AKHBAR
(وَاَمَّا الْأَخْبَارُ فَالْخَبَرُ مَا يَدْخُلُهُ
الصِّدْقُ وَالْكَذِبُ) لِاحْتِمَالِهِ لَهُمَا مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ خَبَرٌ
كَقَوْلِكَ قَامَ زَيْدٌ يَحْتَمِلُ اَنْ يَكُوْنَ صِدْقًا وَاَنْ يَكُوْنَ
كِذْبًا وَقَدْ يُقْطَعُ بِصِدْقِهِ أَوْكِذْبِهِ لِاَمْرٍ خَارِجِيٍّ لَا
لِذَاتِهِ فَالْأَوَّلُ كَخَبَرِ اللهِ وَالثَّانِى كَقَوْلِكَ الضِّدَّانِ
يَجْتَمِعَانِ
|
|
Khabar
adalah perkataan yang berpeluang dimasuki penilaian benar dan bohong. Karena
perkataan tersebut memungkinkan dinilai benar dan bohong dipandang dari hal
itu sebagai khabar. Seperti ucapanmu, ‘قَامَ
زَيْدٌ’ (Zaid berdiri),
maka mungkin hal itu benar dan mungkin juga bohong. Dan terkadang dapat
dipastikan benarnya atau bohongnya berdasarkan amrin khariji (faktor eksternal) bukan karena dzatiahnya. Yang
pertama (pasti benar) adalah seperti khabar Allah swt dan yang kedua (pasti
bohong) adalah seperti ucapanmu, “dua hal yang bertolak belakang berkumpul
menjadi satu”.
|
Penjelasan :
Kalam orang Arab terbagi dua, khabar dan insya’.
Insya’ adalah kalam yang menunjukkan pada amr, nahi, su’al, du’a’,
istifham, nida’, tamanni, tarajji, ‘ardhu, haddhu, dan nafi. Dan
didefinisikan dengan kalam yang tidak memiliki kemungkinan benar dan bohong.
Kalam khabar secara lughat berasal dari kata ‘khabâr’
yang artinya tanah yang lunak. Karena khabar mendatangkan faidah, sebagaimana
tanah lunak menimbulkan debu saat dilewati. Secara istilah khabar adalah kalam
yang memiliki kemungkinan benar dan bohong secara dzatiah (faktor kalam itu sendiri). Mengecualikan khabar Allah swt
dan Rasululloh yang dipastikan kebenarannya berdasarkan amrin khariji (faktor eksternal) bahwa Allah swt tidak mungkin
berbohong dan bahwa Rasul terjaga dari kebohongan. Dan mengecualikan khabar
yang pasti bohong, seperti khabar Musailamah al-Kaddzab. Dipastikan bohong
berdasarkan qarinah kharijiah (bukti
eksternal) bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw.
Isi dalam kalam khabar adalah nisbat (penyandaran), yakni penyandaran
hukum pada sesuatu yang dihukumi. Contoh Zaid berdiri, artinya hukum berdiri
disandarkan pada Zaid. Penyandaran inilah yang dinilai benar dan bohong[1][60].
Pertanyaan :
Apa yang disebut shidqu
(benar) dan kidzbu (bohong)?
Jawab :
Menurut pendapat yang kuat, definisi benar adalah
sesuainya hukum yang dipahami dari lafadz dengan nisbat kharijiyah (penyandaran yang bersifat kenyataan di luar
kalam) yang dihasilkan antara dua arah makna dari dua sisi. Sedangkan bohong
adalah tidak sesuainya nisbat kalamiyah (penyandaran
hukum dalam lafadz) dengan nisbat
kharijiyah, dengan gambaran, keduanya berbeda tetapnya atau tidak tetapnya.
Referensi :
(قَوْلُهُ الصِّدْقُ) وَهُوَ عَلىَ المُعْتَمَدِ مُطَابَقَةُ
الحُكْمِ اَلمَفْهُوْمِ مِنَ اللَّفْظِ لِلنِّسْبَةِ الخاَرِجِيَّةِ اَلحاَصِلَةِ
بَيْنَ مَدْلُوْلَيْ الطَّرَفَيْنِ
(اَلنَّفَحَاتُ صـ126)
“(Ucapan
pengarang: benar), menurut pendapat yang kuat adalah sesuainya hukum yang
dipahami dari lafadz dengan nisbat kharijiyah yang dihasilkan antara dua arah
makna dari dua sisi”
(قَوْلُهُ الكِذْبُ) أَيْ
عَدَمُ مُطَابَقَةِ الكَلاَمِيَّةِ لِلْخَارِجِيَّةِ بِأَنْ يَخْتَلِفَا ثُبُوْتاً
أَوْ سَلْباً (اَلنَّفَحَاتُ صـ126)
“(Ucapan
pengarang: bohong), yakni tidak sesuainya nisbat kalamiyah (penyandaran hukum
dalam lafadz) dengan nisbat kharijiyah, dengan gambaran, keduanya berbeda
tetapnya atau tidak tetapnya”.
Pertanyaan :
Ada berapakah macam nisbat?dan bagaimana
pengertiannya?
Jawab :
Ada 3 macam, kalamiyyah,
dzihniyyah dan kharijiyyah.
1. Nisbat kalamiyyah, yaitu yang
dipahami dari sebuah kalam berupa ditetapkan atau ditiadakannya hukum pada
sesuatu yang dihukumi.
2. Nisbat dzihniyyah, yaitu yang ada
di dalam hati, berbentuk iqa’ atau
menemukan terjadinya nisbat, dan intiza’ atau
menemukan tidak terjadinya nisbat.
3. Nisbat kharijiyyah, yaitu yang
dihasilkan antara dua sisi dan dibahasakan ulama dengan wuqu’ (terjadi) dan la wuqu’ (tidak
terjadi).
Referensi :
وَاعْلَمْ أَنَّ النِّسَبَ
ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ نِسْبَةٌ كَلاَمِيَّةٌ وَنِسْبَةٌ ذِهْنِيَّةٌ وَنِسْبَةٌ خاَرِجِيَّةٌ.
فَالنِّسْبَةُ الكَلاَمِيَّةُ هِيَ المَفْهُوْمَةُ مِنَ الكَلاَمِ مِنْ ثُبُوْتِ
المَحْمُوْلِ لِلْمَوْضُوْعِ أَوْ نَفْيِهِ عَنْهُ وَالذِّهْنِيَّةُ النِّسْبَةُ
القَائِمَةُ بِالذِّهْنِ المُسَمَّاةُ بِالإِيْقَاعِ وَالاِنْتِزَاعِ وَهُوَ
إِدْرَاكُ وُقُوْعِ النِّسْبَةِ وَإِدْرَاكُ عَدَمِ وُقُوْعِهَا وَالخاَرِجِيَّةُ
هِيَ النِّسْبَةُ الحاَصِلَةُ بَيْنَ الطَّرَفَيْنِ المُعَبَّرُ عَنْهَا
عِنْدَهُمْ بِالوُقُوْعِ وَاللاَّوُقُوْعِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ126)
“Ketahuilah
bahwa nisbat ada 3 macam, kalamiyyah, dzihniyyah dan kharijiyyah. Nisbat
kalamiyyah, yaitu yang dipahami dari sebuah kalam berupa ditetapkan atau
ditiadakannya hukum pada sesuatu yang dihukumi. Nisbat dzihniyyah, yaitu yang
ada di dalam hati, berbentuk iqa’ atau menemukan terjadinya nisbat, dan intiza’
atau menemukan tidak terjadinya nisbat. Dan nisbat kharijiyyah, yaitu yang
dihasilkan antara dua sisi dan dibahasakan ulama dengan wuqu’ (terjadi) dan la
wuqu’ (tidak terjadi)”.
(وَالْخَبَرُ يَنْقَسِمُ اِلَى أَحَادٍ
وَمُتَوَاتِرٍ فَالْمُتَوَاتِرُ مَا يُوْجِبُ الْعِلْمَ وَهُوَ اَنْ يَرْوِيَهُ
جَمَاعَةٌ لاَ يَقَعُ التَّوَاطُؤُ عَلَى الْكِذْبِ عَنْ مِثْلِهِمْ وَهَكَذَا
اِلَى اَنْ يَنْتَهِيَ اِلَى الْمُخْبَرِ عَنْهُ فَيَكُوْنُ فِى الْأَصْلِ عَنْ
مُشَاهَدَةٍ أَوْ سَمَاعٍ لَا عَنْ اِجْتِهَادٍ) كَالْإِخْبَارِ عَنْ
مُشَاهَدَةِ مَكَّةَ أَوْ سَمَاعِ خَبَرِ اللهِ تعالى مِنَ النَّبِيِّ صلَّى
الله عليه وسلَّمَ بِخِلاَفِ الْإِخْبَارِ
عَنْ مُجْتَهَدٍ فِيْهِ
كَاِخْبَارِ
|
|
Khabar terbagi
menjadi ahad dan mutawatir. Mutawatir adalah khabar yang menetapkan yakin,
yaitu yang diriwayatkan jamaah (banyak orang) yang tidak bersepakat dalam
kebohongan dari sesamanya dan seterusnya sampai mukhbar ‘anhu (pembawa khabar pertama). Maka pada asalnya
(tingkat pertama) dihasilkan dari musyahadah
(menyaksikan langsung) atau sama’
(mendengar langsung), bukan dari ijtihad. Seperti contoh, mengkhabarkan
melihat langsung kota Makkah atau mendengar langsung khabar Allah swt dari
Nabi saw. Lain halnya dengan mengkhabarkan hasil ijtihad, seperti
khabar dari para
filosof
|
الْفَلَاسَفَةِ بِقِدَمِ الْعَالَمِ (وَالْأَحَادُ)
وَهُوَ مُقَابِلُ الْمُتَوَاتِرِ (وَهُوَ الَّذِى يُوْجِبُ الْعَمَلَ وَلاَ
يُوْجِبُ الْعِلْمَ) لِاحْتِمَالِ الْخَطَاءِ فِيْهِ
|
|
tentang sifat qidam (dahulu) alam
semesta.
Berikutnya khabar
ahad, yakni pembanding mutawatir. Adalah khabar yang menetapkan amal
(diberlakukan) namun tidak menetapkan yakin, karena adanya kemungkinan salah
di dalamnya.
|
Penjelasan :
Khabar terbagi dua, ahad dan mutawatir. Mutawatir
adalah khabar yang diriwayatkan jamaah (banyak orang) dari sesamanya dan
seterusnya sampai mukhbar ‘anhu
(pembawa khabar). Mutawatir menetapkan yakin dengan beberapa syarat;
1.
Bilangan tawatur
(banyak orang) ada di setiap tingkatan perawinya.
2.
Pembawa khabar bersandar pada musyahadah (menyaksikan langsung) atau sama’ (mendengar langsung), bukan dari ijtihad. Seperti contoh,
mengkhabarkan melihat langsung kota Makkah atau mendengar langsung khabar Allah
swt dari Nabi saw. Lain halnya dengan mengkhabarkan hasil ijtihad, seperti
khabar dari para filosof tentang sifat qidam
(dahulu) alam semesta.
3.
Para pembawa khabar lebih dari empat orang. Empat
orang atau sebawahnya tidak menetapkan yakin.
4.
Penerima khabar tidak memahami madlul (arah makna) dari khabar secara dzarurah (pasti tahu).
Sedangkan khabar ahad adalah khabar yang menetapkan
amal (diberlakukan) namun tidak menetapkan yakin, karena adanya kemungkinan
salah di dalamnya. Baik berbentuk gharib, ‘aziz, masyhur
atau mustafidh. Khabar ahad tidak diamalkan dalam persoalan akidah[2][61].
Pertanyaan :
Apa maksud ‘menetapkan yakin’ dalam keterangan di
atas?
Jawab :
Maksudnya secara ‘adiy
(kebiasaan) menetapkan keyakinan yang bersifat otomatis (dharuri) tanpa butuh pengantar dan dapat
diperoleh mereka yang tidak memiliki kemampuan analisa, seperti anak kecil dan
lain-lain.
Referensi :
(قَوْلُهُ مَا يُوْجِبُ العِلْمَ) أَيْ خَبَرٌ شَأْنُهُ أَنْ
يُوْجِبَ العِلْمَ الضَّرُوْرِيَّ بِنَفْسِهِ إِيْجَاباً عَادِياً عَلىَ ماَ
صَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ مُحَقِّقُوْنَ وَإِنَّمَا كاَنَ ضَرُوْرِياًّ لِأَنَّهُ لاَ
يَفْتَقِرُ إِلىَ تَوْسِيْطِ المُقَدِّمَتَيْنِ وَلِأَنَّهُ يَحْصُلُ لِمَنْ لاَ
يَتَأَتَّى مِنْهُ النَّظَرُ وَالاِسْتِدْلاَلُ كاَلصِّبيْاَنِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ127)
“(Ucapan
pengarang: khabar yang menetapkan yakin), yakni khabar yang secara
karakteristik menetapkan keyakinan yang bersifat otomatis (dharuri) dengan
dirinya sendiri secara ‘adiy (kebiasaan) menurut pendapat yang dijelaskan
golongan ulama muhaqqiqin. Bahwa yakin tersebut bersifat dharuri (otomatis).
tanpa butuh ditengahi mukaddimah dan karena dapat didapatkan oleh mereka yang
tidak memiliki kemampuan analisa, seperti anak kecil”.
(وَيَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ اِلَى مُرْسَلٍ وَمُسْنَدٍ
فَالْمُسْنَدُ مَا اتَّصَلَ اِسْنَادُهُ) بِاَنْ صُرِّحَ بِرُوَاتُهُ كُلُّهُمْ
(وَالْمُرْسَلُ
مَا لَمْ يَتَّصِلْ اِسْنَادُهُ) بِاَنْ اُسْقِطَ بَعْضُ رُوَاتِهِ (فَاِنْ
كَانَ مِنْ مَرَاسِيْلِ غَيْرِ الصَّحاَبَةِ) رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ (فَلَيْسَ
بِحُجَّةٍ) لِاحْتِمَالِ اَنْ يَكُوْنَ السَّاقِطُ مَجْرُوْحًا (اِلَّا
مَرَاسِيْلَ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ) مِنَ التَّابِعِيْنَ رَضِيَ الله
عَنْهُ أَسْقَطَ الصَّحَابِىَّ وَعَزَّاهَا لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
فَهِيَ حُجَّةٌ (فَاِنَّهَا فُتِّشَتْ) اَىْ فُتِّشَ عَنْهَا (فَوُجِدَتْ مَسَانِيْدُ) اَىْ
رَوَاهَا لَهُ (الصَّحَابِى)
|
|
Khabar ahad
terbagi menjadi dua bagian, mursal dan musnad. Musnad adalah khabar yang
muttasil (bersambung) sanadnya. Dengan cara para perawi menjelaskan sanadnya
secara keseluruhan.
Dan mursal adalah
khabar yang tidak bersambung sanadnya. Dengan cara sebagian perawinya
ditiadakan. Apabila termasuk khabar-khabar mursal selain shahabat ra, maka
tidak bisa dijadikan hujjah. Karena ada kemungkinan perawi yang ditiadakan
dinilai cacat. Kecuali khabar-khabar mursal Said ibn Musayyab ra dari
kalangan Tabi’in. Beliau meniadakan seorang perawi shahabat dan menyandarkan
langsung pada Nabi saw. (Khabar beliau ini) dapat dijadikan hujjah, lantaran
setelah diteliti, ditemukan khabar-khabar (yang diriwayatkan) ternyata khabar-khabar
musnad. Dalam arti, diriwayatkan langsung kepada beliau oleh
|
الَّذِى أَسْقَطَهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِى الْغاَلِبِ صِهْرُهُ اَبُو زَوْجَتِهِ اَبُو
هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عنه. أَمَّا مَرَاسِيْلِ الصَّحَابَةِ بِاَنْ يَرْوِيَ
صَحَابِيٌّ عَنِ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ يُسْقِطُ الثَّانِى
فَحُجَّةٌ لِاَنَّ الصَّحَابَةَ كُلُّهُمْ عُدُوْلٌ
|
|
seorang shahabat dari Nabi saw. Dan
shahabat tersebut mayoritas mertuanya sendiri, bapak dari istrinya, Abu
Hurairah ra. Sedangkan khabar-khabar mursal shahabat, yaitu seorang shahabat
meriwayatkan dari shahabat yang lain dari nabi saw, kemudian shahabat kedua
ditiadakan, maka tetap menjadi hujjah, karena para shahabat semuanya dinilai
adil.
|
Penjelasan :
Khabar ahad terbagi menjadi dua, mursal dan musnad.
Musnad adalah khabar yang muttasil
(bersambung) sanadnya. Dengan cara para perawi menjelaskan sanadnya secara
keseluruhan. Dan mursal menurut ushuliyyin adalah khabar yang tidak bersambung
sanadnya. Dengan cara sebagian perawinya ditiadakan. Terbagi empat macam;
1.
Khabar mursal shahabat, yaitu seorang shahabat meriwayatkan dari
shahabat yang lain dari nabi saw, kemudian shahabat kedua ditiadakan. Ulama
sepakat menjadikannya hujjah, karena para shahabat semuanya dinilai adil.
2.
Khabar mursal kurun kedua, yakni kurun tabi’in dan tabi’it tabi’in.
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Malik, Ahmad dalam pendapat masyhur,
Abu Hanifah dan pengikutnya dari ahli hadits, fiqh dan ushul, memilih
menjadikan hujjah. Sedangkan mayoritas ahli hadits, Imam Syafi’i [3][62], Qadli Al-Baqilani, Imam Muslim, Abdul Barr, Ibnu
Sholah menyatakan khabar ini dlaif dan tidak bisa dijadikan hujjah. Pendapat
ini adalah pendapat pilihan madzhab.
3.
Khabar mursal orang adil di setiap masa.
Sebagian ulama seperti al-Karkhi menerima khabar mursal dari setiap orang adil
sebagai hujjah. Sebagian ulama yang lain seperti Ibn Aban, tidak menerima.
4.
Khabar mursal dari satu sisi dan musnad dari
sisi yang lain. Yaitu khabar yang dimursalkan seorang ahli hadits kemudian
dimusnadkan oleh ahli hadits tersebut atau oleh orang lain. Khabar ini diterima
sebagai hujjah oleh mereka yang menjadikan mursal sebagai hujjah. Sedangkan
ulama yang tidak menjadikan mursal sebagai hujjah berbeda pendapat. Sebagian
menolak, namun mayoritas menerima [4][63].
Pertanyaan :
Apa beda pengertian mursal menurut ahli ushul dan ahli
hadits?
Jawab :
Perbedaannya, mursal menurut ahli ushul adalah khabar
yang di dalamnya perantara antar perawi dihilangkan, sehingga memasukkan khabar
munqathi’, mu’dhal, dan mu’allaq[5][64] versi ahli hadits.
Sedangkan menurut ahli hadits, mursal adalah khabar yang di dalamnya
seorang perawi shahabat digugurkan. Dengan cara seorang tabi’in menyandarkan
langsung pada Nabi saw, baik secara sharih atau kinayah, baik tabi’in biasa,
seperti Abi Hatim dan Yahya bin Sa’id atau pembesar tabi’in, yakni yang
mayoritas riwayatnya dari shahabat, seperti Ibn al-Musayyab dan Qais ibn Hazim.
Referensi :
(قَوْلُهُ وَيَنْقَسِمُ) أَيْ
الآحَادُ إِلىَ قِسْمَيْنِ مُرْسَلٌ وَمُسْنَدٌ وَإِنَّماَ انْحَصَرَ فِيْهِمَا
لِأَنَّ الإِرْسَالَ عِنْدَ الأُصُوْلِيِّيْنَ تَرْكُ الوَاسِطَةِ بَيْنَ
الرَّاوِيْ عَنْهُ فَيَدْخُلُ حِيْنَئِذٍ المُنْقَطِعُ وَالمُعْضَلُ وَالمُعَلَّقُ
عِنْدَ المُحَدِّثِيْنَ....وَأَماَّ عِنْدَ المُحَدِّثِيْنَ فَالمُرْسَلُ مَا
سَقَطَ مِنْهُ صَحاَبِيٌّ بِأَنْ رَفَعَهُ تَابِعِيٌّ إِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَرِيْحًا أَوْ كِناَيَةً صَغِيْرًا كَانَ كَأَبِي
حَاتِمٍ وَيَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ أَوْ كَبِيْرًا وَهُوَ مَنْ كاَنَ جُلُّ
رِوَايَتِهِ عَنِ الصَّحَابَةِ كاَبْنِ المُسَيِّبِ وَقَيْسِ بْنِ حَازِمٍ (اَلنَّفَحَاتُ صـ130)
“(Ucapan
pengarang: terbagi), yakni khabar ahad terbagi menjadi dua, mursal dan musnad.
Pengarang meringkas menjadi dua, karena pengertian memursalkan menurut ahli
ushul adalah menghilangkan perantara antar perawi, sehingga memasukkan khabar
munqathi’, mu’dhal, dan mu’allaq versi ahli hadits…..Sedangkan menurut ahli
hadits, mursal adalah khabar yang di dalamnya seorang perawi shahabat
digugurkan. Dengan cara seorang tabi’in menyandarkan langsung pada Nabi saw,
baik secara sharih atau kinayah, baik tabi’in biasa, seperti Abi Hatim dan
Yahya bin Sa’id atau pembesar tabi’in, yakni yang mayoritas riwayatnya dari
shahabat, seperti Ibn al-Musayyib dan Qais ibn Hazim”.
Pertanyaan :
Apa maksud bersambung (muttashil) dalam sanad?
Jawab :
Maksudnya adalah bersambung secara dhahir (lahiriyyah), sehingga mencakup
khabar munqathi’ khafi (munqathi’
yang samar) seperti khabar ‘an’anah dari seorang muddalis (orang yang mengkaburkan khabar) atau orang yang semasa
dan tidak bisa dipastikan pernah bertemu.
Referensi :
وَالمُرَادُ بِالاِتِّصَالِ
اَلاِتِّصَالُ ظاَهِرًا فَيَشْمَلُ الاِنْقِطَاعَ الخَفِيَّ كَعَنْعَنَةِ
المُدَلِّسِ وَالمُعَاصِرِ الَّذِيْ لَمْ يَثْبُتْ لَقْيُهُ (اَلنَّفَحَاتُ صـ130-131)
“Maksud ittishal
(bersambung) adalah bersambung secara dhahir (lahiriyyah), sehingga mencakup
khabar munqathi’ khafi (samar terputusnya) seperti khabar ‘an’anah dari seorang
muddalis (pelaku tadlis) atau orang yang semasa dan tidak bisa dipastikan
pernah bertemu”.
(وَالْعَنْعَنَةُ)
بِاَنْ يُقَالَ حَدَّثَنَا فُلاَنٌ عَنْ فُلاَنٍ اِلَى أَخِرِهِ (فَتَدْخُلُ
عَلَى الْإِسْنَادِ) اَىْ عَلَى حُكْمِهِ فَيَكُوْنُ الْحَدِيْثُ الْمَرْوِيُّ
بِهَا فِى حُكْمِ الْمُسْنَدِ لاَ فِى حُكْمِ الْمُرْسَلِ لِاتِّصَالِ سَنَدِهِ
فِى الظَّاهِرِ
|
|
Khabar
‘an’anah, yakni yang diucapkan dengan حَدَّثَنَا
فُلاَنٌ عَنْ فُلاَنٍ الخ (telah meriwayatkan hadits kepadaku,
fulan dari fulan dst), maka termasuk musnad, atau sama hukumnya dengan
musnad. Sehingga hadits yang diriwayatkan dengan ‘an’anah dihukumi musnad,
bukan mursal, karena sanadnya secara lahiriah bersambung.
|
Penjelasan
:
Khabar ‘an’anah
atau mu'an'an adalah khabar yang diriwayatkan dengan dengan حَدَّثَنَا فُلاَنٌ عَنْ فُلاَنٍ الخ (telah meriwayatkan hadits
kepadaku, fulan dari fulan dst) tanpa penjelasan telah ada periwayatan
khabar atau telah mendengar sebuah khabar.
Eksistensi khabar ini dihukumi musnad, karena sanadnya
secara lahiriyah bersambung. Dan bisa dihukumi shahih, hasan,dan dha'if
tergantung pada kualitas matan dan sanadnya.
Pertanyaan :
Mengapa khabar mu'an'an oleh pengarang
disebutkan khusus di sini, tidak khabar-khabar musnad yang lain? Dan apa syarat
khabar mu’an’an dihukumi musnad?
Jawab :
Karena dalam khabar mu’an’an terdapat perbedaan
pendapat ulama mengenai hukum musnadnya. Menurut Jumhur ahli hadits dan
selainnya, khabar mu’an’an termasuk muttashil dengan syarat orang yang
menyampaikan mu’an’an selamat dari tadlis
(mengkaburkan khabar) dan disyaratkan juga dipastikan pernah bertemu dengan
orang yang menyampaikan riwayat mu’an’an kepadanya, menurut pendapat
yang dipilih Imam Bukhari dan gurunya Ibn al-Madini dan selain keduanya dari
ahli hadits. Namun imam Muslim tidak mensyaratkan syarat kedua ini, dan
mencukupkan kepastian bahwa kedua orang tersebut dari satu masa, meskipun sama
sekali tidak pernah didengar kabar bahwa keduanya berkumpul atau berdialog
dengan bertatap muka.
Referensi :
وَإِنَّمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ
دُوْنَ بَقِيَّةِ المُسْنَدَاتِ لِأَنَّهُمْ اِخْتَلَفُوْا فيِ حُكْمِ اِسْناَدِ
المُعَنْعَنِ فَالَّذِيْ صَحَّحَهُ جُمْهُوْرُ المُحَدِّثِيْنَ وَغَيْرُهُمْ
أَنَّهُ مِنَ المُتَّصِلِ بِشَرْطِ سَلاَمَةِ مُعَنْعِنِهِ مِنَ التَّدْلِيْسِ
وَيُشْتَرَطُ ثُبُوْتُ مُلاَقاَتِهِ لِمَنْ رَوَاهُ عَنْهُ بِالعَنْعَنَةِ عَلىَ
مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ البُخَارِيُّ وَشَيْخُهُ اِبْنُ المَدِيْنِيْ وَغَيْرِهِمَا
مِنْ أَئِمَّةِ الحَدِيْثِ وَمُسْلِمٌ لَمْ يَشْتَرِطْ الثَّانيِ بَلْ اكْتَفَى
بِثُبُوْتِ كَوْنِهِمَا فيِ عَصْرٍ وَاحِدٍ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فيِ خَبَرٍ قَطُّ
أَنَّهُماَ اِجْتَمَعاَ أَوْ تَشَافَهَا (اَلنَّفَحَاتُ صـ133)
“Pengarang
mengingatkan tentang khabar mu’an’an, tidak khabar musnad yang lain, karena
dalam khabar mu’an’an terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum
musnadnya. Menurut yang dishahihkan Jumhur ahli hadits dan selainnya, khabar
mu’an’an termasuk muttashil dengan syarat orang yang menyampaikan mu’an’an
selamat dari tadlis (mengkaburkan khabar) dan disyaratkan juga dipastikan
pernah bertemu dengan orang yang menyampaikan riwayat mu’an’an kepadanya,
menurut pendapat yang dipilih Imam Bukhari dan gurunya Ibn al-Madini dan selain
keduanya dari ahli hadits. Namun imam Muslim tidak mensyaratkan syarat kedua
ini, dan mencukupkan kepastian bahwa kedua orang tersebut dari satu masa,
meskipun sama sekali tidak pernah didengar kabar bahwa keduanya berkumpul atau
berdialog langsung”.
(وَاِذَا قَرَأَ الشَّيْخُ) وَغَيْرُهُ يَسْمَعُهُ
(يَجُوْزُ لِلرَّاوِى أَنْ يَقُوْلَ حَدَّثَنِى أَوْ أَخْبَرَنِى وَاِنْ قَرَأَ
هُوَ عَلىَ الشَّيْخِ فَيَقُوْلُ أَخْبَرَنِى وَلَا يَقُوْلُ حَدَّثَنِى)
لِاَنَّهُ لَمْ يُحَدِّثْهُ
وَمِنْهُمْ مَنْ اَجَازَ حَدَّثَنِى وَعَلَيْهِ
عُرْفُ اَهْلِ الْحَدِيْثِ لِاَنَّ الْقَصْدَ اْلِإعْلَامُ بِالرِّوَايَةِ عَنِ
الشَّيْخِ (وَاِنْ أَجَازَه ُالشَّيْخُ مِنْ غَيْرِ قِرَاءَةٍ فَيَقُوْلُ
اَجَازَنِى وَأَخْبَرَنِى اِجَازَةً)
|
|
Apabila
seorang guru membaca dan yang lain mendengarkannya, maka diperbolehkan bagi
perawi mengatakan حَدَّثَنِى (telah menyampaikan hadits
padaku), atau أَخْبَرَنِى (telah memberi khabar padaku).
Apabila orang tersebut membaca di depan guru, maka boleh mengatakan أَخْبَرَنِى tidak boleh mengatakan حَدَّثَنِى, karena guru tersebut tidak menyampaikan hadits padanya.
Sebagian ulama memperbolehkan bahasa حَدَّثَنِى. Dan pendapat ini yang
terpakai sebagai urf (kebiasaan) ahli hadits, karena tujuannya adalah
memberitahukan tentang adanya riwayat dari guru. Apabila guru mengijazahi
tanpa membaca, maka dia boleh mengatakan اَجَازَنِى
(telah memberi
ijazah padaku) atauأَخْبَرَنِى
اِجَازَةً (telah memberi khabar padaku dengan
ijazah).
|
Penjelasan :
Pembahasan ini mengenai lafadz-lafadz riwayat dan tahammul (mengambil khabar dari orang
lain). Sandaran penukilan hadits terbagi dua, sandaran shahabat dan selain
shahabat.
1. Sandaran (mustanad)
shahabat. Terbagi dua macam;
a.
Yang tidak diperselisihkan. Yakni ketika lafadz yang digunakan tidak
mungkin diartikan selain makna yang ditunjukkan. Karena lafadz ini menunjukkan
mendengar langsung secara sharih (jelas), tanpa ada perantara.
Bagian ini
termasuk derajat tertinggi dalam penukilan khabar. Seperti ucapan seorang
shahabat;
§
حَدَّثَنِى رَسُوْلُ الله e “Rasulullah
telah menyampaikan hadits padaku”
§
أَخْبَرَنِى رَسُوْلُ الله e
“Rasulullah telah memberi khabar padaku”
§
شَافَهَنِي رَسُوْلُ الله e
“Rasulullah mengatakan langsung
kepadaku”
§
سَمِعْتُهُ e يَقُوْلُ “Aku mendengar Rasulullah
berkata”
§
رَأَيْتُهُ e يَفْعَلُ “Aku
melihat Rasulullah melakukan”
b.
Yang diperselisihkan, karena lafadz ini tidak menunjukkan mendengar
langsung secara sharih (jelas), dan ada kemungkinan ada perantara antara perawi
shahabat dengan Rasulullah. Menurut pendapat shahih, lafadz ini diarahkan pada
mendengar langsung dan dijadikan hujjah. Urutan derajat lafadz-lafadz ini
adalah sebagai berikut;
§
قاَلَ رَسُوْلُ الله“Rasulullah telah berkata” e
§ أَمَرَناَ رَسُوْلُ الله e بِكَذَا / نَهىَ عَنْ كَذاَ
“Rasulullah telah memerintahkan kami /
melarang hal demikian”
§
أُمِرْناَ بكذا / نُهَيْناَ
عَنْ كَذاَ / أُوْجِبَ كَذاَ / حُرِّمَ كَذاَ / رُخِّصَ فيِ كَذاَ
“Kami diperintah
/ dilarang / diwajibkan /diharamkan / diringankan hal demikian”
§ مِنَ السُّنَّةِ كَذاَ / جَرَتْ السُّنَّةُ عَلىَ كَذاَ / مَضَتْ السُّنَّةُ بِكَذاَ
“Demikian
termasuk sunnah Nabi / sunnah telah memberlakukan demikian / sunnah terdahulu
begini”
§
كُنَّا نَفْعَلُ فِي عَهْدِهِ e كَذَا / كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِي عَهْدِهِ e كَذاَ
“Kami telah
melakukan di masa Beliau saw perbuatan demikian / Manusia telah menjalankan
begini semasa Nabi saw”
2. Sandaran selain shahabat. Urutan derajat
lafadz-lafadznya adalah sebagai berikut;
a.
Derajat tahammul (mengambil
hadits dari guru) paling tinggi, yakni mendengar khabar dari lafadznya guru
dengan cara membaca atau didikte (imla’).
Apabila guru bertujuan memperdengarkan pada perawi itu sendiri atau bersama
orang lain, maka perawi boleh mengatakan; حَدَّثَنِى / حَدَّثَناَ (telah menyampaikan hadits padaku /kami), atau أَخْبَرَنِى / أَخْبَرَناَ (telah memberi khabar padaku /kami). Namun bila guru tidak bertujuan
demikian, maka kata-kata di atas tidak diperbolehkan. Dan hanya boleh
mengatakan; قاَلَ فُلاَنٌ كَذاَ وَأَناَ أَسْمَعُهُ (Fulan
mengatakan begini, dan aku mendengarkannya”), atau حَدَّثَ بِكَذَا (menyampaikan
hadits begini), atau سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ كَذاَ (aku
mendengarnya mengatakan begini).
b.
Murid (perawi) membaca di depan guru dan guru mendengarkannya. Maka boleh
bagi perawi mengatakan حَدَّثَنِى (telah menyampaikan hadits padaku), atau أَخْبَرَنِى (telah memberi
khabar padaku), atauسَمِعْتُهُ (aku mendengarnya). Sebagian pendapat
tidak memperbolehkan mengatakan حَدَّثَنِى (telah
menyampaikan hadits padaku).
c.
Perawi mendengar bacaan orang lain di depan guru. Maka boleh bagi perawi
mengatakan; حَدَّثَناَ قِرَاءَةً عَلَيْهِ (telah
menyampaikan hadits pada kami dengan cara membaca di depannya), atau أَخْبَرَنا قِرَاءَةً عَلَيْهِ (telah memberi khabar padaku dengan membaca di depannya). Boleh juga
tanpa menyebutkan atau قِرَاءَةً عَلَيْهِ (dengan membaca di depannya).
d.
Dengan model ijazah, yakni guru mengatakan pada murid; “Aku ijazahkan
padamu untuk meriwayatkan hadits ini / kitab ini / beberapa kitab ini dariku”.
Derajat paling
tinggi adalah yang dibarengi dengan munawalah
(serah terima) atas ashl sama’ (hadits
yang didengarkan), seperti, “Ini adalah hadits yang aku dengar”, atau yang
setara, seperti, “Ini adalah riwayatku dari Fulan”, kemudian guru mengatakan;
“Aku ijazahkan riwayat hadits ini dariku”.
Ijazah ada
beberapa macam.
1) Ijazah khusus dalam riwayat khusus, contoh “Aku
ijazahkan padamu riwayat al-Bukhari”.
2) Ijazah khusus dalam riwayat umum, contoh “Aku
ijazahkan padamu riwayat semua hadits yang aku dengar”.
3) Ijazah umum dalam riwayat khusus, contoh “Aku
ijazahkan pada orang yang berjumpa denganku riwayat Muslim”.
4) Ijazah umum dalam riwayat umum, contoh “Aku ijazahkan
pada orang yang semasa denganku riwayat semua hadits yang aku dengar”.
Saat
menyampaikan (ada’), bagi perawi yang
menerima ijazah boleh mengatakan اَجَازَنِى (telah memberi
ijazah padaku). Atau اِجَازَةً أَخْبَرَنِى (telah memberi khabar padaku dengan cara ijazah).
e.
Dengan model munawalah (serah
terima) tanpa ijazah, yakni seorang guru menyerahkan lembaran pada muridnya
dengan mengatakan, “Ini adalah hadits yang aku dengar”, namun tidak
memperbolehkan muridnya untuk meriwayatkan. Sehingga menurut pendapat shahih
tidak boleh diriwayatkan.
f.
Dengan model wasiat, seperti guru memberi wasiat sebuah kitab atau semua
kitab pada seorang murid atau beberapa muridnya saat bepergian atau akan
meninggal dunia.
g.
Dengan model penemuan, seperti murid menemukan kitab atau hadits yang
menggunakan khath (tulisan) guru terkenal. Maka boleh meriwayatkan jika yakin
dengan tulisan tersebut [6][65].
Pertanyaan :
Apa perbedaan حَدَّثَناَ dan أَخْبَرَناَ ?
Jawab :
Lafadz حَدَّثَناَ menunjukkan
bahwa yang terjadi adalah guru membaca dan orang lain mendengarkan. Sedangkan أَخْبَرَناَ menunjukkan hal
yang lebih umum.
Referensi :
وَذَلِكَ لِأَنَّ
التَّحْدِيْثَ فيِ عُرْفِهِمْ عِباَرَةٌ عَنْ قِرَاءَةِ الشَّيخِ وَغَيْرُهُ
يَسْمَعُ بِخِلاَفِ الإِخْباَرِ فَهُوَ أَعَمُّ مِنْهُ مُطْلَقاً (اَلنَّفَحَاتُ صـ135)
“Perbedaan itu
adalah karena tahdits (akar kata حَدَّثَناَ) dalam tradisi ahli hadits
merupakan bahasa untuk menunjukkan guru membaca dan orang lain mendengarkan.
Berbeda dengan ikhbar (akar kata أَخْبَرَناَ), maka lebih umum dari tahdits
secara mutlak”.
[3][62] Menurut As-Syafi'i, hadits
mursal dari pemuka tabi'in dapat dijadikan hujjah dengan beberapa persyaratan.
Syarat dalam haditsnya, minimal di kuatkan salah satu faktor di antaranya, 1).
Ada periwayatan secara musnad dari jalur lain. 2). Ditemukan hadits mursal
semakna dari perawi lain yang semua jalur periwayatannya berbeda dari hadits
pertama. 3). Semakna dengan pendapat sebagian shahabat. 4). Sesuai dengan
pendapat mayoritas ahli ilmu (ulama). Syarat dalam perawi, perawi mursal
seandainya menyebutkan perawi yang ada di atasnya tidak dengan status majhul
(tidak jelas) dan tidak marghûb 'anh (tidak disukai) dalam
periwayatannya_(Manhaj an-Naqd dan lain-lain)
[5][64] Munqathi’ adalah hadits
yang salah satu perawinya selain shahabat ditiadakan. Mu’dhal, adalah
hadits yang di dalam satu tempat dari sanadnya digugurkan dua perawi atau
lebih. Mu’allaq adalah hadits yang sanadnya dibuang_An-Nafahat hal 130
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik