LAFADZ DHAHIR DAN DAN MU’AWWAL
(وَالظَّاهِرُ مَا احْتَمَلَ أَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا
أَظْهَرُ مِنَ اْلأَخَرِ) كَالْأَسَدِ فِى رَأَيْتُ اَلْيَوْمَ أَسَدًا
فَاِنَّهُ ظَاهِرٌ فِى اْلحَيَوَانِ الْمُفْتَرِسِ لِاَنَّ الْمَعْنَى
الْحَقِيْقِي مُحْتَمِلٌ لِلرَّجُلِ الشُّجَاعِ بَدَلَهُ
|
|
Lafadz dhahir
adalah lafadz yang memiliki dua kemungkinan makna, dimana salah satunya lebih
jelas dibanding yang lain. Seperti lafadz الْأَسَدِ dalam contoh: رَأَيْتُ اَلْيَوْمَ أَسَدًا (aku melihat singa hari ini). Lafadz
ini tergolong dhahir yang menunjukkan arti hewan buas, karena makna
hakikinya memungkinkan diartikan laki-laki pemberani, sebagai pengganti makna
pertama.
|
فَاِنْ حُمِلَ اللَّفْظُ عَلَى الْمَعْنَى الْأَخَرِ
يُسَمَّى مُؤَوَّلًا وَإِنَّمَا يُؤَوَّلُ بِالدَّلِيْلِ كَمَا قَالَ :
(وَيُؤَوَّلُ الظَّاهِرُ بِالدَّلِيْلِ وَيُسَمَّى
ظَاهِرًا بِالدَّلِيْلِ) أَىْ كَمَا يُسَمَّى مُؤَوَّلًا. وَمِنْهُ قَوْلُهُ
تَعَالَى وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ ظَاهِرُهُ جَمْعُ يَدٍ وَذَلِكَ
مُحَالٌ فِى حَقِّ اللهِ تَعَالَى فَصُرِفَ اِلَى مَعْنَى الْقُوَّةِ بِالدَّلِيْلِ
الْعَقْلِي اْلقَاطِعِ
|
|
Apabila
lafadz tersebut diarahkan pada makna yang lain (makna kedua), maka lafadz
tersebut dinamakan muawwal. Dan
menta’wil harus menggunakan dalil, seperti ucapan pengarang, ”lafadz dhahir
dapat dita’wil menggunakan dalil, dan disebut ‘dhahir bi ad-dalil”, sebagaimana lafadz ini juga bisa dinamakan muawwal.
Termasuk contohnya firman Allah swt:
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ
Lafadz
أَيْدٍ secara dhahir adalah jamak dari
kata يَدٍ (tangan). Namun hal ini muhal
bagi Allah swt. Sehingga lafadz أَيْدٍ diarahkan
pada arti قُوَّةٌ (kekuatan) dengan menggunakan
dalil berupa kepastian akal.
|
Penjelasan :
Pengertian dhahir secara lughat adalah jelas.
Dan secara istilah adalah lafadz yang memiliki dua kemungkinan makna, dimana
salah satunya lebih jelas menurut akal daripada yang lain. Atau dikatakan dalam
kitab lain, lafadz yang menunjukkan pada makna aslinya (wadla’) secara dhanni (dugaan), serta ada
kemungkinan makna lain.
Faktor yang menjadikan makna lebih jelas secara akal
adalah wadla’ (peletakan lafadz atas makna tertentu), seperti contoh رَأَيْتُ اَلْيَوْمَ أَسَدًا di atas. Atau faktor dominannya penggunaan urf, contoh lafadz الغَائِطُ yang menunjukkan
makna perkara (kotoran) yang keluar dari manusia. Makna ini lebih rajih (unggul) secara urf
daripada makna tempat yang cekung di atas muka bumi (makna marjuh).
Ta’wil secara bahasa
artinya kembali. Dan secara istilah adalah mengarahkan lafadz dhahir
pada kemungkinan makna yang marjuh (diungguli). Contoh seperti di atas.
Ta’wil berdasarkan sah – fasid-nya terbagi tiga
macam;
1. Ta’wil Shahih, yakni ta’wil yang dilakukan berdasarkan dalil.
2. Ta’wil Fasid, yakni ta’wil yang dilakukan berdasarkan sesuatu yang disangka
dalil oleh keyakinan penta’wil, padahal kenyataannya bukan dalil.
3. Ta’wil Bathil, yakni ta’wil yang dilakukan tanpa dalil.
Ta’wil berdasarkan
jauh - dekatnya terbagi dua macam;
1. Qarib (dekat), yaitu ta’wil
yang jelas maknanya dan hakikatnya dengan dalil atau penjelasan sederhana.
2. Ba’id (jauh), yaitu ta’wil
yang tidak jelas maknanya hanya dengan dalil atau penjelasan sederhana, namun membutuhkan
dalil yang lebih kuat dari dhahirnya [2][49].
Pertanyaan :
Apa yang dimaksud dengan dalil yang digunakan dalam ta’wil?
Jawab :
Adalah dalil yang benar-benar disebut dalil, bukan
hanya dalam persangkaan pentakwil, sehingga menjadikan ta’wil fasid, atau
bahkan tidak bisa disebut dalil sama sekali, sehingga menjadikan perkataan
tidak ada artinya.
Referensi :
وَالمُرَادُ بِالدَّليْلِ مَا
هُوَ دَلِيْلٌ فيِ الوَاقِعِ فَإِنْ أُوِّلَ بِماَ ظَنَّ أَنَّهُ دَلِيْلٌ
وَلَيْسَ بِدَلِيْلٍ فيِ الوَاقِعِ فَهُوَ تَأْوِيْلٌ فَاسِدٌ أَوْ أُوِّلَ لاَ
بِدَلِيْلٍ فَلَعْبٌ (اَلنَّفَحَاتُ صـ84)
“Yang dikehendaki dengan dalil adalah yang kenyataannya bisa disebut dalil.
Dan apabila dita’wil dengan sesuatu yang disangka dalil, namun kenyataannya
bukan dalil, maka dinamakan ta’wil fasid. Atau dita’wil tanpa dalil, maka
(perkataan tersebut) hanya main-main saja”
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik