( III ) Cara Mudah
Membantah Ajaran Sesat Wahhabi (Dari Kitab Sharih al Bayan Fi ar Radd ‘Ala
Man Khlaf al Qur’an karya al Imam al Hafizh al Muhaddits
Syaikh al Islam Abdullah al Harari al Habasyi)
Anda
katakan kepada orang-orang Wahabi: “Ajaran agama kalian itu baru, dirintis oleh
Muhammad ibn Abdul Wahhab. Buktinya, tidak ada seorang muslim-pun sebelum
Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang mengharamkan perkataan: ”Yaa Muhammad
(Wahai Muhammad)...”. Bahkan orang yang oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab
disebutnya sebagai “Syaikh al-Islam”; yaitu Ahmad ibn Taimiyah telah
membolehkan mengucapkan “Ya Muhammad…” bagi orang yang sedang kesusahan
karena tertimpa semacam lumpuh pada kakinya (al-Khadar). Ibn Taimiyah
mengatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang tertimpa semacam kelumpuhan pada
kaki yang tidak dapat digerakan untuk mengucapkan “Yaa Muhammad…”. Yang
dimaksud al-khadar pada kaki di sini bukan artinya “kesemutan”, juga
bukan lumpuh yang permanen, tapi yang dimaksud adalah lumpuh sementara karena
terlalu lama duduk atau semacamnya. Rekomendasi Ibn Taimiyah ini ia dasarkan
kepada apa yang telah dilakukan oleh sahabat Abdullah ibn Umar, bahwa suatu
ketika sahabat yang mulia ini tertimpa al-khadar pada kakinya, lalu ada
orang yang berkata kepadanya: “Sebutkan orang yang paling engkau cintai!!”,
kemudian Abdullah ibn Umar berkata: “Yaa Muhammad…”.
Anda
katakan kepada kaum Wahhabi: “Ibn Taimiyah yang kalian sebut sebagai “syaikh
al-Islam” membolehkan perkara di atas, sementara kalian menamakan itu
sebagai kekufuran. Dalam hal ini, bahkan Ibn Taimiyah sendiri terbebas dan
tidak sejalan dengan apa yang kalian yakini. Dengan dasar apa kalian mengaku
sebagai bagian dari orang-orang Islam?! Kalian bukan orang-orang Islam, karena kalian
mengkafirkan seluruh umat Islam yang mengucapkan ”Yaa Muhammad...”,
padahal tidak ada seorangpun yang mengharamkan perkataan ”Yaa Muhammad...”
kecuali kalian sendiri yang pertamakali mengharamkannya. Dan sesungguhnya
barangsiapa mengkafirkan umat Islam maka dia sendiri yang kafir, karena umat
ini akan senantiasa akan berada dalam agama Islam hingga hari kiamat. Imam al
Bukhari dalam kitab Shahih meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
لَنْ يَزَال أمْرُ هذِه الأمّةِ
مُسْتَقِيْمًا حَتّى تَقُوْمَ السّاعَةُ أوْ حَتّى يَأتِيَ أمْرُ اللهِ (روَاه
البُخَاري)
“Senantiasa urusan umat ini akan selalu dalam kebenaran hingga datang
kiamat, atau hingga datang urusan Allah” (HR. al
Bukhari)
Jika
mereka berkata: ”Ibn Taimiyah tidak berkata demikian!!”, maka anda katakan
kepada mereka: ”Ada buktinya, itu ditulis oleh Ibn Taimiyah dalam bukunya
berjudul ”al Kalim ath Thayyib”. Para ulama yang menuliskan biografi Ibn
Taimiyah mengatakan bahwa ”al Kalim ath Thayyib” benar-benar sebagai
salah satu dari karya-karyanya, di antaranya disebutkan oleh Shalahuddin
ash-Shafadi; salah seorang yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri dan
banyak mengambil darinya.
Kemudian
salah seorang pemuka kaum Wahhabi; al Albani, juga mengakui bahwa al Kalim
ath Thayyib adalah salah satu karya Ibn Taimiyah, dan bahkan ia membuat
catatan tambahan (ta’liq) terhadap kitab tersebut, walaupun ia berkata
bahwa sanad tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar tersebut adalah dla’if.
Namunbegitu, walaupun al-Albani menilai sanad tentang perkataan Ibn Umar
tersebut dla’if tetapi penilaiannya itu sama sekali tidak memberikan
pengaruh apapun, oleh karena Ibn Taimiyah telah mengutip riwayat itu dalam
kitabnya tersebut dengan menamakannya ”Pasal: Tentang kaki apa bila terkana al-khadar”,
lalu ia menamakan kitabnya tersebut dengan ”al-Kalim ath-Thayyib”,
artinya ”Perkataan yang baik” (Lihat kitab, h. 73).
Bahkan,
seandainya benar sanad riwayat tersebut berkualitas dla’if (seperti yang
sangka al Albani); tetapi Ibn Taimiyah telah jelas-jelas membolehkan hal itu
yang karenanya ia mengutip dalam kitabnya tersebut, dan ia namakan dengan ”al
Kalim ath Thayyib”. Dari sini anda katakan kepada mereka: ”Dengan demikian
siapa sebenarnya yang telah kafir, apakah Ibn Taimiyah yang kalian sebut
sebagai ”Syaikh al-Islam” atau kalian sendiri?! Secara tersirat
sebenarnya orang-orang wahhabi tersebut telah mengkafirkan Ibn Taimiyah; baik
mereka sendiri sadar atau tidak. Sampai di sini tentu mereka tidak berani untuk
mengatakan Ibn Taimiyah kafir, juga mereka tidak akan mengatakan bahwa mereka
sendiri sebagai orang-orang kafir. Mereka tidak akan memiliki jawaban untuk
ini. Dari sini kita katakan kepada mereka: ”Jika demikian, maka benar
bahwa ajaran agama kalian itu adalah ajaran yang baru. Karena dengan pendapat
kalian yang mengharamkan perkataan ”Yaa Muhammad...” berarti kalian
telah mengkafirkan seluruh umat Islam dari semenjak masa Rasulullah hingga masa
kita sekarang ini. Dan bahkan baik disadari oleh kalian atau tidak; kalian
telah mengkafirkan ”Imam utama” kalian, yaitu Ibn Taimiyah yang jelas-jelas
telah membolehkan perkataan ”Yaa Muhammad...” saat kaki terkena al-khadar”.
Mereka akan terdiam seribu bahasa tidak memiliki argumen.
Terlebih
dari pada itu semua, tentang penilaian al-Albani yang mengklaim sanad riwayat
perkataan Ibn Umar tersebut sebagai sanad yang dla’if, penilaiannya ini
sedikitpun tidak dapat dijadikan landasan, karena dia seorang yang tidak
memiliki otoritas untuk melakukan penilaian hadits; dla’if atau shahih.
Dia bukan seorang hafizh al-hadits, bahkan ia sendiri mengaku bahwa ia
tidak hafal walaupun hanya sepuluh buah hadits saja dengan sanad-sanadnya
hingga Rasulullah. Ia hanya mengaku-aku bagi dirinya sendiri bahwa dia adalah ”muhaddits
kitab” bukan ”muhaddits hifzh”. [Gelar ”aneh” yang ia buat sendiri].
Kemudian
jika orang-orang Wahhabi berkata: ”Ibn Taimiyah meriwayatkan perkataan Ibn Umar
tersebut dari seorang perawi yang masih diperselisihkan (Mukhtalaf fih)”,
maka anda katakan kepada mereka: ”Ibn Taimiyah jelas-jelas meriwayatkannya
dalam kitabnya tersebut, itu artinya sebagai bukti bahwa ia menganggap baik
perkataan ”Ya Muhammad...”, baik riwayat tersebut shahih atau tidak
shahih. Karena seorang yang meriwayatkan sesuatu yang batil sementara ia tidak
mengingkarinya itu artinya ia menganggap baik sesuatu tersebut dan menyeru
kepadanya.
Kisah
tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar di atas diriwayatkan oleh al
Hafizh Ibn as Sunny (Lihat ’Amal al Yaum Wa al Laylah, h. 72-73),
juga oleh Imam al Bukhari dalam kitab al Adab al Mufrad (Lihat h. 324)
dengan jalur sanad selain sanad Ibn as Sunny. Demikian pula telah diriwayatkan
oleh al Hafizh al Kabir Imam Ibrahim al Harbi; seorang yang dalam ilmu
dan sikap wara’-nya serupa dengan Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam kitab Gharib
al Hadits, yang juga dengan jalur sanad selain sanad Ibn as-Sunny (Lihat Gharib
al Hadits, j. 2, h. 673-674). Diriwayatkan pula oleh al Hafizh an
Nawawi (Lihat al Adzkar, h. 321), oleh al Hafizh Ibn al Jazari
dalam kitab al Hishn al Hashin dan dalam kitab ’Iddah al Hishn al
Hashin (Lihat h. 105), dan oleh asy Syaukani; seorang yang dalam beberapa
masalah sejalan dengan pemahaman Wahabi. Lihat -wahai orang-orang Wahabi-, asy
Syaukani meriwayatkannya dalam Tuhfah adz-Dzakirin (Lihat, h. 267),
sementara kalian menganggap perkataan ”Yaa Muhammad...” sebagai
kekufuran?! Wahai kaum Wahhabi hendak lari kemana kalian?! Jelas tersingkap
”kedok sesat ” ajaran kalian. Lihat pula, Ibn Taimiyah sebagai imam kalian, dan
sebagai imam utama dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang banyak mengambil faham
sesatnya telah meriwayatkannya dalam karyanya sendiri yang ia namakan dengan ”al-Kalim
ath-Thayyib”.
Jika
orang-orang Wahhabi berkata: ”Kita yang benar, sementara Ibn Taimiyah tidak
benar, ia telah menghalalkan perbuatan syirik dan kufur”, kita katakan kepada
mereka: ”Itu berarti kalian telah mengkafirkan imam terkemuka kalian sendiri
yang merupakan referensi utama bagi kalian dalam akidah tasybih
(penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) dan dalam banyak kesesatannya. Dan itu
berarti merupakan pengakuan dari diri kalian sendiri bahwa kalian mengikuti
seorang yang kalian anggap sebagai orang kafir, padahal dia adalah rujukan
utama kalian dalam berbagai permasalahan akidah yang kalian yakini. Lihat,
kalian telah mengikuti Ibn Taimiyah dalam penyataan kufurnya bahwa Kalam Allah
dan Kehendak-Nya adalah baharu dari segi materi (al-Afrad) dan qadim
dari segi jenis (al-Jins/an-Nau’). Kalian juga mengikutinya dalam
keyakinannya bahwa jenis alam ini azaly (tidak bermula) ada bersama
Allah bukan sebagai makhluk. Lihat, dengan kekufurnya ini kalian telah
menjadikan dia sebagai ikutan dan sandaran dalam segala keyakinan kalian yang
nyata-nyata hal itu menyalahai kebenaran, sementara kalian menyalahi dia pada
perkara di mana ia telah sesuai dengan kebenaran di dalamnya; yaitu dalam
kebolehan mengucapkan kata “Yaa Muhammad...” ketika dalam keadaan sulit
atau saat tertimpa musibah.
Kemudian
kita katakan pula kepada mereka; ”Pengakuan bahwa kalian sebagai kelompok
salafi adalah bohong besar. Siapakah di antara ulama Salaf yang melarang
mengatakan kata “Yaa Muhammad...” saat dalam kesulitan? Karena itu haram
bagi kalian mengaku sebagai kaum Salafi, karena penamaan ini menipu banyak
orang awam, padahal kalian sedikirpun tidak berada di atas keyakinan Ulama
Salaf, juga tidak di atas keyakinan Ulama Khalaf, tetapi kalian datang dengan
membawa agama dan ajaran yang baru. Sesungguhnya mengucapkan kata “Yaa
Muhammad...” untuk tujuan meminta tolong (istigatsah) adalah perkara
yang telah disepakati kebolehannya oleh para ulama Salaf dan ulama Khalaf; baik
di masa Rasulullah masih hidup atau setelah beliau wafat.
Adapun
yang dilarang dalam syari’at adalah mengucapkan kata “Yaa Muhammad...”
di hadapan wajah Rasulullah di masa hidupnya untuk tujuan memanggilnya, yaitu
setelah turun firman Allah
لاَتَجْعَلُوا دُعَآءَ الرَّسُولِ
بَيْنَكُمْ كَدُعَآءِ بَعْضَكُم بَعْضًا (النور: 63)
”Janganlah kalian menjadikan panggilan terhadap
Rasulullah di antara kalian seperti sebagian kalian memanggil sebagian yang
lainnya” (QS. An-Nur: 63).
Sebab diharamkan
perkara tersebut adalah karena ada suatu kaum yang bersifat kasar memanggil
Rasulullah dari laur rumahnya dengan mengatakan ”Wahai Muhammad (Yaa
Muhammad) keluarlah engkau kepada kami...!!”. Dari sebab ini kemudian Allah
mengharamkan perkara ini karena untuk memuliakan Rasulullah.
Adapun tentang seorang sahabat yang buta yang bertawassul dengan Rasulullah
supaya ia mendapatkan kesembuhan dari butanya; yang kemudian Rasulullah
mengajari sahabat buta tersebut beberapa kalimat doa untuk ia bacakan; maka
bacaannya tersebut tidak dibacakan hadapan Rasulullah. Doa tersebut yaitu:
اللّهُمّ إنّي أسْألُكَ
وَأتَوَجَّهُ إلَيكَ بِنَبِيّنَا مُحَمّدٍ نَبيّ الرّحْمَة يَا مُحَمّدُ إنّي
أتَوَجّهُ بِكَ إلَى رَبّي عَزّ وَجَلّ فِي حَاجَتِيْ
”Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku
menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu; Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai
Muhammad sesungguhnya saya denganmu menghadap kepada Tuhan saya dalam
kebutuhanku ini”.
Dalam
riwayat hadits ini Rasulullah berkata kepada sahabat buta tersebut: ”Pergilah
ke tempat wudlu, berwudlu-lah, lalu kerjakan shalat dua raka’at, kemudian
berdoalah dengan membaca doa-doa itu” (HR. Ath Thabarani, lihat al Mu’jam al
Kabir, j. 9, h. 17-18 dan al Mu’jam ash Shagir, h. 201-202). Sahabat
buta tersebut kemudian keluar dari majelis Rasulullah, beliau berwudlu, lalu
shalat dua raka’at, dan membacakan doa yang berisi tawassul dengan Rasulullah
tersebut. Setelah beliau menyelesaikan itu semua maka beliau datang kembali
menghadap Rasulullah dalam keadaan sudah dapat melihat. Dengan demikian doa
yang dibacakan oleh sahabat buta tersebut tidak dihadapan Rasulullah pada masa
hidup beliau saat itu. Dari sini kita katakan kepada kaum Wahabi; ”Kalian telah
mengambil pendapat Ibn Taimiyah dalam karyanya berjudul at Tawassul Wa al
Wasilah bahwa tawassul hanya boleh dilakukan dengan orang yang hadir di
hadapan dan dalam keadaan masih hidup, namun terhadap tawassul atau istighatsah
dengan yang sudah meninggal; yang padahal itu oleh Ibn Taimiyah sendiri juga
dikatakan sebagai perkara baik, seperti bertawassul dengan Rasulullah setelah
wafatnya; kalian menyalahinya, bahkan kalian mengklaim bahwa perkara tersebut
adalah syirik dan kufur?! Alangkah naifnya kalian, betul-betul jauh dari
kebenaran”.
Kemudian dari pada itu, kita katakan pula kepada mereka untuk membantah
pendapat mereka yang telah mengatakan bahwa Allah berada di arah atas; atau
berada di arsy; ”Seseorang yang dalam posisi berdiri, apakah dari segi jarak
posisi kepalanya lebih dekat kepada arsy dibanding seorang yang sedang dalam
posisi sujud?” Mereka pasti menjawab bahwa yang dalam posisi berdiri lebih
dekat kepada arsy. Lalu kita katakan kepada mereka: ”Kalian telah menjadikan
arsy sebagai tempat bagi Allah, padahal ada hadits Rasulullah yang menolak
pemahaman sesat kalian ini; adalah riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah
bersabda:
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبّهِ
وَهُوَ سَاجِدٌ فأكْثِرُوا الدّعَاء (رَوَاه مُسْلِمٌ)
”Seorang hamba yang paling ”dekat” kepada Allah adalah
saat dia dalam posisi sujud, maka hendaklah kalian memperbanyak doa (pada
posisi tersebut)” (HR. Muslim).
Kalian mengatakan
bahwa metode takwil sama dengan ta’thil; artinya menurut kalian
memberlakukan takwil sama saja dengan mengingkari wujud Allah dan mengingkari
sifat-sifat-Nya; atau dalam istilah kalian ”at-ta’wil ta’thil”. Ini
artinya ketika kalian menolak takwil maka berarti sama saja kalian mengakui
bahwa keyakinan kalian adalah keyakinan batil, karena keyakinan kalian
berseberangan dengan pemahaman zahir (literal) hadits tersebut”.
Adapun kami kaum Ahlussunnah memahami firman Allah:
الرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
dan seluruh ayat-ayat
atau hadits-hadits Nabi yang secara zahir (literal) seakan bahwa Allah memiliki
tempat dan arah, atau seakan bahwa Allah memiliki anggota badan, atau seakan
bahwa Allah memiliki bentuk (batasan), atau bergerak, dan pindah, atau
sifat-sifat apapun yang seakan bahwa Allah serupa dengan makhuk-Nya; ini semua
kita pahami dengan metode takwil, baik dengan metode takwil Ijmali atau takwil
tafshili, sebagaimana hal itu telah dicontohkan oleh beberapa orang dari
ulama Salaf, yang kemudian diikuti oleh para ulama Khalaf. Kita katakan; ”Makna
teks-teks semacam itu semua bukan dalam makna zahirnya, tetapi itu semua
memiliki makna-makna yang sesuai bagi keagungan Allah yang sama sekali tidak
menyerupai makhluk-Nya. Inilah yang dimaksud dari perkataan sebagian ulama Salaf
”Bila Kayf Wa La Tasybih”. Ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa makna ”Bila
Kayf” yang dimasud adalah bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihat
semacam yang telah disebutkan di atas tidak dipahami dalam pengertian benda
atau sifat-sifat benda. Inilah pemahaman yang benar dari maksud perkataan ulama
Salaf dan ulama Khalaf ”Bila Kayif”, tidak seperti yang dipahami oleh
orang-orang Wahabi; dalam mulutnya mereka mengatakan ”Bila Kayf”, tapi
dalam hati mereka meyakini adanya kayf (sifat benda).
Sesungguhnya metode takwil tafshili telah berlakukan oleh para ulama Salaf
sekalipun tidak oleh semua mereka. Imam Ahmad ibn Hanbal misalkan, telah
mentakwil firman Allah: ”Wa Ja’a Rabbuka” (QS. Al-Fajr: 22) dengan
mengatakan bahwa yang dimaksud ”ja’a” dalam ayat tersebut adalah
”datangnya” pahala dari Allah, dalam riwayat lainnya beliau mengatakan bahwa
yang dimaksud adalah ”datangnya perintah Allah” (Lihat al Bidayah Wa an
Nihayah, j. 10, h. 327. Imam al Baihaqi mengatakan sanad riwayat ini tidak
memiliki cacat sedikitpun). Sementara kalian wahai kaum Wahabi mengatakan dalam
mamahami ayat tersebut bahwa Allah turun secara indrawi. Dalam keyakinan kalian
bahwa Allah pindah dari arsy ke bumi sebagaimana para Mala’ikat turun secara
indrawi; yaitu turun dengan pindah dari arah atas ke arah bumi pada hari kiamat
kelak. Seandainya Imam Ahmad berkeyakinan seperti keyakinan kalian maka tentu
beliau tidak akan mentakwil ayat di atas; tentu beliau akan memahami ayat
tersebut sesuai zahirnya seperti yang kalian pahami, tapi terbukti beliau telah
melakukan takwil. Perkataan Imam Ahmad ini telah diriwayatkan oleh Imam
al-Bayhaqi dan disahehkannya dalam kitab Manaqib al-Imam Ahmad.
Demikian pula firman Allah ”Yauma Yuksyafu ’An Saq” (QS. Al-Qalam: 42)
oleh sebagian ulama Salaf telah ditakwil secara tafshili; mereka mengatakan
yang dimaksud kata “as-Saq” dalam ayat ini adalah “huru-hara (kesulitan)
yang teramat dahsyat”, (artinya bahwa Allah akan mengangkat huru-hara tersebut
di hari kiamat kelak dari orang-orang mukmin) (Lihat Fath al Bari, j. 13, h.
428, al Asma Wa as Shifat, h. 345). Sementara kalian wahai orang-orang Wahabi
memaknai makna “saq” pada ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah
memiliki betis sebagaimana manusia memiliki betis yang merupakan salah satu
anggota badannya. Bagaimana kalian mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya
dengan keyakinan kalian yang rusak ini?! Dengan demikian menjadi jelas bahwa
pengakuan kalian sebagai para pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bohong
besar.
Sementara itu Imam al Bukhari telah menyebutkan takwil bagi dua ayat dari al
Qur’an. Pertama; beliau mentakwil firman Allah:
كُلُّ شَىءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَه (القصص:
88)
Imam al Bukhari mengatakan bahwa makna “al
Wajh” dalam ayat tersebut adalah “al Mulk”; artinya kerajaan atau
kekuasaan (lihat Shahih al Bukhari, tafsir Surat al Qasas). Takwil ayat
ini demikian juga telah disebutkan oleh Imam Sufyan ats Tsauri dalam kitab
Tafsir-nya (Lihat Tafsir al Qur’an al Karim, h. 194). Kedua; Imam
al Bukhari mentakwil firman Allah:
هُوَ ءَاخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا (هود: 56)
Ayat ini ditakwil oleh beliau dalam makna “al
mulk wa as sulthan” artinya “kerajaan dan kekuasaan” (Lihat Shahih al
Bukhari, Tafsir Surat Hud). Imam al Bukhari tidak pernah mentakwil ayat
ini seperti yang kalian yakini dalam pengertian bahwa Allah bersentuhan. Benar,
makna literal dari ayat tersebut seakan Allah menyentuh setiap ubun-ubun dari
segala binatang, tapi memaknainya seperti demikian ini jelas merupakan tasybih
(penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), karena Allah tidak disifati dengan
menyentuh, dan atau disentuh; sebab menyentuh maupun disentuh adalah dari tanda-tanda
makluk.
Adapun takwil hadits riwayat Imam Muslim yang telah kita sebutkan di atas
adalah bahwa makna “al Qurb” di sini bukan dalam pengertian dekat dari
segi jarak. Demikian pula dengan redaksi-redaksi hadits yang seakan Allah
berada atau bertempat di arah atas; itu semua tidak boleh dipahami secara
literal (harfiah), tetapi harus dipahami dengan metode takwil. Dengan demikian
bagaimana kalian mengatakan bahwa metode takwil sama saja dengan ta’thil
(menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah)?! Juga dengan dasar apa kalian
mengatakan bahwa metode takwil adalah kufur?!
Anda katakan kepada mereka: “Jika kalian tidak memahami hadits riwayat Imam
Muslim ini dengan makna zahirnya (harfiah) maka berarti kalian telah melakukan
takwil, dan bila demikian maka berarti kalian telah menyalahi diri kalian
sendiri yang anti terhadap takwil. Kalian mengatakan: “Takwil adalah ta’thil”,
sementara kalian sendiri memberlakukan takwil.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik