Langsung ke konten utama

DALIL-DALIL KAUM ANTI MADZHAB



DALIL-DALIL KAUM ANTI  MADZHAB
Ada orang yang mengemukakan dalil-dalil untuk mengharamkan Taqlid, tapi dalil-dalil yang disampaikan itu kebanyakan dari ucapan-ucapan Imam Mujtahid itu sendiri, bukan perkataan Allah Swt dan Rasulullah Saw. Orang-orang inilah yg dinamakan kaum ANTI MADZHAB.
Mereka tidak mengerti bahwa dengan sendirinya dalam prakteknya  mereka langsung telah bertaqlid kepada imam-imam Mujtahid, yaitu dengan mengumakakan ucapan Imam-imam itu untuk dijadikan dalil-dalil penguat fatwa mereka.
1.      DALIL PERTAMA
Yaitu dari ucapan Imam Hanafi
قال الإمام أبو حنيفة إنْ كَانَ قَوْلِي يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ وَخَبَرَ الرَّسُولِ فَاتْرُكُوا قَوْلِي
kalau ada perkataan saya yang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasul, maka tinggalkanlah perkataan-ku itu”.
2.      DALIL KEDUA
Yaitu dari ungkapan Imam Malik
قال الإمام مالك رحمه الله إنَّمَا أنَا بَشَرٌ أُخْطِئُ وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوْا فِي رَأْيِي كُلَّمَا وَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْا بِهِ وَمَا لَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ والسُّنَّةَ فَاتْرُكُوهُ
“ saya adalah manusia, bisa salah dan bisa benar. Perhatikanlah pendapat-pendapat saya. Tatkala ada yang sesuai dengan kitabullah dan sunnah maka ambillah, dan apa yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah maka tinggalkanlah”.
Ucapan Imam Hanafi dan Imam Maliki ini tidak tepat kalau dikatakan untuk larangan ber-taqlid. Arti ucapan-ucapan Imam ini biasa saja. Beliau-beliau itu menyatakan bahwa kalau ada pendapatnya yang berlawanan dengan Quran dan Hadits Nabi maka pendapatnya itu harus ditinggalkan, kitabullah dan sunnah Rasul itu harus dipegang teguh.
Juga seluruh Imam mujtahid mengatakan perkataan yang maksudnya hampir serupa dengan ini, yaitu : “ kalau ada Ijtihad saya yang berlawanan dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah Ijtihad saya dan ambillah Kitabullah dan Sunnah.
Dalam hal ini kita bertanya kpd mereka , apakah ada ijtihad Imam-imam Mujtahid ini yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul ? jawabnya adalah TIDAK ADA DAN TIDAK MUNGKIN ADA. Karena
1.      Imam-imam mujtahid itu tidak akan berijtihad , tidak akan mengekuarkan pendapatnya kalau dalam satu masalah yang dihadapinya itu ada nash dari al-Quran dan Sunnah , mereka baru berijtihad kalau tidak ada nash yang terang dari kitabullah dan sunnah. Intinya, ijtihad itu datang sesudah tidak ada nash. Mereka sepakat menentukan ukuran :
لاَإِجْتَهَادَ فِى النَّصِّ
tidak ada ijtihad kalau ada nash ( yang sudah jelas dan terang)”
2.      Ijthadnya Imam Mujtahid itu bersumber kepada Kitabullah dan Sunnah, itulah sebabnya ijtihad dibenarkan dalam agama dan bahkan dianjurkan dan diberi pahala, walaupun ijtihadnya itu pada hakikatnya tidak tepat. Berdasarkan Hadits
مَنْ إِجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنْ اجْتَهَدَ وَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Barang siapa yang berijtihad ternyata benar, maka baginya mendapat dua pahala, dan barang siapa berijtihad ternyata salah, maka baginya mendapat satu pahala”

Didalam ukuran atau norma ijtihad pada madzhab Syafi’i dijelaskan bahwa ijtihad itu mesti bersumber kepada kitabullah dan sunnah, tidak boleh bersumber kepada akal, karena agama itu tidak  dibina oleh akal, tetapi oleh TUHAN
3.      Imam-imam mujtahid yang empat ini terkenal orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh umurnya digunakan untuk mentaati Allah dan Rasul. Apakah masuk akal kalau mereka mendurhakai Allah dan Rasul ?? tidak masuk akal dan tidak mungkin !. kalau ada orang yang menuduh bahwa imam-imam mujtahid itu membuat hukum agama dengan melawan Allah dan Rasul maka tuduhan itu adalah tuduhan yang keji, fitnah yang dibuat-buat
4.      Para imam mujtahid dengan ucapan-ucapan beliau itu, menyuruh orang bertaqlid atau mengikuti beliau bukan melarang. Beliau-beliau ini yakin bahwa ijtihadnya tidak satu-pun yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah. Beliau-beliau hanya mengatakan:” cobalah periksa ijtihad saya ini, adakah yang bertentangan dengan kitabullah dan Sunnah Rasul ? kalau ada jangan dipakai, tapi kalau tidak ada pakailah dan pegang teguhlah”.
------------------------------
3.       DALIL KETIGA
Yaitu dari ungkapan Imam Hanbali
قال الإمام أحمد ابن حنبل : لاَتُقَلِّدْنِي وَلاَ تُقَلِّدْ مَالِكًا ولاَ الثَّوْرِيَّ وَلاَ الْأَوْزَعِيَّ وَخُذُوا مِنْ حَيْثُ أخَذُوا
“ jangan taqlid kepada saya, juga kepada imam Malik, kepada Imam Tsauriy,  juga kepada Imam Auza’i, tapi ambillah dari tempat mereka mengambil”.
Kata kaum ANTI MADZHAB, inilah dalil yang kuat. Benarkah begitu maksudnya !
Kalau benar Imam Hanbali mengatakan ini, maka tujuan perkataan itu pasti ditujukan kepada orang-orang yang sudah sampai tingkatnya ketingkat mujtahid, bukan kepada orang banyak (awam).
Buktinya, imam hanbali menyuruh mengambil hukum dari al-Quran dan Hadits sebagaimana dikerjakan oleh para imam mujtahid. Hal ini tidak mungkin dapat dikerjakan oleh orang banyak (awam) karena mereka itu banyak sekali yang tidak tahu arti maksud Quran dan Hadits.
Kalau kepada orang yang sudah dalam dan luas ilmuanya maka ungkapan Imam Hanbali ini logis, masuk akal.
Imam ahmad bin Hanbal  sendiri  telah mempraktekan ucapan beliau ini karena pada mulanya beliau adalah murid Imam Syafi’i, tapi kemudian setelah beliau  mempelajari ilmu tafsir, ilmu hadits dll, sudah hafal ratusan ribu hadits maka beliau berijtihad sendiri, lepas dari fatwa Imam syafi’i dan imam abu hanifah yang telah dipelajari lebih dahulu.
4.      DALIL KEEMPAT
Yaitu dari ungkapan Imam Syafi’i
قال الإمام الشافعي رضي الله عنه : إذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“ apabila hadits itu shahih maka itulah madzhab saya”
Lalu mereka memberi keterangan dan komentar lagi ; “ nah, lihatlah, Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits-hadits yang shahih itu adalah madzhab beliau, itulah pada hakikatnya madzhab syafi’i, bukan yang tertera dalam kitab minhaj karangan Imam Nawawi, bukan pula dalam kitab Nihayah karangan Ramli. Orang-orang sekarang  fanatik kepada kitab-kitab Syafi’i dan Syafi’iyah, mereka meninggalkan Hadits, padahal Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa : “ sekalian Hadits yang Shahih adalah madzhab saya”.
Oleh karena itu, kaum anti madzhab mengatakan ;” janganlah memakai kitab-kitab fiqih yang tidak berdalil, pakailah kitab-kitab Hadits seperti Hadits Bukhori, hadits Muslim dll, karena hadits-hadits yang shahih itulah pada hakikatnya madzhab Syafi’i”.
Sampai-sampai ada diantara mereka yang mengarang buku dengan judul “FIQIH SYAFI’IYAH”, yang pada permulaan halaman dari buku itu ditonjolkan perkataan Imam Syafi’i tersebut, yaitu “ idza shohhal hadits fahuwa madzhabi”.
Kita kembali pada pokok pembicaraan, yaitu tentang perkataan Imam Syafi’i diatas,marilah kita teliti persoalan ini:
1.      Arti yang dikemukakan oleh kaum ANTI MADZHAB dari ucapan Imam Syafi’i ini adalah tidak benar, karena Imam Syafi’i tidak pernah berpendapat bahwa sekalian Hadits yang shahih adalah madzhab beliau,  Karena Hadits adalah perkataan Nabi Saw. Al-Quran dan Hadits adalah sumber hukum, bagaimana Imam Syafi’i berpendapat kalau Hadits-hadits shahih adalah madzhab Beliau, karena yang dikatakan madzhab adalah fatwa  fiqih yang digali dari Hadits-hadits shahih , bukan malah madzhab itu hadits-hadits itu sendiri
2.      Kaum ANTI MADZHAB memberikan arti perkataan Imam Syafi’i ini, bahwa sekalian fatwa yang digali dari Hadits shahih adalah madzhab Imam Syafi’i. Bukan hanya fatwa-fatwa yang termaktub dalam kitab Umm, kitab Minhaj, kitab Tuhfah, kitab Nihayah saja. Demikian keterangan mereka. Keterangan ini juga tidak benar karena semua orang tahu bahwa fatwa imam-imam yang lain seperti Imam Malik, Abu Hanifah itu berdasarkan hadits-hadits yg shahih juga, apakah semua fatwa-fatwa Imam Malik dan Abu Hanifah itu Madzhab Syafi’i ??
Kalau begitu artinya, maka madzhab-madzhab ini tidak berbatas lagi, madzhab Maliki menjadi madzhab Syafi’i, madzhab Hanafi juga menjadi madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali menjadi madzhab Syafi’i dan bahkan semua madzhab diatas dunia yang berdasarkan hadits shahih adalah madzhab Syafi’i, kacau balau jadinya, bukan ?
Dapatkah difahami, bahwa Imam Syafi’i mengucapkan suatu perkataan yang mengacaukan seluruh persoalan ? tidak mungkin, bukan !
3.      Kaum ANTI MADZHAB menerangkan dengan semangat di atas mimbar, bahwa Imam Syafi’i sendiri melarang bertaqlid kepada beliau.   Imam Syafi’i hanya menyuruh orang mengikuti al-Quran dan Hadits.
Ini juga pidato yang keliru, pidato yang ditimbulkan oleh emosi yang meluap-luap yg tidak terkendalikan. Dalam perkataan Imam Syafi’i ini tidak sedikitpun melarang orang bertaqlid kepada beliau dan dalam ucapan ini beliau tidak mengatakan :”ikutilah Quran Hadits”, lalu dari mana kaum anti madzhab mengambil pengertian yang sedemikian rupa ? isapan jempol belaka !
Marilah kita ikuti pemjelasan Imam Nawawi dalam permasalahan ini, beliau seorang ulama Syafi’i  terbesar, dalam kitab syarah Muhadzdzab  beliau mengatakan
المجموع شرح المهذب (1/  64)
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الشافعي ليس معناه ان كل أحد رَأَى حَدِيثًا صَحِيحًا قَالَ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَعَمِلَ بِظَاهِرِهِ
dan apa yang dikatakan oleh imam Syafi’i ini  artinya bukanlah bahwa kalau seseorang  melihat hadits yang shahih  lalu ia berkata : “inilah madzhab Syafi’i”, sesudah itu ia langsung amalkan saja menurut penglihatannya secara yang dilihatnya saja”.

Perlu diketahui, bahwa Imam Syafi’i pernah meninggalkan Hadits shahih karena beliau berpendapat bahwa hadits itu walaupun shahih tetapi sudah di-nasekh-kan, sudah tidak dipakai lagi. Hadits itu adalah
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
“batal puasanya orang yang membekam dan yang dibekam”. (HR, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)
Hadits ini shahih tetapi tidak dipakai oleh Imam Syafi’i karena hadits ini sudah mansukh dengan hadits lain, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
عن إبن عبَّاس رضي الله عنه أنه ٌقال : أنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم إحْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ (رواه البخاري )
“berkata Ibnu Abbas : “ bahwasanya Nabi Saw berbekam pada saat Beliau sedang ihrom dan sedang berpuasa”. (HR, al-Bukhori)
KESIMPULAN, jadi tidaklah semua Hadits shahih menjadi dasar dari madzhab Syafi’i
Arti yang sebenarnya dari ungkapan imam Syafi’i ini adalah , pada suatu ketika seorang sahabat / murid Imam Syafi’i bertanya kepada beliau, “manakah yang dipakai antara QOUL QODIM dan QOUL JADID kalau terjadi perbedaan antara dua QOUL / kata itu ?
Imam Syafi’i menjawab ; “ QOUL JADID, karena kata jadid sudah menghapus kata QODIM”.
Sahabat Beliau berkata;”Ya, tetapi alasan kata qodim  itu adalah Hadits yang shahih”.
Imam Syafi’i menjawab : “ O, kalau begitu, apabila hadits itu Shahih itulah Madzhab saya”.
Norma dan keterangan ini dipakai oleh sahabat-sahabat Imam Syafi’i seperti Buwaithi, Imam Nawawi dll, dimana kalau ada pendapat dua fatwa dari Imam Syafi’i dalam satu masalah maka ditinjaulah haditsnya, ditinjaulah alasannya. Mana yang shahih atau lebih shahih haditsnya itulah yang ditetapkan menjadi madzhab Imam Syafi’i.
Jadi, maksud ungkapan ini adalah sebagai alat koreksi bagi murid-murid Beliau untuk men-tarjihkan salah satu dari dua perkataan / pendapat Imam Syafi’i yang berbeda.
Ada beberapa masalah dalam madzhab Syafi’i yang dipakai adalah QOUL QODIM, karena dalilnya Hadits yang shahih dibanding dengan QOUL JADID, diantaranya :
1.      Sunnah tatswib dalam adzan shubuh
2.      Tidak disyaratkan menjauhkan diri dari najis yang terapung dalam air yang banyak
3.      Harta perniagaan dizakati
4.      Membaca surat pada dua rakaat terakhir tidak disunnahkan
5.      Menyentuh wanita yang tidak boleh dinikahi tidak membatalkan wudhu
6.      Air yang mengalir kalau berjumpa dengan najis, tidak menjadi najis kecuali kalau berubah warnanya
7.      Menyegerakan shalat ‘isyak lebih utama, walaupun waktunya panjang
8.      Haram makan kulit bangkai dari hewan halal walaupun sudah di-samak
9.      Mengeraskan AMIN-nya makmum dalam shalat jahr
10.  Makruh memotong kuku mayat
11.  Boleh tahallul dari ihrom hajji kalau sakit
12.  Nisob zakat diperhitungkan
13.  Wali mayyat membayar puasa mayat yang tertinggal
14.  Dll
Masalah-masalah ini yang dipakai adalah QOUL QODIM, karena hadits-hadits yang menjadi dasar dari fatwa ini lebih shahih dibanding dengan hadits-hadits yang menjadi dasar QOUL JADID. Itulah maksud dari ucapan Imam Syafi’i.
Tidak ada seorang pun diantara Ulama-Ulama madzhab Syafi’i sejak dahulu sampai sekarang yang berpendapat bahwa “semua hadits shahih adalah madzhab Syafi’i.”
Yang ditetapkan menjadi madzhab Syafi’i hanyalah yang difatwakan Beliau dan difatwakan oleh murid-muridnya dengan memperhatikan norma-norma dan ukuran-ukuran yang diberikan oleh Imam Syafi’i , selain dari itu tidak.
Selain dari itu, dalam kitab Majmu’, diterangkan
المجموع شرح المهذب (1/ 63)
 صَحَّ عَنْ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ قَالَ إذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوا قَوْلِي: وَرُوِيَ عَنْهُ إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ خِلَافَ قَوْلِي فَاعْمَلُوا بِالْحَدِيثِ وَاتْرُكُوا قَوْلِي أَوْ قَالَ فَهُوَ مَذْهَبِي
“dari imam Syafi’i, beliau berkata: “apabila kamu berjumpa dalam kitab yang berlawanan dengan Sunnah Rasul maka tinggalkan kitabku itu, dan berfatwalah apa yang sesuai dengan Sunnah Rasul”. Dan diriwayatkan pula dari imam Syafi’i, beliau berkata : “ apabila ada Hadits yang shahih yang maksudnya bertentangan dengan fatwaku maka beramallah dengan dasar Hadits itu, dan tinggalkan perkataanku”. Atau beliau berkata :”itulah Madzhabku”.
Dari keterangan yang diberikan Imam Nawawi ini makin jelas apa yang dimaksud dengan perkataan “ IDZA SHAHHAL HADITS FAHUWA MADZHABI” tadi, yaitu bahwa Imam-imam Mujtahid meminta kepada umum, atu  katakanlah menantang kepada orang banyak, supaya memperhatikan sedalam-dalamnyamadzhab beliau, bahwa kalau kebetulan ada diantara fatwa mereka yang bertentangan dengan Hadits Shahih maka tinggalkanlah fatwa mereka dan berpendapatlah dengan apa yang sesuai dengan Hadits hsahih.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ungkapan Imam Syafi’i “ IDZA SHOHHAL HADITS FAHUWA MADZHABI” bukanlah untuk melarang umat Islam mengikuti atau bertaqlid kepada beliau, sebagaimana yang digemborkan oleh kaum anti madzhab dimana-mana.
5.      DALIL KELIMA
Yaitu dari ungkapan Imam Syafi’i juga, yaitu
قال الإمام  الشافعي يقول : مثل الذي يطلب العلم بلا حجة ، كمثل حاطب ليل يحمل حزمة حطب وفيه أفعى تلدغه وهو لا يدري
“berkata Imam Syafi’i: “ perumpamaan orang yang mencari ilmu pengetahuan tanpa mempunyai Hujjah ( maksudnya ilma tanpa dalil ), sama dengan mencari kayu bakar pada malam hari, ia pikul kayunya itu, kadang-kadang ia tidak tahu bahwa didalamnya ada ULAR yang akan mematuknya”.
Ucapan Imam Syafi’i yang ini juga tidak tepat kalau dipakai menjadi dalil untuk melarang bertaqlid kepada Imam Mujtahid, karena Imam Syafi’i hanya mengatakan bahwa orang yang menuntut ilmu pengetahuan itu adalah berbahaya, sama dengan orang yang memikul kayu pada malam hari yg kadang-kadang terdapat ular didalamnya.
Ini adalah perhitungan Imam Syafi’i dalam rangka menganjurkan orang menuntut ilmu Quran dan Hadits , bukanlah Beliau melarang orang untuk mengikuti kepada beliau.
Ya, mungkin seluruh imam berkata seperti ini tetapi ucapan-ucapan yang seperti ini adalah dalam rangka mencegah supaya orang  jangan mencukupkan bertaqlid kepada beliau-beliau  saja,  tapi hendaklah mencari ilmu sebanyak-banyaknya seperti halnya beliau-beliau. Bukanlah beliau-beliau itu melarang orang-orang mengikuti madzhabnya.
Kalau Imam-imam ini melarang orang mengikuti madzhabnya, apa gunanya belia-beliau ini berijtihad ?apa gunanya beliau-beliau ini mengajar ? kalau maksudnya ucapan-ucapan Imam tadi melarang bertaqlid kepadanya, kenapa murid-muridnya tekun mengembangkan ilmu dan fatwa guru-guru nya. Bahkan  Ulama-ulama besar seperti Imam al-Ghozali, Imam Suyuthi, Imam Nawawi, Ibnu hajar, Imam Ramli, imam Bukhori, dll tetap bertaqlid kepada Imam Syafi’i.
Bahkan ada yang lebih berani lagi, kaum ANTI MADZHAB ada yang mengemukakan dalil-dalil al-Quran untuk melarang orang bertaqlid kepada Imam Mujtahid, seperti
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ} [المائدة: 104]
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ?.(al-Maidah : 104)
Mereka juga berdalil dengan surah al-baqoroh ayat 170
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk

Begitu juga surah at-Taubah : 31
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
 Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(QS, at-Taubah 31)

Dalam mengartikan ayat-ayat ini dikemukakan bahwa pendeta-pendeta itu bukan  disembah seperti Tuhan, tetapi dituruti saja perkataan yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan suatu yang haram. Itu berarti sudah menjadikaanya menjadi Tuhan.
Mmaka dapat diambil kesimpulan bahwa kaum ANTI MADZHAB mengemukakan dalil-dalil ayat Quran ini untuk melarang taqlid kepada Imam Mujtahid, karena menganggap bahwa ;
1.      Mengikuti Imam Mujtahid itu sama dengan orang kafir yang mengikuti bapaknya yang bodoh-bodoh dalam menyembah berhala
2.      Imam Mujtahid itu orang-orang bodoh yang tidak dapat petunjuk  sedikitpun dari Tuhan
3.      Imam Mujtahid itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal
4.      Pengikut Imam Mujtahid adalah orang-orang yang menjadikan gurunya menjadi Tuhan
Ayat dalam surah al-Maidah : 104 dan al-Baqarah : 107 diatas itu adalah ayat-ayat yang diturunkan untuk menyatakan hal ihwal orang kafir yang ikut-ikutan saja kepada bapak mereka dalam menyembah berhala.
            Ini diterangkan Tuhan dalam surah at-Taubah : 31, dimana dinyatakan bahwa mereka mengambil pendeta-pendetanya dan Isa bin Maryam menjadi Tuhan selain Allah.
Ayat ini tidak tepat dipakai untuk orang Islam yang mengikuti Imam Mujtahid, karena
1.      Imam Mujtahid tidak mendakwakan dirinya sebagai Tuhan
2.      Imam mujtahid bukanlah orang-orang  yang tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula orang-orang yang tidak menurut jalan kebenaran
3.      Imam mujtahid bukanlah orang-orang yang tidak berakal dengan tidak dapat menimbang baik dan buruk
4.      Pengikut Imam mujtahid bukanlah orang-orang yang menyembah guru atau menyembah Imam, tetapi hanya menghormati imam dan mengikutinya
Kaum ANTI MADZHAB  juga ada yang berdalil untuk melarang taqlid kepada Imam Mujtahid dengan surah al-Isra’ ayat 36;
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Ini juga dalil mereka, dimana mereka menafsirkan ayat ini semaunya saja.
Kalau kita buka tafsir Ibnu Katsir, kita akan menjumpai keterangan dan maksud ayat diatas,, tafsirannya begini
1.      Sahabat Ibnu ‘Abbas menafsirkan : “ jangan engkau katakan apa yang engkau tidak tahu”.
2.      Berkata al-‘Ufi : “ jangan engkau tuduh  seseorang dengan apa yang engkau tidak tahu
3.      Berkata Muhammad Ibnu Hanifah : “ jangan engkau menjadi saksi palsu karena pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan ditanya”.
4.      Berkata Qotadah : “jangan engkau katakan saya melihat tetapi engkau tidak melihat, saya mendengar tetapi engkau tidak mendengar, saya tahu sedang engkau tidak tahu, karena pendengaran, penglihatan, dan hati akan ditanya diakhirat nanti”.
تفسير ابن كثير (5/  75)
قال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: يقول: لا تقل.
وقال العوفي عنه: لا تَرْم أحدًا بما ليس لك به علم.
وقال محمد بن الحَنفية: يعني شهادة الزور.
وقال قتادة: لا تقل: رأيت، ولم تر، وسمعت، ولم تسمع، وعلمت، ولم تعلم؛ فإن الله سائلك عن ذلك كله.
ومضمون ما ذكروه: أن الله تعالى نهى عن القول بلا علم، بل بالظن الذي هو التوهم والخيال
Kesimpulannya dapat dikatakan bahwa ayat ini bukanlah untuk melarang mengikuti Imam Mujtahid, tetapi untuk MELARANG MENJADI SAKSI PALSU , MENYAKSIKAN SESUATU YANG TIDAK DIKETAHUI.
Banyak dalil yang dikemukakan oleh kaum anti madzhab ternyata adalah omongan belaka.
Mereka mengomongkan bahwa orang yang bertaqlid atau kaum yang taqlid itu akan jadi mundur, mati semangat, jumud, beku, tak berkemajuan, dipermainkan orang saja, dijajah saja, sudah mati sebelum mati dll yang omongan yang sifatnya penghinaan kepada orang-orang bermadzhab.
Biasanya omongan ini keluar dari orang-orang pemuja Ibnu Taimiyah, pengikut Ibnu Qoyyim, pemuja Muhammad Abduh, dan Rasyid Redha, orang yang fanati kepada majalah Al-manar dan al-Munir dan bahkan memuja al-Manfaluthi dan pengikut madzhab Wahabi.
Mereka melarang mengikuti Imam Syafi’i dan Imam Mujtahid  yang lain tapi mereka taqlid kepada Ibnu Taimiyah dan ulama pujaan mereka sendiri.
Lihatlah Imam Bukhori yang taqlid kepada Imam Syafi’i, apakah beliau itu jumud  ? lihatlah Imam al-Ghozali yang hafal sekitar 300.000 hadits,  yang juga menganut madzhab as-Syafi’i, apakah beliau termasuk orang yg bodoh ? lihat juga Imam Suyuthi, Ibnu hajar al-Haitami dll, juga  lihatlah Sulton Salahuddin al-Ayubi asy-Syafi’i, apakah ia dijajah dan dipermainkan saja ? semua jawabannya adalah TIDAK.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, SEMUA DALIL YANG DIPERGUNAKAN OLEH KAUM ANTI MADZHAB ITU SANGAT MELESET DAN TIDAK TEPAT KALAU DIPAKAI UNTUK LARANGAN BERTAQLID KEPADA PARA IMAM MUJTAHID.
----------------------
ANTARA TAQLID DAN ITTIBA’
Untuk menutup pembahasan ini, ada baiknya juga kalau kami kemukakan , bahwa ada segolongan kecil diantara orang-orang ANTI MADZHAB ini yang membedakan antara TAQLID (mengikuti) dan ITTIBA’ (mengikuti).
Mereka berkata, bahwa arti taqlid adalah mengikuti orang lain tanpa mengetahui dalil-dalilnya dan taqlid inilah yang dilarang. Sedangkan ittiba’ adalah mengikuti orang lain dengan mengetahui dalil-dalilnya dan inilah yang boleh.
Kalau begitu, kita perlu bertanya kepada mereka :
1.      Darimana diambilnya arti taqlid dan ittiba’ yang seperti itu ?
2.      Apakah Allah dan Rasulullah pernah mengatakan begitu ?
3.      Apakah kedua-duanya tidak sama-sama ber-arti mengikuti atau taqlid kepada mujtahid ? kalau sama, kenapa dibeda-bedakan hukumnya?
Dilihat dari kamus, “tabi’a “ artinya adalah mengikut / berjalan dibelakang. (Lihat kamus munjid hal 56, kamus al-Mu’tamad hal 58, kamus al-Munjib juz 3 hal 8, adz-dzahabi hal 46)
Tidak ada sebuah kamus pun yang mengatakan arti “ittiba’” itu mengikuti orang lain dengan mengetahui dalilnya.
Bahkan lafadz ittiba’ dalam al-Quran itu dipakai untuk segala macam, ada yang dipakai untuk hal yang baik dan ada untuk hal yang buruk.
Untuk hal baik , misal surah an-Nisa’ ayat 125
وَمَنْ أَحْسَنُ دِيناً مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لله وَهُوَ مُحْسِنٌ واتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَاتَّخَذَ اللّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus ? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
Untuk hal buruk, misal surah Toha ayat 78
فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُودِهِ فَغَشِيَهُم مِّنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُمْ
Maka Fir'aun dengan bala tentaranya mengikuti mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka.
Kesimpulannya, kalau kita lihat kamus arab atau kita lihat al-Quran, kita tidak menjumpai arti ITTIBA’ dengan arti “ mengikuti dengan mengetahui dalilnya”, sebagaimana yang dibuat-buat oleh KAUM ANTI MADZHAB.
Allahu a’lam













Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا