|||
BERITA IMAM AHMAD BIN HANBAL TENTANG KEDURI 7 HARI |||
Mengapa para ulama
mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan keluarganya yang telah
meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut ?
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau
mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan
dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus
bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :
إن الموتى
يفتنون في قبورهم سبعا،
فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.
“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.
Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd
[1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam
Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan
al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu
Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam
al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam
al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian
bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan
Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil)
juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal
dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil)
hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang
mengingkarinya. [4]
Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang
baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan
kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini
telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama
telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi
mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya,
sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]
Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak
disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari
Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-
يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه
ناس فلا أدري ما
تأويل قوله حتى طعن عمر
رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من
الجنازة جاؤوا وقد وضعت
الموائد فأمسك الناس
عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء
الله تعالى بتمامه في مناقب
عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.
Hikmah dari hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan
bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak
masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah
dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.
Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara
lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar
al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).
وعن الأحنف بن قيس قال: "كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله
عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن
يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد
وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال:
يا أيها الناس، قد مات رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فأكلنا بعده وشربنا،
ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد
الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله ".رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن
زيد بن جدعان
“Dan dari al-Ahnaf
bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh
mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali
manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar
di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan
membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka
telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah
dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka.
Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai
manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita
semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan
serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini,
maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan
Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam
Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani
telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan
serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa
al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat
al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh
(1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad
(14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).
Wallahu A’lam.
[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah
a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan
al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar
al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188
H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad
al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam
al-Mathalibul ‘Aliyah (834).
[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu
Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik,
menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada
kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim,
menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah
berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam
kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri
shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.
[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H),
disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang
seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin
Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.
[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin
Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam
al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy.
[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin
an-Nawawi asy-Syafi’i.
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin
as-Suyuthi.
Disarikan dari
tulisan : al-Ustadz H. Luthfi Bashori
http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=288
http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=288
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik