Langsung ke konten utama

04.BID’AH HASANAH DAN BATASAN MAKNA KULLU BID’ATIN DOLALAH




BID’AH HASANAH DAN BATASAN MAKNA KULLU BID’ATIN DOLALAH
وشرُّ الأمورِ مُحْدَثاتُها ، وكلُّ بدْعة ضلالة
Sejelek-jelek perkara adalah perkara yg baru dan setiap bid’ah adalah kesesatan
.
Dalam gramatika arab, tidak semua kata “kullu” berarti SEMUA sehingga menghabiskan semua tanpa tersisa , namun ada beberapa “kullu” yg tidak mencakup semua.
Seperti firman Allah SWT
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ [الأنبياء/30]
Dan kami jadikan semua yg hidup itu dari air (anbiya’:30)
Pada ayat diatas , Allah berfirman bahwa semua yg hidup itu diciptakan dari air, tapi disisi lain , ada makhluq yg hidup tanpa air seperti malaikat yg tercipta dari nur, dan Allah menciptakan jin dari percikan api yg menyala.
Allah juga berfirman
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا [الكهف/79]
Karena dihadapan mereka ada seorang raja yg merampas tiap-tiap perahu (al-kahfi:79)
Disini Allah SWT berfirman, bahwa dalam dalam cerita Nabi Musa dan Nabi Khidir ada seoran raja yg mengambil setiap perahu yg lewat, namun kenyataannya yg diambil hanyalah perahu-perahu yg bagus  bukan yg bocor seperti yg ditumpangi Nabi Musa dan Nabi khidir AS.
Contoh dalam hadits
كُلُّ شَيْئٍ خُلِقَ مِنَ اْلمَاءِ
Segala sesuatu itu dibikin dari air
Apakah malaikat juga dibikin dari air? Iblis apakah dari air?
Hadits:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Segala yang memabukan itu khomer, dan semua khomer itu haram
Kecubung itu memabukan, apakah itu juga namanya khomer? Khomer bagi orang yang مُضْطَرٌّ apakah juga haram hukumnya?
Hadits:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Semua kamu itu penggembala, dan semua kamu itu ditanya dari hal ro’iyahnya
Apakah orang gila dan orang makruh, juga masuk dalam hadits ini? Kesemuanya itu dijawab tidak? Demikian pula kalau bid’ah dholalah. Apakah karena hadits ini maka saudara sampai hati mengatakan bahwa perbuatan Utsman bin Affan yang memerintahkan adzan jum’at dua kali itu dholalah? Dan Umar bin Khottob yang menjalankan tarawih dua puluh rakaat itu juga dholalah? Baca Barzanji yang isinya sejarah Maulid Nabi itu juga dholalah? Mendirikan pondok pesantren dan madarasah itu juga dholalah? Dan saudara sendiri yang tidak dholalah. Apalagi kalau menurut riwayat yang diriwayatakan oleh Ad Dailamy Fi Musnadil Firdausi, hadits itu berbunyi:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ إِلاَّ فِي عِبَادَةٍ
Kami persilahkan melihat Kunuzul Haqoiq fi Hadits Khoirul Kholaiq juz Tsani Shohifah 39.
Bagaimana kebenaran hadits berikut?

Contoh dalam Teori Mantiq
شكل اول ضرب ثالث
بَعْضُ الظَّنِّ إِثْمٌ                 كُلُّ (بَعْضٌ ال) بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ
كُلُّ إِثْمٍ يَجِبُ التَّبَاعُدُ عَنْهُ                 كُلُّ ضَّلاَلَةٍ فِي النَّارِ
بَعْضُ الظَّنِّ يَجِبُ التَّبَاعُدُ عَنْهُ        بَعْضُ الْبِدْعَةِ فِي النَّارِ

sebagian prasangka itu dosa *  sebagian bid’ah itu sesat
setiap dosa wajib dihindari   *setiap kesesatan itu di neraka
Sebagian prasangka itu wajib dihindari * sebagian bid’ah itu di neraka

Meninjau dgn beberapa hadits yg memberikan pengertian bahwa tidak semua hal baru itu sesat.
Seperti hadits
وشرُّ الأمورِ مُحْدَثاتُها ، وكلُّ بدْعة ضلالة
Sejelek-jelek perkara adalah perkara yg baru dan setiap bid’ah adalah kesesatan

Namun disisi lain, Nabi SAW juga bersabda dan sekaligus menjadi batasan makna hadits diatas.

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُضَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُضَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا " . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Barang siapa yg memulai perkara baru yg baik dalam islam maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yg melakukan sesudahnya , tanpa dikurangi sedikitpun dari dari pahala mereka.
Barang siapa yg memulai perkara baru yg jelek dalam islam maka ia akan memperoleh dosanya serta dosa orang-orang yg melakukan sesudahnya , tanpa dikurangi sedikitpun dari dari dosa mereka.

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi telah memahami bahwa kelak zaman akan semakin berkembang, oleh sebab itu Nabi melegalkan dan menyemangati kita untuk selalu mengembangkan kebaikan dan memberi peringatan agar tidak membuat kesesatan.
Biasanya kaum anti bid’ah hasanah akan mengatakan hadits _ man sanna fil islami_ tidak bisa dijadikan dalil bod’ah hasanah, karena hadits ini jelas membicarakan sunnah Rosul, disamping itu hadits itu mempunyai latar belakang , yaitu anjuran sedekah. Jadi, hadits diatas tidak bisa dijadikan dalil”.
Disini kita jawab ,,
Pertama, kita harus tahu bahwa yg dimaksud sunnah dlam teks hadits adalah sunnah secara lughowy/ bahasa yg artinya adalah perbuatan , baik diridhoi ataupun tidak.
Sunnah dalam teks hadits itu tidak bisa diartikan dgn sunnah dalam istilah ilmu hadits yaitu
ما جاء عن النبي من قول او فعل او تقرير
Segala sesuatu yg datang dari Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan ataupun pengakuan .
Karena sunnah dgn definisi  ahli hadits seperti itu baru berkembang setelah abad dua hijrah. Seandainya , sunnah dalam teks hadits itu dimaksudkan dgn sunnah Rosul dalam istilah ahli hadits maka pengertiannya menjadi kabur dan rancau.
Coba kita amati , dalam teks hadits ada dua kalimat yg berlawanan , pertama MAN SANNA FIL ISLAMI SUNNATAN HASANATAN. Kedua  MAN SANNA FIL ISLAMI SUNNATAN  SAYYIATAN . nah ! kalau kosa kata dalam teks hadits  dimaksudkan pada sunnah Rosul dalam terminologi ahli hadits, maka akan memberi pengertian  bahwa sunnah Rosul ada yg hasanah dan ada yg sayyiah !!! tentu ini sangat keliru.
Karena itu , imam nawawi menegaskan , bahwa hadits MAN SANNA FIL ISLAMI SUNNATAN HASANATAN , membatasi jangkauan makna hadits KULLU BID’ATIN DLOLALAH.
Kedua. Alasan bahwa konteks yg menjadi latar belakangi hadits ( asbabul wurud ) hadits itu berkaitan dgn anjuran sedekah, maka alasan itu sangat lemah.
Bukankah dalam ilmu ushul fiqih kita kenal kaidah
العِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteks-nya yg khusus.
شرح الكوكب المنير  - (ج 2 / ص 262)
 أَنَّهُ مِنْ بَابِ وُرُودِ الْعَامِّ عَلَى سُؤَالٍ أَوْ حَادِثَةٍ صَارِفًا لَهُ عَنْ عُمُومِهِ فَإِنْ قِيلَ : لِمَ جَعَلُوا هُنَا السُّؤَالَ وَالْحَادِثَةَ قَرِينَةً صَارِفَةً عَنْ الْقَوْلِ بِهَذَا الْحُكْمِ فِي الْمَسْكُوتِ ، وَلَمْ يَجْعَلُوا ذَلِكَ فِي وُرُودِ الْعَامِّ عَلَى سُؤَالٍ أَوْ حَادِثَةٍ صَارِفًا لَهُ عَنْ عُمُومِهِ عَلَى الْأَرْجَحِ ، بَلْ لَمْ يُجْرُوا هُنَا مَا أَجْرَوْهُ هُنَاكَ مِنْ الْخِلَافِ فِي أَنَّ الْعِبْرَةَ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ ؟ أُجِيبُ : بِأَنَّ الْمَفْهُومَ لَمَّا ضَعُفَ عَنْ الْمَنْطُوقِ فِي الدَّلَالَةِ انْدَفَعَ بِذَلِكَ وَنَحْوِهِ .وَقُوَّةُ اللَّفْظِ فِي الْعَامِّ تُخَالِفُ ذَلِكَ ، وَلِقُوَّةِ اللَّفْظِ فِي الْعَامِّ ادَّعَى الْحَنَفِيَّةُ أَنَّ دَلَالَتَهُ عَلَى كُلِّ فَرَدٍّ مِنْ أَفْرَادِهِ قَطْعِيَّةٌ وَمِنْ شَرْطِ الْعَمَلِ بِمَفْهُومِ الْمُخَالَفَةِ أَيْضًا : أَنْ لَا يَكُونَ الْمَنْطُوقُ ذُكِرَ ( لِزِيَادَةِ امْتِنَانٍ ) عَلَى الْمَسْكُوتِ عَنْهُ ، نَحْوَ قَوْلِهِ - جَلَّ وَعَلَا - { لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا } فَلَا يَدُلُّ عَلَى مَنْعِ الْقَدِيدِ مِنْ لَحْمِ مَا يُؤْكَلُ مِمَّا يَخْرُجُ مِنْ الْبَحْرِ كَغَيْرِهِ ( وَلَا لِحَادِثَةٍ ) يَعْنِي أَنَّهُ يُشْتَرَطُ أَيْضًا فِي مَفْهُومِ الْمُخَالَفَةِ : أَنْ لَا يَكُونَ الْمَنْطُوقُ خَرَجَ لِبَيَانِ حُكْمِ حَادِثَةٍ اقْتَضَتْ بَيَانَ الْحُكْمِ فِي الْمَذْكُورِ ، كَمَا رُوِيَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِشَاةِ مَيْمُونَةَ فَقَالَ : دِبَاغُهَا طَهُورُهَا } وَكَمَا لَوْ قِيلَ بِحَضْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لِزَيْدٍ غَنَمٌ سَائِمَةٌ فَقَالَ " فِي السَّائِمَةِ الزَّكَاةُ " إذْ الْقَصْدُ الْحُكْمُ عَلَى تِلْكَ الْحَادِثَةِ ، لَا النَّفْيُ عَمَّا عَدَاهَا وَمِنْ هَذَا قَوْله تَعَالَى " { لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً } فَإِنَّهُ وَرَدَ عَلَى مَا كَانُوا يَتَعَاطَوْنَهُ فِي الْآجَالِ : أَنَّهُ إذَا حَلَّ الدَّيْنُ يَقُولُونَ لِلْمَدْيُونِ : إمَّا أَنْ تُعْطِيَ ، وَإِمَّا أَنْ تَزِيدَ فِي الدَّيْنِ ، فَيَتَضَاعَفُ بِذَلِكَ مُضَاعَفَةً كَثِيرَةً  
Yang dijadikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”. Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri?!
------------------------------------------------------------------
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata:
مَنْ  اَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا شَيْأً فَهُوَ رَدٌّ أي مَرْدُوْدٌ
 “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam.
Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.
Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?
---------------------------
Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.
Jawab : Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ (
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi : 2601 [9/288]) Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
--------------------------------------
ANTARA KESEMPURNAAN SYARIAT DAN HAL-HAL BARU
Sebagian kalangan menilai bahwa penetapan status bid’ah hasanah telah menyalahi ketentuan al-quran yg telah menetapkan kesempurnaan ajaran syariat islam dengan berdalih ayat
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا [المائدة/3]
“hari ini telah Aku sempurnakan  untuk kalian agama kalian, Aku sempurnakan pula kenikamatan bagi kalian dan Aku ridhoi islam sebagai agama kalian”(al-maidah:3)
Menurut pakal ilmu tafsir, makna ayat itu adalah “kesempurnaan sebagian besar syariat islam dan perkara-perkara yg berkaitan dengan ibadah haji disaat tidak ada lagi orang-orang musyrik dan orang-orang telanjang yang ikut serta bertowaf bersama-sama orang muslim ditahun itu”
Buka link ..................
تفسير اللباب لابن عادل - (ج 5 / ص 484)
فقوله : { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } يَعْنِي يوم نُزولِ هذه الآيةِ أكملتُ لكُمْ دينكمْ الفَرائِضَ والسُّنَنَ ، والحدُودَ والجهادَ ، والحلالَ والحرامَ ، فلم ينزل بعد هذه الآيةِ حلالٌ ولا حرامٌ ولا شيءٌ من الفرائِضِ ، وهذا [ معنى ] قولِ ابْنِ عباسٍ .
ورُوي عنه أنَّ آيةَ الرِّبَا نزلت بعدها ، وقال سَعِيدُ بنُ جُبَيْر وقتادةُ : { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فلم يَحُجَّ معكم مشْرِكٌ ، وقيل : أظهرت دينَكُمْ وأمَّنْتكم من العدُوِّ ، وقوله تعالى : { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } يَقْتَضِي أن الدين كان نَاقِصاً قَبْلَ ذلك ، وذلك يُوجِب أنَّ الدينَ الذي كان عليه محمدٌ صلى الله عليه وسلم مُواظِباً عليه أكْثَرَ عُمُرِه كان ناقصاً ، وإنما وُجِدَ الدينُ الكامل في آخر عمرِهِ مُدَّةً قليلةً .
وأجَابُوا عنه بوجُوهٍ :
أحدها : أنَّ المرادَ ما تقدم من إزالةِ الخوفِ عنهم ، كما يقولُ الملِكُ إذا اسْتَوْلى على عدوه وقَهَرَهُ قَهْراً كُلِّياً : كَمُلَ ملكُنَا ، وهذا ضَعيفٌ؛ لأنَّ مُلْكَ ذلك المَلِك كان قبل قَهْرِ العدو ناقصاً فينبغي على هذا أن يُقال : إنَّ دينَ محمد صلى الله عليه وسلم كان ناقصاً قبل ذلك اليوم .
ثانيها : [ أنَّ ] المراد أكملتُ لكُم ما تَحْتَاجُون إليه في تكاليفكم من تعاليم الحلالِ والحرامِ ، وهذا - أيضاً - ضعيفٌ؛ لأنه لو لم يُبَيّن قبل هذا اليوم ما كانوا مُحْتاجين إليه من الشرائعِ ، كان ذلك تأخيراً للبيانِ عن وقت الحاجة ، وأنه لا يَجُوزُ  - إلى أنْ قَالَ -أنَّ المراد بقوله : { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } أنَّهُ وفَّقَهُمْ إلى الحجِّ الذي لم يكن بقي عليهم مِنْ أرْكان دينهم غَيْرُه ، فحَجُّوا فاستجمع لهم الدِّين أداء لأرْكَانِه ، ولقوله - عليه الصلاة والسلام - : « بُنِيَ الإسلامُ على خَمْسٍ » الحديثَ ، وقد كانُوا تشَهَّدُوا وصَلُّوا وزكوا وصامُوا وجاهَدُوا واعْتَمرُوا ولم يكونوا حجُّوا ، فلما حجُّوا ذلك اليوم أنزل الله تعالى وهم بالموقف هذه الآية
***************************************
SYARAT-SYARAT BID’AH HASANAH
Ø  Berkaitan dengan agama dan bersifat ibadah.
Berdasar hadits
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Ø  Berada dibawah cakupan dalil syar’i atau keumuman perintah syariat atau termuat dalam MAQOSIDUSY SYARIAT
Diantara contohnya adalah sahabat Umar yg mengumpulkan orang-orang untuk melakukan shalat taraweh 20 rakaat.
Ø  Tidak bertentangan dengan salah satu nash dari nash-nash syariat dan tidak menghapus sunnah-sunnah Nabi SAW.
Seperti menghitung dzikir dengan jari atau tasbih , hal ini tergolong bid’ah hasanah karena adanya perintah dzikir yg dianjurkan dalam jumlah tertentu diantaranya adalah perintah bertasbih sebanyak 100 kali.
Ø  Dianggap baik oleh kaum muslimin
Selain disyariatkan tidak menyalahi al-quran, assunnah dan ijma’ , juga disyariatkan berupa hal-hal yang baik dalam pandangan orang-orang muslim.
Diantara contohnya adalah adzan pertama dan kedua dalam shalat jum’at , atas usul sahabat Utsman yang diserukan ditempat yang berada didekat pasar kota madinahyang disebut dengan ZAURA’.

JIKA TETAP MEMAKSAKAN BAHWA SEMUA BID’AH ITU SESAT, MAKA AKAN BERDAMPAK FATAL DAN AKAN MENGGUNCANG DUNIA ISLAM.
SEBAB TERNYATA  PARA SAHABAT TELAH MEMBUAT INOVASI-INOVASI BARU. LANTAS BERANIKAH PIHAK YANG MENYATAKAN SEMUA BID’AH SESAT MENGVONIS PARA SAHABAT TELAH TERSESAT.






Komentar

Posting Komentar

Harap berkomentar yang baik

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا