Langsung ke konten utama

HARAMNYA NIYAHAH (MERATAP) DAN PENGERTIAN NIYAHAH |||



|||  HARAMNYA NIYAHAH (MERATAP) DAN PENGERTIAN NIYAHAH |||
 
أجمعت الأمّةُ على تحريم النياحة، والدعاء بدعوى الجاهلية، والدعاء بالويل والثبور عند المصيبة‏‏
“Umat bersepakat atas haramnya niyahah, dan berdo’a dengan seruan orang jahiliyah serta do’a dengan kejelekan dan keburukan ketika terjadi mushibah”. [1]
Imam al-‘Imraniy didalam al-Bayan mengatakan :
ويحرم النوح على الميت، وشق الجيوب، ونشر الشعور، وخمش الوجوه
“dan haram meratap atas orang mati, merobek-robek saku baju, menjambak-jambak rambut dan mencoreng-coreng wajah”. [2]
al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz :
وكذا النياحة والجزع بضرب الخد وشق الثوب ونشر الشعر كل ذلك حرام
“demikian juga niyahah (meratap), mengeluh dengan memukul pipi, menyobek pakaian dan menjambak-jambak (mengacak-acak) rambut, semuaa itu haram”.
Adapun pengertian niyahah sendiri, sebagaimana yang Imam Nawawi sebutkan adalah :
واعلم أن النياحة‏ : رفع الصوت بالندب، والندب‏: تعديد النادبة بصوتها محاسن الميت، وقيل‏: هو البكاء عليه مع تعديد محاسنه‏. قال أصحابنا‏: ويحرم رفع الصوت بإفراط في البكاء‏. وأما البكاء على الميت من غير ندب ولا نياحة فليس بحرام
“Ketahuilah, sesungguhnya niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, adapun an-Nadb  sendiri adalah mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau menyebut berulang-ulang) tentang kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang mengatakan) bahwa niyahah adalah menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit”. Ashhab kami (ulama syafi’iyah kami) mengatakan : “haram menyaringkan suara dengan berlebih-lebihan dalam menangis”. Adapun menangisi mayyit tanpa menyebut-menyebut dan tanpa meratapinya maka itu tidak haram”.[3]
والنياحة رفع الصوت بالندب قال الشافعي والأصحاب البكاء على الميت جائز قبل الموت وبعده ولكن قبله أولى
“Niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, al-Imam Asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i (ulama syafi’iyah) mengatakan, menangisi orang mati boleh baik sebelum mati atau setelah mati, akan tetapi menangisi sebelum mati itu lebih utama”. [4]
Oleh karena itu, penetapan hukum bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh) karena bisa menjadi sebab adanya niyahah atau bisa membawa pada niyahah. Jika mengikuti kaidah ushul, inilah yang menjadi illat dihukuminya makruh (bid’ah makruhah). Namun, jika illatnya tidak ada maka hukumnya juga berubah. Maka pertanyaannya sekarang adalah : apakah tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan digagas oleh ulama besar seperti para wali Allah (wali songo) bersifat seperti itu ? Apakah tahlilan (kenduri arwah) mengarah pada niyahah atau menjadi sebab terjadinya niyahah ?! Tentu saja tidak akan terjadi pada kegiatan tahlil yang benar.

CATATAN KAKI :
[1] Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [146].
[2] Lihat : al-Bayaan fiy Madzhab al-Imam asy-Syafi’i lil-Imam al-‘Imraniy []
[3] Lihat ; al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [147].
[4] Lihat : al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [5/ 307] lil-Imam an-Nawawi.
||| KONTRA : PENJELASAN TERKAIT HADITS 'ASHIM BIN KULAIB |||
Lebih jauh, juga perlu di ingat bahwa dalam menghukumi sesuatu haruslah menyeluruh dan harus mempertimbangkan hadits-hadits lain yang saling terkait. Dalam hal ini, ada sebuah hadits lain yang shahih diriwayatkan oleh Abu Daud, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari sahabat Anshar, yang redaksinya sebagai berikut :
قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ: «أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ» ، فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ، ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ، فَأَكَلُوا، فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ، ثُمَّ قَالَ: «أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا» ، فَأَرْسَلَتِ الْمَرْأَةُ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً، فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدِ اشْتَرَى شَاةً، أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا، فَلَمْ يُوجَدْ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى»
“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah pada bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita (istri mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan dihadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan (qaum/sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan bersabda: “aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian wanita itu berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanlah makanan ini untuk tawanan”. [1]
Hadits ini tentang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri dan para sahabat beliau yang berkumpul dan makan di kediaman keluarga almarhum, yang berarti bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan keluarga almarhum membuatkan makanan (jamuan) dan mengajak manusia memakannya.
Secara dhahir hadits Jarir telah berlawanan dengan hadits dari ‘Ashim bin Kulaib ini, sedangkan dalam kaidah ushul fiqh mengatakan jika dua dalil bertentangan maka harus dikumpulkan jika dimungkinkan untuk dikumpulkan. [2] Maka, kedua hadits diatas dapat dipadukan yakni hadits Jarir bin Abdullah dibawa atas pengertian jamuan karena menjalankan adat, bukan dengan niat “ith’am ‘anil mayyit (memberikan makan atas nama mayyit/shadaqah untuk mayyit) “ atau hal itu bisa membawa kepada niyahah yang diharamkan, kesedihan yang berlarut-larut dan lain sebagainya. Sedangkan hadits ‘Ashim bin Kulaib dibawa atas pengertian jamuan makan bukan karena menjalankan adat (kebiasaan), melainkan jamuan makan dan berkumpul dengan niat “ith’am ‘anil mayyit” atau pun ikramudl dlayf (memulyakan tamu). Oleh karena itu larangan tersebut tidaklah mutlak, tetapi memiliki qayyid yang menjadi ‘illat hukum tersebut. Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan :
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس عليه بدعة مكروهة كإجابتهم لذلك لما صح عن جرير كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن
 “dan apa yang diadatkan (dibiasakan) daripada keluarga almarhum membuat makanan demi mengajak manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana menerima mereka untuk hal yang demikian berdasarkan hadits shahih dari Jarir “Kami (sahabat) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum serta (keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari niyahah”, dan sisi dianggapnya bagian dari niyahah yakni apa yang terdapat didalamnya daripada berlebihan-lebihan dengan perkara kesedihan”. [3]
Hal ini juga disebutkan oleh al-‘Allamah as-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam I’anatuth Thalibin. [4] Maka, illat tersebut tidak terdapat pada kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum muslimin yang memang paham mengenai kenduri arwah (tahlilan). Jika tidak ada illat maka hukum makruh pun tidak ada, sebab dalam kaidah syafi’iyah hukum itu meliputi disertakannya illat. [5] Oleh karena itu, berkumpul (berhimpun) yang dimaksud pada hadits Jarir adalah jika bukan karena untuk membaca al-Qur’an, berdo’a dan dzikir-dzikir lain.
CATATAN KAKI :
[1] Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ; Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5942] karangan al-Mulla ‘Alial-Qari, hadits tersebut dikomentari shahih. Lebih jauh lagi, didalam kitab tersebut disebutkan dengan lafadz berikut :
(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
                “Rasulullah menerima ajakan wanitanya, yakni istri dari yang wafat”.
Dikatakan pula bahwa hadits ini memang bertentangan dengan yang ditetapkan sebelumnya  
(ثم وضع القوم) ، أي أيديهم (فأكلوا) ، هذا الحديث بظاهره يرد على ما قرره أصحاب مذهبنا من أنه يكره اتخاذ الطعام في اليوم الأول أو الثالث، أو بعد الأسبوع كما في البزازية
“(Kemudian sebuah kelompok meletakkan) yakni tangan mereka (kemudian mereka makan), hadits ini (‘Ashim bin Kulaib) berdasarkan dhahirnya bertentangan atas apa yang telah di tetapkan oleh Ashhab madzhab kami yaitu ulama yang memakruhkan menghidangkan makanan pada hari pertama atau ke tiga atau setelah sepekan sebagaimana didalam al-Bazaziyyah”.
Juga terkait hadits ‘Ashim bin Kulaib, dinaqal didalam ‘Aunul Ma’bud [3332] :
 وفي المشكاة داعي امرأته بالإضافة إلى الضمير قال القارىء أي زوجة المتوفى
“dan didalam al-Misykah “ajakan perempuannya” dengan lafadz idlafah kepada dlamir, Mulla ‘Ali al-Qarii berkata : yakni istri dari yang wafat”.
Bariqatul Mahmudiyyah li-Abi Sa’id al-Khadami al-Hanafi [3/205] :
قال في شرحه عن كبير الحلبي «إنه - صلى الله تعالى عليه وسلم - حين رجع من دفن أنصاري استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله - صلى الله تعالى عليه وسلم - يلوك أي يمضغ لقمة في فيه» فهذا يدل على إباحة وضع أهل الميت الطعام والدعوة إليه انتهى
“Mushannif berkata didalam syarahnya dari pembesar al-Halabi “sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika kembali dari pemakaman orang Anshar, Rasulullah menerima ajakan wanitanya, maka datang dan dihidangkanlah makanan, kemudian Rasulullah menelatakkan tangannya dan di ikutilah orang rombongan (sahabat), kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan sesuapan yaitu secabik daging ke mulutnya”. Maka ini menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menyajikan makanan dan mengundang orang lain kepadanya. Selesai”.
Kemudian juga dijelaskan didalam Hasyiyah ath-Thahthawi ‘alaa Muraqi al-Falaah Syarh Nuur al-Iydlaah [1/617] Ahmad bin Muhammad bin Isma’il ath-Thahthawi al-Hanafi :
عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فلما رجع استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه الحديث فهذا يدل على إباحة صنع أهل الميت الطعام والدعوة إليه بل ذكر في البزازية أيضا من كتاب الاستحسان وإن اتخذ طعاما للفقراء كان حسنا اهـ
“... Maka hadits ini (‘Ashim bin Kulaib) menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menghidangkan makanan dan mengajak manusia padanya bahkan juga di sebutkan didalam al-Bazaziyyah dari kitab al-Ihtihsan  “dan jika menghidangkan makanan untuk fuqaraa’ maka itu bagus”. Selesai.
Sebagian ada yang mengatakan bahwa wanita yang dimaksud bukan istri yang wafat namun orang lain. Hal ini disebutkan didalam Mir’atul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5/481] li-Abi al-Hasan ‘Ubaidillah al-Mubarakfuri  dan juga didalam Tuhfatul Ahwadzi [4/67] li-Abi al-‘Allaa Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri.
Selain itu ada hadits lain yang juga menjadi sandaran masalah ini, sebagaimana yang dicantumkan oleh al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (al-Syafi’i) didalam kitab al-Mathalib al-‘Aliyyah bi-Zawaidil Masaanid al-Tsamaniyyah [5/328] pada bab menghidangkan makanan untuk ahl mayyit . Diantaranya beliau menyebutkan riwayat Thawus (penjelasannya telah berlalu) dan riwayat dari Ahmad bin Mani’ berikut ini :
قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.
Riwayat ini, disebutkan juga oleh Syihabuddin Ibnu Utsman al-Bushiri al-Kinani al-Syafi’i didalam Ittihaf al-Khiyarah al-Mihrah bi-Zawaidil Asaanid al-Asyarah [2/507-509] pada Bab al-Ta’ziyah wa Tahyiah Tha’aamin Yub’atsu bihi li-Ahli al-Mayyit :
وَعَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: "كُنْتُ أَسْمَعُ عمر بن الحنطاب- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- يَقُولُ: لَا يَدْخُلُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِي بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ. فَلَا أَدْرِي مَا تَأْوِيلُ قَوْلِهِ، حَتَّى طُعِنَ عُمر فأَمر صُهيبًا أَن يُصلِّي بِالنَّاسِ ثلاثَا، وَأَمَرَ بِأَنْ يَجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَامًا، فَلَمَّا رَجَعُوا مِنَ الْجِنَازَةِ جَاءُوا وَقَدْ وُضعت الْمَوَائِدُ فأَمسك النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِي هُمْ فِيهِ، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأْوِيلَ قَوْلِهِ ". رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ بِسَنَدٍ فِيهِ عَلِيُّ بْنُ زَيْدِ بْنِ جُدْعَا
“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.
Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).
[2] Lihat : at-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh lil-Imam asy-Syairazi [1/153]
[3] Lihat : Tuhfatul Muhtaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [3/ 207]
[4] Lihat : I’anathuth Thalibin lil-‘Allamah Asy-Sayyid al-Bakri Syatha [2/165]
[5] Lihat : Kifayatul Akhyar lil-Imam Taqiyuddin al-Hishni [1/526] ; Asnal Mathalib lil-Imam Zakariya al-Anshari [3/105]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا

Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy

 *Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy* Maklum diketahui bahwa ketika seseorang mengadakan acara walimah, maka penganten, bahkan ibu penganten dan keluarga terdekat, merias wajah dengan make up yang cukup tebal. Acara walimah ini biasanya memakan waktu berjam-jam bahkan tak jarang belum selesai sampai waktu shalat tiba. Maka bagaimanakah tata cara thaharah dan shalat bagi wanita yang memakai riasan ini? Solusi 1: Menghapus riasan wajah dan shalat sesuai waktunya Perlu diketahui bahwa salah satu syarat sah wudhu adalah tidak terdapat hal yang menghalangi tersampainya air wudhu ke anggota badan yang wajib dibasuh, tentu penggunaan make up yang tebal sudah pasti menghalangi air wudhu. Maka bagi wanita yang memakai riasan pengantin tersebut tidak boleh berwudhu kecuali sudah menghapus bersih riasan yang ada di wajah, sehingga yakin jika air wudhu benar-benar mengenai anggota wudhu, tidak cukup hanya dengan mengalirkan air tanpa terlebih dahulu menghapus make up nya seperti yan