Langsung ke konten utama

AMR (PERINTAH)

AMR (PERINTAH)

(وَالأَمْرُ اسْتِدْعَاءُ الْفِعْلِ بِالْقَوْلِ مِمَنْ هُوَ دُونَهُ عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ)
فَإِنْ كَانَ اَلاِسْتِدْعَاءُ مِنَ المُسَاوِي

Amr adalah tuntutan dilakukannya sebuah perbuatan dengan menggunakan ucapan dari orang yang lebih rendah secara wajib.
Apabila permintaan ditujukan kepada

سُمِيَ اِلْتِمَاسًا، وَمِنَ الأَعْلَى سُمِيَ سُؤَالاً
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى سَبِيْلِ الوُجُوْبِ بِأَنْ جُوِّزَ التَّرْكُ فَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَيْسَ بِأَمْرٍ، أَيْ فِيْ الحَقِيْقَةِ

orang yang sejajar, maka dinamakan iltimas (permintaan). Dan bila ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, maka dinamakan su’al (permohonan).
Sedangkan permintaan yang disampaikan tidak secara wajib, yakni permintaan (atas sesuatu) yang boleh ditinggalkan, maka dzahirnya permintaan ini bukanlah amar secara hakikat.

Penjelasan :
Pemilahan tuntutan menjadi amr, iltimas dan su’al adalah istilah khusus yang digunakan ulama ahli balaghah, manthiq dan selainnya. Sedangkan versi ahli ushul semuanya disebut amr. Seperti dalam firman Allah swt QS. AL-A’raf:110:
فَمَاذَا تَأْمُرُونَ
“(Fir`aun berkata): "Maka apakah yang kamu anjurkan?"

Allah swt menyebut anjuran pemuka-pemuka kaum Fir’aun dengan amr, padahal mereka lebih rendah derajatnya, bahkan meyakini Fir’aun sebagai Tuhan. Sehingga tidak mungkin terjadi mereka meninggikan suara di depan Fir’aun. Penjelasan ini memperkuat pendapat Rajih (unggul) bahwa amr tidak memerlukan syarat عُلُوٌّ (lebih tingginya derajat penuntut) dan اِسْتِعْلاَءٌ (bernada tinggi) [1][19].
Amr secara hakikat adalah tuntutan yang wajib dilakukan. Apabila sebuah tuntutan boleh ditinggalkan, maka tuntutan ini tidak bisa disebut amr secara hakikat. Hanya bisa disebut amr secara majaz.

Pertanyaan :
Apa yang dimaksud ‘ucapan’ dan ‘perbuatan’ dalam definisi di atas?
Jawab :
Maksud ‘ucapan’ adalah shighat اِفْعَلْ (berbuatlah) dan yang sejenis. Dan maksud ‘perbuatan’ dalam definisi tersebut adalah segala hal yang bisa disebut perbuatan secara urf. Sehingga lebih umum dari sekedar menggunakan lisan, hati, atau anggota tubuh lainnya.
Referensi :
وَالمُرَادُ بِالقَوْلِ صِيْغَةُ اِفْعَلْ-إِلىَ أَنْ قَالَ-وَالمُرَادُ بِالفِعْلِ مَا يُسَمَّى فِعْلاً عُرْفاً أَعَمُّ مِنْ كَوْنِهِ فِعْلَ اللِّسَانِ أَوْ القَلْبِ أَوْ الجَوَارِحِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 50)
“Maksud ‘ucapan’ adalah shighat اِفْعَلْ (berbuatlah) – s/d - Dan maksud ‘perbuatan’ adalah segala hal yang bisa disebut perbuatan secara urf. Lebih umum dari sekedar menggunakan lisan, hati, atau anggota tubuh lainnya”

Pertanyaan :
Apakah tingginya status orang yang menuntut dan lebih rendahnya status orang yang dituntut menjadi syarat mutlak dalam amr?
Jawab :
Ada dua istilah dalam persyaratan amr, عُلُوٌّ dan اِسْتِعْلاَءٌ.
عُلُوٌّ adalah lebih tingginya derajat penuntut dibandingkan orang yang dituntut. Seperti tuntutan Allah swt pada hamba-Nya. Hal ini merupakan sifat dari mutakallim (penuntut).
اِسْتِعْلاَءٌ adalah tuntutan yang bernada tinggi, meskipun sebenarnya penuntut tidak lebih tinggi derajatnya. Seperti tuntutan fakir miskin pada orang kaya dengan keras dan nada tinggi. Hal ini merupakan sifat dari kalam (tuntutan).
Mengenai dua syarat di atas ada empat pendapat ulama:
1.        Mensyaratkan عُلُوٌّ saja, diungkapkan oleh kelompok Mu’tazilah, Abu Ishaq as-Syairazi, Ibn as-Shabagh dan as-Sam’ani.
2.        Mensyaratkan اِسْتِعْلاَءٌ saja, diungkapkan Abu al-Husain dari Mu’tazilah, Imam Ar-Razi, al-Amudi dan Ibn al-Hajib.
3.        Tidak mensyaratkan keduanya, diungkapkan oleh pensyarah Jam’u al-Jawami’ dan Zakariya al-Anshari. Pendapat ini adalah yang unggul.
4.        Mensyaratkan keduanya, diungkapkan sebagian ulama.

Pengarang dalam hal ini kemungkinan mengikuti pendapat pertama atau keempat.
Referensi :
وَالعُلُوُّ هُوَ صُدُوْرُ الطَّلَبِ مِنَ الأَعْلَى إِلىَ الأَسْفلِ كَطَلَبِ اللهِ مِنْ عِبَادِهِ وَالأَمِيْرِ مِنْ رَعِيَّتِهِ وَالسَّيِّدِ مِنْ عَبْدِهِ أَوْ خَادِمِهِ. وَالاِسْتِعْلاَءُ وَهُوَ صُدُوْرُ الطَّلَبِ مِنَ الطَالِبِ بِعَظَمَةٍ وَتَعَالٍ وَإنْ لَمْ يَكُنْ ممَّنْ يَتَّصِفُ بِصِفَةِ العُلُوِّ كَطَلَبِ الجُنْدِي مِنْ قَائِدِهِ شَيْئاً وَلَكِنْ بِغِلْظَةٍ وَاسْتعْلاَءٍ وَكَطَلَبِ الفَقيْرِ مِنَ الغَنِيِّ شَيْئاً بِغِلْظَةٍ وَاسْتعْلاَء لاَ بَذْلَةٍ وَتَمَسْكُنٍ. فَالعُلُوُّ صفَة المُتَكَلِّمِ وَالاِسْتعْلاَءُ صِفَةُ الكَلاَمِ (اَلْوَجِيْزُ صـ 132)
“Uluww adalah keluarnya tuntutan dari yang lebih tingginya derajat kepada yang lebih rendah. Seperti tuntutan Allah swt pada hamba-Nya, pemimpin pada rakyatnya, dan tuan pada budak atau pembantunya. Isti’la’ adalah keluarnya tuntutan dari penuntut dengan nada besar dan tinggi, meskipun sebenarnya penuntut tidak tinggi derajatnya. Seperti prajurit yang menuntut komandannya, namun dengan keras dan bernada tinggi, orang fakir yang menuntut orang kaya dengan keras dan nada tinggi. Uluww merupakan sifat dari mutakallim (penuntut). Dan isti’la’ merupakan sifat dari kalam (tuntutan)” (Al-Wajiz hal 132).

(قَوْلُهُ مِمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ)-إِلىَ أَنْ قَالَ-فَيَكُوْنُ المُصَنِّفُ قَدْ اعْتَبَرَ فِيْ الأَمْرِ العُلُوُّ وَهُوَ مُوَافِقٌ لِمَا جَرَى عَلِيْهِ المُعْتَزِلَةُ وَأَبُوْ اِسْحَاقٍ الشَّيْرَزِيُّ وَابْنُ الصَّبَاغِ وَالسَّمْعَانِيُّ وَيَحْتَمِلُ أَنَّهُ اِعْتَبَرَ فِيْهِ العُلُوُّ وَالاِسْتِعْلاَءُ كَمَا قِيْلَ بِهِ-إِلىَ أَنْ قَالَ-وَاعْتَبَرَ فِيْهِ أَبُوْ الحُسَيْنِ مِنَ المُعْتَزِلَةِ وَالإِمَامُ الرَّازِيُّ وَالأَمُدِيُّ وَابْنُ الحَاجِبِ الاِسْتِعْلاَءَ فَقَطْ وَمَا جَرَى عَلِيْهِ الشَّارِحُ فِي جَمْعِ الجَوَامِعِ عَدَمُ اعْتِبَارِ كُلٍّ مِنْهُمَا وَهُوَ الرَّاجِحُ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 50)
“(Ucapan pengarang : dari orang yang lebih rendah)- s/d – maka pengarang mempertimbangkan syarat ulluw dalam amr. Hal ini sepaham dengan pendapat yang disampaikan kelompok Mu’tazilah, Abu Ishaq as-Syairazi, Ibn as-Shabagh dan as-Sam’ani. Ada kemungkinan pengarang mempertimbangkan syarat ulluw dan isti’la’ sebagaimana disampaikan sebagian pendapat - s/d- Abu al-Husain dari Mu’tazilah, Imam Ar-Razi, al-Amudi dan Ibn al-Hajib mensyaratkan isti’la’ saja. Sedangkan pendapat yang disampaikan pensyarah Jam’u al-Jawami’ adalah tidak mensyaratkan keduanya, dan pendapat ini adalah yang unggul” (An-Nafahat hal 50).

Pertanyaan :
Apakah perbuatan yang sunnah (اَلمَنْدُوْبُ) termasuk sesuatu yang dituntut (مَأمُوْرٌ بِهِ)?
Jawab :
Dalam hal ini ada dua pendapat :
1.        Tidak termasuk مَأمُوْرٌ بِهِ, karena perbuatan sunnah tidak harus dilakukan. Diungkapkan oleh Imam Abu Bakar ar-Razi, al-Karkhi, al-Jashash, as-Syarkhasyi, Abu al-Yasar dan Muhaqqiqin dari Ashhab as-Syafi’i. Mereka menggunakan dua dalil : (1) Firman Allah QS. Thaha:93:
أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي
“Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?"

Dari ayat ini disimpulkan bahwa meninggalkan مَأمُوْرٌ بِهِ adalah kemaksiatan, padahal meninggalkan sunnah bukanlah kemaksiatan. (2) Sabda Nabi saw :
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ
“Jikalau saja Aku tidak memberatkan umatku,
pastilah Aku perintahkan mereka bersiwak”
Dari hadits ini disimpulkan bahwa siwak yang hukumnya sunnah adalah sesuatu yang tidak dituntut (مَأمُوْرٌ بِهِ). Juga dalam perbuatan sunnah tidak ada مَشَقَّةٌ (berat dilakukan) berbeda dengan مَأمُوْرٌ بِهِ.
2.        Termasuk مَأمُوْرٌ بِهِ. Diungkapkan oleh Al-Qadhi Abu Bakar dan segolongan ulama lain. Dua argument mereka sampaikan. (1) Perbuatan sunnah (اَلمَنْدُوْبُ) disepakati merupakan ketaatan (طَاعَةٌ), sedangkan ketaatan merupakan perbuatan yang dituntut untuk dilakukan (مَأمُوْرٌ بِهِ). (2) Ahli lughat menyepakati bahwa amr terbagi menjadi amr wajib dan sunnah (اَلمَنْدُوْبُ). Adanya pembagian ini mengindikasikan adanya titik persamaan, bahwa keduanya adalah مَأمُوْرٌ بِهِ.
Referensi :
(قَوْلُهُ عَلَى سَبِيْلِ الوُجُوْبِ) أَيْ التَّحَتُّمِ –إِلىَ أَنْ قَالَ-فَعَلَى هَذَا اَلمَنْدُوْبُ لَيْسَ مَأْمُوْرًا بِهِ لِعَدَمِ تَحَتُّمِ أَمْرِهِ وَبِهِ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ الرَّازِيُّ وَالكَرْخِيُّ وَالجَصَّاصُ وَشَمْسُ الأَئِمَّةِ السَّرْخَسِي وَصَدْرُ الإِسْلاَمِ أَبُو اليَسَرِ وَالمُحَقِّقُوْنَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ مُسْتَدِلِّيْنَ بِأَنَّهُ لُوْ كَانَ مَأْمُوْرًا لَكاَنَ تَرْكُهُ مَعْصِيَةً قَالَ تَعاَلَى أَفَعَصَيْتَ أَمْرِيْ فَيَلْزَمُ أَنْ يَكُوْنَ مَا فُرِضَ مُنْدُوْباً وَاجِباً بِأَنَّ السِّوَاكَ مَنْدُوْبٌ وَالحاَلُ لَيْسَ بِمَأْمُوْرٍ بِهِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ وَأَيْضًا اَلمَنْدُوْبُ لاَ مَشَقَّةَ فِيْهِ وَفِي المَأْمُوْرِ بِهِ مَشَقَّةٌ لِلْحَدِيْثِ اَلمُتَقَدِّمِ وَذَهَبَ القاَضِي أَبُوْ بَكْرٍ وَجَمَاعَةٌ عَلىَ أَنَّ اَلمَنْدُوْبَ مَأْمُوْرٌ بِهِ لِوَجْهَيْنِ اَلأَوَّلُ أَنَّ المَنْدُوْبَ طَاعَةٌ إِجْمَاعًا وَالطَّاعَةُ فِعْلُ المَأْمُوْرِ بِهِ اَلثَّانيِ اِتِّفَاقُ أَهْلِ اللُّغَةِ عَلَى أَنَّ الأَمْرَ يَنْقَسِمُ إِلىَ أَمْرِ إِيْجَابٍ وَأَمْرِ نَدْبٍ وَمَوْرِدُ القِسْمَةِ مُشْتَرَكٌ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 50)
“Ucapan pengarang : secara wajib) artinya harus dilakukan – s/d – mengikuti penafsiran ini, perbuatan sunnah tidak termasuk perbuatan yang diperintahkan (ma’mur bih), karena perbuatan sunnah tidak harus dilakukan. Diungkapkan oleh Imam Abu Bakar ar-Razi, al-Karkhi, al-Jashash, as-Syarkhasyi, Abu al-Yasar dan Muhaqqiqin dari Ashhab as-Syafi’i. Mereka berdalil, seandainya perbuatan sunnah adalah ma’mur bih, maka meninggalkannya disebut kemaksiatan. Allah berfirman ; “Maka apakah kamu telah  mendurhakai perintahku?”. Sehingga menetapkan apa yang diperkirakan sunnah menjadi wajib. Bersiwak sunnah hukumnya, dan bersiwak bukan ma’mur bih berdasarkan sabda Nabi saw ; “Jikalau saja Aku tidak memberatkan umatku, pastilah Aku perintahkan mereka bersiwak”. Di dalam perbuatan sunnah juga tidak ada unsur berat, dan dalam ma’mur bih ada unsur berat berdasarkan hadits tersebut. Al-Qadhi Abu Bakar dan segolongan ulama lain memilih pendapat bahwa perbuatan sunnah adalah ma’mur bih dengan dua alasan. (1) Perbuatan sunnah disepakati merupakan ketaatan, sedangkan ketaatan merupakan perbuatan ma’mur bih. (2) Ahli lughat menyepakati bahwa amr terbagi menjadi amr wajib dan sunnah. Adanya pembagian ini mengindikasikan adanya isytirak (titik persamaan bahwa keduanya adalah ma’mur bih)” (An-Nafahat hal 50).

(وَالصِّيغَةُ الدَّالَّةُ عَلَيْهِ اِفْعَلْ) نَحْوُ اِضْرِبْ وَأَكْرِمْ وَاشْرَبْ
(وَهِيَ عِنْدَ الإِطْلاَقِ وَالتَّجَرُّدِ عَنِ الْقَرِينَةِ) الصَّارِفَةِ عَنْ طَلَبِ الفِعْلِ (تُحْمَلُ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الوُجُوْبِ، نَحْوُ أَقِيمُوْا الصَّلَاةَ (إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ مِنْهُ النَّدْبُ أَوِ الإِبَاحَةُ

Shighat yang menunjukkan amr adalah  اِفْعَلْ (berbuatlah), contoh اِضْرِبْ  (pukullah), أَكْرِمْ (mulyakanlah), اِشْرَبْ (minumlah).
Shighat ini ketika dimutlakkan dan tanpa disertai qarinah yang memalingkan dari tuntutan dilakukannya sebuah perbuatan, maka diarahkan pada wajib, contoh  أَقِيمُوا الصَّلَاةَ(dirikanlah shalat) QS. Al-An’am:72. Kecuali shighat yang diarahkan oleh sebuah dalil bahwa yang dikehendaki dari shighat tersebut adalah sunnah atau ibahah (mubah), maka harus

(فَيُحْمَلُ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى النَّدْبِ أَوْ الإِباَحَةِ.
مِثاَلُ النَّدْبِ: فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَمِثَالُ الإِبَاحَةِ: وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا، وَقَدْ أَجْمَعُوْا عَلَى عَدَمِ وُجُوْبِ الكِتَابَةِ وَالاِصْطِياَدِ

diarahkan pada sunnah atau ibahah. Contoh sunnah QS. An-Nur :33: (Dan buatlah kontrak kitabah pada hamba-hamba itu, jika kalian meyakini mereka mampu dan dapat dipercaya). Contoh ibahah QS. Al-Maidah:02: (Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu).
Dalam hal ini ulama telah menyepakati (ijma) mengenai tidak wajibnya kontrak kitabah dan berburu.

Penjelasan :
Shighat yang menunjukkan amr adalah اِفْعَلْ dan yang semakna. Shighat ini ketika dimutlakkan (tanpa disertai qarinah) diarahkan pada wajib. Kecuali ada dalil yang mengarahkannya ke sunnah atau ibahah, maka harus diarahkan pada sunnah atau ibahah.
Hal ini selaras dengan pendapat Jumhur bahwa amr secara hakikat menunjukkan makna wajib dan mungkin menunjukkan makna selain wajib secara majaz.

Pertanyaan :
Apa sajakah shighat amr selain اِفْعَلْ?dan kenapa pengarang menggunakan kata اِفْعَلْ ?
Jawab :
Shighat amr adalah setiap shighat yang menunjukkan amr, seperti اِفْعِلِيْ، اِفْعِلاَ، اِفْعِلُوْا، اِسْتَفْعِلْ، اِنْفَعِلْ juga fi’il mudhari’ yang ditambahi lam amr contoh لِيَفْعِلْ dan isim fi’il amr contoh صَهْ. Pengarang menggunakan redaksi ‘اِفْعَلْ’ dikarenakan shighat ini yang banyak digunakan.
Referensi :
(قَوْلُهُ اِفْعَلْ) قاَلَ فِي شَرْحِ جَمْعِ الجَوَامِعِ وَالْمُرَادُ بِهِ كُلُّ مَا يَدُلُّ عَلَى الْأَمْرِ مِنْ أَيِّ صِيَغِةٍ فَيَشْمَلُ اِفْعِلِيْ، اِفْعِلاَ، اِفْعِلُوْا، اِسْتَفْعِلْ، اِنْفَعِلْ وَغَيْرَ ذَلِكَ قاَلَ الإِسْنَوِيْ يَقُوْمُ مَقَامَهاَ ِاسْمَ فِعْلِ الأَمْرِ وَالْمُضَارِعَ الْمَقْرُونَ بِاللَّامِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 51)
“(Ucapan pengarang: اِفْعَلْ), Al-Mahali berkata dalam Jam’ul al-Jawami’; ‘Yang dikehendaki dengan shighat amr adalah setiap shighat yang menunjukkan amr dari shighat apapun. Memuat اِفْعِلِيْ، اِفْعِلاَ، اِفْعِلُوْا، اِسْتَفْعِلْ، اِنْفَعِلْ dan lain-lain. Al-Isnawi berkata; ‘menempati posisi shighat amr adalah isim fi’il amr dan mudhari’ yang ditambahi lam” (An-Nafahat hal 51).

وَإِنَّمَا عَبَّرَ بِافْعَلْ لِأَنَّهُ الْغَالِبُ اسْتِعْمَالًا فِيهِ (حَاشِيَةُ العَطَّارِ اَلجُزْءُ الأَوَلُ صـ649)
“Pengarang menggunakan redaksi اِفْعَلْdikarenakan shighat ini yang banyak digunakan” (Hasyiah al-Atthar juz I hal 649)

Pertanyaan :
Bagaimana posisi amr sebelum ditemukan qarinah (bukti) yang memalingkan dari makna hakikatnya?
Jawab :
Menurut pendapat Ashah (kuat), diwajibkan meyakini makna wajib pada amr[2][20] sebelum ditemukan qarinah yang mengarahkan makna selain wajib. Meskipun ada kemungkinan di kemudian hari ditemukan qarinah yang mengarahkan pada makna sunnah atau makna-makna majaz yang lain.
Referensi :
(وَفِي وُجُوبِ اعْتِقَادِ الْوُجُوبِ) فِي الْمَطْلُوبِ بِهَا (قَبْلَ الْبَحْثِ) عَمَّا يَصْرِفُهَا عَنْهُ إنْ كَانَ (خِلَافَ الْعَامِّ) هَلْ يَجِبُ اعْتِقَادُ عُمُومِهِ حَتَّى يُتَمَسَّكَ بِهِ قَبْلَ الْبَحْثِ عَنْ الْمُخَصِّصِ الْأَصَحُّ نَعَمْ (شَرْحُ المَحَلِي عَلَى جَمْعِ الجَوَامِعِ اَلجُزْءُ الأَوَّلُ صـ 477)
“Dalam hal wajibnya meyakini makna wajib pada amr sebelum meneliti qarinah yang mengarahkan makna selain wajib jika memang ada, terdapat perbedaan ulama dalam lafadz ‘am. Apakah wajib diyakini makna umumnya sehingga dijadikan pegangan, sebelum meneliti adanya dalil pentakhsish. Menurut pendapat Ashah, benar (hukumnya wajib)” (Syarah al-Mahalli ‘ala Jam’i al-Jawami’ juz I hal 477).

(وَلاَ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ عَلَى الصَّحِيحِ) لِأَنَّ ماَ قُصِدَ بِهِ مِنْ تَحْصِيْلِ المَأْمُوْرِ بِهِ يَتَحَقَّقُ  بِالمَرَّةِ  الوَاحِدَةِ،  وَالأَصْلُ

Amr tidak menuntut adanya pengulangan (atas perbuatan yang diperintahkan) menurut pendapat shahih. Karena tujuan dari amr, yakni berupa  merealisasikan  perbuatan  yang

بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ مِمَّا زَادَ عَلَيْهَا (إِِلاَّ إِِذاَ دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى قَصْدِ التَّكْرَارِ) فَيُعْمَلُ بِهِ، كَالأَمْرِ بِالصَّلَوَاتِ الخَمْسِ، وَالأَمْرِ بِصَوْمِ رَمَضَانَ
وَمُقَابِلُ الصَّحِيْحِ أَنَّهُ يَقْتَضِي التَّكْرَارِ فَيَسْتَوْعَبُ المَأْمُوْرُ بِالمَطْلُوْبِ مَا يُمْكِنُهُ مِنْ زَمَانِ العُمْرِ حَيْثُ لَا بَياَنَ لِأَمَدِ المَأْمُوْرِ بِهِ لِانْتِفَاءِ مُرَجِّحِ بَعْضِهِ عَلَى بَعْضٍ

diperintahkan, sudah tercapai dengan sekali dilakukan. Dan hukum asal menyatakan bebas dari tanggungan lebih dari satu kali. Kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan tujuan pengulangan, maka dalil inipun harus diamalkan. Contoh, perintah menjalankan shalat lima waktu dan perintah melakukan puasa Ramadhan.
Menurut muqabilus shahih, amr menuntut adanya pengulangan, sehingga orang yang diperintah harus menjalankannya sebisa mungkin selama hidupnya. Selama tidak ada penjelasan tentang masa berlakunya sesuatu yang diperintahkan. Karena di sini tidak ada faktor yang mengunggulkan antara satu dengan yang lain.

Penjelasan :
Substansi amr adalah mewujudkan مَاهِيِةٌ (hakikat dan tujuannya), tidak menetapkan pengulangan perbuatan yang diperintahkan dan juga tidak menuntut dilakukan satu kali menurut pendapat shahih. Tujuan dasar dari amr adalah terealisasinya perbuatan yang diperintahkan (مَأمُوْرٌ بِهِ), sedangkan dilakukan satu kali merupakan keharusan (ضَرُوْرِيَّةٌ) untuk mewujudkan tujuan tersebut. Pendapat kedua (muqabil as-shahih) menyatakan bahwa amr menetapkan pengulangan, dan diarahkan satu kali dengan adanya qarinah. Diungkapkan oleh Al-Ustadz Abu Ishaq al-Isfirayni, Abu Hatim al-Qazwayni dan sekelompok ulama lainnya. Pendapat ketiga menyatakan, amr menetapkan pengulangan apabila diikat dengan syarat atau shifat. Contoh QS. Al-Maidah:06:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu junub maka mandilah”.

Dan QS. An-Nuur : 02 :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa pengulangan mandi dan dera terikat dan disesuaikan dengan diulanginya janabat dan zina.
Mengikuti pendapat pertama, meskipun tidak menetapkan pengulangan, namun apabila ditemukan dalil di luar amr yang menuntut pengulangan, maka harus diamalkan. Contoh perintah shalat, dimana dalil kewajiban mengulangi shalat lima waktu adalah hadits shahih Bukhari-Muslim:
فَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِي لَيْلَةَ الإِسْرَاءِ خَمْسِينَ صَلاَةً فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ
وَأَسْأَلُهُ التَّخْفِيفَ حَتَّى جَعَلَهَا خَمْسًا فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
“Allah mewajibkan shalat lima puluh kali pada umatku di malam Isra’. Kemudian aku tidak henti-hentinya menawar dan aku minta kepadaNya keringanan, hingga Allah swt menjadikan 5 kali sehari semalam”

Contoh lain adalah puasa Ramadhan. Dalil wajib diulanginya puasa Ramadhan adalah QS. Al-Baqarah:185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”

dan HR Bukhari-Muslim:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah kalian karena melihat tanggal (hilal)
dan berbukalah (juga) karena melihatnya”
Ayat dan hadits di atas menyimpulkan bahwa puasa dilaksanakan setiap melihat hilal bulan Ramadhan, dikarenakan puasa dalam dua dalil tersebut digantungkan dengan melihat hilal [3][21].

Pertanyaan :
Apa maksud ‘harus menjalankannya sebisa mungkin selama hidupnya’ menurut pendapat muqabil as-shahih?
Jawab :
Maksudnya adalah menjalankan di setiap waktu dengan tanpa disertai adanya مَشَقَّةٌ لاَ تُحْتَمَلُ عَادَةً (kesulitan yang lazimnya tidak mampu ditanggung). Sehingga mengecualikan waktu-waktu dzarurat, seperti waktu untuk makan, minum, tidur dan lain-lain.
Referensi :
(قَوْلُهُ مَا يُمْكِنُهُ) أَيْ مِنْ غَيْرِ مَشَقَّةٍ لاَ تُحْتَمَلُ عَادَةً فِيْمَا يَظْهَرُ وَاحْتَرَزَ بِهَذَا عَنْ أَوْقَاتِ الضَّرُوْرَةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَنَوْمٍ وَغَيْرِهَا (اَلنَّفَحَاتُ صـ 55)
“(Ucapan pensyarah : menjalankannya sebisa mungkin selama hidupnya) artinya adalah dengan tanpa disertai adanya kesulitan yang lazimnya tidak mampu ditanggung menurut dzahirnya. Sehingga hal ini mengecualikan waktu-waktu dzarurat, seperti waktu untuk makan, minum, tidur dan lain-lain” (An-Nafahat hal 55).

(وَلاَيَقْتَضِى الْفَوْرَ) لِأَنَّ الْغَرَضَ مِنْهُ إِيْجَادُ الْفِعْلِ مِنْ غَيْرِ اخْتِصَاصٍ بِالزَّمَانِ الْأَوَّلِ دُوْنَ الزَّمَانِ الثَّانِى وَقِيْلَ يَقْتَضِى الْفَوْرَ وَعَلىَ ذلِكَ يُحْمَلُ قَوْلُ مَنْ يَقُوْلُ إِنَّهُ يَقْتَضِى التِّكْرَارَ

Amr juga tidak menuntut faur (segera dijalankan), karena tujuan dari amr adalah terealisasinya perbuatan tanpa terikat dengan ketentuan di waktu awal, bukan waktu yang kedua (setelahnya). Menurut sebagian pendapat, amr menuntut segera dijalankan. Dan pada pendapat inilah, jalur arahan versi yang menyatakan bahwa amr menuntut adanya pengulangan.

Penjelasan :
Menurut pensyarah, selaras dengan amr yang tidak menuntut faur (segera dilakukannya perbuatan yang dituntut), maka amr juga tidak menuntut tarakhi (ditundanya perbuatan tersebut). Amr hanya menunjukkan tuntutan dilakukannya sebuah perbuatan. Pendapat ini diungkapkan Imam As-Syafi’i dan Ashhabnya dan dipilih oleh al-Amudi, al-Baidhawi dan Ibn Hajib serta dishahihkan dalam kitab Jam’u al-Jawami’. Pendapat kedua menyatakan bahwa amr menuntut faur. Diungkapkan oleh sebagian Ashhab as-Syafi’i, dan al-Karkhi dari kalangan Hanafiyah. Mengambil dalil QS. Al-A’raf : 12 :
مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ
"Apakah yang menghalangimu untuk bersujud
(kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?".

Dalam ayat ini Allah swt mencela Iblis atas keengganannya bersujud kepada Nabi Adam as seketika itu, sedangkan amr dalam hal ini bersifat mutlak. Seandainya amr tidak menuntut faur, maka tentunya tidak ada celaan bagi Iblis [4][22].

Pertanyaan :
Menurut pendapat bahwa amr tidak menetapkan faur (disegerakan di waktu awal), diperbolehkan melaksanakan perbuatan yang diperintahkan di setiap waktu dari semua waktu yang ditentukan syara’. Apakah wajib melakukan azm (niat/bertekad) untuk melaksanakannya, ketika hendak mengakhirkannya dari waktu pertama?
Jawab :
Menurut Jumhur tidak berkewajiban azm untuk melaksanakannya ketika hendak mengakhirkan dari waktu pertama. Dan mencukupi dilaksanakan pada waktu apapun, baik ada azm atau tidak, selama masih dalam batas waktu yang ditentukan syara’.
Referensi :
إِذَا أَرَادَ أَنْ يُؤَخِّرَ الفِعْلَ إلَى الْوَقْتِ الثَّانيِ بَدَلاً مِنَ الْوَقْتِ الأَوَّلِ هَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَعْزِمِ عَلَى الْفِعْلِ فيِ ثَانيِ الوَقْتِ لِيَجُوْزَ لَهُ التَّأْخِيرُ أَمْ لاَ يَجِبُ عَلَيْهِ العَزْمُ؟ اَلجُمْهُوْرُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجِبُ عَلَيْهِ العَزْمُ عَلَى الْفِعْلِ فيِ الْوَقْتِ الثَّانيِ وَفِي أَيِّ وَقْتٍ فَعَلَ المَأْمُوْرَ بِهِ أَجْزَأَهُ عَزَمَ أَوْ لَمْ يَعْزِمْ اهـ (اَلْوَجِيْزُ صـ 144)
“Ketika seorang mukallaf hendak mengakhirkan perbuatan yang diperintahkan di waktu kedua, sebagai ganti dari waktu pertama, apakah wajib baginya melakukan ‘azm untuk melaksanakannya di waktu kedua agar diperbolehkan mengakhirkannya, ataukah tidak wajib melakukan ‘azm? Menurut Jumhur tidak berkewajiban ‘azm untuk melaksanakannya ketika hendak mengakhirkan di waktu kedua. Di waktu apapun perbuatan tersebut dilakukan, maka hukumnya mencukupi baginya, baik ada ‘azm atau tidak (selama masih dalam batas waktu yang ditentukan)” (Al-Wajiz hal 144).
(وَالْأَمْرُ بِاِيْجَادِ الْفِعْلِ أَمْرٌ بِهِ وَبِمَا لاَ يَتِمُّ الْفِعْلُ إِلاَّ بِهِ كَأَمْرٍ بِالصَّلَوَاتِ أَمْرٌ بِالطَّهَارَةِ الْمُؤَدِّيَةِ اِلَيْهَا) فَإِنَّ الصَّلاَةَ لاَتَصِحُّ بِدُوْنِهَا

Perintah untuk merealisasikan sebuah perbuatan merupakan perintah atas perbuatan tersebut, sekaligus atas segala hal yang menjadi penyempurnanya. Contoh perintah menjalankan shalat adalah sekaligus merupakan perintah melakukan bersuci yang menjadi perantaranya, dikarenakan shalat tidak sah hukumnya tanpa bersuci.

Penjelasan :
Hal-hal yang menjadi penyempurna sebuah kewajiban, baik berupa sabab[5][23] atau syarat[6][24] menurut pendapat ashah dihukumi wajib dengan dua syarat :
1.    Kewajiban bersifat mutlak. Mengecualikan kewajiban yang status wajibnya masih tergantung pada adanya perkara lain. Contohnya adalah zakat, dimana kewajibannya tergantung atas kepemilikan satu nishab. Maka dalam hal ini seseorang tidak bisa ditetapkan wajib mengusahakan harta satu nishab.
2.    Penyempurna kewajiban tersebut dalam batas kemampuan manusia (اَلمَقْدُوْرُ لِلْمُكَلَّفْ). Mengecualikan hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia. Adakalanya karena mustahil, seperti kuasa dan kehendak Allah swt yang menjadi penentu ada dan tidaknya perbuatan manusia. Ada juga karena faktor kesulitan di dalamnya meskipun mungkin diwujudkan, seperti mengusahakan 40 orang dalam shalat Jum’at [7][25].
Pertanyaan :
Apakah wajib meninggalkan hal-hal yang mubah (boleh dilakukan) apabila hal itu menjadi penyempurna meninggalkan perbuatan haram?
Jawab :
Wajib. Contoh, air sedikit yang kemasukan najis[8][26]. Memakai keseluruhan air tersebut dihukumi haram, karena meninggalkan pemakaian air secara keseluruhan menjadi satu-satunya cara agar terhindar dari memakai najis. Contoh lain, ketika seorang suami menjumpai istrinya bercampur dengan wanita lain, hingga sulit dibedakan karena kemiripannya. Maka suami haram menyetubuhi keseluruhan wanita tersebut. Karena dengan cara inilah, suami akan terhindar dari menyetubuhi wanita lain yang diharamkan.
Referensi :
(فَلَوْ تَعَذَّرَ تَرْكُ الْمُحَرَّمِ إلَّا بِتَرْكِ غَيْرِهِ) مِنْ الْجَائِزِ كَمَاءٍ قَلِيلٍ وَقَعَ فِيهِ بَوْلٌ (وَجَبَ) تَرْكُ ذَلِكَ الْغَيْرِ لِتَوَقُّفِ تَرْكِ الْمُحَرَّمِ الَّذِي هُوَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ (أَوْ اخْتَلَطَتْ ) أَيْ اشْتَبَهَتْ (مَنْكُوحَةٌ ) لِرَجُلٍ (بِأَجْنَبِيَّةٍ) مِنْهُ (حُرِّمَتَا) أَيْ حُرِّمَ قُرْبَانُهُمَا عَلَيْهِ (شَرْحُ الجَلاَلِ المَحَلِي عَلَى جَمْعِ الجَوَامِعِ اَلجُزْءُ الأَوَلُ صـ255)
“Apabila perbuatan haram sulit ditinggalkan kecuali dengan meninggalkan perkara lain dari hal-hal mubah (boleh dikerjakan), seperti air sedikit yang kemasukan air kencing, maka wajib meninggalkan perkara lain tersebut, karena meninggalkan sesuatu yang diharamkan yang hukumnya wajib, tergantung dengan ditinggalkannya perkara tersebut. Atau bercampur (menjadi sulit dibedakan) antara istri yang dinikahi dari seorang suami dengan wanita lain, Maka keduanya diharamkan bagi suami, artinya haram bagi suami mendekati keduanya”. (Syarah al-Mahalli ‘ala Jam’i al-Jawami’ juz I hal 255).

(وَإِذَا فُعِلَ) بِالْبِنَاءِ لِلْمَفْعُوْلِ أىِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ (يَخْرُجُ الْمَأْمُوْرُ عَنِ الْعُهْدَةِ) أَىْ عُهْدَةِ  الْأَمْرِ وَيَتَّصِفُ الْفِعْلُ بِالْإِجْزَاءِ

Pada saat perbuatan yang diperintahkan sudah dilaksanakan, maka orang yang diperintah dinyatakan lepas dari tuntutan, serta perbuatan yang telah dilakukan dikategorikan ijza’ (mencukupi).

Penjelasan :
Dilaksanakannya perbuatan yang diperintahkan (مَأمُوْرٌ بِهِ) sesuai dengan ketentuan syara’ melepaskan seseorang dari tuntutan amr. Artinya, melakukan perbuatan tersebut menetapkan status ijza’ (mencukupi). Pendapat rajih (unggul) ini berpijak dari pengertian ijza’ yang didefinisikan dengan اَلكِفَايَةُ فيِ سُقُوْطِ الطَّلَبِ (mencukupi dalam melepaskan tuntutan). Karena seandainya amr masih tetap mengikat perbuatan yang dikerjakan setelah perbuatan tersebut terlaksana, maka hal tersebut sama halnya menuntut sesuatu yang sudah berhasil ditunaikan.
Menurut sebagian pendapat, melakukan perbuatan tersebut tidak menetapkan ijza’. Versi ini berpijak pada pendapat bahwa ijza’ adalah إِسْقاَطُ القَضَاءِ (menggugurkan tuntutan qadla’). Karena bisa jadi perbuatan yang telah dikerjakan masih belum melepaskan seseorang dari tuntutan qadla’ atau masih butuh dikerjakan untuk kedua kalinya. Seperti shalat dari seseorang yang menyangka suci, namun kemudian terbukti nyata telah berhadats [9][27].

Pertanyaan :
Apa makna pengertian bahwa ijza’ adalah اَلكِفَايَةُ فيِ سُقُوْطِ الطَّلَبِ (mencukupi dalam melepaskan tuntutan)?
Jawab :
Maknanya, khithab yang pada awalnya berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan cara tertentu, apabila dikerjakan sesuai dengan cara dan ketentuan tersebut, maka terputuslah ikatan khithab tersebut dari dirinya.
Referensi :
الْإِجْزَاءُ هو الِاكْتِفَاءُ بِالْفِعْلِ في سُقُوطِ الْأَمْرِ وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْخِطَابَ مُتَعَلِّقٌ بِفِعْلِهِ عَلىَ وَجْهٍ مَخْصُوصٍ فإذا أتى الْمُكَلَّفُ بِهِ عَلىَ ذَلِكَ الْوَجْهِ انْقَطَعَ عنه تَعَلُّقُ الْخِطَابِ وَهَذَا هُوَ عَلىَ مَذْهَبِ الْمُتَكَلِّمِينَ (اَلبَحْرُ المُحِيْطُ اَلجُزْءُ الأَوَّلُ  ص 255)
“Al-Ijza’ adalah mencukupinya melakukan perbuatan yang dituntut untuk melepaskan amr. Artinya, sesungguhnya khithab berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan cara tertentu, sehingga apabila mukallaf melakukannya sesuai dengan ketentuan tersebut, maka terputuslah ikatan khithab tersebut dari dirinya. Ini adalah pendapat ulama Mutakallimin” (Al-Bahr al-Muhith juz I hal 255)

(الَّذِى يَدْخُلُ فِى الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ وَمَا لاَيَدْخُلُ) هَذِهِ تَرْجَمَةٌ (يَدْخُلُ فىِ خِطَابِ اللهِ تَعَالَى المُؤْمِنُوْنَ) وَسَيَأْتىِ الْكَلاَمُ فىِ الْكُفَّارِ (وَالسَّاهِي وَالصَّبِي وَالْمَجْنُوْنُ غَيْرُ دَاخِلِيْنَ فِى الْخِطَابِ) لاِنْتِفَاءِ التَّكْلِيْفِ عَنْهُمْ

Orang yang masuk dan yang tidak masuk dalam amr dan nahi
Kaum mukmin masuk dalam khithab Allah swt, sedangkan pembahasan mengenai orang-orang kafir akan diulas di bawah nanti. Orang yang lupa, anak kecil dan orang gila, semuanya tidak masuk dalam khithab. Disebabkan tidak adanya taklif pada diri mereka.

Penjelasan :
Termasuk mereka yang terkena khithab adalah orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Yakni mereka yang sudah mencapai baligh dan berakal. Dan ada tiga orang yang tidak terkena khithab;
1.      اَلسَّاهِي atau اَلغَافِلُ, yakni orang yang tidak mengetahui. Di antaranya orang tidur dan lupa.
2.      Anak kecil, meskipun sudah menginjak usia tamyiz.
3.      Orang gila, yakni cacat pada akal yang mencegah untuk berbuat dan berucap sesuai jalan berpikir normal secara konsisten.

Pertanyaan :
Apa perbedaan السَّاهِي  dan النَّاسِي?
Jawab :
النَّاسِي adalah keadaan lupa yang kembali menjadi teringat ketika diingatkan. Sedangkan السَّاهِي  kebalikannya (tidak perlu diingatkan).
Dalam kitab lain dijelaskan, السَّهْوُ adalah lupa atas sebuah pengetahuan, namun hanya sebentar dan akan teringat jika diingatkan. Sedangkan النِّسْيَانِ adalah hilangnya pengetahuan dalam waktu lama dan untuk mengembalikannya butuh diulangi dari awal.
Referensi :
وَفَرَّقُوْا بَيْنَ النَّاسِي والسَّاهِي بِأَنََّ النَّاسِيَ إِذَا ذَكَرْتَهُ تَذَكَّرَ وَالسَّاهِي بِخِلاَفِهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ59)
“Ulama membedakan النَّاسِي danالسَّاهِي  bahwa النَّاسِي ketika kamu mengingatkannya, maka akan teringat dan السَّاهِي  sebaliknya” (An-Nafahat hal 59).

(وَالسَّهْوُ الْغَفْلَةُ عَنْ الْمَعْلُومِ الْحَاصِلِ فَيَتَنَبَّهُ لَهُ بِأَدْنَى تَنْبِيهٍ بِخِلاَفِ النِّسْيَانِ فَهُوَ زَوَالُ الْمَعْلُومِ فَيَسْتَأْنِفُ تَحْصِيلَهُ-إِلىَ أَنْ قَالَ-ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّهُ إِنْ قَصُرَ زَمَنُ الزَّوَالِ سُمِيَ سَهْوًا وَإِلاَّ فَنِسْيَاناً. قَالَ وَهَذَا أَحْسَنُ مَا فَرَّقَ بِهِ بَيْنَهُمَا (غَايَةُ الوُصُوْلِ صـ23)
السَّهْوُ adalah lupa atas sebuah pengetahuan yang sudah dihasilkan, dan akan teringat jika diingatkan dengan cara paling ringan. Sedangkan النِّسْيَانِ adalah hilangnya pengetahuan dan membutuhkan untuk mengulanginya dari awal -sd- kemudian Al-Barmawi membedakan antara keduanya, bahwasanya apabila sebentar masa hilangnya pengetahuan, maka disebut السَّهْوُ, dan jika tidak sebentar (lama), disebut النِّسْيَانِ. Beliau mengatakan, ‘ini adalah pembedaan terbaik antara keduanya’” (Ghayah al-Wushul hal. 23).

وَيُؤْمَرُ السَّاهِى بَعْدَ ذَهَابِ السَّهْوِ عَنْهُ بِجَبْرِ خَلَلِ السَّهْوِ كَقَضَاءِ مَا فَاتَهُ مِنَ الصَّلاَةِ وَضَمَانِ مَا أَتْلَفَهُ مِنَ الْمَالِ

Orang yang lupa setelah sadar diperintahkan mengganti kekurangan akibat dari lupanya, seperti mengqadla’i shalat yang ditinggalkan dan mengganti harta benda yang dirusakannya.

Penjelasan :
Hal-hal yang wajib dilakukan olehالسَّاهِي  (orang yang lupa) setelah kembali sadar adalah mengganti kewajiban yang ditinggalkan seperti shalat dan puasa, serta mengganti kerugian yang diperbuat pada orang lain, seperti merusak harta orang lain. Sedangkan yang wajib dilakukan anak kecil ketika baligh dan orang gila setelah akalnya kembali adalah mengganti rugi kerusakan yang diperbuat semasa kecil dan gilanya, namun tidak diperintahkan mengganti shalat yang ditinggalkan.

Pertanyaan :
Mengapa السَّاهِي yang dinyatakan tidak terkena khithab, tetap wajib mengganti shalat yang ditinggalkan dan mengganti rugi kerusakan yang ditimbulkan?
Jawab :
Karena sabab yang ditetapkan as-Syari’ (pembuat syariat) dan menetapkan kewajiban shalat dan mengganti rugi kerusakan telah wujud terlebih dahulu. Sabab dari kewajiban shalat adalah masuknya waktu dan sabab dari kewajiban mengganti rugi adalah merusak harta orang lain. Dan sabab ini termasuk bagian dari hal-hal yang terkait dengan khithab wadl’i.
Referensi :
إِذَا كَانَ السَّاهِي غَيْرَ مُخَاطَبٍ فَلِمَ وَجَبَ عَلَيْهِ القَضَاءُ وَضَمَانُ مَا أَتْلَفَهُ؟ وَأَجَابَ بِأَنَّهُ لاَ يَقَدَحُ فيِ امْتِنَاعِ التَّكْلِيْفِ حَالَةَ السَّهْوِ لِأَنَّ الأَمْرَ المَذْكُوْرَ إِنَّمَا هُوَ لِتَقَدُّمِ مَا جَعَلَهُ الشَّارِعُ سَبَبًا لَهُ حَالَةَ السَّهْوِ وَهُوَ أَيْ مَا جَعَلَهُ الشَّارِعُ سَبَبًا كَجَعْلِ الإِتْلاَفِ سَبَبًا لِلضَّمَانِ وَكَجَعْلِ دُخُوْلِ الوَقْتِ سَبَبًا لِلصَّلاَةِ هُنَا مِنْ خِطَابِ الوَضْعِ الَّذِيْ لاَ يَخْتَصُّ بِالمُكلَّفِيْنَ (اَلنَّفَحَاتُ صـ61)
“Apabila orang yang lupa tidak terkena khithab, kenapa baginya wajib mengqodlo’ dan mengganti barang yang dirusakkannya?. Dijawab oleh ulama, bahwa hal itu tidak menyalahi ketentuan tercegahnya tuntutan saat lupa. Karena perintah tersebut akibat dari mendahuluinya sabab yang ditetapkan as-Syari’ (pembuat syariat) saat seseorang mengalami lupa. Yakni seperti menjadikan merusak sebagai sabab mengganti rugi dan masuknya waktu sebagai sabab dari kewajiban shalat. Ini adalah bagian dari khithab wadl’i yang tidak terkhusus pada orang-orang mukallaf saja”. (An-Nafahat hal 61)

Pertanyaan :
Mengapa anak kecil dan orang gila tidak diperintahkan mengganti shalat yang ditinggalkan setelah mereka menginjak usia baligh atau kembali berakal?
Jawab :
Karena untuk meringankan mereka dan dikarenakan shalat adalah murni hak Allah yang didasari atas prinsip اَلمُسَامَحَةُ (meringankan).
Referensi :
إِنَّمَا لَمْ يَجِبْ اَلقَضَاءُ عَلَيْهِمَا تَخْفِيْفًا عَلَيْهِمَا مَعَ كَوْنِ نَحْوِ الصَّلاَةِ مِنْ حُقُوْقِ اللهِ اَلصِّرْفَةِ وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى المُسَامَحَةِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ61)
“Sesungguhnya tidak wajib qadla’ bagi keduanya (anak kecil dan orang gila) untuk meringankan keduanya. Sekaligus keberadaan ibadah seperti shalat termasuk hak-hak Allah swt yang murni. Dan hal semacam ini didasari atas prinsip meringankan” (An-Nafahat hal 61)

(وَالْكُفَّارُ مُخَاطَبُوْنَ بِفُرُوْعِ الشَّرَائِعِ وَبِمَا لاَ تَصِحُّ إِلاَّبِهِ وَهُوَ الْإِسْلاَمُ لِقَوْلِهِ تَعَالىَ مَا سَلَكَكُمْ فِى سَقَرَ، قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ)

Orang-orang kafir ter-khithab-i menjalankan masalah-masalah syariat sekaligus hal yang menjadi pengantar keabsahannya, yaitu islam. Berdasarkan firman Allah swt QS. Al-Mudatsir: 42-43: (Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat)

Penjelasan :
Ulama berbeda pendapat tentang syarat syar’i, apakah keberadaannya menjadi syarat keabsahan sebuah taklif (tuntutan) ataukah tidak. Menurut pendapat shahih, tidak menjadi syarat. Hukumnya sah menuntut sesuatu yang disyarati (اَلمَشْرُوْطُ) ketika syaratnya tidak ada, karena syarat mungkin dilakukan sebelum اَلمَشْرُوْطُ. Sehingga sah menuntut orang kafir atas furu’ as-syari’ah (masalah-masalah syariat), meskipun syarat berupa iman tidak ada. Hal ini dikarenakan sebagian besar (فِيْ الجُمْلَةِ) furu’ as-syari’ah membutuhkan niat yang dinilai tidak sah dari orang kafir.

Pertanyaan :
Apa yang dimaksud syariat dalam keterangan di atas?
Jawab :
Adalah ushuluddin dan furu’ (cabang-cabang). Ushul berupa tauhid dan hal-hal yang terkait, maka ulama sepakat orang-orang kafir terkena khithab. Sedangkan furu’ adalah hukum-hukum taklifi, berupa wajib, haram dan selain keduanya, serta hukum wadl’i.
Syariat yang dimaksud di atas adalah syariat nabi-nabi. Artinya orang-orang kafir dari setiap rasul terkena khithab menjalankan furu’ as-syari’ah (masalah-masalah syariat) nabi-nabinya.
Referensi :
اِعْلَمْ أَنَّ الشَّرَائِعَ أُصُوْلٌ وَفُرُوْعٌ فَأَمَّا الأُصُوْلُ فَالتَّوْحِيْدُ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ فَهُمْ مُخَاطَبُوْنَ بِهاَ اِتِّفَاقاً-إِلىَ أَنْ قَالَ-وَأَمَّا الفُرُوْعُ فاَلأَحْكاَمُ التَّكْلِيْفِيَّةُ إِيْجَابُهَا وَتَحْرِيْمُهَا وَغَيْرُهُمَا وَالوَضْعِيَّةُ (اَلنَّفَحَاتُ صـ62)
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya beberapa syariat adalah ushuluddin dan furu’ (cabang-cabang). Ushul berupa tauhid dan hal-hal yang terkait, maka ulama sepakat orang-orang kafir terkena khithab. Sedangkan furu’ adalah hukum-hukum taklifi, berupa wajib, haram dan selain keduanya, serta hukum wadl’i”. (An-Nafahat hal 62)

(قَوْلُهُ الشَّرَائِعُ) أَيْ شَرَائِعُ الأَنْبِيَاءِ يَعْنِي أَنَّ كُفَارَ أُمَّةِ كُلِّ رَسُوْلٍ مُخَاطَبُوْنَ بِفُرُوْعِ شَرِيْعَةِ نَبِيِّهِمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ62)
“(Ucapan pengarang : beberapa syariat) maksudnya syariat nabi-nabi, yang artinya orang-orang kafir dari setiap rasul terkena khithab menjalankan furu’ as-syari’ah (masalah-masalah syariat) nabi-nabinya”. (An-Nafahat hal 62)

Pertanyaan :
Bidang syariat apa sajakah yang keabsahannya ditentukan dengan adanya niat?
Jawab :
Sebagian dari perintah-perintah (اَلمَأْمُوْرَاتُ) seperti shalat dan yang sejenis. Sebagian perintah yang lain seperti memerdekakan hamba sahaya, jihad dan yang sejenis, serta larangan-larangan (المَنْهِيَّاتَ) secara menyeluruh tidak membutuhkan niat.
Referensi :
إِنَّمَا قَالَ فيِ الجُمْلَةِ لِأَنَّ المُتَوَقِفَ عَلىَ النِّيَةِ إِنَّمَا هُوَ بَعْضُ المَأْمُوْرَاتِ كَالصَّلاَةِ وَنَحْوِهَا دُوْنَ البَعْضِ الآخَرِ كَالعِتْقِ وَالجِهَادِ وَنَحْوِهِمَا وَدُوْنَ المَنْهِيَّاتِ مُطْلَقاً (حَاشِيَةُ البَنَانىِ اَلجُزْءُ الأَوَّلُ ص 154)
“Sesungguhnya pengarang mengatakan ‘sebagian besar furu’ as-syari’ah’, karena yang membutuhkan niat seseungguhnya adalah sebagian dari perintah-perintah seperti shalat dan yang sejenis. Dan tidak termasuk sebagian perintah yang lain seperti memerdekakan hamba sahaya, jihad dan yang sejenis, serta larangan-larangan secara menyeluruh” (Hasyiah al-Banani juz I hal 154)

وَفَائِدَةُ خِطَابِهِمْ بِهَا عِقَابُهُمْ عَلَيْهَا إِذْ لاَ تَصِحُّ مِنْهُمْ فىِ حَالِ الْكُفْرِ لِتَوَقُّفِهَا عَلَى النِّيَّةِ الْمُتَوَقِّفَةِ عَلَى الْإِسْلاَمِ وَلاَ يُؤَاخَذُوْنَ بِهَا بَعْدَ الْإِسْلاَمِ تَرْغِيْبًا فِيْهِ

Faidah khithab pada orang-orang kafir atas furu’ as-syari’ah adalah adanya siksaan bagi mereka sebab hal tersebut. Karena furu’ as-syari’ah tidak sah mereka lakukan saat berada dalam kekufuran, sebab furu’ as-syari’ah membutuhkan niat yang keabsahannya tergantung dengan syarat islam. Mereka tidak dibebani dengan furu’ as-syari’ah setelah masuk Islam, untuk membuat mereka simpati pada Islam.
Penjelasan :
Khithab pada orang-orang kafir memiliki faedah, yakni diberlakukannya siksaan bagi mereka atas meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan. Hal ini menepis pendapat muqabil al-ashah, bahwa perbuatan yang keabsahannya tergantung dengan syarat Islam, maka khithab pada orang kafir untuk menjalankannya tidak berfaedah. Karena tidak mungkin dilakukan dalam keadaan kafir.
Seandainya ada yang mengatakan, seharusnya ada kewajiban qadla’ bagi orang kafir setelah masuk Islam, karena saat kafir mereka terkena khithab. Ditanggapi bahwa hal itu memang benar, namun as-Syari’ (pembuat syariat) telah meringankan sekaligus membuat mereka simpati pada Islam.

Pertanyaan :
Apa maksud siksaan bagi orang-orang kafir?
Jawab :
Maksudnya adalah siksaan yang diakibatkan selain kekafirannya. Yakni persoalan furu’ yang disepakati, bukan yang diperselisihkan ulama.
Referensi :
وَالمُرَادُ العِقَابُ الزَّائِدُ عَلَى عِقَابِ الكُفْرِ وَلَعَلَّ الكَلاَمِ فيِ المُتَّفَقِ عَلَيْهِ دُوْنَ المُخْتَلَفِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ63)
“Yang dikehendaki (dengan siksaan) adalah siksaan yang menjadi tambahan dari siksaan atas dosa kekufurannya. Kemungkinan pembahasan adalah dalam persoalan syariat yang disepakati, bukan yang diperselisihkan” (An-Nafahat hal 63)

Pertanyaan :
Kenapa orang-orang kafir disiksa, padahal tidak mungkin melaksanakan hal-hal yang diperintahkan saat khithab datang?
Jawab :
Karena mereka mungkin dan mampu menghilangkan penghalang berupa kekufuran, namun mereka teledor tidak menghilangkannya.
Referensi :
وَإِنَّمَا عُوْقِبَ فيِ الأَخِرَةِ مَعَ عَدَمِ اِمْكَانِ اِتْياَنِ المَأْمُوْرِ بِهِ حَالَ الخِطَابِ لِأَنَّهُمْ لمَاَّ أَمْكَنَهُمْ إِزَالَةُ الماَنِعِ وَهُوَ الكُفْرُ كاَنُوْا مُقَصِّرِيْنَ فيِ عَدَمِ إِزَالَتِهِ المَقْدُوْرَةِ لَهُمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ63)
“Sungguh orang-orang kafir disiksa di akhirat padahal tidak memungkinkan melakukan perbuatan yang diperintahkan saat ada tuntutan, karena saat mereka memungkinkan untuk menghilangkan pencegah, berupa kekafiran, mereka teledor dengan tidak menghilangkannya padahal mampu dilakukan”. (An-Nafahat hal 63)

(وَالْأَمْرُ بِالشَّيْءِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ وَالنَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِ أَمْرٌ بِضِدِّهِ) فَإِذَا قَالَ لَهُ اُسْكُنْ كَانَ نَاهِيًا لَهُ عَنِ التَّحَرُّكِ أَوْ لاَتَتَحَرَّكْ كَانَ أمِرًا لَهُ بِالسُّكُوْنِ

Perintah melakukan suatu hal adalah merupakan larangan untuk melakukan sebaliknya. Ketika ada seseorang mengatakan pada orang lain, ‘diamlah.!’, maka artinya orang tersebut melarangnya untuk bergerak. Atau mengatakan, ‘jangan bergerak..!’, maka artinya orang tersebut memerintahkannya untuk diam.

Penjelasan :
Ketika seseorang memerintahkan orang lain supaya duduk, maka ada dua kebalikan yang terkandung;
1.      Kebalikan secara dzatiyah, yakni tidak duduk.
2.      Kebalikan secara kelaziman yang disebut (dhiddu), seperti berdiri atau tidur miring. Dengan batasan setiap makna yang bertentangan dengan perbuatan yang diperintahkan.

Mengenai permasalahan ini, terdapat tiga pendapat;
1.      Perintah melakukan sebuah perbuatan merupakan larangan melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu).
2.      Perintah melakukan sebuah perbuatan bukanlah larangan melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu). Dan hanya menunjukkan secara kelaziman. Pendapat ini adalah yang shahih versi al-Imam dan pengikutnya, juga pendapat al-Amudi.
3.      Perintah melakukan sebuah perbuatan sama sekali tidak menunjukkan larangan melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu). Disampaikan oleh Ibn al-Hajib.

Contoh; suami mengatakan pada istrinya; “jika kamu melanggar perintahku, maka kamu tertalak”. Berikutnya suami mengatakan; “Jangan kamu berbicara pada Zaid !”. Namun istri tetap berbicara pada Zaid. Maka istri tidak tertalak, karena dia melanggar larangan suami, bukan perintahnya. Ini pendapat masyhur. Imam al-Ghazali mengatakan, “Ahli urf menganggap istri telah melanggar perintah”[10][28].

Pertanyaan :
Apa kandungan hukum dari perbuatan yang dilarang sebagai kebalikan dari amr (perintah) wajib dan sunnah?
Jawab :
Amr wajib menyimpulkan larangan bersifat haram atas kebalikannya. Dan Amr sunnah menyimpulkan larangan bersifat makruh dan tanzih atas kebalikannya.
Referensi :
(فاَئِدَةٌ) اَلأَمْرُ إِنْ كاَنَ لِلْوُجُوْبِ اِقْتَضَى النَّهْيَ عَنْ ضِدِّهِ عَلىَ سَبِيْلِ التَّحْرِيْمِ وَإِنْ كاَنَ لِلنَّدْبِ اِقْتَضَى النَّهْيَ عَنْ ضِدِّهِ عَلىَ سَبِيْلِ الكَرَاهَةِ وَالتَّنْزِيْهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ64)
“(Faidah) amr apabila menunjukkan wajib, maka menyimpulkan larangan bersifat haram atas kebalikannya. Dan amr apabila menunjukkan sunnah, maka menyimpulkan larangan bersifat makruh dan tanzih atas kebalikannya”. (An-Nafahat hal 64)

Pertanyaan :
Apa tsamratul khilaf (ekses dari perbedaan ulama) dalam dua kaidah, (1) Perintah (amr) melakukan sebuah perbuatan merupakan larangan (nahi) melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu), dan (2) Larangan (nahi) melakukan sebuah perbuatan merupakan perintah (amr) melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu)?.
Jawab :
Tsamratul khilaf terlihat dalam masalah ketika seorang mukallaf menyalahi perintah atau larangan, apakah nantinya disiksa sebab meninggalkan perintah saja dalam amr, dan sebab melakukan larangan saja dalam nahi, atau sekaligus sebab melakukan kebalikan dari keduanya?
Menurut pendapat pertama (mu’tamad), orang tersebut disiksa akibat melakukan larangan dan meninggalkan kebalikannya dalam nahi, dan akibat meninggalkan perintah dan melakukan kebalikannya dalam amr. Sedangkan dua pendapat berikutnya menyatakan, dia tidak disiksa kecuali akibat melakukan larangan saja dalam nahi, dan akibat meninggalkan perintah saja dalam amr.
Referensi :
ثَمْرَةُ الخِلاَفِ فيِ المَسْأَلَةِ الأُوْلىَ وَالثاَّنيِ أَعْنيِ بِهِمَا اَلأَمْرُ بِالشَّيْءِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ وَالنَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِ أَمْرٌ بِضِدِّهِ أَنَّ المُكَلَّفَ إذَا خَالَفَ هَلْ يَسْتَحِقُّ الْعِقَابَ بِتَرْكِ الْمَأْمُورِ بِهِ فَقَطْ فِي الْأَمْرِ وَبِفِعْلِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ فَقَطْ فِي النَّهْيِ أَوْ بِارْتِكَابِ الضِّدِّ أَيْضًا فَعَلىَ الأَوَّلِ المُعْتَمَدِ يُعَاقَبُ عَلىَ فِعْلِ الشَّيْءِ وَتَرْكِ ضِدِّهِ فيِ النَّهْيِ وَعَلىَ تَرْكِ الشَّيْءِ وَفِعْلِ ضِدِّهِ فيِ الأَمْرِ وَعَلىَ القَوْلَيْنِ بَعْدَهُ لاَ يُعَاقَبُ إِلاَّ عَلىَ الفِعْلِ فَقَطْ فيِ النَّهْيِ وَعَلىَ التَّرْكِ فَقَطْ فيِ الأَمْرِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ64-65)
“Tsamratul khilaf (dampak perbedaan) pada masalah pertama dan kedua, yakni perintah (amr) melakukan sebuah perbuatan merupakan larangan (nahi) melakukan sebaliknya dan kaidah larangan (nahi) melakukan sebuah perbuatan merupakan perintah (amr) melakukan perbuatan sebaliknya adalah dalam masalah ketika seorang mukallaf menyalahi perintah atau larangan, apakah nantinya disiksa sebab meninggalkan perintah saja dalam amr, dan sebab melakukan larangan saja dalam nahi, atau sekaligus sebab melakukan kebalikan dari keduanya?. Menurut pendapat pertama (mu’tamad), orang tersebut disiksa akibat melakukan larangan dan meninggalkan kebalikannya dalam nahi, dan akibat meninggalkan perintah dan melakukan kebalikannya dalam amr. Sedangkan dua pendapat berikutnya menyatakan, dia tidak disiksa kecuali akibat melakukan larangan saja dalam nahi, dan akibat meninggalkan perintah saja dalam amr”. (An-Nafahat hal 64-65)



[1][19] Al-Wajiz hal 132
[2][20] Sekaligus mengamalkan kandungannya.
[3][21] An-Nafahat hal 54
[4][22] An-Nafahat hal 55
[5][23] Sabab adalah sesuatu yang keberadaannya menetapkan adanya sebuah perkara dan ketiadaannya juga menetapkan tidak adanya perkara tersebut.
[6][24] Syarat adalah sesuatu yang ketiadaannya menetapkan tidak adanya sebuah perkara, namun keberadaannya tidak menetapkan ada dan tidaknya perkara tersebut.
[7][25]  Al-Wajiz hal 69-70
[8][26]  Mengikuti pendapat bahwa air tersebut tetap suci (Al-Wajiz hal 71)
[9][27] An-Nafahat hal 58
[10][28] At-Tamhid hal  94-97

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا