KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL I Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM-PWNU) Sumatera Selatan
KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL I
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di PP. Nurul Huda Ds. Sukaraja Kec. Buay Madang OKU Timur.
Tanggal 29 Mei 2010 / 16
Jumadil Akhir 1431 H.
1. Dalam rangka untuk mempermudah jama'ah dan memperlancar dalam
melontar jumroh pada hari Tasyriq, banyak di antara jama'ah haji yang
selama melempar jumroh melakukannya pada tengah malam sebelum fajar, padahal
dalam kitab-kitab Fiqh Syafi'iyah dijelaskan bahwa waktu pelemparan jumroh
tersebut adalah setelah zawal (turunnya matahari ke arah barat).
Pertanyaan:
(Dari: PWNU Sumatera Selatan)
Jawaban: Pelemparan jumroh pada
tengah malam tidak sah, kecuali jika pelemparan pada malam hari itu adalah
sebagai ganti dari pelemparan siang hari sebelumnya. Namun pendapat Imam Rofi’i
yang dikuatkan oleh Imam Isnawi memperbolehkan pelemparan jumroh tersebut mulai
terbitnya fajar.
مَذْهَبُ اْلإمَامِ
الشَّافِعِيّ فِي الْعِبَادَاتِ وَأَدِلَّتُهَا: ص. 514
وَيَدْخُلُ وَقْتُ رَمْيِ كُلِّ يَوْمٍ مِنْ أَيَّامِ
التَّشْرِيْقِ بِزَوَالِ شمَسِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ، وَالْاَفْضَلُ فِعْلُهُ قَبْلَ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِنِ اتَّسَعَ اْلوَقْتُ لِلصَّلاَةِ.
وَقَالَ الْكُرْدِيُّ نَقْلاً عَنِ التُّحْفَةِ: وَجَزَمَ الرَّافِعِيُّ
بِجَوَازِهِ قَبْلَ الزَّوَالِ وَهُوَ ضَعِيْفٌ وَإِنِ اعْتَمَدَ اْلإِسْنَوِيُّ
وَزَعَمَ أَنَّهُ الْمَعْرُوْفُ مَذْهَبًا. وَعَلَيْهِ فَيَنْبَغِيْ جَوَازُهُ
مِنَ اْلفَجْرِ. وَنَقَلَ السَّيِّدُ عَلَوِيّ: هَذِهِ الْعِبَارَةُ عَنِ
التُّحْفَةِ.
Kitab
Mazhab al-Imam al-Syafi’i Fi al-Ibadat Wa Adillatuh, hlm. 514:
“Masuknya
waktu melempar Jumroh pada hari Tasyriq, menurut pendapat mu’tamad,
dimulai pada saat zawal al-syamsi (condongnya/miringya
matahari ke arah barat). Namun yang paling utama adalah melakukannya sebelum
shalat dzuhur jika waktunya masih mencukupi
untuk sholat. Dengan
mengutip dari kitab al-Tukhfah, Al-Kurdi berkomentar bahwa Imam
al-Rofi’i memperbolehkan melakukannya sebelum zawal al-sayamsi.
Meskipun pendapat ini lemah, Al-Isnawi tetap berpedoman kepadanya dan
menganggap pendapat inilah yang populer di kalangan mazhab syafi’iyyah.
Dengan demikian, jika melihat pendapat terakhir ini, maka selayaknya juga diperbolehkan
melakukannya mulai dari munculnya fajar. Menurut Sayyid ‘Alawi, pendapat ini
bersumber dari kitab al-Tukhfah.”
حَوَاشِي الشَّرْوَانِيّ
عَلَى تُحْفَةِ الْمُحْتَاجِ
: 4/ 155-156، مكتبة دار الفكر.
(
وَإِذَا ) ( تَرَكَ رَمْيَ )، أَوْ بَعْضَ رَمْيِ ( يَوْمٍ ) لِلنَّحْرِ، أَوْ مَا
بَعْدَهُ عَمْدًا، أَوْ غَيْرَهُ ( تَدَارَكَهُ فِي بَاقِي الْأَيَّامِ )
وَيَكُونُ أَدَاءً (فِي الْأَظْهَرِ) .... وَجَزْمُ الرَّافِعِيِّ بِجَوَازِهِ
قَبْلَ الزَّوَالِ كَالْإِمَامِ ضَعِيفٌ، وَإِنْ اعْتَمَدَهُ الْإِسْنَوِيُّ
وَزَعَمَ أَنَّهُ الْمَعْرُوفُ مَذْهَبًا وَعَلَيْهِ فَيَنْبَغِي جَوَازُهُ مِنْ
الْفَجْرِ نَظِيرَ مَا مَرَّ فِي غُسْلِهِ .
Kitab
Hawasyi al-Syarwani ala Tukhfah al-Muhtaj, Juz 4, hlm. 155-156:
“Melempar
jumroh pada hari nahr (10 Dzulhijjah) atau hari-hari setelahnya, jika
ditinggalkan boleh disusul atau diganti pada hari berikutnya, dan menurut Qaul
Adzhar tetap dihukumi ada’ (tepat waktunya)…..
Imam
al-Rofi’i memperbolehkan melempar jumroh pada hari Tasyriq sebelum zawal
al-sayamsi. Meskipun pendapat ini lemah, al-Isnawi tetap
berpedoman kepadanya dan menganggap pendapat inilah yang populer di kalangan
mazhab syafi’iyyah. Dengan demikian, selayaknya juga diperbolehkan
melakukannya mulai dari munculnya fajar, karena disamakan dengan kesunahan
mandi pada hari itu.”
حَاشِيَةُ
الْعَلاَمَةِ
ابْنِ
حَجَرٍ
الهَيْتَمِيّ
عَلَى
شَرْحِ
اْلإيْضَاحِ
فِيْ مَنَاسِكِ اْلحَجِّ: 405
لاَ
يَصِحُّ الرَّمْيُ فِي هَذِهِ اْلأَيَّامِ اِلاَّ بَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ
وَيَبْقَى وَقْتُهُ إِلَى غُرُوْبِهَا وَقِيْلَ يَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ,
وَاْلاَوَّلُ أَصَحُّ.
Kitab Hasyiyah
al-Allamah Ibn Hajr al-Haitami ‘Ala Syarh al-Idhah Fi Manasik al-Hajj, hlm. 405:
“Melempar
jumroh pada hari tasyriq hanya sah jika dilakukan setelah zawal al-syamsi,
dan berakhir sampai terbenamnya matahari. Ada yang mengatakan bahwa waktunya
berakhir sampai munculnya fajar hari berikutnya. Pendapat pertamalah yang
paling shahih.”
2.
Banyak
sekali tradisi atau praktek pelaksanaan perawatan mayit/jenazah yang di antara
satu daerah dengan daerah lain tidak sama, seperti mewudlu’kan mayit, ada yang dilakukan setelah memandikan mayit,
ada yang dilakukan sebelum memandikan. Begitu juga dalam memposisikan kepala
mayit, ada yang membedakan antara mayit laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan:
Sebenarnya bagaimana
praktek yang benar menurut pandangan Ulama Fiqh?
(Dari: PCNU Banyuasin)
Jawaban: Adapun dalam mewudhukan mayit disunnahkan untuk dilakukan sebelum memandikan, namun jika tidak dilakukan sebelumnya maka tetap
disunnahkan untuk mewudlu’kannya setelah memandikan. Sedangkan untuk
posisi kepala mayit ketika disholati;
kepala mayit laki-laki berada disebelah kiri orang yang mensholati, dan kepala mayit perempuan disebelah kanan orang yang mensholati.
اَلْفِقْهُ اْلإسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ: 3/251
اِتَّفَقَ أَئِمَّةُ الْمَذَاهِبِ عَلَى
أَنَّ اْلغَاسِلَ يُوَضِّئُ الْمَيِّتَ غَيْرَ الصَّغِيْرِ كَالْحَيِّ بَعْدَ
إِزَالَةِ مَا بِهِ مِنْ نَجْسٍ أَوْ وَسْخٍ، بِالسِّدْرِ أَوِ الصَّابُوْنِ،
وَغَسَلَ سَوْأَتَيْهِ بِخِرْقَةٍ، لَكِنْ بِدُوْنِ مَضْمَضَةٍ وَاسْتِنْشَاقٍ
عِنْدَ الْحَنَفْيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ لِلْحَرَجِ، ِلأَنَّهُ إِذَا دَخَلَ
اْلمَاءُ فِي اْلفَمِ وَاْلأَنْفِ، فَوَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ حَرَّكَ النَّجَاسَةَ.
وَبِهِمَا قَلِيْلاً عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ بِأَنْ يَضَعَ
اْلغَاسِلُ اْلماَءَ فِي فَمِهِ عِنْدَ إِمَالَةِ رَأْسِهِ. فَإِنْ كَانَ
الْمَيِّتُ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ، فُعِلاَ اِتِّفَاقًا،
تَتْمِيْمًا لِلطَّهَارَةِ. وَعَلَى هَذَا فَيُبْدَأُ باِلْوُضُوْءِ فيِ غُسْلِ
الْمَيِّتِ.
Kitab
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz 3, hlm. 251:
“Para Imam
Mazhab sepakat bahwa mewudlu’kan mayit selain mayit anak kecil dilakukan
seperti halnya orang yang hidup setelah membersihkan kotoran dan najis dengan
air sabun dan dedaunan. Kemudian kubul dan duburnya dibersihkan dengan kain,
namun menurut Hanafiah dan Hanabilah tidak perlu
mengkumur-kumurkan dan memasukkan air ke hidung mayit, karena air yang masuk ke
mulut dan hidung akan menyebabkan
bergeraknya najis.
Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyyah boleh saja dengan sedikit memasukkan air di mulut mayit ketika menundukkan kepalanya. Dan jika
mayit tersebut dalam kondisi junub, haid atau nifas maka secara sepakat perlu
berkumur dan memasukkan air ke hidung mayit untuk menyempurnakan bersucinya.
Dengan demikian, mewudlu’kan mayit dilakukan sebelum memandikannya.”
فَتْحُ اْلمُعِيْنِ : 94
وَلَوْ
تَوَضَّأَ أَثْناَءَ الْغُسْلِ أَوْ بَعْدَهُ حَصَلَ لَهُ أَصْلُ السُّنَّةِ،
لَكِنِ
اْلاَفْضَلُ
تَقْدِيْمُهُ،
وَيُكْرَهُ
تَرْكُهُ.
Kitab
Fath al-Mu’in, hlm. 94:
“Jika
berwudlu’ dilakukan di tengah-tengah mandi atau sesudahnya, maka tetap mendapat
kesunnahan, tetapi yang paling utama adalah mendahulukan wudlu atas mandi, dan
makruh jika ditinggalkan.”
اَلْبُجَيْرَمِيُّ
عَلَى
الْخَطِيْبِ
: 6/97
قَوْلُهُ : (عِنْدَ رَأْسِ ذَكَرٍ إلَخْ) عِبَارَةُ ع ش : وَتُوضَعُ رَأْسُ
الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ
يَمِينِهِ خِلَافَ مَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ، أَمَّا الْأُنْثَى
وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسَهُمَا
لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى مَا
عَلَيْهِ النَّاسُ الْآنَ ا هـ .
Kitab
Al-Bujairimi ala al-Khatib, Juz 6, hlm. 97:
“Ketika
shalat, kepala mayit laki-laki diletakkan di sebeah kiri imam sehingga
mayoritas badan mayit berada di sebelah kanan imam. Hal
ini berbeda dengan yang dilakukan masyarakat sekarang. Adapun mayit perempuan
atau banci, imam berdiri di hadapan pantatnya dengan kepala mayit berada di
sebelah kanan imam seperti yang dipraktekan oleh masyarakat sekarang.”
3.
Dewasa
ini muncul kesimpangsiuran di tengah masyarakat, ada yang mengatakan bahwa
karet, sawit, dan usaha
sarang wallet adalah sesuatu
yang harus dizakati,
dan ada yang mengatakan tidak. Dalam
pelaksanaanya pun prosentasenya tidak sama, ada yang mengeluarkan 2,5 %, dan ada yang
menyamakan dengan zakatnya tanaman.
Pertanyaan:
a.
Wajibkah
karet, sawit, dan wallet dizakati ?
b.
Jika
wajib berapa persen dan bagaimana cara pengeluarannya?
( Dari: PCNU OKI )
Jawaban:
a. Untuk karet dan sawit wajib dizakati menurut Madzhab Abu Hanifah. Sedangkan untuk usaha walet tidak wajib dizakati, kecuali
apabila uang yang
berlaku dianggap sama seperti emas atau perak (mata uang rupiah dijadikan
sebagai alat transaksi yang senilai dengan emas atau perak) maka hasil
penjualan walet, atau karet dan sawit wajib dizakati sebagaimana zakat emas
atau perak.
إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ
حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ
حَطَبًا أَوْ قَصَبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يَعْتَبِرُ نِصَابًا
Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan:
Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu
wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu
Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini.”
اَلْمَوْسُوْعَةُ
الْفِقْهِيَّةِ: 2 / 13459
المكتبة الشاملة
وَاتَّّفَقَ
الْجَمِيْعُ
عَلَى
جَرْيَانِ
الرِّبَا
فِي
الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ ,
وَمَا
يَحِلُّ
مَحَلَّهُمَا
مِنَ
اْلأَوْرَاقِ
النَّّقْدِيَّةِ
عَلَى
الصَّحِيْحِ.
Kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz
2, hlm. 13459:
“Semua
ulama sepakat bahwa perbuatan riba bisa masuk ke dalam sistem pertukaran
emas dan perak serta barang yang statusnya disamakan dengan emas dan perak
seperti uang kertas. Hal ini berdasarkan pendapat yang shahih.”
b. Cara pengeluarannya; untuk
karet dan sawit wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen sebagaimana zakat
tanaman, hanya saja Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan nishob, sehingga
berapapun hasilnya wajib dikeluarkan zakatnya seperti persentase zakat tanaman.
Sedangkan hasil dari
usaha walet, apabila uang rupiah -yang diperoleh dari penjualan-dianggap sama seperti emas dan perak, maka
nishob dan cara pengeluaran zakatnya sebagaimana zakatnya emas dan perak. Hanya saja boleh zakat itu
dikeluarkan setiap waktu memanen sarang walet asalkan sudah mencapai satu
nishob. Hal ini disebut sebagai ta’jil al-zakat qabl al-haul
(mempercepat pengeluaran zakat sebelum masa setahun).
إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ
حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ
حَطَبًا أَوْ قَصَبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يَعْتَبِرُ نِصَابًا
Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan:
Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu
wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu
Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini.
رَوْضَةُ
الطَّالِبِيْنَ: 1 / 219
اَلتَّعْجِيْلُ
جَائِزٌ فِي الْجُمْلَةِ، هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الْمَعْرُوْفُ, وَحَكَى
اْلمُوَفَّقُ أَبُوْ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدِ بْنِ حَرْبَوَيْه مِنْ
أَصْحَابِنَا مَنْعَ التَّعْجِيْلِ وَلَيْسَ بِشَيْءٍ وَلاَ تَفْرِيْعٍ عَلَيْهِ.
ثُمَّ مَالُ الزَّكَاةِ ضَرْبَانِ مُتَعَلِّقٌ باِلْحَوْلِ وَغَيْرُ مَتَعَلِّقٍ فَاْلأَوَّلُ
يَجُوْزُ تَعْجِيْلُ زَكَاتِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ وَلاَ يَجُوْزُ قَبْلَ تَمَامِ
النِّصَابِ فِي الزَّكَاةِ اْلعَيْنِيَّةِ.
Kitab Raudhah al-Thalibin, Juz 1, hlm.
219:
Mempercepat
(ta’jil) dalam pembayaran zakat secara umum diperbolehkan menurut
pendapat yang benar dan dikenal oleh banyak kalangan. Tetapi Abu Thahir yang
menerima dari Abu Ubaid ibn Harbawaih (seorang Ulama Syafi’iyyah) melarang
mempercepat pembayaran zakat ataupun membagikannya. Jika melihat dari segi
harta yang wajib dizakati, maka terbagi dua yaitu harta yang ada ketentuan Haul
(satahun) dan harta yang tidak ada ketentuan Haul-nya. Untuk jenis harta
yang pertama boleh mendahulukan pengeluaran zakatnya sebelum Haul-nya,
tetapi bagi zakat yang bersifat kebendaan ini tetap tidak boleh sebelum
sempurnanya nishab.
4.
Mayoritas
masjid atau musholla di Indonesia, meletakkan Shof jama'ah putri disebelah
kanan atau kiri jama'ah putra dengan diberi penghalang (satir) atau dinding.
Pertanyaan:
Adakah keterangan yang membenarkan praktek Shof seperti
diatas ?
(Dari: PCNU Muara Enim)
Jawaban: Praktek tersebut dibenarkan jika
memang jama’ah putri berada pada tempat tersendiri dan mereka tetap mendapat
fadhilahnya jama’ah.
الشَّرْحُ الْمُخْتَصَرُ عَلَى بُلُوْغِ الْمَرَامِ: 3/ 244
أَنَّ
النِّسَاءَ يُشْرَعُ لَهُنَّ الصُّفُوْفُ كَالرِّجَالِ فَإِذَا كَانَتِ
النَّسَاءُ فِي مَكَانٍ خَاصٍّ كَمَا يُوْجَدُ اْلآنَ فِي كَثِيْرٍ مِنَ
الْمَسَاجِدِ فَإِنَّ خَيْرَ صُفُوْفِهِنَّ أَوَّلُهَا لِبُعْدِهِنَّ عَنِ
الرِّجَالِ.
Kitab Al-Syarh al-Mukhtashar ala Bulugh
al-Maram, Juz 3, hlm. 244:
Sesungguhnya
ketentuan shaf dalam shalatnya sama seperti laki-laki, jika berada di
dalam tempat tersendiri, seperti yang banyak ditemui sekarang di berbagai
masjid. Dan shaf yang terbaik bagi perempuan dalam hal ini adalah shaf yang
pertama karena jauh dari barisan laki-laki.
5.
Seperti
termaktub dalam kitab-kitab fiqh bahwa tanaman padi jika pengairannya tidak menggunakan biaya, maka zakatnya 10 %.
Dan bila menggunakan biaya maka zakatnya 5% tanpa mempertimbangkan pupuk dan
lain-lainnya, meskipun biayanya lebih besar. Sedangkan praktek yang terjadi
pada umumnya begitu selesai panen, petani langsung mengeluarkan zakat, walaupun
pada panen pertama itu belum sampai satu nishob, sebab mereka yakin nanti akan
sampai satu nisob, ketika dikumpulkan dengan panen kedua.
Pertanyaan:
a.
Adakah
pendapat yang mengatakan bahwa pupuk dll, bisa mempengaruhi jumlah nishob dan
prosentase zakatnya padi ?
b.
Sahkan
mengeluarkan zakat sebelum mencapai satu nishob seperti diskripsi di atas?
(Dari: PCNU OKU TIMUR)
Jawaban:
a.
Hasil panen boleh digunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya tanam yang berhutang, seperti pupuk dan lain-lain.
Kemudian
sisanya dizakati bila mencapai satu nishob. Namun demikian, pendapat tentang pupuk bisa mengurangi prosentase pengeluaran zakat (menjadi 5 %) itu tidak ada.
قُرَّةُ
الْعَيْنِ فِي
هَامِشِ بُغْيَةِ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: ص. 100
سُئِلَ
فِى أَهْلِ بَلَدٍ يَعْتَادُوْنَ تَسْمِيْدَ اَشْجَارِهِمْ بَدَلَ السِّقَايَةِ
وَيَرَوْنَ أنَّهَا لِنُمُوِّ الثَّمْرَةِ مِنَ السِّقَايَةِ لهَاَ وَيُخْرِجُوْنَ
عَلَى ذَلِكَ خَرْجَ السِّقَايَةِ بَلْ اَكْثَرَ. فَهَلْ يَجِبُ عَلَى مَالِكِ
اْلاَشْجَارِ اْلعُشُرُ أَوْ نِصْفُهُ. ( اَجَابَ ) اَلتَّسْمِيْدُ
وَالتَّحْرِيْثُ لاَ يُغَيِّرُ حُكْمَ الْوَاجِبِ فَيَجِبُ نِصْفُ الْعُشْرِ اِنْ
سُقِيَتْ بِمُؤْنَةٍ وَإلاَّ فَاْلوَاجِبُ اْلعُشُرُ .
Kitab
Qurroh al-Ain fi Hamisy Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 100:
Ada sebuah
pertanyaan tentang kebiasaan masyarakat yang memberi pupuk tanamannya sebagai ganti air siraman karena mereka
menganggap hasil yang diperoleh akan lebih besar. Dan kemudian mereka
mengeluarkan biaya pemupukan sebagaiman biaya pengairan, bahkan lebih besar.
Pertanyaanya, berapa besar zakat yang wajib dikeluarkan bagi pemiliki kebun
tersebut, 10 % atau 5 %? Jawab: pupuk
dan obat perangsang tanaman tidak mempengaruhi ukuran zakat yang dikeluarkan
seseorang, jika pengairannya membutuhkan biaya maka zakatnya 5 %, dan jika
tidak maka 10 %.
فِقْهُ
السُّنَّةِ: 1/ 358-359
وَمَذْهَبُ
ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ يُحْسَبُ مَا
اقْتَرَضَهُ مِنْ أَجْلِ زَرْعِهِ وَثَمْرِهِ. عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -فِي الرَّجُلِ يَسْتَقْرِضُ
فَيُنْفِقُ
عَلَى
ثَمْرَتِهِ
وَعَلَى
أَهْلِهِ -
قاَلَ:
قَالَ
ابْنُ
عُمَرُ:
يَبْدَأُ
بِمَا
اسْتَقْرَضَ
فَيَقْضِيْهِ
وَيُزَكِّي
مَا
بَقِيَ.
Kitab
Fiqh al-Sunnah, Juz 1, hlm. 358-359:
“Ibn
Abbas dan Ibn Umar Ra. menghitung adanya biaya tanaman yang terhutang. Bahkan diceritakan oleh Jabir ibn Zaid, dari
Ibn Abbas dan Ibn Umar Ra. bahwa mereka memperbolehkan seorang laki-laki yang
menghutang untuk keperluan tanaman dan keluarganya. Dan Ibn Umar berkomentar
bahwa hasil dari tanaman terlebih dahulu boleh ia potong untuk biaya tanaman
yang terhutang, kemudian baru sisanya ia
keluarkan zakatnya.”
b.
Khilaf.
Menurut Mazhab Hanafiah dianggap sah karena tidak adanya nishab bagi zakat
tanaman (zuru’). Sedangkan menurut Mazhab lain
disyaratkan untuk mencapai nishab.
إِثْمِدُ
الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ :
أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ
مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ حَطَبًا أَوْ قَصْبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ
يُعْتَبَرُ نِصَابًا وَعِنْدَ اْلإِمَامِ أحْمَدَ، وَلاَبُدَّ مِنَ النِّصَابِ
عِنْدَ مَالِكٍ كَالشَّافِعِيِّ اهـ.
Kitab
Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan:
Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu
wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu
Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini, begitu pula menurut
Imam Ahmad. Berbeda dengan Imam Malik dan Syafi’i yang mengharuskan telah
sampai nishobnya.”
رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1 / 219
اَلتَّعْجِيْلُ جَائِزٌ فِي الْجُمْلَةِ، هَذَا هُوَ
الصَّوَابُ الْمَعْرُوْفُ, وَحَكَى اْلمُوَفَّقُ أَبُوْ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي
عُبَيْدِ بْنِ حَرْبَوَيْه مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْعَ التَّعْجِيْلِ وَلَيْسَ
بِشَيْءٍ وَلاَ تَفْرِيْعٍ عَلَيْهِ. ثُمَّ مَالُ الزَّكَاةِ ضَرْبَانِ
مُتَعَلِّقٌ باِلْحَوْلِ
وَغَيْرُ مَتَعَلِّقٍ فَاْلأَوَّلُ يَجُوْزُ تَعْجِيْلُ زَكَاتِهِ قَبْلَ
الْحَوْلِ وَلاَ يَجُوْزُ قَبْلَ تَمَامِ النِّصَابِ فِي الزَّكَاةِ
اْلعَيْنِيَّةِ.
Kitab
Raudhah al-Thalibin, juz 1, hlm. 219:
“Mempercepat (ta’jil) dalam
pembayaran zakat secara umum diperbolehkan menurut pendapat yang benar dan
dikenal oleh banyak kalangan. Tetapi Abu Thahir yang menerima dari Abu Ubaid
ibn Harbawaih (seorang Ulama Syafi’iyyah) melarang mempercepat pembayaran zakat
ataupun membagikannya. Jika melihat dari segi harta yang wajib dizakati, maka
terbagi dua yaitu harta yang ada ketentuan Haul (satahun) dan harta yang
tidak ada ketentuan Haul-nya. Untuk jenis harta yang pertama boleh
mendahulukan pengeluaran zakatnya sebelum Haul-nya, tetapi bagi zakat
yang bersifat kebendaan ini tetap tidak boleh sebelum sempurnanya nishab.”
6.
Seperti yang
dimaklumi di Makkah dan Madinah pada umumnya masyarakatnya
tidak bermadzhab Syafi'i sehingga mayoritas Imam sholat tidak terdengar membaca
basmallah. Ada yang membaca dengan sirri, namun
ada
pula yang memang
tidak membaca basmallah .
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya makmum dengan imam tersebut ?
(Dari: PCNU MUBA)
Jawaban:
Khilafiyah.
Menurut Imam al-Qaffal sah secara mutlak, meskipun sedangkan menurut
Qaul al-Ashoh,
tidak sah bila diyakini imam tersebut tidak membaca basmalah.
اَلْمَجْمُوْع شَرْحُ الْمُهَذَّبِ
- (ج 4 / ص 288-289)
(فَرْعٌ)
فِي
مَسِائِلَ
تَتَعَلَّقُ
باِلْبَابِ
(إاحْدَاهَا)
اْلاِقْتِدَاءُ
بِأاصْحَابِ
اْلمَذَاهِبِ
اْلمُخَالِفِيْنَ
بِأَانْ
يَقْتَدِىَ
شَافِعِيٌّ
بِحَنَفِىٍّ
أَوْ
مَالِكِىٍّ
لاَ
يَرَى
قِرَاءَةَ
الْبَسْمَلَةِ
فِي
الْفَاتِحَةِ
وَلاَ
اِيْجَابَ
التَّشَهُّدِ
اْلاَخِيْرِ
وَالصَّلاَةِ
عَلَىي
النَّبِيِّ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
وَلاَ
تَرْتِيْبَ
الْوُضُوْءِ
وَشِبْهَ
ذَلِكَ.
وَضَابِطُهُ
أَنْ
تَكُوْنَ
صَلاَةُ
اْلاِمَامِ
صَحِيْحَةً
فِي
اعْتِقَادِهِ
دُوْنَ
اعْتِقَادِ
الْمَأْمُوْمِ
أَوْ
عَكْسَهُ
ِلاخْتِلاَفِهِمَا
فِي
اْلفُرُوْعِ.
فِيْهِ
أَرْبَعَةُ
أَوْجُهٍ
(اَحَدُهَا)
الصِّحَّةُ
مُطْلَقًا
قَالَهُ
الْقَفَّالُ
اِعْتِبَارًا
بِاعْتِقَادِ
اْلاِمَامِ
(وَالثَّانِي)
لاَ
يَصِحُّ
اقْتِدَاؤُهُ
مُطْلَقًا
قَالَهُ
أَبُوْ
اِسْحَقَ
اْلاِسْفِرَايِنِيّ
لاَنَّهُ
وَاِنْ
اَتَى
بِمَا
نَشْتَرِطُهُ
وَنُوْجِبُهُ
فَلاَ
يَعْتَقِدُ
وُجُوْبَهُ
فَكَأَنَّهُ
لَمْ
يَأْتِ
بِهِ.
(وَالثَّالِثُ)
اِنْ
اَتَىي
بِمَا
نَعْتَبِرُهُ
نَحْنُ
لِصِحَّةِ
الصَّلاَةِ
صَحَّ
اْلاِقْتِدَاءُ
وَاِنْ
تَرَكَ
شَيْئًا
مِنْهُ
أَوْ
شَكَكْنَا
فِي
تَرْكِهِ
لَمْ
يَصِحَّ.
(وَالرَّابِعُ)
وَهُوَ
اْلاَصَحُّ
وَبِهِ
قَالَ
أَبُوْ
اِسْحَقَ
اْلمَرْوَزِىّ
وَالشَّيْخُ
أَبُوْ
حَامِدٍ
اْلاِسْفِرَايِنِىّ
والبندنيجى وَاْلقَاضِي
أَبِوْى
الطَّيِّبِ
وَاْلاَكْثَرُوْنَ؛
اِنْ
تَحَقَّقْنَا
تَرْكَهُ
لِشَيْءٍئ
نَعْتَبِرُهُ
لَمْ
يَصِحَّ
اْلاِقْتِدَاءُ
وَاِنْ
تَحَقَّقْنَا
اْلاِتْيَانَ
بِجَمِيْعِهِ
أَوْ
شَكَكْنَا
صَحَّ
وَهَذَا
يَغْلِبُ
اعْتِقَادَ
الْمَأْمُوْمِ
هَذَا
حَاصِلُ
الْخِلاَفِ
فَيَتَفَرَّعُ
عَلَيْهِ
لَوْ
مَسَّ
حَنَفِيٌّى
امْرِأَةً
أَوْ
تَرَكَ
طُمَأْنِيْنَةً
أَوْ
غَيْرَهَا
صَحَّ
اقْتِدَاءُ
الشَّافِعِيُّ
بِهِ
عِنْدَ
الْقَفَّالِ
وَخَالَفَهُ
الْجُمْهُوْرُ
وَهُوَ
الصَّحِيْحُ
Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Juz 4, hlm. 288-289:
Sebuah permasalahan yang berhubungan dengan bab ini.
Pertama, tentang hukum bermakmum kepada imam yang berlainan mazhabnya, seperti
penganut mazhab Syafi’i yang bermakmum kepada imam penganut mazhab Hanafi atau
Maliki yang tidak membaca basmalah pada Surat al-Fatihah, tidak
mewajibkan membaca Tasyahhud Akhir, shalawat kepada Nabi SAW, tidak ada
rukun tartib di dalam wudlu’nya dan lain sebagainya. Yang intinya
batasan keabsahan shalat antara imam dan makmum berbeda, shalatnya imam sah
menurut keyakinannya sendiri, tidak berdasarkan keyakinan makmum. Begitu pula
sebaliknya. Dalam permasalahan ini ada empat pendapat. Pertama,
shalatnya sah secara mutlak seperti yang diutarakan oleh Imam al-Qaffal karena
berpedoman pada keyakinannya Imam. Kedua, bermakmumnya dihukumi tidak
sah secara mutlak, seperti yang disampaikan oleh Abu Ishaq al-Isfirayini,
karena jika kita melaksanakan kewajiban dari rukun atau syarat, namun imam
tidak meyakini akan kewajiban itu, maka sama halnya ia tidak melaksakan
kewajiban tersebut. Ketiga, jika imam melaksanakan semua perkara yang menjadikan
shalat sah menurut pandangan kita, maka sah bermamkmum kepadanya, tetapi jika
ia meninggalkan perkara tersebut, atau diragukan maka tidak sah bermakmum
padanya. Keempat, pendapat ini merupakan pendapat yang paling shahih
yang didukung oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syekh Abu Hamid al-Firayini, Qadli Abu
Thayyib dan mayoritas fuqaha’, yaitu apabila nyata-nyata imam meninggalkan hal
yang kita anggap wajib, maka tidak sah bermakmum padanya, namun apabila secara
umum nyata-nyata ia melakukannya atau masih diragukan, maka dianggap sah
bermakmum padanya. Hal ini diukur berdasarkan keyakinan makmum. Kesimpulan dari
ikhtilaf di atas bisa dicontohkan misalnya jika seorang yang bermazhab
Hanafi menyentuh perempuan atau meninggalkan thuma’ninah di dalam shalat
dan lain-lain, maka sah kita bermakmum padanya menurut Imam al-Qaffal, tidak
menurut mayoritas fuqaha’.
7.
Akhir -
akhir ini sepak terjang Satpol PP menjadi sorotan masyarakat luas. Tidak hanya
karena bentrok yang terjadi di Tanjung Priok yang menewaskan 3 anggota Satpol
PP, namun penertiban yang mereka lakukan selama ini kadang dianggap berlebihan,
terutama di dalam penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL).
Pertanyaan :
Bagaimana pandangan fiqh untuk menyikapi penertiban PKL oleh Satpol PP
tersebut?
(Dari: PCNU OKU TIMUR)
Jawaban: Dibenarkan apabila berdasarkan
instruksi kepala daerah, atau untuk menertibkan para pedagang yang mengganggu
ketertiban umum, atau memang tempat tersebut dilarang untuk dipakai berdagang.
حَـاشِيَةُ
الْقُلْيُوْبِيّ ج : 9 ص : 445
فَصْلٌ
: مَنْفَعَةُ الشَّارِعِ الْأَصْلِيَّةِ ( الْمُرُورُ ) فِيهِ ( وَيَجُوزُ
الْجُلُوسُ بِهِ لِاسْتِرَاحَةٍ وَمُعَامَلَةٍ وَنَحْوِهِمَا إذَا لَمْ يُضَيِّقْ
عَلَى الْمَارَّةِ ، وَلَا يُشْتَرَطُ إذْنُ الْإِمَامِ ) فِي ذَلِكَ
لِاتِّفَاقِ النَّاسِ عَلَيْهِ عَلَى تَلَاحُقِ الْأَعْصَارِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ
.(وَلَهُ تَظْلِيلُ مَقْعَدِهِ ) فِيهِ ( بِبَارِيَّةٍ ) بِتَشْدِيدِ
التَّحْتَانِيَّةِ (وَغَيْرِهَا) مِمَّا لَا يَضُرُّ بِالْمَارَّةِ وَهُوَ
مَنْسُوجُ قَصَبٍ كَالْحَصِيرِ.
Kitab Hasiyah al-Qulyubi, Juz 9, hlm. 445:
“Pasal;
secara mendasar jalan umum bisa dimanfaatkan sebagai tempat berlalu-lalang, dan
boleh juga duduk dipinggirnya untuk beristirahat, berdagang dan sebagainya
apabila tidak mengganggu orang yang lewat, bahkan pemanfaatan ini tidak perlu
adanya izin dari penguasa/imam karena pemanfaatan itu telah lazim bagi
masyarakat. Dan
diperbolehkan pula mendirikan tenda atau sejenisnya di kanan-kiri jalan
sekiranya tidak mengganggu orang yang melintasi jalan tersebut.”
اَلْاَحْكَامُ
السُّلْطَانِيَّةُ: ص : 376
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ مَا اخْتَصَّ
بِأَفْنِيَةِ الشَّوَارِعِ وَالطُّرُقِ فَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى نَظَرِ
السُّلْطَانِ .وَفِي نَظَرِهِ وَجْهَانِ ... وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ نَظَرَهُ
فِيهِ نَظَرُ مُجْتَهِدٍ فِيمَا يَرَاهُ صَلَاحًا فِي إجْلَاسِ مَنْ يُجْلِسُهُ
وَمَنْعِ مَنْ يَمْنَعُهُ وَتَقْدِيمِ مَنْ يُقَدِّمُهُ كَمَا يَجْتَهِدُ فِي
أَمْوَالِ بَيْتِ الْمَالِ
وَإِقْطَاعِ الْمَوَاتِ وَلَا
يَجْعَلُ السَّابِقَ أَحَقَّ وَلَيْسَ لَهُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَأْخُذَ
مِنْهُمْ عَلَى الْجُلُوسِ أَجْرًا .
Kitab
al-Ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 376:
“Bagia ketiga yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan jalan umum yang rusak/ kosong. Hal ini harus sesuai
persetujuan penguasa/pemerintah dengan dua kebijakan…. Yang kedua, bedasarkan
pertimbangan dan kebijakan pemerintah -seperti pertimbangannya seorang
mujtahid- dengan menilik sisi maslahat di dalam memposisikan atau
melarang orang untuk menempatinya, sebagaimana pula pertimbangan ini dilakukan
dalam masalah harta baitul mal dan tanah mati. Pemerintah dalam hal ini
tidak bisa memutuskan bahwa orang yang lebih dulu adalah yang lebih berhak dan
tidak bisa pula memungut upah dari orang yang telah memanfaatkannya.”
بُغْيَةُ
الْمُسْتَرْشِدِيْنَ:
189
يَجِبُ
امْتِثَالُ
أَمْرِ
اْلإِمَامِ
فِي
كُلِّ
مَا
لَهُ
فِيْهِ
وِلاَيَةٌ كَدَفْعِ
زَكَاةِ
الْمَالِ
الظَّاهِرِ،...وَإِنْ
كَانَ
اْلمَأْمُوْرُ
بِهِ
مُبَاحاً
أَوْ
مَكْرُوْهاً
أَوْ
حَرَاماً
لَمْ
يَجِبْ
اِمْتِثَالُ
أَمْرِهِ
فِيْهِ
كَمَا
قَالَهُ
(م ر) وَتَرَدَّدَ
فِيْهِ
فِي
التُّحْفَةِ،
ثُمَّ
مَالَ
إِلَى
الْوُجُوْبِ
فِي
كُلِّ
مَا
أَمَرَ
بِهِ
اْلإِمَامُ
وَلَوْ
مُحَرَّماً
لَكِنْ
ظَاهِراً
فَقَطْ،
وَمَا
عَدَاهُ
إِنْ
كَانَ
فِيْهِ
مَصْلَحَةٌ
عَامَّةٌ
وَجَبَ
ظَاهِراً
وَبَاطِناً
وَإِلاَّ
فَظَاهِراً
فَقَطْ.
Kitab
Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 189:
“Perintah seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan dalam
bidangnya wajib untuk ditaati seperti memberikan zakat mal,… dan apabila
perintah tersebut berkaitan dengan hal-hal yang mubah, makruh
atau haram maka tidak wajib untuk mentaatinya, seperti yang dikemukakan
oleh Imam Romli di dalam kitab Tukhfah. Namun ia cenderung mewajibkan secara lahiriyah untuk
taat terhadap semua perintah pemimpin walaupun perintah itu berkaitan dengan
hal yang haram. Dan jika terdapat kemaslahatan di dalamnya, maka wajib secara
lahir dan batin untuk mentaatinya.”
8.
Pada saat
seseorang melakukan pembelian sepeda motor, disana ada " Brosur" yang menjelaskan bahwa harga antara
cash dan kredit tidak sama, misalnya kalau kontan / cash harganya 14 Juta , dan bila
kredit total harganya sampai 18 Juta. Dalam kitab fiqh, kita ketahui bahwa
termasuk transaksi yang dilarang adalah menjual barang dengan dua harga.
Pertayaan:
Apakah praktek jual beli di atas
termasuk menjual barang
dengan dua
harga? Dan bagaimana hukumnya?
(Dari: PCNU OKU TIMUR)
Jawaban: Jual beli tersebut dihukumi sah dan
tidak termasuk jual beli dengan 2 harga, karena dua harga itu hanya sekedar
penawaran dari penjual untuk dipilih oleh pembeli. Brosur yang memcantumkan
harga cahs dan kredit tidak bisa disebut shighot karena tidak ada khitob (sasaran pembeli yang sudah pasti)
dan brosur tersebut tidak ada penyerahan kepemilikan atau penerimaan hak milik.
Yang
bisa disebut
shighot adalah kesepakatan pembeli dan penjual, yang pada prakteknya mereka
menyepakati salah satu di
antara akad
cash atau kredit.
مُغْـنِي
المُحْتَاجِ
. ج: 6 ص : 232
( وَأَنْ يَقْبَلَ عَلَى وَفْقِ
الْإِيجَابِ ) فِي الْمَعْنَى كَالْجِنْسِ وَالنَّوْعِ وَالصِّفَةِ وَالْعَدَدِ
وَالْحُلُولِ
وَالْأَجَلِ ( فَلَوْ قَالَ : بِعْتُك ) هَذَا الْعَبْدَ
مَثَلًا ( بِأَلْفٍ مُكَسَّرَةٍ فَقَالَ : قَبِلْت
بِأَلْفٍ صَحِيحَةٍ ) أَوْ عَكْسُهُ.
Kitab
Mughni al-Muhtaj, Juz 6, hlm. 232:
Penerimaan
(Qabul) atas akad jual beli maknanya harus sesuai dengan ijab-nya, seperti
jenis, macam, sifat, jumlah dan tempo/kontannya. Misalnya jika pembeli
mengatakan “saya menjual barang ini kepadamu dengan harga seribu”, maka qabul-nya
berbunyi: “saya terima dengan harga seribu.”
مُغْـنِي
المُحْتَاجِ
. ج: 6 ص : 219
أَحَدُهُمَا
أَنَّ إسْنَادَ
الْبَيْعِ إلَى الْمُخَاطَبِ لَا بُدَّ مِنْهُ، وَلَوْ كَانَ
نَائِبًا عَنْ غَيْرِهِ حَتَّى لَوْ لَمْ يُسْنَدْ إلَى أَحَدٍ كَمَا يَقَعُ فِي
كَثِيرٍ مِنْ الْأَوْقَاتِ أَنْ يَقُولَ الْمُشْتَرِي لِلْبَائِعِ : بِعْت هَذَا
بِعَشَرَةٍ مَثَلًا، فَيَقُولُ : بِعْتُ فَيَقْبَلُهُ الْمُشْتَرِي لَمْ يَصِحَّ،
وَكَذَا لَوْ أَسْنَدَهُ إلَى غَيْرِ الْمُخَاطَبِ كَبِعْت مُوَكِّلَك بِخِلَافِ
النِّكَاحِ.
Kitab
Mughni al-Muhtaj, juz 6, hlm. 219:
“Dalam jual beli diharuskan
menyandarkan kata-kata ijab kepada seorang yang telah dituju, walaupun
orang tersebut statusnya sebagai wakil / pengganti. Oleh karenanya, jual beli
yang tidak ditujukan kepada orang tertentu, misalnya seperti pertanyaan seorang
pembeli; “engkau mau menjual barang ini dengan harga sepuluh”, lalu penjual pun
menjawab; “iya”, dan pembeli pun kemudian menerima akad tersebut, maka yang
demikian akadnya dihukumi tidak sah.”
9. Menjual barang - barang yang najis
adalah termasuk
jual beli
yang tidak
sah, namun kenyataanya banayak masyarakat menjual kotoran sapi untuk pupuk.
Dalam sebagian kitab fiqh dijelaskan tentang solusi untuk kasus di atas yaitu
bisa dengan cara نقل اليد
Pertayaan:
Sebenarnya bagaimana praktek dari نقل اليد ? Dan bagaimana andaikan masyarakat
yang menjual tidak mau tahu tentang نقل اليد yang penting
mereka dapat duit ?
(Dari: PCNU Muara Enim)
Jawaban: Praktek نقل
اليد dalam masalah diatas adalah
dicontohkan seperti perkataan dari pemilik pupuk kepada penerima; “saya berikan
pupuk ini kepadamu dengan harga 100 ribu rupiah.” Kemudian penerima berkata;
“saya terima.” Bentuk transaksi seperti ini boleh, meskipun pelakunya tidak
tahu tentang siapa ulama yang berpendapat
bahwamemperbolehkan transaksi ini boleh, yang penting cukup dia yakin bahwa
praktek transaksi di atas ada yang memperbolehkannya.
تُحْفَةُ
الْمُحْتَاجِ
فِيى
شَرْحِ
الْمِنْهَاجِ،
ج :16 ص : 299
وَيَجُوزُ
نَقْلُ الْيَدِ عَنْ النَّجِسِ بِالدَّرَاهِمِ كَمَا فِي النُّزُولِ عَنْ
الْوَظَائِفِ .وَطَرِيقُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُسْتَحِقُّ لَهُ أَسْقَطْت حَقِّي
مِنْ هَذَا بِكَذَا فَيَقُولُ الْآخَرُ قَبِلْت.
Kitab
Tukhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, juz 16, hlm. 299:
“Diperbolehkan memindah
kepemilikan (akad Naql al-Yad) atas suatu barang yang najis dengan
diganti uang dirham, seperti kebiasaan yang terjadi di rumah-rmah. Bentuk akad tersebut yaitu seperti
perkataan pemilik barang kepada orang lain, “saya serahkan hakku barang ini
dengan gantian uang sekian”, lalu orang tesebut menjawab; “baiklah, saya
terima.”
بُغْيَةُ
الْمُسْتَرْشِدِيْنَ:
ص. 257
اَلْعَامِيُّ
لاَ
مَذْهَبَ
لَهُ،
بَلْ
إِذَا
وَافَقَ
قَوْلاً
صَحِيْحاً
صَحَّتْ
عِبَادَتُهُ
وَمُعَامَلَتُهُ،
وَإِنْ
للَمْ
يَعْلَمْ
عَيْنَ
قَائِلِهِ
كَمَا
مَرَّ
فِي
اْلمُقَدَّمَةِ.
Kitab
Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 257
Orang yang
awam dikategorikan sebagai orang yang tidak bermazhab, sehingga apa yang
dilakukannya jika sesuai dengan pendapat yang benar (sahih) maka sah ibadah
dan muamalah-nya itu, walaupun ia tidak mengetahui pendapat siapa itu.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik