LAFADZ ‘AM
(وَأَمَّا الْعَامُ فَهُوَ مَا عَمَّ شَيْئَيْنِ
فَصَاعِدًا) مِنْ غِيْرِ حَصْرٍ (مِنْ قَوْلِهِ عَمَمْتُ زَيِدًا وَعَمْرًا
بِالْعَطَاءِ وَ عَمَمْتُ جَمِيْعَ النَّاسِ بِالْعَطَاءِ) أَى شَمِلْتُهُمْ
بِهِ فَفِى الْعاَمِ شُمُوْلٌ
|
|
Lafadz ‘am yaitu lafadz
yang mencakup dua perkara atau lebih tanpa batas. Diambil dari ucapan
seseorang, “aku mengumumkan Zaid dan Umar dengan pemberian” dan ucapan “aku
mengumumkan semua manusia dengan pemberian”, yang artinya aku membagikan
secara merata pemberian pada mereka. Dalam lafadz ‘am terdapat pemerataan.
|
Penjelasan :
Lafadz ‘am yaitu lafadz yang mencakup dua perkara atau
lebih tanpa batas. Contoh;
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik”
Perintah membunuh berlaku pada setiap orang yang memiliki
kriteria musyrik.
Uraian definisi :
1.
Lafadz : mengecualikan
makna, karena ‘am termasuk sifat dari lafadz.
2.
Mencakup dua perkara atau lebih : mencakup satu persatu dari perkara yang pantas
masuk di dalamnya dalam satu tahapan (دَفْعَةً). Mengecualikan;
a.
Lafadz muthlak. Lafadz ini tidak menunjukkan أَفْرَادْ (satu persatunya) dari perkara yang pantas masuk di
dalamnya.
b.
Nakirah dalam rangkaian kalimat itsbat (positif), baik mufrad, tastniah
atau jamak. Seperti lafadz رَجُلٌ، رَجُلَيْنِ رِجَالٌ.
c.
Isim ‘adad seperti lafadz عَشْرَةٌ.
Catatan; sub b dan c mencakup perkara yang pantas masuk di dalamnya dengan cara
mengganti (بَدَلٌ),
tidak secara umum dan menghabiskan keseluruhannya (اِسْتِغْرَاقٌ).
Contoh;
- أَكْرِمْ رَجُلاً (mulyakanlah
seorang laki-laki!)
- تَصَدَّقْ بِعَشْرَةِ دَرَاهِمَ (bersedekahlah sepuluh dirham!)
Lafadz رَجُلاً tidak mencakup setiap laki-laki, dan orang yang
diperintah lepas dari tuntutan dengan memuliyakan satu laki-laki tanpa
ditentukan. Dan lafadz عَشْرَةِ tidak mencakup setiap ‘sepuluh’, dan orang yang
diperintah cukup bersedekah sepuluh dirham satu kali tanpa ditentukan.
3.
Tanpa batas : mengecualikan isim ‘adad dipandang dari sisi أَفْرَادْ (satu persatunya). Dimana secara lafadz isim ‘adad
menghabiskan afrad-nya, namun hanya terbatas.
Contoh, lafadz عَشْرَةِ,
menghabiskan afrad tidak lebih dari jumlah yang terbilang.
(وَأَلْفَاظُهُ) الْمَوْضُوْعَةُ لَهُ (أَرْبَعَةٌ
اَلْاِسْمُ) الْوَاحِدُ (اَلْمُعَرَّفُ بِالْأَلِفِ وَاللَّامِ) نَحْوُ إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا
(وَاسْمُ الْجَمْعِ الْمُعَرَّفِ بِاللاَّمِ) نَحْوُ
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ
(وَالْأَسْمَاءُ الْمُبْهَمَةُ كَمَنْ فِيْمَنْ
يَعْقِلُ) كَمَنْ دَخَلَ دَارِى فَهُوَ آمِنٌ (وَمَا فِيْمَا لاَ يَعْقِلُ)
نَحْوُ مَا جَاءَنِى مِنْكَ أَخَذْتُهُ
(وَأَىٌّ) اِسْتِفْهَامِيَّةٌ أَوْ شَرْطِيَّةٌ أَوْ
مَوْصُوْلَةٌ (فِى الْجَمِيْعِ) أَىْ مَنْ يَعْقِلُ وَمَا لاَ يَعْقِلُ نَحْوُ
أًىُّ عَبِيْدِىْ جَاءَكَ أَحْسِنْ اِلَيْهِ وَأَيُّ الْأَشْيَاءِ أَرَدْتَ
أَعْطَيْتُكَهُ
(وَأَيْنَ فِى الْمَكَانِ) نَحْوُ أَيْنَمَا تَكُنْ
أَكُنْ مَعَكَ
|
|
Lafadz-lafadz
yang dibuat sebagai lafadz ‘am ada empat macam.
1. Isim mufrad yang dimakrifatkan menggunakan alif lam,
contoh:
إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا
“Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”
2. Isim jamak yang dimakrifatkan menggunakan alif lam,
contoh:
فَاقْتُلُوا
الْمُشْرِكِيْنَ
“Maka bunuhlah
orang-orang musyrik”
3. Isim-isim mubham, seperti;
مَنْ untuk yang memiliki akal, contoh:
مَنْ دَخَلَ دَارِى فَهُوَ أمِنٌ
“Barangsiapa
masuk rumahku, maka dia aman”
ماَ untuk
yang tidak berakal, contoh:
مَا جَاءَنِى مِنْكَ أَخَذْتُهُ
“Apapun yang
datang darimu, maka aku mengambilnya”
أي baik
jenis istifham, syarath atau maushul, untuk semuanya, yakni yang berakal
maupun yang tidak berakal, contoh:
أًىُّ
عَبِيْدِىْ جَاءَكَ أَحْسِنْ اِلَيْهِ
“Siapapun
budak-budakku datang padamu, maka berbuatlah baik padanya”
وَأَيُّ
الْأَشْيَاءِ أَرَدْتَ أَعْطَيْتُكَهُ
“Apapun
perkara-perkara yang kamu inginkan, aku akan memberimu perkara itu”
أَيْنَ menunjukkan tempat, contoh:
أَيْنَمَا
تَكُنْ أَكُنْ مَعَكَ
“Di
manapun tempat kamu ada, maka aku akan ada bersamamu”
متى menunjukkan
waktu, contoh:
مَتَى
شِئْتَ جِئْتُكَ
“Kapanpun
kamu ingin, aku akan mendatangimu”
|
(وَمَتىَ فىِ الزَّمَانِ) نَحْوُ مَتَى شِئْتَ
جِئْتُكَ
(وَمَا فِى الْإِسْتِفْهَامِ) نَحْوُ ماَ عِنْدَكَ
(وَالْجَزَاءِ) نَحْوُ مَا تَعْمَلْ تُجْزَ بِهِ وَفِى نُسْخَةٍ وَالْخَبَرِ
بَدَلَ الْجَزَاءِ نَحْوُ عَمِلْتُ مَا
عَمِلْتَ (وَغَيْرِهِ) كَالْخَبَرِ
عَلَى النُّسْخَةِ الْأُوْلَى وَالْجَزَاءِ عَلَى الثَّانِيَةِ
(وَلاَفِى النَّكِرَاتِ) نَحْوُ لاَرَجُلَ فِى
الدَّارِ
|
|
ما menunjukkan
istifham, contoh:
مَا
عِنْدَكَ
“Apa
yang ada padamu?”
Dan
untuk jaza’, contoh:
مَا
تَعْمَلْ تُجْزَ بِهِ
“Apapun yang kamu
lakukan, maka akan dibalas”
Dalam
sebagian naskah tertulis ‘menunjukkan khabar’ sebagai ganti dari kata
‘jaza’’, contoh:
عَمِلْتُ
مَا عَمِلْتَ
“Aku melakukan
apapun yang kamu lakukan”
Dan
lain-lain, sebagaimana yang menunjukkan khabar menurut naskah pertama, atau
jaza’ menurut naskah kedua.
4. Lafadz لا yang digunakan
dalam isim-isim nakirah, contoh:
لاَرَجُلَ
فِى الدَّارِ
“Tidak ada
seorang laki-lakipun di dalam rumah”
|
Penjelasan :
Pembagian keseluruhan shighat ‘am (umum) adalah
sebagai berikut;
I.
Umum berdasarkan ketetapan (wadla’) lughat. Terbagi 2;
A. Ketetapan lughat murni tanpa qarinah. Ada 5
macam;
1. Seimbang digunakan pada yang berakal dan tidak
berakal. Lafadznya adalah sebagai berikut;
a. كُلٌّ,
termasuk shighat paling kuat. Contoh:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”
b. أَيٌّ,
baik istifham, syarthiyah atau maushul. (Contoh lihat di terjemahan).
c. اَلَّذِيْ,
baik mufrad, tastniyah, atau jamak. Contoh :
أَكْرِمْ الَّذِيْ جاَءَكَ
“Mulyakan orang laki-laki yang mendatangimu”
وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا
“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji
di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya”.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ
سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan
Kami”.
d. الَّتِيْ,
Contoh :
أَكْرِمْ الَّتِيْ جاَءَكَ
“Mulyakan seorang perempuan yang mendatangimu”
e. جَمِيْعُ,
Contoh :
جاَءَ جمَِيْعُ القَوْمِ
“Telah datang seluruh kaum”
f. سَائِرٌ,
yang diambil dari makna akar kata سُوْرٌ (tembok batas kota) bukan dari سُؤْرٌ (sisa). Contoh:
خَرَجَ سَائِرُ القَوْمِ لِلْجِهَادِ
“Telah keluar seluruh kaum untuk berjihad”
2. Untuk yang berakal secara hakikat, namun terkadang
dipakai yang tidak berakal secara majaz, yaitu lafadz مَنْ. Umum digunakan untuk laki-laki atau perempuan,
merdeka atau budak. Baik berbentuk syarthiyah, contoh:
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
“Barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan
itu”.
Atau istifhamiyah, contoh:
مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا
“Siapakah yang
membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?".
Atau maushulah, contoh:
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ
“Hanya kepada
Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi”.
3.
Untuk yang tidak berakal secara hakikat, namun
terkadang dipakai yang berakal secara majaz, yakni lafadz ماَ. Baik berbentuk syarthiyah,
contoh:
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ
يَعْلَمْهُ اللَّهُ
“Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya”.
Atau istifhamiyah, contoh:
فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا
الْمُرْسَلُونَ
“Berkata (pula) Ibrahim: "Apakah urusanmu yang penting (selain itu),
hai para utusan?"
Atau maushulah, contoh:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ
وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah
kekal”.
4. Untuk keterangan waktu saja, yakni lafadz مَتىَ. Baik berbentuk istifhamiyah, contoh:
مَتَى هَذَا الْوَعْدُ
“Dan mereka
berkata: "Kapankah (datangnya) janji ini?".
Atau syarthiyyah, contoh:
مَتَى جِئْتَنيِ أَكْرَمْتُكَ
“Kapanpun engkau
mendatangiku, aku akan memuliakanmu".
5. Untuk keterangan tempat saja, yakni lafadz أَيْنَ. Baik berbentuk istifhamiyah, contoh:
أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تُشَاقُّونَ
فِيهِمْ
"Di manakah
sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kamu selalu memusuhi mereka
(nabi-nabi dan orang-orang mu'min)?"
Atau syarthiyyah, contoh:
أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ
“Di mana saja
kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat)”.
Selain itu ada lafadz حَيْثُماَ yang berbentuk syarthiyah, contoh:
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ
“Dan di mana
saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya”.
B. Ketetapan lughat murni disertai qarinah. Ada 2 jenis:
1. Qarinah dalam kalimat itsbat (positif), ada 4
macam;
a. Jamak yang dimasuki alif lam, atau al-jam’u
al-mu’arraf (jamak yang dimakrifatkan). Contoh:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman”
b. Jamak yang dimakrifatkan dengan idhafah,
contoh:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
“Allah
mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”.
c. Mufrad yang dimakrifatkan dengan alif lam, disebut
juga dengan isim jinis contoh:
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”
d. Mufrad yang dimakrifatkan dengan idhafah,
contoh:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
“Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul”.
2. Qarinah dalam kalimat nafi (negatif)
Terdapat dalam isim nakirah yang terletak dalam runtutan kalimat nafi, baik
menggunakan ماَ، لَمْ، لَنْ، لَيْسَ ataupun yang
lainnya. Hanya saja dalalahnya akan berbentuk nash apabila dimabnikan
fathah, contoh:
لاَرَجُلَ فِى الدَّارِ
“Tidak ada seorang laki-lakipun di dalam rumah”
Dan berbentuk dzahir apabila tidak mabni fathah, contoh:
ماَ فيِ الدَّارِ رَجُلٌ
“Tidak ada seorang laki-lakipun di dalam rumah”
Hal-hal yang semakna dengan nafi hukumnya disamakan. Seperti nahi,
contoh:
لاَ تَضْرِبْ أَحَداً
“Janganlah kamu memukul seseorang”
Atau istifham inkari, contoh:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Apakah kamu
mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”
Nakirah dalam dalam runtutan kalimat syarthi
hukumnya juga disamakan. Contoh:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ
فَأَجِرْهُ
“Dan jika
seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah”.
II.
Umum berdasarkan Urf
Terdapat dalam mafhum mufawaqah yang aulawi (lebih tinggi) dan musawi
(menyamai). Contoh:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka
sekali-kali jangan kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah".
Urf dalam hal ini memindah lafadz dalam contoh di atas menuju makna segala
macam perbuatan menyakiti yang lebih tinggi dibanding perkataan “ah”, seperti
memukul dan lain-lain.
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى
ظُلْمًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim”.
Urf mengumumkan pada semua bentuk perusakan yang menyamai memakan harta
dengan titik persamaan berupa membuat dharar (membahayakan) atas harta
anak yatim.
III.
Umum berdasarkan akal
Batasannya adalah setiap hukum yang dikaitkan dengan sifat, sehingga menyimpulkan
sifat tersebut menjadi illatnya. Contoh:
اِقْطَعْ يَدَ السَّارِقِ
“Potonglah
tangan orang yang mencuri”
أَكْرِمْ العَالِمَ
“Mulyakanlah
orang alim”
Contoh-contoh di atas mengindikasikan bahwa sifat yang menjadi illat dari
terbangunnya sebuah hukum. Sehingga secara akal menetapkan bahwa setiap
ditemukan sifat tersebut, maka hukum juga ditemukan. Perantaraan akal inilah
yang membantu lafadz-lafadz di atas menunjukkan sifat umum [1][35].
Pertanyaan :
Bagaimana klasifikasi dari lafadz umum?
Jawab :
Ada 2 pembagian.
1. Umum bentuk lafadz dan maknanya, yakni yang lafadznya
berbentuk jamak dan maknanya istighraq (menghabiskan
afrad-nya), baik ada bentuk
mufradnya, contoh اَلرِّجَالُ atau tidak ada bentuk mufradnya, contoh اَلاَباَبِيْلُ.
2. Umum maknanya saja, yakni yang lafadznya berbentuk
mufrad dan maknanya istighraq. Terbagi
dua macam;
a. Lafadz yang mencakup kumpulan, tidak setiap individunya.
Dan hukum ditetapkan pada individu karena masuk dalam kumpulan tersebut. Contoh
lafadz الرَّهْطُ (sekumpulan), القَوْمُ (kaum), اَلجِنُّ (bangsa jin), الإِنْسُ (bangsa manusia), dan الجَمِيْعُ (seluruhnya).
b. Lafadz yang mencakup tiap individu secara menyeluruh,
dan hukum mengikat setiap satu persatu baik saat kumpul atau sendiri-sendiri.
Contoh;
مَنْ
دَخَلَ هَذَا الحِصْنَ فَلَهُ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa masuk benteng ini, maka baginya satu
dirham”
Referensi :
وَاعْلَمْ أَنَّ أَلْفَاظَ
الْعُمُومِ قِسْماَنِ اَلأَوَّلُ العَامُّ بِصِيغَتِهِ وَمَعْنَاهُ وَهُوَ
مَجْمُوْعُ اللَّفْظِ وَمُسْتَغْرِقُ المَعْنىَ سَوَاءٌ كاَنَ لَهُ وَاحِدٌ مِنْ
لَفْظِهِ كَالرِّجَالِ أَوْ لاَ كاَلاَباَبِيْلِ اَلثَّانِي العَامُّ بِمَعْنَاهُ
فَقَطْ وَهُوَ مُفْرَدُ اللَّفْظِ وَمُسْتَغْرِقُ المَعْنىَ وَهُوَ يَنْقَسِمُ
إِلىَ قِسْمَيْنِ مَا يَتَنَاوَلُ المَجْمُوْعَ لاَ كُلَّ فَرْدٍ وَحَيْثُ ثَبَتَ
الحُكْمُ لِلأَفْرَادِ إِنَّمَا هُوَ لِدُخُوْلِهَا فيِ المَجْمُوْعِ كَالرَّهْطِ
وَالقَوْمِ وَالْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالجَمِيْعِ وَماَ يَتَنَاوَلُ كُلَّ وَاحِدٍ
عَلىَ سَبِيْلِ الشُّمُوْلِ بِأَنْ يَتَعَلَّقَ الحُكْمُ بِكُلِّ فَرْدٍ
اِجْتِمَاعاً وَانْفِرَادًا نَحْوُ مَنْ دَخَلَ هَذَا الحِصْنَ فَلَهُ دِرْهَمٌ
اهـ (اَلنَّفَحَاتُ صـ71)
“Ketahuilah
bahwa lafadz-lafadz umum ada 2 pembagian. Pertama, umum bentuk lafadz dan
maknanya, yakni yang lafadznya berbentuk jamak dan maknanya istighraq
(menghabiskan afrad-nya), baik ada bentuk mufradnya, contoh اَلرِّجَالُ atau tidak ada bentuk mufradnya, contoh اَلاَباَبِيْلُ.
Kedua, umum maknanya saja, yakni yang lafadznya berbentuk mufrad dan maknanya
istighraq. Terbagi dua; 1). Lafadz yang mencakup kumpulan, tidak setiap
individunya. Dan hukum ditetapkan pada individu karena masuk dalam kumpulan
tersebut. Contoh lafadz الرَّهْطُ (sekumpulan),
القَوْمُ (kaum),
اَلجِنُّ (bangsa
jin), الإِنْسُ (bangsa
manusia), dan الجَمِيْعُ (seluruhnya).
2). Lafadz yang mencakup tiap individu secara menyeluruh, dan hukum mengikat
setiap satu persatu baik saat kumpul atau sendiri-sendiri. Contoh; “Barangsiapa
masuk benteng ini, maka baginya satu dirham”.
(وَالْعُمُوْمُ مِنْ صِفَاتِ النُّطْقِ
وَلاَيَجُوْزُ دَعْوَى الْعُمُوْمِ فِى غَيْرِهِ مِنَ الْفِعْلِ وَمَا يَجْرِىْ
مَجْرَاهُ) كَمَا فِى جَمْعِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ
فِى السَّفَرِ رَوَاهُ الْبُخَارِى فَاِنَّهُ لاَ يَعُمُّ السَّفَرَ الطَّوِيْلَ
وَالْقَصِيْرَ فَاِنُّهُ اِنَّمَا يَقَعُ فِى وَاحِدٍ مِنْهُمَا
وَكَمَا
|
|
Umum adalah
bagian dari sifat-sifat ucapan. Dan tidak diperbolehkan mengklaim umum pada
selain ucapan, berupa perbuatan atau yang sejenis. Sebagaimana dalam masalah
jamak shalatnya Rasulullah saw pada waktu bepergian, yang diriwayatkan Imam
Al-Bukhari. Dalam hal ini (bepergian yang dimaksud) tidak bisa berlaku umum
untuk bepergian jarak jauh dan dekat. Dan bahwasanya (jamak shalat) tersebut
hanya terjadi pada salah satunya. Contoh lain seperti halnya
masalah ketetapan hukum
|
فِى قَضَائِهِ باِلشُّفْعَةِ لِلْجَارِ رَوَاهُ
النَّسَائِيُّ عَنِ الْحَسَنِ مُرْسَلاً , فَاِنَّهُ لاَ يَعُمُّ كُلَّ جَارٍ لِاحْتِمَالِ
خُصُوْصِيَّةِ فِى ذلِكَ الجاَرِ
|
|
Rasullullah saw bahwa hak syuf’ah diperuntukkan bagi tetangga,
diriwayatkan Imam An-Nasa’i dari Hasan berbentuk hadits Mursal. Ketetapan ini
tidak bisa berlaku umum untuk setiap tetangga, karena dimungkinkan ada
spesifikasi khusus pada tetangga tersebut.
|
Penjelasan :
Umum (‘am) adalah sifat dari perkataan.
Perbuatan yang ditetapkan (الفِعْلُ المُثْبَتْ) tidak bisa disifati dengan umum, seperti contoh
shalat jamak di atas. Berbeda halnya jika perbuatan tersebut dinafikan (الفِعْلُ المَنْفِيُ), maka memiliki sifat umum,
karena disetarakan dengan isim nakirah.
Ketetapan hukum (qadlaya)
seperti penetapan hak syuf’ah[2][36] bagi tetangga dan kafarat bagi orang yang tidak puasa
juga tidak bisa disifati umum[3][37].
Pertanyaan :
Mengapa perbuatan dan ketetapan hukum tidak bisa
bersifat umum?
Jawab :
Karena perbuatan tersebut terjadi pada satu sifat dan
keadaan. Apabila sifat diketahui, maka hukum ditentukan dengan sifat tersebut.
Namun jika tidak diketahui, maka akan menjadi dalil mujmal. Dan ketetapan hukum
dalam beberapa ‘ain (benda), juga tidak bisa disifati umum karena ada
kemungkinan ketetapan tersebut didasarkan sifat khusus yang ada dalam sebuah
kasus. Contoh Nabi saw menetapkan hak syuf’ah
pada tetangga, maksudnya adalah yang memiliki sifat bersekutu dalam
kepemilikan, bukan tetangga secara umum.
Referensi :
قاَلَ الشّيْخُ أَبُوْ
إِسْحَاقٍ فيِ اللُّمَعِ وَأَماَّ الأَفْعَالُ فَلاَ يَصِحُّ فِيْهَا دَعْوَى
العُمُوْمِ لِأَنَّهَا تَقَعُ عَلىَ صِفَةٍ وَاحِدَةٍ فَإِنْ عُرِفَتْ تِلْكَ
الصِّفَةُ اِخْتَصَّ الحُكْمُ بِهَا وَإِنْ لَمْ تُعْرَفْ صَارَ مُجْمَلًا
وَكَذَلِكَ القَضَاياَ فيِ الأَعْيَانِ لَا يَجُوْزُ دَعْوَى العُمُوْمِ فِيْهاَ
وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يُرْوَي أَنَّ النَّبِيَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَضَى باِلشُّفْعَةِ لِلْجَارِ وَقَضَى فيِ الإِفْطَارِ بِالكَفَارَةِ وَماَ
أَشْبَهَ ذَلِكَ فَلاَ يَجُوْزُ دَعْوَى العُمُوْمِ فِيْهَا بَلْ يَجِبُ
التَّوَقُّفُ فِيْهِ لِأَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ قَضَى بِالشُّفْعَةِ
لِجَارٍ لِصِفَةٍ يَخْتَصُّ بِهاَ (اَلنَّفَحَاتُ صـ75)
“Syekh Abu Ishaq
berkata dalam kitab al-Luma’, bahwa beberapa perbuatan tidak bisa didakwa
(disifati) umum, karena perbuatan tersebut terjadi pada satu sifat (keadaan).
Apabila sifat diketahui, maka hukum ditentukan dengan sifat tersebut. Namun
jika tidak diketahui, maka akan menjadi dalil mujmal. Dan ketetapan hukum dalam
beberapa ‘ain (benda), juga tidak bisa disifati umum. Seperti diriwayatkan Nabi
saw menghukumi hak syuf’ah bagi tetangga dan kafarat bagi yang tidak berpuasa
Ramadhan dan kasus-kasus serupa. Maka tidak boleh disifati umum, namun wajib
ditangguhkan (sampai jelas sifatnya),
karena ada kemungkinan Nabi menetapkan hukum tersebut didasarkan sifat
khusus yang ada dalam kasus tersebut”.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik