LAFADZ KHASH DAN TAKHSISH
(وَالْخَاصُّ يُقَابِلُ الْعَامَ) فَيُقَالُ فِيْهِ
مَا لاَ يَتَنَاوَلُ شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا مِنْ غِيْرِ حَصْرٍ نَحْوُ رَجُلٍ
وَرَجُلَيْنِ وَثَلاَثَةِ رِجَالٍ
(وَالتَّخْصِيْصُ تَمْيِيْزُ بَعْضِ الْجُمْلَةِ)
أَىْ اِخْرَاجُهُ كَاِخْرَاجِ الْمُعَاهَدَيْنِ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ
|
|
Lafadz khash
berbanding dengan lafadz ‘am. Dikatakan dalam definisinya, adalah lafadz yang
tidak mencakup dua makna atau lebih tanpa batas. Contoh lafadz رجل، رجلين، ثلاثة رجال
Tahshish adalah
membedakan sebagian jumlah, atau mengeluarkan (mengecualikan) sebagian jumlah
sebagaimana dikecualikannya para kafir mu’ahad dari firman Allah swt : “Maka
bunuhlah orang-orang musyrik”
|
Penjelasan :
Lafadz khash yaitu lafadz yang tidak mencakup
dua perkara atau lebih tanpa batas, seperti contoh di atas.
Tahshish adalah
membedakan sebagian jumlah, atau mengeluarkan (mengecualikan) sebagian jumlah
yang tercakup oleh sebuah khithab. Lafadz yang men-takhsish disebut mukhasshish
dan lafadz umum yang ditakhsish disebut mukhasshash.
Pertanyaan :
Apa perbedaan istilah ‘khash’ dan ‘khushus’?
Jawab :
Khash adalah lafadz yang menunjukkan atas satu perkara
yang dinamai dan yang menunjukkan pada perkara banyak yang khusus dan khushush
adalah keberadaan lafadz yang mencakup sebagian perkara yang pantas, tidak
secara keseluruhan.
Versi al-‘Asykari, khash berlaku pada hal-hal yang
dikehendaki sebagian kandungan lafadznya secara wadl’i (asal
pembuatannya) dan khusush adalah yang menjadi terkhusus secara wadl’i
tanpa dikehendaki. Menurut pendapat lain, khash adalah lafadz yang mencakup
satu perkara saja secara asli wadl’i.
Referensi :
الْخَاصُّ : اللَّفْظُ
الدَّالُ عَلَى مُسَمًّى وَاحِدٍ وَمَا دَلَّ عَلَى كَثْرَةٍ
مَخْصُوصَةٍ.....وَالْخُصُوصُ : كَوْنُ اللَّفْظِ مُتَنَاوِلًا لِبَعْضِ مَا
يَصْلُحُ لَهُ لَا لِجَمِيعِه......وَفَرَّقَ الْعَسْكَرِيُّ بين الْخَاصِّ وَالْخُصُوصِ
فقال الْخَاصُّ يَكُونُ فِيمَا يُرَادُ بِهِ بَعْضُ ما يَنْطَوِي عَلَيْهِ
لَفْظُهُ بِالْوَضْعِ وَالْخُصُوصُ ماَ اخْتَصَّ بِالْوَضْعِ لَا بِإِرَادَةٍ
(اَلبَحْرُ المُحِيْطُ اَلجُزْءُ الثَّانيِ صـ 392)
“Khash adalah
lafadz yang menunjukkan atas satu perkara yang dinamai dan yang menunjukkan
pada perkara banyak yang khusus…..dan khushush adalah keberadaan lafadz yang
mencakup sebagian perkara yang pantas, tidak secara keseluruhan…..al-‘Asykari
membedakan antara khash dan khushush, bahwa khash berlaku pada hal-hal yang
dikehendaki sebagian kandungan lafadznya secara wadl’i (asal pembuatannya) dan
khusush adalah yang menjadi terkhusus secara wadl’i tanpa dikehendaki”.
Pertanyaan :
Apa perbedaan ‘takhsish’ dan ‘naskh’?
Jawab :
Naskh diberlakukan untuk mengeluarkan sebagian afrad
(perkara-perkara yang terkandung) setelah mengamalkan tuntutan dari dalil umum.
Terkadang diberlakukan mengeluarkan keseluruhan. Di sisi lain takhsish hanya
berlaku untuk mengeluarkan sebagian afrad
serta tidak boleh sampai menghabiskannya.
Referensi :
وَالفَرْقُ بَيْنَهُ
(اَلتَّخْصِيْصِ) وَبَيْنَ النَّسْخِ أَنَّ النَّسْخَ قَدْ يَكُوْنُ لِاِخْرَاجِ
بَعْضِ الأَفْرَادِ بَعْدَ العَمَلِ بِمُقْتَضَى العَامِ وَقَدْ يَكُوْنُ
لِاِخْرَاجِ الكُلِّ، بَيْنَمَا اَلتَّخْصِيْصُ لاَ يَكُوْنُ إِلاَّ لِاِخْرَاجِ
البَعْضِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ مُسْتَغْرِقاً اهـ (اَلوَجِيْزُ صـ 176)
“Perbedaan
antara takhsish dan naskh, bahwa naskh diberlakukan untuk mengeluarkan sebagian
afrad (perkara-perkara yang terkandung) setelah mengamalkan tuntutan dari dalil
umum. Terkadang diberlakukan mengeluarkan keseluruhan. Di sisi lain takhsish
hanya berlaku untuk mengeluarkan sebagian afrad serta tidak boleh sampai
menghabiskannya”. (Al-Wajiz hal 176)
(وَهُوَ
يَنْقَسِمُ اِلَى مُتَّصِلٍ وَ مُنْفَصِلٍ فَالْمُتَّصِلُ الْاِسْتِثْنَاءُ)
وَسَيَأْتِى مِثَالُهُ (وَالشَّرْطُ) نَحْوُ أَكْرِمْ بَنِى تَمِيْمٍ اِنْ
جَاؤُكَ أَىْ الْجَائِيْنَ مِنْهُمْ (وَالتَّقْيِيْدُ بِالصِّفَةِ) نَحْوُ
أَكْرِمْ بَنِى تَمِيْمٍ اَلْفُقَهَاءَ
|
|
Mukhashish
(pentahshish) terbagi dalam muttashil dan munfashil. Muttashil
meliputi,
1.
Istitsna’ yang
contohnya akan disebutkan nanti.
2.
Syarath,
contoh :
3.
Taqyid
(pembatasan) dengan shifat, contoh: “Mulyakan
bani Tamim, mereka yang ahli fiqh“
|
Penjelasan :
Mukhashish (pentahshish) terbagi dua, muttashil dan munfashil
Mukhashish muttashil adalah yang tidak mampu berdiri sendiri dalam
menghasilkan makna, dan tergantung dengan lafadz umum sebelumnya, sehingga
harus dibarengkan agar berfaedah. Meliputi empat macam; istitsna’, syarath, shifat
dan ghayah [1][38].
Pertanyaan :
Apakah mukhassish
tertentu berbentuk lafadz saja?
Jawab :
Tidak, maksud dari mukhashish (pentahshish)
adalah sesuatu yang menunjukkan dan berfaedah tahshish, baik berupa lafadz,
atau selain lafadz, seperti penglihatan, akal dan yang lain.
Referensi :
اَلمُرَادُ بَالمُخَصِّصِ
هُناَ مَا يَدُلُّ عَلىَ التَّخْصِيْصِ وَيُفِيْدُهُ سَوَاءٌ كاَنَ لَفْظاً أَمْ
غَيْرَ لَفْظٍ مِنْ حِسٍّ وَعَقْلٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ اهـ (اَلوَجِيْزُ صـ 182)
“Yang dimaksud
mukhashish (pentahshish) di sini adalah sesuatu yang menunjukkan dan berfaedah
tahshish, baik berupa lafadz, atau selain lafadz, seperti penglihatan, akal dan
yang lain”. (Al-Wajiz hal 182)
(وَالْإِسْتِثْنَاءُ اِخْرَاجُ مَا لَوْلاَهُ لَدَخَلَ فِى
الْكَلاَمِ) نَحْوُ جَاءَ الْقَوْمُ اِلاَّ زَيْدًا (وَاِنَّمَا يَصِحُّ
اْلإِسْتِثْنَاءُ بِشَرْطِ أَنْ يَبْقَى مِنَ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ شَيْءٌ)
نَحْوُ لَهُ عَلَيَّ عَشْرَةٌ إِلاَّ تِسْعَةً فَلَوْ قَالَ إِلاَّ عَشْرَةً لَمْ يَصِحَّ وَتَلْزَمُهُ
الْعَشْرَةُ
(وَمِنْ شُرُوْطِهِ أَنْ يَكُوْنَ مُتَّصِلاً
بِالْكَلاَمِ) فَلَوْ قَالَ جَاءَ الْفُقَهَاءُ ثُمَّ قَالَ بَعْدَ يَوْمٍ
اِلاَّ زَيْدًا لَمْ يَصِحَّ (وَيَجُوْزُ تَقْدِيْمُ الْمُسْتَثْنَى عَلَى
الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ) نَحْوُ مَا قَامَ اِلاَّ زَيْدًا أَحَدٌ (وَيَجُوْزُ
الْإِسْتِثْنَاءُ مِنَ الْجِنْسِ كَمَا تَقَدَّمَ وَمِنْ غَيْرِهِ نَحْوُ جَاءَ الْقَوْمُ
اِلاَّ الْحَمِيْرَ)
|
|
Istitsna’
adalah mengeluarkan (mengecualikan) sesuatu yang seandainya tidak
dikecualikan, maka akan masuk dalam sebuah perkataan. Contoh : “Kaum telah
datang kecuali Zaid”.
Istitsna’
dinilai sah dengan syarat masih tersisa sesuatu dari mustatsna minhu. Contoh:
“Baginya
atas tanggunganku sepuluh kecuali sembilan”
Apabila
seseorang mengatakan, إِلاَّ عَشْرَةً (kecuali sepuluh),
maka istitsna’ ini tidak sah, dan orang tersebut tetap berkewajiban membayar
sepuluh.
Termasuk
syarat sah istitsna’ adalah (pengucapannya) bersambung dengan perkataan.
Apabila seseorang mengatakan, ”Para ahli fiqh telah datang”
kemudian setelah selang satu hari dia mengatakan, “Kecuali Zaid”, maka istitsna’ dianggap tidak sah.
Diperbolehkan
mendahulukan mustastna dari mustatsna minhu. Contoh: “Tidak berdiri seorangpun kecuali Zaid”
Diperbolehkan
juga istitsna’ dari satu jenis seperti contoh terdahulu, dan dari yang tidak
sejenis, seperti contoh: “Kaum datang
kecuali Himar”
|
Penjelasan
:
Istitsna’ adalah
mengeluarkan sesuatu yang termuat dalam lafadz menggunakan إِلاَّ atau lafadz sejenis, yang seandainya tidak
dikecualikan, maka akan masuk di dalamnya. Lafadz sejenis إِلاَّ adalah غَيْرُ، سِوًى، سَوَاءٌ، خَلاَ، عَداَ، حَاشاَ، ماَ
خَلاَ، ماَ عَداَ، لَيْسَ، لاَ يَكُوْنُ
Contoh :
جَاءَ الْقَوْمُ اِلاَّ زَيْدًا
“Kaum telah
datang kecuali Zaid”
Beberapa ketentuan dalam istitsna’;
1.
Istitsna’ sah apabila masih tersisa sesuatu dari
mustatsna minhu.
2.
Istitsna’ sah apabila (pengucapannya) bersambung
dengan perkataan.
3.
Boleh mendahulukan mustastna dari mustatsna minhu.
4.
Boleh istitsna’ dari satu jenis dan dari yang tidak
sejenis.
5.
Perkataan yang dikecualikan dan pengecualian keluar
dari satu orang. Apabila ada orang berkata “Muliakan para pemulung!”, kemudian
ada orang lain menimpali “Kecuali Zaid”, maka ini tidak dinamakan istitsna’,
namun menjadi perkataan tanpa arti[2][39].
Pertanyaan :
Apakah istitsna’ dari selain jenis mustatsna minhu
(istitsna’ munqathi’) termasuk istitsna’ secara hakikatnya dan termasuk
bagian dari mukhasshish?
Jawab :
Istitsna’ munqathi’
tidak disebut istitsna’ secara hakikat, namun disebut istitsna’ secara
majaz, serta bukan termasuk bagian dari mukhasshish.
Referensi :
أَماَّ إِذَا كاَنَ
مُنْقَطِعاً بِأَنْ كاَنَ المُسْتَثْنَى مِنْ غَيْرِ جِنْسِ المُسْتَثْنَى مِنْهُ
كَقَوْلِنَا "قاَمَ القَوْمُ إِلاَّ حِمَارًا فَإِنَّهُ لاَ يُعْتَبَرُ
مُخَصِّصًا لِأَنَّهُ لاَ اسْتِثْناَءَ فِيْهِ وَلاَ إِخْرَاجَ لِأَنَّ الحِمَارَ
لَمْ يَدْخُلْ فِي القَوْمِ حَتىَّ يَخْرُجَ مِنْهُمْ وَإِنَّمَا سُمِيَ
اِسْتِثْناَءً مَجَازًا اهـ (اَلوَجِيْزُ صـ 184)
“Adapun
istitsna’ berbentuk munqathi’, yakni keberadaan mustatsna dari selain jenis
mustatsna minhu, seperti ucapan kami, “Kaum telah berdiri kecuali keledai”,
maka tidak dianggap mukhasshish karena tidak ada istitsna’ dan tidak ada
pengecualian di dalamnya. Karena keledai tidak termasuk bagian kaum, hingga
bisa dikecualikan. Hal ini hanya disebut istitsna’ secara majaz”.
وَالشَّرْطُ الْمُخَصِّصُ يَجُوْزُ أَنْ يَتَقَدَّمَ
عَلَى اْلمَشْرُوْطِ) نَحْوُ اِنْ جَاءَكَ بَنُوْ تَمِيْمٍ فَأَكْرِمْهُمْ
|
|
Syarat yang menjadi
pentakhsish boleh didahulukan dari mashruth (yang dikenai syarat).
Contoh: “Jika Bani Tamim datang
kepadamu, maka mulyakanlah!”
|
Penjelasan :
Syarat adalah sesuatu
yang ketiadaannya menetapkan tidak adanya sebuah perkara, namun keberadaannya
tidak menetapkan ada dan tidaknya perkara tersebut.
Terbagi menjadi tiga macam:
1. ‘Aqli (sebentuk
akal), contoh syarat hidup untuk mengetahui (memahami pengetahuan).
2. Syar’i (sebentuk
syara’), contoh syarat bersuci untuk shalat.
3. ‘Adiy (sebentuk
kebiasaan), contoh syarat memasang tangga untuk menaiki bangunan tinggi.
Tiga macam ini tidak ada takhsish di dalamnya.
4. Lughawi (sebentuk
lughat), yakni syarat yang sesuai dengan standar ilmu nahwu dan menggunakan
lafadz-lafadz tertentu yang menunjukkan posisi sabab pada lafadz pertama dan musabbab
pada lafadz kedua. Syarat model keempat inilah yang menjadi mukhasshish.
Contoh:
اِنْ جَاءَكَ بَنُوْ تَمِيْمٍ
فَأَكْرِمْهُمْ
“Jika Bani Tamim datang kepadamu, maka mulyakanlah!”
Sebagaimana dalam istitsna’, syarat yang
menjadi mukhasshish disyaratkan harus bersambung (muttashil)
dengan perkataan sebelumnya [3][40].
Pertanyaan :
Mengapa pengarang menyebutkan kaidah “syarat
yang menjadi pentakhsish boleh didahulukan dari mashruth”, padahal hukum
asal dari syarat memang harus didahulukan?
Jawab :
Karena untuk menolak anggapan bahwa syarat yang
menjadi mukhasshish wajib diakhirkan, sebab kaidah dalam takhsish,
perkara yang mentakhsish (mukhasshish) semestinya terletak lebih akhir
dari perkara yang ditakhsish (mukhasshash).
Referensi :
ماَ فَائِدَةُ تَنْبِيْهِ
جَوَازِ تَقْدِيْمِ الشَّرْطِ عَلىَ المَشْرُوْطِ مَعَ أَنَّ الأَصْلَ فيِ
الشَّرْطِ التَّقْدِيْمُ فَلاَ إِيْهَامَ فِيْهِ وَحاَصِلُ الدَّفْعِ أَنَّ
كَلَامَهُ فيِ الشَّرْطِ المُخَصِّصِ فَفِيْهِ اِيْهَامُ عَدَمِ جَوَازِ
التَّقْدِيْمِ حِيْنَئِذٍ وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّرْطَ لَمَّا كَانَ مُخَصِّصًا
كاَنَ حَقُّهُ أَنْ يَتَأَخَّرَ لِأَنَّ شَأْنَ المُخَصِّصِ أَنْ يَتَأَخَّرَ عَنِ
المُخَصَّصِ بِالفَتْحِ فَلَرُبَّمَا يُوْهِمُ أَنَّهُ عِنْدَ جَعْلِ الشَّرْطِ
مُخَصِّصًا يَجِبُ أَنْ يَتَأَخَّرَ الشَّرْطُ عَلىَ خِلاَفِ الأَصْلِ فَنَبَّهَ
عَلَيْهِ بِأَنَّهُ يَجُوْزُ التَّقْدِيْمُ أَيْضًا وَإِنْ صَارَ مُخَصِّصًا
(اَلنَّفَحَاتُ صـ82)
“Apa faidah mengingatkan bahwa boleh mendahulukan syarath dari masyruthnya,
padahal hukum asal syarath adalah didahulukan? seharusnya tidak mungkin ada
salah anggapan. Kesimpulan tanggapan, bahwa pembahasan pengarang adalah
mengenai syarath yang menjadi mukhasshish. Maka dalam hal ini mungkin ada salah
anggapan bahwa syarath tidak boleh didahulukan. Karena syarath di saat menjadi
mukhasshish, seharusnya ada di akhir, menimbang kaidah perkara yang mentakhsish
(mukhasshish) semestinya terletak lebih akhir dari perkara yang ditakhsish
(mukhasshash-dengan fathah shad-nya). Maka terkadang ada anggapan bahwa di saat
syarath dijadikan mukhasshish, tentunya syarath wajib diakhirkan menyalahi
hukum asalnya. Sehingga pengarang mengingatkan bahwa dalam hal ini syarath
boleh juga didahulukan (dari masyruthnya) meskipun menjadi mukhashsish”.
(وَالْمُقَيَّدِ بِالصِّفَةِ يُحْمَلُ عَلَيْهِ
الْمُطْلَقُ كَالرَّقَبَةِ قُيِّدَتْ بِاْلإِيْمَانِ فِى بَعْضِ الْمَوَاضِعِ) كَمَا
فِى كَفَّارَةِ الْقَتْلِ وَاُطْلِقَتْ فِى بَعْضِ الْمَوَاضِعِ كَمَا فِى
كَفَّارَةِ الظِّهَارِ (فَيُحْمَلُ الْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ)
اِحْتِيَاطًا
|
|
Lafadz
yang dibatasi dengan shifat dijadikan tumpuan arahan lafadz mutlak.
Seperti lafadz الرَّقَبَةِ (budak) yang dibatasi dengan اَلإِيْمَانِ (beriman)
di sebagian tempat, sebagaimana dalam kafarat pembunuhan, dan dimutlakkan di
sebagian tempat yang lain, sebagaimana dalam kafarat sumpah dhihar. Maka lafadz mutlak
diarahkan pada lafadz yang dibatasi demi kehati-hatian.
|
Penjelasan :
Lafadz mutlak secara bahasa memiliki arti
lafadz yang tidak disertai qayyid (pembatasan) dan syarat. Secara
istilah adalah lafadz yang menunjukkan mahiyah
(hakikat sebuah perkara) tanpa batasan, satu atau banyak.
Ketika ada dua lafadz, salah satunya mutlak dan
yang lain muqayyad (dibatasi), maka mengenai diarahkan tidaknya,
terdapat beberapa perincian;
1. Hukum keduanya berbeda. Dalam hal ini apabila sabab hukumnya berbeda, maka ulama sepakat
lafadz mutlak tidak diarahkan pada muqayyad. Contoh;
اُكْسُ ثَوْباً هَرْوِيًّا “Pakaikanlah
baju jenis Harwiy”
وَأَطْعِمْ طَعَامًا “Berilah
makan makanan”
Sehingga makanan yang masih mutlak tidak dibatasi dengan Harwiy
menggunakan dalil muqayyad.
Menurut Imam Amudi lafadz mutlak tidak diarahkan pada muqayyad, baik
sabab hukumnya sama atau berbeda.
Menurut Ashhab Syafi’iyyah, apabila sabab
hukumnya sama, maka mutlak diarahkan pada muqayyad. Contoh
tayammum dan wudhu, dimana sabab dari
keduanya sama berupa hadats, namun hukumnya berbeda, yakni mengusap dalam
tayammum dan membasuh dalam wudhu. Dalam ayat tentang tayammum, kata al-yadd (tangan) dimutlakkan dan dalam
ayat tentang wudhu, dibatasi dengan al-marafiq
(siku). Sehingga diarahkan maksud mengusap kedua tangan dalam tayammum adalah
sampai siku.
2. Hukum keduanya sama. Dalam hal ini apabila sabab dari keduanya sama, maka mutlak
diarahkan pada muqayyad. Baik keduanya mutsbat, manfi,
atau salah satunya amr, yang lain nahi contoh, seumpama dalam dhihar
ada dua dalil;
اَعْتِقْ رَقَبَةً “Merdekakan
budak!”
اَعْتِقْ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً “Merdekakan
budak mukmin!”
Maka tidak ada khilaf bahwa, mutlak diarahkan pada muqayyad.
Namun apabila sabab dari keduanya
berbeda, seperti kafarah dalam dhihar yang mutlak dan dalam
kafarah pembunuhan yang dibatasi dengan sifat mukmin (seperti contoh pengarang
di atas), maka menurut madzhab Syafi’i, mutlak diarahkan pada muqayyad.
Dan menurut madzhab Hanafi mutlak tidak diarahkan pada muqayyad [4][41].
Catatan; cara mengarahkan
lafadz mutlak pada muqayyad sebagaimana di atas adalah
menggunakan metode qiyas, sehingga dibutuhkan ada al-jami’ (titik persamaan) antara keduanya.
Pertanyaan :
Mengapa pengarang menyatakan bahwa mengarahkan mutlak
pada muqayyad sebagaimana di atas adalah dalam rangka kehati-hatian (ihtiyath)?
Jawab :
Karena dengan mengamalkan muqayyad, kita akan
yakin telah terlepas dari tuntutan (taklif),
meskipun mungkin kenyataannya yang dituntut adalah dalil mutlak. Berbeda
dengan sebaliknya, apabila yang diamalkan adalah dalil mutlak, maka ada
kemungkinan secara kenyataannya yang dituntut adalah dalil muqayyad.
Sehingga kita dinyatakan belum terlepas dari tuntutan, karena menyalahi qayyid
(batasan) dalam dalil muqayyad.
Referensi :
إِنَّمَا حَمَلْنَا
المُطْلَقَ عَلىَ المُقَيَّدِ لِأَجْلِ الاِحْتِياَطِ فيِ الخُرُوْجِ عَنِ
العُهْدَةِ لِتَيَقُّنِ الخُرُوْجِ عَنْهَا بِالعَمَلِ بِالمُقَيَّدِ سَوَاءٌ
كاَنَ التَّكْلِيْفُ فيِ الوَاقِعِ بِالمُقَيَّدِ أو بالمُطْلَقِ بِخِلاَفِ
العَمَلِ بِغَيْرِ المُقَيَّدِ إِذْ قَدْ يَكُوْنُ التَّكْلِيْفُ فيِ الوَاقِعِ
بالمُقَيَّدِ فَلاَ يَحْصُلُ الخُرُوْجُ عَنِ العُهْدَةِ لِلإِخْلاَلِ بِالقَيِّدِ
(اَلنَّفَحَاتُ صـ84)
“Sesungguhnya kita mengarahkan dalil mutlak pada muqayyad karena hati-hati
agar keluar dari tuntutan taklif. Karena keluar dari tuntutan diyakini dengan
mengamalkan muqayyad, baik tuntutan sebenarnya adalah dalil muqayyad atau dalil
mutlak. Berbeda halnya jika mengamalkan selain muqayyad, karena terkadang
kenyataannya tuntutan adalah dalil muqayyad. Sehingga tidak dihasilkan lepas
dari tuntutan karena menyalahi batasan (dalam muqayyad)”
(وَيَجُوْزُ تَخْصِيْصُ الْكِتَابِ بِالْكِتاَبِ)
نَحْوُ قَوْلُهُ تَعَالَى وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ خُصَّ بِقَوْلِهِ
تَعَالَى وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
اَىْ حِلٌّ لَكُمْ
(وَتَخْصِيْصُ الْكِتَابِ بِالسُّنَّةِ)
كَتَخْصِيْصِ قَوْلِهِ تَعَالَى يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِى أَوْلاَدِكُمْ اِلَى
أَخِرِهِ الشَّامِلِ لِلْوَلَدِ الْكَافِرِ بِحَدِيْثِ الصَّحِيْحَيْنِ لاَ
يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ .
(وَتَخْصِيْصُ السُّنَّةِ بِالْكِتَابِ)
كَتَخْصِيْصِ حَدِيْثِ الصَّحِيْحَيْنِ لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ اَحَدِكُمْ اِذَا
اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَاِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى اِلَى
قَوْلِهِ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا
وَاِنْ وَرَدَتْ اَلسُّنَّةُ بِالتَّيَمُّمِ اَيْضًا
بَعْدَ نُزُوْلِ الْأَيَةِ .
(وَتَخْصِيْصُ السُّنَّةِ بِالسُّنّةِ)
|
|
Diperbolehkan (1)
Mentakhsish Al-Kitab dengan Al-Kitab, contoh firman Allah swt: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik”[5][42]. Ditakhsish dengan firman Allah swt: “Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu”[6][43]
(2) Mentakhsish
Al-Kitab dengan As-Sunnah, seperti takhsish dalam firman Allah swt: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu…dst”[7][44], yang mencakup anak
yang kafir. Ditakhsish dengan hadits shahih Bukhari-Muslim: “Tidak bisa mewaris, seorang muslim dari
kafir, dan orang kafir dari muslim”
(3) Mentakhsish
as-Sunnah dengan Al-Kitab, seperti takhsish dalam hadits shahih
Bukhari-Muslim: “Allah tidak menerima
shalat salah satu dari kalian apabila hadats, sampai dia berwudlu”. Ditakhsish
dengan firman Allah swt: “Dan jika kamu
sakit…s/d…kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu”[8][45]. Meskipun kemudian As-Sunnah juga
menjelaskan tentang tayammum setelah ayat tersebut turun.
(4) Mentakhsish
as-Sunnah dengan as-Sunnah, seperti takhsish dalam hadits shahih
Bukhari-Muslim : “Dalam tanaman
|
كَتَخْصِيْصِ حَدِيْثِ الصَّحِيْحَيْنِ فِيْمَا
سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ بِحَدِيْثِهِمَا لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ
اَوْسُقٍ صَدَقَةٌ (وَتَخْصِيْصُ النُّطْقِ بِالْقِيَاسِ وَنَعْنِى بِالنُّطْقِ
قَوْلَ اللهِ تَعَالَى وَقَوْلَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
لِأَنَّ الْقِيَاسَ يَسْتَنِدُ اِلَى نَصٍّ مِنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى أَوْ
سُنَّةٍ فَكَأَنَّهُ الْمُخَصِّصُ
|
|
yang
diairi dengan air hujan ada kewajiban zakat sepersepuluh”. Ditakhsish dengan
hadits shahih Bukhari-Muslim: “Tidak
ada kewajiban zakat dalam hasil panen yang kurang lima wasaq”.
(5) Mentakhsish
ucapan dengan qiyas, maksud ucapan di sini adalah firman Allah swt dan sabda
Rasulullah saw. Hal ini dikarenakan qiyas selalu disandarkan pada
dalil nash, baik berupa Al-Kitab maupun as-Sunnah, sehingga seolah-olah nash
inilah pentakhsish-nya.
|
Penjelasan :
Dari beberapa sumber hukum syariat, ada beberapa di
antaranya boleh mentakhsish dalil lain. Berikut takhsish-takhsish yang
diperbolehkan.
1. Mentakhsish Al-Kitab dengan Al-Kitab, contoh seperti
di atas.
2. Mentakhsish Al-Kitab dengan As-Sunnah, contoh seperti
di atas.
3. Mentakhsish as-Sunnah dengan Al-Kitab, contoh seperti
di atas.
4. Mentakhsish as-Sunnah dengan as-Sunnah, contoh seperti
di atas.
5. Mentakhsish ucapan dengan qiyas, contoh firman Allah
QS. An-Nur:02:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ
جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”
Ayat ini mencakup orang merdeka dan budak. Kemudian ditakhsish pada selain
budak wanita dalam QS. An-Nisa:25:
فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا
عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
“Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin,
kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh
hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”
Hukum budak laki-laki masih tercakup dalam keumuman ayat pertama. Kemudian
dilakukan qiyas, dengan menyamakan budak laki-laki dengan budak wanita yang
hukum hadnya hanya separuh dari orang merdeka. Dan dengan qiyas ini, ayat
pertama kemudian ditakhsish.
6. Mentakhsish ucapan dengan ijma’, contoh firman Allah
QS. An-Nur:04:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”
Ayat ini menetapkan dera sebanyak delapan puluh kali pada setiap penuduh
zina, baik orang merdeka atau hamba sahaya. Hanya saja kemudian ijma’
menetapkan dera bagi hamba sahaya adalah separuhnya atau empat puluh kali.
7. Mentakhsish manthuq dengan mafhum, contoh hadits Nabi
saw;
خَلَقَ اللهُ المَاءَ طَهُوْرًا لاََ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلاَّ مَا غَيَّرَ
طَعْمَهُ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيْحَهُ
“Allah menciptakan air suci mensucikan, tidak bisa
dinajiskan sesuatu kecuali air yang berubah rasa atau warna atau baunya”
Hadits ini mencakup air sedikit dan banyak. Kemudian ditakhsish dengan
mafhum hadits Nabi saw:
إذا بَلَغَ الماء قُلَّتَيْنِ لم يحملِ خَبَثاً
“Ketika air mencapai dua kullah, maka tidak menerima
najis”
Hadits ini menunjukkan secara mafhum bahwa air yang kurang dari dua kullah
menerima dan tidak bisa menolak najis. Sehingga menjadi najis karena
bersentuhan dengan najis, baik warnanya berubah atau tidak [9][46].
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik