Langsung ke konten utama

KEPUTUSAN BAHTSUL MASA’IL KE III Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama




KEPUTUSAN BAHTSUL MASA’IL KE III
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di PP. Hidayatul Fudhola’ Sri Gunung-Sungai Lilin-Musi Banyuasin
Hari / Tanggal: Sabtu, 8 Januari 2011 M. / 3 Safar 1432 H.
 

1.    Sebagaimana banyak diterangkan di kitab-kitab fiqh, bahwa ada beberapa macam ilmu yang wajib (fardhu ‘ain) dipelajari oleh muslim/muslimah, di antaranya ilmu tentang sholat, thoharoh dan hal-hal yang terkait dengannya. Namun dewasa ini banyak wanita yang belum memahami ilmu tentang kewanitaan seperti haid, karena memang kurikulum dari Depag & Diknas tidak ada yang secara khusus menjelaskannya, sehingga tamat dari Sekolah mereka belum bisa memahami ilmu tersebut. Dan selanjutnya mereka meneruskan belajar ke perguruan tinggi dengan tidak lagi mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Pertanyaan :
a.    Bagaimana hukumnya wanita yang tidak lagi mempelajari ilmu tentang haid?
b.    Sebatas mana seorang wanita harus memahami ilmu-ilmu tersebut?
c.    Berdosakah pengelola yayasan/ sekolah yang tidak mengajarkan ilmu-ilmu yang wajib (fardhu ‘ain) untuk dipelajari, seperti ilmu tentang kewanitaan?
d.   Ilmu apa saja yang wajib dipelajari (fardu ‘ain) oleh seseorang seperti yang dijelaskan di dalam hadits?
(PCNU OKU INDUK)

Jawaban:
a.    Bagi wanita yang telah masuk usia haid tetapi ia belum memahami tentang Haid dan permasalahannya, maka haram baginya meninggalkan (tidak) belajar tentang ilmu haid dan permasalahannya itu, karena ilmu tersebut berhukum fardlu ain.

الإقْنَاعُ فِي حِلِّ أَلْفَاظِ أَبِي شُجَاعٍ لِمُوْسَى الْحِجَاوِيّ :1 /94
فَائِدَةٌ: حَكَى اَلْغَزَالِي أَنَّ اْلوَطْئَ قَبْلَ اْلغُسْلِ يُوْرِثُ الْجُذَامَ فِي اْلوَلَدِ، وَيَجِبُ عَلَى اْلمَرْأَةِ تَعَلُّمُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَاْلاِسْتِحَاضَةِ وَالنِّفَاسِ، فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا عَالِمًا لَزِمَهُ تَعْلِيْمُهَا، وَإِلاَّ فَلَهَا الْخُرُوْجُ لِسُؤَالِ اْلعُلَمَاءِ، بَلْ يَجِبُ وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ مَنْعُهَا إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ هُوَ وَيُخْبِرَهَا فَتَسْتَغْنِي بِذَلِكَ، وَلَيْسَ لَهَا اْلخُرُوْجُ إِلَى مَجْلِسِ ذِكْرٍ أَوْ تَعْلِيْمِ خَيْرٍ إِلاَّ بِرِضاَهُ

Kitab Al-Iqna’ Fi Hil Alfadhi Abi Suja’ Li Musa al-Hijawiy, Juz 1, hlm 94:
“Faidah : telah dikisahkan oleh Imam Ghozali bahwa sesungguhnya bersenggama sebelum mandi (bagi wanita yang berhenti dari hadats besar) itu bisa mengakibatkan penyakit judam (kusta) pada anak. Wajib bagi seorang wanita mengetahui ilmu yang dibutuhkannya termasuk hukum-hukum haid, istihadzoh, serta nifas. Andai suaminya mengetahui ilmu tersebut maka wajib mengajarinya, dan andaikan tidak bisa maka wanita tersebut diperbolehkan keluar untuk mengaji / bertanya pada ulama’ bahkan wajib dan haram bagi suami tersebut melarang isterinya, kecuali dia mau bertanya dan memberi tahukan kepada isterinya sehingga isterinya sudah merasa cukup dengan berita / kabar darinya,seorang  isteri tidak boleh keluar menuju tempat dzikir atau tempat belajar kebaikan kecuali dengan ridhonya.”

تُحْفَةُ الْمُحْتَاجِ فِي شَرْحِ الْمِنْهَاجِ: 43 / 426,
( تَنْبِيهٌ ) يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مِنْ الْكَبَائِرِ تَرْكُ تَعَلُّمِ مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ صِحَّةُ مَا هُوَ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَيْهِ لَكِنْ مِنْ الْمَسَائِلِ الظَّاهِرَةِ لَا الْخَفِيَّةِ.

Kitab Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarh al-Minhaj, Juz 43, hlm 426:
“Tanbih: Selayaknya sebagian dosa besar bagi yang meninggalkan belajar ilmu yang bisa mengesahkan fardhu ‘ain hanya saja sebatas permasalahan yang jelas bukannya permsalahannya yang samar.”

b.    Sebatas ilmu yang ia butuhkan untuk melaksanakan hal-hal yang difardlukan, sehingga perkara fardlu yang telah ia laksanakan dihukumi sah. Misalnya dalam hal sholat, maka ia wajib mempelajari tentang syarat, rukun dan hal-hal terkait dengan shalat sehingga menjadikan sholat yang ia lakukan itu sah.

إِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ: 4/ 80
(قَوْلُهُ وَمِنْهَا) أَيْ مِنَ اْلمَوَاضِعِ الْمَذْكُوْرَةِ وَقَوْلُهُ خُرُوْجُهَا لِتَعَلُّمِ اْلعُلُوْمِ اْلعَيْنِيَّةِ أَيْ كَاْلوَاجِبِ تَعَلُّمُهُ مِنَ اْلعَقَائِدِ وَاْلوَاجِبِ تَعَلُّمُهُ مِمَّا يُصَحِّحُ الصَّلاَةَ وَالصِّياَمَ وَالْحَجَّ وَنَحْوَهَا.

Kitab I’anah al-Tholibiin, Juz 4, hlm 80:
“(Qouluhu Khurujuha) termasuk tempat-tempat yang boleh didatangi yaitu tempat keluarnya seorang wanita untuk mencari ilmu yang ‘ainiyah (ilmu pribadi) contohnya seperti ilmu yang wajib dipelajarinya yaitu ilmu aqo’id, dan perkara yang wajib dipelajarinya yaitu ilmu yang mengesahkan sholat, puasa, haji dan sebagainya.”

c.    Jika pengelola yayasan mengetahui muridnya tidak mengetahui ilmu fardlu ain itu, maka berdosa jika membiarkannya, sementara pihak yayasan mampu memberikan pelajaran tentang ilmu itu. Dan apabila tidak mampu, maka harus memberi kesempatan muridnya untuk belajar di luar.

سُلَّمُ التَّوْفِيْقِ :ص.15
{فَصْلٌ} يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ أَدَاءُ جَمِيْعِ مَا اَوْجَبَهُ اللهُ عَلَيْهِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ قَهْرُهُ عَلَى ذَلِكَ اِنْ قَدَرَ عَلَيْهِ وَاِلاَّ فَيَجِبُ عَلَيْهِ اْلاِنْكاَرُ بِقَلْبِهِ اِنْ عَجَزَ عَنِ اْلقَهْرِ وَاْلاَمْرِ وَذَالِكَ اَضْعَفُ اْلاِيْمَانِ.

Kitab Sulam al-Taufiq, hlm 15:
“Faslun: Wajib bagi setiap mukallaf untuk melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah, dan wajib pula memaksa orang lain untuk melaksanakan kewajiban tersebut apabila punya kemampuan, dan bila tidak punya kemampuan maka wajib ingkar dengan hati bila mana lemah untuk memaksa dan memerintah dan ini adalah iman yang paling lemah.”

مُغْنِي الْمُحْتَاجِ إِلَى مَعْرِفَةِ أَلْفَاظِ الْمِنْهَاجِ : 1/296
وَيَجِبُ عَلَى اْلمَرْأَةِ تَعَلُّمُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَاْلاِسْتِحَاضَةِ وَالنِّفَاسِ، فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا عَالِمًا لَزِمَهُ تَعْلِيْمُهَا، وَإِلاَّ فَلَهَا الْخُرُوْجُ لِسُؤَالِ اْلعُلَمَاءِ، بَلْ يَجِبُ وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ مَنْعُهَا إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ هُوَ وَيُخْبِرَهَا
Kitab Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadzi al-Minhaj, Juz 1, hlm 296.
“Wajib bagi seorang wanita mempelajari ilmu yang dibutuhkannya yakni ilmu haid, istihdzoh dan nifas, andai kata suaminya alim maka dia wajib mengajarinya, andaikata suaminya tidak alim maka wanita tersebut boleh keluar untuk bertanya pada ulama’ bahkan wajib, dan haram bagi seorang suami menghalanginya kecuali dia mau bertanya dan memberi keterangan kepada isterinya.”

d.   Ilmu hal (ilmu yang dibutuhkan untuk hal-hal yang sedang dihadapi), seperti pedagang, maka diwajibkan mempelajari ilmu tentang jual beli.

تَعْلِيْمُ الْمُتَعَلِّمِ : 4
يُفْتَرَضُ عَلَى الْمُسْلِمِ طَلَبُ عِلْمِ مَا يَقَعُ لَهُ فِي حَالِهِ فِي اَيِّ حَالٍ كَانَ فَاِنَّهُ لاَبُدَّ لَهُ مِنَ الصَّلاَةِ فَيُفْتَرَضُ عَلَيْهِ عِلْمُ مَا يَقَعُ لَهُ فِي صَلاَتِهِ بِقَدْرِمَا يُؤَدِّيْ بِهِ فَرْضَ الصَّلاَةِ وَجَبَ عَلَيْهِ عِلْمُ مَا يَقَعُ لَهُ بِقَدْرِ مَا يُؤَدِّي بِهِ الْوَاجِبَ لاِنَّ مَا يُتَوَسَّلُ بِهِ اِلَى اِقَامَةِ اْلفَرْضِ يَكُوْنُ فَرْضًا وَمَا يُتَوَسَّلُ بِهَا اِلَى اِقَامَةِ اْلوَاجِبِ يَكُوْنُ وَاجِباً وَكَذاَلِكَ فِي الصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ اِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ وَالْحَجِّ اِنْ وَجَبَ عَلَيْهِ وَكَذَالِكَ فِي الْبُيُوْعِ اِنْ كَانَ يَتَّجِرُ.

Kitab Ta’lim al-Muta’allim, hlm 4:
“Wajib bagi orang muslim mempelajari ilmu yang terjadi pada setiap keberadaannya (ilmu kondisional) sesungguhnya wajib bagi orang muslim yaitu sholat oleh karenanya wajib pula mempelajari ilmu sholat sebatas dia bisa melaksanakan fardhunya sholat. Wajib pula mempelajari ilmu yang bisa menyempurnakan kewajiban, karena setiap perkara yang digunakan untuk menyempurnakan fardhu maka hukumnya fardhu pula, dan setiap perkara yang digunakan untuk meyempurnakan kewajiban maka hukumnya wajib pula, demikian juga dalam permasalahan puasa dan zakat andai mempunyai harta, juga haji andai sudah wajib haji, demikian juga wajib mengetahui ilmu perdagangan bila menjadi pengusaha/ pedagang.

2.    Sudah menjadi rahasia umum, setiap pengajuan proposal nominal yang dicantumkan dalam anggaran selalu diperbesar dari kebutuhan riil,  bahkan sering sumbangan dari pemerintah tidak di alokasikan pada aturan yang telah ditetapkan penyumbang/ pemerintah, namun dalam pelaporannya disesuaikan dengan ketentuan dari pemerintah.
Pertanyaan:
a.    Bagaimana hukumnya memanipulasi data dalam pengajuan proposal/ laporan sumbangan ?
b.    Bagaimana hukumnya mengalokasikan dana bantuan untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan kehendak penyumbang/ pemerintah ?

Jawaban:
a.    Memanipulasi data berhukum haram, namun jika manipulasi data tersebut merupakan jalan satu-satunya, dan dia termasuk orang yang berhak menerima bantuan tersebut, maka diperbolehkan. 


الفَتَاوَى الْفِقْهِيَّةُ الْكُبْرَى:1 / 463
لَوْ لَمْ يَدْفَعْ السُّلْطَانُ إلَى كُلِّ الْمُسْتَحَقِّينَ حُقُوقَهُمْ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فَهَلْ يَجُوزُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهُ قَالَ فِيهِ أَرْبَعَةُ مَذَاهِبَ أَحَدُهَا لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ مُشْتَرَكٌ وَلَا يَدْرِي حِصَّتَهُ مِنْهُ حَبَّةً أَوْ دَانَقَ أَوْ غَيْرَهُمَا وَهُوَ غُلُوٌّ وَالثَّانِي يَأْخُذُ قُوتَ كُلِّ يَوْمٍ فِيهِ وَالثَّالِثُ كِفَايَةُ سَنَةٍ وَالرَّابِعُ يَأْخُذُ مَا يُعْطَى وَهُوَ حَقُّهُ.

Kitab Al-Fatawiy Al-Fiqhiyah Al-Kubro, Juz 1, hlm 463.
Andaikata pemerintah tidak mau menyerahkan harta dari baitul mal pada yang berhak, apakah boleh harta tersebut diambil paksa? Mushonnif menjawab: permasalahan tersebut terdapat empat madzab.
1.    Tidak boleh, karena harta tersebut bercampur dengan yang lain dan tidak diketahui sedikit pun yang mana kira-kira yang menjadi bagiannya, Sedangkan harta tersebut adalah harta yang berharga.
2.    Boleh mengambil makanan pokok pada tiap harinya.
3.    Boleh mengambil sebanyak perbekalan hidup satu tahun.
4.    Mengambil harta sebatas yang hendak diberikan yakni haknya sendiri.

اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَذَّبِ:  9/ 349
فَرْعٌ: قَالَ اْلغَزَالِي مَالُ اْلمَصَالِحِ لاَ يَجُوْزُ صَرْفُهُ اِلاَّ لِمَنْ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتاَجٌ عَاجِزٌ عَنِ اْلكَسْبِ مِثْلُ مَنْ يَتَوَلَّى أَمْرًا تَتَعَدَّى مَصْلَحَتُهُ إِلَى اْلمُسْلِمِيْنَ وَلَوْ اِشْتَغَلَ بِالْكَسْبِ لَتَعَطَّلَ عَلَيْهِ مَا هُوَ فِيْهِ فَلَهُ فِي بَيْتِ اْلمَالِ كِفَايَتُهُ فَيَدْخُلُ فِيْهِ جَمِيْعُ اَنْواَعِ عُلَماَءِ الدِّيْنَ كَعِلْمِ التَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ وَاْلفِقْهِ وَاْلقِرَاءَةِ وَنَحْوِهاَ يَدْخُلُ فِيْهِ طَلَبَةُ هَذِهِ اْلعُلُوْمِ وَاْلقُضَاةُ وَاْلمُؤَذِنُوْنَ وَاْلاَجْنَادُ. وَيَجُوْزُ أَنْ يُعْطَى هَؤُلاَءِ مَعَ اْلغَنِيْ وَيَكُوْنُ قَدْرُ الْعَطَاءِ إِلَى رَأْىِ السُّلْطَانِ وَماَ تَقْتَضِيْهِ اْلمَصْلَحَةُ وَيَخْتَلِفُ بِضَيْقِ اْلمَالِ وَسَعَتِهِ.
Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 9, hlm 349:
“Far’un: Imam Ghozali berkata: harta yang disediyakan untuk kepentingan umat itu tidak boleh dialokasikan kecuali kepada orang yang penuh dengan kemaslahatan umat (kepentingan umum) atau kepada orang lemah yang tidak punya pekerjaan, seperti orang yang menguasai urusan untuk kepentingan umat muslim di mana kalau dia bekerja maka gagallah urusan tersebut, maka orang ini berhak mengambil investasi dari baitul mal, dengan demikian masuklah dalam kata gori ini yaitu seluruh tokoh agama seperti guru ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, dan lain sebagainya. Temasuk dalam kategori ini pula yaitu para santri, penegak hukum, muadzin dan pasukan perang. Diperbolehkan memberi harta pada orang-orang tersebut walaupun mereka kaya dan kadar pemberiannya tergantung pemberian pemeritah dan menurut kadar yang dibutuhkan untuk kemaslahatan umat, dan pemberian harta tersebut berbeda-beda dengan melihat banyak tidaknya kas negara.
إعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ :3/288
قاَلَ فِي اْلاِحْياَءِ، وَالضَّابِطُ فِي ذَلِكَ أَنْ كُلَّ مَقْصُوْدٍ مَحْمُوْدٍ يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ إِلَيْهِ بِالصِّدْقِ وَالْكِذْبِ جَمِيْعًا، اَلْكِذْبُ فِيْهِ حَرَامٌ أَوْ بِالكِذْبِ وَحْدَهُ فَمُبَاحٌ إِنْ أُبِيْحَ تَحْصِيْلُ ذَلِكَ الْمَقْصُوْدِ.
Kitab I’anah at-Tholibin, Juz 3, hlm 288:
“Imam Ghozali berkata dalam kitab Ihya’ Ulumuddin: yang menjadi qoidah pada hal tersebut ialah setiap tujuan yang terpuji itu mungkin saja diraih dengan cara jujur dan bohong, maka berbohong dalam permasalahan tersebut hukumnya haram, dan atau meraih dengan cara berbohong saja,maka berbohong diperbolehkan ini diperbolehkan apabila diperbolehkan meraih tujuan tersebut dengan cara ini.”

b.    Untuk sumbangan dari pemerintah boleh pengelokasiannya dirubah apabila lebih maslahah dan tidak ada tanda-tanda keharusan melaksanakan aturan pemerintah, karena pihak yayasan diposisikan sebagai wakil dari pemerintah yang selaku pemberi sumbangan. Dan apabila sumbangan itu berasal dari pihak swasta, maka harus sesuai dengan tujuan penyumbang, kecuali bila ada tanda-tanda kerelaan penyumbang untuk dialokasikan dalam bentuk apapun.

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 310
لَوْ عَيَّنَ الْمُوَكِّلُ سُوْقاً أَوْ قَدْراً أَوْ مُشْتَرِياً، وَدَلَّتِ اْلقَرَائِنُ عَلَى ذَلِكَ لِغَيْرِ غَرَضٍ أَوْ لمَ تَدُلَّ وَكَانَتِ اْلمصْلَحَةُ فِي خِلاَفِهِ، جَازَ لِلْوَكِيْلِ مُخَالَفَتُهُ وَلاَ يَلْزَمُهُ فِعْلُ مَا وُكِّلَ فِيْهِ.

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 310:
“Andai kata muwakkil (pihak pertama) menentukan pasar, kadar (ukuran) dan konsumen, sedangkan di sana terdapat isyarat pada selain yang ditentukan, atau isyarat tersebut tidak menunjukkan akan keharusan untuk melaksanakan ketentuan dari muwakkil tersebut, sedangkan kemaslahatannya justru terdapat pada selain yang ditentukan, dengan demikian diperbolehkan bagi seorang wakil (pihak kedua) untuk melaksanakan hal yang diluar ketentuan muwakkil dan tidak wajib melaksanakan apa saja yang diwakilkannya.”

حَاشِيَةُ الْجَمَلِ: 8 / 44
مَتَى حَلَّ لَهُ الْأَخْذُ وَأَعْطَاهُ لِأَجْلِ صِفَةٍ مُعَيَّنَةٍ لَمْ يَجُزْ لَهُ صَرْفُ مَا أَخَذَهُ فِي غَيْرِهَا فَلَوْ أَعْطَاهُ دِرْهَمًا لِيَأْخُذَ بِهِ رَغِيفًا لَمْ يَجُزْ لَهُ صَرْفُهُ فِي إدَامٍ مَثَلًا أَوْ أَعْطَاهُ رَغِيفًا لِيَأْكُلَهُ لَمْ يَجُزْ لَهُ بَيْعُهُ وَلَا التَّصَدُّقُ بِهِ وَهَكَذَا إلَّا إنْ ظَهَرَتْ قَرِينَةٌ بِأَنْ ذَكَرَ الصِّفَةَ لِنَحْوِ تَجَمُّلٍ كَقَوْلِهِ لِتَشْرَبَ بِهِ قَهْوَةً مَثَلًا فَيَجُوزُ صَرْفُهُ فِيمَا شَاء.

Kitab Hasyiyah al-Jamal, Juz 8, hlm 44:
“Kapan saja halal bagi wakil untuk mengambil harta serta memberikan, karena ada sifat yang jelas maka dia tidak boleh mengalokasikan harta pada selain sifat tersebut. Andai muwakkil memberikan satu dirham untuk membeli roti maka tidak diperbolehkan bagi wakil untuk membelikan lauk pauk, dan atau dia memberikan roti untuk dimakan maka tidak diperbolehkan membelanjakan dan menyedekahkan uang tersebut, kecuali terdapat isyarat atau qorinah seperti contoh muwakkil menyebutkan sifat yang semisal kembang bibir seperti ucapan muwakkil (ini uang untuk membeli kopi) maka diperbolehkan bagi wakil untuk membelanjakan uang tersebut sesuai kehendaknya.

3.    Membina rumah tangga yang harmonis menjadi harapan setiap orang, namun dalam kenyataanya hal ini bukan sesuatu yang mudah. Karena ada sautu masalah seorang suami berkata pada isterinya “ kalau begini terus kamu saya tholaq “ dan ternyata masalah tersebut sering terulang, namun setelah kejadian suami tidak sampai mengatakan “ kamu saya tholaq “ dia hanya mengucapkan seperti kata diatas.
Pertanyaan:
Sudahkah ucapan suami tersebut termasuk tholaq?

Jawaban:
Ucapan suami tersebut bukan termasuk thalaq, hanya sekedar ancaman untuk menolak.

أَسْنَى الْمَطاَلِبِ : 16  / 358
( قَوْلُهُ الطَّرَفُ الثَّانِي فِي التَّعْلِيقِ بِالتَّطْلِيقِ إلَخْ ) قَالَ رَجُلٌ لِامْرَأَتِهِ طَلَّقْتُك إنْ دَخَلْت الدَّارَ أَوْ إنْ دَخَلْت الدَّارَ فَطَلَّقْتُك قَالَ الْكِنْدِيُّ عُرِضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ بِدِمَشْقَ مَنْسُوبَةً إلَى الْجَامِعِ الْكَبِيرِ لِمُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ وَلَيْسَتْ مَذْكُورَةً فِي كُتُبِ الشَّافِعِيَّةِ ثُمَّ أَجَابَ فِيهَا بِأَنَّ طَلَّقْتُك إنْ دَخَلْت الدَّارَ تَطْلُقُ فِي الْحَالِ وَأَمَّا إنْ دَخَلْت الدَّارَ طَلَّقْتُك فَلَا تَطْلُقُ إلَّا عِنْدَ دُخُولِ الدَّارِ قَالَ السُّبْكِيُّ أَخْطَأَ الْكِنْدِيُّ فِيمَا قَالَهُ وَالصَّوَابُ أَنَّ الطَّلَاقَ فِي الْأُولَى يَقَعُ عِنْدَ دُخُولِ الدَّارِ لَا قَبْلَهُ وَفِي الثَّانِيَةِ لَا يَقَعُ أَصْلًا إلَّا أَنْ يَنْوِيَ بِقَوْلِهِ طَلَّقْتُك مَعْنًى أَنْتِ طَالِقٌ فَيَقَعُ عِنْدَ وُجُودِ الشَّرْطِ.




Kitab Asna al-Matholib, Juz 16, hlm 358:
(  قوله الصواب الخ) sesungguhnya tholaq dalam permasalahan yang pertama (kamu saya tolaq apabila kamu masuk rumah) akan terjadi pada saat masuk rumah. Sedang pada permasalahan yang kedua (apabila kamu masuk rumah maka aku akan menolaqmu) sama sekali tidak terjadi tholaq kecuali adanya niat yang bersamaan dengan ucapannya semisal: “aku telah menolakmu” dalam artian “kamu telah tertolak”. Maka terjadilah tholak tersebut dengan terwujudnya syarat.

فتاوى كبرى: 4/145
سُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِعُلُومِهِ وَبَرَكَتِهِ الْمُسْلِمِينَ عَمَّنْ قال إن دَخَلْت الدَّارَ طَلَّقْتُك فَهَلْ هو تَعْلِيقٌ أو لَغْوٌ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ نَصَّ في الْأُمِّ على أَنَّهُ وَعْدٌ فَيَكُونُ لَغْوًا نعم إنْ ذَكَرَ قَبْلَهُ "قد" لَفْظًا أو نِيَّةً كان تَعْلِيقًا لِانْسِلَاخِهِ عن الْوَعْدِ حِينَئِذٍ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ.

Kitab Fatawiy Kubro, Juz 4, hlm 145:
“Ada seseorang yang berkata “andaikan kamu masuk rumah maka kamu aku tholak”. Apakah perkataan ini termasuk “ta’liq” ataukah sekedar perkataan yang tiada arti? Dalam hal ini Imam Syafi’i menuliskan didalam kitab “al-Umm” bahwasannya ucapan tersebut dikategorikan ancaman untuk menolaq dengan demikian perkataan tersebut tiada arti, oh ya! Andai kata sebelum perkataan tersebut dia menyebutkan kalimat “qod” (pasti) secara lafdziah atau kira-kiranya maka perkataan tersebut tergolong “ta’liq” sebab qod memberi faedah menghapus ancaman.”

4.    Pergaulan muda-mudi yang tidak terkendali terkadang menimbulkan kecelakaan, sehingga tidak jarang seorang wanita hamil diluar nikah, karna untuk menutupi rasa malu, buru-buru orangtuanya menikahkannya sebelum wanita tersebut melahirkan.
Pertanyaan
a.    Sahkah menikahi wanita yang sedang hamil karena zina ?
b.    Bernasabkah anak yang lahir karena kehamilan tersebut ?
c.    Dan andaikan tidak bernasab, adakah pendapat yang memperbolehkan bapak yang menghamili ibunya, sebagai wali karena untuk menutupi kalau dia anak hasil zina ?
d.   Apakah anak tersebut mendapat warisan ?, bila salah satu kedua orang tuanya ( ibu dan bapak yang zina ) meninggal dunia?
e.    Dan bila yang menikahi bukan orang yang menghamilinya, sementara anak yang dikandung itu lahir lebih dari enam bulan dari pernikahan, kemanakah nasab anak tersebut ?
f.     Apakah pembuktian nasab melalui tes DNA bisa dibenarkan ?

Jawaban :
a.    Sah.
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/419
(مسألة : ي ش) : يَجُوْزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ مِنَ الزِّناَ سَوَاءٌ الزَانِي وَغَيْرُهُ وَوَطْؤُهَا حِيْنَئِذٍ مَعَ اْلكَرَاهَةِ.    

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 419:
“Diperbolehkan menikahi wanita yang hamil karena zina baik yang menzinahinya atau orang lain, hanya saja menyetubuhinya saat masih hamil hukumnya makruh.”

b.    Bernasab kepada ibu yang mengandungnya, bila diyakini anak dari perzinahan seperti anak itu lahir sebelum enam bulan dari pernikahan.

اِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ : 2 / 146
(قَوْلُهُ: وَيَقُوْلُ فِي وَلَدِ الزِّناَ إلخ) أَيْ لاِنَّهُ لاَ يُنْسَبُ إَلَى أَبٍ، وَإِنَّمَا يُنْسَبُ إِلىَ أُمِّهِ.

Kitab I’anah al-Tholibin, Juz 2, hlm 146:
Musonnif berkata tentang anak zina “karena anak zina tidak bernasab kepada bapak akan tetapi bernasab kepada ibu”

c.    Ada (menurut madzhab Hanafi), apabila orang yang menghamili itu menikahinya walaupun sehari sebelum kelahiran.

اَلْحَاوِي الْكَبِيْر : 8 / 454
فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ  وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ : إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِه.

Kitab Al-Hawiy Al-Kabir, Juz 8, hlm 454:
“Madzhab Syafi’I sesungguhnya anak zina tidak bisa bernasab kepada yang menzinahinya walaupun dia mengakuinya, imam Abu Hanifah berkata: apabila orang yang menzinahi menikahi wanita yang ia zinahi sebelum wanita itu melahirkan walaupun jarak sehari maka anak tersebut bernasab dengan orang yang menzinahi ibunya, dan apabila tidak menikahi maka tidak bernasab.”

d.   Bila yang meninggal ibunya maka dia mendapat waris sebab dia bernasab kepada ibu, dan bila yang meninggal ayahnya maka tidak mendapat warisan kecuali mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa anak zina bisa bernasab kepada ayah yang menghamilinya apabila ibunya telah dinikahi sebelum melahirkan.

فَيْضُ الْقَدِيْرِ : 3 / 148
وَلَدُ زِنَا لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرَثُ لأِنَّ الشَّرْعَ قَطَعَ اْلوُصْلَةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الزَّانِي إِلاَّ مِنْ قِبَلِ أُمِّهِ وَمَاءُ الزِّنَا لاَ حُرْمَةَ لَهُ مُطْلَقًا وَلاَ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ التَّحْرِيْمِ وَالتَّوَارُثِ وَنَحْوِهِمَا عِنْدَ الشاَفِعِيَّةِ.

Kitab Faidhu al-Qodir, Juz 3, hlm 148:
“Anak zina tidak bisa mewaris dan tidak bisa diwaris, karena syari’at memutus persambungan antara anak dengan orang yang berzina kecuali dari arah ibunya, dan seperma zina tidak ada kemuliaan sama sekali secara mutlak, dan juga tidak ada keterkaitan dengan sesuatu dari hukum mahrom, waris-mewaris dan sesamanya menurut ulama Syafi’iyah.”

e.    Anak itu bernasab kepada orang yang menikahi apabila:
-       Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, namun suami wajib menafikan anak apabila ia yakin anak itu bukan anaknya, seperti ia tidak pernah mengumpuli istrinya setelah ia menikah.
-       Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, dan ia yakin itu anaknya, sebab ia telah mengumpuli istrinya setelah ia menikah.
-       Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, dan ia tidak tahu apakah kehamilan istrinya dari pernikahan atau dari perzinahan.

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ : 1 / 496
(مسألة : ي ش) : نَكَحَ حَامِلاً مِنَ الزِّناَ فَوَلَدَتْ كَامِلاً كَانَ لَهُ أَرْبَعَةَ أَحْوَالٍ .... وَإِمَّا لاَحِقٌ بِهِ وَتَثْبُتُ لَهُ اْلأَحْكَامُ إِرْثاً وَغَيْرَهُ ظاَهِراً ، وَيَلْزَمُهُ نَفْيُهُ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لأَكْثَرَ مِنَ السِّتَّةِ وَأَقَلَّ مِنَ اْلأَرْبَعِ السِّنِيْنَ، وَعَلِمَ الزَّوْجُ أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ بِأَنْ لَمْ يَطَأْ بَعْدَ الْعَقْدِ وَلَمْ تَسْتَدْخِلْ مَاءَهُ،.......  وَإِمَّا لاَ حَقَّ بِهِ وَيَحْرُمُ نَفْيُهُ بَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ، وَوَرَدَ أَنَّهُ كُفْرٌ إِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ مِنْهُ ، أَوِ اسْتَوَى اْلأَمْرَانِ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ إِلَى أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ وَطْئِهِ .

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 496:
“Seseorang yang menikahi wanita yang hamil karena zina kemudian wanita itu melahirkan anak yang sempurna, maka ada empat hukum terkait dengannya. Adakalanya anak itu ditemukan (bernasab) dengan orang yang menikahi ibunya serta ditetapkannya beberapa hukum padanya seperti hukum warits dan yang lain, namun secara lahiriah saja, dan wajib baginya (orang yang menikahi) menafikan anak tersebut seperti anak itu lahir diatas enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, serta suami mengetahui atau menduga kuat bahwa anak itu bukan anaknya, sebab ia tidak pernah mengumpuli dan istrinya tidak pernah memasukkan seperma. Dan adakalanya anak itu bernasab serta haram bahkan dosa besar bagi suami menafikannya bila ia menduga kuat bahwa itu anaknya, atau kemungkinan sama (mungkin itu anaknya atau anak hasil zina) seperti anak itu lahir tidak kurang dari enam bulan dan tidak melebihi empat tahun dari dia mengumpuli istrinya.”

f.     Bisa dibenarkan.
اَلمْجْمُوْعُ شَرْحُ اْلمُهَذَّبِ: 17/ 410
وَلَنَا أَنَّهُ يُمْكِنُ اْلاِسْتِعَانَةُ بِالطِّبِّ الشَّرْعِيِّ فِي تَحْلِيْلِ فَصَائِلِ دَمِ كُلٍّ مِنَ الرَّجُلَيْنِ وَالاُمِّ فَإِنْ تَشَابَهَتْ فَصَائِلُ الدَّمِ عِنْدَهُمَا أُخِذَ بِالْقَافَةِ.

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 17, hlm 410:
“Bagi kita: mungkin saja meminta tolong pada doter syari’at untuk menguraikan sendi-sendi darahnya laki-laki dan perempuan juga ibu, apabila terjadi keserupaan diantara sendi-sendi darah di antara laki-laki dan perempuan tersebut maka harus mengambil ketentuan dari para ahli.”

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/321
وَأَمَّا مُجَرَّدُ وُجُوْدِ كِتَابٍ أَوْ كُتُبٍ أَنَّ فُلاَناً ابْنَ عَمٍّ لِأَبَوَيْنِ مَثَلاً فَلَيْسَ بِحُجَّةٍ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا اسْتِحْقَاقُهُ الْإِرْثَ دُوْنَ ابْنِ الْعَمِ الآخَرِ، وَلاَ مُرَجِّحاً مِنْ جَانِبِهِ حَتَّى تَكُوْنَ الْيَمِيْنُ فِي جِهَتِهِ إِذْ يَحْتَمِلُ تَزْوِيْرُهُ، نَعَمْ لَوْ فُرِضَ ذَلِكَ فِي مُصَنَّفٍ اعْتَنَى فِيْهِ صَاحِبُهُ بِحِفْظِ النَّسَبِ، وَاشْتَهَرَ بِكَوْنِهِ ذَا عِلْمٍ بِذَلِكَ وَدِيَانَةٍ وَوَرَعٍ عَنِ التَّكَلُّمِ بِلاَ عِلْمٍ، وَلَمْ يَقَعْ فِيْهِ طَعْنٌ مِنْ مُعْتَبَرٍ، أَفَادَ اْلحَاكِمُ إِمَّا عِلْماً ضَرُوْرِياً أَوْ نَظَرِيّاً أَوْ ظَنّاً غَالِباً، يَجُوْزُ لَهُ اْلاِسْتِنَادُ إِلَيْهِ وَالْحُكْمُ بِعِلْمِهِ بِنَاءً عَلَى الْأَصَحِّ مِنْ جَوَازِهِ فِي غَيْرِ الْحُدُوْدِ، وَحِيْنَئِذٍ لاَ حَاجَةَ إِلَى يَمِيْنِ الْمُدَّعِيْ.

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 321:
“Adapun satu tulisan atau beberapa tulisan seperti “sesungguhnya fulan ibnu ‘am itu tunggal bapak ibu” maka tulisan itu tidak bisa dijadikan pedoman yang berdampak untuk mendapatkan warisan bukan ibnu ‘am yang lain, dan tidak mengunggulkan dari sisinya sehingga ada sumpah dari orang yang bersangkutan, karena bisa jadi  terjadi kesalahan pada tulisan tersebut. Ya, benar, andaikan tulisan tersebut terbukukan dan pemiliknya berpegang pada tulisan tersebut untuk menjaga nasab, dan ia dikenal orang yang mengerti hal itu, yang kuat agamanya dan menjaga dari berbicara dengan tanpa mengetahui, serta tidak ada cacat dalam tulisan tersebut. Sedangkan seorang hakim bisa mengambil keputusan dengan sebab pengetahuan yang pasti atau pandangan serta dugaan yang kuat, maka hakim boleh berpegang dengan tulisan tersebut dan menghukumi sesuai dangan apa yang ia ketahui berpegang pada pendapat ashoh hal diatas diperbolehkan selain urusan had, maka tidak perlu sumpahnya orang yang mendakwa.”

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/ 588
وعبارة س : وَلَنَا وَجْهُ أَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْحَاكِمِ إِذَا رَأَى خَطَّهُ بِشَيْءٍ أَنْ يَعْتَمِدَهُ إِذَا وَثَقَ بِخَطِّهِ وَلَمْ تُدَاخِلْهُ رَيْبَةٌ.



Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 588:
“Kami mempunyai suatu pendapat sesungguhnya boleh bagi seorang hakim ketika melihat sebuah tulisan untuk mempercayai tulisan tersebut, bila tulisan itu tidak meragukan dan bisa dipercaya.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا

Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy

 *Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy* Maklum diketahui bahwa ketika seseorang mengadakan acara walimah, maka penganten, bahkan ibu penganten dan keluarga terdekat, merias wajah dengan make up yang cukup tebal. Acara walimah ini biasanya memakan waktu berjam-jam bahkan tak jarang belum selesai sampai waktu shalat tiba. Maka bagaimanakah tata cara thaharah dan shalat bagi wanita yang memakai riasan ini? Solusi 1: Menghapus riasan wajah dan shalat sesuai waktunya Perlu diketahui bahwa salah satu syarat sah wudhu adalah tidak terdapat hal yang menghalangi tersampainya air wudhu ke anggota badan yang wajib dibasuh, tentu penggunaan make up yang tebal sudah pasti menghalangi air wudhu. Maka bagi wanita yang memakai riasan pengantin tersebut tidak boleh berwudhu kecuali sudah menghapus bersih riasan yang ada di wajah, sehingga yakin jika air wudhu benar-benar mengenai anggota wudhu, tidak cukup hanya dengan mengalirkan air tanpa terlebih dahulu menghapus make up nya seperti yan