KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL KE II
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di Pon. Pes. Al-Falah Ds. Putak Kec. Gelumbang Kab. Muara Enim
Tanggal 6 Oktober 2010 M. / 27 Syawal 1431 H.
1. Amil Zakat
Ada beberapa cara penyaluran zakat
yang dilakukan oleh para hartawan dan dermawan di masyarakat kita, baik dengan
penyaluran sendiri ke para mustahiq zakat atau melalui lembaga-lembaga
tertentu yang menawarkan jasa sebagai penyalur dan pengelola harta zakat, di
antaranya seperti BAZIS dan lembaga swasta yang disebut Rumah Zakat. Rumah Zakat Indonesia merupakan Organisasi
Pengelola Zakat terbesar pengumpulan donasinya se-Indonesia, sehingga pada tahun 2009 hasil
pengumpulan dana zakatnya mencapai 107,3 milyar rupiah.
Pertanyaan:
a. Siapa saja yang bisa mengangkat Amil
sebagai petugas penyalur Zakat?
b. Adakah batasan bagian bagi Amil
yang telah disahkan di dalam harta zakat tersebut?
c. Bagaimana hukumnya Amil
mengelola harta Zakat dengan maksud agar lebih bermanfaat?
Jawaban:
a.
Yang
bisa menunjuk dan mengangkat amil (petugas) zakat adalah pemerintah
setempat.
اَلْمَوْسُوْعَةُ
الْفِقْهِيَّةُ اْلكُوَيْتِيَّةُ:
2/ 10543
اَلْعَامِلُ عَلَى الزَّكَاةِ هُوَ الْمُتَوَلِّي عَلَى
الصَّدَقَةِ وَالسَّاعِيْ لِجَمْعِهَا مِنْ أَرْبَابِ الْمَالِ، وَالْمُفَرِّقُ
عَلَى أَصْنَافِهَا إِذَا فَوَّضَهُ اْلإِمَامُ بِذَلِكَ .
Kitab
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, Juz II, hlm 10543:
“Amil zakat adalah : orang yang
mengatur zakat dan mengumpulkannya dari pemilik harta, serta membagikannya pada
golongan penerima zakat, hal tersebut apabila dia (amil) diangkat oleh
pemerintah untuk mengurusi hal tersebut diatas.”
فِقْهُ السُّنَّةِ: 1/ 386
اَلْعَامِلُوْنَ عَلَى الزَّكَاةِ، وَهُمُ الَّذِيْنَ
يُوَلِّيْهِمُ اْلاِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ اْلعَمَلَ عَلَى جَمْعِهَا مِنَ
اْلاَغْنِيَاءِ. وَهُمُ الْجُبَاةُ، وَيَدْخُلُ فِيْهِمُ الْحَفَظَةُ لَهَا،
وَالرُّعَاةُ لِلْاَنْعَامِ مِنْهَا، وَاْلكَتَبَةُ لِدِيْوَانِهَا.
Kitab
Fiqh as-Sunnah, Juz I, hlm 386:
“Amil-amil zakat adalah
: mereka yang diberi kekuasaan (mandat) dari permerintah atau wakilnya untuk
mengerjakan pengumpulan zakat dari orang-orang kaya …….. termasuk amil adalah
orang-orang yang menjaga harta zakat, pengembala binatang ternaknya zakat dan
orang-orang yang mencatat pada pembukuan zakat.”
b. Batasan bagian yang diberikan kepada amil
adalah ujroh al-mitsl, yaitu sebesar ongkos/upah yang berlaku di
wilayah setempat.
شَرْحُ
الْبَهْجَةِ الوردية: 14/ 81
(الثَّالِثُ الْعَامِلُ فِيهَا ) أَيْ فِي الزَّكَاةِ
وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا ( الْأَجْرُ لَهْ ) أَيْ لَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ دُونَ
السَّهْمِ ؛ لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَهُ بِالْعَمَلِ ….. فَإِنْ كَانَ سَمَّى لَهُ أَكْثَرَ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ
بَطَلَتْ التَّسْمِيَةُ وَاسْتَحَقَّ أُجْرَةَ الْمِثْلِ.
Kitab
Syarh al-Bahjah al-Wardiah, Juz 14, hlm 81:
“Yang ketiga
adalah Amil zakat walaupun kaya, dia
mendapatkan upah yang sepadan dengan pekerjaannya, tidak mendapatkan bagian
pasti karena haknya didapatkan sebab bekerja. Dan apabila bagiannya ditentukan melebihi ujroh
al-mitsli, maka tidak dibenarkan dan dia hanya berhak mendapatkan upah sepadan.”
c. Tidak boleh, apabila tidak mendapat
izin dari mustahiq (orang yang berhak atas bagian) zakat tersebut.
اَلْمَجْمُوْعُ
شَرْحُ الْمُهَذَّبِ: 6/178
قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى, وَلاَ
يَجُوْزُ لِلسَّاعِيْ وَلاَ لِلْاِمَامِ اَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْمَا يَحْصُلُ
عِنْدَهُ مِنَ الْفَرَائِضِ حَتىَّ يُوْصِلَهَا اِلَى أَهْلِهَا ِلاَنَّ
اْلفُقَرَاءَ اَهْلُ رُشْدٍ لاَ يُوَلىَّ عَلَيْهِمْ فَلاَ يَجُوْزُ
التَّصَرُّفُ فِي مَالِهِمْ بِغَيْرِ اِذْنِهِمْ.
Kitab
Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, Juz 6, hlm 178:
“Kyai pengarang berkata
tidak diperbolehkan bagi pengurus zakat atau pemerintah untuk mengelola sesuatu
yang terkumpul dari beberapa harta benda yang wajib sehingga menyerahkannya
pada pemiliknya, karena orang fakir adalah orang yang cakap dalam mengelola
harta maka tidak boleh mengelola hartanya tanpa izin dari mereka.”
2. Ashnaf (golongan) penerima Zakat.
a. Bagaimana batasan atau
kriteria-kriteria sehingga seseorang dikategorikan sebagai faqir dan miskin
yang berhak menerima zakat?
b. Adakah ketentuan bagi seorang muallaf
di dalam lamanya ia memeluk agama Islam (terhitung sejak ia bersyahadah
masuk agama Islam), sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang berhak
menerima zakat?
c. Di dalam penyaluran zakat, salah satu
kelompok yang berhak menerimanya adalah golongan fi sabilillah atau
sabilil khoir yang pada masa sekarang termasuk di dalamnya adalah para guru
TPA, Khotib, Imam dsb. Bagaimana hukumnya jika mereka menerima bagian zakat,
sedangkan mereka sudah menerima tunjangan/gaji dari pemerintah setempat/yayasan
terkait?
Jawaban:
a.
Fakir
adalah orang yang tidak memiliki kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan juga tidak memiliki pekerjaan. Termasuk kategori fakir ialah orang
yang mempunyai harta dan pekerjaan tetapi semuanya masih dibawah 50% dari
kebutuhan hidup dirinya dan keluarga yang wajib ia nafkahi.
Jika harta yang dimiliki dan penghasilan dari pekerjaannya sudah mencapai di
atas 50% dari kadar kebutuhannya yang layak tetapi masih tidak mencukupi, maka ia tergolong miskin. Untuk batasan kecukupan seseorang yang memiliki pekerjaan
adalah tercukupinya kebutuhan sehari-hari. Sedangkan bagi orang yang tidak
memiliki pekerjaan (seperti orang lumpuh) adalah tercukupinya kebutuhan seumur
hidup (dengan ukuran usia rata-rata manusia/62 tahun).
اَلْفِقْهُ
اْلاِسْلاَمِيّ وَأَدِلَّتُهُ: 3 /1952
فَالْفَقِيْرُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ
وَالْحَنَابِلَةِ... ، هُوَ مَنْ لاَ مَالَ لَهُ وَلاَ كَسْبَ اَصْلاً، اَوْكَانَ
يَمْلِكُ اَوْ يَكْتَسِبُ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ مَا يَكْفِيْهِ لِنَفْسِهِ وَمَنْ
تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ (مَمُوْنُهُ) مِنْ غَيْرِ اِسْرَافٍ وَلاَ تَقْتِيْرٍ.
وَالْمِسْكِيْنُ: هُوَ مَنْ يَمْلِكُ اَوْ يَكْتَسِبُ نِصْفَ مَا يَحْتَاجُهُ
فَاَكْثَرَ، وَلَكِنْ لاَيَصِلُ اِلَى قَدْرِ كِفَايَتِهِ. وَالْمُرَادُ
بِالْكِفَايَةِ فِى حَقِّ اْلمُكْتَسِبِ: كِفَايَةُ يَوْمٍ بِيَوْمٍ، وَفِى حَقِّ
غَيْرِهِ: مَا يَبْقَى مِنْ عُمْرِهِ الْغَالِبِ وَهُوَ اِثْنَانِ وَسِتُّوْنَ
سَنَةً.
Kitab
Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz 3, hlm 1952:
“Menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah Faqir adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan sama
sekali, atau memiliki harta atau pekerjaan namun penghasilannya tidak sampai
separuh dari kecukupannya dan kecukupan orang yang harus ia nafkahi dengan
tidak boros dan tidak terlalu hemat (irit). Miskin adalah orang yang memiliki
harta benda atau pekerjaan yang penghasilannya mencapai separuh lebih namun
masih belum mencukupi kebutuhannya. Yang dimaksud dengan mencukupi bagi yang mempunyai
pekerjaan adalah : kecukupan sehari-hari. Bagi yang tidak memiliki pekerjaan
(seperti lumpuh) adalah harta yang mencukupi untuk kebutuhan seumur hidup (62
Th).”
b.
Batasan
muallaf adalah orang yang baru memeluk agama Islam menurut penilaian umum (urf).
اَلْفِقْهُ
اْلاِسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ: 3/2004
وَأَمَّا الْمُؤَلَّفَةُ الْمُسْلِمُوْنَ فَيُعْطَوْنَ
مِنَ الزَّكَاةِ اِتِّفَاقًا اِذَا كَانُوْا حَدِيْثِيْ عَهْدٍ بِإِسْلاَمٍ
لِيَتَمَكَّنَ اْلاِسْلاَمُ فِى نُفُوْسِهِمْ كَمَا ذَكَرَ الدَّسُوْقِيُّ،
Kitab
Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz 3, hlm 2004:
“Al-Mu’allafah Al-Muslimun maka mereka
diberi zakat menurut sepakatnya ulama’ apabila mereka baru masanya memeluk
agama islam supaya agama islam itu menetap dalam hatinya. Seperti penjelasan
Imam Ad-Dasuqi.”
اَلْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ: 1/ 180
الْمَبْحَثُ الْخَامِسُ قَالَ الْفُقَهَاءُ : كُلُّ مَا
وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا ، وَلَا ضَابِطَ لَهُ فِيهِ ، وَلَا فِي
اللُّغَةِ ، يُرْجَعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ .
Kitab Al-Asybah Wa An-Nadzoir, Juz I, hlm 180:
“Pembahasan yang kelima
adalah ungkapan Ulama’ Fiqh: “semua perkara yang dibawa oleh syara’ yang
bersifat mutlak, serta tidak memiliki batasan pasti didalam syara’ maupun
kebahasaan, maka perkara tersebut dikembalikan pada ‘Urf.”
c.
Mereka
yang tersebut di atas tidak berhak lagi menerima bagian zakat dengan meng-atas
namakan golongan fi sabilillah/sabilil khair karena telah
memperoleh gaji/tunjangan dari pekerjaan atau jasa yang dilakukannya.
شَرْحُ
مُخْتَصَرِ خَلِيْلٍ لِلْمَالِكِيِّ: 6/350 – 351
فَقَدْ أَجَابَ سَيِّدِي مُحَمَّدٌ الصَّالِحُ بْنُ
سُلَيْمٍ الْأَوْجَلِيُّ حِينَ سُئِلَ عَنْ إعْطَاءِ الزَّكَاةِ لِلْعَالِمِ
الْغَنِيِّ وَالْقَاضِي وَالْمُدَرِّسِ وَمَنْ فِي مَعْنَاهُمْ مِمَّنْ نَفْعُهُ
عَامٌّ لِلْمُسْلِمِينَ بِمَا نَصُّهُ : الْحَمْدُ لِلَّهِ يَجُوزُ إعْطَاءُ
الزَّكَاةِ لِلْقَارِئِ وَالْعَالِمِ وَالْمُعَلِّمِ وَمَنْ فِيهِ مَنْفَعَةٌ
لِلْمُسْلِمِينَ وَلَوْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ لِعُمُومِ نَفْعِهِمْ وَلِبَقَاءِ
الدِّيْنِ كَمَا نَصَّ عَلَى جَوَازِهَا ابْنُ رُشْدٍ وَاللَّخْمِيُّ وَقَدْ
عَدَّهُمْ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ
الَّتِي تُعْطَى لَهُمْ الزَّكَاةُ حَيْثُ قَالَ {وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ}....
قَالَ شَيْخُنَا السَّيِّدُ مُحَمَّدٌ : هَذَا كُلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ
رَاتِبٌ فِي بَيْتِ الْمَالِ.
Kitab
Syarh Muhtashor Kholil Li al-Malikiy, Juz 6, hlm 350-351:
“Sayyidi Muhammad
Sholih bin Sulaim Al-Aujali memberikan jawaban ketika ditanya tentang pemberian
zakat kepada orang ‘alim yang kaya, Qodhi, Guru, dan orang-orang yang semakna
dengan mereka dari golongan orang yang memberikan manfaat secara luas kapada kaum
muslimin dengan redaksi jawaban: “ segala puji bagi Allah, diperbolehkan
memberikan zakat kepada seorang Qori’(ahli baca al-Qur’an), orang ‘alim, guru,
dan setiap orang yang memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin meskipun mereka
adalah orang kaya, di karenakan memberi manfaat secara luas serta demi
kelestarian agama (Islam) sebagaimana diungkapkan pula oleh Ibnu Rusyd dan
Al-Lakhmi tentang hukum bolehnya. Dan Allah SWT mengelompokkan mereka kedalam delapan
golongan orang-orang yang berhak menerima zakat sebagaimana Allah berfirman
“(dan orang yang berjuang di jalan Allah) …… Syaikh Sayyid Muhammad berkata:
“hukum ini berlaku selama mereka tidak mendapat tunjangan dari baitul
mal.”(red.)
3. Zakat Fitrah
a. Dengan tinjauan berbagai Madzhab,
bagaimana hukum pembayaran zakat fitrah dengan memakai uang? Jika
diperbolehkan, senilai berapa kilogram beras uang yang harus dikeluarkan?
Jawaban:
a. Membayar zakat fitrah dengan memakai
uang diperbolehkan menurut madzhab Hanafiah dengan
pertimbangan kemanfaatannya yang lebih besar. Adapun jumlah zakat yang
dikeluarkan adalah sebesar harga beras satu sha’ / 2,7 kg menurut Imam
Abu Yusuf (seorang ulama pengikut Madzhab Hanafi).
اَلْفِقْهُ عَلَى اْلمَذَاهِبِ اْلاَرْبَعَةِ: 1/989
اَلْحَنَفِيَّةُ قَالُوْا: حُكْمُ صَدَقَةِ اْلفِطْرِ
الْوُجُوْبُ بِالشَّرَائِطِ اْلآتِيَةِ.... وَيَجُوْزُ لَهُ أَنْ يُخْرِجَ قِيْمَةَ
الزَّكَاةِ الْوَاجِبَةِ مِنَ الْنُقُوْدِ بَلْ هَذَا أَفْضَلُ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ
نَفْعًا لِلْفُقَرَاءِ.
Kitab
Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arbi’ah, Juz 1, hlm 989:
“Ulama’ hanafiah
berkata: “zakat fitrah berhukum wajib dengan syarat-syarat yang akan disebutkan
…… boleh bagi Muzakki (wajib zakat) untuk membayar zakat wajib dengan uang
senilai zakat tersebut; bahkan hal ini lebih utama karena dianggap lebih banyak
manfaatnya bagi orang-orang fakir.”
رَحْمَةُ
اْلأُمَّةِ فِي اخْتِلاَفِ اْلأَئِمَّةِ: ص.87
وَاتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ صَاعٌ بِصَاعِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كُلِّ جِنْسٍ مِنَ الْخَمْسِ
إِلاَّ أَباَ حَنِيْفَةَ، فَقَالَ: يُجْزِئُ مِنَ الْبُرِّ نِصْفُ صَاعٍ، ثُمَّ
اخْتَلَفُوْا فِي قَدْرِ الصَّاعِ، فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَاَحْمَدُ
وَأَبُوْ يُوْسُفَ: هُوَ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلْثٌ بِاْلعِرَاقِيّ، وَقَالَ
أَبُوْ حَنِيْفَةَ: ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ.
Kitab
Rahmah al-Ummah Fi Ikhtilaf al-A’immah, hlm 87:
“Ulama’ bersepakat
bahwa yang wajib dikeluarkan (dalam zakat fitrah) adalah satu sho’ dengan
takaran sho’-nya Rasulullah SAW dari setiap jenis dari lima jenis makanan
pokok, kecuali menurut Abu Hanifah yang berkata: zakatnya gandum putih adalah
setengah sho’. Akan
tetapi ulama’ berbeda pendapat tentang ukuran satu sho’. Menurut Imam Syafi’i,
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Abu Yusuf (ulama’ Hanafiah) : satu sho’ sama dengan
5 rithl Iraq. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah
adalah 8 rithl.”
اِتْحَافُ السَّادَةِ الْمُتَّقِيْنَ: 4/ 54
(فَصْلٌ) وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٌ
الصَّاعُ النَّبَوِيُّ ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ بِالْبَغْدَادِيّ... وَخَالَفَ فِي
ذَلِكَ أَخَرُوْنَ فَقَالُوْا وَزْنُهُ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلْثُ رِطْلٍ،
وَمِمَّنْ قَالَ بِذَلِكَ أَبُوْ يُوْسُفَ.
Kitab
Ittihaf as-Saadat al-Muttaqiin, Juz 4, hlm 54:
“(Pasal) Imam Abu Hanifah dan Syaikh
Muhammad mengungkapkan bahwa satu sho’-nya Nabi adalah 8 rithl Bagdad….. Ulama’
yang lain berbeda pendapat akan hal ini dengan mengatakan bahwa : “satu sho’
adalah 5 rithl, diantara yang mengungkapkan hal ini
adalah Imam Abu Yusuf.”
4. Shalat dalam Kondisi Sakit
Shalat
fardlu lima waktu merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan dalam
kondisi dan situasi bagaimanapun. Namun demikian, syara’ telah memberikan beberapa
solusi dan cara bagi orang yang berada dalam kondisi tidak normal atau di luar
lazimnya untuk tetap melaksanakan kewajiban salat tersebut, seperti dalam
keadaan sakit, perjalanan dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, sering kita
temukan orang yang menderita sakit stroke (gangguan aliran darah) dengan
berefek pada ketidakstabilan kesadaran dan kondisi tubuhnya.
Pertanyaan:
a. Bagaimana hukum salat dan puasanya
orang yang menderita penyakit stroke dengan kondisi yang tidak menentu,
terkadang ia sadar atau mampu untuk melakukan gerakan salat dan terkadang
sebaliknya? Apakah ia tetap wajib untuk shalat/puasa ataukah tidak?
b. Bagaimana cara bersuci dan shalatnya
orang dalam kondisi tersebut?
Jawaban:
a.
Puasanya
tetap dihukumi wajib, sehingga jika ia tidak berpuasa maka wajib untuk meng-qadla’-nya.
Sedangkan dalam masalah shalat, jika kesadarannya itu berlangsung lama yang kiranya mencukupi untuk melaksanakan shalat ( جاء
المانع ), namun dia belum sempat melaksanakan maka ia tetap diwajibkan meng-qodho’ shalat, dan
sebaliknya jika masa kesadarannya itu tidak mencukupi untuk melaksanakan shalat
maka ia tidak wajib meng-qadla’ lantaran meninggalkan salat pada waktu
itu. Dan apabila sebelum masuk waktu
dia tidak sadarkan diri kemudian dia sadar sebelum habis waktu sholat ( زوال المانع ), sekiranya waktu yang tersisa masih mencukupi untuk
takbirotul ihrom maka dia wajib meng-qodho’ sholat itu dan shalat sebelumnya
bila bisa dijama’.
تخفة المختاج:
5/16
( قَوْلُهُ : أَوْ ذِي جُنُونٍ ، أَوْ إغْمَاءٍ إلَخْ ) سَوَاءٌ
قَلَّ زَمَنُ ذَلِكَ أَمْ طَالَ وَإِنَّمَا وَجَبَ قَضَاءُ الصَّوْمِ عَلَى
مَنْ اسْتَغْرَقَ إغْمَاؤُهُ جَمِيعَ النَّهَارِ لِمَا فِي قَضَاءِ الصَّلَاةِ
مِنْ الْحَرَجِ لِكَثْرَتِهَا بِتَكَرُّرِهَا بِخِلَافِ الصَّوْمِ نِهَايَةٌ
وَمُغْنِي ( قَوْلُهُ : أَوْ سُكْرٍ ) وَمِثْلُ مَا ذُكِرَ الْمَعْتُوهُ ،
وَالْمُبَرْسَمُ مُغْنِي وَنِهَايَةٌ وَشَرْحُ بَافَضْلٍ وَفِي الْقَامُوسِ
الْمَعْتُوهُ هُوَ نَاقِصُ الْعَقْلِ ، أَوْ فَاسِدُهُ ، وَالْمُبَرْسَمُ هُوَ
الَّذِي أَصَابَتْهُ عِلَّةٌ يَهْذِي فِيهَا.
Kitab
Tuhfah Al-Mukhtaj, Juz 5, hlm 16:
“Memang wajib
mengqodho’ puasa bagi seseorang yang pingsannya selama seharian penuh karena
adanya kesusahan dalam mengqodho’ sholat dikarenakan banyak serta
berulang-ulangnya sholat, lain halnya dengan ibadah puasa.
Seperti hukum di atas
adalah orang yang kurang atau rusak akalanya dan orang yang mengidap penyakit
radang selaput dada yang bisa mengakibatkan orang mengigau (ngelantur: jawa).”
اَلْفِقْهُ عَلَى الْمَذَاهِبِ الاَرْبَعَةِ: 1/87
اَلثَّانِي : التَّمْيِيْزُ فَلاَ يَصِحُّ مِنْ غَيْرِ
مُمَيِّزٍ فَإِنْ كَانَ مَجْنُوْنًا لاَ يَصِحُّ صَوْمُهُ وَإِنْ جَنَّ لَحْظَةً
مِنْ نَهَارٍ وَإِنْ كَانَ سَكْرَانَ أَوْ مُغْمًى عَلَيْهِ لاَ يَصِحُّ
صَوْمُهُمَا إِذَا كَانَ عَدَمُ التَّمْيِيْزِ مُسْتَغْرِقًا لِجَمِيْعِ
النَّهَارِ أَمَّا إِذَا كَانَ فِي بَعْضِ النَّهَارِ فَقَطْ فَيَصِحُّ وَيَكْفِي
وُجُوْدُ التَّمْيِيْزِ وَلَوْ حُكْمًا فَلَوْ نَوَى الصَّوْمَ قَبْلَ الْفَجْرِ
وَنَامَ إِلَى اْلغُرُوْبِ صَحَّ صَوْمُهُ لِأَنَّهُ مَمَيِّزٌ حُكْمًا.
Kitab
Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, hlm 87:
“Yang kedua Tamyiz:
maka tidak sah berpuasa bagi selain tamyiz. Apabila
seseorang itu gila maka tidak sah puasnya walaupun gilanya hanya sebentar,
apabila mabuk atau tidak sadarkan diri maka tidak sah puasanya apabila tidak
sadarnya itu selama sehari penuh, dengan demikian bila mana mereka mendapatkan
tamyiz di sebagian hari saja maka sah puasnya, dan dalam permasalahan tamyiz
ini cukup dengan adanya tamyiz walaupun
sebatas hukum, andai kata seseorang berniat puasa sebelum fajar lalu dia tidur
sampai magrib maka puasanya sah karena orang tersebut tamyiz secara hukum.”
رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1/170
أَمَّا إِذَا كَانَ الْمَاضِي مِنَ اْلوَقْتِ لاَ يَسَعُ
تِلْكَ الصّلاَةَ فَلاَ يَجِبُ عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ
قَطَعَ الْجَمَاهِيْرُ
وَقاَلَ أَبُوْ يَحْيَى الْبَلْخِي وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا حُكْمُ أَوَّلِ
الْوَقْتِ حُكْمُ آخِرِهِ فَيَجِبُ اْلقَضَاءُ بِإِدْرَاكِ رَكْعَةٍ أَوْ
تَكْبِيْرَةٍ عَلَى اْلأَظْهَرِ.
Kitab
Roudhoh al-Tholibin, Juz I, hlm 170:
“Andai kata waktu yang
telah lampau tidak muat untuk melaksanakan sholat maka qodho’ sholat tersebut
tidak wajib menurut madzab syafi’i yang juga dipastikan oleh mayoritas ulama,
Abu Yahya al-Balkhiy dan sebagian penganut syafi’i mengatakan bahwasannya hukum
diawal waktu itu seperti hukum diakhir waktu dengan demikian wajib mengqodho’
sholat karena mendapatkan waktu yang cukup untuk sholat satu rokaat atau
takbirotul ihrom berdasarkan qoul yang lebih jelas.”
سلم التوفيق 1 /
72
فَاِنْ طَرَأَ مَانِعٌ كَحَيْضٍ بَعْدَ مَامَضَى مِنْ
وَقْتِهَا مَا يَسَعُهَا وَطُهْرُهَا لِنَحْوِ سَلِسٍ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا اَوْ
زَالَ الْمَانِعُ وَقَدْ بَقِيَ مِنَ اْلوَقْتِ قَدْرَ تَكْبِيْرَةٍ لَزِمَتْهُ
وَكَذَا مَا قَبْلَهَا اِنْ جُمِعَتْ مَعَهَا .
Kitab Sulam
al-Taufiq, Juz I, hlm 72:
“Apabila dating sesuatu
untuk menghalangi untuk sholat seperti haid setelah lewatnya waktu yang cukup
untuk melaksanakan sholat, dan cukup untuk bersuci bagi orang yang selalu
hadats maka wajib meng-qodho’ sholat tersebut, atau hilangnya sesuatu yang
menghalangi sholat dan masih tersisi waktu yang cukup untuk takbirotul ihrom
maka wajib melaksanakan sholat tersebut dan sholat sebelumnya apabila bisa
dijama’.”
b.
Bersuci
dalam kondisi di atas diperbolehkan dengan mengusapkan kain yang telah dibasahi
kepada anggota yang sakit, dengan syarat air basahan kain tersebut bisa menetes
pada anggota wudlu’.
شَرْحُ
الْوَجِيْزِ:2/295
(اَلْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ) وَيَخَافَ مِنْ اِيْصَالِ الْمَاءِ
إِلَيْه فَيُغْسَلُ الصَّحِيْحُ بِقَدْرِ
اْلاِمْكَانِ وَيُتَلَطَّفُ إِذَا خَافَ سَيْلاَنَ الْمَاءِ إِلَى مَوْضِعِ
اْلعِلَّةِ بِوَضْعِ خِرْقَةٍ مَبْلُوْلَةٍ بِالْقُرْبِ مِنْهُ وَيَتَحَامَلُ
عَلَيْهَا لِيَنْغَسِلَ بِالْمُتَقَاطِرِ مِنْهَا
Kitab Syarh
al-Wajiz, Juz 2, hlm 290:
“Masalah kedua :
mutawadhi khawatir akan mengalirnya air pada luka, orang ini harus
membasuh anggota yang sehat semampunya. Dan pelan-pelan dengan meletakkan
kain yang dibasahi didekat anggota yang sakit serta menekan sedikit supaya
anggotanya terbasuh dengan tetesan air tersebut, bila mana dia takut untuk
menalirkan air.”
فَتَاوَى
السُّبْكَةِ اْلاِسْلاَمِيَّةِ: 130/296
وَقَالَ آخَرُوْنَ وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِنَا
وَعَامَّةُ الْفُقَهَاءِ: (عَلَيْهِ
إِجْرَاءُ الْمَاءِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ دَلْكُهُ بِيَدِهِ ).
Kitab
Fatawi al-Sabkah al-Islamiyah, Juz 130, hlm 296:
“Berkata ulama’ yang
lain yaitu pendapat ulama’ Syafi’iyah dan seluruh ulama’ fiqh bahwa wajib atas
orang yang wudhu untuk mengalirkan air pada anggota wudhu, dan tidak dicukupkan
hanya sekedar menggosok dengan tangan.”
5. Qadha’ (membayar hutang) Shalat
Fenomena
yang banyak kita temukan di masyarakat adalah sikap antusias mereka di dalam
menyambut datangnya bulan Ramadlan, seperti dengan berbondong-bondong pergi ke
masjid untuk melaksanakan salat sunah tarawih berjamaah, meskipun mungkin ada
di antara mereka yang sesekali bahkan sering meninggalkan salat fardlu lima
waktu, terutama pada bulan selain Ramadlan.
Pertanyaan:
a. Berdasarkan kitab I’anah
al-Thalibin (Hasyiyah Fath al-Mu’in) Juz 1 hal. 23 (cet. Toha Putra
Semarang), bahwa orang yang masih mempunyai tanggungan untuk meng-qadha’ (membayar
hutang) shalat, ia diharamkan untuk melakukan shalat sunnah, seperti tarawih.
Adakah pendapat yang memperbolehkannya, meskipun masih memiliki tanggungan qhadha’
tersebut?
b. Bagaimana cara meng-qhadha’
shalat yang jumlahnya tidak diketahui atau lupa?
Jawaban:
a. Ada, yaitu keterangan dalam kitab
Al-Majmu’, bahwa seseorang yang masih mempunyai tanggungan sholat fardhu sah
dan mendapatkan pahala bila melaksanakan sholat-sholat sunnah.
اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحَ
الْمُهُذَّبِ : 4 / 57
(فَرْعٌ) تَصِحُّ النَّوَافِلُ وَتُقْبَلُ وَاِنْ
كَانَتِ الْفَرَائِضُ نَاقِصَةً لِحَدِيْثَيْ اَبِي هُرَيْرَةَ وَتَمِيْمٍ
الدَّارِيّ السَّابِقَيْنِ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ التَّاسِعَةِ وَالْعَاشِرَةِ:
وَأَمَّا الْحَدِيْثُ الْمَرْوِيُّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "مثل الْمُصَلِّي مِثْلُ
التَّاجِرِ لاَ يَخْلُصُ لَهُ رِبْحُهُ حَتىَّ يَخْلُصَ
رَأْسُ مَالِهِ كَذَلِكَ الْمُصَلِّي لاَ تُقْبَلُ نَافِلَتُهُ حَتىَّ يُؤَدِّيَ
الْفَرِيْضَةَ" فَحَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ بَيَّنَ الْبَيْهَقِيّ وَغَيْرُهُ
ضُعْفَهُ.
Kitab
Al-Majmu’ Syarh al-Muhdzdzab, Juz 4, hlm 57:
“(Far’) Sholat-sholat
sunnah berhukum sah dan diterima walaupun masih memiliki kekurangan (dalam
meng-qodho’) sholat fardhu karna berdasarkan hadits Abu Hurairah dan Tamimi
Ad-Dari yang telah disebutkan dalam masalah kesembilan dan kesepuluh : “
perumpamaan orang yang sholat seperti pedagang yang tidak akan bersih labanya
sehingga bersih modalnya, begitu juga orang yang sholat tidak diterima sholat
sunnahnya sehingga dia melaksanakan sholat wajib. Maka ini Hadits Dho’if, Imam Baihaqi
dan yang lain menjelaskan ke-dho’ifan hadits tersebut.”
b.
Jika
kepastian jumlah shalat yang ditinggalkan tidak diketahui, maka wajib meng-qadla
shalat sejumlah yang diyakini ditinggalkan atau tidak diragukan.
Namun menurut qaul mu’tamad,
wajib mengqadla’ shalat yang ditinggalkan dengan melebihi jumlah yang diyakini, yaitu dengan membandingkannya dengan jumlah shalat yang telah dilaksanakan. (misalnya; dalam sebulan ia
yakin shalat sebanyak 10 hari, maka dia wajib mengqadla’ shalat melebihi 20 hari).
الشَّرْقَاوِيّ:1/275
– 276
لَوْكَانَ عَلَيْهِ فَوَائِتُ وَاَرَادَ قَضَاؤَهَا
سُنَّ تَرْتِيْبُهَا ... وَاِذَا كَانَ لاَيَعْرِفُ عَدَدَهَا فَقَالَ
الْقَفَّالُ يَقْضِيْ مَا تَحَقَّقَ تَرْكُهُ اَيْ فَلاَ
يَقْضِي الْمَشْكُوْكَ فِيْهِ، وَقَالَ الْقَاضِيْ حُسَيْنٌ
يَقْضِيْ مَا زَادَ عَلَى مَا تَحَقَّقَ فِعْلُهُ
فَيَقْضِي مَا ذُكِرَ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. اهـ
Kitab
Al-Syarqowiy, Juz 1, hlm 275-276:
“Apabila seseorang mempunyai beberapa
hutang shalat, dan ia bermaksud untuk meng-qadha’ maka disunnahkan meg-qadah’
sesuai urutan shalat. Dan apabila ia tidak mengetahui jumlah hutang shalatnya
maka menurut Imam Qofal dia wajib meng-qadha’ shalat yang diyakini ditinggalkan
artinya dia tidak meng-qadha’ shalat yang diragukan ditinggalkan. Al-Qodhi
Husain berkata: “dia diwajibkan meng-qadha’ dengan jumlah yang melebihi dari
shalat yang yakin dikerjakan. Pendapat ini adalah pendapat yang kuat.”
6.
Aqiqah
Jika ada seorang yang
beraqiqah dengan 7 ekor kambing (misalnya; untuk 3 anak laki-laki dan 1 anak
perempuan), bolehkan ia menggantinya dengan 1 ekor sapi, sebagaimana hitungan
dalam masalah qurban?
Jawaban:
Aqiqah dengan 1 ekor sapi seperti di
atas diperbolehkan dan sah.
اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ
الْمُهَذَّبِ: 8 /429
(اَلثَّانِيَةُ) اُلسُّنَةُ أَنْ يُعَقَّ عَنِ الْغُلاَمِ
شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. فَاِنْ عُقَّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاةٌ
حَصَلَ أَصْلُ السُّنَةِ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَلَوْ وُلِدَ لَه وَلَدَانِ
فَذُبِحَ عَنْهُمَا شَاةٌ لَمْ تَحْصُلْ العَقِيْقَةُ وَلَوْ ذَبَحَ بَقَرَةً
أَوْ بَدَنَةً عَنْ سَبْعَةِ أَوْلاَدٍ أَوِ اشْتَرَكَ فِيْهَا جَمَاعَةٌ جَازَ
سَوَاءٌ أَرَادُوْا كُلُّهُمْ العَقِيْقَةَ أَوْ أَرَادَ بَعْضُهُمْ العَقِيْقَةَ
وَبَعْضُهُمْ اللَحْمَ كَمَا سَبَقَ فِي اْلاُضْحِيَةِ.
Kitab
Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 8, hlm 429:
“Yang kedua: “ sunnah membuat aqiqoh
dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan. Apabila
membuat aqiqoh satu kambing untuk anak laki-laki maka sudah mendapat
kesunnahan. Apabila seseorang dikaruniai dua anak kemudian menyembelih satu
kambing maka belum dianggap aqiqoh. Dan apabila seseorang menyembelih seekor
sapi atau unta untuk tujuh anak, atau sekelompok orang bersama-sama menyembelih
seekor sapi atau unta maka hal tersebut boleh, baik mereka semua bertujuan
untuk aqiqoh, atau sebagian bertujuan aqiqoh dan sebagian yang lain sekedar
mengambil dagingnya. Seperti telah dijelaskan dalam bab qurban.”
7. Fidyah dan Kafarat Puasa
a. Terhadap kakek yang tidak mampu lagi
berpuasa Ramadhan, bolehkah membayar semua fidyah-nya sekaligus pada
awal bulan Ramadhan?
Jawaban:
a.
Diperbolehkan
membayar Fidyah setiap hari setelah keluarnya fajar.
اَلْمَوْسُوْعَةُ اْلفِقْهِيَّةُ : 2/11539
وَقَالَ النَّوَوِيُّ : اِتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى
أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ للِشَّيْخِ الْعَاجِزِ وَالْمَرِيْضِ الَّذِيْ لاَ يُرْجَى
بَرَؤُهُ تَعْجِيْلُ الْفِدْيَةِ قَبْلَ دُخُوْلِ رَمَضَانَ، وَيَجُوْزُ بَعْدَ
طُلُوْعِ فَجْرِ كُلِّ يَوْمٍ
وَهَلْ يَجُوْزُ قَبْلَ الْفَجْرِ فِيْ رَمَضاَنَ ؟
قَطَعَ الدَّارِمِيّ بِالْجَوَازِ وَهُوَ الصَّوَابُ.
Kitab
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, Juz 2, hlm 11539:
“Imam Nawawi berkata:
ulama’ Syafi’iyah sepakat bahwa seorang yang tidak mampu lagi serta orang yang
sakit yang tidak lagi diharapkan sembuhnya tidak boleh mempercepat membayar
fidyah sebelum masuk romadhon, namun diperbolehkan membayar setelah fajar untuk
tiap harinya. Apakah
boleh dibayarkan sebelum fajar ? Imam Al-Darimiy berkata boleh.”
8. Wakaf Masjid
Di suatu
daerah telah berdiri sebuah masjid tanpa memiliki halaman. Melihat kondisi
seperti itu, seorang warga setempat mewakafkan tanahnya yang berada di dekat
masjid tersebut, yang kemudian tanah tersebut didirikan masjid baru.
Sedangkan lokasi masjid yang lama
dijadikan halamannya.
Pertanyaan:
Bagaimana
status halaman bekas masjid lama tersebut? Dan bagaimana status wakafnya,
apakah masih sebagai Amal Jariyah atau tidak?
Jawaban: Tetap menjadi tanah wakaf, dan
menjadi amal jariyahnya
فَتْحُ الْمُعِيْنِ:
211
(وَلاَ يُبَاعُ مَوْقُوْفٌ وَإِنْ خَرِبَ) فَلَوِ انْهَدَمَ
مَسْجِدٌ وَتَعَذَّرَتْ إِعَادَتُهُ: لَمْ يُبَعْ، وَلاَ يَعُوْدُ مِلْكًا
بِحَالٍ- ِلاِمْكَانِ الصَّلاَةِ وَاْلاِعْتِكَافِ فِي أَرْضِهِ.
Kitab
Fath al-Mu’in, hlm 211:
“Dan tidak
diperbolehkan menjual barang yang di-waqof-kan walaupun roboh, maka apabila ada
masjid roboh dan tidak bisa dikembalikan maka tidak boleh dijual dan tidak
kembali menjadi milik waqif, karena masih bisa shalat dan I’tikaf ditanah
tersebut.”
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik