الْأَمْرِ

Nahi adalah tuntutan ditinggalkannya sebuah perbuatan dengan ucapan dari orang sebawahnya secara wajib. Sebanding dengan definisi amr yang telah lewat.

Penjelasan :
Nahi adalah tuntutan yang harus dilakukan dan berbentuk ucapan agar sebuah perbuatan ditinggalkan yang datang dari orang yang lebih tinggi kepada orang sebawahnya.
Perbedaan ulama mengenai persyaratan عُلُوٌّ (lebih tingginya derajat penuntut) dan اِسْتِعْلاَءٌ (bernada tinggi) dalam nahi sama dengan bab amr. Namun yang membedakan dengan amr, nahi mutlak menetapkan اَلفَوْرُ (disegerakan) dan الدَّوَامُ (dijauhi selamanya)[1][29].

Pertanyaan :
Mengapa nahi ketika dimutlakkan menetapkan الدَّوَامُ (dijauhi selamanya)?
Jawab :
Karena dalam nahi mutlak terdapat kemutlakkan larangan yang memuat larangan melakukan satu persatu dari perbuatan yang dilarang. Atau karena mematuhi larangan tidak mungkin diwujudkan tanpa menjauhi selamanya.
Referensi :
وَإِنَّمَا اقْتَضَى الدَّوَامَ عِنْدَ الإِطْلاَقِ لِإِطْلاَقِ المَنْعِ فِيْهِ الشَّامِلِ لِلْمَنْعِ عَنْ كُلِّ فَرْدٍ أَوْ لِتَوَقُّفِ الاِمْتِثاَلِ عَلَيْهِ فَيَكُوْنُ المَنْعُ وَالاِمْتِثَالُ بِحَسَبِ زَمَانِ النَّهْيِ فَإِنْ كَانَ مُطْلَقاً اقْتَضَى المَنْعَ عَلىَ الدَّوَامِ وَالاِمْتِثَالِ كَذَلِكَ كَقَوْلِهِ تَعَالىَ "وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا" أَوْ مَخْصُوْصًا اِقْتَضَى ذَلِكَ عَلىَ وَجْهِ الخُصُوْصِ لاَ عَلىَ وَجْهِ الدَّوَامِ كَقَوْلِهِ تَعَالىَ "لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ" فَإِنَّهُ مُقَيَّدٌ بِحَالَةِ الإِحْرَامِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ65)
“Sesungguhnya nahi menetapkan dawam (dijauhi selamanya), karena dalam nahi mutlak terdapat kemutlakkan larangan yang memuat larangan melakukan satu persatu dari perbuatan yang dilarang. Atau karena mematuhi larangan tidak mungkin diwujudkan tanpa menjauhi selamanya. Sehingga larangan dan mematuhinya tergantung dengan masa berlakunya nahi. Apabila nahi berbentuk mutlak (tidak dibatasi waktu), maka akan menetapkan larangan yang bersifat dawam (dijauhi selamanya) dan harus dipatuhi terus menerus. Seperti firman Allah swt QS. Al-Isra’:32: “Dan janganlah kamu mendekati zina”. Dan apabila nahi berbentuk khusus, maka akan menetapkan larangan dan kepatuhan yang juga bersifat khusus, tidak bersifat selamanya. Seperti firman Allah QS. Al-Maidah:95: “Janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram”. Di sini haramnya membunuh hewan buruan, dibatasi dalam keadaan ihram”. (An-Nafahat hal 65)
(وَيَدُلُّ النَّهْيُ) الْمُطْلَقُ شَرْعًا (عَلَى فَسَادِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ) فِى الْعِبَادَاتِ سَوَاءٌ أَنُهِيَ عَنْهَا لِعَيْنِهَا كَصَلاَةِ الْحَائِضِ وَصَوْمِهَا أَوْ لِأَمْرٍ لاَزِمٍ لَهَا كَصَوْمِ يَوْمِ النَّحْرِ وَالصَّلاَةِ فِى الْأَوْقَاتِ الْمَكْرُوْهَةِ. وَفِى الْمُعَامَلاَتِ اِنْ رَجَعَ اِلَى نَفْسِ الْعَقْدِ كَمَا فِى بَيْعِ الْحَصَاةِ أَوْ لِأَمْرٍ دَاخِلٍ فِيْهَا كَمَا فِى بَيْعِ الْمَلاَقِيْحِ أَوْ لِأَمْرٍ خَارِجٍ عَنْهُ لاَزِمٍ لَهُ كَمَا فِى بَيْعِ دِرْهَمٍ بِدِرْهَمَيْنِ فَاِنْ كاَنَ غَيْرَ لاَزِمٍ لَهُ كَالْوُضُوْءِ بِالْمَاءِ الْمَغْصُوْبِ مَثَلاً وَكَالْبَيْعِ وَقْتَ نِدَاءِ الْجُمْعَةِ لَمْ يَدُلَّ عَلَى الْفَسَادِ خِلاَفًا لِمَا يُفْهِمُهُ كَلاَمُ الْمُصَنِّفِ

Nahi mutlak secara syara’ menunjukkan fasad (rusaknya) perbuatan yang dilarang dalam persoalan ibadah. Baik dilarang karena faktor ‘ain-nya (internal ibadah), seperti larangan shalat dan puasa bagi wanita yang sedang mengalami haid, atau karena faktor yang menetap dari ibadah tersebut, seperti larangan puasa hari nahar (10 dzulhijjah) dan larangan shalat di waktu-waktu makruh.
Juga dalam persoalan muamalah manakala larangan tersebut diarahkan pada bentuk akad itu sendiri, seperti jual beli hashat (kerikil), atau muamalah tersebut dilarang karena faktor internal dari sebuah muamalah, seperti jual beli janin dalam perut induknya. Atau dilarang karena faktor eksternal yang tidak terpisah dari sebuah muamalah, seperti menjual satu dirham, dibeli dengan dua dirham. Namun apabila mungkin terpisah, seperti berwudlu menggunakan air hasil ghashab dan jual beli yang dilakukan tepat saat adzan Jum’at, maka larangan ini tidak menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang. Berbeda dengan kesimpulan yang dipahami dari pernyataan pengarang.

Penjelasan :
Nahi mutlak menunjukkan fasad (rusaknya) perbuatan yang dilarang. Kaidah ini berlaku dalam beberapa bidang fiqh.
1.    Bidang Ibadah, apabila sasaran nahi diarahkan pada aspek sebagai berikut;
a.       عَيْنُ الْعِباَدَةِ yakni dzatiah (bentuk) atau faktor internal (أَمْرٌ دَاخِلٌ). Contoh dzatiah adalah larangan shalat dan puasa bagi wanita yang sedang mengalami haid. Dengan dalil HR. Bukhari:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah jika sedang mengalami haid maka ia
tidak dapat melaksanakan salat dan puasa?”

Dalil ini menunjukkan shalat dan puasa dilarang dari segi dzatiah (bentuknya) sebagai shalat dan puasa.
Contoh faktor internal (أَمْرٌ دَاخِلٌ) adalah larangan-larangan merusak salah satu rukun dari beberapa rukunnya shalat.
b.      أَمْرٍ خَارِجٍ لاَزِمٍ (faktor eksternal yang tidak terpisah). Contoh larangan puasa di hari raya Idul Adha dalam HR. Bukhari:
يُنْهَى عَنْ صِيَامَيْنِ وَبَيْعَتَيْنِ الْفِطْرِ وَالنَّحْرِ وَالْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ
“Dilarang melakukan dua macam puasa dan dua macam jual beli. Yaitu, puasa pada hari raya Fitri dan hari raya kurban, jual beli mulamasah dan munabadzah[2][30]

Larangan di sini bukan dari segi bentuk puasanya, namun dari sisi penolakan atas suguhan Allah swt berupa daging kurban. Hal ini bukan dzatiah ataupun juz dari puasa, namun berbentuk faktor di luar puasa (eksternal) yang tidak terpisahkan (lazim). Penolakan ini terwujud dengan cara melakukan hal yang bertentangan, yakni puasa. Karena maksud dari menerima suguhan adalah bersedia memakan daging kurban pada hari itu, meskipun tidak benar-benar memakannya, selama tidak melakukan hal yang bertentangan, seperti puasa.
Contoh kedua, melakukan shalat sunnah mutlak[3][31] di waktu-waktu makruh[4][32]. Hukumnya adalah makruh tahrim menurut pendapat shahih.
2.    Bidang Muamalah, apabila sasaran nahi diarahkan pada aspek sebagai berikut;
a.      نَفْسُ العَقْدِ (bentuk akad). Contoh jual beli hashat (kerikil)[5][33]. Namun hal ini ditanggapi, bahwa semua bentuk jual beli hashat pada dasarnya dilarang karena tidak adanya shighat dalam transaksi. Dan shighat termasuk rukun akad yang tergolong faktor internal (أَمْرٌ دَاخِلٌ), bukan نَفْسُ العَقْدِ.
b.      أَمْرٍ دَاخِلٍ (faktor internal). Contoh jual beli janin dalam perut induknya. Karena janin tersebut tidak memenuhi sifat berupa terlihat dan mampu diserahterimakan saat akad. Sehingga nahi terarah pada barang yang diperjualbelikan yang termasuk rukun akad dan merupakan faktor internal (di dalam akad).
c.      أَمْرٍ خَارِجٍ لاَزِمٍ (faktor eksternal yang tidak terpisah). Contoh  menjual satu dirham, dibeli dengan dua dirham. Dilarang karena faktor tambahan dalam salah satu alat tukarnya. Faktor ini termasuk di luar struktur akad, karena barang yang ditransaksikan dilihat dari bentuknya berupa dirham sebenarnya sah diperjualbelikan. Tambah atau kurang termasuk sifat yang menetap (tidak terpisah) dari barang tersebut. Sehingga sasaran nahi  adalah sifat yang menetap, bukan bentuk akadnya.

Namun apabila sasaran nahi diarahkan pada أَمْرٍ خَارِجٍ غَيْرِ لاَزِمٍ (faktor eksternal yang terpisah), maka tidak menunjukkan fasad (rusaknya) perbuatan yang dilarang. Contoh;
1.    Bidang Ibadah. Contoh, berwudlu menggunakan air hasil ghashab, shalat di atas tanah ghashab. Sasaran larangan di sini bukan dzatiah wudhu dan shalatnya, namun pada faktor eksternal yang membarengi keduanya, berupa ghashab yang diharamkan. Sehingga shalatnya sah, namun ghashabnya tetap haram.
2.    Bidang Muamalah. Contoh, jual beli yang dilakukan tepat saat adzan Jum’at. Nahi dalam hal ini mengarah pada faktor eksternal berupa khawatir kehilangan shalat jum’at, tidak mengarah pada dzatiah jual belinya. Karena yang diharamkan bukan hanya jual beli, namun segala tindakan yang mengakibatkan hilangnya shalat jum’at. Hilangnya shalat merupakan unsur yang berbarengan dengan jual beli. Dan hal ini tidak menetap (mungkin terpisah), karena terkadang bisa terjadi akibat jual beli, bisa juga akibat selain jual beli.

Pertanyaan :
Apa yang dimaksud dengan fasad (rusaknya) perbuatan yang dilarang?
Jawab :
Maksudnya, apabila perbuatan tersebut dilakukan, maka dianggap tidak memenuhi kriteria syara’.
Referensi :
(قَوْلُهُ عَلىَ فَسَادِ) وَالمُرَادُ بِهِ عَدَمُ الاِعْتِدَادِ بِهِ إِذاَ وَقَعَ لِأَنَّ الفَاسِدَ هُوَ مُخَالَفَةُ الفِعْلِ ذِيْ الوَجْهَيْنِ الشَّرْعَ وَهَذَا المَنْهِي مُخَالِفٌ لِلشَّرْعِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْتَدٍ بِهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ66)
“(Ucapan pengarang : menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang) yang dikehendaki dengan rusak adalah perbuatan tersebut dilakukan, maka dianggap tidak memenuhi kriteria syara’. Karena pengertian fasid adalah menyalahi syara’ dari perbuatan yang memiliki dua aspek (mungkin sesuai syara’ dan mungkin tidak sesuai). Hal yang dilarang ini menyalahi syara’ sehingga tidak dianggap memenuhi kriteria syara’”. (An-Nafahat hal 66)

Pertanyaan :
Apa yang dimaksud dengan amr lazim dalam kaidah di atas?
Jawab :
Amr lazim yang dimaksud adalah faktor yang tidak terpisah dan berada di luar sebuah ibadah. Karena pengertian luzum (tidak terpisah) adalah tidak mungkin terlepasnya satu perkara dari perkara yang lain, atau tidak ditemukannya sesuatu tersebut bersama dengan perkara lain.
Lazim ada dua macam, مُسَاوِ (menyamai) dan أَعَمُّ (lebih umum). Lazim مُسَاوِ adalah keadaan dimana wujudnya salah satu dari dua hal yang saling terkait menetapkan wujudnya perkara yang lain. Seperti kemampuan berfikir yang menjadi kelaziman manusia. Sedangkan lazim أَعَمُّ adalah keadaan dimana wujudnya مَلْزُوْمٌ (perkara yang ditetapi) tidak menetapkan wujudnya لاَزِمٌ (yang menetapi). Seperti kehewanan yang menjadi kelaziman dari manusia. Dalam hal ini wujudnya hewan tidak selalu menetapkan wujudnya manusia, karena kehewanan bisa dijumpai pada kuda, meskipun tanpa adanya manusia. Lazim model yang pertama adalah yang dikehendaki pengarang dalam pembahasan ini.
Referensi :
(قَوْلُهُ لِأَمْرٍ لَازِمٍ لَهَا) أَيْ لاَزِمٍ خاَرِجٍ عَنِ العِبَادَاتِ.......وَالمُرَادُ بِاللُّزُوْمِ هُنَا كَمَا يُعْلَمُ مِنْ أَمْثِلَتِهِ عَدَمُ انْفِكاَكِ شَيْءٍ عَنْ شَيْءٍ آخَرَ أَيْ عَدَمُ وُجُوْدِهِ مَعَ غَيْرِهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ66)
“(Ucapan pensyarah : karena amr lazim dari ibadah tersebut) artinya amr lazim di luar ibadah…….yang dimaksud dengan kelaziman di sini, seperti yang difahami dari contoh-contohnya adalah tidak mungkin terlepasnya satu perkara dari perkara yang lain, atau tidak ditemukannya sesuatu tersebut bersama dengan perkara lain. (An-Nafahat hal 66)

لِأَنَّ اللاَّزِمَ يَنْقَسِمُ إِلىَ قِسْمَيْنِ مُسَاوٍ وَأَعَمَّ فَالأَوَّلُ مَا لَزِمَ مِنْ وُجُوْدِ أَحَدِ المُتَلاَزِمَيْنِ وُجُوْدُ الآخَرِ كاَلنُّطْقِ اَللاَّزِمِ لِلإِنْسَانِ وَالثاَّنيِ ماَ لاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ المَلْزُوْمِ وُجُوْدُ اللاَّزِمِ كَلُزُوْمِ الحَيَوَانِيَّةِ لِلإِنْسَانِ فَإِنَّهُ لاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ الحَيَوَانِ وُجُوْدُ الإِنْسَانِ إِذْ قَدْ تُوْجَدُ الحَيَوَانِيَّةُ فيِ الفَرَسِ بِدُوْنِ الإِنْسَانِ.......وَالمُرَادُ هُنَا الأَوَّلُ وَإِنْ كاَنَ كُلٌّ مِنْهُماَ لاَزِماً (اَلنَّفَحَاتُ صـ66)
“Karena lazim terbagi dua, musawi (menyamai) dan a’am (lebih umum). Yang pertama, lazim musawi adalah keadaan dimana wujudnya salah satu dari dua hal yang saling terkait menetapkan wujudnya perkara yang lain. Seperti kemampuan berfikir yang menjadi kelaziman manusia. Sedangkan yang kedua, lazim a’am adalah keadaan dimana wujudnya malzum (perkara yang ditetap)i tidak menetapkan wujudnya lazim (yang menetapi). Seperti kehewanan yang menjadi kelaziman dari manusia. Dalam hal ini wujudnya hewan tidak selalu menetapkan wujudnya manusia, karena kehewanan bisa dijumpai pada kuda, meskipun tanpa adanya manusia…….sedangkan yang dikehendaki pengarang dalam pembahasan ini adalah lazim model pertama, meskipun keduanya sama-sama lazim”. (An-Nafahat hal 66)

Pertanyaan :
Alasan apa yang membedakan hukum shalat di waktu makruh dan shalat di tempat makruh?
Jawab :
Perbedaannya adalah waktu makruh merupakan perkara yang tidak terlepas, dimana ketika shalat mulai dilaksanakan pada waktu tersebut, maka waktu tidak mungkin dilepaskan dan diganti dengan sifat lain. Sedangkan dalam tempat makruh memungkinkan dilepaskan dengan cara merubahnya menjadi sifat lain, seperti merubah pemandian hangat menjadi masjid dan lain sebagainya.
Referensi :
وَالفَرْقُ بَيْنَ الزَّمَانِ وَالمَكاَنِ حَيْثُ كاَنَ النَّهْيُ لِأَمْرٍ لاَزِمٍ فيِ الأَوَّلِ دُوْنَ الثاَّنيِ أَنَّ الفِعْلَ حاَلَ إِيْجَادٍ فيِ الزَّماَنِ المَخْصُوْصِ لاَ يُمْكِنُ اِنْفِكَاكُهُ عَنْهُ بِخِلاَفِ الفِعْلِ حَالَ إِيْجَادِهِ فيِ المَكَانِ المَخْصُوْصِ فَإِنَّهُ يُمْكِنُ اِنْفِكَاكُهُ عَنْهُ بِتَغْيِيْرِ ذَلِكَ المَكَانِ بِصِفَةٍ أُخْرَى كَجَعْلِهِ مَسْجِدًا فيِ مَسْئَلَةِ الحَمَامِ وَشِرَاءِ المَغْصُوْبِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ67)
“Perbedaan antara waktu dan tempat (sekira hal pertama sasaran nahi pada amr lazim, tidak pada hal kedua) adalah bahwa perbuatan saat diwujudkan pada waktu tertentu, maka waktu tidak mungkin dilepaskan. Berbeda dengan perbuatan saat diwujudkan di tempat tertentu, maka mungkin dilepaskan dengan cara merubahnya menjadi sifat lain, seperti merubah pemandian hangat menjadi masjid dan membeli bumi yang dighashab”. (An-Nafahat hal 67)

(وَتَرِدُ) أَىْ تُوْجَدُ (صِيْغَةُ الْأَمْرِ وَاْلمُرَادُ بِهِ) أَى بِالْأَمْرِ (الْإِبَاحَةُ) كَمَا تَقَدَّمَ (أَوِالتَّهْدِيْدُ) نَحْوُ إِعْمَلُوْا مَاشِئْتُمْ (أَوِالتَّسْوِيَةُ) نَحْوُ اِصْبِرُوْا أَوْ لاَ تَصْبِرُوْا (اَوِالتَّكْوِيْنُ) نَحْوُ كُوْنُوْا قِرَدَةً

Shighat amr (pada keadaan tertentu) ditemukan, sedangkan maksud yang dikehendaki adalah mubah, seperti contoh yang disebutkan di awal bab amr. Ada pula maksud yang dikehendaki menakut-nakuti, seperti contoh; “lakukanlah apapun yang kalian kehendaki.!”, atau menyamakan dua keadaan, seperti contoh; “kalian bersabar atau tidak bersabar”, dan atau menjadikan, seperti contoh; Jadilah kamu kera yang hina..!”.

Penjelasan :
Shighat amr diberlakukan memiliki beragam makna. Imam Ibn As-Subki menyebutkan ada 26 makna;
No
Makna
Contoh
1.               
الْإِيجَابُ
(wajib)
أَقِيمُوا الصَّلَاةَ
“Dirikanlah shalat”
2.               
النَّدْبُ
(sunnah)
فَكَاتِبُوهُمْ إنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
“Dan buatlah kontrak kitabah pada hamba-hamba itu, jika kalian meyakini mereka mampu dan dapat dipercaya”
3.               
التَّأْدِيبُ
(mendidik adab)
وَلَا تَنْسَوْا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan”.
4.               
الْإِرْشَاد
(memberi petunjuk)
وَأَشْهِدُوا إذَا تَبَايَعْتُمْ
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
5.               
الإِذْنُ
(mengijinkan)
أُدْخُلْ
“Masuklah!” (saat ada orang mengetuk pintu).
6.               
الْإِبَاحَةُ
(membolehkan)
كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ
“Makanlah dari makanan yang baik-baik”.
7.               
إرَادَةُ الِامْتِثَالِ
(ingin dijalankan)
اِسْقِنِيْ ماَءً
“Berilah aku air minum!”. (saat orang haus meminta minum pada orang lain).
8.               
الْإِكْرَامُ
(memulyakan)
اُدْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
"Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman".
9.               
الِامْتِنَانُ
(memberi anugrah)
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمْ اللَّهُ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu”.
10.             
التَّهْدِيدُ
(menakut-nakuti)
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki”.
11.             
الْإِنْذَارُ
(memberi peringatan)
قُلْ تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ
“Katakanlah: "Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka".
12.             
الْإِهَانَةُ
(menghinakan)
ذُقْ إنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
“Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”.
13.             
الِاحْتِقَارُ
(meremehkan)
أَلْقُوا مَا أَنْتُمْ مُلْقُونَ
"Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan".
14.             
التَّسْخِيرُ
(merubah wujud)
كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
"Jadilah kamu kera yang hina”
15.             
التَّكْوِينُ
(menjadikan)
كُنْ فَيَكُونُ
"Kun (jadilah)", maka jadilah ia”.

16.             
التَّعْجِيزُ
(melemahkan)
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
“Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu”.
17.             
التَّسْوِيَةُ
(menyamakan)
فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ
“Maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu”.
18.             
الدُّعَاءُ
(doa)
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Ya Allah ampunilah aku”
19.             
التَّمَنِّي
(berkhayal)
أَلَا أَيُّهَا اللَّيْلُ الطَّوِيلُ أَلَا انْجَلِي
“Ingatlah wahai malam yang panjang, hendaklah menjadi terang”[6][34]
20.             
الْخَبَرُ
(mengabari)
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا
“Maka mereka akan tertawa sedikit dan menangis banyak”.
21.             
الْإِنْعَامَ
(memberi nikmat)
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu”.
22.             
التَّفْوِيضُ
(menyerahkan)
فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ
“Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan”.
23.             
التَّعَجُّب
(terheran-heran)
اُنْظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَك الْأَمْثَالَ
“Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu”
24.             
التَّكْذِيبِ
(mendustakan)
قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar".
25.             
الْمَشُورَةُ
(musyawarah)
فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
“Maka fikirkanlah apa pendapatmu”.
26.             
الِاعْتِبَارُ
(mengambil teladan)
اُنْظُرُوا إلَى ثَمَرِهِ إذَا أَثْمَرَ
“Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah”.

Pertanyaan :
Apa perbedaan ;
1.        Antara النَّدْبُ, التَّأْدِيبُ, danالْإِرْشَاد?
2.        Antara الْإِبَاحَةُ, الِامْتِنَانُ, danالْإِنْعَامَ?
3.        Antara التَّهْدِيدُ dan الْإِنْذَارُ?
4.        Antara الْإِهَانَةُ danالِاحْتِقَارُ?
5.        Antara التَّسْخِيرُ dan التَّكْوِينُ?
Jawab :
1.        النَّدْبُ untuk tujuan pahala akhirat, التَّأْدِيبُ bertujuan membersihkan akhlak dan memperbaiki adat kebiasaan, dan الْإِرْشَاد tujuannya adalah kemashlahatan dunia, seperti memperkuat kepercayaan dalam muamalah, tanggung jawab harta, dan segala macam hak.
2.        الْإِبَاحَةُ berbentuk murni izin, الِامْتِنَانُ izin yang disertai penyebutan kebutuhan atau ketidakmampuan kita, dan الْإِنْعَامَ disertai penyebutan kebutuhan paling pokok.
3.        التَّهْدِيدُ adalah menakut-nakuti dan الْإِنْذَارُ adalah menyampaikan dibarengi dengan menakut-nakuti.
4.        الْإِهَانَةُ dilakukan dengan ucapan, perbuatan, meninggalkan ucapan atau meninggalkan perbuatan tertentu, tidak hanya sekedar keyakinan. Dan الِاحْتِقَارُ berupa keyakinan saja atau minimal berawal dari keyakinan.
5.        التَّسْخِيرُ adalah berpindah dari keadaan satu menuju keadaan lainnya yang direndahkan dan التَّكْوِينُ wujud dengan cepat dari keadaan tidak ada, tanpa ada perpindahan dari keadaan satu menuju yang lain.
Referensi :
(قَوْلُهُ التَّأْدِيبُ) هُوَ قَرِيبٌ مِنْ النَّدْبِ إلَّا أَنَّ النَّدْبَ لِثَوَابِ الْآخِرَةِ وَالتَّأْدِيبَ لِتَهْذِيبِ الْأَخْلَاقِ وَإِصْلَاحِ الْعَادَاتِ وَكَذَا الْإِرْشَادُ قَرِيبٌ مِنْهُ إلَّا أَنَّهُ يَتَعَلَّقُ بِالْمَصَالِحِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالتَّهْدِيدُ هُوَ التَّخْوِيفُ وَيَقْرُبُ مِنْهُ الْإِنْذَارُ فَإِنَّهُ إبْلَاغٌ مَعَ تَخْوِيفٍ (شَرْحُ التَّلْوِيْحِ عَلىَ التَّوْضِيْخِ اَلجُزْءُ الأَوَّلُ صـ 287)
 “(Ucapan pengarang :  التَّأْدِيب) istilah ini maknanya dekat dengan النَّدْبُ. Hanya saja النَّدْبُ untuk tujuan pahala akhirat, التَّأْدِيبُ bertujuan membersihkan akhlak dan memperbaiki adat kebiasaan. Dan juga الْإِرْشَاد maknanya dekat dengan التَّأْدِيبُ. Hanya saja tujuannya adalah kemashlahatan dunia. Sedangkan التَّهْدِيدُ adalah menakut-nakuti dan الْإِنْذَارُ dekat maknanya, yakni menyampaikan sesuatu dibarengi dengan menakut-nakuti”.

الثَّامِنُ الِامْتِنَانُ-إِلىَ أَنْ قَالَ-وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْإِبَاحَةِ أَنَّ الْإِبَاحَةَ مُجَرَّدُ إذْنٍ وَأَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ اقْتِرَانِ الِامْتِنَانِ بِذِكْرِ احْتِيَاجِ الْخَلْقِ إلَيْهِ وَعَدَمِ قُدْرَتِهِمْ عليه (اَلبَحْرُ المُحِيْطُ اَلجُزْءُ الثَّانيِ صـ 93)
“Kedelapan: الِامْتِنَان….perbedaan antara الِامْتِنَان dan الْإِبَاحَةُ adalah الْإِبَاحَةُ berbentuk murni izin, dan الِامْتِنَانُ (selain izin) harus disertai penyebutan kebutuhan makhluk atau ketidakmampuan atas hal tersebut”.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الإِنْعَامِ وَالِامْتِنَانُ إِنَّ الِامْتِنَانَ يُذْكَرُ مَعَهُ احْتِيَاجُنَا إِلَيْهِ وَالإَنْعَامَ مُخْتَصٌّ بِذِكْرِ أَعْلَى مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ اهـ (اَلوَجِيْزُ صـ 137)
“Perbedaan antaraالإِنْعَامِ  dan الِامْتِنَان adalah bahwa الِامْتِنَان disebutkan kebutuhan kita pada hal tersebut, dan الإِنْعَامِ tertentu hanya menyebutkan kebutuhan paling pokok” (Al-Wajiz hal 137)

أَنَّ الْإِهَانَةَ إنَّمَا تَكُونُ بِالْقَوْلِ أو بِالْفِعْلِ أو تَرْكِهِمَا دُونَ مُجَرَّدِ الِاعْتِقَادِ وَالِاحْتِقَارُ إمَّا مُخْتَصٌّ بِهِ أو وَإِنْ لم يَكُنْ كَذَلِكَ لَكِنَّهُ لَا مَحَالَةَ يَحْصُلُ بِمُجَرَّدِ الِاعْتِقَادِ بِدَلِيلِ أَنَّ من اعْتَقَدَ في شَيْءٍ أَنَّهُ لَا يَعْبَأُ بِهِ وَلَا يَلْتَفِتُ إلَيْهِ يُقَالُ إنَّهُ احْتَقَرَهُ وَلَا يُقَالُ إنَّهُ أَهَانَهُ ما لم يَصْدُرْ منه قَوْلٌ أو فِعْلٌ يُنْبِئُ عنه (اَلبَحْرُ المُحِيْطُ اَلجُزْءُ الثَّانيِ صـ 98)
“Bahwa sesungguhnya الْإِهَانَةُ hanya dilakukan dengan ucapan, perbuatan, meninggalkan ucapan atau meninggalkan perbuatan tertentu, tidak hanya sekedar keyakinan. Dan الِاحْتِقَارُ berupa keyakinan saja atau jika tidak demikian, minimal dihasilkan dari murni keyakinan. Dengan dalil, seseorang yang meyakini sesuatu tidak dipedulikan dan diacuhkan, maka dia dikatakan telah meremehkannya (ihtiqar) dan tidak disebut telah menghinanya (ihanah) selama tidak ada perkataan atau perbuatan keluar mengekspresikannya”

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ (أَيْ التَّكْوِينَ) وَبَيْنَ السُّخْرِيَةِ أَنَّ التَّكْوِينَ سُرْعَةُ الْوُجُودِ عن الْعَدَمِ وَلَيْسَ فيه انْتِقَالٌ إلَى حَالٍ مُمْتَهَنَةٍ بِخِلَافِ السُّخْرِيَةِ (اَلبَحْرُ المُحِيْطُ اَلجُزْءُ الثَّانيِ صـ 95)
“Perbedaan antara التَّكْوِينُ dan  التَّسْخِيرُadalah bahwa التَّكْوِينُ wujud dengan cepat dari keadaan tidak ada, tanpa ada perpindahan dari keadaan satu menuju yang lain yang direndahkan. Berbeda dengan التَّسْخِير”.
           



[1][29] An-Nafahat hal 65
[2][30] Jual beli mulamasah ialah ketika penjual mengatakan, “jika menyentuh kain (tanpa melihatnya dalamnya), maka harus membeli”. Munabadzah, ketika penjual mengatakan, “jika aku melemparmu baju ini, maka harus membeli”.
[3][31] Shalat yang dilarang adalah shalat yang tidak memiliki waktu khusus atau tidak dilatarbelakangi sabab yang mendahului (مُتَقَدِّمٌ) seperti shalat yang diqadla’, atau sabab yang membarengi (مُقَارِنٌ) seperti shalat janazah.
[4][32]  Yakni saat terbit matahari, istiwa’ di selain hari Jum’at, setelah shalat ashar dan subuh, dan saat kuningnya matahari menjelang tenggelam.
[5][33] Ada beberapa penafsiran bai’ hashat, 1). Penjual mengatakan, “aku jual pakaian yang terkena lemparan kerikil dari beberapa pakaian yang ada di sini”. 2). Salah satu dari dua orang yang bertransaksi mengatakan, “jika kamu melempar kerikil ini, maka baju ini dijual dengan harga seribu”. 3). Penjual mengatakan, “aku jual barang ini, dan kamu berhak khiyar sampai adanya lemparan batu”. (Tuhfah al-Muhtaj vol IV hal.294).
[6][34] Malam yang panjang diposisikan sebagai sesuatu yang mustahil hilang berganti siang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا