||| HARAMNYA NIYAHAH (MERATAP) DAN
PENGERTIAN NIYAHAH |||
أجمعت الأمّةُ على
تحريم النياحة، والدعاء بدعوى الجاهلية، والدعاء بالويل والثبور عند المصيبة
“Umat bersepakat atas haramnya niyahah,
dan berdo’a dengan seruan orang jahiliyah serta do’a dengan kejelekan dan
keburukan ketika terjadi mushibah”. [1]
Imam
al-‘Imraniy didalam al-Bayan mengatakan :
ويحرم النوح على الميت،
وشق الجيوب، ونشر الشعور، وخمش الوجوه
“dan haram meratap atas orang mati,
merobek-robek saku baju, menjambak-jambak rambut dan mencoreng-coreng wajah”. [2]
al-Imam
Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz :
وكذا النياحة والجزع
بضرب الخد وشق الثوب ونشر الشعر كل ذلك حرام
“demikian juga niyahah (meratap), mengeluh
dengan memukul pipi, menyobek pakaian dan menjambak-jambak (mengacak-acak)
rambut, semuaa itu haram”.
Adapun
pengertian niyahah sendiri, sebagaimana yang Imam Nawawi sebutkan adalah :
واعلم أن النياحة : رفع الصوت بالندب، والندب: تعديد النادبة بصوتها محاسن الميت، وقيل: هو البكاء عليه مع تعديد محاسنه. قال أصحابنا: ويحرم رفع الصوت بإفراط في البكاء. وأما البكاء على الميت من غير ندب ولا نياحة فليس بحرام
“Ketahuilah, sesungguhnya niyahah adalah
menyaringkan suara dengan an-nadb, adapun an-Nadb sendiri adalah
mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau menyebut berulang-ulang) tentang
kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang mengatakan) bahwa niyahah adalah
menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit”. Ashhab kami (ulama
syafi’iyah kami) mengatakan : “haram menyaringkan suara dengan berlebih-lebihan
dalam menangis”. Adapun menangisi mayyit tanpa menyebut-menyebut dan tanpa
meratapinya maka itu tidak haram”.[3]
والنياحة رفع الصوت
بالندب قال الشافعي والأصحاب البكاء على الميت جائز قبل الموت وبعده ولكن قبله
أولى
“Niyahah adalah menyaringkan suara
dengan an-nadb, al-Imam Asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i (ulama syafi’iyah)
mengatakan, menangisi orang mati boleh baik sebelum mati atau setelah mati,
akan tetapi menangisi sebelum mati itu lebih utama”. [4]
Oleh karena
itu, penetapan hukum bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)
karena bisa menjadi sebab adanya niyahah atau bisa membawa pada niyahah. Jika
mengikuti kaidah ushul, inilah yang menjadi illat dihukuminya makruh (bid’ah
makruhah). Namun, jika illatnya tidak ada maka hukumnya juga berubah. Maka
pertanyaannya sekarang adalah : apakah tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan
oleh kaum Muslimin dengan digagas oleh ulama besar seperti para wali Allah
(wali songo) bersifat seperti itu ? Apakah tahlilan (kenduri arwah) mengarah
pada niyahah atau menjadi sebab terjadinya niyahah ?! Tentu saja tidak akan
terjadi pada kegiatan tahlil yang benar.
CATATAN KAKI
:
||| KONTRA : PENJELASAN TERKAIT HADITS
'ASHIM BIN KULAIB |||
Lebih jauh,
juga perlu di ingat bahwa dalam menghukumi sesuatu haruslah menyeluruh dan
harus mempertimbangkan hadits-hadits lain yang saling terkait. Dalam hal ini,
ada sebuah hadits lain yang shahih diriwayatkan oleh Abu Daud, dari ‘Ashim bin
Kulaib, dari ayahnya, dari sahabat Anshar, yang redaksinya sebagai berikut :
قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ: «أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ» ، فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ، ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ، فَأَكَلُوا، فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ، ثُمَّ قَالَ: «أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا» ، فَأَرْسَلَتِ الْمَرْأَةُ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً، فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدِ اشْتَرَى شَاةً، أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا، فَلَمْ يُوجَدْ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى»
“Kami keluar bersama Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur berpesan kepada penggali
kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah pada
bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita (istri
mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya
didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan dihadapan Rasulullah, kemudian
diletakkan juga pada sebuah perkumpulan (qaum/sahabat), kemudian dimakanlah
oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam makan dengan suapan, dan bersabda: “aku mendapati daging kambing yang
diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian wanita itu berkata : “wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing
untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk
membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka
aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia kirim kambing itu
kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanlah
makanan ini untuk tawanan”. [1]
Hadits ini
tentang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri dan para sahabat beliau
yang berkumpul dan makan di kediaman keluarga almarhum, yang berarti bahwa
hadits ini menunjukkan atas kebolehan keluarga almarhum membuatkan makanan
(jamuan) dan mengajak manusia memakannya.
Secara
dhahir hadits Jarir telah berlawanan dengan hadits dari ‘Ashim bin Kulaib ini,
sedangkan dalam kaidah ushul fiqh mengatakan jika dua dalil bertentangan maka
harus dikumpulkan jika dimungkinkan untuk dikumpulkan. [2] Maka, kedua hadits diatas dapat
dipadukan yakni hadits Jarir bin Abdullah dibawa atas pengertian jamuan karena
menjalankan adat, bukan dengan niat “ith’am ‘anil mayyit (memberikan makan
atas nama mayyit/shadaqah untuk mayyit) “ atau hal itu bisa membawa kepada
niyahah yang diharamkan, kesedihan yang berlarut-larut dan lain sebagainya.
Sedangkan hadits ‘Ashim bin Kulaib dibawa atas pengertian jamuan makan bukan
karena menjalankan adat (kebiasaan), melainkan jamuan makan dan berkumpul
dengan niat “ith’am ‘anil mayyit” atau pun ikramudl dlayf
(memulyakan tamu). Oleh karena itu larangan tersebut tidaklah mutlak, tetapi
memiliki qayyid yang menjadi ‘illat hukum tersebut. Imam Ibnu Hajar al-Haitami
didalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan :
وما اعتيد من جعل أهل
الميت طعاما ليدعوا الناس عليه بدعة مكروهة كإجابتهم لذلك لما صح عن جرير كنا نعد
الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما
فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن
“dan apa yang diadatkan
(dibiasakan) daripada keluarga almarhum membuat makanan demi mengajak manusia
atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana
menerima mereka untuk hal yang demikian berdasarkan hadits shahih dari Jarir
“Kami (sahabat) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum serta
(keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari
niyahah”, dan sisi dianggapnya bagian dari niyahah yakni apa yang terdapat didalamnya
daripada berlebihan-lebihan dengan perkara kesedihan”. [3]
Hal ini juga
disebutkan oleh al-‘Allamah as-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam
I’anatuth Thalibin. [4] Maka, illat tersebut tidak terdapat
pada kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum muslimin yang
memang paham mengenai kenduri arwah (tahlilan). Jika tidak ada illat maka hukum
makruh pun tidak ada, sebab dalam kaidah syafi’iyah hukum itu meliputi
disertakannya illat. [5]
Oleh karena itu, berkumpul (berhimpun) yang dimaksud pada hadits Jarir adalah
jika bukan karena untuk membaca al-Qur’an, berdo’a dan dzikir-dzikir lain.
CATATAN KAKI
:
[1] Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits
ini shahih ; Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh
Misykah al-Mashabih [5942] karangan al-Mulla ‘Alial-Qari, hadits tersebut
dikomentari shahih. Lebih jauh lagi, didalam kitab tersebut disebutkan dengan
lafadz berikut :
(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
“Rasulullah menerima ajakan wanitanya, yakni istri dari yang wafat”.
Dikatakan pula bahwa hadits ini memang bertentangan dengan yang ditetapkan
sebelumnya
(ثم وضع القوم) ، أي
أيديهم (فأكلوا) ، هذا الحديث بظاهره يرد على ما قرره أصحاب مذهبنا من أنه يكره
اتخاذ الطعام في اليوم الأول أو الثالث، أو بعد الأسبوع كما في البزازية
“(Kemudian sebuah kelompok meletakkan) yakni tangan
mereka (kemudian mereka makan), hadits ini (‘Ashim bin Kulaib) berdasarkan
dhahirnya bertentangan atas apa yang telah di tetapkan oleh Ashhab madzhab kami
yaitu ulama yang memakruhkan menghidangkan makanan pada hari pertama atau ke
tiga atau setelah sepekan sebagaimana didalam al-Bazaziyyah”.
Juga terkait hadits ‘Ashim bin Kulaib, dinaqal didalam ‘Aunul Ma’bud [3332]
:
وفي المشكاة داعي امرأته بالإضافة إلى الضمير قال القارىء أي زوجة المتوفى
“dan didalam al-Misykah “ajakan perempuannya” dengan
lafadz idlafah kepada dlamir, Mulla ‘Ali al-Qarii berkata : yakni istri dari
yang wafat”.
Bariqatul Mahmudiyyah li-Abi Sa’id al-Khadami al-Hanafi [3/205] :
قال في شرحه عن كبير الحلبي «إنه - صلى الله تعالى عليه وسلم - حين رجع من دفن
أنصاري استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول
الله - صلى الله تعالى عليه وسلم - يلوك أي يمضغ لقمة في فيه» فهذا يدل على إباحة
وضع أهل الميت الطعام والدعوة إليه انتهى
“Mushannif berkata didalam syarahnya dari pembesar
al-Halabi “sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika kembali
dari pemakaman orang Anshar, Rasulullah menerima ajakan wanitanya, maka datang
dan dihidangkanlah makanan, kemudian Rasulullah menelatakkan tangannya dan di
ikutilah orang rombongan (sahabat), kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam makan sesuapan yaitu secabik daging ke mulutnya”. Maka ini
menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menyajikan makanan dan mengundang
orang lain kepadanya. Selesai”.
Kemudian juga dijelaskan didalam Hasyiyah ath-Thahthawi ‘alaa Muraqi
al-Falaah Syarh Nuur al-Iydlaah [1/617] Ahmad bin Muhammad bin Isma’il
ath-Thahthawi al-Hanafi :
عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله
عليه وسلم في جنازة فلما رجع استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع
القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه الحديث فهذا يدل
على إباحة صنع أهل الميت الطعام والدعوة إليه بل ذكر في البزازية أيضا من كتاب
الاستحسان وإن اتخذ طعاما للفقراء كان حسنا اهـ
“... Maka hadits ini (‘Ashim bin Kulaib)
menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menghidangkan makanan dan mengajak
manusia padanya bahkan juga di sebutkan didalam al-Bazaziyyah dari kitab
al-Ihtihsan “dan jika menghidangkan makanan untuk fuqaraa’ maka itu
bagus”. Selesai.
Sebagian ada yang mengatakan bahwa wanita yang dimaksud bukan istri yang
wafat namun orang lain. Hal ini disebutkan didalam Mir’atul Mafatih syarh
Misykah al-Mashabih [5/481] li-Abi al-Hasan ‘Ubaidillah al-Mubarakfuri
dan juga didalam Tuhfatul Ahwadzi [4/67] li-Abi al-‘Allaa Muhammad
Abdurrahman al-Mubarakfuri.
Selain itu ada hadits lain yang juga menjadi sandaran masalah ini,
sebagaimana yang dicantumkan oleh al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
(al-Syafi’i) didalam kitab al-Mathalib al-‘Aliyyah bi-Zawaidil Masaanid
al-Tsamaniyyah [5/328] pada bab menghidangkan makanan untuk ahl mayyit . Diantaranya
beliau menyebutkan riwayat Thawus (penjelasannya telah berlalu) dan
riwayat dari Ahmad bin Mani’ berikut ini :
قال
أحمد بن منيع حدثنا
يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت
أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا
أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه
أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد
وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب
رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى
بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada
kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd,
dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu
‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu
kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud
perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan
Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan
juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka
kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan,
maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka
sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian
berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah
selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.
Riwayat ini, disebutkan juga oleh Syihabuddin Ibnu Utsman al-Bushiri
al-Kinani al-Syafi’i
didalam Ittihaf al-Khiyarah al-Mihrah bi-Zawaidil Asaanid al-Asyarah
[2/507-509] pada Bab al-Ta’ziyah wa Tahyiah Tha’aamin Yub’atsu bihi li-Ahli
al-Mayyit :
وَعَنِ
الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: "كُنْتُ أَسْمَعُ عمر بن الحنطاب- رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ- يَقُولُ: لَا يَدْخُلُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِي بَابٍ إِلَّا
دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ. فَلَا أَدْرِي مَا تَأْوِيلُ قَوْلِهِ، حَتَّى طُعِنَ عُمر
فأَمر صُهيبًا أَن يُصلِّي بِالنَّاسِ ثلاثَا، وَأَمَرَ بِأَنْ يَجْعَلَ لِلنَّاسِ
طَعَامًا، فَلَمَّا رَجَعُوا مِنَ الْجِنَازَةِ جَاءُوا وَقَدْ وُضعت الْمَوَائِدُ
فأَمسك النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِي هُمْ فِيهِ، فجاء العباس بن عبد
المطلب قال: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده
وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ
فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأْوِيلَ قَوْلِهِ ". رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ بِسَنَدٍ فِيهِ عَلِيُّ
بْنُ زَيْدِ بْنِ جُدْعَا
“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku
mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari
Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya.
Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian
memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan
hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari
mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun
mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah
sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan
minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum
setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka
sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang
lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari
perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya
yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.
Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam
Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani
telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan
serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al
lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra
(4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam
Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu
Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).
[2] Lihat : at-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh lil-Imam asy-Syairazi [1/153]
[3] Lihat : Tuhfatul Muhtaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [3/ 207]
[4] Lihat : I’anathuth Thalibin lil-‘Allamah Asy-Sayyid al-Bakri Syatha
[2/165]
[5] Lihat : Kifayatul
Akhyar lil-Imam Taqiyuddin al-Hishni [1/526] ; Asnal Mathalib lil-Imam Zakariya
al-Anshari [3/105]
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik