Langsung ke konten utama

Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)



Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)
Ø  MEMAHAMI KAIDAH AL-ASHLU FIL ‘IBADATIT TAUQIF
Dalam hadits Rasulullah Saw.:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري)
"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka amalan itu tertolak" (HR. Bukhari).
Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Salafi & Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai "laysa 'alaihi amrunaa" dengan arti "yang tidak ada perintah kami atasnya". Kata "amr" memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata "amara - ya'muru" yang berarti "memerintahkan". Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa huruf "'alaa" (atas), maka artinya adalah "menguasai". Jadi, bila kalimat "amara 'alaa" berarti "menguasai", maka kalimat "amarnaa 'alaihi" berarti "kami menguasainya", maka kalimat "amrunaa 'alaihi" atau "'alaihi amrunaa" amat janggal bila diartikan "perintah kami atasnya". Karena untuk arti "perintah", kata "amara" lebih tepat diiringi huruf  "bi" (dengan), seperti firman Allah ta'ala: "Innallaaha ya'muru bil-'adli" (sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil).
Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan terlarang karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw. adalah segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid'ah, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama'ah, do'a berjama'ah, zikir berjama'ah, membaca al-Qur'an di pekuburan, dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski tidak didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau ketertolakannya.
Kata amr pada  "amrunaa" di dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah "urusan (agama) kami". Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, "Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak". Seandainya pun kata "amrunaa" diartikan sebagai "perintah kami" dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu "amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami", bukan " yang tidak ada perintah kami atasnya ". Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim)
"Tidak sesuai perintah" mengandung pengertian adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan, contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan.  Sedangkan "tidak tidak ada perintah kami atasnya " mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa "melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala". Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid'ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit?
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai "amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami" juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus.
Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara "yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang) , sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian" sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai "rahmat" dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)
"Sesungguhnya Allah ta'ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian  bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).    
Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba'in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan "Ia telah mendiamkan beberapa hal" tentunya sangat berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang "mewajibkan", "menetapkan batasan", dan "mengharamkan". Maksudnya, saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta'ala ”mendiamkan beberapa hal" maka itu artinya "Allah tidak memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok  yang Ia wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia haramkan". Paling tidak, itu artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya.
Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat menyatakan bahwa melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang, sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya sebagai "rahmat" ??!         
Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan "maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" adalah larangan yang khusus pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari'atan, karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang "rahmat" sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum "boleh" atau "tidak"nya suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut.
Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya "rahmat" akan tetap dianggap "rahmat" sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini pulalah terlihat jelas perbedaan antara "perkara baru di dalam ajaran agama" dan "perkara baru yang berbau agama".  
Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi ini, maka akibatnya adalah mereka menganggap sama "perkara baru di dalam ajaran agama" dengan "perkara baru yang berbau agama", dan untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid'ah sesat dan terlarang. Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat "rahmat" yang ada pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt., mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana "rahmat" yang ada pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta dan pemuliaan terhadap beliau.
Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap "rahmat" yang Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah kubur, tentang membacakan al-Qur'an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk, tentang berzikir atau berdo'a berjama'ah, tentang do'a qunut pada shalat shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata "tidak ada dalilnya" atau "tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabatnya".   
Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut:
كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا
"Setiap ibadah yang tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian lakukan" (Prof. TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya "Kriteria Antara Sunnah dan Bid'ah", dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah  karya Hammud bin Abdullah al-Mathar).
Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita memahami pengertian "ibadah" tersebut melalui penjelasan yang tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan:
اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ
"Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)"
atau dalam kaidah lain, "Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila ada
dalil yang menyuruhnya."
Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Salafi & Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat, puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh hal-hal tersebut seperti: Do'a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja, di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak mungkin.
Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo'a harus dengan kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain; dan khutbah jum'at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh, dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam dengan pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman makin ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya?
Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Salafi & Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending, gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat terbatasi oleh larangan bid'ah yang tidak jelas akan menjadi sangat membosankan.
Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Isra' & Mi'raj, tahlilan, zikir berjama'ah, rombongan ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya'ir Islami, dan lain sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi'in.
Hasilnya, syi'ar Islam jadi semarak, dan umat Islam terpelihara keimanannya dengan banyaknya kegiatan keislaman di setiap waktu dan tempat di mana mereka dapat sering bertemu dengan para ulama dan orang-orang shaleh yang lama-kelamaan menjadi figur dan idola di hati mereka.             
Ø  HUKUM ASAL IBADAH, DALAM PANDANGAN ULAMA
1. Ulama Syafi’iyyah.
a. Imam Ibnu Hajar:
Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)” (1), di lain tempat beliau juga mengatakan: “Penetapan ibadah hanya diambil dari tawqif (adanya dalil)” (2).
b. Imam Ibnu Daqiiq Al ‘Iid:
Karena umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”(3)
2. Ulama Hanabilah (Imam Ahmad Bin Hanbal).
Imam Ibnu Muflih:
Amal-amal yang berkaitan dengan agama tidak boleh membuat sebab (berkreasi), kecuali disyariatkan. Karena pokok ibadah adalah tauqif (diam sampai datang dalil).”(4)
3. Ulama Malikiyyah
Imam Zarqoni:
Asal dalam Ibadah adalah tauqif” (5)
4. Ulama Hanafiyyah (Imam Abu Hanifah)
a. Imam Ibnu Taimiyyah:
Oleh karena ini, Imam Ahmad dan lainnya dari fuqohaa ahli hadist berkata: sesungguhnya asal dari ibadah adalah tauqif, maka tidak bisa disyariatkan kecuali yang Alloh Syariatkan.” (6)
b. Imam Syarkhisyi:
Logika tidak masuk dalam mengetahui sesuatu yang merupakan taat kepada Alloh (ibadah), oleh karena itu tidak boleh menetapkan asal ibadah dengan logika”. (7)
5. Ulama Syiah Zaidiyyah
Imam Syaukani:
Ibadah di ambil dari tauqif.” (8)
6. Ulama Salafy (Wahabiyyah).
a. Syaikh Utsaimin:
“Karena Asal dalam ibadah adalah Haram dan tercegah, kecuali ada dalil disyariatkannya.”(9)
b. Syaikh bin Baaz:
“karena asal dalam ibadah adalah tauqif dan tidak adanya Qiyas.”(10)

Penting:
- Kaidah diatas sifatnya masih sangat umum, belum bisa untuk menjustifikasi suatu hukum ataupun amalan, kecuali adanya sandaran Al Qur’an, Al Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Jadi sangatlah tidak patut apabila kaidah di atas di gunakan untuk menghukumi, apalagi sebagai “alat kebencian”.
- Dalam menyikapi perbedaan, alangkah arifnya kita terima, karena itu adalah sunnatulloh, maka kesampingkanlah ego dan ke-akuan, janganlah kita memvonis sesama muslim. Sungguh!!! Mereka para musuh islam akan berteriak kegirangan….

Walhamdulillah… Was Sholaatu was Salaamu ‘ala Rosulillah.. Haadza maa yassarallohu ‘alayya wa bi’aunillah…
Wallohu a’lam….


(0) مذكرة أصول الفقه للشيخ الشنقيطي – (ج 1 / ص 16)
(فصل) قال المؤلف رحمه الله تعالى: واختلف فى الأفعال وفى الاعيان المنتفع بها قبل ورود الشرع بحكمها .. الخ ..
اعلم أن خلاصة ما ذكره المؤلف رحمه الله تعالى فى هذا المبحث، أن حكم الأفعال والأعيان أي الذوات المنتفع بها قبل أن يرد فيهل حكم من الشرع فيها ثلاثة مذاهب :الاول : أنها على الاباحة وهو الذى يميل إليه المؤلف واستدل بقوله تعالى :” هو الذى خلق لكم ما فى الأرض جميعا” فانه تعالى امتن على خلقه بما فى الارض جميعا ولا يمتن الا بمباح ، اذ لا منة فى محرم واستدل لاباحتها أيضا بصيغ الحصر فى الآيات كقوله:
(قل انما حرم ربى الفواحش ما ظهر منها ومابطن) وقوله تعالى : (قل لا أجد فيما أوحى إلى محرماً على طاعم يطعمه الا أن يكون ميتة أو دماً مسفوحاً أو لحم خنزير ..) الآية . (قل تعالوا أتل ما حرم ربكم عليكم ..) الآية .واستدل لذلك أيضا بحديث ( الحلال ما أحله الله فى كتابه والحرام ما حرمه الله فى كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه) .
المذهب الثانى : أن ذلك على التحريم حتى يرد دليل الاباحة واستدل لهذا بأن الأصل منع التصرف فى ملك الغير بغير اذنه وجميع الاشياء ملك لله جل وعلا ، فلا يجوز التصرف فيها الا بعد اذنه، ونوقش هذا الاستدلال بأن منع التصرف فى ملك الغير، انما يقبح عادة فى حق من يتضرر بالتصرف في ملكه، وأنه يقبح عادة المنع ممالا ضرر فيه كان لاستظلال بظل حائط انسان والانتفاع بضوء ناره والله جل وعلا لا يلحقه ضرر من انتفاع مخلوقاته بالتصرف فى ملكه .
المذهب الثالث : التوقف عنه حتى يرد دليل مبين للحكم فيه.
(1) فتح الباري للشيخ ابن حجر الجزء الثالث ص: 54
الأصل في العبادة التوقف.
(2) وفيه أيضا (2/80):
التقرير فى العبادة إنما يؤخذ عن توقيف.
وفي شرح زُبَدِ ابن رسلان للشافعي الصغير (1/79):
الأصل في العبادات التوقيف.
(3) إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام ابن دقيق العيد – (ج 1 / ص 281)
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ.
(4) الآداب الشرعية لابن مفلح (2/265)
الأعمال الدينية لا يجوز أن يتخذ شيء منها سببا إلا أن تكون مشروعة فإن العبادات مبناها على التوقيف
(5) شرح الزرقاني على الموطأ (1/434)
الأصل في العبادة التوقيف .
(6) قال ابن تيمية في مجموع الفتاوى (29/17)
ولهذا كان أحمد وغيره من فقهاء أهل الحديث يقولون: إن الأصل فى العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله تعالى.
(7) أصول السرخسي الحنفية – (ج 2 / ص 122)
ولا مدخل للرأي في معرفة ما هو طاعة لله، ولهذا لا يجوز إثبات أصل العبادة بالرأي
(8) نيل الأوطار – (ج 2 / ص 413)
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: {أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَيُوتِرَ الْإِقَامَةَ إلَّا الْإِقَامَةَ}.رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ. وَلَيْسَ فِيهِ لِلنَّسَائِيِّ وَالتِّرْمِذِيِّ وَابْنِ مَاجَهْ إلَّا الْإِقَامَةَ .
قَوْلُهُ: (أُمِرَ بِلَالٌ) هُوَ فِي مُعْظَمِ الرِّوَايَاتِ عَلَى الْبِنَاءِ لِلْمَفْعُولِ. وَقَدْ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْأُصُولِ وَالْحَدِيثِ فِي اقْتِضَاءِ هَذِهِ الصِّيغَةِ لِلرَّفْعِ، وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ مُحَقِّقِي الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا تَقْتَضِيهِ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْآمِرِ مَنْ لَهُ الْأَمْرُ الشَّرْعِيُّ الَّذِي يَلْزَمُ اتِّبَاعُهُ، وَهُوَ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا سِيَّمَا فِي أُمُورِ الْعِبَادَةِ ، فَإِنَّهَا إنَّمَا تُؤْخَذُ عَنْ تَوْقِيفٍ
(9) القول المفيد على كتاب التوحيدمحمد بن صالح العثيمين – (ج 1 / ص 152)
لأن الأصل في العبادات الحظر والمنع، إلا إذا قام الدليل على مشروعيتها.
(10) مجموع فتاوى و مقالات ابن باز – (ج 13 / ص 123)
لأن الأصل في العبادات التوقيف وعدم القياس، وبالله التوفيق.
=========
tambahan
PERAYAAN MAULID, MANA DALILNYA ?
Oleh Umat Dhoif dalam sebuah Grup FB

Sebagaimana diketahui perayaan maulid itu sebuah kegiatan yang berisi tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir dan tausiyah, nah anda pasti sangat faham dalil-dalil tentang tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir dan tausiyah, sudah banyak bertebaran diseantero dunia buku dan internet bahkan facebook, silakan cari sendiri.

Nah yang menjadi masalah di sini adalah bagaimanakah Dalil dari “PERAYAAN MAULID” benar atau tidak ? sampai-sampai anda menanyakan “MANA DALILNYA?” 

Saya mungkin akan menjelaskan sedikit, saya mulai dari suatu kaidah dalam ushul fiqh yang sering didengung-dengungkan oleh teman-teman Salafi, 

“Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”.. 

Nah dari kaidah ini sesuatu yang diangap ibadah selalu muncul pertanyaan “mana dalilnya?” karena sifat dari ibadah yang tauqif .

Permasalahnya adalah untuk ibadah apakah kaidah di atas ? Saya akan coba mengambil dari kitab, 

الأصل في العبادات التوقيف

وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعاً وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، " أن الأصل في العبادات التوقيف " كما "أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة"، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جداً ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادةً لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحدٍ أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصاً أو تقديماً أو تأخيراً أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليونغير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعاً، والعصر أربعاً، والمغرب ثلاثاً، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدّقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلاً أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقداً جديداً لم يكن موجوداً في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه رباً ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذٍ نقول: هذا العقد مباح؛ 

bahwa yang dinamakan ibadah sifatnya tauqif adalah sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau apapun itu…. 
Dan ini beda dengan muamalah yang asalnya boleh sampai ada dalil yang melarangnya… 
Nah sekarang kita lihat apakah sebenarnya ibadah tauqif itu…. 

التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلاً أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع

tauqifi dalam sifat ibadah 
ibadah itu tauqifi dalam semua hal dalam sifatnya,,, 
maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku', atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya...oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari' ( allah ) 

التوقيف في زمن العبادة
زمان العبادة توقيفي -أيضاً- فلا يجوز لأحد أن يخترع زماناً للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلاً

tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadah 
waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. maka tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari' tidak memerintahkannya. 

التوقيف في نوع العبادة 
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعاً، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلاً، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلاً، فهذه بدعة

tauqifi dalam macamnya ibadah 
begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari'at..artinya termasuk dari jenis ibadah yang disyariatkan. maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyariatkan, seperti menyembah matahari, atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata : saya ingin melatih badanku misalkan, ini semua bid'ah. 

التوقيف في مكان العبادة 
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعاً، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلاً- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجاً أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدّى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك.

begitu juga tauqifi dalam tempat ibadah. 
maka ini juga harus masyru'. maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari'atkan. seperti jika seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji. atau wuquf dimina, atau bermalam (muzdalifah) di 'arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru'. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari'atkan oleh syari' 

Nah dari penjelasan kitab diatas dapat ditangkap 4 point, dan bila diperhatikan maka di situ didapat kesimpulan bahwa ibadah yang sifatnya tauqif itu adalah ibadah mahdoh… faham ?? 
Jadi yang dimaksud ibadah dalam kaidah “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”....adalah ibadah yang sifatnya mahdoh saja, bukan semua ibadah.

Nah untuk bisa membedakannya ibadah harus dilihat wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan). Untuk ibadah yang sifatnya mahdhoh Cuma ada maqoshid, sedangkan untuk goir mahdoh ada maqoshid ada wasail. 

Ok… langsung contoh saja….biar gampang, perhatikan baik-baik …. 

Sholat, sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yg ada Cuma maqoshid (tujuan) tidak ada wasail. 

Anda menulis di blog atau FB, Kegiatan menulis sendiri itu bukan ibadah maka hukumnya mubah. Tapi karena anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah dengan jalan menulis di FB maka dalam Islam ini berpahala dan termasuk ibadah (wasailnya anda menulis di blog atau FB, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah). Tapi jika anda menganggap kegiatan menulis ini sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah. 

Saya beri contoh lagi, kegiatan pengajian dan tabligh, awalnya bentuk kedua kegiatan ini bukan ibadah dan tidak ada contoh dari rasul jadi hukumnya mubah, tapi karena isi dari kegiatan ini adalah ibadah (seperti tholabul ilmi dan tauziyah atau bahkan dakwah) maka kegiatan pengajian dan tabligh insyaallah berpahala dan bernilai ibadah (wasailnya kegiatan pengajian dan tabligh, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka tholabul ilmi dan berdakwah). Sekali lagi jika anda menganggap kegiatan pengajian dan tabligh ini sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah. 

Begitu juga dengan maulid, maulid adalah wasail (perantara atau ada yang bilang sarana), maqoshidnya adalah mengenal Rasul n mengagungkannya… Bagaimanakah hukum awal dari Maulid? Jawabannya adalah mubah, boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. 

Tapi kenapa menjadi sunah?? Menjadi sunah dikarenakan hukum maqoshidnya adalah sunah (mengenal dan mengagungkan Rasul adalah Sunah) karena yang namanya hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid (Lil Wasail hukmul Maoshid) - ini adalah kaidah ushul fiqh.

Contoh gampangnya untuk (Lil Wasail hukmul Maoshid), anda membeli air hukumnya mubah, mau beli atau tidak, tak ada masalah. Tapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.

Kembali lagi ke maulid, Apakah maulid bisa menjadi sesuatu yg bid’ah (dholalah)? ya bisa jika anda menganggap maulid adalah sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti sholat wajib. Nah perlu saya garis bawahi pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah dasar merayakan maulid ? INI ADALAH PERTANYAAN YANG SALAH. Tidak ada ceritanya namanya wasail ada dalil qothinya.

Contoh lagi biar lebih gampang mencerna : 
anda berangkat ke sekolah, ini adalah wasail, maqoshidnya tholabul ilmi, tetapi karena tholabul ilmi itu hukumnya wajib maka berangkat ke sekolahpun menjadi wajib dan bernilai ibadah. Dalil yang ada adalah dalil tentang tholabul ilmi. Bagaimanakah dalil yang menyuruh kita berangkat ke sekolah ? JELAS TIDAK ADA!! karena ini adalah wasail atau sarana. Begitu pula dengan maulid, kalau anda tanya dalil maqoshidnya yaitu tentang mengenal dan mengagungkan Rasul ya pasti ada. Tapi jika anda tanya dalil wasailnya, yaitu perayaan Maulid ? JELAS TIDAK ADA!! karena ini adalah wasail atau sarana.

Sedikit tambahan, ini juga dasar kenapa bermadzab itu wajib hukumnya bagi kita, orang awam, karena madzab adalah wasail, dan ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mengerti agama ini, kita tak mungkin bertanya langsung ke rasul. Sedangkan maqoshidnya agar kita bisa mengerti tentang agama islam sehingga kita bisa mengamalkannya dengan benar (hukumnya ini wajib), maka bermadzab mnjadi wajib. Kalau anda bertanya mana dalil naqlinya secara leterleg yang menyuruh kita bermadzab ? Yaa tak ada, lha wong bermadzab itu cuma wasail. 

Dari itulah, mohon jangan sedikit-sedikit bertanya “MANA DALILNYA?” , tanpa tahu sesuatu hal itu perlu dalil atau tidak. Bagaimana pertanyaan bisa dijawab, kalau pertanyaannya saja salah ???? (Jadi ingat salah satu pertanyaan yang salah : Kuasakah Allah menciptakan sebuah batu yang sangat besar sehingga Alloh sendiri tidak mampu mengangkatnya ? )
الموسوعة الشاملة - الأشباه والنظائر حنفي

هل الأصل في الأشياء الإباحة أو الحظر أو التوقيف ؟
قاعدة : هل الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على عدم الإباحة - وهو مذهب الشافعي رحمه الله - أو التحريم حتى يدل الدليل على الإباحة ونسبه الشافعية إلى أبي حنيفة رحمه الله وفي البدائع : المختار أن لا حكم للأفعال قبل الشرع والحكم عندنا وان كان أزليا فالمراد به هنا عدم تعلقه بالفعل قبل الشرع فانتفى التعلق لعدم فائدته انتهى وفي شرح المنار للمصنف : الأصل في الأشياء الإباحة عند بعض الحنفية ومنهم الكرخي و قال بعض أصحاب الحديث : الأصل فيها الحظر وقال أصحابنا : الأصل فيها التوقف بمعنى أنه لا بد لها من حكم لكننا لم نقف عليه بالفعل انتهى وفي الهداية لا من فصل الحدادة أن الإباحة أصل انتهى
Secara keseluruhan encyclopaedia - semi-Dan Isotop Hanafi

Adalah asal dari hal-hal yang seharusnya tidak diizinkan, blokir, atau penangkapan?
: Aturan adalah asal dari hal-hal yang seharusnya tidak diizinkan bahkan menunjukkan bukti kegagalan dari legalisir - adalah doktrin allah kasihanilah dia)- Apa - java atau bahkan menunjukkan bukti dan otorisasi conclave alshafʿyt untuk Abu Hanifa dia jiwa dalam bdayʿ: memilih untuk tidak aturan dari tindakan sebelum sharee ' ah dan pemerintahan kami meskipun azealia yang dimaksudkan di sini tidak mengerti sudah keluar The Sharee ' ah pada lampiran untuk kurangnya kebergunaan dan berakhir di penjelasan dari beacon dari kelas: Asal pokok pada halaman dari ketuk ketika beberapa dari mereka dan pemilik dan berkata rkhy beberapa pembuat modern asli: Di mana kami que dan berkata pemilik: untuk mencoba untuk menghentikan dalam arti bahwa ia tidak memiliki untuk aturan tetapi kita tidak berdiri pada sudah berakhir dengan wahyu, bukan dari pemisahan dari blacksmith bahwa otorisasi the origin of the selesai

(1/87) Link kitab:
islamport.com/w/hnf/Web/2681/42.htm
Asal https://www.facebook.com/groups/MTTM1/permalink/1664262007120686/





Komentar

  1. Acara tahlilan adalah bentuk peribadatan. lg pula acara 3 7 40 hari dst. stlh kematian sdh ditetapkan bid'ah oleh bahtsul matsa'il nu.
    Jd org NU hanyalah ahli nafsu pencari pembenaran yg gak konsisten dan tdk runtut/lurus/jujur pikiran dan hatinya. Apalagi kalau yg manaqiban, ya org2 NU, jd tdk berlebihan kalo NU itu kelompoknya musyrikin, bukan hanya mubtadi'in ahli nafsu, tp sdh bablas ke bikin2 peribadatan syirki.

    BalasHapus

Posting Komentar

Harap berkomentar yang baik

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا