KEABSAHAN SALAT ASWAJA
1. Mengusap Wajah dan Bersalaman Setelah Salat
Pertanyaan:
Benarkah dalam
kitab-kitab fikih tidak ada kesunahan mengusap wajah setelah Salat? Bagaimana
pula hukum bersalaman setelah Salat? Ahmad Arifin, Sby.
Jawaban:
Memang benar, dalam kitab-kitab fikih
Syaifiiyah tidak ada kesunahan tersebut. Namun, apa yang telah banyak dilakukan
oleh umat Islam tersebut berdasarkan sebuah hadis:
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا صَلَّى
وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ مَسَحَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى رَأْسِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللهِ
الِّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اللَّهُمَّ أَذْهِبْ
عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ وَفِي رِوَايَةٍ: مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِيَدِهِ
الْيُمْنَى وَقَالَ فِيْهَا "اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ"
(رواه الطبراني في الأوسط والبزار بنحوه بأسانيد وفيه زيد العمى وقد وثقه غير
واحد وضعفه الجمهور وبقية رجال أحد إسنادي الطبراني ثقات وفي بعضهم خلاف مجمع الزوائد 10/ 145)
"Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw jika
selesai dari salatnya, beliau mengusap kepalanya (dalam riwayat lain
keningnya/jabhat) dengan tangan kanannya dan berdoa 'Bismillahi alladzi Laa
ilaaha illaa huwa ar-Rahmaanu ar-Rahiimu. Allahumma adzhib 'anni al-hamma wa
al-hazana (Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ya Allah
hilangkan dari saya kesedihan dan kesusahan)"
Al-Hafidz
al-Haitsami berkata: HR ath-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Bazzar. Sebagian
perawinya dinilai terpercaya dan dlaif, perawi lainnya terpercaya. Seandainya
pun hadis ini dlaif, maka sesuai kesepakatan ulama ahli hadis bahwa hadis dlaif
boleh diamalkan dalam keutamaan amal.
Sedangkan bersalaman
setelah salat berdasarkan hadis:
وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ
قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صلى الله تعالى عليه بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ
فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ،
وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ ... وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ
، فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ، قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ، فَوَضَعْتُهَا
عَلَى وَجْهِى، فَإِذَا هِىَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ، وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ
الْمِسْكِ (رواه أحمد والبخاري)
"Diriwayatkan dari Abu Juhaifah bahwa Rasulullah Saw keluar
dari pada siang hari yang sangat panas menuju Bathha', kemudian berwudlu',
salat Dzuhur 2 rakaat dan Ashar 2 rakaat dan dihadapan beliau ada tongkat
(sebagai sutrah/pembatas). Kemudian Rasulullah Saw berdiri, dan orang-orang
memegang tangan beliau (bersalaman) dan meletakkan tangan beliau ke wajah
mereka. Saya (Abu Juhaifah) juga melakukannya. Ternyata tangan beliau lebih
sejuk daripada salju dan lebih harum daripada minyak misik" (HR al-Bukhari No 3289 dan Ahmad No 18789. Dalam riwayat lain
para sahabat bersalaman dengan Rasulullah Saw setelah salat Subuh, HR Ahmad No
17513 dari Yazid bin Aswad)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
mengutip pendapat para ulama:
قَالَ النَّوَوِيّ:
وَأَمَّا تَخْصِيصُ الْمُصَافَحَةِ بِمَا بَعْد صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ
فَقَدْ مَثَّلَ اِبْنُ عَبْدِ السَّلَامِ فِي "الْقَوَاعِدِ"
الْبِدْعَةَ الْمُبَاحَةَ مِنْهَا. قَالَ النَّوَوِيّ: وَأَصْلُ الْمُصَافَحَة
سُنَّةٌ، وَكَوْنُهمْ حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْضِ الْأَحْوَال لَا يُخْرِجُ
ذَلِكَ عَنْ أَصْلِ السُّنَّةِ (فتح الباري لابن حجر - ج 17 / ص 498)
“An-Nawawi berkata:
Penentuan bersalaman setelah salat Subuh dan Ashar digolongkan oleh Ibnu Abdissalam
seabagai bid’ah yang diperbolehkan. An-Nawawi berkata: Pada dasarnya bersalaman
adalah sunah. Mereka melakukan salaman pada waktu-waktu tertentu tidaklah
sampai menyimpang dari sunah” (Fath
al-Baari 17/498)
2. Salat Sunah Berjamaah
Pertanyaan:
-
Bagaimana
hukumnya melakukan salat Witir secara berjamaah setelah Isya’? Hamba Allah,
Sby.
-
Bolehkah
salat Dluha berjamaah dalam hukum fikih? Ir. Budin, Sby
Jawaban:
Pada dasarnya salat
sunah ada dua, yaitu (1) yang sunah berjemaah, seperti hari raya, tarawih dan
sebagainya, ada pula (2) yang tidak sunah berjamaah, seperti dluha, witir,
tasbih dan lainnya. Namun diperbolehkan melakukan secara berjemaah, berdasarkan
hadis-hadis sahih.
Dari Ibnu Abbas, ia
berkata bahwa ia menginap di rumah Maimunah (istri Nabi) bersama Nabi Muhammad.
Di tengah malam beliau bangun, berwudlu dan salat, Ibnu Abbas juga turut
melakukan hal itu, kemudian salat di sebelah belakang Rasulullah sebanyak 13
rakaat (HR al-Bukhari 4/163)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata:
وَفِيْهِ مَشْرُوْعِيَّةُ
الْجَمَاعَةِ فِي النَّافِلَةِ وَالِاِئْتِمَامُ بِمَنْ لَمْ يَنْوِ الْإِمَامَةَ
وَبَيَانُ مَوْقِفِ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُوْمِ (فتح الباري لابن حجر ج 3 / ص
421)
“Hadis ini adalah
dalil disyariatkannya salat berjamaah dalam salat sunah” (Fath al-Bari 3/421)
Sedangkan dalam
riwayat sahih Muslim, secara tegas Imam Muslim menulis Bab “Diperbolehkannya
salat berjamaah dalam salat sunah”. Kemudian beliau banyak menampilkan hadis,
diantaranya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ دَخَلَ
النَّبِىُّ صلى الله تعالى عليه عَلَيْنَا وَمَا هُوَ إِلاَّ أَنَا وَأُمِّى
وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِى فَقَالَ «قُوْمُوْا فَلأُصَلِّىَ بِكُمْ». فِى غَيْرِ
وَقْتِ صَلاَةٍ فَصَلَّى بِنَا. فَقَالَ رَجُلٌ لِثَابِتٍ أَيْنَ جَعَلَ أَنَسًا
مِنْهُ قَالَ جَعَلَهُ عَلَى يَمِيْنِهِ. ثُمَّ دَعَا لَنَا أَهْلَ الْبَيْتِ
بِكُلِّ خَيْرٍ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ فَقَالَتْ أُمِّى يَا رَسُولَ
اللهِ خُوَيْدِمُكَ ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ فَدَعَا لِى بِكُلِّ خَيْرٍ وَكَانَ
فِى آخِرِ مَا دَعَا لِى بِهِ أَنْ قَالَ «اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ
وَبَارِكْ لَهُ فِيهِ» (رواه مسلم رقم 1533)
“Anas bin Malik
berkata “Rasulullah datang kepada kami, yaitu saya, ibu saya dan Ummi Haram
bibi saya. Rasulullah bersabda: Bangunlah, saya akan salat dengan kalian. (Anas
berkata) Sementara saat itu bukan waktunya salat (wajib).” (HR Muslim No 1533)
Namun harus
diupayakan masyarakat memahami bahwa salat sunah ini disyariatkan secara
sediri-sendiri. Jika kemudian ada anggapan bahwa salat sunah witir, dluha,
tasbih dan sebagainya harus dilakukan berjamaah, maka hukumnya diharamkan
(Bughyat al-Mustarsyidin 137)
(مسألة : ب ك) : تُبَاحُ الْجَمَاعَةُ فِي نَحْوِ الْوِتْرِ
وَالتَّسْبِيْحِ فَلاَ كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ وَلاَ ثَوَابَ، نَعَمْ إِنْ قَصَدَ
تَعْلِيْمَ الْمُصَلِّيْنَ وَتَحْرِيْضَهُمْ كَانَ لَهُ ثَوَابٌ وَأَيُّ ثَوَابٍ
بِالنِّيَّةِ الْحَسَنَةِ، فَكَمَا يُبَاحُ الْجَهْرُ فِي مَوْضِعِ اْلإِسْرَارِ
الَّذِي هُوَ مَكْرُوْهٌ لِلتَّعْلِيْمِ فَأَوْلَى مَا أَصْلُهُ اْلإِبَاحَةُ
وَكَمَا يُثَابُ فِي الْمُبَاحَاتِ إِذَا قُصِدَ بِهَا الْقُرْبَةُ كَالتَّقَوِّي
بِاْلأَكْلِ عَلَى الطَّاعَةِ، هَذَا إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِذَلِكَ مَحْذُوْرٌ
كَنَحْوِ إِيْذَاءٍ أَوِ اعْتِقَادِ الْعَامَّةِ مَشْرُوْعِيَّةَ الْجَمَاعَةِ
وَإِلاَّ فَلاَ ثَوَابَ بَلْ يَحْرُمُ وَيُمْنَعُ مِنْهَا (بغية المسترشدين 1 /
137)
“Diperbolehkan salat berjamaah dalam salat witir dan Tasbih,
tidak makruh dan tidak dapat pahala, kecuali jika bertujuan mengajarkan orang
yang salat dan memberi dorongan kepada mereka untuk melakukannya, maka
mendapatkan pahala karena niat yang baik. Hal ini sebagaimana mengeraskan bacaan
salat saat waktu salat yang lirih (Dzuhur-Ashar) yang hukumnya makruh karena
mengajarkan, maka lebih utama lagi yang asalnya adalah mubah (boleh), dan
sebagaimana melakukan hal-hal yang mubah mendapatkan pahala jika diniati ibadah
seperti makan dengan tujuan untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Hukum ini
selama tidak berdampak kepada yang lain, misalnya menyakiti orang lain maupun
adanya keyakinan orang awam bahwa salat tersebut disyariatkan secara berjamaah.
Kalau sampai mengarah seperti itu maka tidak dapat pahala, bahkan diharamkan
dan harus dicegah” (Bughyah 1/137)
3. Menggerakkan Telunjuk Saat Tasyahhud?
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum
menggerak-gerakkan jari telunjuk saat salat (Tasyahhud)? Rony, Sby
Jawaban:
Dalam hadis sahih
riwayat Imam Muslim mengenai tatacara tangan saat tasyahhud adalah meletakkan
tangan kanan di atas lutut kanan dengan menggenggam tangan (seperti saat
tasyahhud pada umumnya), kemudian Rasulullah berisyarat dengan jari
telunjuknya.
Namun ada riwayat
an-Nasai (1251) dari sahabat Abu Wail yang melihat Rasulullah Saw menggerakkan
jarinya tersebut saat Tasyahhud:
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ
قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ
إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللهِ صلى الله تعالى عليه كَيْفَ يُصَلِّي …وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ
رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا (رواه النسائي رقم 1251)
“Wail bin Juhr berkata: Sungguh saya melihat salat Rasulullah…
Dan Rasulullah menggenggam tangannya kemudian mengangkat jarinya, saya melihat
Rasulullah menggerakkan jarinya” (HR
an-Nasai No 1251)
Sementara dari sahabat
Ibnu Zubair yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasai mengatakan bahwa
Rasulullah Saw tidak menggerakkan jarinya.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
الزُّبَيْرِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله تعالى عليه كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ
إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا (رواه النسائي رقم 1253 وابو داود رقم 839)
“Rasulullah berisyarah dengan jarinya saat tahiyat dan tidak
menggerakkannya” (HR an-Nasai No 1251 dan Abu Dawud No 839)
Dari dua hadis yang
seolah bertentangan ini, ahli hadis al-Baihaqi mencoba memadukan makna
keduanya: "Bisa jadi yang dimaksud 'menggerakkan tangan' adalah berisyarat
dengan mengangkat telunjuk, bukan menggerakkan dalam arti diulang-ulang" (Aun al-Ma'bud
Syarah Sunan Abi Dawud, 2/305)
Kendatipun demikian,
Imam Malik tetap memilih hadis Abu Wail dan menganjurkan menggerakkan jari
telunjuk sejak awal tasyahhud. Sementara menurut Imam Hanafi mengangkat
telunjuk disunnahkan saat mengucap-kan 'Laa' dari kalimat Syahadat tanpa
menggerakkannya. Imam Syafii menganjurkan mengangkat jari saat mengucap 'illa
Allah' sebagai isyarat mengesakan Allah dengan 1 jari telunjuk dan tidak
digerakkan sampai selesai salat. (Fatawa al-Azhar 9/23)
Mengapa mengangkat
jari telunjuk saat membaca syahadat?
وَمَوْضِعُ اْلإِشَارَةِ
عِنْدَ قَوْلِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ لِمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِي مِنْ فِعْلِ
النَّبِيِّ وَيَنْوِي بِاْلإِشَارَةِ التَّوْحِيْدَ وَاْلإِخْلاَصَ فِيْهِ
فَيَكُوْنُ جَامِعًا فِي التَّوْحِيْدِ بَيْنَ الْفِعْلِ وَالْقَوْلِ
وَاْلاِعْتِقَادِ وَلِذَلِكَ نَهَي النَّبِي عَنِ اْلإِشَارَةِ بْالإِصْبَعَيْنِ (عون
المعبود 2/ 305)
“Al-Baihaqi meriwayatkan dari Rasulullah Saw tentang waktu
mengangkat telunjuk adalah ketika mengucapkan kalimat Syahadat, dan berniat
sebagai isyarat Tauhid dan Ikhlas beribadah kepada Allah”. (Aun al-Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud, 2/305)
4. Berdoa Dengan Mengangkat Kedua Tangan
Pertanyaan:
Bagaimana`1kah
hukumnya berdoa dengan mengangkat
kedua tangan lalu mengusapkannya ke wajah,
baik setelah salat ataupun selain salat? Ali Ridla, Madura.
Jawaban:
Ada dua penjelasan
hadis dalam masalah ini, yaitu hadis secara umum dan khusus. Penjelasan hadis
secara umum adalah sabda Rasulullah Saw:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله تعالى عليه إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ
كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ
يَرُدَّهُمَا صِفْرًا (رواه أبو داود رقم 1273 والحاكم رقم 1831 وابن ماجه رقم
3855 والترمذى رقم 3479 وحسنه)
"Sesungguhnya
Allah Dzat yang maha hidup nan mulia. Allah malu dari hambanya yang mengangkat
kedua tangannya (meminta) kepada-Nya untuk menolak permintaannya" (HR Abu Dawud No 1273, Ibnu Majah No 3855, al-Hakim No 1831 dan
Turmudzi No 3497, ia menilainya hasan). Juga sebuah hadis:
وَعَنْ سَلْمَانَ قَالَ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله تعالى عليه
مَا رَفَعَ قَوْمٌ أَكُفَّهُمْ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَسْأَلُوْنَهُ
شَيْئًا إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَضَعَ فِي أَيْدِيْهِمْ الَّذِي
سَأَلُوْا (رواه الطبراني في الكبير رقم 6142 قلت : له حديث في السنن غير هذا
رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح (مجمع الزوائد 10/ 265)
"Tidak ada satu
kaum yang mengangkat tangannya kepada Allah meminta sesuatu kepada-Nya kecuali
menjadi kewajiban bagi Allah untuk mengabulkannya" (HR Thabrani dalam al-Kabir No 6142, al-Hafidz al-Haitsami
berkata:
"perawinya adalah perawi sahih")
Hadis yang secara
khusus setelah salat:
وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
أَبِي يَحْيَى قَالَ رَأَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَرَأَى رَجُلاً
رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُوْ قَبْلَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَتِهِ فَلَمَّا فَرَغَ
مِنْهَا قَالَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله تعالى عليه لَمْ يَكُنْ يَرْفَعُ
يَدَيْهِ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاَتِهِ (رواه الطبراني وترجم له فقال: محمد
بن أبي يحيى الأسلمي عن عبد الله بن الزبير ورجاله ثقات) مجمع الزوائد (10/ 266)
“Diriwayatkan bahwa
Abdullah bin Zubair melihat seseorang yang mengangkat kedua tangannya berdoa
sebelum selesai dari salat. Setelah selesai Abdullah bin Zubair berkata:
"Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak mengangkat kedua tangannya hingga
selesai dari salatnya” (HR Thabrani,
al-Hafidz al-Haitsami berkata: "Para perawinya terpercaya")
Adapun mengusap
wajah:
عَنْ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله تعالى عليه إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِى
الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ " (قال
الحافظ فى "البلوغ" 1 / 312: أخرجه الترمذى و له شواهد منها: حديث ابن
عباس عند أبى داود وغيره ومجموعها يقضى بأنه حديث حسن اهـ روضة المحدثين 9/ 465)
“Diriwayatkan dari Sayidina
Umar bahwa bila Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya dalam berdoa, maka
beliau tidak mengembalikannya hingga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya” (HR Turmudzi, al-Hafidz Ibnu Hajar dan al-Hafidz as-Suyuthi
menilainya hasan)
Dengan demikian,
hukumnya adalah sunah.
5.
Berdoa
Dengan Syair Arab
Pertanyaan:
Benarkah berdoa
dengan menggunakan syair dilarang? Misalnya syair yang telah masyhur: “ilaahii
lastu lil firdausi ahlaa”, dan sebagainya. Sebab saya pernah membaca
tabloid/majalah yang melarang baca doa dalam syair. A Rahman, Sby
Jawaban:
Berdoa dengan
menggunakan syair telah diamalkan oleh Rasulullah Saw. Misalnya doa Nabi yang
bersajak:
وَاللهِ لَوْلاَ أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا % وَلاَ تَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا
فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا % إِنَّ الأُلَى قَدْ أَبَوْا عَلَيْنَا
وَيَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ (رواه
البخاري رقم 2837 ومسلم رقم 4771)
“Demi
Allah, tanpa-Mu kami tak akan dapat hidayah, kami takkan bisa bersedekah dan
tidak bisa salat * Maka turunkan ketenangan kepada kami * Orang-orang terdahulu telah
menolak kami” (HR al-Bukhari No 2837 dan Muslim No 4771)
Bahkan dalam riwayat Muslim ada tambahan “Rasulullah mengeraskan suaranya
(dengan doa syair tersebut)”
Dalam hadis lain,
saat perang Khandaq para sahabat Muhajirin dan Anshar menggali tanah di sekitar
Madinah, mereka bersyair:
نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدًا % عَلَى الإِسْلاَمِ مَا بَقِينَا أَبَدًا
“Kami adalah orang
yang telah berbai’at kepada Muhammad dalam Islam, selama kami yakin,
selamanya”.
Kemudian Rasulullah
menjawab dengan doa syair yang bersajak:
اللَّهُمَّ إِنَّ الْخَيْرَ خَيْرُ
الآخِرَهْ % فَاغْفِرْ لِلأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَهْ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat * Maka
ampunilah kaum Anshar dan orang yang hijrah”
(HR al-Bukhari No 2835 dan Muslim No 4777)
Hadis-hadis diatas
menunjukkan tidak dilarangnya berdoa dengan syair dan sajak. Larangan dalam
berdoa meliputi: “Doa yang tergesa-gesa, doa yang isinya dosa dan doa untuk
memutus kekerabatan” (HR Muslim No 2735)
Oleh
karenanya, para sahabat dan ulama banyak mengarang syair dan sajak yang di
dalamnya dimuat doa-doa, pujian, salawat, tawassul dan sebagainya.
6.
Kata 'Sayidina' dalam Tahiyat
Pertanyaan:
Apakah benar dalam tahiyatul akhir seperti ini:
"Allahumma shalli ala saydina Muhammad wa ala ali sayidina Muhammad, kama
shallaita ala sayidina…" Tolong dijelaskan karena saya masih bingung.
Terimakasih. Rusdin, Surabaya.
Jawaban:
Dalam
tahiyat (atau shalawat)
yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw memang tidak ada lafadz
'Sayidina'. Namun penambahan tersebut bukan berarti
tidak boleh.
Dalam hadis-hadis sahih Rasulullah Saw mengaku bahwa beliau
adalah sayid. Yaitu:
اَنَا
سَيِّدُ وَلَدِ اَدَمَ وَلاَ فَخْرَ (رواه مسلم والترمذي)
“Saya adalah sayid
(pemuka) putra Adam di hari kiamat, dan tidak sombong” (HR Muslim, Turmudzi dan lainya).
Dalam hadis Bukhari
diriwayatkan bahwa
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ
رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله
تعالى عليه فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا
طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ
قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا
أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ (رواه البخاري 757)
"Seorang sahabat
di dalam salat menambah bacaan Rabbana wa laka al-hamdu… Selesai salat Nabi
bertanya: "Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?" Orang itu menjawab:
"Saya". Nabi bersabda: "Saya melihat ada 30 malaikat lebih yang
bergegas mencatatnya" (HR Bukari No 757)
Dari hadis ini ahli hadis al Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَاسْتُدِلَّ
بِهِ عَلَى جَوَازِ إِحْدَاثِ ذِكْرٍ فِي الصَّلاَةِ غَيْرِ مَأْثُوْرٍ إِذَا
كَانَ غَيْرَ مُخَالِفٍ لِلْمَأْثُوْرِ وَعَلَى جَوَازِ رَفْعِ الصَّوْتِ
بِالذِّكْرِ مَا لَمْ يُشَوِّشْ عَلَى مَنْ مَعَهُ (فتح الباري لابن حجر 2/287)
"Hadis ini
menunjukkan diperbolehkannya menambah bacaan yang tidak ada dalam salat, selama
bacaan tersebut tidak bertentangan dengan riwayat dari Nabi" (Fath al Bari II/287). Dan kita ketahui kata 'Sayid' ada dalam
hadis-hadis Nabi.
Dalil lainnya adalah
bacaan syahadat dalam tasyahhud oleh Ibnu Umar ditambah:
عَنْ مُجَاهِدٍ يُحَدِّثُ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ (فِى التَّشَهُّدِ) أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (رواه أبو داود رقم 973)
"Dalam kalimat
Syahadat salat, Ibnu Umar berkata: Saya tambahkan bacaan Wahdahu la syarika
lahu…" (Abu Dawud 826. Bahkan dinilai sahih oleh
Albani)
Dengan demikian
diperbolehkan menambah kata 'Sayidina' dalam tasyahhud sebagai bentuk menjaga
etika kepada Rasulullah Saw (Ianatut Thalibin I/197)
وَقَوْلُهُ:
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ اْلاَوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ، ِلاَنَّ
اْلاَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلاَدَبِ (حاشية إعانة الطالبين 1 / 198)
7. Dalil Qunut Salat Subuh
Pertanyaan:
Sebagai orang
Nahdliyin yang masih awam kami masih belum bisa memberi jawaban yang tepat
ketika ada yang bertanya apakah dasar hukum (hadis) baca qunut dalam salat
Subuh? yang kami tahu di madzhab Syafii baca
qunut hukumnya sunah
saat salat Subuh.
Mohon
penjelasannya. Terima kasih.
"Al-Fath" Surabaya.
Jawaban:
Dasar ulama madzhab
Syafiiyah tentang Qunut adalah hadis berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله تعالى
عليه يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ
الدُّنْيَا (رواه أحمد والدارقطني)
“Diriwayatkan dari
Anas Ibn Malik. Beliau berkata, “Rasulullah Saw senantiasa membaca qunut ketika
shalat subuh sehingga beliau wafat.” (Musnad
Ahmad bin Hanbal, juz III, hal. 162 [12679], Sunan al-Daraquthni, juz II, hal.
39 [9]).
Sanad hadits ini
shahih sehingga dapat dijadikan pedoman. Imam Nawawi
di dalam kitab al-Majmu’ menegaskan:
حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ
جَمَاعَةٌ مِنَ الْحُفَّاظِ وَصَحَّحُوْهُ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى صِحَّتِهِ
اْلحَافِظُ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍ الْبَلْخِي، وَالْحَاكِمُ
أَبُوْ عَبْدِ اللهِ فِي مَوَاضِعَ مِنْ كُتُبِ الْبَيْهَقِي وَرَوَاهُ
الدَّارَقُطْنِي مِنْ طُرُقٍ بِأَسَانِيْدَ صَحِيْحَةٍ (المجموع ج 3 ص 504)
“Hadits tersebut adalah shahih. Diriwayatkan oleh banyak ahli
hadits dan mereka kemudian menyatakan kesahihannya. Di antara orang yang menshahihkannya
adalah al-Hafizh
Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi serta al-Hakim Abu Abdillah di dalam
beberapa tempat di dalam kitab al-Baihaqi. Al-Daraquthni juga meriwayatkannya
dari berbagai jalur sanad yang shahih.”
(Al-Majmu’, juz III, hal. 504).
Tidak hanya madzhab Syafii, madzhab Maliki pun menghukumi Qunut tersebut
sebagai mustahab (dianjurkan). Sedangkan ulama Hanafiyah dan Hanabilah tidak
memperbolehkan membaca Qunut saat salat Subuh dengan dalil hadis riwayat Ibnu
Hibban dan Ibnu Khuzaimah (Fatawa al-Azhar V/9). Dengan demikian, ulama yang
menghukumi sunah atau yang tidak, kesemuanya memiliki dalil dari hadis.
8. Meng-qadla’ Salat Mayit
Pertanyaan:
Adakah dalil Al
Quran yang menerangkan meng-qadha’ shalat yang ditinggalkan oleh si mayit?
Suhaili, Sby
Jawaban:
Tidak ditemukan
dalil Al Quran tentang mengqadha’ shalat yang ditinggalkan si mayit. Akan
tetapi penegasan hadits tentang qadha’ atas puasa yang
berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي
الله تعالى عنه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله تعالى عليه فَقَالَ
يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ
عَنْهَا قَالَ «نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى» (رواه البخارى
رقم 1953 ومسلم
رقم 2750)
“Ada seseorang datang kepada Rasulullah Saw, ia berkata: Wahai
Rasulullah, ibu saya meninggal dan punya tanggungan puasa 1 bulan, apakah saya
meng-qadla’ atas nama beliau? Rasulullah menjawab: “Ya. Dan hutang kepada Allah
lebih berhak untuk ditunaikan” (HR
Bukhari 1953 dan Muslim 2750 dari Ibnu Abbas)
Hadis ini kemudian
diperluas kandungannya oleh Imam Syafi’i dalam qaul qadim (Madzhab terdahulu
ketika di Baghdad) mencakup pada shalat-shalat yang ditinggalkan, karena shalat
juga termasuk haqqullah.
(فَائِدَةٌ) مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةٌ فَلاَ قَضَاءَ وَلاَ
فِدْيَةَ. وَفِي قَوْلٍ -كَجَمْعٍ مُجْتَهِدِيْنَ-
أَنَّهَا تُقْضَى عَنْهُ لِخَبَرِ الْبُخَارِي وَغَيْرِهِ، وَمِنْ ثَمَّ
اخْتَارَهُ جَمْعٌ مِنْ أَئِمَّتِنَا، وَفَعَلَ بِهِ السُّبْكِي عَنْ بَعْضِ
أَقَارِبِهِ. وَنَقَلَ
ابْنُ بُرْهَانٍ عَنِ الْقَدِيْمِ أَنَّهُ يَلْزَمُ الْوَلِيَّ إِنْ خَلَفَ
تِرْكَةً أَنْ يُصَلِّىَ عَنْهُ، كَالصَّوْمِ. وَفِي
وَجْهٍ - عَلَيْهِ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا - أَنَّهُ يُطْعَمُ عَنْ كُلِّ
صَلاَةٍ مُدًّا (إعانة الطالبين - ج 1 / ص 33)
“Disebutkan bahwa: "Ibnu Burhan mengutip dari qaul qadim, sesungguhnya wajib bagi wali/orang tua
jika mati meninggalkan tirkah (warisan) agar dilakukan shalat sebagai ganti
darinya (mengqadha’ shalat yang ditinggalkan), seperti halnya puasa” (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24).
Pendapat ini
diperkuat oleh ulama Syafi'iyah, bahkan Imam as-Subki melakukan qadla' salat
yang ditinggalkan mayit dari sebagian kerabatnya. Ini adalah amaliyah yang
sudah masyhur di sebagian kalangan masyarakat Indonesia.
Sementara ulama
Syafi’iyah yang lain
berpendapat
bahwa "Salat yang ditinggalkan mayit
dapat diganti dengan membayar makanan sebanyak 1 mud (6 ons) bagi setiap
salatnya". Pendapat ini disampaikan oleh Imam Qaffal. (Itsmid al-'Ainain
59)
Sedangkan dalam
madzhab Hanafiyah disebutkan bahwa ahli waris dapat memberi fidyah atas salat
yang ditinggalkan mayit, jika si mayit berpesan demikian, dan tidak harus
diqadla' (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24)
9.
Larangan
Salat Ba'diyah Ashar dan Shubuh
Pertanyaan:
Apa
yang mendasari dilarangnya salat sunah setelah Ashar? Ahmad, Sby.
Jawaban:
Ibadah Salat, baik
yang wajib maupun sunah, dilakukan secara tasyri' (hal-hal yang disayriatkan oleh
Allah melalui Nabi Muhammad Saw). Salat juga sudah ditentukan waktu
pelaksanaannya, kecuali salat sunah mutlak (seperti salat Hajat, salat
Istikharah, salat Tahiyat al-Masjid dll), maka boleh dilakukan kapan saja.
Namun khusus salat
Ratibah (salat yang mengiringi salat wajib, baik sebelum atau sesudahnya) yang
setelah Ashar atau Shubuh tidaklah diperbolehkan. Diriwayatkan:
عَنْ عُمَرَ أَنَّ
النَّبِىَّ صلى الله تعالى عليه نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى
تَشْرُقَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُب (رواه أحمد والبخارى
ومسلم وابن ماجه والترمذى والنسائى وأبو داود وابن خزيمة)
“Ada seorang sahabat Nabi Saw yang setelah Ashar melakukan salat
sunah Ba'diyah, maka dimarahi oleh Sayidina Umar, beliau berkata:
"Sesungguhnya Rasulullah Saw melarang salat sunah setelah Ashar" (Riwayat Ahmad No 28445)
Larangan tersebut
berdasarkan hadis:
عَنْ عَلِىٍّ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله تعالى عليه لاَ
يُصَلَّى بَعْدِ الْعَصْرِ إلاَّ أَنْ تَكُونَ الشَّمْسُ بَيْضَاءَ مُرْتَفِعَةً (رواه
أحمد وأبو داود والبيهقى عن على)
"Janganlah salat setelah Ashar kecuali jika kamu salat
sementara matahari telah tinggi (maksudnya tenggelam / Maghrib)" (HR Ahmad No 610 dan Abu Dawud No 1274, hadis ini juga banyak
memiliki jalur riwayat)
Apa alasannya?
Rasulullah Saw bersabda
لاَ تُصَلُّوا عِنْدَ
طُلُوعِ الشَّمْسِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ وَيَسْجُدُ
لَهَا كُلُّ كَافِرٍ وَلاَ عِنْدَ غُرُوبِهَا فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَىْ
شَيْطَانٍ وَيَسْجُدُ لَهَا كُلُّ كَافِرٍ (أخرجه أحمد رقم 20181
وابن خزيمة رقم 1274)
"Janganlah salat ketika terbit
matahari (setelah Shubuh), Sebab matahari terbit diantara dua tanduk syetan dan
setiap orang kafir sujud kepadanya. Dan jangan salat ketika tenggelam matahari
(setelah Ahar). Sebab matahari terbenam diantara dua tanduk syetan dan setiap
orang kafir sujud kepadanya"
(HR Ahmad No 20181, Ibnu Khuzaimah No 1274, dan diriwayatkan melalui banyak
jalur). Wallahu A'lam.
10.
Dzikir Suara Keras
Dalil mengeraskan
dzikir setelah salat berdasarkan riwayat Ibnu Abbas berikut ini:
اِنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ
بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ
النَّبِيِّ صلى الله تعالى عليه وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا
انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ (رواه البخاري)
”Sesungguhnya mengeraskan (bacaan) dzikir
setelah para sahabat selesai melakukan salat wajib sudah ada sejak masa Nabi
Muhammad Saw.” Ibnu Abbas berkata: “Saya mengetahui yang demikian setelah
mereka melakukan salat wajib dan saya mendengarnya” HR Bukhari No 796, Muslim No 919, Ahmad No
3298, dan Ibnu Khuzaimah No 1613. Riwayat Ibnu Abbas ini juga diperkuat oleh
sahabat Abdullah bin Zubair, ia berkata: "Rasulullah Saw mengeraskan (yuhallilu)
kalimat-kalimat dzikirnya setiap selesai salat" (Sahih Muslim No 1372,
Ahmad No 16150 dan al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra No 3135)
Dari hadis ini Imam Nawawi berkata:
هَذَا دَلِيْلٌ لِمَا
قَالَهُ بَعْضُ السَّلَفِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالتَّكْبِيْرِ
وَالذِّكْرِ عَقِبَ الْمَكْتُوْبَةِ (شرح النووي على مسلم 2 / 360)
"Riwayat ini adalah dalil sebagian
ulama salaf mengenai disunahkannya mengeraskan suara bacaan takbir dan dzikir
setelah salat wajib" (Syarah Sahih Muslim II/260). Al-Mubarakfuri berkata:
"Anjuran mengeraskan suara dengan takbir dan dzikir setelah setiap salat
wajib adalah pendapat yang unggul (rajih) menurut saya, berdasarkan riwayat
Ibnu Abbas diatas" (Syarah Misykat al-Mashabih III/315)
11.
Mengeraskan Basmalah
Pertanyaan:
Kuatkah dalil
tentang mengeraskan bacaan Bismillah saat salat? MWC NU Gubeng
Jawaban:
Bagi kita yang
membaca Basmalah dengan suara keras dalam al-Fatihah adalah berdasarkan riwayat
Imam Syafii dari Ibu Abbas:
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَبَلَغَنِي أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رضي الله
تعالى عنه كَانَ يَقُوْلُ إنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله تعالى عليه كَانَ يَفْتَتِحُ
الْقِرَاءَةَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (الأم 1/ 107)
“Imam Syafii meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah
Saw mengawali bacaan dengan Bismillah” (al-Umm
1/107)
Terkait status
riwayat ini dinilai sahih oleh banyak ulama:
وَعَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي
الله تعالى عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله تعالى عليه إِذَا قَرَأْتُمْ
الْحَمْدَ فَأْقَرُؤْا بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ إِنَّهَا أُمُّ
الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ إِحْدَى آيَاتِهَا رَوَاهُ الدَّارُقُطْنِي بِإِسْنَادِ كُلٍّ
رِجَالُهُ ثِقَاتٌ لاَ جَرَمَ ذَكَرَهُ ابْنُ السَّكَنِ فِي سُنَنِهِ الصِّحَاحِ (تحفة
المحتاج إلى أدلة المنهاج لابن الملقن 1/ 292)
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: Jika kalian membaca
Hamdalah maka bacalah Bismillah, sebab Bismillah adalah induk al-Quran dan
al-Kitab, dan 7 ayat yang diualng-ulang. Bismillah adalah salah satu ayat
al-Fatihah”. HR daruquthni, sanad semuanya terpercaya, apalagi Ibnu Sakan
memasukkannya dalam kitab sahihnya”
(Tuhfah, Ibnu Mulaqqin 1/292)
12. Doa Ruku’ dan Sujud
Pertanyaan:
Ketika kami
melakukan salat, bacaan dalam ruku' dan sujud ada tambahan lafadz 'wa bi
hamdihi'. Kemudian ada yang menyalahkan bahwa katanya lafadz tersebut tidak
ada dalam hadis dan hanya ada dalam kitab-kitab kuning. Benarkah demikian dalam
keterangan ilmu fikih? Terima kasih. Abdul Mujib Sby
Jawaban:
Bacaan dalam
ruku' dan sujud
ada dua riwayat
dari
Rasulullah Saw, sama seperti bacaan
iftitah. Dalam beberapa riwayat seperti Imam Bukhari dan Muslim berupa "Subhana
Rabbi al-'Adzimi" dan "Subhana Rabbiya al-A'la" tanpa
ada lafadz 'Wa bi hamdihi'. Namun dalam riwayat lain ada tambahan lafadz
'Wa bi hamdihi', seperti dalam Sunan Abu Dawud No 870 Sunan Daruquthni
No 1308, dll.
زَادَ عُقْبَةُ
بْنِ عَامِرٍ قَالَ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله تعالى عليه إِذَا رَكَعَ قَالَ
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ ثَلَاثًا وَإِذَا سَجَدَ قَالَ سُبْحَانَ
رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ ثَلَاثًا (رواه أبو داود رقم 736)
“Uqbah bin Amir menambahkan bahwa jika Nabi ruku’ membaca
Subhana Rabbi al-'Adzimi wa bi hamdihi 3 kali. Dan sujud membaca Subhana
Rabbiya al-A'la wa bi hamdihi 3 kali”
Terkait penilaian
bahwa hadis ini dlaif, maka riwayat ini memiliki banyak jalur. Bahkan kalimat
'wa bi hamdihi' tercantum dari riwayat sahih dari Aisyah bahwa Rasulullah Saw
selalu memperbanyak doa dalam ruku' dan sujudnya: "Subhanakallahumma
rabbana wa bi hamdika" (Aun al-Ma'bud, Syarah Sunan Abi Dawud III/122)
Syaikh asy-Syaukani
berkata:
وَأَمَّا زِيَادَةُ
"وَبِحَمْدِهِ" فَهِيَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ مِنْ حَدِيْثِ عُقْبَةَ
اْلآتِي وَعِنْدَ الدَّارِقُطْنِي مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اْلآتِي
أَيْضًا. وَعِنْدَهُ أَيْضًا مِنْ حَدِيْثِ حُذَيْفَةَ. وَعِنْدَ أَحْمَدَ
وَالطَّبْرَانِي مِنْ حَدِيْثِ أَبِي مَالِكٍ اْلأَشْعَرِي وَعِنْدَ الْحَاكِمِ
مِنْ حَدِيْثِ أَبِي جُحَيْفَةَ وَلَكِنَّهُ قَالَ أَبُوْ دَاوُدَ بَعْدَ
إِخْرَاجِهِ لَهَا مِنْ حَدِيْثِ عُقْبَةَ أَنَّهُ يَخَافُ أَنْ لاَ تَكُوْنَ مَحْفُوْظَةً.
وَفِي حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ السَّرِيُّ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ وَهُوَ ضَعِيْفٌ.
وَفِي حَدِيْثِ حُذَيْفَةَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى
وَهُوَ ضَعِيْفٌ. وَفِي حَدِيْثِ أَبِي مَالِكٍ شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ وَقَدْ
رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبْرَانِي أَيْضًا مِنْ طَرِيْقِ ابْنِ السَّعْدِي عَنْ
أَبِيْهِ بِدُوْنِهَا. وَحَدِيْثُ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ الْحَافِظُ: إِسْنَادُهُ
ضَعِيْفٌ وَقَدْ أَنْكَرَ هَذِهِ الزِّيَادَةَ ابْنُ الصَّلاَحِ وَغَيْرُهُ
وَلَكِنْ هَذِهِ الطُّرُقُ تَتَعَاضَدُ فَيَرُدُّ بِهَا هَذَا اْلإِنْكَارُ (نيل
الأوطار 2/ 271)
“Adapun tambahan 'wa
bi hamdihi' terdapat dalam riwayat Abu Dawud dari Uqbah, juga dalam riwayat
Daruquthni dari Ibnu Mas'ud dan Hudzaifah, dalam riwayat Ahmad dan Thabrani
dari Abu Malik al Asy'ari, dalam riwayat al-Hakim dari Abu Juhaifah. Dalam
riwayat-riwayat tersebut ada beberapa perawi dlaif, al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata: Ibnu Shalah mengingkari tambahan tersebut, tetapi banyaknya riwayat
tersebut saling menguatkan. Dengan demikian pengingkaran tersebut dapat ditolak
dengan anyaknya riwayat-riwayat di atas” (Nailul
Authar, al-Hafidz Asy-Syaukani, 2/271)
13. Puji-Pujian Setelah Adzan
Pertanyaan:
Ketika ada waktu
antara adzan dan iqamah biasanya muadzin melantunkan puji-pujian, syair doa dan
sebagainya. Adakah dalil-dalil yang memperbolehkan hal itu? Amri, Sby
Jawaban:
Memang ada 2 hal
yang kadang dibaca bersama jelang
iqamat, yaitu doa atau pujian, seruan
mengajak berjamaah dan sebagainya. Terkait dengan doa yang dibaca, dijelaskan
dalam sebuah hadis:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى
الله تعالى عليه لاَ يُرَدُّ الدُّعَاءُ
بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ (رواه أبو داود رقم 521 والنسائي في "عمل اليوم والليلة"
رقم 67 وابن
خزيمة في "صحيحه" رقم 425 ورواه
الترمذي 3594)
“Tidak akan ditolak sebuah doa yang dibaca antara adzan dan
iqamat” (HR Abu Dawud No 521, dinilai sahih oleh
Ibnu Khuzaimah). Pada intinya doa yang dibaca adalah karena waktu tersebut
adalah waktu mustabah.
Sementara melantunkan
syair di dalam masjid, apabila dalam syair tadi mengandung pujian yang benar,
petuah-petuah, etika, atau ilmu-ilmu yang bermanfaat adalah boleh. Seorang
sahabat Hassan bin Tsabit telah benar-benar melantunkan syair-syair pujian kenabian
di masjid Madinah di hadapan Rasulullah Saw dan para sahabat. Berikut
riwayatnya:
وَفِي صَحِيْحِ
الْبُخَارِيْ اَنَّ عُمَرَ رضي الله تعالى عنه مَرَّ فِي الْمَسْجِدِ وَحَسَّانُ
يُنْشِدُ فِيْهِ الشِّعْرَ فَلَحِظَ اِلَيْهِ فَقَالَ كُنْتُ أُنْشِدُ فِيْهِ وَفِيْهِ
مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ
أَنْشُدُكَ بِاللهِ أَسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله تعالى عليه يَقُوْلُ
أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوْحِ الْقُدُسِ قَالَ نَعَمْ (رواه
البخاري رقم 3212 ومسلم رقم 6539)
"Umar lewat di masjid sementara Hassan
membaca syair. Hassan melirik kepadanya dan berkata: Saya membaca syair di
masjid, dan di dalamnya ada orang yang lebih baik daripada anda. Kemudian Umar
menoleh ke Abu Hurairah, lalu bertanya: Saya bersumpah untukmu demi Allah,
apakah kamu mendengar Rasulullah bersabda: Kabulkan saya, Ya Allah, kokohkan
Hassan dengan malaikat Jibril? Abu Hurairah menjawab: Ya, saya
mendengarnya")
HR al-Bukhari No 3212
dan Muslim No 6539(
14. Kesahihan Salat Tasbih
Pertanyaan:
Ketika salat malam
bersama, misalnya mencari malam Laitaul Qadar di bulan Ramadlan, imam masjid
mengajak salat Tasbih berjamaah. Apakan salat Tasbih memiliki dasar? Jamaah
Mushalla Da'watul Anshor, Sby
Jawaban:
Benar, bahwa salat
Tasbih yang sering dilakukan sebagai salat sunah di malam hari berdasarkan
sebuah hadis, dimana Rasulullah mengajarkan salat tersebut kepada pamannya
Abbas bin Abdul Muthallib:
حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ
حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صلى الله تعالى عليه قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ «
يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوكَ
أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ
لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ
صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّىَ
أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً
فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِى أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ
فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ
فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِى سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ
عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ
تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا
فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِى أَرْبَعِ
رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِى كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ
شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً (أخرجه أبو داود (2/29، رقم 1297)، وابن ماجه
(1/443، رقم 1387)، وابن خزيمة (2/223، رقم 1216)، والطبرانى (11/243، رقم 11622)،
والحاكم (1/463، رقم 1192)، والبيهقى (3/51، رقم 4695)
(Hadis tentang Salat Tasbih diriwayatkan oleh Abu Dawud No 1297,
Ibnu Majah No 1387, Ibnu Khuzaimah No 1216, Thabrani No 11622, al-Hakim No 1192
dan al-Baihaqi No 4690)
Terkait dengan
tuduhan bahwa hadis tentang salat Tasbih adalah hadis palsu, maka dibantah oleh
banyak ulama ahli hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
قَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ
الْفَضْلِ بْنُ حَجَرٍ فِي كِتَابِ الْخِصَالِ الْمُكَفِّرَةِ لِلذُّنُوْبِ
الْمُقَدَّمَةِ وَالْمُؤَخَّرَةِ أَسَاءَ اِبْنُ الْجَوْزِيّ بِذِكْرِ هَذَا
الْحَدِيْثِ فِي الْمَوْضُوعَاتِ. وَقَوْلُهُ إِنَّ مُوْسَى بْنَ عَبْدِ
الْعَزِيْزِ مَجْهُوْلٌ لَمْ يُصِبْ فِيْهِ فَإِنَّ اِبْنَ مَعِيْنٍ
وَالنَّسَائِيَّ وَثَّقَاهُ (عون المعبود - ج 3 / ص 247)
“Ibnu Jauzi telah berbuat keburukan dengan
menilai hadis salat Tasbih ini sebagai hadis palsu”. Alasan yang dikemukakan
oleh Ibnu Jauzi karena ada perawi bernama Musa bin Abdul Aziz yang dituduh
majhul (tidak diketahui). al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Musa bin Abdul Aziz
tersebut dinilai oleh Ibnu Ma'in dan an-Nasai sebagai perawi terpercaya”.
Bahkan al-Bukhari
mencantumkannya dalam kitabnya “al-Qira'ah Khalfa al-Imam”. Imam Muslim
berkata: “Tidak ada riwayat tentang salat Tasbih yang lebih baik daripada
riwayat tersebut”. Az-Zarkasyi berkata:
غَلَطَ اِبْنُ الْجَوْزِيّ
بِلَا شَكٍّ فِي جَعْلِهِ مِنَ الْمَوْضُوعَاتِ؛ لِأَنَّهُ رَوَاهُ مِنْ ثَلَاثَةِ
طُرُقٍ أَحَدُهَا: حَدِيثُ اِبْن عَبَّاسٍ وَهُوَ صَحِيْحٌ وَلَيْسَ بِضَعِيْفٍ
فَضْلًا عَنْ أَنْ يَكُوْنَ مَوْضُوعًا وَغَايَةُ مَا عَلَّلَهُ بِمُوْسَى بْنِ
عَبْدِ الْعَزِيْزِ فَقَالَ مَجْهُوْلٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ، فَقَدْ رَوَى عَنْهُ
بِشْرُ بْن الْحَكَمِ وَابْنُهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَإِسْحَاقُ بْنِ أَبِي
إِسْرَائِيْلَ وَزَيْدُ بْنُ الْمُبَارَكِ الصَّنْعَانِيّ وَغَيْرُهمْ. وَقَالَ
فِيْهِ اِبْنُ مَعِيْنٍ وَالنَّسَائِيّ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ وَلَوْ ثَبَتَتْ
جَهَالَتُهُ لَمْ يَلْزَم أَنْ يَكُوْنَ الْحَدِيْثُ مَوْضُوْعًا، مَا لَمْ يَكُنْ
فِي إِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْوَضْعِ. وَالطَّرِيقَانِ الْآخَرَانِ فِي
كُلٍّ مِنْهُمَا ضَعِيْفٌ وَلَا يَلْزَمُ مِنْ ضَعْفِهِمَا أَنْ يَكُوْنَ
حَدِيثُهُمَا مَوْضُوعًا اِنْتَهَى (عون المعبود - ج 3 / ص 247)
“Tidak diragukan lagi kesalahan Ibnu Jauzi yang menilai hadis
ini sebagai hadis palsu. Sebab hadis tersebut memiliki 3 jalur. Jalur pertama
adalah dari Ibnu Abbas, ini adalah sahih bukan dlaif apalagi palsu. Dan 2 jalur
riwayat lainnya adalah dlaif, namun bukan hadis palsu” (Aun al-Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud 3/247)
Sementara salat
sunah berjamaah pernah dibahas di rubrik ini, yaitu Ibnu Abbas yang bermakmum
salat sunah kepada Rasulullah (HR Bukhari 4/163) dan Anas bermakmum salat sunah
kepada Rasulullah Saw (HR Muslim No 1533)
Dengan demikian, amaliyah salat Tasbih
berjamaah sebagai salat sunah mutlak, memiliki landasan dalil yang dibenarkan
dalam Islam
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik