Langsung ke konten utama

LAFADZ ‘AM


LAFADZ ‘AM

(وَأَمَّا الْعَامُ فَهُوَ مَا عَمَّ شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا) مِنْ غِيْرِ حَصْرٍ (مِنْ قَوْلِهِ عَمَمْتُ زَيِدًا وَعَمْرًا بِالْعَطَاءِ وَ عَمَمْتُ جَمِيْعَ النَّاسِ بِالْعَطَاءِ) أَى شَمِلْتُهُمْ بِهِ فَفِى الْعاَمِ شُمُوْلٌ

Lafadz ‘am yaitu lafadz yang mencakup dua perkara atau lebih tanpa batas. Diambil dari ucapan seseorang, “aku mengumumkan Zaid dan Umar dengan pemberian” dan ucapan “aku mengumumkan semua manusia dengan pemberian”, yang artinya aku membagikan secara merata pemberian pada mereka. Dalam lafadz ‘am terdapat pemerataan.
Penjelasan :
Lafadz ‘am yaitu lafadz yang mencakup dua perkara atau lebih tanpa batas. Contoh;
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik”
Perintah membunuh berlaku pada setiap orang yang memiliki kriteria musyrik.

Uraian definisi :
1.        Lafadz : mengecualikan makna, karena ‘am termasuk sifat dari lafadz.
2.        Mencakup dua perkara atau lebih : mencakup satu persatu dari perkara yang pantas masuk di dalamnya dalam satu tahapan (دَفْعَةً). Mengecualikan;
a.         Lafadz muthlak. Lafadz ini tidak menunjukkan أَفْرَادْ (satu persatunya) dari perkara yang pantas masuk di dalamnya.
b.         Nakirah dalam rangkaian kalimat itsbat (positif), baik mufrad, tastniah atau jamak. Seperti lafadz رَجُلٌ، رَجُلَيْنِ رِجَالٌ.
c.         Isim ‘adad seperti lafadz عَشْرَةٌ.
Catatan; sub b dan c mencakup perkara yang pantas masuk di dalamnya dengan cara mengganti (بَدَلٌ), tidak secara umum dan menghabiskan keseluruhannya (اِسْتِغْرَاقٌ).
Contoh;
-      أَكْرِمْ رَجُلاً (mulyakanlah seorang laki-laki!)
-      تَصَدَّقْ بِعَشْرَةِ دَرَاهِمَ (bersedekahlah sepuluh dirham!)
Lafadz رَجُلاً tidak mencakup setiap laki-laki, dan orang yang diperintah lepas dari tuntutan dengan memuliyakan satu laki-laki tanpa ditentukan. Dan lafadz عَشْرَةِ tidak mencakup setiap ‘sepuluh’, dan orang yang diperintah cukup bersedekah sepuluh dirham satu kali tanpa ditentukan.
3.        Tanpa batas : mengecualikan isim ‘adad dipandang dari sisi أَفْرَادْ (satu persatunya). Dimana secara lafadz isim ‘adad menghabiskan afrad-nya, namun hanya terbatas.
Contoh, lafadz عَشْرَةِ, menghabiskan afrad tidak lebih dari jumlah yang terbilang.
(وَأَلْفَاظُهُ) الْمَوْضُوْعَةُ لَهُ (أَرْبَعَةٌ اَلْاِسْمُ) الْوَاحِدُ (اَلْمُعَرَّفُ بِالْأَلِفِ وَاللَّامِ) نَحْوُ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا
(وَاسْمُ الْجَمْعِ الْمُعَرَّفِ بِاللاَّمِ) نَحْوُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ
(وَالْأَسْمَاءُ الْمُبْهَمَةُ كَمَنْ فِيْمَنْ يَعْقِلُ) كَمَنْ دَخَلَ دَارِى فَهُوَ آمِنٌ (وَمَا فِيْمَا لاَ يَعْقِلُ) نَحْوُ مَا جَاءَنِى مِنْكَ أَخَذْتُهُ
(وَأَىٌّ) اِسْتِفْهَامِيَّةٌ أَوْ شَرْطِيَّةٌ أَوْ مَوْصُوْلَةٌ (فِى الْجَمِيْعِ) أَىْ مَنْ يَعْقِلُ وَمَا لاَ يَعْقِلُ نَحْوُ أًىُّ عَبِيْدِىْ جَاءَكَ أَحْسِنْ اِلَيْهِ وَأَيُّ الْأَشْيَاءِ أَرَدْتَ أَعْطَيْتُكَهُ
(وَأَيْنَ فِى الْمَكَانِ) نَحْوُ أَيْنَمَا تَكُنْ أَكُنْ مَعَكَ

Lafadz-lafadz yang dibuat sebagai lafadz ‘am ada empat macam.
1.       Isim mufrad yang dimakrifatkan menggunakan alif lam, contoh:
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”
2.       Isim jamak yang dimakrifatkan menggunakan alif lam, contoh:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik”
3.       Isim-isim mubham, seperti;
مَنْ untuk yang memiliki akal, contoh:
مَنْ دَخَلَ دَارِى فَهُوَ أمِنٌ
“Barangsiapa masuk rumahku, maka dia aman”
ماَ untuk yang tidak berakal, contoh:
مَا جَاءَنِى مِنْكَ أَخَذْتُهُ
“Apapun yang datang darimu, maka aku mengambilnya”
أي baik jenis istifham, syarath atau maushul, untuk semuanya, yakni yang berakal maupun yang tidak berakal, contoh:
أًىُّ عَبِيْدِىْ جَاءَكَ أَحْسِنْ اِلَيْهِ
“Siapapun budak-budakku datang padamu, maka berbuatlah baik padanya”
وَأَيُّ الْأَشْيَاءِ أَرَدْتَ أَعْطَيْتُكَهُ
“Apapun perkara-perkara yang kamu inginkan, aku akan memberimu perkara itu”
أَيْنَ menunjukkan tempat, contoh:
أَيْنَمَا تَكُنْ أَكُنْ مَعَكَ
“Di manapun tempat kamu ada, maka aku akan ada bersamamu”
متى menunjukkan waktu, contoh:
مَتَى شِئْتَ جِئْتُكَ
“Kapanpun kamu ingin, aku akan mendatangimu”

(وَمَتىَ فىِ الزَّمَانِ) نَحْوُ مَتَى شِئْتَ جِئْتُكَ
(وَمَا فِى الْإِسْتِفْهَامِ) نَحْوُ ماَ عِنْدَكَ (وَالْجَزَاءِ) نَحْوُ مَا تَعْمَلْ تُجْزَ بِهِ وَفِى نُسْخَةٍ وَالْخَبَرِ بَدَلَ الْجَزَاءِ  نَحْوُ عَمِلْتُ مَا عَمِلْتَ  (وَغَيْرِهِ) كَالْخَبَرِ عَلَى النُّسْخَةِ الْأُوْلَى وَالْجَزَاءِ عَلَى الثَّانِيَةِ
(وَلاَفِى النَّكِرَاتِ) نَحْوُ لاَرَجُلَ فِى الدَّارِ

ما menunjukkan istifham, contoh:
مَا عِنْدَكَ
“Apa yang ada padamu?”
Dan untuk jaza’, contoh:
مَا تَعْمَلْ تُجْزَ بِهِ
“Apapun yang kamu lakukan, maka akan dibalas”
Dalam sebagian naskah tertulis ‘menunjukkan khabar’ sebagai ganti dari kata ‘jaza’’, contoh:
عَمِلْتُ مَا عَمِلْتَ
“Aku melakukan apapun yang kamu lakukan”
Dan lain-lain, sebagaimana yang menunjukkan khabar menurut naskah pertama, atau jaza’ menurut naskah kedua.
4.       Lafadz لا yang digunakan dalam isim-isim nakirah, contoh:
لاَرَجُلَ فِى الدَّارِ
“Tidak ada seorang laki-lakipun di dalam rumah”

Penjelasan :
Pembagian keseluruhan shighat ‘am (umum) adalah sebagai berikut;
I.         Umum berdasarkan ketetapan (wadla’) lughat. Terbagi 2;
A.    Ketetapan lughat murni tanpa qarinah. Ada 5 macam;
1.   Seimbang digunakan pada yang berakal dan tidak berakal. Lafadznya adalah sebagai berikut;
a.       كُلٌّ, termasuk shighat paling kuat. Contoh:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”

b.      أَيٌّ, baik istifham, syarthiyah atau maushul. (Contoh lihat di terjemahan).
c.       اَلَّذِيْ, baik mufrad, tastniyah, atau jamak. Contoh :
أَكْرِمْ الَّذِيْ جاَءَكَ
“Mulyakan orang laki-laki yang mendatangimu”
وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا
“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya”.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami”.
d.      الَّتِيْ, Contoh :
أَكْرِمْ الَّتِيْ جاَءَكَ
“Mulyakan seorang perempuan yang mendatangimu”
e.       جَمِيْعُ, Contoh :
جاَءَ جمَِيْعُ القَوْمِ
“Telah datang seluruh kaum”
f.       سَائِرٌ, yang diambil dari makna akar kata سُوْرٌ (tembok batas kota) bukan dari سُؤْرٌ (sisa). Contoh:
خَرَجَ سَائِرُ القَوْمِ لِلْجِهَادِ
“Telah keluar seluruh kaum untuk berjihad”

2.   Untuk yang berakal secara hakikat, namun terkadang dipakai yang tidak berakal secara majaz, yaitu lafadz مَنْ. Umum digunakan untuk laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak. Baik berbentuk syarthiyah, contoh:
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu”.
Atau istifhamiyah, contoh:
مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا
“Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?".
Atau maushulah, contoh:
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi”.

3.   Untuk yang tidak berakal secara hakikat, namun terkadang dipakai yang berakal secara majaz, yakni lafadz ماَ. Baik berbentuk syarthiyah, contoh:
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
“Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya”.
Atau istifhamiyah, contoh:
فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا الْمُرْسَلُونَ
“Berkata (pula) Ibrahim: "Apakah urusanmu yang penting (selain itu), hai para utusan?"
Atau maushulah, contoh:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal”.

4.   Untuk keterangan waktu saja, yakni lafadz مَتىَ. Baik berbentuk istifhamiyah, contoh:
مَتَى هَذَا الْوَعْدُ
“Dan mereka berkata: "Kapankah (datangnya) janji ini?".
Atau syarthiyyah, contoh:
مَتَى جِئْتَنيِ أَكْرَمْتُكَ
“Kapanpun engkau mendatangiku, aku akan memuliakanmu".

5.   Untuk keterangan tempat saja, yakni lafadz أَيْنَ. Baik berbentuk istifhamiyah, contoh:
أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تُشَاقُّونَ فِيهِمْ
"Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kamu selalu memusuhi mereka (nabi-nabi dan orang-orang mu'min)?"
Atau syarthiyyah, contoh:
أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ
“Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat)”.
Selain itu ada lafadz حَيْثُماَ yang berbentuk syarthiyah, contoh:
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya”.

B.     Ketetapan lughat murni disertai qarinah. Ada 2 jenis:
1.      Qarinah dalam kalimat itsbat (positif), ada 4 macam;
a.       Jamak yang dimasuki alif lam, atau al-jam’u al-mu’arraf (jamak yang dimakrifatkan). Contoh:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”
b.      Jamak yang dimakrifatkan dengan idhafah, contoh:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”.
c.       Mufrad yang dimakrifatkan dengan alif lam, disebut juga dengan isim jinis contoh:
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”
d.      Mufrad yang dimakrifatkan dengan idhafah, contoh:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul”.

2.      Qarinah dalam kalimat nafi (negatif)
Terdapat dalam isim nakirah yang terletak dalam runtutan kalimat nafi, baik menggunakan ماَ، لَمْ، لَنْ، لَيْسَ ataupun yang lainnya. Hanya saja dalalahnya akan berbentuk nash apabila dimabnikan fathah, contoh:
لاَرَجُلَ فِى الدَّارِ
“Tidak ada seorang laki-lakipun di dalam rumah”

Dan berbentuk dzahir apabila tidak mabni fathah, contoh:
ماَ فيِ الدَّارِ رَجُلٌ
“Tidak ada seorang laki-lakipun di dalam rumah”

Hal-hal yang semakna dengan nafi hukumnya disamakan. Seperti nahi, contoh:
لاَ تَضْرِبْ أَحَداً
“Janganlah kamu memukul seseorang”

Atau istifham inkari, contoh:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”

Nakirah dalam dalam runtutan kalimat syarthi hukumnya juga disamakan. Contoh:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah”.

II.      Umum berdasarkan Urf
Terdapat dalam mafhum mufawaqah yang aulawi (lebih tinggi) dan musawi (menyamai). Contoh:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka sekali-kali jangan kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah".

Urf dalam hal ini memindah lafadz dalam contoh di atas menuju makna segala macam perbuatan menyakiti yang lebih tinggi dibanding perkataan “ah”, seperti memukul dan lain-lain.

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim”.

Urf mengumumkan pada semua bentuk perusakan yang menyamai memakan harta dengan titik persamaan berupa membuat dharar (membahayakan) atas harta anak yatim.
III.   Umum berdasarkan akal
Batasannya adalah setiap hukum yang dikaitkan dengan sifat, sehingga menyimpulkan sifat tersebut menjadi illatnya. Contoh:
اِقْطَعْ يَدَ السَّارِقِ
“Potonglah tangan orang yang mencuri”
أَكْرِمْ العَالِمَ
“Mulyakanlah orang alim”

Contoh-contoh di atas mengindikasikan bahwa sifat yang menjadi illat dari terbangunnya sebuah hukum. Sehingga secara akal menetapkan bahwa setiap ditemukan sifat tersebut, maka hukum juga ditemukan. Perantaraan akal inilah yang membantu lafadz-lafadz di atas menunjukkan sifat umum [1][35].

Pertanyaan :
Bagaimana klasifikasi dari lafadz umum?
Jawab :
Ada 2 pembagian.
1.      Umum bentuk lafadz dan maknanya, yakni yang lafadznya berbentuk jamak dan maknanya istighraq (menghabiskan afrad-nya), baik ada bentuk mufradnya, contoh اَلرِّجَالُ atau tidak ada bentuk mufradnya, contoh اَلاَباَبِيْلُ.
2.      Umum maknanya saja, yakni yang lafadznya berbentuk mufrad dan maknanya istighraq. Terbagi dua macam;
a.       Lafadz yang mencakup kumpulan, tidak setiap individunya. Dan hukum ditetapkan pada individu karena masuk dalam kumpulan tersebut. Contoh lafadz الرَّهْطُ (sekumpulan), القَوْمُ (kaum), اَلجِنُّ (bangsa jin), الإِنْسُ (bangsa manusia), dan الجَمِيْعُ (seluruhnya).
b.      Lafadz yang mencakup tiap individu secara menyeluruh, dan hukum mengikat setiap satu persatu baik saat kumpul atau sendiri-sendiri. Contoh;
مَنْ دَخَلَ هَذَا الحِصْنَ فَلَهُ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa masuk benteng ini, maka baginya satu dirham”
Referensi :
وَاعْلَمْ أَنَّ أَلْفَاظَ الْعُمُومِ قِسْماَنِ اَلأَوَّلُ العَامُّ بِصِيغَتِهِ وَمَعْنَاهُ وَهُوَ مَجْمُوْعُ اللَّفْظِ وَمُسْتَغْرِقُ المَعْنىَ سَوَاءٌ كاَنَ لَهُ وَاحِدٌ مِنْ لَفْظِهِ كَالرِّجَالِ أَوْ لاَ كاَلاَباَبِيْلِ اَلثَّانِي العَامُّ بِمَعْنَاهُ فَقَطْ وَهُوَ مُفْرَدُ اللَّفْظِ وَمُسْتَغْرِقُ المَعْنىَ وَهُوَ يَنْقَسِمُ إِلىَ قِسْمَيْنِ مَا يَتَنَاوَلُ المَجْمُوْعَ لاَ كُلَّ فَرْدٍ وَحَيْثُ ثَبَتَ الحُكْمُ لِلأَفْرَادِ إِنَّمَا هُوَ لِدُخُوْلِهَا فيِ المَجْمُوْعِ كَالرَّهْطِ وَالقَوْمِ وَالْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالجَمِيْعِ وَماَ يَتَنَاوَلُ كُلَّ وَاحِدٍ عَلىَ سَبِيْلِ الشُّمُوْلِ بِأَنْ يَتَعَلَّقَ الحُكْمُ بِكُلِّ فَرْدٍ اِجْتِمَاعاً وَانْفِرَادًا نَحْوُ مَنْ دَخَلَ هَذَا الحِصْنَ فَلَهُ دِرْهَمٌ اهـ (اَلنَّفَحَاتُ صـ71)
“Ketahuilah bahwa lafadz-lafadz umum ada 2 pembagian. Pertama, umum bentuk lafadz dan maknanya, yakni yang lafadznya berbentuk jamak dan maknanya istighraq (menghabiskan afrad-nya), baik ada bentuk mufradnya, contoh اَلرِّجَالُ atau tidak ada bentuk mufradnya, contoh اَلاَباَبِيْلُ. Kedua, umum maknanya saja, yakni yang lafadznya berbentuk mufrad dan maknanya istighraq. Terbagi dua; 1). Lafadz yang mencakup kumpulan, tidak setiap individunya. Dan hukum ditetapkan pada individu karena masuk dalam kumpulan tersebut. Contoh lafadz الرَّهْطُ (sekumpulan), القَوْمُ (kaum), اَلجِنُّ (bangsa jin), الإِنْسُ (bangsa manusia), dan الجَمِيْعُ (seluruhnya). 2). Lafadz yang mencakup tiap individu secara menyeluruh, dan hukum mengikat setiap satu persatu baik saat kumpul atau sendiri-sendiri. Contoh; “Barangsiapa masuk benteng ini, maka baginya satu dirham”.

(وَالْعُمُوْمُ مِنْ صِفَاتِ النُّطْقِ وَلاَيَجُوْزُ دَعْوَى الْعُمُوْمِ فِى غَيْرِهِ مِنَ الْفِعْلِ وَمَا يَجْرِىْ مَجْرَاهُ) كَمَا فِى جَمْعِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ فِى السَّفَرِ رَوَاهُ الْبُخَارِى فَاِنَّهُ لاَ يَعُمُّ السَّفَرَ الطَّوِيْلَ وَالْقَصِيْرَ فَاِنُّهُ اِنَّمَا يَقَعُ فِى وَاحِدٍ  مِنْهُمَا  وَكَمَا

Umum adalah bagian dari sifat-sifat ucapan. Dan tidak diperbolehkan mengklaim umum pada selain ucapan, berupa perbuatan atau yang sejenis. Sebagaimana dalam masalah jamak shalatnya Rasulullah saw pada waktu bepergian, yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari. Dalam hal ini (bepergian yang dimaksud) tidak bisa berlaku umum untuk bepergian jarak jauh dan dekat. Dan bahwasanya (jamak shalat) tersebut hanya terjadi pada salah satunya. Contoh lain seperti  halnya  masalah  ketetapan hukum
                                               
فِى قَضَائِهِ باِلشُّفْعَةِ لِلْجَارِ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ عَنِ الْحَسَنِ مُرْسَلاً , فَاِنَّهُ لاَ يَعُمُّ كُلَّ جَارٍ لِاحْتِمَالِ خُصُوْصِيَّةِ فِى ذلِكَ الجاَرِ

Rasullullah saw bahwa hak syuf’ah diperuntukkan bagi tetangga, diriwayatkan Imam An-Nasa’i dari Hasan berbentuk hadits Mursal. Ketetapan ini tidak bisa berlaku umum untuk setiap tetangga, karena dimungkinkan ada spesifikasi khusus pada tetangga tersebut.

Penjelasan :
Umum (‘am) adalah sifat dari perkataan. Perbuatan yang ditetapkan (الفِعْلُ المُثْبَتْ) tidak bisa disifati dengan umum, seperti contoh shalat jamak di atas. Berbeda halnya jika perbuatan tersebut dinafikan (الفِعْلُ المَنْفِيُ), maka memiliki sifat umum, karena disetarakan dengan isim nakirah.
Ketetapan hukum (qadlaya) seperti penetapan hak syuf’ah[2][36] bagi tetangga dan kafarat bagi orang yang tidak puasa juga tidak bisa disifati umum[3][37].

Pertanyaan :
Mengapa perbuatan dan ketetapan hukum tidak bisa bersifat umum?
Jawab :
Karena perbuatan tersebut terjadi pada satu sifat dan keadaan. Apabila sifat diketahui, maka hukum ditentukan dengan sifat tersebut. Namun jika tidak diketahui, maka akan menjadi dalil mujmal. Dan ketetapan hukum dalam beberapa ‘ain (benda), juga tidak bisa disifati umum karena ada kemungkinan ketetapan tersebut didasarkan sifat khusus yang ada dalam sebuah kasus. Contoh Nabi saw menetapkan hak syuf’ah pada tetangga, maksudnya adalah yang memiliki sifat bersekutu dalam kepemilikan, bukan tetangga secara umum.
Referensi :
قاَلَ الشّيْخُ أَبُوْ إِسْحَاقٍ فيِ اللُّمَعِ وَأَماَّ الأَفْعَالُ فَلاَ يَصِحُّ فِيْهَا دَعْوَى العُمُوْمِ لِأَنَّهَا تَقَعُ عَلىَ صِفَةٍ وَاحِدَةٍ فَإِنْ عُرِفَتْ تِلْكَ الصِّفَةُ اِخْتَصَّ الحُكْمُ بِهَا وَإِنْ لَمْ تُعْرَفْ صَارَ مُجْمَلًا وَكَذَلِكَ القَضَاياَ فيِ الأَعْيَانِ لَا يَجُوْزُ دَعْوَى العُمُوْمِ فِيْهاَ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يُرْوَي أَنَّ النَّبِيَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى باِلشُّفْعَةِ لِلْجَارِ وَقَضَى فيِ الإِفْطَارِ بِالكَفَارَةِ وَماَ أَشْبَهَ ذَلِكَ فَلاَ يَجُوْزُ دَعْوَى العُمُوْمِ فِيْهَا بَلْ يَجِبُ التَّوَقُّفُ فِيْهِ لِأَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ قَضَى بِالشُّفْعَةِ لِجَارٍ لِصِفَةٍ يَخْتَصُّ بِهاَ (اَلنَّفَحَاتُ صـ75)
“Syekh Abu Ishaq berkata dalam kitab al-Luma’, bahwa beberapa perbuatan tidak bisa didakwa (disifati) umum, karena perbuatan tersebut terjadi pada satu sifat (keadaan). Apabila sifat diketahui, maka hukum ditentukan dengan sifat tersebut. Namun jika tidak diketahui, maka akan menjadi dalil mujmal. Dan ketetapan hukum dalam beberapa ‘ain (benda), juga tidak bisa disifati umum. Seperti diriwayatkan Nabi saw menghukumi hak syuf’ah bagi tetangga dan kafarat bagi yang tidak berpuasa Ramadhan dan kasus-kasus serupa. Maka tidak boleh disifati umum, namun wajib ditangguhkan (sampai jelas sifatnya),  karena ada kemungkinan Nabi menetapkan hukum tersebut didasarkan sifat khusus yang ada dalam kasus tersebut”.



[1][35] Al-Wajiz hal. 163-166 dan An-Nafahat hal 74
[2][36] Hak membeli dengan paksa dari rekan sepersekutuan lama, saat lahan yang dimiliki bersama dibeli oleh orang lain yang statusnya tidak memiliki lahan.
[3][37]  Al-Wajiz hal 171 dan an-Nafahat hal 75

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا