TARHIM
Sudah menjadi tradisi ditengah masyarakat muslim seluruh penjuru dunia, terlebih
Indonesia khususnya warga Nahdhiyyin, dikala menjelang adzan
subuh mengalunlah untaian shalawat, syi’ir, al-Quran dan sebagainya. Alunan merdu yang dikenal dengan tarhim yg
berasal dari beberapa masjid dan musholla itu seakan menggugah kesadaran
masyarakat untuk mengakhiri nikmat tidurnya, bergegas untuk sahur bagi yang
berpuasa , beribadah kepada Allah dengan melakukan shalat malam dan mengadahkan
tangan untuk berdoa, meminta ampunan atas segala dosa yg telah diperbuat,
lantas bersiap untuk menyongsong pelaksanaan shalat subuh.
Tentang
lafadz-lafadz tarhim yg kita kenal
selama ini adalah berupa seruan bacaan sholawat sebagaimana dibawah ini:
الصلاة والسلام عليك * يا إمام المجاهدين *
يارسول الله
Sholawat serta salam semoga terlimpahkan atasmu, wahai imam para
mujahid, wahai utusan Allah
الصلاة والسلام عليك * ياناصر الهدى * ياخير خلق
الله
Sholawat serta salam semoga terlimpahkan atasmu, wahai penolong
petunjuk, wahai makhluq Allah terbaik
الصلاة والسلام عليك * يا ناصر الحقّ يا رسول
الله
Sholawat serta salam semoga terlimpahkan atasmu, wahai penolong
kebenaran , wahai utusan Allah
الصلاة والسلام عليك * يا من أسرى بك المهيمن
ليلا
Sholawat serta salam semoga terlimpahkan atasmu, wahai orang
yang diperjalankan diwaktu malam oleh Dzat yang maha mengawasi
وتقدّمت للصلاة فصلى كلّ من فى السماء وأنت
الإمام
Dan engkau maju guna melaksanakan shalat, lalu setiap makhluk yg
dilangit dan dibumi ikut shalat dan engkaulah yang meng-imami
وإلى المنتهى رفعت كريما
Menuju sidrotul muntaha engkau diangkat wahai yang mulia
وسمعت النداء عليك السلام
Dan engkau mendengar seruan , atasmu salam sejahtera
يا من أسرى بك المهيمن ليلا نلت ما نلت والأنام
نيام * وتقدّمت للصلاة فصلى كلّ من فى السماء وأنت الإمام وإلى المنتهى رفعت وسمعت النداء عليك السلام
(wahai
orang yang diperjalankan oleh Dzat yg Maha mengawasi diwaktu malam , engkau
memperoleh apa yang engkau per-oleh sedang manusia dalam keadaan terlelap, dan
engkau maju guna melakukan shalat, lantas setiap makhluk yang dilangit dan
dibumi ikut shalat dan engkaulah yang meng-imami , menuju sidrotul muntaha
engkau diangkat wahai yang mulia, dan engkau mendengar seruan atasmu salam
sejahtera)
يا كريم الأخلاق * يا رسول الله
Waha yang mulia akhlaknya, wahai utusan Allah
صلّى الله عليك * وعلى آلك وأصحابك أجمعين
Semuga rahmat ta’dhim Allah menyertaimu, keluargamu dan semua
sahabatmu
==============
Atau bacaan lainnya, seperti
عَجِّلُوْا بِالصَّلاَةِ
قَبْلَ الْفَوْتِ
Bergegaslah shalat sebelum ketinggalan
وَعَجِّلُوْا بِالتَّوْبَةِ قَبْلَ الْمَوْتِ
Bergegaslah bertaubat sebelum maut
(menjemputmu)
تُوْبُوْا إلَى رَبِّكُمْ قَبْلَ أنْ تَمُوْتُوا
Bertaubatlah kepada Tuhanmu sebelum kalian
meninggal
تَيَقَّظُوْا يَا نِيَامُ
Bangunlah wahai orang-orang yang tidur
A.
ASAL-USUL TARHIM DI INDONESIA
Shalawat tarhim ini adakalanya dilantunkan secara langsung ,
adapula yang menggunakan rekaman. Menurut sebagian sumber, rekaman tarhim untuk
contoh yang kesatu, pertama kali dipopulerkan di Indonesia melalui salah satu
radio yang popular di Surabaya kira-kira pada akhir tahun 1960-an. Penciptanya
adalah syaikh Mahmud Khalil al-Hisry, ketua jam’iyyatul Qurro’ di kairo, mesir.
Menurut Cak Nun , syaikh Mahmud al-Hisry pernah berkunjung ke
Indonesia dan beliau dibajak di Lokananta, Solo untuk rekaman shalawat tarhim
ini.
Syaikh Mahmud al-Hisriy (1917-1980) adalah
Ulama lulusan Universitas al-Azhar dan merupakan salah satu Qari’ (pembaca
al-Quran) paling ternama dizamannya, sampai-sampai Ia digelari Syaikh al-Maqari
(guru ahli qiraah). Syaikh
Mahmud al-Hisry dikenal karena kepiawaiannya dalam membaca al-Quran secara
tartil. Ia mengatakan bahwa membaca al-Quran bukan semata-mata tentang irama
(lagu) atau seni bacaannya, yang paling penting adalah tartil : memahami bacaan
al-Quran dengan baik dan benar, yaitu melalui studi kebahasaan (linguistik) dan
dialek arab kuno, serta penguasaan teknik pelafalan huruf maupun kata-perkata
dalam al-Quran. Dengan begitu bisa dicapai tingkat kemurnian (keaslian makna )
yang tinggi dalam membaca al-Quran
B.
TINJAUAN HUKUM
Bacaan tarhim yang notebene merupakan
sebuah rangkaian shalawat, doa atau yang berbentuk mau’idhoh dengan mengeraskan
suara dipenghujung malam merupakan permasalahan yang diperselisihkan oleh Ulama
(khilafiyah), dalam menyikapinya para Ulama terbagi menjadi dua golongan,
sebagian kelompok yg disinyalir dari kalangan Madzhab Hanbali melarangnya,
dalam kitab Kassyaf al-Qina’ ‘an Matni
al-Iqna’ disebutkan :
“(untaian selain
adzan sebelum fajar) dan pada hari jum’at (yang berisikan tasbih , nasyid, doa
dengan mengeraskan suara dan semisalnya- yang disumberkan- dari tempat adzan )
atau sesamanya, (hal itu bukan termasuk perbuatan yang disunnahkan , dan tiada satupun Ulama
yang menyatakan disunnahkannya perbuatan demikian bahkan hal ini termasuk dari
golongan bid’ah makruhah) karena perbuatan ini tidak pernah ada pada zamannya
Nabi Saw dan zamannya sahabat , serta tiada pula ditemukan dasar legalitas yang
dapat dirujuk dalam konteks ini pada apa yang terjadi pada era mereka (maka
tidak diperkenankan bagi seseorang memerintahkan untuk melakukannya dan tidak
pula mengingkari atas mereka yang meninggalkannya, tidak pula mengaitkan berhak
mendapatkan upah atas pekerjaannya) karena hal itu merupakan bentuk menolong
perbuatan bid’ah ( tidak wajib melakukannya walaupun disyaratkan oleh pihak
waqif) karena bertentangan dengan as-Sunnah. Berkata Abd. Rahman ibnu al-Jauzi
dalam kitab Talbis Iblis : “sungguh aku melihat banyak orang yang qiyamul lail
di menara, lalu memberikan mau’idhoh , bedzikir dan membaca surat dari
al-Quran, suara keras mereka mengganggu tidur masyarakat dan mengacaukan
konsentrasi orang-orang yang bertahajjud, semua itu merupakan perbuatan
munkar”.
Uraian
di atas memberikan pemahaman pada kita bahwa alasan penolakan terhadap tradisi
tarhim oleh pihak penentang adalah :
1.
Pebuatan
ini tidak ditemukan pada zaman Nabi Saw dan generasi sahabat dan termasuk
bid’ah
2.
Mengganggu
istirahat masyarakat dan konsentrasi orang-orang yang melakukan tahajjud
Namun dari pihak lain , mayoritas Ulama menyatakan bahwa
budaya tarhim ini sah-sah saja dilakukan, hal ini bermula dari esensi adzan
yang dikumandangkan oleh sahabat Bilal Ra diwaktu sahur. Disebutkan dalam Hadits:
عن
( عبد الله بن مسعود ) عن النبي قال لا يمنعن أحدكم أو أحدا منكم أذان بلال من
سحوره فإنه يؤذن أو ينادي بليل ليرجع قائمكم ولينبه نائمكم وليس أن يقول الفجر أو
الصبح
“dari
Abdullah bin mas’ud dari Nabi Saw, beliau bersabda : “janganlah adzannya bilal
menghalangi seseorang dari kalian, atau seseorang dari makan sahurnya , karena
dia mengumandangkan adzan saat masih malam supaya orang yang masih shalat malam
dapat pulang dan untuk membangunkan mereka yang masih tidur. Dan Bilal
adzan tidak bermaksud memberitahukan
masuknya waktu fajar atau subuh.”
(HR, al-Bukhori)
Dalam hadits ini terdapat tiga poin mengenai
adzan yang dikumandangkan oleh Bilal sebelum masuk waktu subuh , yaitu ;
1. Menginformasikan kepada orang yang sedang
menghidupkan malam dengan shalat (qiyamul lail) perihal telah dekatnya waktu fajar
2. Agar orang yg terlelap dalam tidurnya
terjaga dan bergegas untuk bersuci agar bisa berjamaah di awal waktu, atau
supaya bisa melakukan shalat witir dan shalat tahajjud kalau belum melakukannya
sebelum munculnya fajar, dan agar dapat bersahur bagi yang hendak berpuasa.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi Saw ; “janganlah adzannya bilal menghalangi seseorang dari kalian, atau
seseorang dari makan sahurnya , dalam hadits di atas
3.
Dalam hadits itu juga
meng-informasikan mengenai hukum sunnah membangunkan orang-orang yang masih pulas dalam tidurnya agar terjaga
dan menyudahi tidurnya di waktu akhir malam dengan media adzan dan sejenisnya
yang berupa dzikir. Selaras dengan konteks ini , at-Tirmidzi meriwayatkan sebuah
hadits :
سنن الترمذي (4/ 636)
عن الطفيل بن أبي بن كعب
عن أبيه قال : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا ذهب ثلثا الليل قام فقال يا
أيها الناس أذكروا الله اذكروا الله جاءت الراجفة تتبعها الرادفة جاء الموت بما
فيه جاء الموت بما فيه ... الحديث
قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
قال الشيخ الألباني : حسن
“ dari Thufail bin ubai bin ka’ab
dari ayahnya berkata : bila dua pertiga malam berlalu, Rasulullah Saw bangun
lalu bersabda : “ Wahai sekalian manusia, ingatlah Allah, ingatlah Allah,
tiupan pertama datang dan diiringi oleh tiupan kedua, kematian datang dengan
yang ada padanya , kematian datang dengan membawa segala kelanjutannya, kematian
datang dengan membawa segala kelanjutannya ...... al-hadits
(HR, at-Tirmidzi , berkata Abu Isa : Hadits ini Hasan Shahih, syaikh al-Baniy
berkata : “ Hadits ini Hasan )
Hadits ini menjadi bukti bahwa Tarhim yg
berupa dzikir, tasbih, dan yg berisi mau’idhoh
dan semisalnya dengan mengeraskan suara di penghujung malam guna
membangunkan orang yang tidur tidak apa-apa dilakukan, bahkan Nabi Saw sendiri
sering melakukannya. Sebagian kelompok Ulama mengingkari akan hal ini, diantaranya Abu
al-Faraj ibni al-Jauzi yang memvonis bahwa perbuatan ini termasuk bid’ah. Akan
tetapi dari uraian yang telah kami sampaikan menjadi dalil bahwa hal ini
bukanlah perbuatan Bid’ah akan tetapi SUNNAH. Lihat Fathul bari li ibnu
Rajab juz 3 hal. 516-517
فتح الباري لابن رجب
وفيه دلالة على ان الذكر والتسبيح جهرا في آخر الليل لا بأس
به؛ لايقاظ النوام.
وقد انكره طائفة من العلماء، وقال: هو بدعة، منهم: ابو
الفرج ابن الجوزي. وفيما ذكرناه دليل على انه ليس ببدعة.
وقد روي عن عمر، أنه قال: عجلوا الاذان بالفجر؛ يدلج
المدلج، وتخرج العاهرة.
ورواه الشافعي، عن مسلم بن خالد، عن ابن جريج، عن قيس، عن
عمر.
فذكر فيه فائدتين:
احدهما: ان المسافر يدلج في ذلك الوقت، وقد امر النبي - صلى
الله عليه وسلم - المسافر بالدلجة. وقال: ((ان الارض تطوى بالليل)). والدلجة: سير
آخر الليل.
والثاني: ان من كان معتكفا على فجور، فإنه يقلع بسماع
الاذان عما هو فيه.
------
Dan sekiranya hadits dan pernyataan ini
tetap tidak diterima oleh pihak yang mengingkari keabsahan Tarhim, dan tetap
bersikukuh bahwa hal ini merupakan bid’ah, maka tradisi tarhim tetap bisa
dilestarikan dengan menggunakan opsi kedua, yaitu bahwa budaya ini tergolong
bid’ah hasanah sebagaimana keterangan yang tercantum dalam kitab Fiqh ‘Ala
al-Madzhab al-Arba’ah yang dipublikasikan oleh badan waqaf mesir halaman 238,
divonis sebagai bid’ah hasanah karena tidak ada satupun nash as-Sunnah yang
melarangnya, sebaliknya keumuman nash menghendaki akan kesunnahannya.
Selain
itu, sebenarnya bacaan Tarhim ini dalam keadaan bagaimanapun tergolong doa
diwaktu sahur, di dalam al-Quran Allah Swt menceritakan tentang keadaan
orang-orang yang bertaqwa bahwa mereka adalah orang-orang yg meminta ampunan di
waktu sahur, ditegaskan oleh Allah Swt
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ [الذاريات: 18]
“ dan di waktu pagi sebelum fajar mereka
selalu memohonkan ampunan”. (Qs, adz-Dzariyat , 18)
Dalam hadits disebutkan bahwa Allah Swt menurunkan
rahmatnya di langit bumi setiap sepertiga malam, seperti terurai dalam hadits
berikut :
موطأ مالك (2/ 298)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ
الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي
فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي
فَأَغْفِرَ لَهُ
“ dari abu Hurairoh Ra bahwa Rasulullah Saw
bersabda : “ (rahmat) Rabb Tabaroka wa Ta’ala turun di setiap malam ke langit
dunia pada sepertiga malam terakhir dan Allah berfirman : “siapa yang berdoa
kepada-Ku pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepada-Ku pasti Aku penuhi
dan siapa yg memohon ampun kepada-Ku pasti Aku ampuni”. (HR, Bukhori dan Muslim)
Pendapat yang menyatakan bahwa Tarhim
adalah boleh atau BID’AH HASANAH ini merupakan pendapat Jumhur Ulama,
sebagaimana dipaparkan dalam Fatawa al-Azhar dengan kesimpulan sebagai berikut:
فتاوى دار الإفتاء المصرية (9/ 203)
فالخلاصة أن الابتهالات قبل الفجر لا يوجد ما يمنعها شرعًا
عند جمهور العلماء، فهى وإن كانت تقليدًا موروثًا لم يكن فى عهد السلف الصالح -هى
من البدع المستحسنة
“ kesimpulannya; bacaan-bacaan doa yang
diserukan sebelum shubuh, tidak ada larangan dari syara’ menurut jumhur Ulama,
meskipun tidak pernah dilakukan oleh kalangan Ulama Salaf (sahabat, Tabi’in dan
tabi’ at-Tabi’in) hal ini merupakan perkara baru yang bernilai baik”.
Melihat dari beberapa tujuan yang
dimaksudkan dalam tarhim, semua esensinya merupakan tindakan yang berdasar,
seperti membangunkan orang orang untuk shalat malam dan makan sahur bagi yang
berpuasa , para Ulama memutuskan bahwa membangunkan orang lain supaya melakukan
shalat malam atau sahur bagi yang berpuasa hukumnya adalah sunnah.
Walaupun demikian, tindakan semacam tarhim
ini tetaplah harus ditimbang antara mashlahah dan mafsadahnya, jika
mashlahahnya lebih banyak dari pada mafsadahnya maka bacaan itu lebih utama ,
namun jika yang terjadi justru sebaliknya maka menjadi makruh. Disebutkan dalam
kitab Bughyah al-Mustarsyidain :
بغية المسترشدين (ص: 133)
فائدة : جماعة يقرأون القرآن في المسجد جهراً ، وينتفع
بقراءتهم أناس ، ويتشوّش آخرون ، فإن كانت المصلحة أكثر من المفسدة فالقراءة أفضل
، وإن كانت بالعكس كرهت اهـ فتاوى النووي
“(faidah) segolongan orang yang membaca al-Quran
dengan keras di dalam masjid, bacaan itu bermanfaat bagi sebagian orang, dan
mengganggu yang sebagian lainnya, maka jika mashlahanya lebih banyak dari pada
kerusakannya maka bacaan itu lebih utama dan jika sebaliknya maka makruh”.
----------------- --
Fasal tentang Tarhim
Tarhim ialah suara
yang dikumandangkan dari masjid atau mushala dengan maksud membangunkan kaum
muslimin muslimat untuk persiapan shalat Shubuh. Lebih dari itu, tarhim
membantu membangunkan mereka yang ingin menjalankan shalat tahajjud, karena
shalat ini dapat dikerjakan pada saat itu.
Tarhim banyak kita dengar terutama saat bulan suci Ramadhan. Bacaan yang dikumandangkan umumnya bervariasi, ada yang berisi seruan agar kaum muslimin bangun dan siap melakukan shalat shubuh. Ada juga yang mengingatkan pentingnya shalat tahajjud, dan lain-lain.
Setiap masjid NU, bahkan mushalanya juga, bersaut-sautan dengan kalimat-kalimat spesial yang disusun khusus untuk acara tarhim ini. Bisa jadi tarhim ini hanya sekadar mengulang-ngulang hadits:
تَسَحَّرُوا فَإنَّ
فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ
"Sahurlah kalian karena sahur itu membawa berkah".
Terkadang ditambah dengan kata-kata dari petugas masjid, misalnya: “Sekarang sudah pukul 03.00 WIB, sebentar lagi subuh, bangun… bangun.. .sahur... sahur...” Bagi yang ingin berpuasa, tarhim menuntunnya untuk segera makan sahur.
Akhir-akhir ini masjid dan mushala memang lebih banyak memilih memutar kaset ayat-ayat Al-Qur'an karena lebih praktis ketimbang mendatangkan seseorang yang bersedia mengumandangkan alunan lagu yang merdu.
Dulu, orang-orang yang membawakan tarhim dapat didatangkan dari luar daerah dengan upah yang cukup, ditambah hadiah sarung, baju koko, dan lain-lain. Mereka bisa bertiga atau berempat yang tugasnya (di samping mengisi acara tarhim dari pukul 03.00 sampai Subuh) mereka juga bertugas adzan setiap shalat Fardhu.
Seiring perkembangan zaman, kelompok orang-orang tarhim ini sudah tidak banyak ditemui karena diganti kaset Al-Qur'an yang disetel kurang lebih 30-60 menit sebelum waktu adzan dengan disisipi suara dari petugasnya sepuluh menit sebelum Subuh: “Imsaak. . . imsaak. . .”
Dalil tarhim ini adalah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ
أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سَحُورِهِ فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ أَوْ
يُنَادِي بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَلِيُنَبِّهَ
نَائِمَكُمْ
Dari Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah bersabda: Kalian tak perlu mencegah Bilal untuk adzan sewaktu sahur karena adzan itu bertujuan untuk mengingatkan siapa saja yang masih berjaga dan sekaligus membangunkan yang tertidur. (Fathul Bari Syarh al-Bukhari, Juz II, hlm 244)
Al-Hafizh berkata dalam kitab Al-Fath: "Pernah terjadi sebelum waktu shubuh, dan bukan hari Jum'at, bacaan tasbih dan shalawat atas Nabi, bukan adzan baik dari sisi bahasa maupun agama."
Dalam Fiqhus Sunnah Juz I, hlm 221-222 terdapat penjelasan bahwa di dalam hadits-hadits lain diterangkan, tarhim yang disuarakan keras itu lebih baik. Namun disuarakan pelan itu lebih baik bila dikhawatirkan munculnya sikap riya' atau mengganggu orang yang sedang shalat (tahajjud). Dan selagi aman dari hal-hal tersebut, tentu tarhim dengan suara keras akan lebih baik.
KH Munawir Abdul Fattah
C. KESIMPULAN
1. Tradisi tarhim yang berisikan shalawat,
syi’ir islami, doa dan lantunan ayat al-Quran layak dan patut dilestarikan
dengan tetap mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah yang ditimbulkan
2. Masalah tarhim merupakan khilafiyah,
sebagian Ulama Hanbali menganggap sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan,
sedangkan menurut mayoritas Ulama menyatakan tradisi tarhim merupakan bid’ah
hasanah dan sunnah dilakukan
3. Mengeraskan suara di waktu sahur untuk
membangunkan orang-orang bukanlah perbuatan bid’ah, karena Nabi Saw telah
melakukannya sebagaimana Hadits riwayat at-Tirmidzi di atas.
assalamualaikum kyai... trimakasih atas ilmunya, mhon ijin copy & share.. syukron katsiiron.
BalasHapus