MUSRAWARAH
BAHTSUL MASAIL DINIYAH
NU WILAYAH
JAWA TIMUR
DI PP
SUKOREJO ASEMBAGUS SITUBONDO
TGL 13 –
15 NOPEMBER 1986
Mas’alah :
Adakah dalil Al Qur’an yang menerangkan mengqodho’ sholat yang
ditinggalkan oleh si mayit ?
Jawab :
Tidak menemukan dalil Al Qur’an tentang mengqodho’ sholat yang
ditinggalkan si mayit. Akan tetapi menurut penegasan hadist berlaku qodho’ atas
puasa dan niyabah atas haji yang diperluas oleh Imam Syafi’I dalam qoul
qodim sampai sholat-sholat yang
ditinggalkan.
Dasar pengambilan :
- I’anatut Tholibin I : 24
ونقل ابن البرهان عن القديم
أنّه يلزم الولي إن خلف تركة أو يصلّى عنه كالصوم.
Terjemah :
Ibnu Burhan menukil (menyalin) dari
qoul qodim, sesungguhnya wajib bagi wali / orang tua jika mati meninggalkan
tirkah (warisan) agar dilakukan sholat sebagai ganti darinya (mengqodho’ sholat
yang ditinggalkan). Sama halnya puasa.
==========================
Mas’alah :
Hamid dan Hamdan keduanya
menjadi anggota arisan. Pada seutau giliran jatuh ditangan Hamid, lalu giliran
tersebut oleh Hamdan dibeli, kemudian setiap undian Hamid ikut lagi.
Pertanyaan :
Bagaimana membeli giliran
arisan seperti contoh tersebut di atas ?
Jawab :
Boleh dengan aqad jual beli yang jelas, seperti Hamdan membayar
sejumlah uang untuk membeli hak giliran Hamid dan giliran Hamid diterima
seluruhnya oleh Hamdan karena termasuk transaksi بيع الإستحقاق . Haram / tidak
boleh apabila dengan aqad / cara hutang piutang untuk mendapatkan selisih
keuntungan karena termasuk dalam كل قرض جر نفعا .
Dasar pengambilan :
- Bughyatul Mustarsyidin hal: 135
إذ القرض الفاسد المحرم هو
القرض المشروط فيه النفع للمقرض. هذا إن وقع فى صلب العقد وإن تواطأ عليه قبله ولم
يذكر فى صلبه أو لم يكن عقد جاز مع الكرهة كسائر حيل الربا الواقعة لغرض شرعيّ.
Terjemah :
…. Karena hutang piutang yang rusak
(tidak sah) dan diharamkan, ialah hutang menghutangi yang di dalamnya ada
syarat menarik keuntungan bagi yang menghutangi.
(letak keharaman ini) apabila
persyaratan tadi masuk / terjadi bersamaan di dalam satu aqad (transaksi) namun
jika hanya kebetulan saja dengan aqad sebelumnya. Dan persyaratan tadi tidak
disebutkan dalam aqad atau memang bukan aqad, maka diperbolehkan dengan hukum
makruh. Seperti halnya merekayasa barang riba dilakukan bukan untuk tujuan
syara’.
- Al Bajuri I : 340
والبيوع جمع بيع والبيع لغة
مقابلة شيء بشيء فدخل ما ليس بمال كخمر وأما شرعا فاحسن ما قيل فى تعريفه أنّه
تملك عين مالية بمعاوضة بإذن شرعيّ أو تملك منفعة مباحة على التأبيق بثمن ماليّ
فخرج بمعاوضة القرض وبإذن شرعيّ الربا ودخل فى منفعة تملك حق البناء (قوله ودخل فى
منفعة الخ) ...لأنّ المنفعة تشمل حق الممرّ ووضع الاحساب على الجدار إلى عن قال
قوله تملك حقّ البناء وصورة ذلك أن يقول له بعتك حقّ البناء على هذا السطح مثلا
بكذا والمراد بالحق الاستحقاء.
ومثله ما فى إعانة الطالبين
الجزء الثالث صحيفة 30 والفتاوى الكبرى لابن حجر الجزء الثالث صحيفة 23.
Terjemah :
Buyu’ itu menjadi jama’ dari mufrod
bai-in. Bai’ menurut bahasa adalah
bandingan (pengganti) sesuatu dengan sesuatu yang lain, maka termasuk di
dalamnya adalah sesuatu, meskipun bukan termasuk harta benda, seperti khomer
(minuman keras). Adapun menurut syara’ (bai’) adalah (dengan definisi yang
lebih baik dikatakan) memberikan milik atas benda yang bernilai dengan saling
menukar, dengan ijin yang dianggap oleh syara’. Atau memberikan milik atas
kemanfaatan yang mubah (boleh) untuk selama-lamanya dengan tsaman (harga) yang
bernilai harta. Kata-kata mu’awadhoh (saling menukar) itu mengecualikan Qordlu
(menghutangi). Kata-kata ijin secara syara’, itu mengecualikan riba dan
termasuk di dalam kemanfaatan adalah memberikan milik atas hak guna bangunan.
- I’anatut Tholibin III : 30
- Fatawi Kubro Libni Hajar III : 23
========================
Mas’alah :
Bagaimana hukumnya seseorang yang ingin menjadi pegawai negeri
dengan memberikan harta (uang semir) agar diangkat ?
Jawab :
Tafsil :
Kalau orang yang ingin menjadi pegawai negeri itu memenuhi
syarat-syarat pegawai dan uang semir diberikan untuk menegakkan kebenaran, maka
memberikan uang semir itu hukumnya boleh.
Kalau belum memenuhi syarat-syarat pegawai, atau mempengaruhi
kebenaran, maka tidak boleh.
Dasar pengambilan :
- Isadu Ar Rofiq II : 100
ومنها اخذ الرشوة ولو بحق
وإعطاؤها باطل قال فى الزواجر وإنّما قيّدت الثانية بباطل لقولهم قد يجوز إعطاء
ويحرم الأخذ كالذى أعطاه الشاعر خوفا من هجوه فإنّ إعطاءه جائز للضرورة وأخذه حرام
لأنّه بغير حق لأنّ المعطي كالمكره فمن أعطا قاضيا أو حاكيما رشوة أو أهدى إليه
هدية فإن كان ليحكم له بباطل أو ليتوصل بها لنيل ما لا يستحقه أو لأذية مسلم فسق
الراشى و المهدى بالإعطاء والمرتشى والمهدى إليه بالأخذ والراشى بالسعي وإن لم يقع
حكم منه بعد ذلك أو ليحكم له بحق أو لدفع ظلم أو لينال ما يستحقه فسق الأخذ ولم
يأثم المعطى لاضطراره لتواصل لحقه بأيّ طريق كان.
Terjemah :
Temasuk maksiatnya tangan adakah
menerima suap, meskipun dengan hak (benar) dan memberikan suap dengan cara
batil (tidak sah). Ibnu Hajar berkata dalam kitab Zawajir, alasan permasalahan
yang kedua (memberikan suap) ditambah (qoyyid) batil / cara yang tidak sah.
Karena ada beberapa perkataan ulama’, terkadang boleh memberikan suap, tetapi
menerimanya haram. Contoh : seseorang memberikan suap kepada penyair karena
kawatir/takut atas terjadinya kejelekan darinya, maka memberi suap kaepadanya
boleh karena dia dalam keadaan terpaksa. Sedang yang menerima hukumnya haram,
karena dia mengambil bukan yang hak (posisi yang benar). Dan juga karena orang
yang memberi dalam kondisi ini bagaikan orang yang dipaksa.
Dan berang siapa memberikan suap
kepada qodli (penguasa daerah) atau hakim (penentu kebijakan hukum), atau
memberikan hadiah kepadanya. Apabila dalam pemberian / suap itu bertujuan
supaya dia menghukuminya dengan cara yang batil (mendapat keringanan hukum)
atau agar tercapainya tujuan yang bukan haknya, atau untuk menyakiti orang
islam. Maka bagi yang memberi suap atau yang menerimanya dianggap FASIQ (haram)
dengan pemberian tersebut.
Dan bagi penerima suap atau pemberi
hadiah (haram) mengambil / menerimanya. Bagi pemberi usaha tersebut juga haram.
Meskipun kebijakan hukumnya tidak terjadi (tidak terpengaruh).
Namun apabila pemberian suap atau
hadiah tersebut bertujuan dalammenegakkan hukum (yang benar), atau untuk menolak
kezaliman atau untuk memperoleh haknya (pemberi) maka yang fasiq (haram) adalah
penerima hadiah / suap saja. Dan orang yang memberi / yang menyuap tidak
berdosa, karena dia dalam posisi terpaksa dalam mendapatkan haknya, dengan cara
apapun.
- Hamisy Bughyatul Mustarsyidin hal : 269
نعم، إنما يحرم على الراشى
إذا تواصل بها إلى اخذ ما ليس له أو ابطال حق عليه أما لو حيّل بينه و بين حقه
وعلم أنّه لا يصل إليه إلا ببذله لقاض سوء فالوزر خاص بالمرتشى. ومثله ما فى
الاشباه والنظائر صحيفة 103 ومغنى المحتاج الجزء الرابع صحيفة 392.
Terjemah :
Betul…. Keharaman suap adalah pada
pihak pemberi, ketika bertujuan untuk mencapai sesuatu yang bukan miliknya atau
untuk membatalkan hak atas dirinya (agar tidak terjadi membahayakan dirinya
yang salah). Adapun bila direkayasa antara dia (yang disuap) dan antara hak
atas dirinya (penyuap). Dan dia (penyaup) mengetahui bahwa tidak akan berhasil
mengambil haknya (memenagkan yang benar) kecuali dengan menyerahkan suap kepada
qodli (penguasa daerah) yang jelek. Maka yang mendapat dosa hanya yang menerima
suap.
- Asbah Wan Nadhoir hal : 103
- Mughni Al Muhtaj IV : 392
================================
Mas’alah :
Bagaimana hukumnya menonton atau mendengar perbuatan maksiat
televisi (TV) ?
Jawab :
Hukumnya melihat / mendengarkan acara TV itu tafsil, apabila
berakibat mafsadah hukumnya haram dan bila tidak maka boleh.
Dasar pengambilan :
- Ittikhofu Al Kholan Hal : 45
وقد سئلت عن استماع ما يحكيه
من صوت الطرب فقلت لا بأس به لأنّه يشبه الطرب وليس بطرب بل هو اشبه شيء بالحيال
يحتاله الاسنان من عالم المثال ثم قال والمثال لا يساوى اصله كما جزم به العلماء
اجلاء من ذلك ما جزم به ابن حجر وغيره من عدم حرمة النظر لمثال المرأة ما كنّا
ننظرها كأنّها كائنة فى وسط المِرآة بعينها والشيء بنظيره يقاس.
Terjemah :
Saya telah ditanya tentang hukum
mendengarkan suara musik / penyanyi, kemudian saya menjawab tidak apa-apa.
Karena hal tersebut (mendengarkan) hanya menyerupai musiknya / penyanyi. Yaitu
keserupan sesuatu dengan hayalan yang dibuat manusia dari kondisi yang tidak
sebenarnya (perempuan / gambar). Pengarang kitab berkata : perumpamaan / gambar
itu tidak sama dengan aslinya (dalam segi hukum), seperti yang telah ditegaskan
oleh ulama’ tentang hal tersebut. Dari hal tersebut Imam Ibnu Hajar menegaskan
tentang tidak adanya keharaman melihat gambar / bayangan perempuan, selama kita
melihatnya seakan-akan dia berada ditengah kaca. Dan sesuatu yang menjadi
kesamaan boleh diqiyaskan.
- Qolyubi III : 209
والنظر بشهوة حرام قطعا لكلّ
منظور إليه من محرّم وغيره غير زوجته و أمّته والمراد من منظور إليه مما هو محلّ الشهوة
لا نحو بهيمة وجدار قاله شيخنا الزيادى. ولم يوافقه بعد مشايخنا وجعله شاملا حتى
للجماد. ومثله ما فى إعانة الطالبين الجزء الثالث 259 واحكم الفقهاء الجزء الثانى
صحيفة 33.
Terjemah :
Melihat dengan sahwat itu secara
hukumnya haram terhadap setiap sesuatu yang dilihat dari hal yang diharamkan
atau lainnya selain istrinya atau budak perempuannya sendiri (Amatnya). Yang
dimaksud dengan kata-kata : sesuatu yang dilihatnya, itu ialah pada tempat yang
sensitif / menggairahkan sahwat. Bukan seperti melihat binatang dan dinding.
Hal itu dikatakan oleh Syaikhuna Azzaiyady. Dan tidak sama dengan pendapat
sebagian Masayikhuna (guru-guru kita). Beliau mengartikan pada tempat-tempat
yang sensitif / atau menggairahkan sahwat itu mencakup keseluruhan jenis
menkipun pada sesuatu yang bernyawa.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik