ASWAJA DAN KHILAFAH
Prolog
Penghapusan Khilafah
Turki Utsmani pada 3 Maret 1924, yang sekaligus menandai berakhirnya dominasi
Islam dalam pentas politik global selama lebih dari 13 abad sejak era Khulafa’
Arrasyidien, dan meroketnya hegemoni Barat atas dunia Islam, menegaskan keberadaan
umat Islam mulai saat itu telah terpuruk ke dasar degradasi peradaban. Realitas
keterpurukan umat Islam dalam kancah politik, ekonomi, militer, budaya, dan
bayang-bayang kemajuan Barat dalam sains dan teknologi yang menyudutkan umat
Islam, serta “penjajahan modern” yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam,
disinyalir kuat menjadi faktor terpenting yang membangkitkan eskalasi
“kerinduan” umat Islam akan kejayaan yang pernah dimilikinya di masa silam itu.
Eskalasi “kerinduan”
seperti ini, membangkitkan sugesti (ghirah) keagamaan umat Islam untuk
melakukan serangkaian koreksi atas faktor-faktor penyebab kemunduran tragis
yang dialaminya, kemudian melakukan improvisasi dan ijtihad-ijtihad sosial
sebagai upaya untuk bangkit mengembalikan kejayaan yang hilang.
Dalam hierarki ijtihad
mengembalikan kejayaan yang hilang ini, umat Islam setidaknya terpecah ke dalam
dua limit (manhaj) perjuangan. Ada sebagian umat Islam yang berikhtiar melalui
pendekatan-pendekatan metodologis, kontekstual, progresif, permisif, dan
inklusif, bersedia membuka diri dan kompromi dengan nilai-nilai positif
peradaban Barat. Dan ada sebagian ikhtiar umat Islam yang cenderung eksklusif,
fundamental, anti Barat, dan memilih kembali pada nilai-nilai positif Islam
konvensional, serta tak kenal kompromi dengan nilai-nilai kearifan lokal dan
modernitas. Bagi kelompok kedua ini, mengembalikan Khilafah Islamiyah adalah
satu-satunya pilihan politik yang tak bisa ditawar untuk memungkinkan membangun
kembali kejayaan Islam yang hilang. Maka, sejak saat itulah term “khilafah”
menjadi isu harakah (pergerakan) Islam dengan misi dan agenda politik membangun
kembali Daulah Islamiyah internasional.
Dalam dinamika
perjuangannya, ide khilafah internasional ini pertama kali diperankan oleh
jamaah Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir pada tahun 1928, dan
selanjutnya banyak dimainkan oleh jamaah Hizbut Tahrir yang didirikan di
Jerusalem Timur tahun 1952.
Di Indonesia, benih ide
khilafah sudah ada sejak awal kemerdekaan tahun 1945, baik yang bersifat konstitusional,
seperti Majlis Konstituante, atau bersifat militer, seperti dalam kasus DI/TII,
yang berusaha mendirikan negara Islam dan menolak Pancasila. Era reformasi
tahun 1998 yang memberikan ruang kebebasan publik, menjadikan isu khilafah di
Indonesia kian vulgar dan menemukan momentumnya. Pembicaraan-pembicaraan yang
mewacanakan isu khilafah semakin intens dan terbuka dikampanyekan, baik lewat
opini-opini pemikiran maupun gerakan nyata.
Sebagai umat Islam,
memimpikan idealisme sebuah sistem pemerintahan dan bentuk negara yang Islami,
adalah suatu impian yang lumrah sebagai tuntutan dan konsekuensi logis atas
keIslamannya. Dan hal ini harus dihormati karena merupakan bagian dari hak
asasi manusia. Akan tetapi yang penting dimengerti adalah, bahwa umat Islam
hidup tidak sendiri. Umat Islam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
bersama “orang lain” (non Muslim), yang tidak dibenarkan memaksakan mereka
dengan aturan-aturan sepihak Islam saja.
Terlepas dari prinsip
kemaslahatan, dari segi teoretik, misi dan visi ide khilafah, sebenarnya tidak
ada yang salah, bahkan baik, dan pantas diapresiasi. Karena ide ini
merefleksikan kepedulian, niat baik, cita-cita, dan ghirah militan untuk
memperjuangkan Islam. Akan tetapi, ketika cita-cita dan niat baik ini tidak
diimbangi dengan pemahaman yang baik terhadap realitas sosial masyarakat —dan
tentunya pemahaman keIslaman yang baik pula—, maka hanya akan menimbulkan
benturan-benturan destruktif antara Islam itu sendiri dengan praktik-praktik
kehidupan sosial masyarakat.
Di sinilah arti
pentingnya kearifan sikap, yang bersedia mengkompromikan antara idealisme
sebuah ajaran dan tuntutan keIslaman dengan realitas sosio-kuktur masyarakat,
sehingga setiap gerakan dan perjuangan keIslaman tidak menimbulkan gejolak dan
benturan-benturan destruktif, melainkan perjuangan yang bernilai efektif
(maslahah), konstruktif, dinamis, dan rahmatan lil ‘alamien.
Tinjauan Dalil dan
Manifesto Khilafah
Dalam literatur fiqh
siyasi konvensional, secara definitif, terminologi khilafah kerap
dideskripsikan sebagai bentuk mobilitas umum berdasarkan asas-asas syar’i dalam
meraih kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Secara esensial, jabatan seorang
khalifah dipandang sebagai pemegang otoritas religius dan otoritas politik.[1]
Secara hukum, mengangkat
pemimpin (imâm) atau pemerintahan (imâmah) sebagai figur atau institusi
pemegang otoritas ini merupakan kewajiban agama.[2] Satu-satunya pijakan yang tegas melandasi
hukum wajib ini adalah konsensus umat (ijma’). Sementara dalil-dalil berupa
nash (Alqur’an dan Hadits), dilibatkan lebih sebagai justifikasi terhadap
konsensus ini dari pada sebagai landasan hukum itu sendiri.
Ayat-ayat yang
menginstruksikan untuk menjalankan hukum-hukum Allah (QS. Alma'idah: 48, 49,
dan 50), taat pada pemimpin (QS. Annisa’: 59), dan ayat-ayat yang berbicara
tentang harta ghanimah (QS. Al’anfal: 41), tentang kewajiban menjalankan amanah
dan keadilan (QS. Annisa’: 58), tentang hukum qishas dan pembunuhan (QS.
Albaqarah: 178, 179, Annisa’: 92, 93), tentang vonis kafir, dhalim, dan fasiq
bagi yang tidak menjalankan hukum Allah (QS. Alma’idah: 44, 45, dan 47), dll.,
tidak ada satu dari sekian ayat-ayat tersebut —ataupun yang senada—, yang
secara eksplisit mewajibkan pengangkatan khalifah atau pendirian negara.
Sedangkan hadits yang
familier dilibatkan dalam pembenaran (mendukung) ijma’ kewajiban mengangkat
imam adalah hadits-hadits tentang baiat, seperti:
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa mati dan
pada lehernya tidak ada baiat, maka ia mati dalam kondisi jahiliah”. (HR.
Muslim)
مَن مَاتَ وَلَيسَ لَهُ إِمَامٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa mati dan ia
tidak memiliki imam, maka ia mati dalam kondisi jahiliah”. (HR. Ibn Hibban)[3]
Secara
eksplisit, ayat-ayat tersebut tidak ada muatan instruksi penegakan sistem
khilafah. Alqur’an dan Hadits tidak menentukan jenis sistem politik tertentu.
Menjadikan hadits-hadits tentang baiat sebagai dalil mendirikan Negara Khilafah
akan terkesan mempolitisir dan memaksakan. Secara spesifik, hadits-hadits itu
sejatinya berkaitan dengan baiat agar para pemeluk Islam menjalankan rukun
Islam, bukan pendirian sebuah negara. Dasar ijma’ sendiri pun sebenarnya
dinilai problematik jika dipahami sebagai dasar membangun Negara Khilafah.
Sebab ijma’ di sini berkaitan dengan nashbul imâmah, bukan konsensus mengenai
membentuk negara tertentu. Hal ini ditandai dengan realitas sejarah yang
membuktikan tak pernah ada kesepakatan sistem politik yang baku di kalangan
sahabat.
Sampai di sini kiranya
cukup jelas bahwa, mengangkat pemimpin (nashbul imâm) adalah wajib berdasarkan
ijma’, bukan berdasarkan dalil nash yang sharih (eksplisit).[4] Dan sampai di
sini pula, ulama telah mencapai kata mufakat. Pernyataan Asysyafi’i yang
dikutip Aljuwaini dalam Alghiyatsi, bahkan menangguhkan kewajiban ini dengan
kondisi yang mendukung dan memungkinkan.[5] Ini sekaligus menandaskan bahwa,
kewajiban nashbul imâm tidak berlaku mutlak. Ada batas-batas kondisi tertentu
di mana kewajiban ini tidak dibebankan.
Perdebatan penting isu
khilafah selanjutnya, sebenarnya terjadi tidak dalam wilayah seputar
ada-tidaknya dalil syar’i yang menjadi pijakan kewajiban mengangkat pemimpin
(nashbul imâm), melainkan dalam tataran manifesto imâmah (bentuk pemerintahan).
Apakah imâmah harus diwujudkan dalam bentuk pemerintahan Islam konvensional
(khilafah) seperti yang pernah ada dalam sejarah politik Islam? Ataukah imamah
telah bisa dimanifestasikan dengan wujud seperti pemerintahan modern,
demokrasi, misalnya? Perdebatan pada tataran ini, telah menyeret ke dalam
polemik serius mengenai hubungan agama-negara.
Untuk memberikan jawaban
tanda tanya ini, kita perlu menilik sejarah dinamika pergolakan politik. Dari
sana setidaknya didapati tiga model paradigma dalam memahami hubungan antara
agama dan negara.
Paradigma sekularistik
Paradigma ini memberikan
garis disparitas antara agama dan negara karena, menurut penganut paradigma
ini, agama tidak mewajibkan mendirikan institusi negara. Agama hanya memberikan
nilai moral-etik dalam membangun tatanan masyarakat. Penganut paradigma ini
menyatakan, tidak ada dalil eksplisit dalam Alqur’an maupun hadits yang
menunjukkan kewajiban mendirikan sebuah negara. Paradigma ini antara lain
dianut oleh sebagian Khawarij dan Abi Bakar Al’asham serta Hisyam Alfuthi dari
sekte Mu’tazilah.
Paradigma integralistik
Dalam perspektif ini,
relasi agama-negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Cakupan ajaran
agama tidak hanya urusan ritual-speritual, tetapi sekaligus meliputi
aturan-aturan sosial-politik. Doktrin esensial paradigma ini adalah, “inna
al’islâm dîn wa daulah” (Islam adalah agama dan kekuasaan). Penganut paham ini
adalah sekte Syiah. Syiah mengkategorisasi imâmah sebagai salah satu dari rukun
iman.
Paradigma simbiotik
Menurut pandangan ini,
relasi antara agama dan negara bersifat timbal-balik. Artinya, agama tidak
harus diformalkan dalam institusi negara, namun agama juga tidak boleh
diceraikan sama sekali dari wilayah politik. Agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dakwah, dan negara membutuhkan agama sebagai sumber dasar. Penganut
paradigma ini adalah mayoritas Ahlussunnah dan Mu’tazilah.
Sejauh ini, banyak pakar
beranggapan, hubungan sekularistik agama-negara merupakan opsi terbaik. Baik
dalam pengertian paling menjamin dari politisasi atau penyalahgunaan agama.
Kendati demikian, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat
Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang kontra
umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat, tanpa
mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama berabad-abad dalam
menata hubungan agama-negara. Kelompok ini mencurigai sekularisme sebagai
gagasan yang segaja diskenariokan untuk memarjinalkan Islam dari ruang publik.
Sementara kelompok yang pro berdalih bahwa sekularisme adalah pilihan terbaik
jika ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya.
Seperti kita tahu,
gagasan skularisme dalam konteks Barat abad pertengahan, dikonotasikan sebagai
gagasan untuk menghukum otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat. Dan
hal ini beralasan, sebab dosa-dosa agama (baca: Gereja) telah menjadi instrumen
dominatif bagi elit politik maupun ekonomi untuk mempertahankan
“keuntungannya”. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan wataknya sebagai
pembela masyarakat lemah.
Meskipun dosa-dosa
demikian juga dijumpai dalam lembar sejarah politik Islam (khilafah), akan
tetapi ada beberapa hal penting yang membedakan. Dalam Islam tidak ada otoritas
tunggal yang memainkan dosa-dosa itu secara utuh dan terpusat. Pada saat
sebagian ulama Islam berkolusi dengan penguasa, mayoritas ulama tetap setia
hidup di tengah dan bersama rakyat. Di antara mereka ada yang sekadar apatis
(uzlah) dari politik kekuasaan, sebagian terus melancarkan kritik, bahkan beberapa
dengan tindakan dan gerakan.
Itulah sebabnya, hubungan
agama-negara di dunia Islam di abad modern, tidak bisa begitu saja dijiplakkan
kepada pengalaman dan gagasan Barat, sekularisme. Namun, bukan berarti
sekularisme musti ditolak sama sekali dan memilih kembali ke teokratisme,
seperti sikap para pengusung ide khilafah. Kita tahu bahwa dalam teokratisme,
secara formalitas negara ditaklukkan demi kepentingan agama, padahal sejatinya,
negara ditaklukkan demi kepentingan elitnya belaka. Namun kita juga tahu,
mengkotakkan agama hanya terbatas pada ruang privat dan negara pada ruang
publik, juga mengandung mafsadah tersendiri.
Dinamika hubungan
agama-negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban —atau
kebiadaban— umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan
antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak peduli, entah
ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di
bawah agama (abad pertengahan), atau ketika negara terpisah dari agama (abad
modern).
Maka jelaslah, dalam
tataran praktis konsep teokratisme Islam atupun skularisme Barat, masing-masing
memiliki nilai plus-minusnya sendiri-sendiri. Sebagai sikap bijaksana, tentu
tidak seharusnya menunjukkan sikap emosional dengan memilih salah satunya dan
mencampakkan yang lain, melainkan mengkompromikan sisi-sisi positifnya dan
membenahi sisi-sisi negatifnya. Dalam internal ajaran Islam, kita bisa
menggagas pemilahan beberapa tingkatan ajaran yang berimplikasi pada pola
hubungan agama-negara yang ideal.
Ajaran yang bersifat privat, seperti soal
keyakinan (aqidah) kepada Allah, Malaikat, takdir dan hari akhir.
Keyakinan-keyakinan seperti ini adalah urusan yang benar-benar pribadi. Apa
yang diyakini umat Islam tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin
bisa diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara
bukan saja tidak punya kewenangan untuk intervensi, bahkan tidak punya
kemampuan untuk menjangkaunya.
Ajaran keagamaan yang bersifat ritual
peribadatan, seperti shalat, pusa, haji, dll., atau hukum agama tentang
keluarga (al`ahwâl asy-syakhshiyyat), maka negara tidak seharusnya memiliki hak
intervensi penuh, kecuali terbatas dalam sekala tertentu.
Ajaran keagaman yang bersifat publik,
misalnya ajaran-ajaran Islam tentang muamalah (perdata), jinayah (pidana) dan
siyasah (politik atau pemerintahan). Pada tingkat ajaran, kategori inilah yang
terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansiasi hukum agama terhadap
hukum negara.
Akan tetapi, kita semua
harus menyadari bahwa, sereligius dan sesuci apapun tawaran-tawaran hukum
syariat tersebut tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai hukum positif.
Dalam konteks negara kebangsaan, hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas
sekalipun, baru merupakan bahan mentah seperti halnya hukum adat atau
hukum-hukum import dari bangsa lain.
Untuk bisa menjadi bagian
dari hukum publik, hukum-hukum tersbut harus memenuhi dua syarat.
Syarat substansial, menyangkut isi hukum
yang harus beroreintasi pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan
kelompok tertentu.
Syarat prosedural, artinya hukum itu dapat
meyakinkan nalar publik untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum secara
demokratis yang juga disepakati oleh publik.
Hukum apapun yang
memenuhi kedua syarat ini berhak mengisi bangunan hukum positif dan
perundang-undangan suatau negara. Tidak terkecuali hukum yang berbasis agama.
Bahkan untuk negara modern yang kini telah semakin represif, koruptif,
ekploitatif dan tidak perduli dengan nasib masyarakat lemah, maka kontribusi
agama-agama dengan kekayaan nilai-nilai etik dan moralnya sangatlah diperlukan.
Kita butuh sekali kontribusi etika sosial Kristiani dengan basis kasihnya
terutama bagi mereka yang terpinggirkan. Kita butuh sentuhan etika Hinduisme
dengan semangat ahimsa (kelembutan); etika Budhis dengan etos kesederhanaan;
dan etika Islam dengan spirit keadilannya.
Oleh sebab itu, tidak ada
manfaat apapun bagi umat Islam untuk meributkan sistem pemerintahan ataupun
bentuk negara, kecuali sekedar untuk trik-trik politik belaka. Jika memang
sungguh-sungguh ingin memberikan kontribusi kepada agama, maka bangunlah negara
dan sistem pemerintahan yang demokratis dengan prinsip kemaslahatan dan
rahmatan lil ‘alamin. Karena itulah manifesto esensial khilafah dalam pandangan
Aswaja.
Eksistensi NKRI dan
Pancasila
Semarak wacana
formalisasi syariat Islam dan ide khilafah di bumi Nusantara pasca era
Reformasi telah sampai pada pro-kontra yang cukup tajam. Ironisnya, sejauh ini
nuansa argumentasi yang dibangun kedua pihak terkesan tidak lagi diproyeksikan
untuk berusaha meyakinkan pihak lain, tetapi malah melakukan stigmatisasi satu
sama lain. Di mata kelompok pro formalisasi syariat, mereka yang menolak
dianggap Islamophobia. Sementara kelompok yang menolak formalisasi syariat,
menuding kelompok pro formalisasi syariat sebagai kelompok yang hendak
melakukan politisasi agama.
Untuk menghindari
ketidakefektifan polemik ini, di sini akan dipaparkan penjelasan hukum
kedaulatan NKRI berdasarkan obyektifitas dalil-dalil ilmiah, yang selanjutnya
diharapkan bisa digunakan pertimbangan bersama: masih perlu atau wajibkah
mengkonversi NKRI dengan konsep Khilafah Islamiyah? Dan pastinya, setelah
mempertimbangkan secara mendalam ekses maslahah dan mafsadahnya?
Dari sudut pandangan
agama, kedaulatan pemerintahan NKRI adalah sah. Pandangan ini didasarkan pada
setidaknya dua argumen:
Presiden Indonesia dipilih langsung oleh
rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, sistem pemilihan
langsung oleh rakyat sama dengan prosedur pengangkatan Sahabat Ali ra. dalam
menduduki jabatan khalifah ke IV.[6]
Presiden terpilih Indonesia dilantik oleh
MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat
merepresentasikan ahlul halli wal ‘aqdi (electoral colledge) dalam konsep Al
Mawardi dalam Al Ahkam Assulthaniyah.
Keabsahan kedaulatan
pemerintahan NKRI ini bukan hanya dapat dilihat dari sudut sistem pemilihan dan
mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa dilihat dari terpenuhinya
maqâshidus syari'ah (tujuan-tujuan syar'i) dari sebuah imâmah (pemerintahan)
Indonesia, yakni demi menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait
dengan ini, Imam Al Ghazali dalam Al'iqtishad fil 'Itiqad menyatakan, “Dengan
demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin
(presiden), karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudlarat di dunia ini”.[7]
Dalam konteks ini, pemerintahan NKRI telah memenuhi tujuan syar'i di atas
dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan
instansi-instansi pemerintah lainnya.
Senada
dengan Imam Al Ghazali, Al Baidlawi juga berpandangan bahwa, esensi dari
pemerintahan adalah menolak kerusakan, dan kerusakan itu tidak dapat ditolak
kecuali dengan pemerintahan tersebut. Yaitu sebuah pemerintahan yang melakukan
mobilitas pada ketaatan, mencegah kemaksiatan, melindungi kaum lemah,
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua.[8]
Alhasil, menurut
Ahlussunnah wal Jama'ah, kedaulatan NKRI adalah pemerintah yang sah. Karena
itu, mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apapun, termasuk sistem
khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam internasional pada
pemimpin tunggal, adalah tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu
akan menimbulkan mudlarat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam
bidang sosial, politik, ekonomi dan keamanan, akibat timbulnya kevakuman
pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas,
sehingga membuka peluang perang saudara antar anak bangsa.
Adapun gagasan mendirikan
khilafah internasional, dipastikan tidak memiliki nilai efektifitas dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip kemaslahatan. Penilaian ini bisa dinalar
dari alasan-alasan sebagai berikut:
Khilafah mendunia tidak
memiliki akar pijak dalil syar'i yang qath'i
Adapun yang wajib dalam
pandangan agama, adalah wujudnya pemerintahan yang menjaga kesejahteraan dan
kemashlatan dunia. Terlepas dari apa dan bagaimana bangunan dan sistem
pemerintahannya. Karena itu, kita melihat para ulama di berbagai negara di
belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak sedikit yang ikut terlibat langsung
dalam proses membidani pemerintahan di negaranya masing-masing.
Persoalan imamah dalam
pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah bagian dari aqidah
Melainkan termasuk urusan
siyayah syar’iyah atau fiqh muamalah. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat
dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi ruang dan waktu, serta
kenyataan masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan
mafsadah dari sebuah sistem yang dianutnya.
Membangun pemerintahan
agama di suatu wilayah, akan mengancam agama itu sendiri di wilayah lain
Menegakkan Islam di suatu
daerah di Indonesia, misalnya, sama halnya dengan membunuh Islam di
daerah-daerah lain, seperti di Irian Jaya, Flores, Bali dan daerah minoritas
Muslim lainnya. Daerah-daerah basis non Muslim akan menuntut hal yang serupa
dalam proses penegakkan agamanya masing-masing. Di samping itu, mendirikan
negara khilafah di Indonesia, juga rawan mengancam integritas NKRI yang telah
dibangun oleh keringat dan darah para pejuang bangsa. Dan ancaman demikian
sudah pernah kita saksikan dalam peristiwa penghapusan tujuh kata sila pertama
di masa-masa awal kemerdekaan. Bentuk pemerintahan NKRI adalah wujud dan
refleksi kearifan para pemimpin agama di Indonesia, yang menyadari kanyataan
keragaman elemen bangsa, dan tidak ingin terjebak pada institusionalisasi agama
yang berbahaya.
Dalam konteks pemahaman
seperti inilah kita umat Islam semestinya bisa mafhum, bahwa Pancasila yang
menjadi ideologi NKRI adalah sebagai falsafah pemersatu dari keberagaman
bangsa. Hidup bersama, bernegara, dan berbangsa dalam lingkungan keragaman
masyarakat yang plural secara suku, ras, agama, budaya, dll., imposible dapat
diseragamkan dengan satu aturan yang sepihak. Dibutuhkan suatu perangkat aturan
sosial yang kompromis yang bisa menjadi titik-temu dan bisa mewadahi aspirasi-aspirasi
dari perbedaan-perbedaan dan kepentingan-kepentingan semua pihak sebagai
pranata dalam berperikemanusiaan dan berperikehidupan, seperti resolusi Piagam
Madinah di era Rasulullah saw.
Sulitnya menilai atas
tindakan seorang khalifah
Apakah
merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau
itu memang benar-benar melaksanakan perintah Allah ketika terjadi kekerasan
dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh imam
madzhab empat pada peristiwa Almihnah. Sejarah mencatat tidak sedikit dari para
ulama yang mendapat perlakuan dhalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya,
sementara khalifah dalam menjalankan hukuman tersebut melakukannya atas nama
agama. Jika demikian yang terjadi, maka nyaris dipastikan ulama Nahdliyyin
bakal memenuhi penjara-penjara di seluruh wilayah Indonesia. Maka dalam konteks
seperti inilah negara demokrasi yang tidak sepenuhnya bertentangan dengan
ajaran dan nilai-nilai luhur Islam lebih menjamin kemaslahatan dari pada negara
agama.
Kondisi mental sosial
masyarakat yang tidak siap
Dalam
hal melaksanakan syari'at Islam secara totalitas, terutama untuk menerapkan
hukum pidana Islam. Dan kondisi seperti ini bukanlah suatu dosa yang tak
termaafkan, lebih-lebih boleh divonis kafir. Sebab dalam menjalankan perintah
agama, ada tolok ukur yang disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan, seperti
sabda Nabi saw.:
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ
“Maka, apabila aku
perintahkan sesuatu kepada kalian, lakukanlah semampu kalian. Dan apabila aku
melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkanlah”. (HR. Bukhari Muslim)
Formalisasi syariat
secara totalitas sebagai hukum positif tanpa mempertimbangkan kesiapan umat
Islam justeru akan menimbulkan mafsadah terhadap umat Islam sendiri. Di
Indonesia, yang kendati Muslim secara kuantitas menempati angka mayoritas,
namun secara kualitas keIslaman masih relatif rendah, dipastikan akan banyak
orang yang tangannya buntung, atau mati di tangan eksekutor ketika hukuman
hudud diformalkan dalam hukum positif. Dan hal ini dikhawatirkan justeru akan
menyebabkan banyak umat Islam yang lari tidak mengakui sebagai Muslim, karena
ketakutan terhadap sanksi hukum tersebut. Formalisasi syariat di tengah
ketidaksiapan umat justeru akan meningkatkan angka Muslim yang murtad, dan ini
jelas merugikan umat Islam sendiri yang di Indonesia menduduki level lebih dari
80 persen.
Sederhananya, apabila
menginginkan Indonesia menjadi negara Islami, Islamikan terlebih dulu
bangsanya. Memaksakan pendirian Negara Islam atau formalisasi syariat secara
emosianal, tanpa didukung kesiapan mental-sosial rakyatnya, hanya akan
menjadikan negara tanpa bangsa. Bangsa yang Islami jauh lebih baik dibanding
negara Islami. Jauh lebih penting bagaimana membangun masyarakat sadar hukum,
yang bersedia meninggalkan kejahatan pencurian, pembunuhan, dan perzinahan,
dari pada ngotot bagaimana bisa menghukum para pencuri, pembunuh dan pezina
dengan hukuman potong tangan, qishas, dan rajam.
Ketidakpastian Teori
Syariat yang Diterapkan
Jika memang disepakati
ide formalisasi syariat, maka teori syariah manakah yang akan diterapkan?
Apakah model madzhab Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran
sebagaimana amaliah kaum Nahdliyyin, tawassul, tahlil, talqin, dan lain
sebagainya? Atau madzhab Syiah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat
Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlussunnah sebagaimana yang terjadi di
teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia?
Kemudian pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu, lagi-lagi, atas nama
agama. Jika itu yang terjadi, niscaya pengikut Ahlussunnah atau Nahdliyyin di
Indonesia, akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda madzhab dan aqidah
tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan
di atas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk mendirikan Khilafah Islamiyah
akan membawa konsekuensi tersendiri, bukan hanya menyangkut tampilan wajah
Indonesia, tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan
ketegangan dengan elemen bangsa yang lain. Dengan mempertimbangkan pendapat
dari Imam Alghazali dan Albaidlawi di atas, maka mengkonversi sistem
pemerintahan yang ada, yang secara substansial tidak betentangan dengan ajaran
Islam, maka tidak diperbolehkan menurut syara’, mengingat besarnya ongkos
sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus dibayar oleh pemerintah dan
masyarakat. Dalam pandangan Ahlusunnah wal Jama’ah, menghindari mudlarat jauh
lebih penting dari pada menerapkan kebaikan.
دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
“Menghindari kerusakan
harus diprioritaskan dari pada mengusahakan kemaslahatan”.
Karena itu, menghindari
madlarat yang besar lebih kita utamakan dari pada mendapati sedikit
kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan sedikit kemaslahatan untuk
menghindari mudlarat yang lebih besar merupakan sebuah kemaslahatan yang besar.
KH. MA Sahal Mahfudh menyatakan, sikap NU pada
saat Khutbah Iftitah Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo Surabaya, 28 Juli
2006: “NU juga sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalan
formalistik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara
formal, tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakinan bahwa syari’at Islam dapat
diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih
mengidealkan substansi nilai-nilai syari’ah terimplementasi di dalam kehidupan
masyarakat ketimbang mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal
bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syari’ah di dalam masyarakat”.
Dalam kaitan ini, sikap
NU jelas, keinginan untuk mengkonversi sistem pemerintahan, tidak memiliki akar
pijakan syar'i, bahkan bertentangan dengan serangkaian hasil ijtihad para ulama
NU yang dirumuskan di berbagai institusi pengambilan keputusan dan kebijakan
tertinggi organisasi. Bagi NU —sejauh ini—, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah
formulasi final umat Islam Indonesia dari segala upaya mendirikan negara dan
membentuk pemerintahan.
Kesimpulan
Dari diskursus yang telah
dikemukakan di atas, ada beberapa poin penting yang patut kita garis bawahi
sebagai kesimpulan:
Dalil-dalil
yang dikemukakan pihak pro khilafah, tidak bisa diklaim sebagai dalil spesifik
(khash) dan eksplisit (sharih) dijadikan pijakan dan landasan syar'i kewajiban
mendirikan khilafah dalam pengertian mereka (Negara Islam), melainkan sebatas
dalil-dalil yang bersifat umum (‘am) dan mafhum.
Dalil-dalil yang
mewajibkan nashbul imamah (pengangkatan pemimpin), tidak bisa diinterpretasikan
terbatas pada arti figur "khalifah" dan sistem "khilafah",
melainkan memiliki konotasi longgar yang bisa ditafsirkan dengan figur kepala
negara, presiden, perdana menteri, khalifah, bahkan raja, dan sebuah sistem
teokrasi maupun demokrasi.
Urusan kepemimpinan
(imamah) bukanlah urusan akidah, melainkan urusan fiqhiyah siyasiyah yang
terbuka ruang ijtihad untuk mencari bentuk dan formulasi ideal sesuai dengan
prinsip kemaslahatan. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa divonis kafir hanya
lantaran menolak atau tidak mendukung ide khilafah.
Terbentuknya sebuah institusi negara
bukanlah tujuan akhir (maqashid), melainkan sebatas sarana (wasa'il) yang
netral untuk mengatur ketertiban umum, melindungi dan menyejahterakan rakyat.
Bentuk negara dan sistem pemerintahan apapun yang efektif (maslahah) dan tidak
bertentangan dengan maqashidus syari'ah, maka tidak ada keharusan merubahnya,
bahkan haram apabila dapat menimbulkan konflik dan kekacauan umum.
Formalisasi hukum-hukum syariat sebagai
konstitusi, akan dihadapkan pada dilema pengakuan teori madzhab Islam tertentu
sebagai madzhab resmi negara, dan tidak mengakui teori-teori madzhab lain, baik
madzhab aqidah ataupun fiqh, yang rawan menimbulkan deskriminasi dan penindasan
pada madzhab-madzhab tidak resmi. Lebih dari itu, formalisasi syariat akan
kehilangan nilai efektifitasnya (tidak maslahah) jika tanpa didudukung kesiapan
mental, sosial dan spiritual rakyatnya. Bahkan, institusi formal tidak menjamin
terwujudnya nilai-nilai syariat di tengah masyarakat. Sedangkan nilai-nilai
substansial bisa diwujudkan meskipun tanpa institusi formal.
Pancasila
sebagai ideologi negara Indonesia merupakan bentuk penafsiran dan
pengejawentahan nilai-nilai luhur ajaran Islam dalam berkeTuhanan dan
berkemanusiaan. Falsafah bangsa yang mengandung nilai-nilai tauhid,
kemanusiaan, keadaban, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kedudukannya
identik dengan Piagam Madinah, sebagai wadah pemersatu kebhinekaan bangsa.
Sistem demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan
dengan Islam, bahkan identik dengan nilai-nilai universal Islam. Seperti
prinsip musyawarah, keadilan, persamaan, kebebasan, dll.
Upaya-upaya mengkonversi pemerintahan NKRI
tidak memiliki pijakan absah dalil syar'i, bahkan nyata-nyata bertentangan
dengan asas kemaslahatan.
Manifesto esensial Khilafah Islamiyah dalam
pandangan Aswaja adalah sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, maslahah
dan rahmatan lil ‘alamien.|KD
_________________________________________
[1] Ibn Khaldun,
Muqaddimah, vol. I hlm. 97.
[2] Al Mawardi, Al Ahkam
As-Sulthaniyyah, hlm. 5
[3] Terkait dengan hadits
ini, Abu Hatim mengatakan, "dhahir dari hadits ini, bahwa seseorang yang
mati dan ia tidak memiliki imam, maksudnya imam adalah Nabi saw., karena imam
penduduk bumi di dunia adalah Rasulullah saw. Barang siapa tidak mengetahui
imamnya (nabinya), atau meyakini imam lain yang perkataannya mengalahkan
perkataan Nabi saw., lalu ia mati, maka ia mati dalam kondisi jahiliah".
Lihat Shahih Ibn Hibban, vol. X hlm. 434
[4] Terkadang, aktivis
pro Khilafah juga menyodorkan ayat
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً
(QS. Al Baqarah: 30)
sebagai dalih kewajiban mendirikan khalifah, dengan mengacu secara redaksional
kata khalifah dalam ayat tersebut. Perlu diketahui, para Mufassirin memahami
kata khalifah itu terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan yang dimaksud
khalifah adalah nabi Adam as., dan ada yang mengatakan anak turun nabi Adam as.
Penyebutan khalifah kepada nabi Adam pun ulama berbeda pendapat. Satu versi
mengatakan karena Adam dijadikan Allah sebagai pengganti (khalifah) bangsa jin
(Banul Jan) menjadi penduduk bumi. Versi lain mengatakan, karena Adam menjadi
utusan Allah dalam menghukumi makhluk di bumi. Lihat Fakhruddin Arrazi,
Mafatihul Ghaib, vol. I hlm. 441
[5] Al Juwaini,
Alghiyatsi, hlm. 15
[6] Al Bidayah wan
Nihayah 204 : 2001
[7] Imam Al Ghazali, Al
'Iqtishad fil 'Itiqad, 147 th. 1988
[8] Al Baidlawi, Thawali’
al-Anwar wa Mathali’ al-Andlar, 348: 1998
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik