BID’AH HASANAH DAN BATASAN MAKNA KULLU BID’ATIN DOLALAH
وشرُّ الأمورِ مُحْدَثاتُها ، وكلُّ بدْعة ضلالة
Sejelek-jelek
perkara adalah perkara yg baru dan setiap bid’ah adalah kesesatan
.
Dalam
gramatika arab, tidak semua kata “kullu” berarti SEMUA sehingga menghabiskan
semua tanpa tersisa , namun ada beberapa “kullu” yg tidak mencakup semua.
Seperti
firman Allah SWT
وَجَعَلْنَا
مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ [الأنبياء/30]
Dan kami jadikan semua yg hidup itu dari air (anbiya’:30)
Pada ayat
diatas , Allah berfirman bahwa semua yg hidup itu diciptakan dari air, tapi
disisi lain , ada makhluq yg hidup tanpa air seperti malaikat yg tercipta dari
nur, dan Allah menciptakan jin dari percikan api yg menyala.
Allah juga
berfirman
وَكَانَ
وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا [الكهف/79]
Karena dihadapan mereka ada seorang raja yg merampas tiap-tiap
perahu (al-kahfi:79)
Disini Allah
SWT berfirman, bahwa dalam dalam cerita Nabi Musa dan Nabi Khidir ada seoran
raja yg mengambil setiap perahu yg lewat, namun kenyataannya yg diambil
hanyalah perahu-perahu yg bagus bukan yg
bocor seperti yg ditumpangi Nabi Musa dan Nabi khidir AS.
Contoh
dalam hadits
كُلُّ شَيْئٍ خُلِقَ مِنَ اْلمَاءِ
Segala sesuatu itu dibikin dari air
Apakah
malaikat juga dibikin dari air? Iblis apakah dari air?
Hadits:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Segala yang memabukan itu khomer, dan semua
khomer itu haram
Kecubung
itu memabukan, apakah itu juga namanya khomer? Khomer bagi orang yang مُضْطَرٌّ apakah juga haram
hukumnya?
Hadits:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ
رَعِيَتِهِ
Semua kamu itu penggembala, dan semua kamu
itu ditanya dari hal ro’iyahnya
Apakah
orang gila dan orang makruh, juga masuk dalam hadits ini? Kesemuanya itu
dijawab tidak? Demikian pula kalau bid’ah dholalah. Apakah karena hadits ini
maka saudara sampai hati mengatakan bahwa perbuatan Utsman bin Affan yang
memerintahkan adzan jum’at dua kali itu dholalah? Dan Umar bin Khottob yang
menjalankan tarawih dua puluh rakaat itu juga dholalah? Baca Barzanji yang
isinya sejarah Maulid Nabi itu juga dholalah? Mendirikan pondok pesantren dan
madarasah itu juga dholalah? Dan saudara sendiri yang tidak dholalah. Apalagi
kalau menurut riwayat yang diriwayatakan oleh Ad Dailamy Fi Musnadil Firdausi,
hadits itu berbunyi:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ إِلاَّ فِي عِبَادَةٍ
Kami
persilahkan melihat Kunuzul Haqoiq fi Hadits Khoirul Kholaiq juz Tsani Shohifah
39.
Bagaimana kebenaran hadits berikut?
Contoh dalam Teori Mantiq
شكل
اول ضرب ثالث
بَعْضُ
الظَّنِّ إِثْمٌ
كُلُّ (بَعْضٌ ال) بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ
كُلُّ
إِثْمٍ يَجِبُ التَّبَاعُدُ عَنْهُ
كُلُّ
ضَّلاَلَةٍ فِي النَّارِ
بَعْضُ
الظَّنِّ يَجِبُ التَّبَاعُدُ عَنْهُ
بَعْضُ الْبِدْعَةِ فِي النَّارِ
sebagian prasangka itu dosa * sebagian bid’ah itu sesat
setiap dosa wajib dihindari *setiap kesesatan itu di neraka
Sebagian prasangka itu wajib dihindari * sebagian bid’ah itu di neraka
Meninjau
dgn beberapa hadits yg memberikan pengertian bahwa tidak semua hal baru itu
sesat.
Seperti
hadits
وشرُّ الأمورِ مُحْدَثاتُها ، وكلُّ بدْعة ضلالة
Sejelek-jelek
perkara adalah perkara yg baru dan setiap bid’ah adalah kesesatan
Namun disisi lain, Nabi SAW juga bersabda dan sekaligus
menjadi batasan makna hadits diatas.
مَنْ
سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُضَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ،
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا
وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُضَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا " . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Barang siapa yg memulai perkara baru yg baik dalam islam maka ia
akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yg melakukan sesudahnya ,
tanpa dikurangi sedikitpun dari dari pahala mereka.
Barang siapa yg memulai perkara baru yg jelek dalam islam maka
ia akan memperoleh dosanya serta dosa orang-orang yg melakukan sesudahnya ,
tanpa dikurangi sedikitpun dari dari dosa mereka.
Hadits ini
menunjukkan bahwa Nabi telah memahami bahwa kelak zaman akan semakin
berkembang, oleh sebab itu Nabi melegalkan dan menyemangati kita untuk selalu
mengembangkan kebaikan dan memberi peringatan agar tidak membuat kesesatan.
Biasanya
kaum anti bid’ah hasanah akan mengatakan “hadits _ man sanna fil
islami_ tidak bisa dijadikan dalil bod’ah hasanah, karena hadits ini jelas
membicarakan sunnah Rosul, disamping itu hadits itu mempunyai latar belakang ,
yaitu anjuran sedekah. Jadi, hadits diatas tidak bisa dijadikan dalil”.
Disini kita
jawab ,,
Pertama, kita harus tahu bahwa yg dimaksud sunnah dlam teks hadits adalah
sunnah secara lughowy/ bahasa yg artinya adalah perbuatan , baik diridhoi
ataupun tidak.
Sunnah
dalam teks hadits itu tidak bisa diartikan dgn sunnah dalam istilah ilmu hadits
yaitu
ما جاء
عن النبي من قول او فعل او تقرير
Segala sesuatu yg datang dari Nabi SAW baik berupa ucapan,
perbuatan ataupun pengakuan
.
Karena
sunnah dgn definisi ahli hadits seperti
itu baru berkembang setelah abad dua hijrah. Seandainya , sunnah dalam teks
hadits itu dimaksudkan dgn sunnah Rosul dalam istilah ahli hadits maka
pengertiannya menjadi kabur dan rancau.
Coba kita
amati , dalam teks hadits ada dua kalimat yg berlawanan , pertama MAN SANNA FIL
ISLAMI SUNNATAN HASANATAN. Kedua MAN
SANNA FIL ISLAMI SUNNATAN SAYYIATAN .
nah ! kalau kosa kata dalam teks hadits
dimaksudkan pada sunnah Rosul dalam terminologi ahli hadits, maka akan
memberi pengertian bahwa sunnah Rosul
ada yg hasanah dan ada yg sayyiah !!! tentu ini sangat keliru.
Karena itu
, imam nawawi menegaskan , bahwa hadits MAN SANNA FIL ISLAMI SUNNATAN HASANATAN
, membatasi jangkauan makna hadits KULLU BID’ATIN DLOLALAH.
Kedua. Alasan bahwa konteks yg menjadi latar belakangi hadits (
asbabul wurud ) hadits itu berkaitan dgn anjuran sedekah, maka alasan itu
sangat lemah.
Bukankah
dalam ilmu ushul fiqih kita kenal kaidah
العِبْرَةُ
بِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman
kalimat, bukan melihat pada konteks-nya yg khusus.
شرح
الكوكب المنير - (ج 2 / ص 262)
أَنَّهُ مِنْ بَابِ وُرُودِ الْعَامِّ عَلَى
سُؤَالٍ أَوْ حَادِثَةٍ صَارِفًا لَهُ عَنْ عُمُومِهِ فَإِنْ قِيلَ : لِمَ
جَعَلُوا هُنَا السُّؤَالَ وَالْحَادِثَةَ قَرِينَةً صَارِفَةً عَنْ الْقَوْلِ
بِهَذَا الْحُكْمِ فِي الْمَسْكُوتِ ، وَلَمْ يَجْعَلُوا ذَلِكَ فِي وُرُودِ
الْعَامِّ عَلَى سُؤَالٍ أَوْ حَادِثَةٍ صَارِفًا لَهُ عَنْ عُمُومِهِ عَلَى
الْأَرْجَحِ ، بَلْ لَمْ يُجْرُوا هُنَا مَا أَجْرَوْهُ هُنَاكَ مِنْ الْخِلَافِ
فِي أَنَّ الْعِبْرَةَ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ ؟ أُجِيبُ :
بِأَنَّ الْمَفْهُومَ لَمَّا ضَعُفَ عَنْ الْمَنْطُوقِ فِي الدَّلَالَةِ انْدَفَعَ
بِذَلِكَ وَنَحْوِهِ .وَقُوَّةُ اللَّفْظِ فِي الْعَامِّ تُخَالِفُ
ذَلِكَ ، وَلِقُوَّةِ اللَّفْظِ فِي الْعَامِّ ادَّعَى الْحَنَفِيَّةُ أَنَّ
دَلَالَتَهُ عَلَى كُلِّ فَرَدٍّ مِنْ أَفْرَادِهِ قَطْعِيَّةٌ وَمِنْ شَرْطِ
الْعَمَلِ بِمَفْهُومِ الْمُخَالَفَةِ أَيْضًا : أَنْ لَا يَكُونَ الْمَنْطُوقُ
ذُكِرَ ( لِزِيَادَةِ امْتِنَانٍ ) عَلَى الْمَسْكُوتِ عَنْهُ ، نَحْوَ قَوْلِهِ -
جَلَّ وَعَلَا - { لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا } فَلَا يَدُلُّ عَلَى
مَنْعِ الْقَدِيدِ مِنْ لَحْمِ مَا يُؤْكَلُ مِمَّا
يَخْرُجُ مِنْ الْبَحْرِ كَغَيْرِهِ ( وَلَا لِحَادِثَةٍ ) يَعْنِي أَنَّهُ
يُشْتَرَطُ أَيْضًا فِي مَفْهُومِ الْمُخَالَفَةِ : أَنْ لَا يَكُونَ الْمَنْطُوقُ
خَرَجَ لِبَيَانِ حُكْمِ حَادِثَةٍ اقْتَضَتْ بَيَانَ الْحُكْمِ فِي الْمَذْكُورِ
، كَمَا رُوِيَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ
بِشَاةِ مَيْمُونَةَ فَقَالَ : دِبَاغُهَا طَهُورُهَا } وَكَمَا لَوْ قِيلَ
بِحَضْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لِزَيْدٍ غَنَمٌ
سَائِمَةٌ فَقَالَ " فِي السَّائِمَةِ الزَّكَاةُ " إذْ الْقَصْدُ
الْحُكْمُ عَلَى تِلْكَ الْحَادِثَةِ ، لَا النَّفْيُ عَمَّا عَدَاهَا وَمِنْ
هَذَا قَوْله تَعَالَى " { لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً }
فَإِنَّهُ وَرَدَ عَلَى مَا كَانُوا يَتَعَاطَوْنَهُ فِي الْآجَالِ : أَنَّهُ إذَا
حَلَّ الدَّيْنُ يَقُولُونَ لِلْمَدْيُونِ : إمَّا أَنْ تُعْطِيَ ، وَإِمَّا أَنْ
تَزِيدَ فِي الدَّيْنِ ، فَيَتَضَاعَفُ بِذَلِكَ مُضَاعَفَةً كَثِيرَةً
Yang
dijadikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh
suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”. Dengan demikian
meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya
yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut,
bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan
menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah
hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan
sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri?!
------------------------------------------------------------------
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ
أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan
berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini
Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang
“bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak
adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan
pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena,
seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh
para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa
terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi
mungkin akan berkata:
مَنْ اَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا شَيْأً فَهُوَ
رَدٌّ أي مَرْدُوْدٌ
“Man Ahdatsa Fi
Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang
merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti tertolak). Dan bila
maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits riwayat
Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam
Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung
isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang
sejalan dengan syari’at Islam.
Dengan demikian
tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru
harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan
kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka
tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar
al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا
تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ
مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian)
para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada
hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong
kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.
Pantaskah dengan
keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap
perkara baru adalah sesat?
---------------------------
Kalangan
yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan
adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini
sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah,
bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati
syirik”.
Jawab : Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di
belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan
menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid
ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran
Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang
dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini
semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat:
“Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan
harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang
membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak
akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat
i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam
tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang
melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian
dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah
secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang
notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna
syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn
al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu
kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah
hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam
agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah
mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani
mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits
“Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita
katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat
‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah
benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja
orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman
orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu
bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan
lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits
“Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan
Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang
kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan
“Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman
ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي
اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ
مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ (
“Barangsiapa
merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi : 2601 [9/288])
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah
al-Anbiya’.
--------------------------------------
ANTARA KESEMPURNAAN
SYARIAT DAN HAL-HAL BARU
Sebagian kalangan
menilai bahwa penetapan status bid’ah hasanah telah menyalahi ketentuan
al-quran yg telah menetapkan kesempurnaan ajaran syariat islam dengan berdalih
ayat
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا [المائدة/3]
“hari ini telah Aku
sempurnakan untuk kalian agama kalian,
Aku sempurnakan pula kenikamatan bagi kalian dan Aku ridhoi islam sebagai agama
kalian”(al-maidah:3)
Menurut pakal ilmu tafsir, makna ayat itu adalah “kesempurnaan sebagian
besar syariat islam dan perkara-perkara yg berkaitan dengan ibadah haji disaat
tidak ada lagi orang-orang musyrik dan orang-orang telanjang yang ikut serta
bertowaf bersama-sama orang muslim ditahun itu”
Buka link ..................
تفسير اللباب لابن عادل - (ج 5 / ص 484)
فقوله : { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } يَعْنِي
يوم نُزولِ هذه الآيةِ أكملتُ لكُمْ دينكمْ الفَرائِضَ والسُّنَنَ ، والحدُودَ
والجهادَ ، والحلالَ والحرامَ ، فلم ينزل بعد هذه الآيةِ حلالٌ ولا حرامٌ ولا شيءٌ
من الفرائِضِ ، وهذا [ معنى ] قولِ ابْنِ عباسٍ .
ورُوي عنه أنَّ آيةَ الرِّبَا نزلت بعدها ، وقال سَعِيدُ
بنُ جُبَيْر وقتادةُ : { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فلم يَحُجَّ معكم
مشْرِكٌ ، وقيل : أظهرت دينَكُمْ وأمَّنْتكم من العدُوِّ ، وقوله تعالى : { اليوم
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } يَقْتَضِي أن الدين كان نَاقِصاً قَبْلَ ذلك ، وذلك
يُوجِب أنَّ الدينَ الذي كان عليه محمدٌ صلى الله عليه وسلم مُواظِباً عليه
أكْثَرَ عُمُرِه كان ناقصاً ، وإنما وُجِدَ الدينُ الكامل في آخر عمرِهِ مُدَّةً
قليلةً
.
وأجَابُوا عنه بوجُوهٍ :
أحدها : أنَّ المرادَ ما تقدم من إزالةِ الخوفِ عنهم ،
كما يقولُ الملِكُ إذا اسْتَوْلى على عدوه وقَهَرَهُ قَهْراً كُلِّياً : كَمُلَ
ملكُنَا ، وهذا ضَعيفٌ؛ لأنَّ مُلْكَ ذلك المَلِك كان قبل قَهْرِ العدو ناقصاً
فينبغي على هذا أن يُقال : إنَّ دينَ محمد صلى الله عليه وسلم كان ناقصاً قبل ذلك
اليوم
.
ثانيها : [ أنَّ ] المراد أكملتُ لكُم ما تَحْتَاجُون
إليه في تكاليفكم من تعاليم الحلالِ والحرامِ ، وهذا - أيضاً - ضعيفٌ؛ لأنه لو لم
يُبَيّن قبل هذا اليوم ما كانوا مُحْتاجين إليه من الشرائعِ ، كان ذلك تأخيراً
للبيانِ عن وقت الحاجة ، وأنه لا يَجُوزُ
- إلى أنْ قَالَ -أنَّ المراد بقوله : { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
} أنَّهُ وفَّقَهُمْ إلى الحجِّ الذي لم يكن بقي عليهم مِنْ أرْكان دينهم غَيْرُه
، فحَجُّوا فاستجمع لهم الدِّين أداء لأرْكَانِه ، ولقوله - عليه الصلاة والسلام -
: « بُنِيَ الإسلامُ على خَمْسٍ » الحديثَ ، وقد كانُوا تشَهَّدُوا وصَلُّوا وزكوا
وصامُوا وجاهَدُوا واعْتَمرُوا ولم يكونوا حجُّوا ، فلما حجُّوا ذلك اليوم أنزل
الله تعالى وهم بالموقف هذه الآية
***************************************
SYARAT-SYARAT
BID’AH HASANAH
Ø Berkaitan dengan agama dan bersifat ibadah.
Berdasar hadits
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ
أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan
berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Ø
Berada dibawah
cakupan dalil syar’i atau keumuman perintah syariat atau termuat dalam
MAQOSIDUSY SYARIAT
Diantara contohnya
adalah sahabat Umar yg mengumpulkan orang-orang untuk melakukan shalat taraweh
20 rakaat.
Ø Tidak bertentangan dengan salah satu nash dari nash-nash syariat dan tidak
menghapus sunnah-sunnah Nabi SAW.
Seperti menghitung
dzikir dengan jari atau tasbih , hal ini tergolong bid’ah hasanah karena adanya
perintah dzikir yg dianjurkan dalam jumlah tertentu diantaranya adalah perintah
bertasbih sebanyak 100 kali.
Ø Dianggap baik oleh kaum muslimin
Selain disyariatkan
tidak menyalahi al-quran, assunnah dan ijma’ , juga disyariatkan berupa hal-hal
yang baik dalam pandangan orang-orang muslim.
Diantara contohnya
adalah adzan pertama dan kedua dalam shalat jum’at , atas usul sahabat Utsman
yang diserukan ditempat yang berada didekat pasar kota madinahyang disebut
dengan ZAURA’.
JIKA TETAP
MEMAKSAKAN BAHWA SEMUA BID’AH ITU SESAT, MAKA AKAN BERDAMPAK FATAL DAN AKAN
MENGGUNCANG DUNIA ISLAM.
SEBAB TERNYATA PARA SAHABAT TELAH MEMBUAT INOVASI-INOVASI
BARU. LANTAS BERANIKAH PIHAK YANG MENYATAKAN SEMUA BID’AH SESAT MENGVONIS PARA
SAHABAT TELAH TERSESAT.
MNtaaaap
BalasHapus