Langsung ke konten utama

MASALAH MUSTA'MAL DAN STANDARISASI DUA KULAH



 Kajian Fathul Qarib (KFQ):

MASALAH MUSTA'MAL DAN STANDARISASI DUA KULAH

Masalah bak mandi banyak menjadikan orang was-was. Dalam madzhab Syafi'i sendiri ada standarisasi ukuran 2 kulah supaya air tidak bisa musta'mal, yang mana nantinya bebas digunakan. Akan tetapi karena standar ini, banyak orang yang terlalu waro', terlalu hati-hati, menjadi was-was.

Apakah standarisasi itu salah? Jelas tidak. Ulama' menyatakan demikian merujuk pada dalil. Tapi, seperti lumrahnya dalam fikih, hampir pasti ada perbedaan pendapat, karena dalil yang digunakan memang ihtimal pemahaman lain.

Jalan keluar masalah ini bisa mengikuti salah satu dua pendapat berikut:

1- Pendapat Ashabus-Syafi'i seperti tercantum dalam Al-Mughni libnil-Qudamah :

"Air musta'mal yang jatuh ke bak mandi tidak bisa memusta'malkan air di bak mandi tersebut 'kecuali' air musta'mal itu lebih banyak dari air yang di bak mandi."

Jadi kalau air musta'mal yang jatuh ke bak mandi kadarnya sama dengan air di bak mandi, atau lebih sedikit, atau ragu banyak mana, maka air di bak mandi tetap suci mensucikan. Ini baik air di bak mandi ada dua kulah (ukuran air di wadah 60×60×60) ataupun kurang.

2- Pendapat air musta'mal hukumnya suci mensucikan diutarakan oleh Ibnul-Mundzir, pendapat ini di riwayatkan dari Imam Ali, Abdullah bin Umar, dll.

Jadi kalau ikut pendapat ini, air yang digunakan wudhu atau mandi, boleh di gunakan wudhu mandi lagi, misal air satu Aqua di gunakan wudhu, kemudian di tampung, kemudian di gunakan wudhu orang lain, boleh saja.

Dan bagi orang was-was wudhu misal ada air menetes dari wajah ke telapak tangan saat ambil air, ketika mengikuti pendapat ini, maka air yg menetes tersebut sangat tidak apa-apa, boleh di gunakan wudhu.

Tambahan.

untuk masalah air kurang dari dua kulah kejatuhan najis yang 'ga sampai' merubah bau, warna ataupun rasanya air, banyak ulama' madzhab Syafi'i memilih pendapat Imam Malik bahwa air tidak bisa menjadi najis kecuali dengan adanya perubahan, seperti dalam Fathul Mu'in.

Imam Ghazali juga berpendapat demikian dalam Ihya'. Beliau menyatakan pendapat Imam Malik sangat di butuhkan, dan adanya pensyaratan dua kulah dari madzhab Syafi'i bisa jadi penyebab was-was dan menyulitkan banyak orang.

Kalau ga najis apakah boleh di gunakan?

1- kalau digunain buat nyuci baju, piring, mandi sehari-hari, boleh mutlak.
2- kalau di gunain wudhu, baik sunah atau wajib, mandi baik sunah atau wajib, ngilangin najis, maka hukumnya makruh kalau ada air yang lain, kalau ga ada, maka ga makruh, boleh saja.

Ibarot :

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni :

فَصْلٌ كَانَ الْوَاقِعُ فِي الْمَاءِ مَاءً مُسْتَعْمَلًا

وَقَالَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ: إنْ كَانَ الْأَكْثَرُ الْمُسْتَعْمَلَ مُنِعَ، وَإِنْ كَانَ الْأَقَلُّ لَمْ يُمْنَعْ.

Pernyataan Ibnul-Mundzir :

وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ وَهِيَ كَوْنُهُ لَيْسَ بِمُطَهِّرٍ فَقَالَ بِهِ أَيْضًا أَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ وَلَمْ يَذْكُرْ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْهُ غَيْرَهَا وَذَهَبَ طَوَائِفُ إلَى أَنَّهُ مُطَهِّرٌ وَهُوَ قَوْلُ الزُّهْرِيِّ وَمَالِكٍ وَالْأَوْزَاعِيِّ فِي أَشْهَرِ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُمَا وَأَبِي ثَوْرٍ وَدَاوُد قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ وَابْنِ عُمَرَ وَأَبِي أُمَامَةَ وَعَطَاءٍ وَالْحَسَنِ وَمَكْحُولٍ وَالنَّخَعِيِّ أَنَّهُمْ قَالُوا فِيمَنْ نَسِيَ مَسْحَ رَأْسِهِ فَوَجَدَ فِي لِحْيَتِهِ بَلَلًا يَكْفِيهِ مَسْحُهُ بِذَلِكَ الْبَلَلِ: قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمْ يَرَوْنَ الْمُسْتَعْمَلَ مُطَهِّرًا، قَالَ: وَبِهِ أَقُولُ.

Yang air kurang dua kulah kejatuhan Najis tapi ga berubah dihukumi suci seperti pendapat Imam Malik, dari Fathul Mu'in :

واختار كثيرون من أئمتنا مذهب مالك: أن الماء لا ينجس مطلقا إلا بالتغير والجاري كراكد.

Imam Ghazali dalam Ihya' :

وكنت أود أن يكون مذهبه كمذهب مالك رضي الله عنه في أن الماء وإن قل لا ينجس إلا بالتغير إذ الحاجة ماسة إليه ومثار الوسواس اشترط القلتين ولأجله شق على الناس ذلك وهو لعمري سبب المشقة ويعرفه من يجربه ويتأمله
[أبو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، ١٢٩/١]

Yang Hasyiyah Ad-Dasuqi :

إنّ الماء اليسير وهو ما كان قدر آنية الوضوء أو الغسل فما دونهما إذا حلت فيه نجاسة قليلة كالقطرة ولم تغيره فإنه يكره استعماله في رفع حدث أو في حكم خبث ومتوقف على طهور كالطهارة المسنونة والمستحبة.
وأما استعماله في العادات فلا كراهة فيه، فالكراهة خاصة بما يتوقف على طهور.

ثم قال: الحاصل أن الكراهة مقيده بقيود سبعة:
1- أن يكون الماء الذي حلت فيه النجاسة يسيرًا.
2- وأن تكون النجاسة التي حلت فيه قطرة فما فوقها.
3- وأن لا تغيره.
4- وأن يوجد غيره
5- وأن لا يكون له مادة كبئر.
6- وأن لا يكون جاريًا.
7- وأن يراد استعماله فيما يتوقف على طهور كرفع حدث وحكم خبث وأوضية واغتسالات مندوبة.

فإن انتفى قيد منها فلا كراهة.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا