JAMUAN MAKAN PARA PERKUMPULAN KEGIATAN
TAHLIL |||
Dalam
kegiatan tahlilan, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah baik ala kadarnya
(makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan makan. Namun, ada juga yang
hanya berupa minuman saja. Apapun itu tidak menjadi masalah dalam tahlilan.
Sebab itu bukan tujuan dari tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi
tersendiri seperti dalam rangka menghormati tamu atau bermaksud untuk
bershadaqah yang pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang
meninggal dunia.
Ada hal yang
sering di permasalahkan oleh para pengingkar terkait yang ada di dalam kegiatan
tahlilan. Mereka mencari-cari “dalih” dalam kitab-kitab para imam untuk
mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada yang mengharamkannya.
Pada
dasarnya bahasan ini bukan mengenai tahlilan secara keseluruhan, akan tetapi
mengenai jamuan makan dari keluarga almarhum dan berkumpulnya manusia padanya
setelah kematian. Jamuan makan adalah satu hal, dan tahlilan juga satu hal.
Namun, karena jamuan makan juga ada pada kegiatan tahlilan maka pembahasannya
pun terkait dengan tahlilan. Walaupun demikian, tidak bisa dikatakan jamuan
makan adalah tahlilan atau tahlilan adalah jamuan makan, sebab memang bukan
seperti itu. Orang yang melarang tahlilan dengan alasan adanya jamuan makan
sebagaimana disebarkan oleh mereka yang benci tahlilan maka itu benar-benar
telah keliru dan tidak merinci sebuah permasalahan dengan tepat.
Tahlilan
hukumnya boleh, sedangkan unsur-unsur dalam tahlilan merupakan
amaliyah-amaliyah masyru’ seperti berdo’a, membaca dzikir baik tasybih, tahmid,
takbir, tahlil hingga shalawat, dan juga membaca al-Qur’an yang pahalanya untuk
mayyit. Disamping itu juga terkait dengan hubungan sosial masyarakat yang
dianjurkan dalam Islam yakni shilaturahim.
Adapun
jamuan makan dalam kegiatan tahlilan (kenduri arwah) jika bukan karena tujuan
untuk kebiasaan (menjalankan adat) dan tidak memaksakan diri jikalau tidak
mampu serta bukan dengan harta yang terlarang. Maka, membuat dengan niat
tarahhum (merahmati) mayyit dengan hati yang ikhlas serta dengan niat menghadiahkan
pahalanya kepada mayyit (orang mati) maka itu mustahab (sunnah). Itu merupakan
amalan yang baik karena tujuannya adalah demikian. Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam bersabda :
إنما الأعمال بالنيات
“Sesungguh sesuatu perbuatan
tergantung dengan niat” [1]
Juga sebuah
qaidah menyatakan :
الأمور بمقاصدها
“Suatu perkara tergantung pada
tujuannya”. [2]
Serta, orang
yang melakukannya dengan tujuan (niat) tersebut akan mendapatkan pahala, sebab
telah shahih hadits dari Ibnu ‘Umar radliyallah ‘anh :
إِنَّ اللَّهَ
كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ
بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً
كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ
عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ
هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً
كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً
وَاحِدَةً
“Sesungguhnya Allah mencatat
kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelakan yang demikian,
maka barangsiapa yang berkeinginan melakukan kebaikan namun tidak sampai
melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna,
maka jika ia berkeinginan dengannya kemudian melakukannya niscaya Allah akan
mencatatkan untuknya sepuluh macam kebaikan sampai 700 kali lipat kemudian
hingga berlipat-lipat yang banyak ; barangsiapa yang berkeinginan melakukan
keburukan namun ia tidak mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya
kebaikan yang sempurna, namun jika ia mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan
untuknya satu macam keburukan”. [3]
Dan juga telah
tsabit didalam shahih al-Bakhari dari Abdullah bin ‘Umar bin al-‘Ash, bahwa
seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :
أَنَّ رَجُلًا
سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟
قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ
لَمْ تَعْرِفْ
“Ya Rasulullah apakah amal yang
baik dalam Islam ? Nabi menjawab : “memberikan makan, mengucapkan salam kepada
orang yang dikenal dan tidak dikenal” [4]
Lafadz
“ith’am” pada hadits meliputi makan, minum, jamuan juga shadaqah dan yang
lainnya, sebab lafadz tersebut umum. Dalam sebuah hadits dari Thawus
radliyallahu ‘anh menyebutkan :
ان الموت يفتنون فى قبورهم سبعا . فكانوا
يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati di fitnah
(diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka
mereka menganjurkan untuk memberi jamuan makan yang pahalanya untuk mayyit selama
masa 7 hari tersebut”. [5]
Imam
al-Hafidz As-Suyuthi mengatakan bahwa lafadz “kanuu yustahibbuna”,
memiliki makna kaum Muslimin (sahabat) yang hidup pada masa Nabi shallallahu
‘alayhi wa salllam , sedangkan Nabi mengetahuinya dan taqrir atas hal itu.
Namun, dikatakan juga sebatas berhenti pada pada sahabat saja dan tidak sampai
pada Rasulullah. [6]
Berdasarkan
hal diatas, maka memberikan makanan yang pahalanya untuk orang mati merupakan
amalan yang memang dianjurkan. Adapun melakukannya setelah kematian juga tidak
masalah selama diniatkan untuk menshadaqahkan dalam rangka merahmati mayyit.
CATATAN KAKI
:
[4] Shahih al-Bukahri no.
12 ; Shahih Muslim no. 39 ; Sunan Abi Daud no. 5194 ; Sunan an-Nasaa’i no. 5000
; Sunan Ibnu Majah no. 3253 ; al-Mu’jam al-Kabir lil-Thabraniy no. 149.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik