KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL KE IV Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM-PWNU) Sumatera Selatan
KEPUTUSAN
BAHTSUL MASAIL KE IV
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul
Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di
PP. Darus Syafa’at Tugu Jaya - Lempuing - OKI
Hari / Tanggal: Sabtu, 8 Januari 2011 M. / 3 Safar 1432 H.
1. Gunung
Merapi
Meletusnya gunung
merapi menyisakan duka yang mendalam karena memakan banyak korban jiwa lebih
dari 100 orang meninggal dunia, penyebab mereka tidak mau mengungsi antara
lain, lantaran yakin mereka akan selamat, sebagian karena menunggu bisikan gaib
dari penjaga gunung merapi, padahal pemerintah telah memberikan instruksi agar
mengungsi, akhirnya mereka gugur diterjang awan panas.
Pertanyaan:
Kematian mereka apakah termasuk mati
syahid ? atau tergolong bunuh diri ?
( PCNU MUBA )
Jawab:
Termasuk mati syahid apabila yakin mereka akan
selamat, meskipun sikap tersebut mengabaikan instruksi pemerintah yang
mengharuskannya untuk mengungsi. Pendapat ini bertentangan dengan al-aujah
(pendapat yang lebih unggul) kerena sikap yang diambil mereka tergolong
perilaku maksiat (membangkang kepada pemerintah).
أسنى المطالب شرح روضة الطالبين: 22 / 415
قَالَ شَيْخُنَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لِلَّعِبِ بِالْحَيَّاتِ
وَمَشْيُ الْبَهْلَوَانِ كَرُكُوبِ الْبَحْرِ إنْ غَلَبَتْ السَّلَامَةُ جَازَ
وَإِلَّا حَرُمَ.
Kitab
Asna Matholib Syarh Roudhoh al-Tholibin, Juz 22, hlm 415:
“Syaikhuna (Ibnu hajar)
telah berkata: selayaknya diperbolehkan bagi seorang untuk bermain ular, bermain
sirkus sebagaimana naik perahu didalam laut bila mana dia yakin akan selamat
dalam permainan tersebut, namun bila tidak yakin selamat maka hukumnya haram.”
تحفة المحتاج في شرح المنهاج: 41
/ 32
) قَوْلُهُ وَإِلَّا ) وَمِنْهُ الْبَهْلَوَانُ وَإِذَا مَاتَ
يَمُوتُ شَهِيدًا وَقَوْلُهُ حَلَّ
Kitab Tuhfah
al-Muhtaj Fi Syarh al-Minhaj, Juz 41, hlm 32:
“Termasuk permainan tersebut adalah
sirkus, andaikata
dia mati karena permainan ini maka matinya adalah mati syahid.”
تخفة المحتاج: 8/ 237
وَالشَّهِيدُ
إمَّا شَهِيدُ الْآخِرَةِ فَقَطْ وَهُوَ كُلُّ مَقْتُولٍ ظُلْمًا أَوْ مَيِّتٌ
بِنَحْوِ بَطَنٍ كَالْمُسْتَسْقَى وَغَيْرِهِ خِلَافًا لِمَنْ قَيَّدَهُ
بِالْأَوَّلِ أَوْ طَعْنٍ أَوْ غَرَقٍ أَوْ غُرْبَةٍ وَإِنْ عَصَى بِرُكُوبِهِ
الْبَحْرِ أَوْ بِغُرْبَتِهِ كَمَا قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ خِلَافًا لِمَنْ
قَيَّدَهَا بِالْإِبَاحَةِ أَوْ طَلْقٍ وَلَوْ مِنْ حَمْلِ زِنًا قِيَاسًا عَلَى
ذَلِكَ وَإِنْ اسْتَثْنَى الْحَامِلَ الْمَذْكُورَةَ ، فَأَيُّ فَرْقٍ بَيْنَهَا
وَبَيْنَ مَنْ رَكِبَ الْبَحْرَ لِيَشْرَبَ الْخَمْرَ وَمَنْ سَافَرَ آبِقًا أَوْ
نَاشِزَةً ، وَالْأَوْجَهُ فِي ذَلِكَ أَنْ يُقَالَ : إنْ كَانَ الْمَوْتُ
مَعْصِيَةً كَأَنْ تَسَبَّبَتْ فِي إلْقَاءِ الْحَمْلِ فَمَاتَتْ أَوْ رَكِبَ
الْبَحْرَ وَسَيَّرَ السَّفِينَةَ فِي وَقْتٍ لَا تَسِيرُ فِيهِ السُّفُنُ فَغَرِقَ
لَمْ تَحْصُلْ لَهُ الشَّهَادَةُ لِلْعِصْيَانِ بِالسَّبَبِ الْمُسْتَلْزِمِ
لِلْعِصْيَانِ بِالْمُسَبِّبِ ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ السَّبَبُ مَعْصِيَةً حَصَلَتْ
الشَّهَادَةُ وَإِنْ قَارَنَهَا مَعْصِيَةٌ ؛ لِأَنَّهُ لَا تَلَازُمَ بَيْنَهُمَا
Kitab Tuhfah
al-Muhtaj, Juz 8, hlm 237:
“( قوله او
طعن
) Termasuk mati syahid lagi yaitu orang
yang mengedap peyakit tho’un, tengelam, hilang, walaupun naik perahu dan
hilangnya itu karena maksiat, seperti yang difatwakan oleh Imam Zarkasih.
( قوله
والاوجه ) yang lebih aujah dalam permasalahan
tersebut ialah sekira diucapkan apabila matinya karena maksiat seperti mati
yang disebabkan menggugurkan kandungan, atau mati yang disebabkan naik perahu yang
pada umumnya tidak ada yang naik perahu maka mati tersebut tidaklah syahid
karena maksiatnya dengan sebab yang mengharuskan bermaksiat pada musabab (yang
disebabkan),dan adai kata sababnya itu adalah tidak maksiat maka matinya adalah
syahid walapun bersamaan degan maksiat dikarenakan orang tersebut tidak menetap
diantara sebab dan musabab."
2. Gadai
Sawah
Dewasa ini
sering terjadi istilah mengadaikan sawah dengan contoh Pak ali menggadaikan
sawah seluas 1 Ha pada pak joko, karena pak ali hutang Rp.50 juta pada pak
joko, dan sudah menjadi kebiasaan selama pak ali belum melunasi hutangnya sawah
itu masih di kelola dan diambil hasilnya oleh pak joko.
Pertanyaan
Bolehkah transaksi seperti diskripsi
diatas ? kalau tidak boleh bagaimana solusinya ?
( PCNU OKUT )
Jawab:
Tidak boleh apabila hal
tersebut dinyatakan dalam akad, kecuali jika pak Ali (pemilik sawah)
mempersilahkan kepada pak Joko untuk menggarap sawahnya.
حاشيتا قليوبي وعميرة: 7/ 359
( وَإِنْ نَفَعَ ) الشَّرْطُ (
الْمُرْتَهِنَ وَضَرَّ الرَّاهِنَ كَشَرْطِ مَنْفَعَتِهِ ) أَيْ الْمَرْهُونِ
أَوْ زَوَائِدِهِ ( لِلْمُرْتَهِنِ بَطَلَ الشَّرْطُ ، وَكَذَا الرَّهْنُ فِي
الْأَظْهَرِ ) لِمَا فِيهِ مِنْ تَغْيِيرِ قَضِيَّةِ
الْعَقْدِ .
Kitab Hasiyah Qulyubi Wa ‘Amiroh, Juz 7, hlm 359:
“Andai kata
syarat itu bermanfat bagi murtahin (orang yang menerima gadai/ orang yang menghutangi)
namun merugikan rohin (yang hutang) seperti manfaatnya marhun (barang yang
digadaikan) atau perkembaganya marhun yang diperuntukan bagi murtahin maka
syarat tersebut hukumnya batal, demikianjuga penggadainya menurut fatwa yang lebih
jelas karena disana terdapat perubahan tuntutan akad (teransaksi).”
الفتاوى الفقهية الكبرى:2/ 280
وَسُئِلَ إذَا
قُلْتُمْ إنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ في يَدِ الْمُرْتَهِنِ وَلَا يَسْقُطُ بِذَلِكَ
شَيْءٌ من دَيْنِهِ وكان الْمَرْهُونُ مَثَلًا
غِرَاسًا وَالْمُرْتَهِنُ يَأْكُلُ ثِمَارَهَا مُدَّةً مَدِيدَةً فَهَلْ
لِلرَّاهِنِ مُطَالَبَةُ الْمُرْتَهِنِ بِمَا أَكَلَ من الثِّمَارِ أَمْ لَا
فَأَجَابَ إنْ أَبَاحَ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ الثِّمَارَ إبَاحَةً
صَحِيحَةً لم يَكُنْ له الرُّجُوعُ عليه بِشَيْءٍ
Kitab Al-Fatawi Al-Fiqhiyah Al-Kubro, Juz 2, hlm 280:
“( قو له و اجاب ) shohibul fatawi menjawab andai sang rohin memperbolehkan
pada murtahin untuk mengambil buah degan kewenagan yang sah maka rohin tidak
boleh menutut pada murtahin sedikit pun.”
حاشية الجمل: 12/ 140
( قَوْلُهُ : وَفَسَدَ بِشَرْطِ إلَخْ ) وَمَعْلُومٌ
أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ إذَا وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ أَمَّا لَوْ
تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلَا فَسَادَ. ا هـ
Kitab
Hasyiyah al-Qulyubi, Juz 12, hlm 140:
“Sunguhnya
telah diketahui bahwasanya letak kerusakanya itu adalah apabila syarat tersebut
terjadi didalam akad, degan demikian apabila diantara rohin dan murtahain
saling sepakat untuk mempergunakan marhun sedangkan dalam akad tidak
menyebutkan syarat tersebut maka peggadaian tersebut tidaklah rusak.”
3. Qurban
Zaid berkata pada Bakar “kambing ini aku buat Qurban”,
perkataan tersebut menurut sebagian Ustadz sudah termasuk Nadzar, meskipun
orang yang berkata tersebut tidak tahu kalau perkataan itu sudah menyebabkan
Nadzar.
Pertanyaan:
Apakah
benar perkataan Zaid kepada Bakar tersebut termasuk Nadzar? Dan apakah
juga mencakup Aqiqoh?
(PCNU Banyuasin, PCNU OKUT)
Jawab:
Khilaf (berbeda pendapat) di kalangan ulama. Ada yang berpendapat contoh tersebut di atas sudah termasuk nadzar, dan
ada yang mengatakan tidak.
بغية المسترشدين: 1/ 548
(مسألة :
ب) : ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّ مَنْ قَالَ : هَذِهِ أُضْحِيَةٌ أَوْ هِيَ
أُضْحِيَةٌ أَوْ هَدْيٌ تَعَيَّنَتْ وَزَالَ مِلْكُهُ عَنْهَا، وَلَا يَتَصَرَّفُ
إِلَّا بِذَبْحِهَا فِي الْوَقْتِ وَتَفْرِقَتِهَا ، وَلَا عِبْرَةَ بِنِيَّتِهِ
خِلَافَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ صَرِيْحٌ ، قَالَ الأَذْرَعِيّ: كَلَامُهُمْ ظَاهِرٌ
فِي أَنَّهُ إِنْشَاءٌ وَهُوَ بِالْإِقْرَارِ أَشْبَهٌ ، وَاسْتَحْسَنًهُ فِي
الْقَلَائِدِ قَالَ : وَمِنْهُ يُؤْخَذُ أَنَّهُ إِنْ أَرَادَ أَنِّي أُرِيْدُ
الْتَضْحِيَةَ بِهَا تَطَوُّعاً كَمَا هُوَ عُرْفٌ الْنَاسِ الْمُطَّرِدُ فِيْمَا
يَأْخُذُوْنَهُ لِذَلِكَ حُمَّلَ عَلَى مَا أَرَادَ ، وَقَدْ أَفْتَى
البُلْقِيْنِيّ والْمَرَاغِيّ بِأَنَّهَا لَا تَصِيْرُ مَنْذُوْرَةً بِقَوْلِهِ :
هَذِهِ أُضْحِيَتِيْ بِإِضَافَتِهَا إِلَيْهِ ، وَمِثْلُهُ : هَذِهِ عَقِيْقَةُ
فُلَانٍ
Kitab Bughyah
al-Mustarsyidin, Juz I, hlm 548:
“Imam Adro’iy berkata: pendapat para
ulama’ telah jelas bahwasanya kalimat tersbut adalah insa’ dimana insa’
tersebut lebih serupa degan ikrar (pengakuan), yang telah dinilai baik oleh
shohibul qolaid dan ia berkata begini: dari sana bisa diambil faham bahwasanya
andai kata orang yang hendak berkorban tersebut berkata: aku bermaksud berkorban
sunnat sebagai mana kebiasan kebanyakan orang yang sudah sering terjadi dalam
permasalahan tersebut,maka ucapan tersebut ditangguhkan pada apa yang
dikehendaki. Dan Imam Bulqini dan
Al-Maroghi berkata seseungguhnya tidaklah menjadi nadzar ucapan seseorang :
“ini kurban ku”. Dengan menyandarakan kata kurban kepadanya.”
Seperti hukum di atas: ini adalah aqiqohnya Fulan.
الموسوعة الفقهية: 40/140
وَلاَ خِلاَفَ
بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّ مَنْ نَذَرَ فَصَرَّحَ فِي صِيغَتِهِ
اللَّفْظِيَّةِ أَوِ الْكِتَابِيَّةِ بِلَفْظِ ( النَّذْرِ ) أَنَّهُ يَنْعَقِدُ
نَذْرُهُ بِهَذِهِ الصِّيغَةِ ، وَيَلْزَمُهُ مَا نَذَرَ . وَإِنَّمَا
الْخِلاَفُ بَيْنَهُمْ فِي صِيغَةِ النَّذْرِ إِذَا خَلَتْ مِنْ لَفْظِ (
النَّذْرِ ) كَمَنْ قَال : لِلَّهِ عَلَيَّ كَذَا ، وَلَمْ يَقُل نَذْرًا
Kitab
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, Juz 40, hlm 140:
“Ulama’ tidak khilaf menyikafi orang
yang nadzar dan ia menjelaskan kalimat nadzar baik diucapkan atau ditulis, Sungguhnya
nadzarnya dengan kalimat tersebut sah, perbedaan para ulama’adalah tentang sighot
(kalimat) nadzar ketika perkatan tersebut tidak terdapat kalimat nadzar seperti
orang yang berkata : demi allah aku puya kewajiban kepadanya sekian.”
4. Renovasi
Masjid
Setiap renovasi masjid selalu
menyisakan material bekas masjid seperti genting, batu bata, kayu dll. Sebagian
dari material tersebut ada yang berupa sumbangan, waqofan, dan ada yang di beli
dari kas masjid. Material-material tersebut sebagian dimanfaatkan untuk
sekolahan, mushola, dan bahkan ada yang digunakan untuk menimbun jalan atau
untuk tempat mencuci kaki (jawa;
jeding).
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya menggunakan
bekas material masjid sebagaimana diskripsi diatas ?
(PCNU OKI)
Jawab: Tidak diperbolehkan
apabila masih dibutuhkan untuk masjid
tersebut, jika tidak maka digunakan untuk masjid terdekat, jika masjid-masjid
tidak lagi membutuhkan maka boleh diginakan untuk pesantren, sumur dll.
إعانة الطالبين:
3/181
(قوله: وَلَا يُعَمَّرُ بِهِ غَيْرُ جِنْسِهِ) أَيْ وَلَا يُعَمَّرُ
بِالْنَقْضِ مَا هُوَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْمَسْجِدِ (وقَوْلُهُ كَرِبَاطٍ وبِئْرٍ) تَمْثِيْلٌ لِغَيْرِ جِنْسِ الْمَسْجِدِ وَقَوْلُهً كَالْعَكْسِ هُوَ أَنْ لَا
يُعَمَّرَ بِنَقْضِ الْرِبَاطِ وَالْبِئْرِ غَيْرُ الْجِنْسِ كَالْمَسْجِدِ ( قوله
إِلَّا إِذَا تَعَذَّرَ جِنْسُهُ ) أَيْ فَإِنَّهُ يُعَمَّرُ بِهِ غَيْرُ
الْجِنْسِ ( قوله وَالَذِي يُتَّجَهُ تَرْجِيْحُهُ الخ ) فِي سِمٍّ مَا نَصَّهُ
الَذِي اِعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا الْشِهَابُ الْرَمْلِي أَنَّهُ إِنْ تُوُقِّعَ
عَوْدُهُ حُفِظَ وإِلَّا صَرَّفَهُ لِأَقْرَبِ الْمَسَاجِدِ وَإِلَّا
فَلِلْأَقْرَبِ إِلَى الْوَاقِفِ وإِلَّا فَلِلْفُقَرَاءِ والْمَسَاكِيْنِ أَوْ
مَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ
Kitab I’anah al-Tholibin,
Juz 3, hlm 181:
“Bahan bekas yang dari masjid tidak boleh dipergunakan
untuk memperbaiki bagunan-bagunan selain sejenisnya masjid seperti pondok dan
sumur.kecuali bila mana selain jenisnya masjid tersebut tidak lagi membutuhkan.
Maka diperbolehkan untuk dipergunakan selain masjid, pendapat yang dikuatkan
oleh Syihab Al-Romli bahwasannya, apabila suatu saat diharapkan matrial
tersebut digunakan oleh masjid itu maka matrial tersebut harus disimpan, dan
bila tidak diharapkan lagi maka dialokasikan pada masjid-masjid terdekat, dan
bila juga tidak dibutuhkan maka dialokasikan orang yang terdekat dengan orang
yang wakaf, bila dtidak maka diberikan fakir miskin atau untuk kemaslahatan
umat Islam.”
5. Keluarga Berencana ( KB )
Karena
pengaruh KB kadang menyebabkan menstruasi seorang wanita tidak teratur, kadang
3 bulan keluar darah terus menerus, kadang 4 bulan tidak keluar sama sekali,
bahkan kadang menyebabkan keputihan selama berbulan-bulan.
(PCNU
Palembang, PCNU OKI)
Pertanyaan:
1.
Bagaimana cara
penghitungan haidl, suci, dan istihadloh karena keluar darah tidak teratur ?
Jawab:
penghitungan haid, suci dan istihadhohnya disesuaikan dengan macamnya
musthadhoh yang tujuh.
الاقناع: 1/ 89
اَلْقَوْلُ فِي الْمُسْتَحَاضَةِ والْمُتَحَيِرَةِ
وَلَوْ اِطَّرَدَتْ عَادَةُ اِمْرَأَةٍ بِأَنْ تَحِيْضَ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ
وَلَيْلَةٍ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا لَمْ يُتْبَعْ ذَلِكَ
عَلَى الْاَصَحِّ، لِاَنَّ بَحْثَ اْلَاوَّلِيْنَ أَتَمُّ، وَاحْتِمَالُ عُرُوْضِ
دَمِ فَسَادٍ لِلْمَرْأَةِ أَقْرَبُ مِنْ خَرْقِ الْعاَدَةِ الْمُسْتَقِرَّةِ،
وَتُسَمَّى الْمُجَاوَزَةِ لِلْخَمْسَةَ عَشَرَ بِالْمُسْتَحَاضَةِ فَيُنْظَرُ
فِيْهَا، فَإِنْ كَانَتْ مُبْتَدِأَةً
الخ...
(قوله: وتُسَمَّى المجُاَوَزَةُ) هَذَا أَحَدُ طَرِيْقَيْنِ
لِلْفُقَهَاءِ اِنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ خَاصَّةً بِمَنْ جَاوَزَ دَمُهَا اَكْثَرَ
الْحَيْضِ وَمَا عَدَاهَا يُقَالُ لَهُ دَمُ فَسَادٍ والطَرِيْقَةُ الثَانِيَةُ
أَنَّ الْكُلَّ يُسَمَّى بِالْمُسْتَحَاضَةِ لَكِنْ الَاقْسَامُ السَبْعَةُ
اِنَّمَا تَجْرِي فِيْمَنْ جَاوَزَ دَمُهَا اَكْثَرَ الحَيْضِ.
Kitab Al-Iqna’,
Juz 1, hlm 89:
“Pendapat tentang mustahadhoh dan
mutahayyiroh, apabila seorang wanita mempunyai kebiasaan haid kurang dari
sehari semalam atau melebihi 15 hari, maka kebiasaan seperti itu tidak bisa
diikuti menurut pendapat ashoh, karena pembahasan ulama’ tempo dulu lebih
sempurna, dan kemungkinan rusaknya darah lebih dekat dari pada merusak adat
yang telah ditetapkan, Ini adalah salah satu caranya ulama fikih yakni
sesungguhnaya mustahadoh itu khusus bagi orang yang darahnya melebihi hitungan
maksimal haid dan setiap darah yang keluar dari pada haid tersebut adalah dara
yang rusak, darah yang melebihi 15 hari disebut mustahadzoh ………
Cara yang kedua adalah : sesungguhnya
sumua itu disebut mustahadhoh akan tetapi bagian wanita mustahadzoh yang tujuh
itu dikhususkan pada seseorang yang darahnya melebihi maksimal haid (15 hari 15
malam).
2.
Bagaimana cara bersuci
dan sholat serta bagi orang yang keputihan yang kadang keluar terus dan kadang
terputus-putus?
Jawab:
Cara bersucinya untuk keputihan yang terus menerus keluar yaitu setiap akan
melaksanakan shalat wajib berwudlu’ dengan niat: نويت
الوضوء لاستباحة الصلاة . serta
menyumbat bagian dalam kemaluan yang tidak tampak kecuali dalam keadaan puasa
(maka cukup menyumbat bagian luar). Sedangkan keputihan yang putus-putus maka
ia harus bersuci dan shalat menunggu ketika tidak keluarnya keputihan jika
kebiasaannya berhenti dan waktu berhenti itu cukup untuk melaksanakan shalat
dan bersucinya.
حاشيتا قليوبي وعميرة: 2/12
(
وَالِاسْتِحَاضَةُ ) وَهِيَ أَنْ يُجَاوِزَ الدَّمُ أَثَرَ الْحَيْضِ
وَيَسْتَمِرَّ ( حَدَثٌ دَائِمٌ كَالسَّلَسِ ) أَيْ سَلَسِ الْبَوْلِ ، وَهُوَ
أَنْ لَا يَنْقَطِعَ ( فَلَا تَمْنَعُ الصَّوْمَ وَالصَّلَاةَ ) لِلضَّرُورَةِ ، (
فَتَغْسِلُ الْمُسْتَحَاضَةُ فَرْجَهَا وَتَعْصِبُهُ ) وُجُوبًا بِأَنْ
تَشُدَّهُ بَعْدَ حَشْوِهِ مَثَلًا بِخِرْقَةٍ مَشْقُوقَةِ الطَّرَفَيْنِ تُخْرِجُ
أَحَدَهُمَا إلَى بَطْنِهَا ، وَالْآخَرَ إلَى صُلْبِهَا ، وَتَرْبِطُهُمَا
بِخِرْقَةٍ تَشُدُّهَا عَلَى وَسَطِهَا كَالتِّكَّةِ ، وَإِنْ تَأَذَّتْ
بِالشَّدِّ تَرَكَتْهُ ، وَإِنْ كَانَ الدَّمُ قَلِيلًا يَنْدَفِعُ بِالْحَشْوِ
فَلَا حَاجَةَ لِلشَّدِّ ، وَإِنْ كَانَتْ صَائِمَةً تَرَكَتْ الْحَشْوَ نَهَارًا
وَاقْتَصَرَتْ عَلَى الشَّدِّ فِيهِ . ( وَتَتَوَضَّأُ وَقْتَ الصَّلَاةِ )
كَالْمُتَيَمِّمِ ( وَتُبَادِرُ بِهَا ) تَقْلِيلًا لِلْحَدَثِ ( فَلَوْ
أَخَّرْتَ لِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ كَسِتْرٍ ، وَانْتِظَارِ جَمَاعَةٍ لَمْ
يَضُرَّ وَإِلَّا فَيَضُرُّ عَلَى الصَّحِيحِ ) وَالثَّانِي لَا يَضُرُّ
كَالْمُتَيَمِّمِ ( وَيَجِبُ الْوُضُوءُ لِكُلِّ فَرْضٍ ) كَالْمُتَيَمِّمِ
لِبَقَاءِ الْحَدَثِ . ( وَكَذَا تَجْدِيدُ الْعِصَابَةِ فِي الْأَصَحِّ ) وَإِنْ
لَمْ تَزُلْ عَنْ مَوْضِعِهَا وَلَا ظَهَرَ الدَّمُ جَوَانِبَهَا قِيَاسًا عَلَى
تَجْدِيدِ الْوُضُوءِ . وَالثَّانِي لَا يَجِبُ تَجْدِيدُهَا إلَّا إذَا زَالَتْ
عَنْ مَوْضِعِهَا زَوَالًا لَهُ وَقْعٌ ، أَوْ ظَهَرَ الدَّمُ بِجَوَانِبِهَا ،
وَحَيْثُ قِيلَ بِتَجْدِيدِهَا فَتُجَدِّدُ مَا يَتَعَلَّقُ بِهَا مِنْ غَسْلِ
الْفَرْجِ وَإِبْدَالِ الْقُطْنَةِ الَّتِي بِفَمِهِ . ( وَلَوْ انْقَطَعَ
دَمُهَا بَعْدَ الْوُضُوءِ وَلَمْ تَعْتَدْ انْقِطَاعَهُ وَعَوْدَهُ أَوْ
اعْتَادَتْ ) ذَلِكَ ( وَوَسِعَ زَمَنُ الِانْقِطَاعِ ) بِحَسَبِ الْعَادَةِ (
وُضُوءًا وَالصَّلَاةَ ) بِأَقَلَّ مَا يُمْكِنُ ( وَجَبَ الْوُضُوءُ ) أَمَّا
فِي الْحَالَةِ الْأُولَى فَلِاحْتِمَالِ الشِّفَاءِ ، وَالْأَصْلُ عَدَمُ عَوْدِ
الدَّمِ ، وَأَمَّا فِي الثَّانِيَةِ فَلِإِمْكَانِ أَدَاءِ الْعِبَادَةِ مِنْ
غَيْرِ مُقَارَنَةِ حَدَثٍ ، فَلَوْ عَادَ الدَّمُ قَبْلَ إمْكَانِ الْوُضُوءِ
وَالصَّلَاةِ فِي الْحَالَتَيْنِ فَوَضْؤُهَا بَاقٍ بِحَالِهِ تُصَلِّي بِهِ ،
وَلَوْ لَمْ يَسَعْ زَمَنُ الِانْقِطَاعِ إعَادَةَ الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ
صَلَّتْ بِوُضُوئِهَا ، فَلَوْ امْتَدَّ الزَّمَنُ بِحَيْثُ يَسَعُ مَا ذُكِرَ
وَقَدْ صَلَّتْ بِوُضُوئِهَا تَبَيَّنَ بُطْلَانُ الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ .
Kitab Hasiyata
Qulyubi Wa ‘Amiroh, Juz 2, hlm 12:
Kesimpulan ta’bir di atas:
Ø Orang yang istihadoh adalah orang yang mengeluarkan
darah melebihi maksimal haid, dan orang tersebut juga dinamakan orang yang
selalu hadas/ daimul hadats.
Ø daimul hadats
tetap diwajibkan puasa dan shalat
Ø cara shalatnya membasuh kemaluan dan menyumbatnya dengan
semacam kapas sampai pada tempat yang tidak tampak ketika duduk jongkok,
kecuali dalam keadaan puasa maka cukup di luar, berwudu setelah masuk waktu
dengan niat seperti di atas dan sekali wudu hanya boleh untuk satu shalat
wajib.
6.
Obama
Pada tanggal
10 November Indonesia kedatanga tamu Internasional yaitu presiden Amerika
Serikat Barack Obama, pada kunjunganya tersebut Obama dan istriya juga sempat
mengujungi masjid Istiqlal yang didampingi oleh Imam besar Masjid Istiqlal KH
Mohamad Ali Mustofa Yakub, dan bahkan Obama dan Istrinya memasuki masjid
terbesar di Asia Tenggaraa tersebut tanpa melepas alas kakinya (sepatunya).
(PWNU
Sumatera Selatan)
Pertanyaan:
Bagaimana
hukumnya memberi izin orang non muslim masuk kedalam Masjid ?
Jawab: boleh asalkan mendapat izin
dari orang-orang muslim.
اَلْمَجْمُوْعُ
شَرْحُ الْمُهَدَّبْ ج :19 ص 437
قالت الشافعية يَجُوْزُ دُخُوْلُ الْكَافِرِ وَلَوْ
غَيْرِ كِتَابِيٍّ الْمَسْجِدَ بِإِذْنِ الْمُسْلِمِ إِلَّا مَسْجِدُ مَكَّةَ
وَحَرَمِهَا
Kitab Al-Majmu’
Syarh al-Muhaddab, Juz 19, hlm 437:
“Ulam Syafiiyyah
berkata : orang kafir walaupun bukan kitabi dia di perbolehkan masuk masjid
atas dasar ijin dari orang muslim kecuali masjid makkah dan masjid-masjid yang
ada di wilayahnya tanah haram makkah.”
7. Ziaroh
wali Songo
Akhir-akhir
ini marak di beberapa daerah sekelompok jama’ah mengadakan rombongan ziyaroh
wali songo, yang sebagian pesertanya adalah para wanita baik yang telah lanjut
usia ataupun yang masih muda, baik bersamaan dengan mahromnya ataupun tidak.
Dan ketika sampai di tempat makam para wali, ada sebagian jamaah yang
mengusap-usap pusaran makam, dan ada yang melambaikan tangannya kearah makam
sebelum meninggalkan makam tersebut.
Pertanyaan:
1.
Bagaimana hukumnya
wanita ziyaroh wali songo sebagaimana deskripsi diatas ?
Jawab:
Tetap
disunnahkan namun tetap dengan menghindari hal-hal yang menimbulkan
fitnah.
PCNU Muara Enim
اعانة الطالبين ج : 2 ص : 142
( قوله نَعَمْ
يُسَنُّ لهَاَ زِيَارَةُ قَبْرِ النَبِيِّ صلى الله عليه وسلم ) أَيْ
لِأَنَّهَا مِنْ أَعْظَمِ الْقُرْبَاتِ لِلْرِجَالِ والنِسَاءِ
Kitab I’anah
al-Tholibin, Juz 2, hlm 147:
“Benar,
disunnahkan bagi wanita ziarah makam nabi SAW, karena hal itu termasuk paling
agungnya ibadah bagi laki-laki dan perempuan.
“
( وقوله
وكذا إلخ ) أَيْ مِثْلُ زِيَارَةِ قَبْرِ النَبِيّ صلى الله عليه وسلم
زِيَارَةُ سَائِرِ قَبُوْرُ الأَنْبِيَاءِ والعُلَمَاءِ والأَوْلِيَاءِ فَتُسَنُّ
لَهَا
“Sebagaimana
ziarah makam nabi SAW adalah ziarah makamnya para nabi, ulama dan aulia maka disunnahkan
bagi wanita untuk berziarah.”
وفي الْتُحْفَةِ مَا نَصُّهُ قَالَ
الأَذْرَعِيّ إِنْ صَحَّ أَيْ مَا قَالَهُ بَعْضُهُمْ فَأَقَارِبُهَا أَوْلَى بِالْصِلَةِ
مِنَ الْصَالِحِيْنَ اهـ
“Dalam
kitab al-Tuhfah lafadznya sebagai berikut: berkata Imam al-Adzra’i apablia yang
diungkapkan sebaian ulama itu benar maka ziarah kepada kerabatnya seorang
wanita lebih diutamakan dari orang-orang shalih.”
2.
Bagaimana pandangan
fiqh tentang seseorang yang mengusap-usap pusaran makam atau melambaikan tangan
saat akan meninggalkan makam ?
Jawab:
Sunnah bila tujuannya mengambil berkah
حاشية الجمل ج : 8 ص : 208
وَيُكْرَهُ أَيْضًا تَقْبِيلُ
التَّابُوتِ الَّذِي يُجْعَلُ فَوْقَ الْقَبْرِ كَمَا يُكْرَهُ تَقْبِيلُ
الْقَبْرِ وَاسْتِلَامُهُ وَتَقْبِيلُ الْأَعْتَابِ عِنْدَ الدُّخُولِ لِزِيَارَةِ
الْأَوْلِيَاءِ نَعَمْ إنْ قَصَدَ بِتَقْبِيلِ أَضْرِحَتِهِمْ التَّبَرُّكَ لَمْ
يُكْرَهْ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ا هـ .
Kitab Hasyiah al-Jamal, Juz 8, hlm 208:
“Dimakruhkan juga mencium peti yang ada diatas pemakaman sebagaimana makruh
mencium dan mengusap kuburan, dan makruh mencium gerbang masuk ketika ke
pemakaman para wali, ya benar, namun apabila mencium pemakaman para wali
mengambil berkah maka tidak dimakruhkan seprti yang di fatwakan oleh al-Walid
rahimakumullah.”
8.
Aqiqoh
Sebagaimana kita ketahui bahwa aqiqoh itu sunnah
muakkad bagi orang tua untuk anaknya, tapi akhir-akhir ini sering bahkan hampir
membudaya ada seorang anak yang mengaqiqohi orang tuanya(sudah wafat tanpa
wasiat), lantaran orang tuanya tersebut belum di-aqiqohi.
Pertanyaan:
1.
Bagaimana
pahala aqiqohnya bisa sampai pada orang tua yang telah awafat tersebut ?
Jawab: Dengan
cara meniatkan aqiqoh tersebut pahalanya diperuntukkan pada dua orang tua.
PCNU OKUT
نهاية الزين ج : 1 ص : 193
قال
المُحِبُّ الطَبَرِيّ فِي شَرْحِ الْتَنْبِيْهِ يَصِلُ لِلْمَيِّتِ كُلُّ
عِبَادَةٍ تُفْعَلُ عَنْهُ وَاجِبَةٌ أَوْ مَنْدُوْبَةٌ وقَالَ اِبْنُ حَجَرٍ
نَقَلَا عَنْ شَرْحِ الْمُخْتَارِ مَذْهَبُ أَهْلِ الْسُنَّةِ أَنَّ لِلْإِنْسَانِ
أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابُ عَمَلِهِ وَصَلَاتِهِ لِلْمَيِّتِ وَيَصِلُهُ اهـ
Kitab Nihayatu al-Zain, Juz 1, hlm 193:
“Berkata
Imam muhib al-Thobari di dalam syarah kitab al-Tambih “setiap ibadah yang
dikerjakan untuk mayit baik ibadah wajib atau sunnah maka pahalanya akan sampai
pada mayit”. Imam Ibnu Hajar berkata mengambil dari syarah al-Mukhtar
madzhabnya ahli sunnah “sesungguhnya bagi manusia dianjurkan untuk menjadikan
pahala amal dan shalatnya pada mayit, maka akan sampai”.
TAMBAHAN-TAMBAHAN
1.
HUKUM MENCIUM
TANGAN KIYAI
Tradisi dihampir
seluruh pesantren, para santri biasanya saat bersalaman dengan kyai atau ustadz
dengan cara mencium tangan.
Pertanyaan
:
Adakah
keterangan yang mensunahkan tradisi di atas?
Jawaban
:
Ada, dan
memang disunahkan mencium tangan orang yang zahid, mu’allim dan orang yang
lebih tua umurnya.
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ
: 1 / 638
يُسَنُّ
عِنْدَ الشَّافِعِيّ تَقْبِيْلُ نَحْوِ يَدِ الزَّاهِدِ وَالشَّرِيْفِ وَاْلعَالِمِ
وَالْكَبِيْرِ فِي السِّنِّ وَالطِّفْلِ الَّذِي لاَ يُشْتَهَى وَلَوْ لِغَيْرِ شَفَقَةٍ
وَرَحْمَةٍ، وَوَجْهِ صَاحِبِ قَدَمٍ مِنْ سَفَرٍ.
2. ADZAN
DAN IQOMAH SAAT MENGUBUR
MAYIT
Sebagian daerah ketika akan menimbun mayat saat
penguburan terlebih dahulu azan dan iqomat, dan sebagian daerah ada yang
menganggap bahwa hal tersebut sesuatu yang tidak disyariatkan.
Pertanyaan:
Bagaiman hukumnya azan dan iqomat saat penguburan
mayat?
Jawaban:
Terjadi perbedaan pendapat di antara ulama’. Menurut
suatu pendapat hukumnya sunah.
اِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ : 1 /
268
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ يُسَنُّ
الْاَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ الْقَبْرِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ بِنِسْبَتِهِ قِيَاسًا
لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهَا.
الفَتَاوَى الْكُبْرَى : 2 / 17
وَسُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ
بِهِ ما حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ....... فَأَجَابَ
بِقَوْلِهِ لَا أَعْلَمُ في ذلك خَبَرًا وَلَا أَثَرًا إلَّا شيئا يُحْكَى عن
بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّهُ قال لَعَلَّهُ مَقِيسٌ على اسْتِحْبَابِ
الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ في أُذُنِ الْمَوْلُودِ وَكَأَنَّهُ يقول الْوِلَادَةُ
أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا آخِرُ الْخُرُوجِ منها.
3. SHOLAT SUNNAH QOBLIAH
JUM’AT
Kami
melihat di sebagian jamaah masjid saat akan melakukan salat jum’at, ada yang
serempak melakukan salat sunah qobliah jum’at, ada masjid yang sebagian
jamaahnya melakukan salat qobliah ada yang tidak, kata mereka salat sunah
qobliah jum’at tidak disunnahkan.
Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya melakukan salat qobliah jum’at ?
Jawaban :
Hukumnya sunah.
الاِقْنَاعُ : 1 / 175
وَالْجُمْعَةُ
كَالظُّهْرِ فِيْمَا مَرَّ فَيُصَلِّي
قَبْلَهَا
أَرْبَعًا
وَبَعْدَهَا
أَرْبَعًا
لِخَبَرِ
مُسْلِمٍ
إِذَا صَلَّى
أَحَدُكُمْ
الْجُمْعَةَ
فَلْيُصَلِّ
بَعْدَهَا
أَرْبَعًا
وَخَبَرِ
التِّرْمِذِيّ
إِنَّ
ابْنَ
مَسْعُوْدٍ
كَانَ
يُصَلِّي
قَبْلَ
الْجُمْعَةِ
أَرْبَعًا
وَبَعْدَهَا
أَرْبَعًا.
4.
MELAKUKAN SHOLAT
TASBIH, DHUHA DENGAN BERJAMA’AH
Sebagian jama’ah Tarekat saat melakukan salat Tasbih
dan duha dilaksanakan dengan berjamaah, setahu kami salat tasbih dan duha bukan
termasuk saalat sunah yang di sunahkan untuk berjamaah.
Pertanyaan:
Bagaimanakah
hukumnya melaksanakan salat tasbih dan dhuha dengan berjamaah?
Jawaban
:
Hukumnya
boleh dan tidak makruh, bahkan mendapatkan pahala apabila tujuannya untuk
mendorong jamaahnya agar melaksanakan salat sunah tersebut.
بغية المسترشدين : 1 / 136
(مسألة : ب ك) : تُبَاحُ الْجَمَاعَةُ
فِي نَحْوِ الْوِتْرِ وَالتَّسْبِيْحِ فَلاَ كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ وَلاَ ثَوَابَ،
نَعَمْ إِنْ قَصَدَ تَعْلِيْمَ الْمُصَلِّيْنَ وَتَحْرِيْضَهُمْ كَانَ لَهُ ثَوَابٌ،
وأَيُّ ثَوَابٍ بِالنِّيَةِ الْحَسَنَةِ، فَكَمَا يُبَاحُ الْجَهْرُ فِي مَوْضِعِ
الإِسْرَارِ الَّذِي هُوَ مَكْرُوْهٌ لِلتَّعْلِيْمِ فَأَوْلَى مَا أَصْلُهُ الإِبَاحَةِ،
وَكَمَا يُثَابُ فِي الْمُبَاحَاتِ إِذَا قَصَدَ بِهَا اْلقُرْبَةَ كَالتَّقَوِّي
بِاْلأَكْلِ عَلَى الطَّاعَةِ.
5.
ORANG-ORANG YANG
BEBAS DARI PERTANYAAN KUBUR
Ditempat kami ketika ada orang yang wafat orang yang
sudah baligh, maka tokoh masyarakatya melakukan talqin mayat setelah
penguburan. Namun bila yang meninggal dunia anak kecil maka tidak di talqin,
kata tokoh tersebut anak kecil tidak akan menerima pertanyaan kubur.
Pertanyaan :
Benarkah pernyataan tokoh Masyarakat tersebut ?
Jawaban :
Ya benar, anak kecil yang belum baligh, orang yang
mati syahid, orang gila dari kecil mereka tidak akan menerima pertanyaan kubur.
حاشيتا
قليوبى و عميرة : 5 / 14
( فَرْعٌ ) لَا يُسْأَلُ
غَيْرُ بَالِغٍ وَلَا شَهِيدٌ وَلَا نَبِيٌّ وَلَا مَجْنُونٌ لَمْ يَسْبِقْ لَهُ تَكْلِيفٌ،
وَغَيْرُ هَؤُلَاءِ يُسْأَلُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ .
6.
SUNAH KIRIM
SALAM KEPADA ORANG LAIN
Kebiasaan saat seseorang permisi mau pulang sehabis
silaturrahim, tuan rumah menitipkan salam pada orang yang dia kenal.
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya menitip dan menyampaikan salam?
Jawaban:
Hukum menitip salam adalah sunah sedangkan
menyampaikannya adalah wajib apabila yang dititipi mau menerima amanah itu.
فتح المعين - (ج 4 / ص 215(
فُرُوْعٌ: يُسَنُّ إرْسَالُ السَّلاَمِ لِلْغَائِبِ وَيَلْزَمُ الرَّسُوْلُ
التَّبْلِيْغَ لأَنَّهُ أَمَانَةٌ وَيَجِبُ أَدَاؤُهَا. وَمَحَلُهُ
مَا إذَا رَضِيَ بِتَحَمُّلِ تِلْكَ الْاَمَانَةِ. أَمَّا
لَوْ رَدَّهَا فَلاَ وَكَذَا إنَ سَكَتَ.
7.
MEMBERIKAN ZAKAT
PADA ANAK ATAU KERABAT DEKAT
pak Joko panen besar, sawah yang ia garap menghasilkan
kurang lebih 20 ton, namun ketika pak joko menunaikan zakat dari sawah
tersebut, zakat itu diberikan pada kerabat dekatnya, bahkan sebagian diberikan
kepada anaknya yang miskin yang sudah berkeluarga.
Pertanyaan :
Bagaimanakah hukumnya memberikan zakat kepada kerabat
atau anak sendiri?
Jawaban :
Boleh, bahkan dianjurkan apabila kerabat atau anak
tersebut termasuk orang yang tidak wajib dia beri nafkah atau orang yang wajib
diberi nafkah namun pemberian zakat pada kerabat atau anak tersebut atas nama
selain fakir miskin seperti atas nama orang yang memiliki hutang.
بغية المسترشدين - ج 1 / ص 219
)مَسْأَلَةُ : ب ك(: يَجُوْزُ دَفْعُ زَكَاتِهِ لِوَلَدِهِ الْمُكَلَّفِ بِشَرْطِهِ إِذْ
لاَ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ وَِلإِتْمَامِهَا عَلَى الرَّاجِحِ ، وَإِنْ كَانَ فَقِيْراً
ذَاعِيْلَةٍ ، وَكَانَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ تَبَرُعاً ، بِخِلاَفِ مَنْ لاَ يَسْتَقِلُّ
بِنَفْسِهِ كَصَبِيٍّ وَعَاجِزٍ عَنْ الْكَسْبِ بِمَرَضٍ أَوْ زَمَانَةٍ أَوْ عَمَى
لِوُجُوْبِ نَفَقَتِهِ عَلَى الْوَالِدِ ، فَلاَيُعْطِيْهِ الْمُنْفِقُ قَطْعاً وَلاَ
غَيْرَهُ عَلَى الرَّاجِحِ ، حَيْثُ كَفَتَهُ نَفَقَةُ الْمُنْفِقِ ، وَإِلَّا كَأَكُوْلِ
لَمْ يَكْفِهِ مَا يُعْطُاهُ فَيَجُوْزُ أَخْذُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ ، وَمِثْلُهُ
فِي ذَلِكَ الزَّوْجَةُ ، وَكَالزَّكَاةِ كُلِ وَاجِبٍ كَالْكَفَارَةِ ، زَادَ ب :
نَعَمْ إِنْ َتعَذَرَ أَخْذُهَا مِنْ الْمُنْفِقِ بِمَنْعٍ أَوْ إِعْسَارٍ أَوْ غِيْبَةٍ
وَلَمْ يَتْرُكْ مُنْفِقاً وَلاَ مَالاً يُمْكِنُ التَّوَصُلُ إِلَيْهِ ، وَعَجَزَتْ
الزَّوْجَةُ عَن ِالاِقْتِرَاضِ أَعْطَي كِفَايَتِهِ أَوْ تَمَامِهَا ، أَمَّا إِذَا
لَمْ تَطَالِبْهُ الزَّوْجَةُ بِهَا مَعَ قُدْرَتِهَا عَلىَ التَّوَصُلِ مِنْهُ كَأَنْ
سَامَحَتْهُ بِلَا مُوْجِبٍ فَلاَ تُعْطَى ِلاسْتِغْنَائِهَا بِهَا حِيْنَئِذٍ كَكُسُوْبِ
تَرْكِ الْلاَئِقِ بِهِ مِنْ غَيِرِ عُذْرٍ ، وِكَنَاشِزَةٍ لِقُدْرَتِهَا عَلَيْهَا
حَالاً بِالْطَاعَةِ ، وَلِلزَّوْجَةِ إِعْطَاءُ زَوْجِهَا مِنْ زَكَاتِهَا وَعَكْسِهِ
بِشَرْطِهِ ، وَيَجُوْزُ تَخْصِيْصُ نَحْوِ قَرِيْبٍ بَلْ يُسَنُّ، إِذْ لاَ تَجِبُ
التَّسْوِيَّةُ بَيْنَ آحَادِ الصِّنْفِ بِخِلاَفِهَا بَيْنَ الْأَصْنَافِ.
8. FADHILAH SURAT YASIN
بغية المسترشدين : 1 / 634
فَائِدَةٌ
: قَالَ الْحُبَيْشِي فِي كِتاَبِ الْبَرَكَةِ : مَنْ قَرَأَ يس أَرْبَعَ مَرَّاتٍ
لاَ يَفْرِقُ بَيْنَهَا بِكَلَامٍ فِي مَوْضِعِ نَظِيْفِ خَالٍ ، ثُمَّ قَالَ ثَلاَثاً
: سُبْحَانَ الْمُنَفِّسِ عَنْ كُلِّ مُدْيُوْنٍ ، سُبْحَانَ الْمُفَرِّجِ عَنْ كُلِّ
مَحْزُوْنٍ ، سُبْحَانَ مَنْ أَمَرَهُ بَيْنَ الْكَافِ وَالنُّوْنِ ، سُبْحَانَ مَنْ
إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ ، يَا مُفَرِّجَ الْهُمُوْمِ
، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ ، صَلَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَافْعَلْ
لِي كَذَا وَكَذَا ، قَضِيَتْ حَاجَتُهُ مُجَرَّبٌ اهـ.
9. MENGQODHO’ ROMADLON DENGAN PUASA SUNNAH
Sudah menjadi qodrat seorang
wanita, hampir pasti setiap bulan mengalami menstruasi
termasuk di bulan romadlon sehingga tidak bisa menjalankan puasa. Dan untuk
menghemat waktu dia mengqodlo’ romadlon dibarengkan dengan puasa sunnah seperti
puasa Syawal.
Pertanyaan
: bolehkah mengqodlo’ puasa romadlon dibarengkan dengan puasa sunnah?
Jawab :
Khilaf menurut imam ibnu hajar boleh dan kedua-duanya mendapatkan pahala bila
kedua-duanya diniati, bahkan menurut imam romli menqodlo’ romadlon pada hari
yang disunnahkan untuk puasa, walaupun puasa sunnahnya tidak diniati maka akan
tetap mendapat pahala.
بغية المسترشدين 113
(مسألة : ك) : ظاهر حديث : "وأتبعه ستاً
من شوّال" وغيره من الأحاديث عدم حصول الست إذا نواها مع قضاء رمضان ، لكن
صرح ابن حجر بحصول أصل الثواب لإكماله إذا نواها كغيرها من عرفة وعاشوراء ، بل رجح
(م ر) حصول أصل ثواب سائر التطوعات مع الفرض وإن لم ينوها ، ما لم يصرفه عنها صارف
، كأن قضى رمضان في شوّال ، وقصد قضاء الست من ذي القعدة ، ويسنّ صوم الست وإن
أفطر رمضان اهـ. قلت : واعتمد أبو مخرمة تبعاً للسمهودي عدم حصول واحد منهما إذا
نواهما معاً ، كما لو نوى الظهر وسنتها ، بل رجح أبو مخرمة عدم صحة صوم الست لمن
عليه قضاء رمضان مطلقاً.
10.
MENGHADAP KIBLAT
KETIKA SHALAT
Permasalahan yang baru-baru
ini muncul di kalangan masyarakat kita adalah tentang kewajiban menghadap Qiblat,
terkhusus bagi orang yang tidak bisa melihat Ka’bah, apakah cukup hanya
ke arah (Jihah) dari Ka’bah itu, ataukah harus dengan perhitungan
yang pasti dan tepat mengarah kepada Ka’bah yang berada di tengah al-Masjid
al-Haram?
Jawaban:
Khilaf menurut pendapat kedua. Kewajiban
bagi orang yang tidak bisa melihat Qiblat hanya sebatas menghadap ke
arah (jihah) Ka’bah, bahkan Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa tidak
mungkin (mustahil) bagi orang yang jauh dari Ka’bah bisa menghadap ke
Bangunan Ka’bah (‘ainul Ka’bah) secara tepat, karena bentuknya yang
sangat kecil dibandingkan luasnya bumi. Pendapat
ini banyak didukung oleh kalangan Syafi’iyyah dan dianggap pendapat yang kuat.
بغية المسترشدين, ص: 78 (الكتبة
الشاملة)
الرَّاجِحُ
أَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنِ اسْتِقْبَالِ عَيْنِ الْقِبْلَةِ، وَلَوْ لِمَنْ هُوَ خَارِجُ
مَكَّةَ فَلاَ بُدَّ مِنِ انْحِرَافٍ يَسِيْرٍ مَعَ طُوْلِ الصَّفِّ، بِحَيْثُ يَرَى
نَفْسَهُ مُسَامِتاً لهَاَ ظَنّاً مَعَ الْبُعْدِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَكْفِي
اسْتِقْبَالِ الْجِهَةِ، أَيْ إِحْدَى الْجِهَاتِ اْلأَرْبَعِ الَّتِي فِيْهَا الْكَعْبَةُ
لِمَنْ بَعُدَ عَنْهَا وَهُوَ قَوِيٌّ، اِخْتَارَهُ الْغَزَالِيّ وَصَحَّحَهُ
الْجُرْجَانِيّ وَابْنُ كَجٍّ وَابْنُ أَبِي عَصْرُوْنَ، وَجَزَمَ بِهِ الْمَحَلِّي
، قَالَ اْلأَذْرَعِيّ: وَذَكَرَ بَعْضُ الْأَصْحَابِ أَنَّهُ الْجَدِيْدُ وَهُوَ
الْمُخْتَارُ لأَنَّ جِرْمَهَا صَغِيْرٌ يَسْتَحِيْلُ أَنْ يَتَوَجَّهَ إِلَيْهِ أَهْلُ
الدُّنْيَا فَيُكْتَفَى بِالْجِهَةِ، وَلِهَذَا صَحَّتْ صَلاَةُ الصَّفِّ الطَّوِيْلِ
إِذَا بَعُدُوْا عَنِ اْلكَعْبَةِ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ بَعْضَهُمْ خَارِجُوْنَ مِنْ
مُحَاذَاةِ الْعَيْنِ، وَهَذَا الْقَوْلُ يُوَافِقُ الْمَنْقُوْلَ عَنْ أَبِي حَنِيْفَةَ
وَهُوَ أَنَّ الْمَشْرِقَ قِبْلَةُ أَهْلِ الْمَغْرِبِ وَبِالْعَكْسِ، وَالْجَنُوْبَ
قِبْلَةُ أَهْلِ الشِّمَالِ وَبِالْعَكْسِ، وَعَنْ مَالِكٍ أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةُ
أَهْلِ الْمَسْجِدِ، وَالْمَسْجِدَ قِبَلَةُ أَهْلِ مَكَّةَ، وَمَكَّةَ قِبْلَةُ أَهْلِ
الْحَرَمِ، وَالْحَرَمَ قِبْلَةُ أَهْلِ الدُّنْيَا.
احياء علوم الدين للغزالي: 2/288
فَإِذَا فَهِمَ مَعْنَى الْعَيْنِ وَالْجِهَةِ
فَأَقُوْلُ: الَّذِي يَصِحُّ عِنْدَنَا فِي الْفَتْوَى أَنَّ الْمَطْلُوْبَ الْعَيْنُ
إِنْ كَانَتِ الْكَعْبَةُ بِمَا يُمْكِنُ رُؤْيَتُهَا، وَإِنْ كَانَ يَحْتَاجُ
إِلَى اْلاِسْتِدْلاَلِ عَلَيْهَا لِتَعَذُّرِ رُؤْيَتِهَا فَيَكْفِي اسْتِقْباَلِ
الْجِهَةِ. فَأَمَّا طَلَبُ الْعَيْنِ عِنْدَ الْمُشَاهَدَةِ فَمُجْمَعٌ عَلَيْهِ. وَأَمَّا
اْلاِكْتِفَاءُ باِلْجِهَةِ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْمُعَايَنَةِ فَيَدُلُّ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ وَالسُّنَةُ وَفِعْلُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَاْلقِيَاسُ…..وَأَمَّا الْقِيَاسُ: فَهُوَ أَنَّ الْحَاجَةَ تَمُسُّ إِلَى الْاِسْتِقْبَالِ
وَبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ في جَمِيْعِ أَقْطَارِ اْلاَرْضِ، وَلاَ يُمْكِنُ مُقَابَلَةُ
اْلعَيْنِ إِلاَّ بِعُلُوْمِ هَنْدَسِيَّةٍ لَمْ يَرِدِ الشَّرْعُ باِلنَّظَرِ فِيْهَا
بَلْ رُبَمَا يُزْجَرُ عَنْ التَعَمُّقِ فِي عِلْمِهَا فَكَيْفَ يُنْبَنىَ أَمْرُ
الشَّرْعِ عَلَيْهَا؟ فَيَجِبُ اْلاِكْتِفَاءُ بِالْجِهَةِ لِلضَّرُوْرَةِ.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik