AMR (PERINTAH)
(وَالأَمْرُ اسْتِدْعَاءُ الْفِعْلِ بِالْقَوْلِ
مِمَنْ هُوَ دُونَهُ عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ)
فَإِنْ كَانَ اَلاِسْتِدْعَاءُ مِنَ المُسَاوِي
|
|
Amr
adalah tuntutan dilakukannya sebuah perbuatan dengan menggunakan ucapan dari
orang yang lebih rendah secara wajib.
Apabila permintaan ditujukan kepada
|
سُمِيَ اِلْتِمَاسًا، وَمِنَ الأَعْلَى سُمِيَ سُؤَالاً
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى سَبِيْلِ الوُجُوْبِ بِأَنْ جُوِّزَ التَّرْكُ
فَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَيْسَ بِأَمْرٍ، أَيْ فِيْ الحَقِيْقَةِ
|
|
orang yang
sejajar, maka dinamakan iltimas (permintaan). Dan bila ditujukan
kepada orang yang lebih tinggi, maka dinamakan su’al (permohonan).
Sedangkan
permintaan yang disampaikan tidak secara wajib, yakni permintaan (atas
sesuatu) yang boleh ditinggalkan, maka dzahirnya permintaan ini bukanlah amar
secara hakikat.
|
Penjelasan :
Pemilahan tuntutan menjadi amr, iltimas dan su’al
adalah istilah khusus yang digunakan ulama ahli balaghah, manthiq dan
selainnya. Sedangkan versi ahli ushul semuanya disebut amr. Seperti dalam
firman Allah swt QS. AL-A’raf:110:
فَمَاذَا تَأْمُرُونَ
“(Fir`aun berkata): "Maka apakah yang kamu
anjurkan?"
Allah swt menyebut anjuran pemuka-pemuka kaum Fir’aun
dengan amr, padahal mereka lebih rendah derajatnya, bahkan meyakini Fir’aun
sebagai Tuhan. Sehingga tidak mungkin terjadi mereka meninggikan suara di depan
Fir’aun. Penjelasan ini memperkuat pendapat Rajih (unggul) bahwa amr tidak
memerlukan syarat عُلُوٌّ (lebih
tingginya derajat penuntut) dan اِسْتِعْلاَءٌ (bernada tinggi) [1][19].
Amr secara hakikat adalah tuntutan yang wajib
dilakukan. Apabila sebuah tuntutan boleh ditinggalkan, maka tuntutan ini tidak
bisa disebut amr secara hakikat. Hanya bisa disebut amr secara majaz.
Pertanyaan :
Apa yang dimaksud ‘ucapan’ dan ‘perbuatan’ dalam
definisi di atas?
Jawab :
Maksud ‘ucapan’ adalah shighat اِفْعَلْ (berbuatlah) dan yang sejenis. Dan maksud ‘perbuatan’ dalam
definisi tersebut adalah segala hal yang bisa disebut perbuatan secara urf.
Sehingga lebih umum dari sekedar menggunakan lisan, hati, atau anggota tubuh
lainnya.
Referensi :
وَالمُرَادُ بِالقَوْلِ
صِيْغَةُ اِفْعَلْ-إِلىَ أَنْ قَالَ-وَالمُرَادُ بِالفِعْلِ مَا يُسَمَّى فِعْلاً
عُرْفاً أَعَمُّ مِنْ كَوْنِهِ فِعْلَ اللِّسَانِ أَوْ القَلْبِ أَوْ الجَوَارِحِ
(اَلنَّفَحَاتُ صـ 50)
“Maksud ‘ucapan’
adalah shighat اِفْعَلْ (berbuatlah) – s/d - Dan maksud
‘perbuatan’ adalah segala hal yang bisa disebut perbuatan secara urf. Lebih
umum dari sekedar menggunakan lisan, hati, atau anggota tubuh lainnya”
Pertanyaan :
Apakah tingginya status orang yang menuntut dan lebih
rendahnya status orang yang dituntut menjadi syarat mutlak dalam amr?
Jawab :
Ada dua istilah dalam persyaratan amr, عُلُوٌّ dan اِسْتِعْلاَءٌ.
عُلُوٌّ adalah lebih
tingginya derajat penuntut dibandingkan orang yang dituntut. Seperti tuntutan
Allah swt pada hamba-Nya. Hal ini merupakan sifat dari mutakallim (penuntut).
اِسْتِعْلاَءٌ adalah tuntutan yang bernada tinggi, meskipun sebenarnya penuntut tidak
lebih tinggi derajatnya. Seperti tuntutan fakir miskin pada orang kaya dengan
keras dan nada tinggi. Hal ini merupakan sifat dari kalam (tuntutan).
Mengenai dua syarat di atas ada empat pendapat ulama:
1.
Mensyaratkan عُلُوٌّ saja, diungkapkan oleh kelompok Mu’tazilah, Abu Ishaq
as-Syairazi, Ibn as-Shabagh dan as-Sam’ani.
2.
Mensyaratkan اِسْتِعْلاَءٌ saja, diungkapkan Abu al-Husain dari Mu’tazilah, Imam
Ar-Razi, al-Amudi dan Ibn al-Hajib.
3.
Tidak mensyaratkan keduanya, diungkapkan oleh pensyarah Jam’u al-Jawami’
dan Zakariya al-Anshari. Pendapat ini adalah yang unggul.
4.
Mensyaratkan keduanya, diungkapkan sebagian ulama.
Pengarang dalam hal ini kemungkinan mengikuti pendapat
pertama atau keempat.
Referensi :
وَالعُلُوُّ هُوَ صُدُوْرُ
الطَّلَبِ مِنَ الأَعْلَى إِلىَ الأَسْفلِ كَطَلَبِ اللهِ مِنْ عِبَادِهِ
وَالأَمِيْرِ مِنْ رَعِيَّتِهِ وَالسَّيِّدِ مِنْ عَبْدِهِ أَوْ خَادِمِهِ.
وَالاِسْتِعْلاَءُ وَهُوَ صُدُوْرُ الطَّلَبِ مِنَ الطَالِبِ بِعَظَمَةٍ وَتَعَالٍ
وَإنْ لَمْ يَكُنْ ممَّنْ يَتَّصِفُ بِصِفَةِ العُلُوِّ كَطَلَبِ الجُنْدِي مِنْ
قَائِدِهِ شَيْئاً وَلَكِنْ بِغِلْظَةٍ وَاسْتعْلاَءٍ وَكَطَلَبِ الفَقيْرِ مِنَ
الغَنِيِّ شَيْئاً بِغِلْظَةٍ وَاسْتعْلاَء لاَ بَذْلَةٍ وَتَمَسْكُنٍ.
فَالعُلُوُّ صفَة المُتَكَلِّمِ وَالاِسْتعْلاَءُ صِفَةُ الكَلاَمِ (اَلْوَجِيْزُ
صـ 132)
“Uluww adalah
keluarnya tuntutan dari yang lebih tingginya derajat kepada yang lebih rendah.
Seperti tuntutan Allah swt pada hamba-Nya, pemimpin pada rakyatnya, dan tuan
pada budak atau pembantunya. Isti’la’ adalah keluarnya tuntutan dari penuntut
dengan nada besar dan tinggi, meskipun sebenarnya penuntut tidak tinggi
derajatnya. Seperti prajurit yang menuntut komandannya, namun dengan keras dan
bernada tinggi, orang fakir yang menuntut orang kaya dengan keras dan nada
tinggi. Uluww merupakan sifat dari mutakallim (penuntut). Dan isti’la’
merupakan sifat dari kalam (tuntutan)” (Al-Wajiz hal 132).
(قَوْلُهُ مِمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ)-إِلىَ أَنْ قَالَ-فَيَكُوْنُ
المُصَنِّفُ قَدْ اعْتَبَرَ فِيْ الأَمْرِ العُلُوُّ وَهُوَ مُوَافِقٌ لِمَا جَرَى
عَلِيْهِ المُعْتَزِلَةُ وَأَبُوْ اِسْحَاقٍ الشَّيْرَزِيُّ وَابْنُ الصَّبَاغِ
وَالسَّمْعَانِيُّ وَيَحْتَمِلُ أَنَّهُ اِعْتَبَرَ فِيْهِ العُلُوُّ
وَالاِسْتِعْلاَءُ كَمَا قِيْلَ بِهِ-إِلىَ أَنْ قَالَ-وَاعْتَبَرَ فِيْهِ أَبُوْ
الحُسَيْنِ مِنَ المُعْتَزِلَةِ وَالإِمَامُ الرَّازِيُّ وَالأَمُدِيُّ وَابْنُ
الحَاجِبِ الاِسْتِعْلاَءَ فَقَطْ وَمَا جَرَى عَلِيْهِ الشَّارِحُ فِي جَمْعِ
الجَوَامِعِ عَدَمُ اعْتِبَارِ كُلٍّ مِنْهُمَا وَهُوَ الرَّاجِحُ (اَلنَّفَحَاتُ
صـ 50)
“(Ucapan
pengarang : dari orang yang lebih rendah)- s/d – maka pengarang
mempertimbangkan syarat ulluw dalam amr. Hal ini sepaham dengan pendapat yang
disampaikan kelompok Mu’tazilah, Abu Ishaq as-Syairazi, Ibn as-Shabagh dan
as-Sam’ani. Ada kemungkinan pengarang mempertimbangkan syarat ulluw dan
isti’la’ sebagaimana disampaikan sebagian pendapat - s/d- Abu al-Husain dari
Mu’tazilah, Imam Ar-Razi, al-Amudi dan Ibn al-Hajib mensyaratkan isti’la’ saja.
Sedangkan pendapat yang disampaikan pensyarah Jam’u al-Jawami’ adalah tidak
mensyaratkan keduanya, dan pendapat ini adalah yang unggul” (An-Nafahat hal 50).
Pertanyaan :
Apakah perbuatan yang sunnah (اَلمَنْدُوْبُ) termasuk sesuatu yang dituntut
(مَأمُوْرٌ بِهِ)?
Jawab :
Dalam hal ini ada dua pendapat :
1.
Tidak termasuk مَأمُوْرٌ بِهِ, karena perbuatan sunnah tidak harus dilakukan.
Diungkapkan oleh Imam Abu Bakar ar-Razi, al-Karkhi, al-Jashash, as-Syarkhasyi,
Abu al-Yasar dan Muhaqqiqin dari Ashhab as-Syafi’i. Mereka menggunakan dua
dalil : (1) Firman Allah QS. Thaha:93:
أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي
“Maka apakah
kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?"
Dari ayat ini disimpulkan bahwa meninggalkan مَأمُوْرٌ بِهِ adalah
kemaksiatan, padahal meninggalkan sunnah bukanlah kemaksiatan. (2) Sabda Nabi
saw :
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ
“Jikalau saja
Aku tidak memberatkan umatku,
pastilah Aku
perintahkan mereka bersiwak”
Dari hadits ini disimpulkan bahwa siwak yang hukumnya sunnah adalah sesuatu
yang tidak dituntut (مَأمُوْرٌ بِهِ). Juga dalam perbuatan sunnah tidak ada مَشَقَّةٌ (berat dilakukan) berbeda dengan مَأمُوْرٌ بِهِ.
2.
Termasuk مَأمُوْرٌ بِهِ. Diungkapkan oleh Al-Qadhi Abu Bakar dan segolongan
ulama lain. Dua argument mereka sampaikan. (1) Perbuatan sunnah (اَلمَنْدُوْبُ) disepakati merupakan ketaatan (طَاعَةٌ), sedangkan ketaatan merupakan perbuatan yang
dituntut untuk dilakukan (مَأمُوْرٌ بِهِ). (2) Ahli lughat menyepakati bahwa amr terbagi
menjadi amr wajib dan sunnah (اَلمَنْدُوْبُ).
Adanya pembagian ini mengindikasikan adanya titik persamaan, bahwa keduanya
adalah مَأمُوْرٌ بِهِ.
Referensi :
(قَوْلُهُ عَلَى سَبِيْلِ الوُجُوْبِ) أَيْ التَّحَتُّمِ –إِلىَ
أَنْ قَالَ-فَعَلَى هَذَا اَلمَنْدُوْبُ لَيْسَ مَأْمُوْرًا بِهِ لِعَدَمِ
تَحَتُّمِ أَمْرِهِ وَبِهِ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ الرَّازِيُّ وَالكَرْخِيُّ
وَالجَصَّاصُ وَشَمْسُ الأَئِمَّةِ السَّرْخَسِي وَصَدْرُ الإِسْلاَمِ أَبُو
اليَسَرِ وَالمُحَقِّقُوْنَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ مُسْتَدِلِّيْنَ
بِأَنَّهُ لُوْ كَانَ مَأْمُوْرًا لَكاَنَ تَرْكُهُ مَعْصِيَةً قَالَ تَعاَلَى
أَفَعَصَيْتَ أَمْرِيْ فَيَلْزَمُ أَنْ يَكُوْنَ مَا فُرِضَ مُنْدُوْباً وَاجِباً
بِأَنَّ السِّوَاكَ مَنْدُوْبٌ وَالحاَلُ لَيْسَ بِمَأْمُوْرٍ بِهِ لِقَوْلِهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ وَأَيْضًا اَلمَنْدُوْبُ لاَ مَشَقَّةَ فِيْهِ وَفِي
المَأْمُوْرِ بِهِ مَشَقَّةٌ لِلْحَدِيْثِ اَلمُتَقَدِّمِ وَذَهَبَ القاَضِي
أَبُوْ بَكْرٍ وَجَمَاعَةٌ عَلىَ أَنَّ اَلمَنْدُوْبَ مَأْمُوْرٌ بِهِ
لِوَجْهَيْنِ اَلأَوَّلُ أَنَّ المَنْدُوْبَ طَاعَةٌ إِجْمَاعًا وَالطَّاعَةُ فِعْلُ
المَأْمُوْرِ بِهِ اَلثَّانيِ اِتِّفَاقُ أَهْلِ اللُّغَةِ عَلَى أَنَّ الأَمْرَ
يَنْقَسِمُ إِلىَ أَمْرِ إِيْجَابٍ وَأَمْرِ نَدْبٍ وَمَوْرِدُ القِسْمَةِ
مُشْتَرَكٌ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 50)
“Ucapan pengarang : secara wajib) artinya harus dilakukan – s/d – mengikuti
penafsiran ini, perbuatan sunnah tidak termasuk perbuatan yang diperintahkan
(ma’mur bih), karena perbuatan sunnah tidak harus dilakukan. Diungkapkan oleh
Imam Abu Bakar ar-Razi, al-Karkhi, al-Jashash, as-Syarkhasyi, Abu al-Yasar dan
Muhaqqiqin dari Ashhab as-Syafi’i. Mereka berdalil, seandainya perbuatan sunnah
adalah ma’mur bih, maka meninggalkannya disebut kemaksiatan. Allah berfirman ;
“Maka apakah kamu telah mendurhakai
perintahku?”. Sehingga menetapkan apa yang diperkirakan sunnah menjadi wajib.
Bersiwak sunnah hukumnya, dan bersiwak bukan ma’mur bih berdasarkan sabda Nabi
saw ; “Jikalau saja Aku tidak memberatkan umatku, pastilah Aku perintahkan
mereka bersiwak”. Di dalam perbuatan sunnah juga tidak ada unsur berat, dan
dalam ma’mur bih ada unsur berat berdasarkan hadits tersebut. Al-Qadhi Abu
Bakar dan segolongan ulama lain memilih pendapat bahwa perbuatan sunnah adalah
ma’mur bih dengan dua alasan. (1) Perbuatan sunnah disepakati merupakan
ketaatan, sedangkan ketaatan merupakan perbuatan ma’mur bih. (2) Ahli lughat
menyepakati bahwa amr terbagi menjadi amr wajib dan sunnah. Adanya pembagian
ini mengindikasikan adanya isytirak (titik persamaan bahwa keduanya adalah
ma’mur bih)” (An-Nafahat
hal 50).
(وَالصِّيغَةُ الدَّالَّةُ
عَلَيْهِ اِفْعَلْ) نَحْوُ اِضْرِبْ وَأَكْرِمْ وَاشْرَبْ
(وَهِيَ عِنْدَ الإِطْلاَقِ
وَالتَّجَرُّدِ عَنِ الْقَرِينَةِ) الصَّارِفَةِ عَنْ طَلَبِ الفِعْلِ (تُحْمَلُ
عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الوُجُوْبِ، نَحْوُ أَقِيمُوْا الصَّلَاةَ (إِلاَّ مَا
دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ
مِنْهُ النَّدْبُ أَوِ الإِبَاحَةُ
|
|
Shighat yang
menunjukkan amr adalah اِفْعَلْ (berbuatlah), contoh اِضْرِبْ (pukullah), أَكْرِمْ (mulyakanlah), اِشْرَبْ (minumlah).
Shighat ini
ketika dimutlakkan dan tanpa disertai qarinah yang memalingkan dari tuntutan
dilakukannya sebuah perbuatan, maka diarahkan pada wajib, contoh أَقِيمُوا الصَّلَاةَ(dirikanlah
shalat) QS. Al-An’am:72. Kecuali shighat yang diarahkan oleh sebuah dalil
bahwa yang dikehendaki dari shighat tersebut adalah sunnah atau ibahah (mubah), maka harus
|
(فَيُحْمَلُ عَلَيْهِ) أَيْ
عَلَى النَّدْبِ أَوْ الإِباَحَةِ.
مِثاَلُ النَّدْبِ: فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ
فِيهِمْ خَيْرًا وَمِثَالُ الإِبَاحَةِ: وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا،
وَقَدْ أَجْمَعُوْا عَلَى عَدَمِ وُجُوْبِ الكِتَابَةِ وَالاِصْطِياَدِ
|
|
diarahkan pada
sunnah atau ibahah. Contoh sunnah QS. An-Nur :33: (Dan buatlah kontrak
kitabah pada hamba-hamba itu, jika kalian meyakini mereka mampu dan dapat dipercaya).
Contoh ibahah QS. Al-Maidah:02: (Dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu).
Dalam
hal ini ulama telah menyepakati (ijma) mengenai tidak wajibnya kontrak
kitabah dan berburu.
|
Penjelasan :
Shighat yang menunjukkan amr adalah اِفْعَلْ dan yang
semakna. Shighat ini ketika dimutlakkan (tanpa disertai qarinah) diarahkan pada
wajib. Kecuali ada dalil yang mengarahkannya ke sunnah atau ibahah, maka harus
diarahkan pada sunnah atau ibahah.
Hal ini selaras dengan pendapat Jumhur bahwa amr
secara hakikat menunjukkan makna wajib dan mungkin menunjukkan makna selain
wajib secara majaz.
Pertanyaan :
Apa sajakah shighat amr selain اِفْعَلْ?dan kenapa pengarang menggunakan kata اِفْعَلْ ?
Jawab :
Shighat amr adalah setiap shighat yang menunjukkan
amr, seperti اِفْعِلِيْ، اِفْعِلاَ، اِفْعِلُوْا، اِسْتَفْعِلْ، اِنْفَعِلْ juga fi’il mudhari’ yang ditambahi lam amr contoh لِيَفْعِلْ dan isim fi’il
amr contoh صَهْ. Pengarang menggunakan redaksi ‘اِفْعَلْ’ dikarenakan shighat ini yang banyak digunakan.
Referensi :
(قَوْلُهُ اِفْعَلْ) قاَلَ فِي شَرْحِ جَمْعِ الجَوَامِعِ
وَالْمُرَادُ بِهِ كُلُّ مَا يَدُلُّ عَلَى الْأَمْرِ مِنْ أَيِّ صِيَغِةٍ
فَيَشْمَلُ اِفْعِلِيْ، اِفْعِلاَ، اِفْعِلُوْا، اِسْتَفْعِلْ، اِنْفَعِلْ وَغَيْرَ
ذَلِكَ قاَلَ الإِسْنَوِيْ يَقُوْمُ مَقَامَهاَ ِاسْمَ فِعْلِ الأَمْرِ
وَالْمُضَارِعَ الْمَقْرُونَ بِاللَّامِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 51)
“(Ucapan
pengarang: اِفْعَلْ), Al-Mahali berkata dalam Jam’ul
al-Jawami’; ‘Yang dikehendaki dengan shighat amr adalah setiap shighat yang
menunjukkan amr dari shighat apapun. Memuat اِفْعِلِيْ، اِفْعِلاَ، اِفْعِلُوْا، اِسْتَفْعِلْ،
اِنْفَعِلْ dan lain-lain.
Al-Isnawi berkata; ‘menempati posisi shighat amr adalah isim fi’il amr dan
mudhari’ yang ditambahi lam” (An-Nafahat
hal 51).
وَإِنَّمَا عَبَّرَ بِافْعَلْ
لِأَنَّهُ الْغَالِبُ اسْتِعْمَالًا فِيهِ (حَاشِيَةُ العَطَّارِ اَلجُزْءُ
الأَوَلُ صـ649)
“Pengarang
menggunakan redaksi ‘اِفْعَلْ’ dikarenakan shighat ini yang banyak digunakan”
(Hasyiah al-Atthar juz I hal 649)
Pertanyaan :
Bagaimana posisi amr sebelum ditemukan qarinah (bukti) yang memalingkan dari
makna hakikatnya?
Jawab :
Menurut pendapat Ashah (kuat), diwajibkan meyakini
makna wajib pada amr[2][20] sebelum ditemukan qarinah yang mengarahkan makna
selain wajib. Meskipun ada kemungkinan di kemudian hari ditemukan qarinah yang
mengarahkan pada makna sunnah atau makna-makna majaz yang lain.
Referensi :
(وَفِي وُجُوبِ اعْتِقَادِ الْوُجُوبِ) فِي الْمَطْلُوبِ بِهَا
(قَبْلَ الْبَحْثِ) عَمَّا يَصْرِفُهَا عَنْهُ إنْ كَانَ (خِلَافَ الْعَامِّ) هَلْ
يَجِبُ اعْتِقَادُ عُمُومِهِ حَتَّى يُتَمَسَّكَ بِهِ قَبْلَ الْبَحْثِ عَنْ
الْمُخَصِّصِ الْأَصَحُّ نَعَمْ (شَرْحُ المَحَلِي عَلَى جَمْعِ الجَوَامِعِ
اَلجُزْءُ الأَوَّلُ صـ 477)
“Dalam hal wajibnya meyakini
makna wajib pada amr sebelum meneliti qarinah yang mengarahkan makna selain
wajib jika memang ada, terdapat perbedaan ulama dalam lafadz ‘am. Apakah wajib
diyakini makna umumnya sehingga dijadikan pegangan, sebelum meneliti adanya
dalil pentakhsish. Menurut pendapat Ashah, benar (hukumnya wajib)” (Syarah
al-Mahalli ‘ala Jam’i al-Jawami’ juz I hal 477).
(وَلاَ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ
عَلَى الصَّحِيحِ) لِأَنَّ ماَ قُصِدَ بِهِ مِنْ تَحْصِيْلِ المَأْمُوْرِ بِهِ
يَتَحَقَّقُ بِالمَرَّةِ الوَاحِدَةِ، وَالأَصْلُ
|
|
Amr
tidak menuntut adanya pengulangan (atas perbuatan yang diperintahkan) menurut
pendapat shahih. Karena tujuan dari amr, yakni berupa merealisasikan perbuatan
yang
|
بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ مِمَّا زَادَ عَلَيْهَا
(إِِلاَّ إِِذاَ دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى قَصْدِ التَّكْرَارِ) فَيُعْمَلُ بِهِ،
كَالأَمْرِ بِالصَّلَوَاتِ الخَمْسِ، وَالأَمْرِ بِصَوْمِ رَمَضَانَ
وَمُقَابِلُ الصَّحِيْحِ أَنَّهُ يَقْتَضِي
التَّكْرَارِ فَيَسْتَوْعَبُ المَأْمُوْرُ بِالمَطْلُوْبِ مَا يُمْكِنُهُ مِنْ
زَمَانِ العُمْرِ حَيْثُ لَا بَياَنَ لِأَمَدِ المَأْمُوْرِ بِهِ لِانْتِفَاءِ
مُرَجِّحِ بَعْضِهِ عَلَى بَعْضٍ
|
|
diperintahkan,
sudah tercapai dengan sekali dilakukan. Dan hukum asal menyatakan bebas dari
tanggungan lebih dari satu kali. Kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan
tujuan pengulangan, maka dalil inipun harus diamalkan. Contoh, perintah
menjalankan shalat lima waktu dan perintah melakukan puasa Ramadhan.
Menurut
muqabilus shahih, amr menuntut adanya pengulangan, sehingga orang yang
diperintah harus menjalankannya sebisa mungkin selama hidupnya. Selama tidak
ada penjelasan tentang masa berlakunya sesuatu yang diperintahkan. Karena di
sini tidak ada faktor yang mengunggulkan antara satu dengan yang lain.
|
Penjelasan :
Substansi amr adalah mewujudkan مَاهِيِةٌ (hakikat dan tujuannya), tidak menetapkan pengulangan
perbuatan yang diperintahkan dan juga tidak menuntut dilakukan satu kali
menurut pendapat shahih. Tujuan dasar dari amr adalah terealisasinya perbuatan
yang diperintahkan (مَأمُوْرٌ بِهِ), sedangkan dilakukan satu kali merupakan keharusan (ضَرُوْرِيَّةٌ) untuk mewujudkan tujuan
tersebut. Pendapat kedua (muqabil as-shahih) menyatakan bahwa amr menetapkan
pengulangan, dan diarahkan satu kali dengan adanya qarinah. Diungkapkan oleh
Al-Ustadz Abu Ishaq al-Isfirayni, Abu Hatim al-Qazwayni dan sekelompok ulama
lainnya. Pendapat ketiga menyatakan, amr menetapkan pengulangan apabila diikat
dengan syarat atau shifat. Contoh QS. Al-Maidah:06:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu
junub maka mandilah”.
Dan QS. An-Nuur : 02 :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa pengulangan mandi dan dera terikat dan
disesuaikan dengan diulanginya janabat dan zina.
Mengikuti pendapat pertama, meskipun tidak menetapkan
pengulangan, namun apabila ditemukan dalil di luar amr yang menuntut
pengulangan, maka harus diamalkan. Contoh perintah shalat, dimana dalil
kewajiban mengulangi shalat lima waktu adalah hadits shahih Bukhari-Muslim:
فَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِي لَيْلَةَ
الإِسْرَاءِ خَمْسِينَ صَلاَةً فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ
وَأَسْأَلُهُ التَّخْفِيفَ حَتَّى جَعَلَهَا
خَمْسًا فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
“Allah mewajibkan shalat lima
puluh kali pada umatku di malam Isra’. Kemudian aku tidak henti-hentinya
menawar dan aku minta kepadaNya keringanan, hingga Allah swt menjadikan 5 kali
sehari semalam”
Contoh lain adalah puasa Ramadhan. Dalil wajib
diulanginya puasa Ramadhan adalah QS. Al-Baqarah:185:
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
dan HR Bukhari-Muslim:
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah kalian karena melihat tanggal (hilal)
dan berbukalah (juga) karena melihatnya”
Ayat dan hadits di atas menyimpulkan bahwa puasa
dilaksanakan setiap melihat hilal bulan Ramadhan, dikarenakan puasa dalam dua
dalil tersebut digantungkan dengan melihat hilal [3][21].
Pertanyaan :
Apa maksud ‘harus menjalankannya sebisa mungkin selama
hidupnya’ menurut pendapat muqabil as-shahih?
Jawab :
Maksudnya adalah menjalankan di setiap waktu dengan
tanpa disertai adanya مَشَقَّةٌ لاَ تُحْتَمَلُ عَادَةً (kesulitan yang lazimnya tidak
mampu ditanggung). Sehingga mengecualikan waktu-waktu dzarurat, seperti waktu
untuk makan, minum, tidur dan lain-lain.
Referensi :
(قَوْلُهُ مَا يُمْكِنُهُ) أَيْ مِنْ غَيْرِ مَشَقَّةٍ لاَ
تُحْتَمَلُ عَادَةً فِيْمَا يَظْهَرُ وَاحْتَرَزَ بِهَذَا عَنْ أَوْقَاتِ
الضَّرُوْرَةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَنَوْمٍ وَغَيْرِهَا (اَلنَّفَحَاتُ صـ 55)
“(Ucapan
pensyarah : menjalankannya sebisa mungkin selama hidupnya) artinya adalah
dengan tanpa disertai adanya kesulitan yang lazimnya tidak mampu ditanggung
menurut dzahirnya. Sehingga hal ini mengecualikan waktu-waktu dzarurat, seperti
waktu untuk makan, minum, tidur dan lain-lain” (An-Nafahat hal 55).
(وَلاَيَقْتَضِى الْفَوْرَ) لِأَنَّ الْغَرَضَ
مِنْهُ إِيْجَادُ الْفِعْلِ مِنْ غَيْرِ اخْتِصَاصٍ بِالزَّمَانِ الْأَوَّلِ
دُوْنَ الزَّمَانِ الثَّانِى وَقِيْلَ يَقْتَضِى الْفَوْرَ وَعَلىَ ذلِكَ
يُحْمَلُ قَوْلُ مَنْ يَقُوْلُ إِنَّهُ يَقْتَضِى التِّكْرَارَ
|
|
Amr juga tidak
menuntut faur (segera dijalankan), karena tujuan dari amr adalah
terealisasinya perbuatan tanpa terikat dengan ketentuan di waktu awal, bukan
waktu yang kedua (setelahnya). Menurut sebagian pendapat, amr menuntut
segera dijalankan. Dan pada pendapat inilah, jalur arahan versi yang
menyatakan bahwa amr menuntut adanya pengulangan.
|
Penjelasan :
Menurut pensyarah, selaras dengan amr yang tidak
menuntut faur (segera dilakukannya
perbuatan yang dituntut), maka amr juga tidak menuntut tarakhi (ditundanya perbuatan tersebut). Amr hanya menunjukkan
tuntutan dilakukannya sebuah perbuatan. Pendapat ini diungkapkan Imam
As-Syafi’i dan Ashhabnya dan dipilih oleh al-Amudi, al-Baidhawi dan Ibn Hajib
serta dishahihkan dalam kitab Jam’u al-Jawami’. Pendapat kedua menyatakan bahwa
amr menuntut faur. Diungkapkan oleh
sebagian Ashhab as-Syafi’i, dan al-Karkhi dari kalangan Hanafiyah. Mengambil
dalil QS. Al-A’raf : 12 :
مَا
مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ
"Apakah
yang menghalangimu untuk bersujud
(kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu?".
Dalam ayat ini Allah swt mencela Iblis atas
keengganannya bersujud kepada Nabi Adam as seketika itu, sedangkan amr dalam
hal ini bersifat mutlak. Seandainya amr tidak menuntut faur, maka tentunya tidak ada celaan bagi Iblis [4][22].
Pertanyaan :
Menurut pendapat bahwa amr tidak menetapkan faur (disegerakan di waktu awal),
diperbolehkan melaksanakan perbuatan yang diperintahkan di setiap waktu dari
semua waktu yang ditentukan syara’. Apakah wajib melakukan azm (niat/bertekad) untuk melaksanakannya, ketika hendak
mengakhirkannya dari waktu pertama?
Jawab :
Menurut Jumhur tidak berkewajiban azm untuk melaksanakannya ketika hendak mengakhirkan dari waktu
pertama. Dan mencukupi dilaksanakan pada waktu apapun, baik ada azm atau tidak, selama masih dalam batas
waktu yang ditentukan syara’.
Referensi :
إِذَا أَرَادَ أَنْ يُؤَخِّرَ
الفِعْلَ إلَى الْوَقْتِ الثَّانيِ بَدَلاً مِنَ الْوَقْتِ الأَوَّلِ هَلْ يَجِبُ
عَلَيْهِ أَنْ يَعْزِمِ عَلَى الْفِعْلِ فيِ ثَانيِ الوَقْتِ لِيَجُوْزَ لَهُ
التَّأْخِيرُ أَمْ لاَ يَجِبُ عَلَيْهِ العَزْمُ؟ اَلجُمْهُوْرُ عَلَى أَنَّهُ لاَ
يَجِبُ عَلَيْهِ العَزْمُ عَلَى الْفِعْلِ فيِ الْوَقْتِ الثَّانيِ وَفِي أَيِّ
وَقْتٍ فَعَلَ المَأْمُوْرَ بِهِ أَجْزَأَهُ عَزَمَ أَوْ لَمْ يَعْزِمْ اهـ
(اَلْوَجِيْزُ صـ 144)
“Ketika seorang mukallaf hendak mengakhirkan perbuatan yang diperintahkan
di waktu kedua, sebagai ganti dari waktu pertama, apakah wajib baginya
melakukan ‘azm untuk melaksanakannya di waktu kedua agar diperbolehkan
mengakhirkannya, ataukah tidak wajib melakukan ‘azm? Menurut Jumhur tidak
berkewajiban ‘azm untuk melaksanakannya ketika hendak mengakhirkan di waktu
kedua. Di waktu apapun perbuatan tersebut dilakukan, maka hukumnya mencukupi
baginya, baik ada ‘azm atau tidak (selama masih dalam batas waktu yang
ditentukan)” (Al-Wajiz hal 144).
(وَالْأَمْرُ بِاِيْجَادِ الْفِعْلِ أَمْرٌ بِهِ
وَبِمَا لاَ يَتِمُّ الْفِعْلُ إِلاَّ بِهِ كَأَمْرٍ بِالصَّلَوَاتِ أَمْرٌ
بِالطَّهَارَةِ الْمُؤَدِّيَةِ اِلَيْهَا) فَإِنَّ الصَّلاَةَ لاَتَصِحُّ
بِدُوْنِهَا
|
|
Perintah
untuk merealisasikan sebuah perbuatan merupakan perintah atas perbuatan
tersebut, sekaligus atas segala hal yang menjadi penyempurnanya. Contoh
perintah menjalankan shalat adalah sekaligus merupakan perintah melakukan
bersuci yang menjadi perantaranya, dikarenakan shalat tidak sah hukumnya
tanpa bersuci.
|
Penjelasan :
Hal-hal yang menjadi penyempurna sebuah kewajiban,
baik berupa sabab[5][23] atau syarat[6][24] menurut pendapat ashah dihukumi wajib dengan
dua syarat :
1. Kewajiban bersifat mutlak. Mengecualikan kewajiban
yang status wajibnya masih tergantung pada adanya perkara lain. Contohnya adalah
zakat, dimana kewajibannya tergantung atas kepemilikan satu nishab. Maka dalam
hal ini seseorang tidak bisa ditetapkan wajib mengusahakan harta satu nishab.
2. Penyempurna kewajiban tersebut dalam batas kemampuan
manusia (اَلمَقْدُوْرُ لِلْمُكَلَّفْ).
Mengecualikan hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia. Adakalanya karena
mustahil, seperti kuasa dan kehendak Allah swt yang menjadi penentu ada dan
tidaknya perbuatan manusia. Ada juga karena faktor kesulitan di dalamnya
meskipun mungkin diwujudkan, seperti mengusahakan 40 orang dalam shalat Jum’at [7][25].
Pertanyaan :
Apakah wajib meninggalkan hal-hal yang mubah (boleh
dilakukan) apabila hal itu menjadi penyempurna meninggalkan perbuatan haram?
Jawab :
Wajib. Contoh, air sedikit yang kemasukan najis[8][26]. Memakai keseluruhan air tersebut dihukumi haram,
karena meninggalkan pemakaian air secara keseluruhan menjadi satu-satunya cara
agar terhindar dari memakai najis. Contoh lain, ketika seorang suami menjumpai
istrinya bercampur dengan wanita lain, hingga sulit dibedakan karena
kemiripannya. Maka suami haram menyetubuhi keseluruhan wanita tersebut. Karena
dengan cara inilah, suami akan terhindar dari menyetubuhi wanita lain yang
diharamkan.
Referensi :
(فَلَوْ تَعَذَّرَ تَرْكُ الْمُحَرَّمِ إلَّا بِتَرْكِ غَيْرِهِ)
مِنْ الْجَائِزِ كَمَاءٍ قَلِيلٍ وَقَعَ فِيهِ بَوْلٌ (وَجَبَ) تَرْكُ ذَلِكَ
الْغَيْرِ لِتَوَقُّفِ تَرْكِ الْمُحَرَّمِ الَّذِي هُوَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ (أَوْ
اخْتَلَطَتْ ) أَيْ اشْتَبَهَتْ (مَنْكُوحَةٌ ) لِرَجُلٍ (بِأَجْنَبِيَّةٍ) مِنْهُ
(حُرِّمَتَا) أَيْ حُرِّمَ قُرْبَانُهُمَا عَلَيْهِ (شَرْحُ الجَلاَلِ المَحَلِي
عَلَى جَمْعِ الجَوَامِعِ اَلجُزْءُ الأَوَلُ صـ255)
“Apabila
perbuatan haram sulit ditinggalkan kecuali dengan meninggalkan perkara lain
dari hal-hal mubah (boleh dikerjakan), seperti air sedikit yang kemasukan air
kencing, maka wajib meninggalkan perkara lain tersebut, karena meninggalkan
sesuatu yang diharamkan yang hukumnya wajib, tergantung dengan ditinggalkannya
perkara tersebut. Atau bercampur (menjadi sulit dibedakan) antara istri yang
dinikahi dari seorang suami dengan wanita lain, Maka keduanya diharamkan bagi
suami, artinya haram bagi suami mendekati keduanya”. (Syarah al-Mahalli ‘ala
Jam’i al-Jawami’ juz I hal 255).
(وَإِذَا فُعِلَ) بِالْبِنَاءِ لِلْمَفْعُوْلِ أىِ
الْمَأْمُوْرِ بِهِ (يَخْرُجُ الْمَأْمُوْرُ عَنِ الْعُهْدَةِ) أَىْ
عُهْدَةِ الْأَمْرِ وَيَتَّصِفُ
الْفِعْلُ بِالْإِجْزَاءِ
|
|
Pada saat
perbuatan yang diperintahkan sudah dilaksanakan, maka orang yang diperintah
dinyatakan lepas dari tuntutan, serta perbuatan yang telah dilakukan
dikategorikan ijza’ (mencukupi).
|
Penjelasan
:
Dilaksanakannya
perbuatan yang diperintahkan (مَأمُوْرٌ بِهِ)
sesuai dengan ketentuan syara’ melepaskan seseorang dari tuntutan amr. Artinya,
melakukan perbuatan tersebut menetapkan status ijza’ (mencukupi). Pendapat rajih (unggul) ini berpijak dari
pengertian ijza’ yang didefinisikan
dengan اَلكِفَايَةُ فيِ سُقُوْطِ الطَّلَبِ (mencukupi dalam melepaskan tuntutan). Karena seandainya amr
masih tetap mengikat perbuatan yang dikerjakan setelah perbuatan tersebut
terlaksana, maka hal tersebut sama halnya menuntut sesuatu yang sudah berhasil
ditunaikan.
Menurut sebagian pendapat, melakukan perbuatan
tersebut tidak menetapkan ijza’.
Versi ini berpijak pada pendapat bahwa ijza’
adalah إِسْقاَطُ القَضَاءِ (menggugurkan tuntutan qadla’).
Karena bisa jadi perbuatan yang telah dikerjakan masih belum melepaskan
seseorang dari tuntutan qadla’ atau masih butuh dikerjakan untuk kedua kalinya.
Seperti shalat dari seseorang yang menyangka suci, namun kemudian terbukti
nyata telah berhadats [9][27].
Pertanyaan :
Apa makna pengertian bahwa ijza’ adalah اَلكِفَايَةُ فيِ سُقُوْطِ الطَّلَبِ (mencukupi dalam melepaskan
tuntutan)?
Jawab :
Maknanya, khithab yang pada awalnya berhubungan dengan
perbuatan mukallaf dengan cara tertentu, apabila dikerjakan sesuai dengan cara
dan ketentuan tersebut, maka terputuslah ikatan khithab tersebut dari dirinya.
Referensi :
الْإِجْزَاءُ هو
الِاكْتِفَاءُ بِالْفِعْلِ في سُقُوطِ الْأَمْرِ وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْخِطَابَ
مُتَعَلِّقٌ بِفِعْلِهِ عَلىَ وَجْهٍ مَخْصُوصٍ فإذا أتى الْمُكَلَّفُ بِهِ عَلىَ
ذَلِكَ الْوَجْهِ انْقَطَعَ عنه تَعَلُّقُ الْخِطَابِ وَهَذَا هُوَ عَلىَ مَذْهَبِ
الْمُتَكَلِّمِينَ (اَلبَحْرُ المُحِيْطُ اَلجُزْءُ الأَوَّلُ ص 255)
“Al-Ijza’ adalah mencukupinya melakukan perbuatan yang dituntut untuk
melepaskan amr. Artinya, sesungguhnya khithab berhubungan dengan perbuatan
mukallaf dengan cara tertentu, sehingga apabila mukallaf melakukannya sesuai
dengan ketentuan tersebut, maka terputuslah ikatan khithab tersebut dari
dirinya. Ini adalah pendapat ulama Mutakallimin” (Al-Bahr al-Muhith juz I hal
255)
(الَّذِى يَدْخُلُ فِى الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ وَمَا
لاَيَدْخُلُ) هَذِهِ تَرْجَمَةٌ (يَدْخُلُ فىِ خِطَابِ اللهِ تَعَالَى
المُؤْمِنُوْنَ) وَسَيَأْتىِ الْكَلاَمُ فىِ الْكُفَّارِ (وَالسَّاهِي
وَالصَّبِي وَالْمَجْنُوْنُ غَيْرُ دَاخِلِيْنَ فِى الْخِطَابِ) لاِنْتِفَاءِ
التَّكْلِيْفِ عَنْهُمْ
|
|
Orang yang masuk dan yang tidak masuk
dalam amr dan nahi
Kaum mukmin masuk
dalam khithab Allah swt, sedangkan pembahasan mengenai orang-orang kafir akan
diulas di bawah nanti. Orang yang lupa, anak kecil dan orang gila, semuanya
tidak masuk dalam khithab. Disebabkan tidak adanya taklif pada diri mereka.
|
Penjelasan :
Termasuk mereka yang terkena khithab adalah orang
mukmin, laki-laki dan perempuan. Yakni mereka yang sudah mencapai baligh dan
berakal. Dan ada tiga orang yang tidak terkena khithab;
1. اَلسَّاهِي atau اَلغَافِلُ,
yakni orang yang tidak mengetahui. Di antaranya orang tidur dan lupa.
2. Anak kecil, meskipun sudah menginjak usia tamyiz.
3. Orang gila, yakni cacat pada akal yang mencegah untuk
berbuat dan berucap sesuai jalan berpikir normal secara konsisten.
Pertanyaan :
Apa perbedaan السَّاهِي dan النَّاسِي?
Jawab :
النَّاسِي adalah keadaan lupa yang kembali menjadi teringat
ketika diingatkan. Sedangkan السَّاهِي kebalikannya
(tidak perlu diingatkan).
Dalam kitab lain dijelaskan, السَّهْوُ adalah lupa atas sebuah pengetahuan, namun
hanya sebentar dan akan teringat jika diingatkan. Sedangkan النِّسْيَانِ adalah hilangnya pengetahuan dalam waktu lama dan
untuk mengembalikannya butuh diulangi dari awal.
Referensi :
وَفَرَّقُوْا بَيْنَ
النَّاسِي والسَّاهِي بِأَنََّ النَّاسِيَ إِذَا ذَكَرْتَهُ تَذَكَّرَ وَالسَّاهِي
بِخِلاَفِهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ59)
“Ulama
membedakan النَّاسِي danالسَّاهِي bahwa النَّاسِي ketika kamu mengingatkannya, maka akan teringat dan السَّاهِي sebaliknya” (An-Nafahat hal 59).
(وَالسَّهْوُ الْغَفْلَةُ
عَنْ الْمَعْلُومِ الْحَاصِلِ فَيَتَنَبَّهُ لَهُ بِأَدْنَى تَنْبِيهٍ بِخِلاَفِ
النِّسْيَانِ فَهُوَ زَوَالُ الْمَعْلُومِ فَيَسْتَأْنِفُ تَحْصِيلَهُ-إِلىَ أَنْ
قَالَ-ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّهُ إِنْ قَصُرَ زَمَنُ الزَّوَالِ سُمِيَ
سَهْوًا وَإِلاَّ فَنِسْيَاناً. قَالَ وَهَذَا أَحْسَنُ مَا فَرَّقَ بِهِ
بَيْنَهُمَا (غَايَةُ الوُصُوْلِ صـ23)
“السَّهْوُ adalah lupa atas sebuah pengetahuan yang
sudah dihasilkan, dan akan teringat jika diingatkan dengan cara paling ringan.
Sedangkan النِّسْيَانِ adalah hilangnya
pengetahuan dan membutuhkan untuk mengulanginya dari awal -sd- kemudian
Al-Barmawi membedakan antara keduanya, bahwasanya apabila sebentar masa
hilangnya pengetahuan, maka disebut السَّهْوُ, dan jika tidak
sebentar (lama), disebut النِّسْيَانِ.
Beliau mengatakan, ‘ini adalah pembedaan terbaik antara keduanya’” (Ghayah
al-Wushul hal. 23).
وَيُؤْمَرُ السَّاهِى بَعْدَ ذَهَابِ السَّهْوِ
عَنْهُ بِجَبْرِ خَلَلِ السَّهْوِ كَقَضَاءِ مَا فَاتَهُ مِنَ الصَّلاَةِ
وَضَمَانِ مَا أَتْلَفَهُ مِنَ الْمَالِ
|
|
Orang
yang lupa setelah sadar diperintahkan mengganti kekurangan akibat dari
lupanya, seperti mengqadla’i shalat yang ditinggalkan dan mengganti harta
benda yang dirusakannya.
|
Penjelasan
:
Hal-hal yang wajib
dilakukan olehالسَّاهِي (orang yang lupa) setelah kembali sadar adalah
mengganti kewajiban yang ditinggalkan seperti shalat dan puasa, serta mengganti
kerugian yang diperbuat pada orang lain, seperti merusak harta orang lain.
Sedangkan yang wajib dilakukan anak kecil ketika baligh dan orang gila setelah
akalnya kembali adalah mengganti rugi kerusakan yang diperbuat semasa kecil dan
gilanya, namun tidak diperintahkan mengganti shalat yang ditinggalkan.
Pertanyaan
:
Mengapa السَّاهِي yang dinyatakan tidak terkena khithab, tetap wajib
mengganti shalat yang ditinggalkan dan mengganti rugi kerusakan yang
ditimbulkan?
Jawab :
Karena sabab
yang ditetapkan as-Syari’ (pembuat syariat) dan menetapkan kewajiban shalat dan
mengganti rugi kerusakan telah wujud terlebih dahulu. Sabab dari kewajiban shalat adalah masuknya waktu dan sabab dari kewajiban mengganti rugi
adalah merusak harta orang lain. Dan sabab
ini termasuk bagian dari hal-hal yang terkait dengan khithab wadl’i.
Referensi :
إِذَا كَانَ السَّاهِي غَيْرَ
مُخَاطَبٍ فَلِمَ وَجَبَ عَلَيْهِ القَضَاءُ وَضَمَانُ مَا أَتْلَفَهُ؟ وَأَجَابَ
بِأَنَّهُ لاَ يَقَدَحُ فيِ امْتِنَاعِ التَّكْلِيْفِ حَالَةَ السَّهْوِ لِأَنَّ
الأَمْرَ المَذْكُوْرَ إِنَّمَا هُوَ لِتَقَدُّمِ مَا جَعَلَهُ الشَّارِعُ سَبَبًا
لَهُ حَالَةَ السَّهْوِ وَهُوَ أَيْ مَا جَعَلَهُ الشَّارِعُ سَبَبًا كَجَعْلِ
الإِتْلاَفِ سَبَبًا لِلضَّمَانِ وَكَجَعْلِ دُخُوْلِ الوَقْتِ سَبَبًا
لِلصَّلاَةِ هُنَا مِنْ خِطَابِ الوَضْعِ الَّذِيْ لاَ يَخْتَصُّ بِالمُكلَّفِيْنَ
(اَلنَّفَحَاتُ صـ61)
“Apabila orang yang lupa tidak terkena khithab, kenapa baginya wajib
mengqodlo’ dan mengganti barang yang dirusakkannya?. Dijawab oleh ulama, bahwa
hal itu tidak menyalahi ketentuan tercegahnya tuntutan saat lupa. Karena
perintah tersebut akibat dari mendahuluinya sabab yang ditetapkan as-Syari’
(pembuat syariat) saat seseorang mengalami lupa. Yakni seperti menjadikan
merusak sebagai sabab mengganti rugi dan masuknya waktu sebagai sabab dari
kewajiban shalat. Ini adalah bagian dari khithab wadl’i yang tidak terkhusus
pada orang-orang mukallaf saja”. (An-Nafahat hal 61)
Pertanyaan :
Mengapa anak kecil dan orang gila tidak diperintahkan
mengganti shalat yang ditinggalkan setelah mereka menginjak usia baligh atau
kembali berakal?
Jawab :
Karena untuk meringankan mereka dan dikarenakan shalat
adalah murni hak Allah yang didasari atas prinsip اَلمُسَامَحَةُ (meringankan).
Referensi :
إِنَّمَا لَمْ يَجِبْ
اَلقَضَاءُ عَلَيْهِمَا تَخْفِيْفًا عَلَيْهِمَا مَعَ كَوْنِ نَحْوِ الصَّلاَةِ
مِنْ حُقُوْقِ اللهِ اَلصِّرْفَةِ وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى المُسَامَحَةِ (اَلنَّفَحَاتُ
صـ61)
“Sesungguhnya tidak wajib qadla’ bagi keduanya (anak kecil dan orang gila)
untuk meringankan keduanya. Sekaligus keberadaan ibadah seperti shalat termasuk
hak-hak Allah swt yang murni. Dan hal semacam ini didasari atas prinsip
meringankan” (An-Nafahat
hal 61)
(وَالْكُفَّارُ مُخَاطَبُوْنَ بِفُرُوْعِ
الشَّرَائِعِ وَبِمَا لاَ تَصِحُّ إِلاَّبِهِ وَهُوَ الْإِسْلاَمُ لِقَوْلِهِ
تَعَالىَ مَا سَلَكَكُمْ فِى سَقَرَ، قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ)
|
|
Orang-orang
kafir ter-khithab-i menjalankan masalah-masalah syariat sekaligus hal
yang menjadi pengantar keabsahannya, yaitu islam. Berdasarkan firman Allah
swt QS. Al-Mudatsir: 42-43: (Apakah
yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab:
"Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat)
|
Penjelasan :
Ulama berbeda pendapat tentang syarat syar’i, apakah
keberadaannya menjadi syarat keabsahan sebuah taklif (tuntutan) ataukah tidak.
Menurut pendapat shahih, tidak menjadi syarat. Hukumnya sah menuntut sesuatu
yang disyarati (اَلمَشْرُوْطُ)
ketika syaratnya tidak ada, karena syarat mungkin dilakukan sebelum اَلمَشْرُوْطُ. Sehingga sah menuntut orang
kafir atas furu’ as-syari’ah (masalah-masalah syariat), meskipun syarat berupa
iman tidak ada. Hal ini dikarenakan sebagian besar (فِيْ الجُمْلَةِ)
furu’ as-syari’ah membutuhkan niat yang dinilai tidak sah dari orang kafir.
Pertanyaan :
Apa yang dimaksud syariat dalam keterangan di atas?
Jawab :
Adalah ushuluddin dan furu’ (cabang-cabang). Ushul
berupa tauhid dan hal-hal yang terkait, maka ulama sepakat orang-orang kafir
terkena khithab. Sedangkan furu’ adalah hukum-hukum taklifi, berupa wajib,
haram dan selain keduanya, serta hukum wadl’i.
Syariat yang dimaksud di atas adalah syariat
nabi-nabi. Artinya orang-orang kafir dari setiap rasul terkena khithab
menjalankan furu’ as-syari’ah (masalah-masalah syariat) nabi-nabinya.
Referensi :
اِعْلَمْ أَنَّ الشَّرَائِعَ
أُصُوْلٌ وَفُرُوْعٌ فَأَمَّا الأُصُوْلُ فَالتَّوْحِيْدُ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ
فَهُمْ مُخَاطَبُوْنَ بِهاَ اِتِّفَاقاً-إِلىَ أَنْ قَالَ-وَأَمَّا الفُرُوْعُ
فاَلأَحْكاَمُ التَّكْلِيْفِيَّةُ إِيْجَابُهَا وَتَحْرِيْمُهَا وَغَيْرُهُمَا
وَالوَضْعِيَّةُ (اَلنَّفَحَاتُ صـ62)
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya beberapa syariat adalah ushuluddin dan furu’
(cabang-cabang). Ushul berupa tauhid dan hal-hal yang terkait, maka ulama
sepakat orang-orang kafir terkena khithab. Sedangkan furu’ adalah hukum-hukum
taklifi, berupa wajib, haram dan selain keduanya, serta hukum wadl’i”. (An-Nafahat hal 62)
(قَوْلُهُ الشَّرَائِعُ) أَيْ
شَرَائِعُ الأَنْبِيَاءِ يَعْنِي أَنَّ كُفَارَ أُمَّةِ كُلِّ رَسُوْلٍ
مُخَاطَبُوْنَ بِفُرُوْعِ شَرِيْعَةِ نَبِيِّهِمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ62)
“(Ucapan pengarang : beberapa syariat) maksudnya syariat nabi-nabi, yang
artinya orang-orang kafir dari setiap rasul terkena khithab menjalankan furu’
as-syari’ah (masalah-masalah syariat) nabi-nabinya”. (An-Nafahat hal 62)
Pertanyaan :
Bidang syariat apa sajakah yang keabsahannya
ditentukan dengan adanya niat?
Jawab :
Sebagian dari perintah-perintah (اَلمَأْمُوْرَاتُ) seperti shalat dan yang
sejenis. Sebagian perintah yang lain seperti memerdekakan hamba sahaya, jihad
dan yang sejenis, serta larangan-larangan (المَنْهِيَّاتَ) secara menyeluruh tidak
membutuhkan niat.
Referensi :
إِنَّمَا قَالَ فيِ الجُمْلَةِ
لِأَنَّ المُتَوَقِفَ عَلىَ النِّيَةِ إِنَّمَا هُوَ بَعْضُ المَأْمُوْرَاتِ
كَالصَّلاَةِ وَنَحْوِهَا دُوْنَ البَعْضِ الآخَرِ كَالعِتْقِ وَالجِهَادِ
وَنَحْوِهِمَا وَدُوْنَ المَنْهِيَّاتِ مُطْلَقاً (حَاشِيَةُ البَنَانىِ اَلجُزْءُ
الأَوَّلُ ص 154)
“Sesungguhnya pengarang mengatakan ‘sebagian besar furu’ as-syari’ah’,
karena yang membutuhkan niat seseungguhnya adalah sebagian dari
perintah-perintah seperti shalat dan yang sejenis. Dan tidak termasuk sebagian
perintah yang lain seperti memerdekakan hamba sahaya, jihad dan yang sejenis,
serta larangan-larangan secara menyeluruh” (Hasyiah al-Banani juz I hal 154)
وَفَائِدَةُ خِطَابِهِمْ بِهَا عِقَابُهُمْ
عَلَيْهَا إِذْ لاَ تَصِحُّ مِنْهُمْ فىِ حَالِ الْكُفْرِ لِتَوَقُّفِهَا عَلَى
النِّيَّةِ الْمُتَوَقِّفَةِ عَلَى الْإِسْلاَمِ وَلاَ يُؤَاخَذُوْنَ بِهَا
بَعْدَ الْإِسْلاَمِ تَرْغِيْبًا فِيْهِ
|
|
Faidah
khithab pada orang-orang kafir atas furu’ as-syari’ah adalah adanya siksaan
bagi mereka sebab hal tersebut. Karena furu’ as-syari’ah tidak sah mereka
lakukan saat berada dalam kekufuran, sebab furu’ as-syari’ah membutuhkan niat
yang keabsahannya tergantung dengan syarat islam. Mereka tidak dibebani
dengan furu’ as-syari’ah setelah masuk Islam, untuk membuat mereka simpati
pada Islam.
|
Penjelasan
:
Khithab pada orang-orang
kafir memiliki faedah, yakni diberlakukannya siksaan bagi mereka atas
meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan. Hal ini menepis pendapat muqabil al-ashah, bahwa perbuatan yang
keabsahannya tergantung dengan syarat Islam, maka khithab pada orang kafir
untuk menjalankannya tidak berfaedah. Karena tidak mungkin dilakukan dalam
keadaan kafir.
Seandainya ada yang
mengatakan, seharusnya ada kewajiban qadla’ bagi orang kafir setelah masuk
Islam, karena saat kafir mereka terkena khithab. Ditanggapi bahwa hal itu memang benar, namun as-Syari’ (pembuat syariat)
telah meringankan sekaligus membuat mereka simpati pada Islam.
Pertanyaan :
Apa maksud siksaan bagi orang-orang kafir?
Jawab :
Maksudnya adalah siksaan yang diakibatkan selain
kekafirannya. Yakni persoalan furu’ yang disepakati, bukan yang diperselisihkan
ulama.
Referensi :
وَالمُرَادُ
العِقَابُ الزَّائِدُ عَلَى عِقَابِ الكُفْرِ وَلَعَلَّ الكَلاَمِ فيِ المُتَّفَقِ
عَلَيْهِ دُوْنَ المُخْتَلَفِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ63)
“Yang
dikehendaki (dengan siksaan) adalah siksaan yang menjadi tambahan dari siksaan
atas dosa kekufurannya. Kemungkinan pembahasan adalah dalam persoalan syariat
yang disepakati, bukan yang diperselisihkan” (An-Nafahat hal 63)
Pertanyaan :
Kenapa orang-orang kafir disiksa, padahal tidak mungkin
melaksanakan hal-hal yang diperintahkan saat khithab datang?
Jawab :
Karena mereka mungkin dan mampu menghilangkan
penghalang berupa kekufuran, namun mereka teledor tidak menghilangkannya.
Referensi :
وَإِنَّمَا عُوْقِبَ فيِ
الأَخِرَةِ مَعَ عَدَمِ اِمْكَانِ اِتْياَنِ المَأْمُوْرِ بِهِ حَالَ الخِطَابِ
لِأَنَّهُمْ لمَاَّ أَمْكَنَهُمْ إِزَالَةُ الماَنِعِ وَهُوَ الكُفْرُ كاَنُوْا
مُقَصِّرِيْنَ فيِ عَدَمِ إِزَالَتِهِ المَقْدُوْرَةِ لَهُمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ63)
“Sungguh
orang-orang kafir disiksa di akhirat padahal tidak memungkinkan melakukan
perbuatan yang diperintahkan saat ada tuntutan, karena saat mereka memungkinkan
untuk menghilangkan pencegah, berupa kekafiran, mereka teledor dengan tidak
menghilangkannya padahal mampu dilakukan”. (An-Nafahat hal 63)
(وَالْأَمْرُ بِالشَّيْءِ
نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ وَالنَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِ أَمْرٌ بِضِدِّهِ) فَإِذَا
قَالَ لَهُ اُسْكُنْ كَانَ نَاهِيًا لَهُ عَنِ التَّحَرُّكِ أَوْ لاَتَتَحَرَّكْ
كَانَ أمِرًا لَهُ بِالسُّكُوْنِ
|
|
Perintah
melakukan suatu hal adalah merupakan larangan untuk melakukan sebaliknya.
Ketika ada seseorang mengatakan pada orang lain, ‘diamlah.!’, maka artinya
orang tersebut melarangnya untuk bergerak. Atau mengatakan, ‘jangan
bergerak..!’, maka artinya orang tersebut memerintahkannya untuk diam.
|
Penjelasan :
Ketika seseorang memerintahkan orang lain supaya
duduk, maka ada dua kebalikan yang terkandung;
1. Kebalikan secara dzatiyah,
yakni tidak duduk.
2. Kebalikan secara kelaziman yang disebut (dhiddu), seperti berdiri atau tidur
miring. Dengan batasan setiap makna yang bertentangan dengan perbuatan yang
diperintahkan.
Mengenai permasalahan ini, terdapat tiga pendapat;
1. Perintah melakukan sebuah perbuatan merupakan larangan
melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu).
2. Perintah melakukan sebuah perbuatan bukanlah larangan
melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu).
Dan hanya menunjukkan secara kelaziman. Pendapat ini adalah yang shahih versi
al-Imam dan pengikutnya, juga pendapat al-Amudi.
3. Perintah melakukan sebuah perbuatan sama sekali tidak
menunjukkan larangan melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu). Disampaikan oleh Ibn al-Hajib.
Contoh; suami mengatakan pada istrinya; “jika kamu
melanggar perintahku, maka kamu tertalak”. Berikutnya suami mengatakan; “Jangan
kamu berbicara pada Zaid !”. Namun istri tetap berbicara pada Zaid. Maka istri
tidak tertalak, karena dia melanggar larangan suami, bukan perintahnya. Ini
pendapat masyhur. Imam al-Ghazali mengatakan, “Ahli urf menganggap istri telah
melanggar perintah”[10][28].
Pertanyaan :
Apa kandungan hukum dari perbuatan yang dilarang
sebagai kebalikan dari amr (perintah) wajib dan sunnah?
Jawab :
Amr wajib menyimpulkan larangan bersifat haram atas
kebalikannya. Dan Amr sunnah menyimpulkan larangan bersifat makruh dan tanzih
atas kebalikannya.
Referensi :
(فاَئِدَةٌ) اَلأَمْرُ إِنْ كاَنَ لِلْوُجُوْبِ اِقْتَضَى
النَّهْيَ عَنْ ضِدِّهِ عَلىَ سَبِيْلِ التَّحْرِيْمِ وَإِنْ كاَنَ لِلنَّدْبِ
اِقْتَضَى النَّهْيَ عَنْ ضِدِّهِ عَلىَ سَبِيْلِ الكَرَاهَةِ وَالتَّنْزِيْهِ
(اَلنَّفَحَاتُ صـ64)
“(Faidah) amr apabila
menunjukkan wajib, maka menyimpulkan larangan bersifat haram atas kebalikannya.
Dan amr apabila menunjukkan sunnah, maka menyimpulkan larangan bersifat makruh
dan tanzih atas kebalikannya”. (An-Nafahat hal 64)
Pertanyaan :
Apa tsamratul khilaf (ekses dari perbedaan ulama)
dalam dua kaidah, (1) Perintah (amr) melakukan sebuah perbuatan merupakan
larangan (nahi) melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu), dan (2) Larangan (nahi) melakukan sebuah perbuatan
merupakan perintah (amr) melakukan perbuatan yang bertentangan (dhiddu)?.
Jawab :
Tsamratul khilaf terlihat dalam masalah ketika seorang
mukallaf menyalahi perintah atau larangan, apakah nantinya disiksa sebab
meninggalkan perintah saja dalam amr, dan sebab melakukan larangan saja dalam
nahi, atau sekaligus sebab melakukan kebalikan dari keduanya?
Menurut pendapat pertama (mu’tamad), orang
tersebut disiksa akibat melakukan larangan dan meninggalkan kebalikannya dalam
nahi, dan akibat meninggalkan perintah dan melakukan kebalikannya dalam amr.
Sedangkan dua pendapat berikutnya menyatakan, dia tidak disiksa kecuali akibat
melakukan larangan saja dalam nahi, dan akibat meninggalkan perintah saja dalam
amr.
Referensi :
ثَمْرَةُ الخِلاَفِ فيِ
المَسْأَلَةِ الأُوْلىَ وَالثاَّنيِ أَعْنيِ بِهِمَا اَلأَمْرُ بِالشَّيْءِ نَهْيٌ
عَنْ ضِدِّهِ وَالنَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِ أَمْرٌ بِضِدِّهِ أَنَّ المُكَلَّفَ إذَا
خَالَفَ هَلْ يَسْتَحِقُّ الْعِقَابَ بِتَرْكِ الْمَأْمُورِ بِهِ فَقَطْ فِي
الْأَمْرِ وَبِفِعْلِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ فَقَطْ فِي النَّهْيِ أَوْ بِارْتِكَابِ
الضِّدِّ أَيْضًا فَعَلىَ الأَوَّلِ المُعْتَمَدِ يُعَاقَبُ عَلىَ فِعْلِ
الشَّيْءِ وَتَرْكِ ضِدِّهِ فيِ النَّهْيِ وَعَلىَ تَرْكِ الشَّيْءِ وَفِعْلِ
ضِدِّهِ فيِ الأَمْرِ وَعَلىَ القَوْلَيْنِ بَعْدَهُ لاَ يُعَاقَبُ إِلاَّ عَلىَ
الفِعْلِ فَقَطْ فيِ النَّهْيِ وَعَلىَ التَّرْكِ فَقَطْ فيِ الأَمْرِ
(اَلنَّفَحَاتُ صـ64-65)
“Tsamratul khilaf (dampak perbedaan) pada masalah pertama dan kedua, yakni
perintah (amr) melakukan sebuah perbuatan merupakan larangan (nahi) melakukan
sebaliknya dan kaidah larangan (nahi) melakukan sebuah perbuatan merupakan
perintah (amr) melakukan perbuatan sebaliknya adalah dalam masalah ketika
seorang mukallaf menyalahi perintah atau larangan, apakah nantinya disiksa
sebab meninggalkan perintah saja dalam amr, dan sebab melakukan larangan saja
dalam nahi, atau sekaligus sebab melakukan kebalikan dari keduanya?. Menurut
pendapat pertama (mu’tamad), orang tersebut disiksa akibat melakukan larangan
dan meninggalkan kebalikannya dalam nahi, dan akibat meninggalkan perintah dan
melakukan kebalikannya dalam amr. Sedangkan dua pendapat berikutnya menyatakan,
dia tidak disiksa kecuali akibat melakukan larangan saja dalam nahi, dan akibat
meninggalkan perintah saja dalam amr”. (An-Nafahat hal 64-65)
[5][23] Sabab adalah sesuatu yang
keberadaannya menetapkan adanya sebuah perkara dan ketiadaannya juga menetapkan
tidak adanya perkara tersebut.
[6][24] Syarat adalah sesuatu yang
ketiadaannya menetapkan tidak adanya sebuah perkara, namun keberadaannya tidak
menetapkan ada dan tidaknya perkara tersebut.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik