HILANGNYA PERSELISIHAN DAN PENERAPAN DALAM
TAHLILAN |||
Setelah
memahami maksud dari qaul masyhur maka marilah ketahui tentang keluasan ilmu
dan kebijaksaan ‘ulama yang telah merangkai tahlilan. Yakni bahwa didalam tahlilan
sudah tidak ada lagi perselisihan mengenai membaca al-Qur’an untuk orang
mati. Sebab semua dzikir yang dibaca, shalawat hingga pembacaan al-Qur’an dalam
rangkaian tahlilan ; seluruhnya diniatkan untuk orang yang meninggal dunia
yakni pada permulaan tahlilan. Sedangkan diakhir rangkaian tahlilan
adalah ditutup dengan do’a yang berisi pemohonan ampun untuk yang
meninggal, doa-doa yang lainnya serta do’a agar pahala bacaannya disampaikan
kepada mayyit, sedangkan do’a sendiri memberikan bermanfaat bagi mayyit. Jika
sudah seperti ini, tidak ada khilaf (perselisihan) lagi. Sungguh sangat
bijaksana.
Lebih jauh
lagi, ulama bahkan mengatakan membacakan al-Qur’an kepada orang mati telah
menjadi Ijma’ sebab tidak ada yang mengingkarinya. Sebagaimana yang disebutkan
oleh al-Imam al-Hafidz Jalalauddin As-Suyuthi didalam Syarh Ash-Shuduur
: [1]
إختلف في وصول ثواب القراءة للميت فجمهور السلف والأئمة الثلاثة على الوصول وخالف في ذلك إمامنا الشافعي مستدلا بقوله تعالى {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} وأجاب الأولون عن الآية بأوجه. أحدها أنها منسوخة بقوله تعالى {والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم} الآية أدخل الأبناء الجنة بصلاح الآباء. الثاني أنها خاصة بقوم إبراهيم وقوم موسى عليه السلام فأما هذه الأمة فلها ما سعت وما سعي لها قال عكرمة . الثالث أن المراد بالإنسان هنا الكافر فأما المؤمن فله ما سعى وما سعي له قاله الربيع بن أنس الرابع ليس للإنسان إلا ما سعى من طريق العدل فأما من باب الفضل فجائز أن يزيده الله تعالى ما شاء قاله الحسين بن الفضل. الخامس أن اللام في {للإنسان} بمعنى على أي ليس على الإنسان إلا ما سعى. واستدلوا على الوصول بالقياس على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة وبالأحاديث الآتي ذكرها وهي وإن كانت ضعيفة فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير فكان ذلك إجماعا ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. قال القرطبي وقد كان الشيخ عز الدين بن عبد السلام يفتي بأنه لا يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ له فلما توفي رآه بعض أصحابه فقال له إنك كنت تقول إنه لا يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ ويهدى إليه فكيف الأمر قال له كنت أقول ذلك في دار الدنيا والآن فقد رجعت عنه لما رأيت من كرم الله في ذلك وأنه يصل إليه ثواب ذلك وأما القراءة على القبر فجزم بمشروعيتها أصحابنا وغيرهم وقال الزعفراني سألت الشافعي رحمه الله عن القراءة عند القبر فقال لا بأس به وقال النووي رحمه الله في شرح المهذب يستحب لزائر القبور أن يقرأ ما تيسر من القرآن ويدعو لهم عقبها نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب وزاد في موضع آخر وإن ختموا القرآن على القبر كان أفضل وكان الإمام أحمد بن حنبل ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع حين بلغه ومن الوارد في ذلك ما تقدم في باب ما يقال عند الدفن من حديث إبن العلاء بن اللجلاج مرفوعا كلاهما
“Ulama berselisih tentang sampainya
pahala bacaan al-Qur’an untuk orang mati. Pendapat jumhur Salafush shaleh
dan Imam tiga (Abu Hanifah, Malik, Ahmad) menyatakan sampai, sedangkan Imam
kami yakni Imam Syafi’i menyelisihi yang demikian, beliau beristidlal dengan
firman Allah Ta’alaa :
وَأَن لَيْسَ
للْإنْسَان إِلَّا مَا سعى
“dan tiada bagi manusia kecuali apa yang
di usahakan” (QS. an-Najm : 39)
Aku mengawali jawaban tentang ayat ini
dengan berbagai sudut pandangan jawaban : Pertama, ayat tersebut manshukh
(hukumnya dihapus) dengan firman Allah Ta’alaa :
وَالَّذين آمنُوا
وَاتَّبَعتهمْ ذُرِّيتهمْ
“dan orang-orang yang beriman, kami
hubungkan mereka dengan keturunan-keturunan mereka”
Berdasarkan ayat tersebut, anak-anak
masuk surga karena keshalihan (kebajikan) ayah-ayahnya.
Kedua, ayat tersebut hanya khusus qaum
Nabi Ibrahim ‘alayhis salaam dan Nabi Musaa ‘alayhis salaam, adapun umat ini
maka baginya apa yang diusahakan dan apa yang diusahakan (orang lain) untuknya.
‘Ikrimah telah menuturkan hal ini.
Ketiga, bahwa yang dimaksud dengan
manusia (al-Insaan) pada ayat tersebut dalah orang kafir, (maksudnya adalah
“tiada bagi orang kafir, kecuali apa yag diusahakan”, ket), sedangkan
orang-orang beriman, maka baginya apa yang diusahakannya dan apa yang
diusahakan orang lain untuknya. Ini qaul Ar-Rabi’ bin Anas.
Keempat, tiada bagi manusia kecuali apa
yang diusahakan seperti dari segi keadilan, adapun terkait keutamaan (fadlilah)
maka jaiz bagi Allah Ta’alaa menambahkan apa yang dikehendaki. Ini qaul
al-Husain bin al-Fadll.
Kelima, huruf Lam (ل) pada ladzhaf
{lil-Insaan} bermakna ‘alaa (على) maksudnya tiada atas manusia kecuali apa yang diusahakan.
Dan para ulama beristidllal atas
sampainya (bacaan al-Qur’an) dengan Qiyas terhadap perkara sebelumnya seperti
do’a, shadaqah, puasa, haji dan membebaskan budak, maka tidak ada perbedaan
terkait perpindahan pahala antara haji, shadaqah, waqaf, do’a dan membaca
al-Qur’an, dan berdasarkan hadits-hadits sebelumnya yang telah
disebutkan, dimana jikalau kedudukan haditsnya memang dlaif, namun
pengumpulannya (banyak dihimpunnya hadits tersebut) itu menunjukkan bahwa yang
demikian merupakan pokok (al-Ashl) dan bahwa kaum Muslimin tidak pernah
meninggalkan amalan tersebut disepanjang masa , mereka berkumpul, mereka
membaca al-Qur’an untuk orang-orang mati diantara mereka tanpa ada yang
mengingkari, maka jadilah itu sebagai Ijma’, semua itu telah dituturkan
oleh al-Hafidz Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali pada sebagian
dari beberapa masalah.”
Imam al-Qurthubi berkata : Syaikh
‘Izzuddin bin Abdis Salam berfatwa bahwa bacaan al-Qur’an untuk mayyit tidak
sampai kepada mayyit, maka tatkala beliau wafat, sebagian shahabat-shahabatnya
(bermimpi) melihatnya, kemudian berkata : “sesungguhnya engkau pernah
mengatakan bahwa pahala apa yang dibaca (bacaan al-Qur’an) tidak sampai kepada
mayyit walaupun menghadiahkannya, bagaimanakah masalah tersebut ?” kemudian ia
menjawab : aku memang mengatakan demikian ketika di dunia, dan
sekarang sungguh aku telah ruju’ darinya tatkala aku melihat karamah Allah
tentang hal tersebut, dan sesungguhnya yang demikian itu sampai kepada mayyit.
Adapun membaca al-Qur’an di atas qubur.
Ashhabunaa (ulama-ulama syafi’iyah kami) serta yang lainnya telah menetapkan
disyariatkannya hal tersebut.
Imam Az-Za’farani berkata : aku pernah
bertanya kepada Imam asy-Syafi’i rahimahullah tentang pembacaan al-Qur’an
diatas qubur, lalu beliau menjawab : “tidak apa-apa dengan yang demikian”.
al-Imam an-Nawawi rahimahullah didalam
Syarhul Muhadzdzab berkata : disunnahkan bagi peziarah qubur agar membaca
apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an dan berdo’a untuk mereka mengiringi
bacaan al-Qur’an, nas atasnya oleh asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i telah
menyepakatinya, dan ditempat lain ditambahkan yakni jika mereka mengkhatamkan
al-Qur’an diatas qubur maka itu lebih afdlal (utama).
al-Imam Ahmad bin Hanbal awalnya
mengingkari yang demikian (membaca al-Qur’an diatas qubur) ketika belum sampai
atsar terkait hal itu kepada beliau, namun kemudian beliau ruju’ ketika
atsar terkait hal tersebut sampai kepadanya,[2]
dan diantara yang warid tentang yang demikian yakni apa yang telah berlalu pada
sebuah Bab Maa Yuqaal ‘Inda ad-Dafni dari hadits Ibnu al-‘Alaa’ bin al-Lajlaj
secara marfu’ pada kalam keduanya.”
CATATAN KAKI :
[1] Lihat : Syarhush
Shuduur bi-Ahwaalil Mawtaa wal Qubuur [1/302-303], karya al-Imam al-Hafidz
Jalaluddin As-Suyuthi rahimahullah.
[2] Kronologis tentang
Imam Ahmad bin Hanbal yang awalnya mengingkari kemudian meruju’ setelah sampai
kepadanya sebuah atsar tentang yang demikian, ini banyak disebutkan dalam
kitab-kitab Madzhab Hanbali seperti oleh pembesar Hanabilah al-Imam Ibnu
Qudamah al-Maqdisini didalam al-Mughni [2/422].
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik