HUKUM SHALAT ‘IED DI MASJID ATAU DI
LAPANGAN
Hukum
shalat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adlha adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan
tetapi tidak wajib). Meskipun ibadah sunnah muakkadah, Rasulullah saw. tidak pernah
meninggalkannya setiap tahun dua kali. Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah
bahwasanya Nabi SAW terus menerus mengerjakan dua shalat ‘Ied ini dan tidak
pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa ‘Ied. Dan beliau memerintahkan
umatnya untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita, gadis-gadis pingitan dan
wanita yang haidl. Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat
dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh
wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya”.
Shalat ‘Ied tidak disyaratkan untuk
dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat ‘Ied lebih
baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW selalu
melakukan shalat ‘Ied di lapangan bukan di Masjid Nabawi kecuali karena ada
hujan atau penghalang lainnya. Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan
masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah
tempat (bangunan) yang tertutup. Shalat `Ied disunnahkan untuk dilakukan di
tanah lapang, dan tidak dilakukan di masjid kecuali apabila di dalam keadaan
darurat (seperti hujan, angin kencang dan lainnya). (al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al Baari, jilid 5: 282)
Dalil yang
menunjukkan disunnahkan untuk mengerjakan shalat `Ied di mushalla (lapangan)
adalah sebuah hadits dari Abu Sa'id al-Khudri ra. ia berkata:
عَنْ
أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ
شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ،
وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ
يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ
يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ.
“Dari Abi Sa'id Al-Khudri radliallahu
'anhu, ia berkata: "Rasulullah saw biasa keluar menuju mushalla (tanah
lapang/lapangan) pada hari ‘Iedul Fithri dan Adl-ha. Hal pertama yang beliau
lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana
mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran,
wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau)
memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau
memerintahkannya dan kemudian berpaling ...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )
Mengerjakan shalat `Ied di mushalla (tanah
lapang) adalah sunnah, kerana dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan
meninggalkan masjidnya (iaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid
lainnya). Demikian pula para
khulafa' al-Rasyidin. Dan ini merupakan kesepakatan kaum muslimim. Mereka telah
sepakat di setiap zaman dan tempat untuk keluar ke tanah lapang ketika hendak
melaksanakan shalat `Ied. Namun demikian, Menunaikan shalat `Ied di masjid
hukumnya (mubah) diperbolehkan. Imam al-Syafi'i menyatakan sekiranya masjid
tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah
lapang (untuk mengerjakan shalat `Ied) karena shalat ‘Ied di Masjid lebih
utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak
dianjurkan melakukan shalat `Ied di dalam masjid.
أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا
فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ.... فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ
”Jika Masjid
dfisuatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid
dan tidak perlu keluar.... karena shalat di masjid lebih utma”
Dari fatwa Imam
al-Syafi'i ini, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah membuat kesimpulan
seperti berikut: "Dari sini dapat disimpulkan, bahwa
permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat,
kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di
suatu tempat. Oleh kerana itu,
jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul
(ijtima’), maka shalat ’Ied dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan
shalat `Ied di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang". (al-Hafidz Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)
Sebenarnya,
melaksanakan shalat ’Ied hukumnya sunnah, baik di Masjid maupun di lapangan.
Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang
lebih afdlal. Shalat di lapangan akan lebih afdlal jika Masjid tidak mampu
menampung jema’ah. Akan tetapi menyelenggarakan shalat ‘Ied lebih utama di
masjid jira mampu menampung jema’ah. Fokus utama dalam hukum salta ‘Ied ini
ádalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, Kebahagiaan
dan kebersamaan
Di antara hikmah
berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk menampakkan kemenangan
kaum muslimin; untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan; untuk
menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya;
untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT;
dan
untuk menggentarkan para musuh agama dan membuat kaum muslim disegani. Wallahua’lam bishshawab.
untuk menggentarkan para musuh agama dan membuat kaum muslim disegani. Wallahua’lam bishshawab.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik