Ada
beberapa poin yang hendak penterjemah sampaikan dalam mukadimah buku ini,
sebagai berikut:
( I ) Ingat; beda
antara Ibn al Jawzi dan Ibn Qayyim al Jawziyyah, yang pertama ulama besar
terkemuka sementara yang kedua seorang yang sesat berakidah tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya)
- 1- Ibn al Jawzi,
bernama Jamaluddin Abu al Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali al
Qurasyi al Baghdadi, dikenal dengan sebutan Ibn al Jawzi; al imam al hafizh
al mufassir al ushuliyy al mutakallim. Salah seorang ulama Ahlussunnah
terkemuka multidisipliner; ahli hadits (al Hafizh), ahli fiqih (al
Faqih), ahli tafsir (al Mufassir), ahli teologi (al
Mutakallaim), ahli sejarah (al Mu’arrikh), sufi terkemuka yang
zuhud dan wara’. Lahir tahun 510 H, dan wafat pada 7 Ramadlan tahun 597 H.
Di
antara karya-karyanya; al Mughni Fi ‘Ilm al Qur’an, Zad al Masir Fi ‘Ilm
at Tafsir, al Maudlu’at Fi al Hadits, Musykil ash Shihah, adl Dlu’afa Fi al
Hadits, Bustan al Wa’idzin, Shayd al Khathir, Dzamm al Hawa, Laftah al Kabd
Ila Nashihah al Walad, Ru’us al Qawarir, Shifat ash Shafwah, Talbis Iblis, al
Muntazhim Fi at Tarikh, al Hasan al Bashri, Manaqib Umar ibn Abdil Aziz, al
Adzkiya’, al Wafa Fi Fadla’il al Musthafa, Daf’u Syubah at Tasybih Bi Akaff
at Tanzih (kitab dengan terjemahan yang ada di hadapan anda ini), taqwim al
Lisan, Salwah al Ahzan, dan lainnya.
Lebih
lengkap lihat biografi beliau dalam; Siyar A’lam an Nubala’, j. 21, h.
365, Tadzkirah al Huffazh, h. 1097, Wafayat al A’yan, j. 2, h.
321, al Bidayah Wa an Nihayah, j. 31, h. 28, Dzail Thabaqat al
Huffazh, j. 1, h. 399, al Kamil Fi at Tarikh, j. 12, h. 171, dan
lainnya.
- 2 - Ibn Qayyim al
Jawziyyah; adalah murid Ibn Taimiyah,
banyak mengambil kesesatan-kesesatan dari Ibn Taimiyah, benar-benar telah
mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya tersebut dalam berbagai masalah ushuliyyah.
Ia
bernama Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub az-Zar’i, dikenal dengan nama Ibn
Qayyim al-Jawziyyah, lahir tahun 691 hijriyah dan wafat tahun 751 hijriyah.
Al-Dzahabi dalam kitab al-Mu’jam al-Mukhtash menuliskan tentang sosok
Ibn Qayyim sebagai berikut:
“Ia tertarik dengan disiplin Hadits,
matan-matan-nya, dan para perawinya. Ia juga berkecimpung dalam bidang fiqih
dan cukup kompeten di dalamnya. Ia juga mendalami ilmu nahwu dan lainnya. Ia
telah dipenjarakan beberapa kali karena pengingkarannya terhadap kebolehan
melakukan perjalanan untuk ziarah ke makam Nabi Ibrahim. Ia menyibukan diri
dengan menulis beberapa karya dan menyebarkan ilmu-ilmunya, hanya saja ia
seorang yang suka merasa paling benar dan terlena dengan pendapat-pendapatnya
sendiri, hingga ia menjadi seorang yang terlalu berani atau nekad dalam
banyak permasalahan” (al-Mu’jam al-Mukhtash).
Imam
al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kaminah
menuliskan tentang Ibn Qayyim sebagai berikut:
“Ia ditaklukkan oleh rasa cintanya kepada Ibn
Taimiyah, hingga tidak sedikitpun ia keluar dari seluruh pendapat Ibn
Taimiyah, dan bahkan ia selalu membela setiap pendapat apapun dari Ibn
Taimiyah. Ibn Qayyim inilah yang berperan besar dalam menyeleksi dan
menyebarluaskan berbagai karya dan ilmu-ilmu Ibn Taimiyah. Ia dengan Ibn
Taimiyah bersama-sama telah dipenjarakan di penjara al-Qal’ah, setelah
sebelumnya ia dihinakan dan arak keliling di atas unta hingga banyak dipukuli
ramai-ramai. Ketika Ibn Taimiyah meninggal dalam penjara, Ibn Qayyim lalu
dikeluarkan dari penjara tersebut. Namun demikian Ibn Qayyim masih mendapat
beberapa kali hukuman karena perkataan-perkataannya yang ia ambil dari
fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Karena itu Ibn Qayyim banyak menerima serangan dari
para ulama semasanya, seperti juga para ulama tersebut diserang olehnya” (ad-Durar
al-Kâminah Fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah ).
Sementara
Ibn Katsir menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:
“Ia (Ibn Qayyim) bersikukuh memberikan fatwa tentang
masalah talak dengan menguatkan apa yang telah difatwakan oleh Ibn Taimiyah.
Tentang masalah talak ini telah terjadi perbincangan dan perdebatan yang
sangat luas antara dia dengan pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât); Taqiyuddin
as-Subki dan ulama lainnya” (Al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, j. 14, j. 235).
Ibn
Qayyim adalah sosok yang terlalu optimis dan memiliki gairah yang besar atas
dirinya sendiri, yang hal ini secara nyata tergambar dalam gaya karya-karya
tulisnya yang nampak selalu memaksakan penjelasan yang sedetail mungkin.
Bahkan nampak penjelasan-penjelasan itu seakan dibuat-buatnya. Referensi
utama yang ia jadikan rujukan adalah selalu saja perkataan-perkataan Ibn
Taimiyah. Bahkan ia banyak mengutak-atik fatwa-fatwa gurunya tersebut karena
dalam pandangannya ia memiliki kekuatan untuk itu. Tidak sedikit dari
faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah yang ia propagandakan dan ia bela, bahkan ia
jadikan sebagai dasar argumentasinya. Oleh karena itu telah terjadi
perselisihan yang cukup hebat antara Ibn Qayyim dengan pimpinan para hakim (Qâdlî
al-Qudlât); Imam al-Hâfizh Taqiyuddin as-Subki di bulan Rabi’ul Awwal
dalam masalah kebolehan membuat perlombaan dengan hadiah tanpa adanya seorang
muhallil (orang ke tiga antara dua orang yang melakukan lomba). Ibn Qayyim
dalam hal ini mengingkari pendapat Imam as-Subki, hingga ia mendapatkan
tekanan dan hukuman saat itu, yang pada akhirnya Ibn Qayyim menarik kembali
pendapatnya tersebut.
Imam
Taqiyuddin al-Hishni (w 829 H), salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab
asy-Syafi’i; penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr, dalam karyanya berjudul Daf’u
Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad sebagai bantahan atas kesesatan Ibn
Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
“Ibn Taimiyah adalah orang yang berpendapat bahwa
mengadakan perjalanan untuk ziarah ke makam para Nabi Allah adalah sebagai perbuatan
yang haram, dan tidak boleh melakukan qashar shalat karena perjalanan
tersebut. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah secara terang-terangan menyebutkan
haram safar untuk tujuan ziarah ke makam Nabi Ibrahim dan makam Rasulullah.
Keyakinannya ini kemudian diikuti oleh muridnya sendiri; yaitu Ibn Qayyim
al-Jaiuziyyah az-Zar’i dan Isma’il ibn Katsir as-Syarkuwini. Disebutkan bahwa
suatu hari Ibn Qayyim mengadakan perjalan ke al-Quds Palestina. Di Palestina,
di hadapan orang banyak ia memberikan nasehat, namun ditengah-tengah
nasehatnya ia membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam
kesimpulannya Ibn Qayyim kemudian berkata: “Karena itu aku katakan bahwa
sekarang aku akan langsung pulang dan tidak akan menziarahi al-Khalil (Nabi
Ibrahim)”. Kemudian Ibn Qayyim berangkat ke wilayah Tripoli (Nablus Syam), di
sana ia kembali membuat majelis nesehat, dan di tengah nasehatnya ia kembali
membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulan
pembicaraannya Ibn Qayyim berkata: “Karena itu hendakalah makam Rasulullah
jangan diziarahi…!”. Tiba-tiba orang-orang saat itu berdiri hendak
memukulinya dan bahkan hendak membunuhnya, namun peristiwa itu dicegah oleh
gubernur Nablus saat itu. Karena kejadian ini, kemudian penduduk al-Quds
Palestina dan penduduk Nablus menuslikan berita kepada para penduduk Damaskus
prihal Ibn Qayyim dalam kesesatannya tersebut. Di Damaskus kemudian Ibn
Qayyim dipanggil oleh salah seorang hakim (Qadli) madzhab Maliki. Dalam
keadaan terdesak Ibn Qayyim kemudian meminta suaka kepada salah seorang Qadli
madzhab Hanbali, yaitu al-Qâdlî Syamsuddin ibn Muslim al-Hanbali. Di
hadapannya, Ibn Qayyim kemudian rujuk dari fatwanya di atas, dan menyatakan
keislamannya kembali, serta menyatakan taubat dari kesalahan-kesalahannya
tersebut. Dari sini Ibn Qayyim kembali dianggap sebagai muslim, darahnya
terpelihara dan tidak dijatuhi hukuman. Lalu kemudian Ibn Qayyim dipanggil
lagi dengan tuduhan fatwa-fatwa yang menyimpang yang telah ia sampaikan di
al-Quds dan Nablus, tapi Ibn Qayyim membantah telah mengatakannya. Namun saat
itu terdapat banyak saksi bahwa Ibn Qayyim telah benar-benar mengatakan
fatwa-fatwa tersebut. Dari sini kemudian Ibn Qayyim dihukum dan di arak di
atas unta, lalu dipenjarakan kembali. Dan ketika kasusnya kembali disidangkan
dihadapan al-Qâdlî Syamsuddin al-Maliki, Ibn Qayyim hendak dihukum bunuh.
Namun saat itu Ibn Qayyim mengatakan bahwa salah seorang Qadli madzhab
Hanbali telah menyatakan keislamannya dan keterpeliharaan darahnya serta
diterima taubatnya. Lalu Ibn Qayyim dikembalikan ke penjara hingga datang
Qadli madzhab Hanbali dimaksud. Setelah Qadli Hanbali tersebut datang dan
diberitakan kepadanya prihal Ibn Qayyim sebenarnya, maka Ibn Qayyim lalu
dikeluarkan dari penjara untuk dihukum. Ia kemudian dipukuli dan diarak di atas
keledai, setelah itu kemudian kembali dimasukan ke penjara. Dalam peristiwa
ini mereka telah mengikat Ibn Qayyim dan Ibn Katsir, kemudian di arak
keliling negeri, karena fatwa keduanya -yang nyeleneh- dalam masalah talak” (Daf’u
Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, h. 122-123).
Ibn
Qayyim benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya; yaitu Ibn
Taimiyah, dalam berbagai permasalahan. Dalam salah satu karyanya berjudul Badâ-i’
al-Fawâ-id, Ibn Qayyim menuliskan beberapa bait syair berisikan keyakinan
tasybîh, yang lalu dengan dusta mengatakan bahwa bait-bait syair tersebut
adalah tulisan Imam ad-Daraquthni. Dalam bukunya tersebut Ibn Qayyim
menuliskan:
“Janganlah kalian mengingkari bahwa Dia Allah duduk
di atas arsy, juga jangan kalian ingkari bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad
di atas arsy tersebut bersama-Nya” (Badâ-i’ al-Fawâ-id, j. 4, h. 39-40).
Tulisan
Ibn Qayyim ini jelas merupakan kedustaan yang sangat besar. Sesungguhnya Imam
ad-Daraquthni adalah salah seorang yang sangat mengagungkan Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ari; sebagai Imam Ahlussunnah. Seandainya ad-Daraquthni seorang yang
berkeyakinan tasybîh, seperti anggapan Ibn Qayyim, tentu ia akan mengajarkan
keyakinan tersebut.
Pada
bagian lain dalam kitab yang sama Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa langit
lebih utama dari pada bumi, ia menuliskan: ”Mereka yang berpendapat bahwa
langit lebih utama dari pada bumi mengatakan: Cukup alasan yang sangat kuat
untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi adalah karena Allah
berada di dalamnya, demikian pula dengan arsy-Nya dan kursi-Nya berada di
dalamnya” (Badâ-i’ al-Fawâ-id, h. 24).
Penegasan
yang sama diungkapkan pula oleh Ibn al-Qayyim dalam kitab karyanya yang lain
berjudul Zâd al-Ma’âd. Dalam pembukaan kitab tersebut dalam
menjelaskan langit lebih utama dari bumi mengatakan bahwa bila seandainya
langit tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali bahwa ia lebih dekat kepada
Allah maka cukup hal itu untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada
bumi.
Syekh
Muhammmad Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn dalam
menanggapi tulisan-tulisan sesat Ibn al-Qayyim di atas berkata:
”Orang ini (Ibn al-Qayyim) meyakini seperti apa yang
diyakini oleh seluruh orang Islam bahwa seluruh langit yang tujuh lapis,
al-Kursi, dan Arsy adalah benda-benda yang notabene makhluk Allah. Orang ini
juga tahu bahwa besarnya tujuh lapis langit dibanding dengan besarnya
al-Kursi tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat
luas; sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Hadits Nabi. Orang ini juga
tahu bahwa al-Kursi yang demikian besarnya jika dibanding dengan besarnya
arsy maka al-Kursi tersebut tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding
padang yang sangat luas. Anehnya, orang ini pada saat yang sama berkeyakinan
persis seperti keyakinan gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, bahwa Allah berada di
arsy dan juga berada di langit, bahkan keyakinan gurunya tersebut dibela
matia-matian layaknya pembelaan seorang yang gila. Orang ini juga
berkeyakinan bahwa seluruh teks mutasyâbih, baik dalam al-Qur’an maupun
Hadits-Hadits Nabi yang menurut Ahl al-Haq membutuhkan kepada takwil, baginya
semua teks tersebut adalah dalam pengertian hakekat, bukan majâz (metafor).
Baginya semua teks-teks mutasyâbih tersebut tidak boleh ditakwil” (Barâ-ah
al-Asy’ariyyîn, j. 2, h. 259-260).
|
PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik