Langsung ke konten utama

KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL I Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM-PWNU) Sumatera Selatan



KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL I
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di  PP. Nurul Huda Ds. Sukaraja Kec. Buay Madang OKU Timur.
Tanggal 29 Mei 2010 / 16 Jumadil Akhir 1431 H.

1.    Dalam rangka untuk mempermudah jama'ah dan memperlancar dalam melontar jumroh pada hari Tasyriq, banyak di antara jama'ah haji yang selama melempar jumroh melakukannya pada tengah malam sebelum fajar, padahal dalam kitab-kitab Fiqh Syafi'iyah dijelaskan bahwa waktu pelemparan jumroh tersebut adalah setelah zawal (turunnya matahari ke arah barat).
Pertanyaan:
Adakah pendapat ( lintas madzab ) yang membenarkan praktek seperti diatas[T1]  ?
(Dari: PWNU Sumatera Selatan)

Jawaban: Pelemparan jumroh pada tengah malam tidak sah, kecuali jika pelemparan pada malam hari itu adalah sebagai ganti dari pelemparan siang hari sebelumnya. Namun pendapat Imam Rofi’i yang dikuatkan oleh Imam Isnawi memperbolehkan pelemparan jumroh tersebut mulai terbitnya fajar.

مَذْهَبُ اْلإمَامِ الشَّافِعِيّ فِي الْعِبَادَاتِ وَأَدِلَّتُهَا: ص. 514
وَيَدْخُلُ وَقْتُ رَمْيِ كُلِّ يَوْمٍ مِنْ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ بِزَوَالِ شمَسِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ، وَالْاَفْضَلُ فِعْلُهُ قَبْلَ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِنِ اتَّسَعَ اْلوَقْتُ لِلصَّلاَةِ. وَقَالَ الْكُرْدِيُّ نَقْلاً عَنِ التُّحْفَةِ: وَجَزَمَ الرَّافِعِيُّ بِجَوَازِهِ قَبْلَ الزَّوَالِ وَهُوَ ضَعِيْفٌ وَإِنِ اعْتَمَدَ اْلإِسْنَوِيُّ وَزَعَمَ أَنَّهُ الْمَعْرُوْفُ مَذْهَبًا. وَعَلَيْهِ فَيَنْبَغِيْ جَوَازُهُ مِنَ اْلفَجْرِ. وَنَقَلَ السَّيِّدُ عَلَوِيّ: هَذِهِ الْعِبَارَةُ عَنِ التُّحْفَةِ.

Kitab Mazhab al-Imam al-Syafi’i Fi al-Ibadat Wa Adillatuh, hlm. 514:
“Masuknya waktu melempar Jumroh pada hari Tasyriq, menurut pendapat mu’tamad, dimulai pada saat zawal al-syamsi (condongnya/miringya matahari ke arah barat). Namun yang paling utama adalah melakukannya sebelum shalat dzuhur jika waktunya masih mencukupi untuk sholat. Dengan mengutip dari kitab al-Tukhfah, Al-Kurdi berkomentar bahwa Imam al-Rofi’i memperbolehkan melakukannya sebelum zawal al-sayamsi. Meskipun pendapat ini lemah, Al-Isnawi tetap berpedoman kepadanya dan menganggap pendapat inilah yang populer di kalangan mazhab syafi’iyyah. Dengan demikian, jika melihat pendapat terakhir ini, maka selayaknya juga diperbolehkan melakukannya mulai dari munculnya fajar. Menurut Sayyid ‘Alawi, pendapat ini bersumber dari kitab al-Tukhfah.

حَوَاشِي الشَّرْوَانِيّ عَلَى تُحْفَةِ الْمُحْتَاجِ : 4/ 155-156، مكتبة دار الفكر.
( وَإِذَا ) ( تَرَكَ رَمْيَ )، أَوْ بَعْضَ رَمْيِ ( يَوْمٍ ) لِلنَّحْرِ، أَوْ مَا بَعْدَهُ عَمْدًا، أَوْ غَيْرَهُ ( تَدَارَكَهُ فِي بَاقِي الْأَيَّامِ ) وَيَكُونُ أَدَاءً (فِي الْأَظْهَرِ) .... وَجَزْمُ الرَّافِعِيِّ بِجَوَازِهِ قَبْلَ الزَّوَالِ كَالْإِمَامِ ضَعِيفٌ، وَإِنْ اعْتَمَدَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَزَعَمَ أَنَّهُ الْمَعْرُوفُ مَذْهَبًا وَعَلَيْهِ فَيَنْبَغِي جَوَازُهُ مِنْ الْفَجْرِ نَظِيرَ مَا مَرَّ فِي غُسْلِهِ .


Kitab Hawasyi al-Syarwani ala Tukhfah al-Muhtaj, Juz 4, hlm. 155-156:
“Melempar jumroh pada hari nahr (10 Dzulhijjah) atau hari-hari setelahnya, jika ditinggalkan boleh disusul atau diganti pada hari berikutnya, dan menurut Qaul Adzhar tetap dihukumi ada’ (tepat waktunya)…..
Imam al-Rofi’i memperbolehkan melempar jumroh pada hari Tasyriq sebelum zawal al-sayamsi. Meskipun pendapat ini lemah, al-Isnawi tetap berpedoman kepadanya dan menganggap pendapat inilah yang populer di kalangan mazhab syafi’iyyah. Dengan demikian, selayaknya juga diperbolehkan melakukannya mulai dari munculnya fajar, karena disamakan dengan kesunahan mandi pada hari itu.”  

حَاشِيَةُ الْعَلاَمَةِ ابْنِ حَجَرٍ الهَيْتَمِيّ عَلَى شَرْحِ اْلإيْضَاحِ فِيْ مَنَاسِكِ اْلحَجِّ: 405
لاَ يَصِحُّ الرَّمْيُ فِي هَذِهِ اْلأَيَّامِ اِلاَّ بَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ وَيَبْقَى وَقْتُهُ إِلَى غُرُوْبِهَا وَقِيْلَ يَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ, وَاْلاَوَّلُ أَصَحُّ.

Kitab Hasyiyah al-Allamah Ibn Hajr al-Haitami ‘Ala Syarh al-Idhah Fi Manasik al-Hajj, hlm. 405:
“Melempar jumroh pada hari tasyriq hanya sah jika dilakukan setelah zawal al-syamsi, dan berakhir sampai terbenamnya matahari. Ada yang mengatakan bahwa waktunya berakhir sampai munculnya fajar hari berikutnya. Pendapat pertamalah yang paling shahih.”   

2.    Banyak sekali tradisi atau praktek pelaksanaan perawatan mayit/jenazah yang di antara satu daerah dengan daerah lain tidak sama, seperti mewudlu’kan mayit,  ada yang dilakukan setelah memandikan mayit, ada yang dilakukan sebelum memandikan. Begitu juga dalam memposisikan kepala mayit, ada yang membedakan antara mayit laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan:
Sebenarnya bagaimana praktek yang benar menurut pandangan Ulama Fiqh?
(Dari: PCNU Banyuasin)

Jawaban: Adapun dalam mewudhukan mayit disunnahkan untuk dilakukan sebelum memandikan, namun jika tidak dilakukan sebelumnya maka tetap disunnahkan untuk mewudlu’kannya setelah memandikan. Sedangkan untuk posisi kepala mayit ketika disholati; kepala mayit laki-laki berada disebelah kiri orang yang mensholati, dan kepala mayit perempuan disebelah kanan orang yang mensholati.

اَلْفِقْهُ اْلإسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ: 3/251
 اِتَّفَقَ أَئِمَّةُ الْمَذَاهِبِ عَلَى أَنَّ اْلغَاسِلَ يُوَضِّئُ الْمَيِّتَ غَيْرَ الصَّغِيْرِ كَالْحَيِّ بَعْدَ إِزَالَةِ مَا بِهِ مِنْ نَجْسٍ أَوْ وَسْخٍ، بِالسِّدْرِ أَوِ الصَّابُوْنِ، وَغَسَلَ سَوْأَتَيْهِ بِخِرْقَةٍ، لَكِنْ بِدُوْنِ مَضْمَضَةٍ وَاسْتِنْشَاقٍ عِنْدَ الْحَنَفْيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ لِلْحَرَجِ، ِلأَنَّهُ إِذَا دَخَلَ اْلمَاءُ فِي اْلفَمِ وَاْلأَنْفِ، فَوَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ حَرَّكَ النَّجَاسَةَ. وَبِهِمَا قَلِيْلاً عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ بِأَنْ يَضَعَ اْلغَاسِلُ اْلماَءَ فِي فَمِهِ عِنْدَ إِمَالَةِ رَأْسِهِ. فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ، فُعِلاَ اِتِّفَاقًا، تَتْمِيْمًا لِلطَّهَارَةِ. وَعَلَى هَذَا فَيُبْدَأُ باِلْوُضُوْءِ فيِ غُسْلِ الْمَيِّتِ.

Kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz 3, hlm. 251:
“Para Imam Mazhab sepakat bahwa mewudlu’kan mayit selain mayit anak kecil dilakukan seperti halnya orang yang hidup setelah membersihkan kotoran dan najis dengan air sabun dan dedaunan. Kemudian kubul dan duburnya dibersihkan dengan kain, namun menurut Hanafiah dan Hanabilah tidak perlu mengkumur-kumurkan dan memasukkan air ke hidung mayit, karena air yang masuk ke mulut dan hidung akan menyebabkan bergeraknya najis. Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyyah boleh saja dengan sedikit memasukkan air di mulut mayit ketika menundukkan kepalanya. Dan jika mayit tersebut dalam kondisi junub, haid atau nifas maka secara sepakat perlu berkumur dan memasukkan air ke hidung mayit untuk menyempurnakan bersucinya. Dengan demikian, mewudlu’kan mayit dilakukan sebelum memandikannya.”         

فَتْحُ اْلمُعِيْنِ : 94
وَلَوْ تَوَضَّأَ أَثْناَءَ الْغُسْلِ أَوْ بَعْدَهُ حَصَلَ لَهُ أَصْلُ السُّنَّةِ، لَكِنِ اْلاَفْضَلُ تَقْدِيْمُهُ، وَيُكْرَهُ تَرْكُهُ.

Kitab Fath al-Mu’in, hlm. 94:
“Jika berwudlu’ dilakukan di tengah-tengah mandi atau sesudahnya, maka tetap mendapat kesunnahan, tetapi yang paling utama adalah mendahulukan wudlu atas mandi, dan makruh jika ditinggalkan.” 


اَلْبُجَيْرَمِيُّ عَلَى الْخَطِيْبِ : 6/97  
قَوْلُهُ : (عِنْدَ رَأْسِ ذَكَرٍ إلَخْ) عِبَارَةُ ع ش : وَتُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافَ مَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ، أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسَهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى مَا عَلَيْهِ النَّاسُ الْآنَ ا هـ .

Kitab Al-Bujairimi ala al-Khatib, Juz 6, hlm. 97:
“Ketika shalat, kepala mayit laki-laki diletakkan di sebeah kiri imam sehingga mayoritas badan mayit berada di sebelah kanan imam. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan masyarakat sekarang. Adapun mayit perempuan atau banci, imam berdiri di hadapan pantatnya dengan kepala mayit berada di sebelah kanan imam seperti yang dipraktekan oleh masyarakat sekarang.”  

3.    Dewasa ini muncul kesimpangsiuran di tengah masyarakat, ada yang mengatakan bahwa karet, sawit, dan usaha sarang wallet adalah sesuatu yang harus dizakati, dan ada yang mengatakan tidak. Dalam pelaksanaanya pun prosentasenya tidak sama, ada yang mengeluarkan 2,5 %, dan  ada yang menyamakan dengan zakatnya tanaman.
Pertanyaan:
a.    Wajibkah karet, sawit, dan wallet dizakati ?
b.    Jika wajib berapa persen dan bagaimana cara pengeluarannya?
( Dari: PCNU OKI )


Jawaban:
a.    Untuk karet dan sawit wajib dizakati menurut Madzhab Abu Hanifah. Sedangkan untuk usaha walet tidak wajib dizakati, kecuali apabila uang  yang berlaku dianggap sama seperti emas atau perak (mata uang rupiah dijadikan sebagai alat transaksi yang senilai dengan emas atau perak) maka hasil penjualan walet, atau karet dan sawit wajib dizakati sebagaimana zakat emas atau perak.

إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ حَطَبًا أَوْ قَصَبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يَعْتَبِرُ نِصَابًا

Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan: Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini.”

إثمد العين: ص.47-48
مسألة : أفاد أيضا أن مذهب أبي حنيفة وجوب الزكاة في كل ما خرج من الأرض إلا حطبا أو قصبا أو حشيشا، ولا يعتبر نصابا وعند الإمام أحمد ولابد من النصاب عند مالك كالشافعي اهـ.
اَلْمَوْسُوْعَةُ الْفِقْهِيَّةِ: 2 / 13459  المكتبة الشاملة
وَاتَّّفَقَ الْجَمِيْعُ عَلَى جَرْيَانِ الرِّبَا فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ , وَمَا يَحِلُّ مَحَلَّهُمَا مِنَ اْلأَوْرَاقِ النَّّقْدِيَّةِ عَلَى الصَّحِيْحِ.

Kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz 2, hlm. 13459:
“Semua ulama sepakat bahwa perbuatan riba bisa masuk ke dalam sistem pertukaran emas dan perak serta barang yang statusnya disamakan dengan emas dan perak seperti uang kertas. Hal ini berdasarkan pendapat yang shahih.”

b.    Cara pengeluarannya; untuk karet dan sawit wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen sebagaimana zakat tanaman, hanya saja Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan nishob, sehingga berapapun hasilnya wajib dikeluarkan zakatnya seperti persentase zakat tanaman. Sedangkan hasil dari usaha walet, apabila uang rupiah -yang diperoleh dari penjualan-dianggap sama seperti emas dan perak, maka nishob dan cara pengeluaran zakatnya sebagaimana zakatnya emas dan perak. Hanya saja boleh zakat itu dikeluarkan setiap waktu memanen sarang walet asalkan sudah mencapai satu nishob. Hal ini disebut sebagai ta’jil al-zakat qabl al-haul (mempercepat pengeluaran zakat sebelum masa setahun).

إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ حَطَبًا أَوْ قَصَبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يَعْتَبِرُ نِصَابًا

Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan: Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini.



رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1 / 219
اَلتَّعْجِيْلُ جَائِزٌ فِي الْجُمْلَةِ، هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الْمَعْرُوْفُ, وَحَكَى اْلمُوَفَّقُ أَبُوْ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدِ بْنِ حَرْبَوَيْه مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْعَ التَّعْجِيْلِ وَلَيْسَ بِشَيْءٍ وَلاَ تَفْرِيْعٍ عَلَيْهِ. ثُمَّ مَالُ الزَّكَاةِ ضَرْبَانِ مُتَعَلِّقٌ باِلْحَوْلِ وَغَيْرُ مَتَعَلِّقٍ فَاْلأَوَّلُ يَجُوْزُ تَعْجِيْلُ زَكَاتِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ وَلاَ يَجُوْزُ قَبْلَ تَمَامِ النِّصَابِ فِي الزَّكَاةِ اْلعَيْنِيَّةِ.

Kitab Raudhah al-Thalibin, Juz 1, hlm. 219:
Mempercepat (ta’jil) dalam pembayaran zakat secara umum diperbolehkan menurut pendapat yang benar dan dikenal oleh banyak kalangan. Tetapi Abu Thahir yang menerima dari Abu Ubaid ibn Harbawaih (seorang Ulama Syafi’iyyah) melarang mempercepat pembayaran zakat ataupun membagikannya. Jika melihat dari segi harta yang wajib dizakati, maka terbagi dua yaitu harta yang ada ketentuan Haul (satahun) dan harta yang tidak ada ketentuan Haul-nya. Untuk jenis harta yang pertama boleh mendahulukan pengeluaran zakatnya sebelum Haul-nya, tetapi bagi zakat yang bersifat kebendaan ini tetap tidak boleh sebelum sempurnanya nishab.    

4.    Mayoritas masjid atau musholla di Indonesia, meletakkan Shof jama'ah putri disebelah kanan atau kiri jama'ah putra dengan diberi penghalang (satir) atau dinding.
Pertanyaan:
Adakah keterangan yang membenarkan praktek Shof seperti diatas ?
(Dari: PCNU Muara Enim)

Jawaban: Praktek tersebut dibenarkan jika memang jama’ah putri berada pada tempat tersendiri dan mereka tetap mendapat fadhilahnya jama’ah.

الشَّرْحُ الْمُخْتَصَرُ عَلَى بُلُوْغِ الْمَرَامِ:  3/ 244
أَنَّ النِّسَاءَ يُشْرَعُ لَهُنَّ الصُّفُوْفُ كَالرِّجَالِ فَإِذَا كَانَتِ النَّسَاءُ فِي مَكَانٍ خَاصٍّ كَمَا يُوْجَدُ اْلآنَ فِي كَثِيْرٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ فَإِنَّ خَيْرَ صُفُوْفِهِنَّ أَوَّلُهَا لِبُعْدِهِنَّ عَنِ الرِّجَالِ.

Kitab Al-Syarh al-Mukhtashar ala Bulugh al-Maram, Juz 3, hlm. 244:
Sesungguhnya ketentuan shaf dalam shalatnya sama seperti laki-laki, jika berada di dalam tempat tersendiri, seperti yang banyak ditemui sekarang di berbagai masjid. Dan shaf yang terbaik bagi perempuan dalam hal ini adalah shaf yang pertama karena jauh dari barisan laki-laki.

5.    Seperti termaktub dalam kitab-kitab fiqh bahwa tanaman padi jika pengairannya tidak menggunakan biaya, maka zakatnya 10 %. Dan bila menggunakan biaya maka zakatnya 5% tanpa mempertimbangkan pupuk dan lain-lainnya, meskipun biayanya lebih besar. Sedangkan praktek yang terjadi pada umumnya begitu selesai panen, petani langsung mengeluarkan zakat, walaupun pada panen pertama itu belum sampai satu nishob, sebab mereka yakin nanti akan sampai satu nisob, ketika dikumpulkan dengan panen kedua.
Pertanyaan:
a.    Adakah pendapat yang mengatakan bahwa pupuk dll, bisa mempengaruhi jumlah nishob dan prosentase zakatnya padi ?
b.    Sahkan mengeluarkan zakat sebelum mencapai satu nishob seperti diskripsi di atas?
(Dari: PCNU OKU TIMUR)

Jawaban:
a.    Hasil panen boleh digunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya tanam yang berhutang, seperti pupuk dan lain-lain. Kemudian sisanya dizakati bila mencapai satu nishob. Namun demikian, pendapat tentang pupuk bisa mengurangi prosentase pengeluaran zakat (menjadi 5 %) itu tidak ada.

قُرَّةُ الْعَيْنِ فِي هَامِشِ بُغْيَةِ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: ص. 100
سُئِلَ فِى أَهْلِ بَلَدٍ يَعْتَادُوْنَ تَسْمِيْدَ اَشْجَارِهِمْ بَدَلَ السِّقَايَةِ وَيَرَوْنَ أنَّهَا لِنُمُوِّ الثَّمْرَةِ مِنَ السِّقَايَةِ لهَاَ وَيُخْرِجُوْنَ عَلَى ذَلِكَ خَرْجَ السِّقَايَةِ بَلْ اَكْثَرَ. فَهَلْ يَجِبُ عَلَى مَالِكِ اْلاَشْجَارِ اْلعُشُرُ أَوْ نِصْفُهُ. ( اَجَابَ ) اَلتَّسْمِيْدُ وَالتَّحْرِيْثُ لاَ يُغَيِّرُ حُكْمَ الْوَاجِبِ فَيَجِبُ نِصْفُ الْعُشْرِ اِنْ سُقِيَتْ بِمُؤْنَةٍ وَإلاَّ فَاْلوَاجِبُ اْلعُشُرُ .

Kitab Qurroh al-Ain fi Hamisy Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 100:
Ada sebuah pertanyaan tentang kebiasaan masyarakat yang memberi pupuk tanamannya  sebagai ganti air siraman karena mereka menganggap hasil yang diperoleh akan lebih besar. Dan kemudian mereka mengeluarkan biaya pemupukan sebagaiman biaya pengairan, bahkan lebih besar. Pertanyaanya, berapa besar zakat yang wajib dikeluarkan bagi pemiliki kebun tersebut, 10 % atau 5 %? Jawab:  pupuk dan obat perangsang tanaman tidak mempengaruhi ukuran zakat yang dikeluarkan seseorang, jika pengairannya membutuhkan biaya maka zakatnya 5 %, dan jika tidak maka 10 %.
فِقْهُ السُّنَّةِ: 1/ 358-359
وَمَذْهَبُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ يُحْسَبُ مَا اقْتَرَضَهُ مِنْ أَجْلِ زَرْعِهِ وَثَمْرِهِ. عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -فِي الرَّجُلِ يَسْتَقْرِضُ فَيُنْفِقُ عَلَى ثَمْرَتِهِ وَعَلَى أَهْلِهِ - قاَلَ: قَالَ ابْنُ عُمَرُ: يَبْدَأُ بِمَا اسْتَقْرَضَ فَيَقْضِيْهِ وَيُزَكِّي مَا بَقِيَ.

Kitab Fiqh al-Sunnah, Juz 1, hlm. 358-359:
Ibn Abbas dan Ibn Umar Ra. menghitung adanya biaya tanaman yang terhutang.  Bahkan diceritakan oleh Jabir ibn Zaid, dari Ibn Abbas dan Ibn Umar Ra. bahwa mereka memperbolehkan seorang laki-laki yang menghutang untuk keperluan tanaman dan keluarganya. Dan Ibn Umar berkomentar bahwa hasil dari tanaman terlebih dahulu boleh ia potong untuk biaya tanaman yang terhutang, kemudian baru sisanya  ia keluarkan zakatnya.

a.          وذكر ابن حزم عن عطاء: أنه يسقي مما أصاب النفقة فإن بقي مقدار ما فيه الزكاة زكي، وإلا فلا.
b.    Khilaf. Menurut Mazhab Hanafiah dianggap sah karena tidak adanya nishab bagi zakat tanaman (zuru’). Sedangkan menurut Mazhab lain disyaratkan untuk mencapai nishab.

إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ حَطَبًا أَوْ قَصْبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يُعْتَبَرُ نِصَابًا وَعِنْدَ اْلإِمَامِ أحْمَدَ، وَلاَبُدَّ مِنَ النِّصَابِ عِنْدَ مَالِكٍ كَالشَّافِعِيِّ اهـ.


Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan: Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini, begitu pula menurut Imam Ahmad. Berbeda dengan Imam Malik dan Syafi’i yang mengharuskan telah sampai nishobnya.”

إثمد العين: ص.47-48
مسألة : أفاد أيضا أن مذهب أبي حنيفة وجوب الزكاة في كل ما خرج من الأرض إلا حطبا أو قصبا أو حشيشا، ولا يعتبر نصابا وعند الإمام أحمد ولابد من النصاب عند مالك كالشافعي اهـ.
رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1 / 219
اَلتَّعْجِيْلُ جَائِزٌ فِي الْجُمْلَةِ، هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الْمَعْرُوْفُ, وَحَكَى اْلمُوَفَّقُ أَبُوْ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدِ بْنِ حَرْبَوَيْه مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْعَ التَّعْجِيْلِ وَلَيْسَ بِشَيْءٍ وَلاَ تَفْرِيْعٍ عَلَيْهِ. ثُمَّ مَالُ الزَّكَاةِ ضَرْبَانِ مُتَعَلِّقٌ باِلْحَوْلِ وَغَيْرُ مَتَعَلِّقٍ فَاْلأَوَّلُ يَجُوْزُ تَعْجِيْلُ زَكَاتِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ وَلاَ يَجُوْزُ قَبْلَ تَمَامِ النِّصَابِ فِي الزَّكَاةِ اْلعَيْنِيَّةِ.

Kitab Raudhah al-Thalibin, juz 1, hlm. 219:
Mempercepat (ta’jil) dalam pembayaran zakat secara umum diperbolehkan menurut pendapat yang benar dan dikenal oleh banyak kalangan. Tetapi Abu Thahir yang menerima dari Abu Ubaid ibn Harbawaih (seorang Ulama Syafi’iyyah) melarang mempercepat pembayaran zakat ataupun membagikannya. Jika melihat dari segi harta yang wajib dizakati, maka terbagi dua yaitu harta yang ada ketentuan Haul (satahun) dan harta yang tidak ada ketentuan Haul-nya. Untuk jenis harta yang pertama boleh mendahulukan pengeluaran zakatnya sebelum Haul-nya, tetapi bagi zakat yang bersifat kebendaan ini tetap tidak boleh sebelum sempurnanya nishab.

1.          روضة الطالبين: 1 / 219
1.          التعجيل جائز في الجملة هذا هو الصواب المعروف وحكى الموفق أبو طاهر عن أبي عبيد بن حربويه من أصحابنا منع التعجيل وليس بشىء ولا تفريع عليه ثم مال الزكاة ضربان متعلق بالحول وغير متعلق فالأول يجوز تعجيل زكاته قبل الحول ولا يجوز قبل تمام النصاب في الزكاة العينية.
6.    Seperti yang dimaklumi di Makkah dan Madinah pada umumnya masyarakatnya tidak bermadzhab Syafi'i sehingga mayoritas Imam sholat tidak terdengar membaca basmallah. Ada yang membaca dengan sirri, namun ada pula yang memang tidak membaca basmallah .
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya makmum dengan imam tersebut ?
(Dari: PCNU MUBA)

Jawaban:
 Khilafiyah. Menurut Imam al-Qaffal sah secara mutlak, meskipun sedangkan menurut Qaul al-Ashoh, tidak sah bila diyakini imam tersebut tidak membaca basmalah.

اَلْمَجْمُوْع شَرْحُ الْمُهَذَّبِ - (ج 4 / ص 288-289)
َرْعٌ) فِي مَسِائِلَ تَتَعَلَّقُ باِلْبَابِ (إاحْدَاهَا) اْلاِقْتِدَاءُ بِأاصْحَابِ اْلمَذَاهِبِ اْلمُخَالِفِيْنَ بِأَانْ يَقْتَدِىَ شَافِعِيٌّ بِحَنَفِىٍّ أَوْ مَالِكِىٍّ لاَ يَرَى قِرَاءَةَ الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ وَلاَ اِيْجَابَ التَّشَهُّدِ اْلاَخِيْرِ وَالصَّلاَةِ عَلَىي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ تَرْتِيْبَ الْوُضُوْءِ وَشِبْهَ ذَلِكَ. وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُوْنَ صَلاَةُ اْلاِمَامِ صَحِيْحَةً فِي اعْتِقَادِهِ دُوْنَ اعْتِقَادِ الْمَأْمُوْمِ أَوْ عَكْسَهُ ِلاخْتِلاَفِهِمَا فِي اْلفُرُوْعِ. فِيْهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍَحَدُهَا) الصِّحَّةُ مُطْلَقًا قَالَهُ الْقَفَّالُ اِعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ اْلاِمَامَِالثَّانِي) لاَ يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا قَالَهُ أَبُوْ اِسْحَقَ اْلاِسْفِرَايِنِيّ لاَنَّهُ وَاِنْ اَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ وَنُوْجِبُهُ فَلاَ يَعْتَقِدُ وُجُوْبَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ.َالثَّالِثُ) اِنْ اَتَىي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلاَةِ صَحَّ اْلاِقْتِدَاءُ وَاِنْ تَرَكَ شَيْئًا مِنْهُ أَوْ شَكَكْنَا فِي تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ. َالرَّابِعُ) وَهُوَ اْلاَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُوْ اِسْحَقَ اْلمَرْوَزِىّ وَالشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ اْلاِسْفِرَايِنِىّ والبندنيجى وَاْلقَاضِي أَبِوْى الطَّيِّبِ وَاْلاَكْثَرُوْنَ؛ اِنْ تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍئ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ اْلاِقْتِدَاءُ وَاِنْ تَحَقَّقْنَا اْلاِتْيَانَ بِجَمِيْعِهِ أَوْ شَكَكْنَا صَحَّ وَهَذَا يَغْلِبُ اعْتِقَادَ الْمَأْمُوْمِ هَذَا حَاصِلُ الْخِلاَفِ فَيَتَفَرَّعُ عَلَيْهِ لَوْ مَسَّ حَنَفِيٌّى امْرِأَةً أَوْ تَرَكَ طُمَأْنِيْنَةً أَوْ غَيْرَهَا صَحَّ اقْتِدَاءُ الشَّافِعِيُّ بِهِ عِنْدَ الْقَفَّالِ وَخَالَفَهُ الْجُمْهُوْرُ وَهُوَ الصَّحِيْحُ

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Juz 4, hlm. 288-289:
Sebuah permasalahan yang berhubungan dengan bab ini. Pertama, tentang hukum bermakmum kepada imam yang berlainan mazhabnya, seperti penganut mazhab Syafi’i yang bermakmum kepada imam penganut mazhab Hanafi atau Maliki yang tidak membaca basmalah pada Surat al-Fatihah, tidak mewajibkan membaca Tasyahhud Akhir, shalawat kepada Nabi SAW, tidak ada rukun tartib di dalam wudlu’nya dan lain sebagainya. Yang intinya batasan keabsahan shalat antara imam dan makmum berbeda, shalatnya imam sah menurut keyakinannya sendiri, tidak berdasarkan keyakinan makmum. Begitu pula sebaliknya. Dalam permasalahan ini ada empat pendapat. Pertama, shalatnya sah secara mutlak seperti yang diutarakan oleh Imam al-Qaffal karena berpedoman pada keyakinannya Imam. Kedua, bermakmumnya dihukumi tidak sah secara mutlak, seperti yang disampaikan oleh Abu Ishaq al-Isfirayini, karena jika kita melaksanakan kewajiban dari rukun atau syarat, namun imam tidak meyakini akan kewajiban itu, maka sama halnya ia tidak melaksakan kewajiban tersebut. Ketiga, jika imam melaksanakan semua perkara yang menjadikan shalat sah menurut pandangan kita, maka sah bermamkmum kepadanya, tetapi jika ia meninggalkan perkara tersebut, atau diragukan maka tidak sah bermakmum padanya. Keempat, pendapat ini merupakan pendapat yang paling shahih yang didukung oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syekh Abu Hamid al-Firayini, Qadli Abu Thayyib dan mayoritas fuqaha’, yaitu apabila nyata-nyata imam meninggalkan hal yang kita anggap wajib, maka tidak sah bermakmum padanya, namun apabila secara umum nyata-nyata ia melakukannya atau masih diragukan, maka dianggap sah bermakmum padanya. Hal ini diukur berdasarkan keyakinan makmum. Kesimpulan dari ikhtilaf di atas bisa dicontohkan misalnya jika seorang yang bermazhab Hanafi menyentuh perempuan atau meninggalkan thuma’ninah di dalam shalat dan lain-lain, maka sah kita bermakmum padanya menurut Imam al-Qaffal, tidak menurut mayoritas fuqaha’.   

7.    Akhir - akhir ini sepak terjang Satpol PP menjadi sorotan masyarakat luas. Tidak hanya karena bentrok yang terjadi di Tanjung Priok yang menewaskan 3 anggota Satpol PP, namun penertiban yang mereka lakukan selama ini kadang dianggap berlebihan, terutama di dalam penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL).
Pertanyaan :
Bagaimana pandangan fiqh untuk menyikapi penertiban PKL oleh Satpol PP tersebut?
 (Dari: PCNU OKU TIMUR)

Jawaban: Dibenarkan apabila berdasarkan instruksi kepala daerah, atau untuk menertibkan para pedagang yang mengganggu ketertiban umum, atau memang tempat tersebut dilarang untuk dipakai berdagang.


حَـاشِيَةُ الْقُلْيُوْبِيّ  ج : 9 ص : 445

فَصْلٌ : مَنْفَعَةُ الشَّارِعِ الْأَصْلِيَّةِ ( الْمُرُورُ ) فِيهِ ( وَيَجُوزُ الْجُلُوسُ بِهِ لِاسْتِرَاحَةٍ وَمُعَامَلَةٍ وَنَحْوِهِمَا إذَا لَمْ يُضَيِّقْ عَلَى الْمَارَّةِ ، وَلَا يُشْتَرَطُ إذْنُ الْإِمَامِ ) فِي ذَلِكَ لِاتِّفَاقِ النَّاسِ عَلَيْهِ عَلَى تَلَاحُقِ الْأَعْصَارِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ .(وَلَهُ تَظْلِيلُ مَقْعَدِهِ ) فِيهِ ( بِبَارِيَّةٍ ) بِتَشْدِيدِ التَّحْتَانِيَّةِ (وَغَيْرِهَا) مِمَّا لَا يَضُرُّ بِالْمَارَّةِ وَهُوَ مَنْسُوجُ قَصَبٍ كَالْحَصِيرِ.

Kitab Hasiyah al-Qulyubi, Juz 9, hlm. 445:
“Pasal; secara mendasar jalan umum bisa dimanfaatkan sebagai tempat berlalu-lalang, dan boleh juga duduk dipinggirnya untuk beristirahat, berdagang dan sebagainya apabila tidak mengganggu orang yang lewat, bahkan pemanfaatan ini tidak perlu adanya izin dari penguasa/imam karena pemanfaatan itu telah lazim bagi masyarakat. Dan diperbolehkan pula mendirikan tenda atau sejenisnya di kanan-kiri jalan sekiranya tidak mengganggu orang yang melintasi jalan tersebut.

اَلْاَحْكَامُ السُّلْطَانِيَّةُ: ص : 376
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ مَا اخْتَصَّ بِأَفْنِيَةِ الشَّوَارِعِ وَالطُّرُقِ فَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى نَظَرِ السُّلْطَانِ .وَفِي نَظَرِهِ وَجْهَانِ ... وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ نَظَرَهُ فِيهِ نَظَرُ مُجْتَهِدٍ فِيمَا يَرَاهُ صَلَاحًا فِي إجْلَاسِ مَنْ يُجْلِسُهُ وَمَنْعِ مَنْ يَمْنَعُهُ وَتَقْدِيمِ مَنْ يُقَدِّمُهُ كَمَا يَجْتَهِدُ فِي أَمْوَالِ بَيْتِ الْمَالِ وَإِقْطَاعِ الْمَوَاتِ وَلَا يَجْعَلُ السَّابِقَ أَحَقَّ وَلَيْسَ لَهُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُمْ عَلَى الْجُلُوسِ أَجْرًا .
Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 376:
Bagia ketiga yaitu hal-hal yang berkaitan dengan jalan umum yang rusak/ kosong. Hal ini harus sesuai persetujuan penguasa/pemerintah dengan dua kebijakan…. Yang kedua, bedasarkan pertimbangan dan kebijakan pemerintah -seperti pertimbangannya seorang mujtahid- dengan menilik sisi maslahat di dalam memposisikan atau melarang orang untuk menempatinya, sebagaimana pula pertimbangan ini dilakukan dalam masalah harta baitul mal dan tanah mati. Pemerintah dalam hal ini tidak bisa memutuskan bahwa orang yang lebih dulu adalah yang lebih berhak dan tidak bisa pula memungut upah dari orang yang telah memanfaatkannya.

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 189
يَجِبُ امْتِثَالُ أَمْرِ اْلإِمَامِ فِي كُلِّ مَا لَهُ فِيْهِ وِلاَيَةٌ كَدَفْعِ زَكَاةِ الْمَالِ الظَّاهِرِ،..َإِنْ كَانَ اْلمَأْمُوْرُ بِهِ مُبَاحاً أَوْ مَكْرُوْهاً أَوْ حَرَاماً لَمْ يَجِبْ اِمْتِثَالُ أَمْرِهِ فِيْهِ كَمَا قَالَهُ (م ر) وَتَرَدَّدَ فِيْهِ فِي التُّحْفَةِ، ثُمَّ مَالَ إِلَى الْوُجُوْبِ فِي كُلِّ مَا أَمَرَ بِهِ اْلإِمَامُ وَلَوْ مُحَرَّماً لَكِنْ ظَاهِراً فَقَطْ، وَمَا عَدَاهُ إِنْ كَانَ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ وَجَبَ ظَاهِراً وَبَاطِناً وَإِلاَّ فَظَاهِراً فَقَطْ.

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 189:
“Perintah seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan dalam bidangnya wajib untuk ditaati seperti memberikan zakat mal,… dan apabila perintah tersebut berkaitan dengan hal-hal yang mubah, makruh atau haram maka tidak wajib untuk mentaatinya, seperti yang dikemukakan oleh Imam Romli di dalam kitab Tukhfah. Namun ia cenderung mewajibkan secara lahiriyah untuk taat terhadap semua perintah pemimpin walaupun perintah itu berkaitan dengan hal yang haram. Dan jika terdapat kemaslahatan di dalamnya, maka wajib secara lahir dan batin untuk mentaatinya.

8.    Pada saat seseorang melakukan pembelian sepeda motor, disana ada " Brosur" yang menjelaskan bahwa harga antara cash dan kredit tidak sama, misalnya kalau kontan / cash harganya 14 Juta , dan bila kredit total harganya sampai 18 Juta. Dalam kitab fiqh, kita ketahui bahwa termasuk transaksi yang dilarang adalah menjual barang dengan dua harga.
Pertayaan:
Apakah praktek jual beli di atas termasuk menjual barang dengan dua harga? Dan bagaimana hukumnya? 
(Dari: PCNU OKU TIMUR)


Jawaban: Jual beli tersebut dihukumi sah dan tidak termasuk jual beli dengan 2 harga, karena dua harga itu hanya sekedar penawaran dari penjual untuk dipilih oleh pembeli. Brosur yang memcantumkan harga cahs dan kredit tidak bisa disebut shighot karena tidak ada khitob (sasaran pembeli yang sudah pasti) dan brosur tersebut tidak ada penyerahan kepemilikan atau penerimaan hak milik. Yang bisa disebut shighot adalah kesepakatan pembeli dan penjual, yang pada prakteknya mereka menyepakati salah satu di antara akad cash atau kredit.

مُغْـنِي المُحْتَاجِ . ج: 6 ص : 232
( وَأَنْ يَقْبَلَ عَلَى وَفْقِ الْإِيجَابِ ) فِي الْمَعْنَى كَالْجِنْسِ وَالنَّوْعِ وَالصِّفَةِ وَالْعَدَدِ وَالْحُلُولِ
وَالْأَجَلِ ( فَلَوْ قَالَ : بِعْتُك ) هَذَا الْعَبْدَ مَثَلًا ( بِأَلْفٍ مُكَسَّرَةٍ فَقَالَ : قَبِلْت
بِأَلْفٍ صَحِيحَةٍ ) أَوْ عَكْسُهُ.

Kitab Mughni al-Muhtaj, Juz 6, hlm. 232:
Penerimaan (Qabul) atas akad jual beli maknanya harus sesuai dengan ijab-nya, seperti jenis, macam, sifat, jumlah dan tempo/kontannya. Misalnya jika pembeli mengatakan “saya menjual barang ini kepadamu dengan harga seribu”, maka qabul-nya berbunyi: “saya terima dengan harga seribu.”

مُغْـنِي المُحْتَاجِ . ج: 6 ص : 219
أَحَدُهُمَا أَنَّ إسْنَادَ الْبَيْعِ إلَى الْمُخَاطَبِ لَا بُدَّ مِنْهُ، وَلَوْ كَانَ نَائِبًا عَنْ غَيْرِهِ حَتَّى لَوْ لَمْ يُسْنَدْ إلَى أَحَدٍ كَمَا يَقَعُ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَوْقَاتِ أَنْ يَقُولَ الْمُشْتَرِي لِلْبَائِعِ : بِعْت هَذَا بِعَشَرَةٍ مَثَلًا، فَيَقُولُ : بِعْتُ فَيَقْبَلُهُ الْمُشْتَرِي لَمْ يَصِحَّ، وَكَذَا لَوْ أَسْنَدَهُ إلَى غَيْرِ الْمُخَاطَبِ كَبِعْت مُوَكِّلَك بِخِلَافِ النِّكَاحِ.

Kitab Mughni al-Muhtaj, juz 6, hlm. 219:
Dalam jual beli diharuskan menyandarkan kata-kata ijab kepada seorang yang telah dituju, walaupun orang tersebut statusnya sebagai wakil / pengganti. Oleh karenanya, jual beli yang tidak ditujukan kepada orang tertentu, misalnya seperti pertanyaan seorang pembeli; “engkau mau menjual barang ini dengan harga sepuluh”, lalu penjual pun menjawab; “iya”, dan pembeli pun kemudian menerima akad tersebut, maka yang demikian akadnya dihukumi tidak sah.

9.    Menjual barang - barang yang najis adalah termasuk jual beli yang tidak sah, namun kenyataanya banayak masyarakat menjual kotoran sapi untuk pupuk. Dalam sebagian kitab fiqh dijelaskan tentang solusi untuk kasus di atas yaitu bisa dengan cara نقل اليد

Pertayaan:
Sebenarnya bagaimana praktek dari نقل اليد ? Dan bagaimana andaikan masyarakat yang menjual tidak mau tahu tentang نقل اليد yang penting mereka dapat duit ? 
(Dari: PCNU Muara Enim)

Jawaban: Praktek نقل اليد dalam masalah diatas adalah dicontohkan seperti perkataan dari pemilik pupuk kepada penerima; “saya berikan pupuk ini kepadamu dengan harga 100 ribu rupiah.” Kemudian penerima berkata; “saya terima.” Bentuk transaksi seperti ini boleh, meskipun pelakunya tidak tahu tentang siapa ulama yang berpendapat bahwamemperbolehkan transaksi ini boleh, yang penting cukup dia yakin bahwa praktek transaksi di atas ada yang memperbolehkannya.      


تُحْفَةُ الْمُحْتَاجِ فِيى شَرْحِ الْمِنْهَاجِ،  ج :16 ص : 299
وَيَجُوزُ نَقْلُ الْيَدِ عَنْ النَّجِسِ بِالدَّرَاهِمِ كَمَا فِي النُّزُولِ عَنْ الْوَظَائِفِ .وَطَرِيقُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُسْتَحِقُّ لَهُ أَسْقَطْت حَقِّي مِنْ هَذَا بِكَذَا فَيَقُولُ الْآخَرُ قَبِلْت.

Kitab Tukhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, juz 16, hlm. 299:
“Diperbolehkan memindah kepemilikan (akad Naql al-Yad) atas suatu barang yang najis dengan diganti uang dirham, seperti kebiasaan yang terjadi di rumah-rmah. Bentuk akad tersebut yaitu seperti perkataan pemilik barang kepada orang lain, “saya serahkan hakku barang ini dengan gantian uang sekian”, lalu orang tesebut menjawab; “baiklah, saya terima.”    

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: ص. 257
اَلْعَامِيُّ لاَ مَذْهَبَ لَهُ، بَلْ إِذَا وَافَقَ قَوْلاً صَحِيْحاً صَحَّتْ عِبَادَتُهُ وَمُعَامَلَتُهُ، وَإِنْ للَمْ يَعْلَمْ عَيْنَ قَائِلِهِ كَمَا مَرَّ فِي اْلمُقَدَّمَةِ.

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 257
Orang yang awam dikategorikan sebagai orang yang tidak bermazhab, sehingga apa yang dilakukannya jika sesuai dengan pendapat yang benar (sahih) maka sah ibadah dan muamalah-nya itu, walaupun ia tidak mengetahui pendapat siapa itu.


















 [T1]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا