Langsung ke konten utama

TARHIM



TARHIM
Sudah menjadi tradisi ditengah masyarakat  muslim seluruh penjuru dunia, terlebih Indonesia khususnya warga Nahdhiyyin, dikala menjelang adzan subuh mengalunlah untaian shalawat, syi’ir, al-Quran dan sebagainya.  Alunan merdu yang dikenal dengan tarhim yg berasal dari beberapa masjid dan musholla itu seakan menggugah kesadaran masyarakat untuk mengakhiri nikmat tidurnya, bergegas untuk sahur bagi yang berpuasa , beribadah kepada Allah dengan melakukan shalat malam dan mengadahkan tangan untuk berdoa, meminta ampunan atas segala dosa yg telah diperbuat, lantas bersiap untuk menyongsong pelaksanaan shalat subuh.
Tentang lafadz-lafadz  tarhim yg kita kenal selama ini adalah berupa seruan bacaan sholawat sebagaimana dibawah ini:
الصلاة والسلام عليك *  يا إمام المجاهدين * يارسول الله
Sholawat serta salam semoga terlimpahkan atasmu, wahai imam para mujahid, wahai utusan Allah
الصلاة والسلام عليك * ياناصر الهدى * ياخير خلق الله
Sholawat serta salam semoga terlimpahkan atasmu, wahai penolong petunjuk, wahai makhluq Allah terbaik
الصلاة والسلام عليك * يا ناصر الحقّ يا رسول الله
Sholawat serta salam semoga terlimpahkan atasmu, wahai penolong kebenaran , wahai utusan Allah
الصلاة والسلام عليك * يا من أسرى بك المهيمن ليلا
Sholawat serta salam semoga terlimpahkan atasmu, wahai orang yang diperjalankan diwaktu malam oleh Dzat yang maha mengawasi
وتقدّمت للصلاة فصلى كلّ من فى السماء وأنت الإمام
Dan engkau maju guna melaksanakan shalat, lalu setiap makhluk yg dilangit dan dibumi ikut shalat dan engkaulah yang meng-imami
وإلى المنتهى رفعت كريما
Menuju sidrotul muntaha engkau diangkat wahai yang mulia
وسمعت النداء عليك السلام
Dan engkau mendengar seruan , atasmu salam sejahtera
يا من أسرى بك المهيمن ليلا نلت ما نلت والأنام نيام * وتقدّمت للصلاة فصلى كلّ من فى السماء وأنت الإمام  وإلى المنتهى رفعت وسمعت النداء عليك السلام
(wahai orang yang diperjalankan oleh Dzat yg Maha mengawasi diwaktu malam , engkau memperoleh apa yang engkau per-oleh sedang manusia dalam keadaan terlelap, dan engkau maju guna melakukan shalat, lantas setiap makhluk yang dilangit dan dibumi ikut shalat dan engkaulah yang meng-imami , menuju sidrotul muntaha engkau diangkat wahai yang mulia, dan engkau mendengar seruan atasmu salam sejahtera)
يا كريم الأخلاق * يا رسول الله
Waha yang mulia akhlaknya, wahai utusan Allah
صلّى الله عليك * وعلى آلك وأصحابك أجمعين
Semuga rahmat ta’dhim Allah menyertaimu, keluargamu dan semua sahabatmu
==============
Atau bacaan lainnya, seperti
عَجِّلُوْا بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْفَوْتِ
Bergegaslah shalat sebelum ketinggalan
وَعَجِّلُوْا بِالتَّوْبَةِ قَبْلَ الْمَوْتِ
Bergegaslah bertaubat sebelum maut (menjemputmu)
تُوْبُوْا إلَى رَبِّكُمْ قَبْلَ أنْ تَمُوْتُوا
Bertaubatlah kepada Tuhanmu sebelum kalian meninggal
تَيَقَّظُوْا يَا نِيَامُ
Bangunlah wahai orang-orang yang tidur

A.    ASAL-USUL TARHIM DI INDONESIA
Shalawat tarhim ini adakalanya dilantunkan secara langsung , adapula yang menggunakan rekaman. Menurut sebagian sumber, rekaman tarhim untuk contoh yang kesatu, pertama kali dipopulerkan di Indonesia melalui salah satu radio yang popular di Surabaya kira-kira pada akhir tahun 1960-an. Penciptanya adalah syaikh Mahmud Khalil al-Hisry, ketua jam’iyyatul Qurro’ di kairo, mesir.
Menurut Cak Nun , syaikh Mahmud al-Hisry pernah berkunjung ke Indonesia dan beliau dibajak di Lokananta, Solo untuk rekaman shalawat tarhim ini.
Syaikh Mahmud al-Hisriy (1917-1980) adalah Ulama lulusan Universitas al-Azhar dan merupakan salah satu Qari’ (pembaca al-Quran) paling ternama dizamannya, sampai-sampai Ia digelari Syaikh al-Maqari (guru ahli qiraah). Syaikh Mahmud al-Hisry dikenal karena kepiawaiannya dalam membaca al-Quran secara tartil. Ia mengatakan bahwa membaca al-Quran bukan semata-mata tentang irama (lagu) atau seni bacaannya, yang paling penting adalah tartil : memahami bacaan al-Quran dengan baik dan benar, yaitu melalui studi kebahasaan (linguistik) dan dialek arab kuno, serta penguasaan teknik pelafalan huruf maupun kata-perkata dalam al-Quran. Dengan begitu bisa dicapai tingkat kemurnian (keaslian makna ) yang tinggi dalam membaca al-Quran
B.     TINJAUAN HUKUM
Bacaan tarhim yang notebene merupakan sebuah rangkaian shalawat, doa atau yang berbentuk mau’idhoh dengan mengeraskan suara dipenghujung malam merupakan permasalahan yang diperselisihkan oleh Ulama (khilafiyah), dalam menyikapinya para Ulama terbagi menjadi dua golongan, sebagian kelompok yg disinyalir dari kalangan Madzhab Hanbali melarangnya, dalam kitab Kassyaf  al-Qina’ ‘an Matni al-Iqna’ disebutkan :
(untaian selain adzan sebelum fajar) dan pada hari jum’at (yang berisikan tasbih , nasyid, doa dengan mengeraskan suara dan semisalnya- yang disumberkan- dari tempat adzan ) atau sesamanya, (hal itu bukan termasuk perbuatan  yang disunnahkan , dan tiada satupun Ulama yang menyatakan disunnahkannya perbuatan demikian bahkan hal ini termasuk dari golongan bid’ah makruhah) karena perbuatan ini tidak pernah ada pada zamannya Nabi Saw dan zamannya sahabat , serta tiada pula ditemukan dasar legalitas yang dapat dirujuk dalam konteks ini pada apa yang terjadi pada era mereka (maka tidak diperkenankan bagi seseorang memerintahkan untuk melakukannya dan tidak pula mengingkari atas mereka yang meninggalkannya, tidak pula mengaitkan berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya) karena hal itu merupakan bentuk menolong perbuatan bid’ah ( tidak wajib melakukannya walaupun disyaratkan oleh pihak waqif) karena bertentangan dengan as-Sunnah. Berkata Abd. Rahman ibnu al-Jauzi dalam kitab Talbis Iblis : “sungguh aku melihat banyak orang yang qiyamul lail di menara, lalu memberikan mau’idhoh , bedzikir dan membaca surat dari al-Quran, suara keras mereka mengganggu tidur masyarakat dan mengacaukan konsentrasi orang-orang yang bertahajjud, semua itu merupakan perbuatan munkar”.
 Uraian di atas memberikan pemahaman pada kita bahwa alasan penolakan terhadap tradisi tarhim oleh pihak penentang adalah :
1.      Pebuatan ini tidak ditemukan pada zaman Nabi Saw dan generasi sahabat dan termasuk bid’ah
2.      Mengganggu istirahat masyarakat dan konsentrasi orang-orang yang melakukan tahajjud
Namun dari pihak lain , mayoritas Ulama menyatakan bahwa budaya tarhim ini sah-sah saja dilakukan, hal ini bermula dari esensi adzan yang dikumandangkan oleh sahabat Bilal Ra diwaktu sahur. Disebutkan dalam Hadits:
عن ( عبد الله بن مسعود ) عن النبي قال لا يمنعن أحدكم أو أحدا منكم أذان بلال من سحوره فإنه يؤذن أو ينادي بليل ليرجع قائمكم ولينبه نائمكم وليس أن يقول الفجر أو الصبح
“dari Abdullah bin mas’ud dari Nabi Saw, beliau bersabda : “janganlah adzannya bilal menghalangi seseorang dari kalian, atau seseorang dari makan sahurnya , karena dia mengumandangkan adzan saat masih malam supaya orang yang masih shalat malam dapat pulang dan untuk membangunkan mereka yang masih tidur. Dan Bilal adzan tidak bermaksud  memberitahukan masuknya waktu fajar atau subuh.” (HR, al-Bukhori)
 Dalam hadits ini terdapat tiga poin mengenai adzan yang dikumandangkan oleh Bilal sebelum masuk waktu subuh , yaitu ;
1.      Menginformasikan kepada orang yang sedang menghidupkan malam dengan shalat (qiyamul lail) perihal telah dekatnya waktu fajar
2.      Agar orang yg terlelap dalam tidurnya terjaga dan bergegas untuk bersuci agar bisa berjamaah di awal waktu, atau supaya bisa melakukan shalat witir dan shalat tahajjud kalau belum melakukannya sebelum munculnya fajar, dan agar dapat bersahur bagi yang hendak berpuasa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi Saw ; “janganlah adzannya bilal menghalangi seseorang dari kalian, atau seseorang dari makan sahurnya , dalam hadits di atas
3.      Dalam hadits itu juga meng-informasikan mengenai hukum sunnah membangunkan orang-orang  yang masih pulas dalam tidurnya agar terjaga dan menyudahi tidurnya di waktu akhir malam dengan media adzan dan sejenisnya yang berupa dzikir. Selaras dengan konteks ini , at-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits :
سنن الترمذي (4/ 636)
عن الطفيل بن أبي بن كعب عن أبيه قال : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا ذهب ثلثا الليل قام فقال يا أيها الناس أذكروا الله اذكروا الله جاءت الراجفة تتبعها الرادفة جاء الموت بما فيه جاء الموت بما فيه ... الحديث
 قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
قال الشيخ الألباني : حسن  
“ dari Thufail bin ubai bin ka’ab dari ayahnya berkata : bila dua pertiga malam berlalu, Rasulullah Saw bangun lalu bersabda : “ Wahai sekalian manusia, ingatlah Allah, ingatlah Allah, tiupan pertama datang dan diiringi oleh tiupan kedua, kematian datang dengan yang ada padanya , kematian datang dengan membawa segala kelanjutannya, kematian datang dengan membawa segala kelanjutannya ...... al-hadits (HR, at-Tirmidzi , berkata Abu Isa : Hadits ini Hasan Shahih, syaikh al-Baniy berkata : “ Hadits ini Hasan )
Hadits ini menjadi bukti bahwa Tarhim yg berupa dzikir, tasbih, dan yg berisi mau’idhoh  dan semisalnya dengan mengeraskan suara di penghujung malam guna membangunkan orang yang tidur tidak apa-apa dilakukan, bahkan Nabi Saw sendiri sering melakukannya. Sebagian kelompok Ulama mengingkari akan hal ini, diantaranya Abu al-Faraj ibni al-Jauzi yang memvonis bahwa perbuatan ini termasuk bid’ah. Akan tetapi dari uraian yang telah kami sampaikan menjadi dalil bahwa hal ini bukanlah perbuatan Bid’ah akan tetapi SUNNAH. Lihat Fathul bari li ibnu Rajab juz 3 hal. 516-517
فتح الباري لابن رجب
وفيه دلالة على ان الذكر والتسبيح جهرا في آخر الليل لا بأس به؛ لايقاظ النوام.
وقد انكره طائفة من العلماء، وقال: هو بدعة، منهم: ابو الفرج ابن الجوزي. وفيما ذكرناه دليل على انه ليس ببدعة.
وقد روي عن عمر، أنه قال: عجلوا الاذان بالفجر؛ يدلج المدلج، وتخرج العاهرة.
ورواه الشافعي، عن مسلم بن خالد، عن ابن جريج، عن قيس، عن عمر.
فذكر فيه فائدتين:
احدهما: ان المسافر يدلج في ذلك الوقت، وقد امر النبي - صلى الله عليه وسلم - المسافر بالدلجة. وقال: ((ان الارض تطوى بالليل)). والدلجة: سير آخر الليل.
والثاني: ان من كان معتكفا على فجور، فإنه يقلع بسماع الاذان عما هو فيه.
------
Dan sekiranya hadits dan pernyataan ini tetap tidak diterima oleh pihak yang mengingkari keabsahan Tarhim, dan tetap bersikukuh bahwa hal ini merupakan bid’ah, maka tradisi tarhim tetap bisa dilestarikan dengan menggunakan opsi kedua, yaitu bahwa budaya ini tergolong bid’ah hasanah sebagaimana keterangan yang tercantum dalam kitab Fiqh ‘Ala al-Madzhab al-Arba’ah yang dipublikasikan oleh badan waqaf mesir halaman 238, divonis sebagai bid’ah hasanah karena tidak ada satupun nash as-Sunnah yang melarangnya, sebaliknya keumuman nash menghendaki akan kesunnahannya.
            Selain itu, sebenarnya bacaan Tarhim ini dalam keadaan bagaimanapun tergolong doa diwaktu sahur, di dalam al-Quran Allah Swt menceritakan tentang keadaan orang-orang yang bertaqwa bahwa mereka adalah orang-orang yg meminta ampunan di waktu sahur, ditegaskan oleh Allah Swt
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ [الذاريات: 18]
“ dan di waktu pagi sebelum fajar mereka selalu memohonkan ampunan”. (Qs, adz-Dzariyat , 18)
Dalam hadits disebutkan bahwa Allah Swt menurunkan rahmatnya di langit bumi setiap sepertiga malam, seperti terurai dalam hadits berikut :
موطأ مالك (2/  298)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“ dari abu Hurairoh Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda : “ (rahmat) Rabb Tabaroka wa Ta’ala turun di setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan Allah berfirman : “siapa yang berdoa kepada-Ku pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepada-Ku pasti Aku penuhi dan siapa yg memohon ampun kepada-Ku pasti Aku ampuni”. (HR, Bukhori dan Muslim)
Pendapat yang menyatakan bahwa Tarhim adalah boleh atau BID’AH HASANAH ini merupakan pendapat Jumhur Ulama, sebagaimana dipaparkan dalam Fatawa al-Azhar dengan kesimpulan sebagai berikut:
فتاوى دار الإفتاء المصرية (9/  203)
فالخلاصة أن الابتهالات قبل الفجر لا يوجد ما يمنعها شرعًا عند جمهور العلماء، فهى وإن كانت تقليدًا موروثًا لم يكن فى عهد السلف الصالح -هى من البدع المستحسنة
“ kesimpulannya; bacaan-bacaan doa yang diserukan sebelum shubuh, tidak ada larangan dari syara’ menurut jumhur Ulama, meskipun tidak pernah dilakukan oleh kalangan Ulama Salaf (sahabat, Tabi’in dan tabi’ at-Tabi’in) hal ini merupakan perkara baru yang bernilai baik”.
Melihat dari beberapa tujuan yang dimaksudkan dalam tarhim, semua esensinya merupakan tindakan yang berdasar, seperti membangunkan orang orang untuk shalat malam dan makan sahur bagi yang berpuasa , para Ulama memutuskan bahwa membangunkan orang lain supaya melakukan shalat malam atau sahur bagi yang berpuasa hukumnya adalah sunnah.
Walaupun demikian, tindakan semacam tarhim ini tetaplah harus ditimbang antara mashlahah dan mafsadahnya, jika mashlahahnya lebih banyak dari pada mafsadahnya maka bacaan itu lebih utama , namun jika yang terjadi justru sebaliknya maka menjadi makruh. Disebutkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidain :
بغية المسترشدين (ص: 133)
فائدة : جماعة يقرأون القرآن في المسجد جهراً ، وينتفع بقراءتهم أناس ، ويتشوّش آخرون ، فإن كانت المصلحة أكثر من المفسدة فالقراءة أفضل ، وإن كانت بالعكس كرهت اهـ فتاوى النووي
“(faidah) segolongan orang yang membaca al-Quran dengan keras di dalam masjid, bacaan itu bermanfaat bagi sebagian orang, dan mengganggu yang sebagian lainnya, maka jika mashlahanya lebih banyak dari pada kerusakannya maka bacaan itu lebih utama dan jika sebaliknya maka makruh”.
----------------- --
Fasal tentang Tarhim 

Tarhim ialah suara yang dikumandangkan dari masjid atau mushala dengan maksud membangunkan kaum muslimin muslimat untuk persiapan shalat Shubuh. Lebih dari itu, tarhim membantu membangunkan mereka yang ingin menjalankan shalat tahajjud, karena shalat ini dapat dikerjakan pada saat itu.


Tarhim banyak kita dengar terutama saat bulan suci Ramadhan. Bacaan yang dikumandangkan umumnya bervariasi, ada yang berisi seruan agar kaum muslimin bangun dan siap melakukan shalat shubuh. Ada juga yang mengingatkan pentingnya shalat tahajjud, dan lain-lain.

Setiap masjid NU, bahkan mushalanya juga, bersaut-sautan dengan kalimat-kalimat spesial yang disusun khusus untuk acara tarhim ini. Bisa jadi tarhim ini hanya sekadar mengulang-ngulang hadits:

 
تَسَحَّرُوا فَإنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ
 

"Sahurlah kalian karena sahur itu membawa berkah".

Terkadang ditambah dengan kata-kata dari petugas masjid, misalnya: “Sekarang sudah pukul 03.00 WIB, sebentar lagi subuh, bangun… bangun.. .sahur... sahur...” Bagi yang ingin berpuasa, tarhim menuntunnya untuk segera makan sahur.

Akhir-akhir ini masjid dan mushala memang lebih banyak memilih memutar kaset ayat-ayat Al-Qur'an karena lebih praktis ketimbang mendatangkan seseorang yang bersedia mengumandangkan alunan lagu yang merdu.

Dulu, orang-orang yang membawakan tarhim dapat didatangkan dari luar daerah dengan upah yang cukup, ditambah hadiah sarung, baju koko, dan lain-lain. Mereka bisa bertiga atau berempat yang tugasnya (di samping mengisi acara tarhim dari pukul 03.00 sampai Subuh) mereka juga bertugas adzan setiap shalat Fardhu.

Seiring perkembangan zaman, kelompok orang-orang tarhim ini sudah tidak banyak ditemui karena diganti kaset Al-Qur'an yang disetel kurang lebih 30-60 menit sebelum waktu adzan dengan disisipi suara dari petugasnya sepuluh menit sebelum Subuh: “Imsaak. . .  imsaak. . .”

Dalil tarhim ini adalah:

 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سَحُورِهِ فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ
 

Dari Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah bersabda: Kalian tak perlu mencegah Bilal untuk adzan sewaktu sahur karena adzan itu bertujuan untuk mengingatkan siapa saja yang masih berjaga dan sekaligus membangunkan yang tertidur. (Fathul Bari Syarh al-Bukhari, Juz II, hlm 244)

Al-Hafizh berkata dalam kitab Al-Fath: "Pernah terjadi sebelum waktu shubuh, dan bukan hari Jum'at, bacaan tasbih dan shalawat atas Nabi, bukan adzan baik dari sisi bahasa maupun agama."

Dalam Fiqhus Sunnah Juz I, hlm 221-222 terdapat penjelasan bahwa di dalam hadits-hadits lain diterangkan, tarhim yang disuarakan keras itu lebih baik. Namun disuarakan pelan itu lebih baik bila dikhawatirkan munculnya sikap riya' atau mengganggu orang yang sedang shalat (tahajjud). Dan selagi aman dari hal-hal tersebut, tentu tarhim dengan suara keras akan lebih baik.


 
KH Munawir Abdul Fattah

C.    KESIMPULAN
1.      Tradisi tarhim yang berisikan shalawat, syi’ir islami, doa dan lantunan ayat al-Quran layak dan patut dilestarikan dengan tetap mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah yang ditimbulkan
2.      Masalah tarhim merupakan khilafiyah, sebagian Ulama Hanbali menganggap sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan, sedangkan menurut mayoritas Ulama menyatakan tradisi tarhim merupakan bid’ah hasanah dan sunnah dilakukan
3.      Mengeraskan suara di waktu sahur untuk membangunkan orang-orang bukanlah perbuatan bid’ah, karena Nabi Saw telah melakukannya sebagaimana Hadits riwayat at-Tirmidzi di atas.

Komentar

  1. assalamualaikum kyai... trimakasih atas ilmunya, mhon ijin copy & share.. syukron katsiiron.

    BalasHapus

Posting Komentar

Harap berkomentar yang baik

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا