HUKUM KHITAN BAGI PEREMPUAN MENURUT 4 MADZHAB#
Dan inilah uraian refrensi dalam kutub mu'tabaroh madzhab 4 masalah khitan bagi perempuan:
Pengertian khitan maksudnya memotong kulit penutup KHASYAFAH (GLANDS PENIS) bagi anak lelaki atau kulit (PREPUCE) yang ada diatas CLITORIS bagi anak wanita.
Praktek ini sering disebut juga dengan istilahCIRCUMSISI, mengambil istilah dari suatu nama sekte Nashrani yang taat melakukan ajaran bersunat seperti apa yang dilakukan oleh Yesus sendiri dan para murid- muridnya serta dilakukan juga oleh para penganut Yahudi, sebagai warisan Millah Ibrohiim.
Nabi Ibrohim menerima wahyu Alloh untuk berkhitan tatkala beliau telah berumur 80 tahun, dan dilakukan dengan menggunakan kapak (Qodum), sesuai hadist Nabi dalam Asshohihain. Dalam satu pendapat yang lain, Qodum adalah nama suatu tempat di negeri Syam.
Imam Nawawi dalam Syarah Sohih Muslim menjelaskan: “Yang wajib bagi laki- laki adalah memotong seluruh kulit (Qulf) yang menutupi kepala Khasyafah sehingga kepala Dzakar itu terbuka seluruhnya. Sedangkan bagi wanita yang wajib hanyalah memotong SEDIKIT daging (Jildah) yang berada pada bagian atas Farj.
Sebagian orang yang kurang mengerti sering mencampur adukkan antara khitan wanita (Female Circumsision) yang islamy dengan VAGINA MUTILATION yang pada praktiknya memotong habis seluruh LABIA (Labia mayora dan Labia minora) dan kemudian menjahitnya sehingga tersisa lubang yang sedikit, dimana praktek model ini banyak dilakukan di Africa, dan ini murni budaya Africa kuno yang tidak ada hubungannnya sama sekali dengan ajaran islam yang murni. Rosululloh tatkala melihat pelaksanaan khitan wanita di Madinah yang dilakukan oleh seorang Shohabiyah yang bernama Ummi ‘Atiyah berpesan wanti- wanti agar jangan melakukan praktek yang berlebihan itu dengan mengatakan:
“Jika kamu mengkhitan maka hendaklah sedikit saja, jangan dihabiskan, karena yang demikian itu lebih mempercantik wajah dan lebih disukai suami” H.R. Abu Dawud dan Al- Khotib.
Abu Dawud menilai hadist ini ada titik lemah, namun menurut Imam Ibnu Hajar Al- Asqolani, hadist ini memiliki dua saksi penguat, yakni melalui hadist Anas dan hadist Ummu Aiman.
Yang dimaksudkan dengan lafadh “Isymi” adalah ratakan, sehingga bagian kulit (prepuce) yang keluar dan menonjol dari bibir farji dipotong sehingga masih ada bagian yang ada didalam bibir faraj.
Seperti diketahui bahwa CLITORIS dan Prepuce (yang merupakan Obstacle clitoris) adalah bagian kewanitaan yang sangat sensitive dan mudah terangsang, sehingga bila ada bagian Obstacle yang menonjol maka akan sangat mudah bersentuhan dengan benda- benda luar yang akan berakibat bangkitnya nafsu birahi seorang wanita. Maka Islam sebagai suatu agama yang suci menjaga kesucian para wanita agar mereka hanya bangkit nafsu seksualnya tatkala telah disentuh dan di trigger oleh suaminya saja dan tidak terangsang disetiap waktu dan keadaan, sehingga dengan demikian akan selalu terjaga hubungan seksual yang suci yang diridhoi Allah SWT.
Hukum dan Tujuan Khitan
Adapun dalil dan dasar- dasar hukum yang berkenaan dengan masalah khitan adalah:
Firman Allah:
“Kemudian aku wahyukan kepadamu (Muhammad), agar mengikuti agama Ibrahim yang hanif (condong/ berpihak kepada kebenaran). Beberapa ayat yang senada juga dapat ditemukan dalam bagian lain Surah Al- Qur’an.
Rasulullah menyatakan:”Dasar kesucian (FITRAH) itu ada lima, yaitu: 1- Khitan,
2- Mencukur bulu kemaluan, 3- Mencukur bulu ketiak, 4- Mencukur kumis, dan
5- Memotong kuku- kuku”. H.R. Bukhori dan Muslim. Hadist ini adalah sumber yang
paling shohih tentang masalah khitan ini dan bersifat UMUM, artinya berlaku baik untuk
laki- laki dan perempuan. Dalam hal ini Fitrah identik dengan Sunnah atau Ad- Dien
yang bersesuaian dengan ajaran islam, karena itu khitan dalam khazanah bahasa Indonesia
sering juga disebut SUNNATAN.
Rosulullah bersabda: “Alloh tidak menerima sholat kalian bila tidak suci”. Tanpa berkhitan, selalu ada sisa- sisa air seni/ najis yang tertinggal dibawah Qulf. Maka agar sholat kita diterima Allah, kita harus berkhitan sebagai usaha agar kesucian terjamin. Sesuai Qo’idah USHUL FIQH yang menyatakn “Sesuatu yang (menyebabkan) sebuah kewajiban tak mungkin bisa dilakukan dengan sempurna, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib”. Maka hukum khitan bagi lelaki yang berdasar hadist diatas yang pada asalnya sunnah, menjadi wajib karena sebagai sarana kesucian untuk melaksanakan sebuah kewajiban.
Hukum khitan bagi laki- laki adalah WAJIB, ini disepakati oleh Jumhur Ulama’, SEDANG BAGI WANITA diperselisihkan diantara para Ulama, yakni antara Wajib dan Sunnah.
Sebahagian menyatakan kewajiban khitan bagi wanita seperti pendapat Ashab As-Syafi’I, sebagaimana kewajiban khitan bagi kaum lelaki dengan beberapa alasan, yaitu:
Khitan wanita sering dinyatakan oleh Rosulullah secara berbarengan dengan kaum lelaki, sesuai pernyataan beliau: “Apabila bertemu dua khitan maka mereka wajib mandi” Hadist riwayat At- Turmudzi, Ahmad dan Ibnu Majah. Masih banyak lagi hadist yang semakna dengan hadist ini .
Dalam hadist yang lain Nabi menyatakan bahwa “Kaum wanita itu saudaranya kaum
lelaki”. Maka kalau lelaki wajib berkhitan, maka kaum perempuan juga wajib berkhitan.
Demikian ini keyakinan sebahagian para ulama Syafi’iyah sebagaimana terungkap dalam pernyataan Imam Nawawi sesuai keterangan diawal tulisan ini, mereka berpendapat bahwa khitan bagi wanita itu WAJIB hukumnya.
Sedangkan menurut Imam Malik dan sebagian lagi sahabat Syafi’I seperti pernyataan Sohibul Mughni dari Ahmad, menyatakan hukumnya sunnah berdasarkan keumuman hadist shohih riwayat Bukhori dan Muslim, dan hadist dari Syaddad bin Aus yang menyatakan:
“Khitan itu perilaku Nabi- nabi bagi lelaki dan kehormatan bagi kaum wanita”.
Disamping itu hujjah bagi mereka yang menyatakan tidak wajibnya khitan bagi wanita, karena khitan wanita tidak mempengaruhi keabsahan ibadah sholatnya, tapi lebih dimaksudkan untuk menstabilkan hasrat seksualnya sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Taimiyah tatkala beliau ditanya: Apakah wanita juga dikhitan? Beliau menjawab:” Ya, wanita itu dikhitan. Dan khitannya dengan memotong kulit yang paling atas (jildah) yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah bersabda: “Sedikit saja jangan semuanya karena itu lebih bisa membuat wajah ceria dan lebih disenangi suami” Hal itu karena tujuan khitan laki- laki ialah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit dzakar, sedangkan tujuan khitan wanita adalah untuk menstabilkan syahwatnya, karena kalau wanita tidak dikhitan, maka syahwatnya akan sangat besar.
Waktu Khitan Menurut Al- Mawardy, ada tiga waktu untuk berkhitan, yakni:
Waktu WAJIB, yakni saat seorang anak telah mencapai umur BALIGH.
Waktu Sunnah, Yakni saat anak belum mencapai umur baligh.
Waktu Ikhtiyar, yakni saat bayi umur 7 (tujuh) hari, atau 40 hari atau umur 7 (tujuh) tahun saat anak mulai diajari dan diperintah sholat.
Walimatul khitan:
Dasar yang kuat tentang walimatul khitan tidak ditemukan, namun sebagian para salaf telah melakukan itu untuk khitan lelaki, sedang khitan wanita tidak diumumkan.
Syekh Abu Abdullah bin Al- Haj dalam “Al- Madkhol” menyatakan:
“Sesungguhnya yang sunnah, menjelaskan/ terang- terangan untuk pelaksanaan khitan anak lelaki, dan menyamarkan pelaksanaan khitan bagi wanita”.
HADIS-HADIS:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " الفِطْرَةُ خَمْسٌ: الخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الآبَاطِ "
(Sohih Bukhori jus 7 hal 160)
حَدَّثَنَا عَلِيٌّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: الزُّهْرِيُّ، حَدَّثَنَا، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رِوَايَةً: " الفِطْرَةُ خَمْسٌ، أَوْ خَمْسٌ مِنَ الفِطْرَةِ: الخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ "
(Sohih Bukhori jus 7 hal 160)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الفِطْرَةُ خَمْسٌ: الخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ "
(Sohih Bukhori jus 8 hal 66)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَمْرٌو النَّاقِدُ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، جَمِيعًا عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الْفِطْرَةُ خَمْسٌ - أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ - الْخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبِطِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ»
(Sohih muslim jus 1 hal 221)
حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، قَالَا: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الِاخْتِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبِطِ»
(Sohih muslim jus 1 hal 222)
حدَّثنا مُسَدَّدٌ حدَّثنا سفيانُ، عن الزهريِّ، عن سعيدٍ
عن أبي هريرة يبلغُ به النبيَّ -صلَّى الله عليه وسلم-: "الفِطرَةُ خمسٌ -أو خمسٌ من الفِطْرَةِ-: الخِتَانُ، والاستِحْدادُ، ونتفُ الإبطِ، وتقليمُ الأظفارِ، وقَصُّ الشَّارِبِ"
(Sunan Abi Dawud 6 hal 262)
حَدَّثَنَا الحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَغَيْرُ وَاحِدٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ: أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَمْسٌ مِنَ الفِطْرَةِ، الِاسْتِحْدَادُ، وَالخِتَانُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ»: «هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ»
(Sunan at_tirmdzi jus 5 hal 91)
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَ: حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ قَالَ: سَمِعْتُ مَعْمَرًا، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَالْخِتَانُ "
(Sunan an_nasa'i jus 1 hal 14)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "الْفِطْرَةُ خَمْسٌ- أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ-: الْخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبِطِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ
(Sunan Ibnu Majah jus 1 hal 195)
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَقَالَ سُفْيَانُ، مَرَّةً: رِوَايَةً -: " خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: الْخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ
(Musnadu Ahmad jus 12 hal 203)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا مُغِيرَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ القُرَشِيُّ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالقَدُّومِ»،
(Sohih Bukhori jus 4 hal 140)
Hadis diatas menunjukan waktu khitan tidak ada batasan waktu nya, ini pendapat jumhur.
وأورد المصنف الحديث في هذا الباب للاستدلال به على أن مدة الختان لا تختص بوقت معين، وهو مذهب الجمهور وليس بواجب في حال الصغر، وللشافعية وجه أنه يجب على الولي أن يختن الصغير قبل بلوغه، ويرده حديث ابن عباس الآتي. ولهم أيضا وجه أنه يحرم قبل عشر سنين، ويرده حديث «أن النبي - صلى الله عليه وسلم - ختن الحسن والحسين يوم السابع من ولادتهما» أخرجه الحاكم والبيهقي من حديث عائشة وأخرجه البيهقي من حديث جابر.
قال النووي بعد أن ذكر هذين الوجهين: وإذا قلنا بالصحيح استحب أن يختتن في اليوم السابع من ولادته، وهل يحسب يوم الولادة من السبع أو يكون سبعة سواه، فيه وجهان أظهرهما يحسب انتهى.
Masa khitan tidak ditentukan masa tertentu dan ini pendapat jumhur, dan tidak wajib jika masih kecil, dan dalam golongan Syafi'iyah dalam satu pendapat mengatakan : wajib bagi wali mengkhitan kan anak nya yang masih kecil sebelum baligh. Tapi pendapat tersebut dibantah dengan hadis Ibnu Abbas dibawah ini.
Dan bagi mereka (golongan Syafi'iyah) pada suatu pendapat juga bahwa diharamkan khitan sebelum usia 10 tahun . Dan pendapat itu juga dibantah bahwa Rosulullah mengkhitan hasan Husen pada hari ke tujuh dari Lahire.hadis riwayat al_hakim dll.
Imam Nawawi sesudah menyebutkan kedua pendapat ini berkata: dan kalau kita berpendapat dengan qoul yang sohih maka dianjurkan khitan pada hari ketujuh dari kelahiran.
Nailul author jus 1 hal 145
Dan ini hadise Ibnu Abbas yang menunjukkan khitan dengan waktu muayyan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ، أَخْبَرَنَا عَبَّادُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مِثْلُ مَنْ أَنْتَ حِينَ قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: «أَنَا يَوْمَئِذٍ مَخْتُونٌ» قَالَ: وَكَانُوا لاَ يَخْتِنُونَ الرَّجُلَ حَتَّى يُدْرِكَ،
dari Sa'id bin Jubair dia berkata; Ibnu Abbas ditanya; "Seperti apakah kamu ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam wafat?" Dia menjawab; 'Waktu itu saya telah dikhitan.' Dia juga berkata; 'Dan orang-orang tidak dikhitan kecuali setelah mereka dewasa (baligh).'
(Sohih Bukhori jus 8 hal 66)
والحديث يدل على ما أسلفناه من أن الختان غير مختص بوقت معين
(Nailul author jus 1 hal 147)
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: أُخْبِرْتُ، عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّهُ جَاءَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: قَدْ أَسْلَمْتُ، فَقَالَ: " أَلْقِ عَنْكَ شَعَرَ الْكُفْرِ " يَقُولُ: احْلِقْ، قَالَ: وَأَخْبَرَنِي آخَرُ مَعَهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِآخَرَ: " أَلْقِ عَنْكَ شَعَرَ الْكُفْرِ، وَاخْتَتِنْ "
إسناده ضعيف، فيه راوٍ مجهول لم يسمَّ هو شيخ ابن جُريج، وعُثيم ابن كليب، ينسب إلى جده، وهو عثيم بن كثير بن كليب الحضرمي، روى عنه جمع، وذكره ابن حبان في "الثقات"، وقال الذهبي في "الكاشف": وثق، وقال الحافظ في "التقريب": مجهول، ووالده لم نقع له على ترجمة، وبقية
رجاله ثقات.
(Musnadu Ahmad jus 24 hal 163)
حدثنا سليمان بن عبد الرحمن الدمشقي وعند الوهاب بن عبد الرحيم الأشجعي، قالا: حدثنا مروان، حدثنا محمد بن حسان -قال عبد الوهاب: الكوفي- عن عبد الملك بن عميبر
عن أم عطية الأنصارية: أن امرأة كانت تختن بالمدينة، فقال لها النبي-صلى الله عليه وسلم-:"لا تنهكي, فإن ذلك أحظى للمرأة، وأحب إلى البعل"
dari ummu Athiyah Al Anshariyah berkata, "Sesungguhnya ada seorang permpuan di Madinah yang berkhitan, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Janganlah engkau habiskan semua, sebab hal itu akan mempercantik wanita dan disukai oleh suami."
(Sunan Abi Dawud jus 7 hal 541)
Yang menyatakan wajib:
وأورد المصنف الحديث في هذا الباب للاستدلال به على أن مدة الختان لا تختص بوقت معين، وهو مذهب الجمهور وليس بواجب في حال الصغر، وللشافعية وجه أنه يجب على الولي أن يختن الصغير قبل بلوغه، ويرده حديث ابن عباس الآتي، ولهم أيضا وجه أنه يحرم قبل عشر سنين، ويرده حديث «أن النبي - صلى الله عليه وسلم - ختن الحسن والحسين يوم السابع من ولادتهما» أخرجه الحاكم والبيهقي من حديث عائشة وأخرجه البيهقي من حديث جابر.
قال النووي بعد أن ذكر هذين الوجهين: وإذا قلنا بالصحيح استحب أن يختتن في اليوم السابع من ولادته، وهل يحسب يوم الولادة من السبع أو يكون سبعة سواه، فيه وجهان أظهرهما يحسب انتهى.
واختلف في وجوب الختان فروى الإمام يحيى عن العترة والشافعي وكثير من العلماء أنه واجب في حق الرجال والنساء. وعند مالك وأبي حنيفة والمرتضى، قال النووي: وهو قول أكثر العلماء أنه سنة فيهما. وقال الناصر والإمام يحيى إنه واجب في الرجال لا النساء. احتج الأولون بما سيأتي من حديث عثيم بلفظ: «ألق عنك شعر الكفر واختتن» وهو لا ينتهض للحجية لما فيه من المقال الذي سنبينه هنالك.
وبحديث أبي هريرة أن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: (من أسلم فليختتن) وقد ذكره الحافظ في التلخيص، ولم يضعفه، وتعقب بقول ابن المنذر: ليس في الختان خبر يرجع إليه ولا سنة تتبع. وبحديث أم عطية - وكانت خافضة - بلفظ: «أشهي ولا تنهكي» عند الحاكم والطبراني والبيهقي وأبي نعيم من حديث الضحاك بن قيس. وقد اختلف فيه على عبد الملك بن عمير فقيل عنه عن الضحاك. وقيل عنه عن عطية القرظي، رواه أبو نعيم. وقيل عنه عن أم عطية رواه أبو داود في السنن، وأعله بمحمد بن حسان. فقال: إنه مجهول ضعيف، وتبعه ابن عدي في تجهيله، والبيهقي، وخالفهم عبد الغني بن سعيد فقال: هو محمد بن سعيد المصلوب في الزندقة
، رواه ابن عدي من حديث سالم بن عبد الله بن عمر. والبزار من حديث نافع كلاهما عن عبد الله بن عمر مرفوعا بلفظ: «يا نساء الأنصار اختضبن غمسا واختفضن ولا تنهكن وإياكن وكفران النعم» قال الحافظ: وفي إسناد أبي نعيم مندل بن علي وهو ضعيف، وفي إسناد ابن عدي خالد بن عمرو القرشي وهو أضعف من مندل. ورواه الطبراني وابن عدي من حديث أنس نحو حديث أبي داود، قال ابن عدي: تفرد به زائدة وهو منكر، قاله البخاري عن ثابت. وقال الطبراني: تفرد به محمد بن سلام.
Yang menyatakan Sunnah:
واحتج القائلون بأنه سنة بحديث: «الختان سنة في الرجال مكرمة في النساء» رواه أحمد والبيهقي من حديث الحجاج بن أرطاة عن أبي المليح بن أسامة عن أبيه، والحجاج مدلس، وقد اضطرب فيه قتادة، رواه هكذا، وتارة رواه بزيادة شداد بن أوس بعد والد أبي المليح، أخرجه ابن أبي شيبة وابن أبي حاتم في العلل والطبراني في الكبير، وتارة رواه عن مكحول عن أبي أيوب، أخرجه أحمد وذكره ابن أبي حاتم في العلل، وحكي عن أبيه أنه خطأ من حجاج أو من الراوي عنه وهو عبد الواحد بن زياد.
وقال البيهقي: هو ضعيف منقطع. وقال ابن عبد البر في التمهيد: هذا الحديث يدور على حجاج بن أرطاة، وليس ممن يحتج به. قال الحافظ: وله طريق أخرى من غير رواية حجاج، فقد رواه الطبراني في الكبير، والبيهقي من حديث ابن عباس مرفوعا، وضعفه البيهقي في السنن، وقال في المعرفة: لا يصح رفعه وهو من رواية الوليد عن أبي ثوبان عن ابن عجلان عن عكرمة عنه، ورواته موثقون إلا أن فيه تدليسا اهـ.
ومع كون الحديث لا يصلح للاحتجاج لا حجة فيه على المطلوب لأن لفظة السنة في لسان الشارع أعم من السنة في اصطلاح الأصوليين. واحتج المفصلون بوجوبه على الرجال بحجج القول الأول. ولعدم وجوبه على النساء بما في الحديث الذي احتج به أهل القول الثاني من قوله: (مكرمة في النساء) والحق أنه لم يقم دليل صحيح يدل على الوجوب والمتيقن السنية كما في حديث: (خمس من الفطرة) ونحوه، والواجب الوقوف على المتيقن إلى أن يقوم ما يوجب الانتقال عنه.
قال البيهقي: أحسن الحجج أن يحتج بحديث أبي هريرة المذكور في الباب أن إبراهيم اختتن وهو ابن ثمانين، وقد قال الله تعالى: {ثم أوحينا إليك أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا} [النحل: ١٢٣] وصح عن ابن عباس أن الكلمات التي ابتلي بهن إبراهيم فأتمهن هن خصال الفطرة ومنهن الختان. والابتلاء غالبا إنما يقع بما يكون واجبا، وتعقب بأنه لا يلزم ما ذكر إلا إن كان إبراهيم فعله على سبيل الوجوب، فإنه من الجائز أن يكون فعله على سبيل الندب فيحصل امتثال الأمر باتباعه على وفق ما فعل، وقد تقرر أن الأفعال لا تدل على الوجوب. وأيضا فباقي الكلمات العشر ليست واجبة. وقال الماوردي: إن إبراهيم لا يفعل ذلك في مثل سنه إلا عن أمر من الله.
والحاصل أن الاستدلال بفعل إبراهيم على الوجوب يتوقف على أنه كان عليه واجبا، فإن ثبت ذلك استقام الاستدلال.
(Nailul author jus 1 hal 147)
hukum khitan bagi wanita :
Pendapat pertama; menyatakan bahwa khitan bagi wanita hukumnya adalah wajib. Pendapat ini adalah pendapat madzhab syafi’ dan madzhab Hanbali. Diantara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh aisyah rodhiyallohu ‘anha;
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Ketika 2 khitan bertemu maka telah wajib mandi” (Sunan Turmudzi, no.108, Sunan Ibnu Majah, no.608 dan Shohih Ibnu Hibban, no.1183)
«ألق عنك شعر الكفر، واختتن»
«من أسلم فليختتن» وفي حديث آخر لأبي هريرة: «اختتن إبراهيم خليل الرحمن بعد ما أتت عليه ثمانون سنة، واختتن بالقدوم» أي آلة النجارة، ولأنه من شعار المسلمين، فكان واجبا كسائر شعاراتهم
Pendapat kedua menyatakan bahwa khitan bagi wanita hukumnya tidak wajib. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan madzhab Maliki, hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan status hukumnya, menurut madzhab hanafi khitan bagi wanita adalah sebuah “kemuliaan” (makromah) namun tidak sampai dihukumi sunat, sedangkan menurut madzhab Maliki khitan bagi wanita hukumnya sunat. Diantara dalilnya adalah hadits;
الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ
“Khitan merupakan sebuah sunah bagi laki– laki dan kemuliaan bagi perempuan” (Musnad Ahmad, no.20719, Sunan Baihaqi, no.17565-17569 dan Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.26468)
#PEMAPARAN UMUM#
وهو سنة للرجل، مكرمة للمرأة عند الحنفية والمالكية، لحديث: «الختان سنة في الرجال، مكرمة في النساء»
وواجب عند الشافعية والحنابلة للذكر والأنثى، لقوله صلى الله عليه وسلم لرجل أسلم: «ألق عنك شعر الكفر، واختتن» ولخبر أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «من أسلم فليختتن» وفي حديث آخر لأبي هريرة: «اختتن إبراهيم خليل الرحمن بعد ما أتت عليه ثمانون سنة، واختتن بالقدوم» أي آلة النجارة، ولأنه من شعار المسلمين، فكان واجبا كسائر شعاراتهم.
والدليل على أنه مكرمة لا واجب للنساء عند الحنابلة: حديث: «الختان سنة للرجال، ومكرمة للنساء» وحديث «أشمي ولا تنهكي» وفي حديث أم عطية: «إذا خفضت فأشمي».
(Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuh Juz 1 Hal 461)
حكم الختان:
اختلف الفقهاء في حكم الختان على أقوال:
القول الأول:
٢ - ذهب الحنفية والمالكية وهو وجه شاذ عند الشافعية ، ورواية عن أحمد : إلى أن الختان سنة في حق الرجال وليس بواجب. وهو من الفطرة ومن شعائر الإسلام، فلو اجتمع أهل بلدة على تركه حاربهم الإمام، كما لو تركوا الأذان.
وهو مندوب في حق المرأة عند المالكية، وعند الحنفية والحنابلة في رواية يعتبر ختانها مكرمة وليس بسنة، وفي قول عند الحنفية: إنه سنة في حقهن كذلك، وفي ثالث: إنه مستحب.
واستدلوا للسنية بحديث ابن عباس رضي الله عنهما مرفوعا: الختان سنة للرجال مكرمة للنساء وبحديث أبي هريرة مرفوعا خمس من الفطرة الختان، والاستحداد، ونتف الإبط، وتقليم الأظفار، وقص الشارب.
وقد قرن الختان في الحديث بقص الشارب وغيره وليس ذلك واجبا.
ومما يدل على عدم الوجوب كذلك أن الختان قطع جزء من الجسد ابتداء فلم يكن واجبا بالشرع قياسا على قص الأظفار .
القول الثاني:
٣ - ذهب الشافعية والحنابلة، وهو مقتضى قول سحنون من المالكية : إلى أن الختان واجب على الرجال والنساء.
واستدلوا للوجوب بقوله تعالى: {ثم أوحينا إليك أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا} قد جاء في حديث أبي هريرة - رضي الله عنه - قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اختتن إبراهيم النبي صلى الله عليه وسلم وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم وأمرنا باتباع إبراهيم صلى الله عليه وسلم أمر لنا بفعل تلك الأمور التي كان يفعلها فكانت من شرعنا.
وورد في الحديث كذلك: ألق عنك شعر الكفر واختتن قالوا: ولأن الختان لو لم يكن واجبا لما جاز كشف العورة من أجله، ولما جاز نظر الخاتن إليها وكلاهما حرام، ومن أدلة الوجوب كذلك أن الختان من شعار المسلمين فكان واجبا كسائر شعارهم.
وفي قوله صلى الله عليه وسلم: إذا التقى الختانان وجب الغسل دليل على أن النساء كن يختتن؛ ولأن هناك فضلة فوجب إزالتها كالرجل. ومن الأدلة على الوجوب أن بقاء القلفة يحبس النجاسة ويمنع صحة الصلاة فتجب إزالتها.
القول الثالث:
٤ - هذا القول نص عليه ابن قدامة في المغني، وهو أن الختان واجب على الرجال، ومكرمة في حق النساء وليس بواجب عليهن
وقت الختان:
٦ - ذهب الشافعية والحنابلة إلى أن الوقت الذي يصير فيه الختان واجبا هو ما بعد البلوغ؛ لأن الختان من أجل الطهارة، وهي لا تجب عليه قبله.
ويستحب ختانه في الصغر إلى سن التمييز لأنه أرفق به؛ ولأنه أسرع برءا فينشأ على أكمل الأحوال.
وللشافعية في تعيين وقت الاستحباب وجهان: الصحيح المفتى به أنه يوم السابع ويحتسب يوم الولادة معه لحديث جابر: عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الحسن والحسين وختنهما لسبعة أيام ، وفي مقابله وهو ما عليه الأكثرون أنه اليوم السابع بعد يوم الولادة. وفي قول للحنابلة والمالكية: إن المستحب ما بين العام السابع إلى العاشر من عمره؛ لأنها السن التي يؤمر فيها بالصلاة، وفي رواية عن مالك أنه وقت الإثغار، إذا سقطت أسنانه، والأشبه عند الحنفية أن العبرة بطاقة الصبي إذ لا تقدير فيه فيترك تقديره إلى الرأي، وفي قول: إنه إذا بلغ العاشرة لزيادة الأمر بالصلاة إذا بلغها. وكره الحنفية والمالكية والحنابلة الختان يوم السابع؛ لأن فيه تشبها باليهود
(Mausuah fiqhiyah kuwaitiyah jus 19 hal 29)
#(MADZHAB SYAFI'I)#
الختان واجب على الرجال والنساء عندنا وبه قال كثيرون من السلف كذا حكاه الخطابي وممن أوجبه أحمد وقال مالك وأبو حنيفة سنة في حق الجميع وحكاه الرافعي وجها لنا: وحكى وجها ثالثا أنه يجب على الرجل وسنة في المرأة: وهذان الوجهان شاذان: والمذهب الصحيح المشهور الذى نص عليه الشافعي رحمه الله وقطع به الجمهور أنه واجب على الرجال والنساء: ودليلنا ما سبق فإن احتج القائلون بأنه سنة بحديث الفطرة عشر ومنها الختان فجوابه قد سبق عند ذكرنا تفسير الفطرة والله أعلم
فرع : قال أصحابنا الواجب في ختان الرجل قطع الجلدة التي تغطي الحشفة بحيث تنكشف الحشفة كلها فإن قطع بعضها وجب قطع الباقي ثانيا صرح به إمام الحرمين وغيره: وحكى الرافعي عن ابن كج أنه قال عندي أنه يكفي قطع شئ من القلفة وإن قل بشرط أن يستوعب القطع تدوير رأسها: وهذا الذي قاله ابن كج شاذ ضعيف: الصحيح المشهور الذي قطع به الاصحاب في الطريق ما قدمناه أنه يجب قطع جميع ما يغطي الحشفة والواجب في المرأة قطع ما ينطلق عليه الاسم من الجلدة التي كعرف الديك فوق مخرج البول صرح بذلك أصحابنا واتفقوا عليه قالوا ويستحب أن يقتصر في المرأة على شئ يسير ولا يبالغ في القطع: واستدلوا فيه بحديث عن أم عطية رضي الله عنها أن امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم لا تهكي فإن ذلك أحظى للمرأة وأحب إلى البعل رواه أبو داود ولكن قال ليس هو بالقوي وتنهكي بفتح التاء والهاء أي لا تبالغي في القطع والله أعلم
(Majmu' jus 1 hal 301)
الثالثة: الختان واجب في حق الرجال والنساء، وقيل: سنة، وقيل: واجب في الرجل، سنة في المرأة، والصحيح المعروف هو الأول
(Roudotut tolibin jus 10 hal 180)
(ووجب ختان) للمرأة والرجل حيث لم يولدا مختونين لقوله تعالى: (أن اتبع ملة إبراهيم)
فالواجب في ختان الرجل قطع ما يغطي حشفته حتى تنكشف كلها، والمرأة قطع جزء يقع عليه الاسم من اللحمة الموجودة بأعلى الفرج فوق ثقبة البول تشبه عرف الديك وتسمى البظر
(قوله: لقوله تعالى الخ) دليل لوجوب الختان.
(I'anah jus 4 hal 194)
gadis cantik tapi tukang sunat |
#(MADZHAB HAMBALI)#
(ويجب ختان ذكر وأنثى) لقوله - صلى الله عليه وسلم - لرجل أسلم «ألق عنك شعر الكفر واختتن» رواه أبو داود.
وفي الحديث «اختتن إبراهيم بعد ما أتت عليه ثمانون سنة» متفق عليه، واللفظ للبخاري وقال تعالى {ثم أوحينا إليك أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا} [النحل: ١٢٣] ولأنه من شعار المسلمين، فكان واجبا كسائر شعارهم.
وقال أحمد كان ابن عباس يشدد في أمره حتى قد روي عنه أنه لا حج له ولا صلاة.
وفي قول النبي - صلى الله عليه وسلم - «إذا التقى الختانان وجب الغسل» دليل على أن النساء كن يختتن، ولأن هناك فضلة فوجب إزالتها كالرجل،
(Kasysyaful Qona’, Juz 1 Hal 80)
فَصْلٌ: فَأَمَّا الْخِتَانُ فَوَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ، وَمَكْرُمَةٌ فِي حَقِّ النِّسَاءِ، وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهِنَّ. هَذَا قَوْلُ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ. قَالَ أَحْمَدُ: الرَّجُلُ أَشَدُّ، وَذَلِكَ أَنَّ الرَّجُلَ إذَا لَمْ يَخْتَتِنْ، فَتِلْكَ الْجِلْدَةُ مُدَلَّاةٌ عَلَى الْكَمَرَةِ، وَلَا يُنَقَّى مَا ثَمَّ، وَالْمَرْأَةُ أَهْوَنُ.
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يُشَدِّدُ فِي أَمْرِهِ، وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ لَا حَجَّ لَهُ وَلَا صَلَاةَ، يَعْنِي: إذَا لَمْ يَخْتَتِنْ، وَالْحَسَنُ يُرَخِّصُ فِيهِ يَقُولُ: إذَا أَسْلَمَ لَا يُبَالِي أَنْ لَا يَخْتَتِنَ وَيَقُولُ: أَسْلَمَ النَّاسُ الْأَسْوَدُ، وَالْأَبْيَضُ، لَمْ يُفَتَّشْ أَحَدٌ مِنْهُمْ، وَلَمْ يَخْتَتِنُوا. وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِهِ: أَنَّ سَتْرَ الْعَوْرَةِ وَاجِبٌ، فَلَوْلَا أَنَّ الْخِتَانَ وَاجِبٌ لَمْ يَجُزْ هَتْكُ حُرْمَةِ الْمَخْتُونِ بِالنَّظَرِ إلَى عَوْرَتِهِ مِنْ أَجْلِهِ؛ وَلِأَنَّهُ مِنْ شِعَارِ الْمُسْلِمِينَ، فَكَانَ وَاجِبًا، كَسَائِرِ شِعَارِهِمْ، وَإِنْ أَسْلَمَ رَجُلٌ كَبِيرٌ فَخَافَ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ الْخِتَانِ سَقَطَ عَنْهُ؛ لِأَنَّ الْغُسْلَ وَالْوُضُوءَ وَغَيْرَهُمَا يَسْقُطُ إذَا خَافَ عَلَى نَفْسِهِ مِنْهُ، فَهَذَا أَوْلَى.
وَإِنْ أَمِنَ عَلَى نَفْسِهِ لَزِمَهُ فِعْلُهُ، قَالَ حَنْبَلُ: سَأَلْت أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنْ الذِّمِّيِّ إذَا أَسْلَمَ، تَرَى لَهُ أَنْ يُطَهَّرَ بِالْخِتَانَةِ؟ قَالَ: لَا بُدَّ لَهُ مِنْ ذَاكَ. قُلْت: وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا أَوْ كَبِيرَةً؟ قَالَ: أَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يَتَطَهَّرَ؛ لِأَنَّ الْحَدِيثَ: «اخْتَتَنَ إبْرَاهِيمُ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً» ، قَالَ تَعَالَى: {مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ} [الحج: ٧٨] .
وَيُشْرَعُ الْخِتَانُ فِي حَقِّ النِّسَاءِ أَيْضًا، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ حَدِيثُ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَجَبَ الْغُسْلُ» فِيهِ بَيَانُ أَنَّ النِّسَاءَ كُنَّ يَخْتَتِنَّ، وَحَدِيثُ عُمَرَ: إنَّ خَتَّانَةً خَتَنَتْ، فَقَالَ: " أَبْقِي مِنْهُ شَيْئًا إذَا خَفَضْت ". وَرَوَى الْخَلَّالُ، بِإِسْنَادِهِ، عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ، وَمَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ» ، وَعَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ مِثْلُ ذَلِكَ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ، وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «أَنَّهُ قَالَ لِلْخَافِضَةِ: أَشِمِّي وَلَا تَنْهَكِي، فَإِنَّهُ أَحْظَى لِلزَّوْجِ، وَأَسْرَى لِلْوَجْهِ» . وَالْخَفْضُ: خِتَانَةُ الْمَرْأَةِ.
(Mughni Ibnu qudamah jus 1 hal 64)
وسئل عن المرأة:
هل تختتن أم لا؟ .
فأجاب:
الحمد لله، نعم تختتن وختانها أن تقطع أعلى الجلدة التي كعرف الديك قال رسول الله صلى الله عليه وسلم للخافضة - وهي الخاتنة -: {أشمي ولا تنهكي فإنه أبهى للوجه وأحظى لها عند الزوج} يعني: لا تبالغي في القطع وذلك أن المقصود بختان الرجل تطهيره من النجاسة المحتقنة في القلفة والمقصود من ختان المرأة تعديل شهوتها فإنها إذا كانت قلفاء كانت مغتلمة شديدة الشهوة. ولهذا يقال في المشاتمة: يا ابن القلفاء فإن القلفاء تتطلع إلى الرجال أكثر ولهذا يوجد من الفواحش في نساء التتر ونساء الإفرنج ما لا يوجد في نساء المسلمين وإذا حصلت المبالغة في الختان ضعفت الشهوة فلا يكمل مقصود الرجل فإذا قطع من غير مبالغة حصل المقصود باعتدال. والله أعلم.
Imam Ibnu Taimiyah tatkala beliau ditanya: Apakah wanita juga dikhitan? Beliau menjawab:” Ya, wanita itu dikhitan. Dan khitannya dengan memotong kulit yang paling atas (jildah) yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah bersabda: “Sedikit saja jangan semuanya karena itu lebih bisa membuat wajah ceria dan lebih disenangi suami” Hal itu karena tujuan khitan laki- laki ialah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit dzakar, sedangkan tujuan khitan wanita adalah untuk menstabilkan syahwatnya, karena kalau wanita tidak dikhitan, maka syahwatnya akan sangat besar.
(Majmu’ fatawa jus 21 hal 114)
(MADZHAB HANAFI)
(و) الأصل أن (الختان سنة) كما جاء في الخبر (وهو من شعائر الإسلام) وخصائصه (فلو اجتمع أهل بلدة على تركه حاربهم) الإمام فلا يترك إلا لعذر وعذر شيخ لا يطيقه ظاهر (ووقته) غير معلوم وقبل (سبع) سنين كذا في الملتقى وقيل عشر وقيل أقصاه اثنتا عشرة سنة وقيل العبرة بطاقته وهو الأشبه وقال أبو حنيفة: لا علم لي بوقته ولم يرد عنهما فيه شيء فلذا اختلف المشايخ فيه وختان المرأة ليس سنة بل مكرمة للرجال وقيل سنة
(قوله ووقته) أي ابتداء وقته مسكين أو وقته المستحب كما نقل عن شرح باكير على الكنز (قوله غير معلوم) أي غير مقدر بمدة وقد عدل الشارح عما جزم به المصنف كالكنز، ليكون المتن جاريا على قول الإمام كعادة المتون (قوله وقيل سبع) لأنه يؤمر بالصلاة إذا بلغها فيؤمر بالختان، حتى يكون أبلغ في التنظيف قاله في الكافي، زاد في خزانة الأكمل وإن كان أصغر منه فحسن، وإن كان فوق ذلك قليلا فلا بأس به، وقيل: لا يختن حتى يبلغ لأنه للطهارة ولا تجب عليه قبله ط (قوله وقيل عشر) لزيادة أمره بالصلاة إذا بلغها (قوله وهو الأشبه) أي بالفقه زيلعي وهذه من صيغ التصحيح (قوله وقال أبو حنيفة إلخ) الظاهر أنه لا يخالف ما قبله بناء على قاعدة الإمام من عدم التقدير فيما لم يرد به نص من المقدرات وتفويضها إلى الرأي تأمل، ونقله عن الإمام تأييدا لما اختاره أولا فلا تكرار فافهم (قوله عنهما) أي عن الصاحبين (قوله وختان المرأة) الصواب خفاض، لأنه لا يقال في حق المرأة ختان وإنما خفاض حموي (قوله بل مكرمة للرجال) لأنه ألذ في الجماع زيلعي (قوله وقيل سنة) جزم به البزازي معللا بأنه نص على أن الخنثى تختن، ولو كان ختانها مكرمة لم تختن الخنثى، لاحتمال أن تكون امرأة ولكن لا كالسنة في حق الرجال اهـ. أقول: وختان الخنثى لاحتمال كونه رجلا، وختان الرجل لا يترك فلذا كان سنة احتياطا ولا يفيد ذلك سنيته للمرأة تأمل.
وفي كتاب الطهارة من السراج الوهاج اعلم أن الختان سنة عندنا للرجال والنساء، وقال الشافعي: واجب وقال بعضهم: سنة للرجال مستحب للنساء لقوله - عليه الصلاة والسلام - «ختان الرجال سنة وختان النساء مكرمة»
(Roddul Mukhtar Alad Durril Mukhtar, Juz : 6 Hal : 751)
قال - رحمه الله - (ووقته سبع سنين) أي وقت الختان سبع سنين، وقيل لا يختن حتى يبلغ لأن الختان للطهارة، ولا طهارة عليه قبله فكان إيلاما قبله من غير حاجة، وقيل أقصاه اثنتا عشرة سنة، وقيل تسع سنين، وقيل وقته عشر سنين لأنه يؤمر بالصلاة إذا بلغ عشرا اعتيادا وتخلقا فيحتاج إلى الختان لأنه شرع للطهارة، وقيل إن كان قويا يطيق ألم الختان ختن، وإلا فلا، وهو أشبه بالفقه، وقال أبو حنيفة - رحمه الله - لا علم لي بوقته، ولم يرو عن أبي يوسف ومحمد رحمهما الله فيه شيء، وإنما المشايخ اختلفوا فيه، وختان المرأة ليس بسنة، وإنما هو مكرمة للرجال لأنه ألذ في الجماع، وقيل سنة، والأصل أن إيصال الألم إلى الحيوان لا يجوز شرعا إلا لمصالح تعود عليه، وفي الختان إقامة السنة، وتعود إليه أيضا مصلحته لأنه جاء في الحديث «الختان سنة يحارب على تركها»، وكذا يجوز كي الصغير وبط قرحته، وغيره من المداواة وكذا يجوز ثقب أذن البنات الأطفال لأن فيه منفعة الزينة، وكان يفعل ذلك في زمنه - عليه الصلاة والسلام - إلى يومنا هذا من غير نكير، والحامل لا تفعل ما يضر بالولد، ولا ينبغي لها أن تحتجم ما لم يتحرك الولد فإذا تحرك فلا بأس به ما لم تقرب الولادة فإذا قربت فلا تحتجم لأنه يضره، وأما الفصد فلا تفعله مطلقا ما دامت حبلى لأنه يخاف على الولد منه، وكذا يجوز فصد البهائم وكيها، وكل علاج فيه منفعة لها، وجاز قتل ما يضر من البهائم كالكلب العقور والهرة إذا كانت تأكل الحمام والدجاج، لإزالة الضرر، ويذبحها ذبحا، ولا يضر بها لأنه لا يفيد فيكون تعذيبا لها بلا فائدة.
(تبيين الحقائق شرح كنز الدقائق ج ٦ ص ٢٢٧)
والأصل أن الختان سنة كما جاء في الخبر وهو من شعائر الإسلام وخصائصه حتى لو اجتمع أهل بلد على تركه يحاربهم الإمام فلا يترك إلا للضرورة وعذر الشيخ الذي لا يطيق ذلك ظاهر فيترك.
قال - رحمه الله - (ووقته سبع سنين) أي وقت الختان سبع سنين وقيل لا يختن حتى يبلغ؛ لأن الختان للطهارة ولا طهارة عليه قبله فكان إيلاما قبله من غير حاجة وقيل أقصاه اثنا عشر سنة وقيل تسع سنين وقيل وقته عشر سنين؛ لأنه يؤمر بالصلاة إذا بلغ عشرا اعتيادا وتخلقا فيحتاج إلى الختان؛ لأنه شرع للطهارة وقيل إن كان قويا يطيق ألم الختان يختن وإلا فلا وهو أشبه بالفقه وقال أبو حنيفة لا علم لي بوقته ولم يرو عن أبي يوسف ومحمد فيه شيء وإن المشايخ اختلفوا فيه، وختان المرأة ليس بسنة وإنما هو مكرمة للرجال في لذة الجماع وقيل سنة والأصل أن إيصال الألم إلى الحيوان لا يجوز شرعا إلا لمصالح تعود إليه وفي الختان إقامة السنة وتعود إليه أيضا مصلحته لأنه جاء في الحديث «الختان سنة يحارب على تركها» وكذا يجوز كي الصغير وربط قرحته وغيره من المداواة وكذا يجوز ثقب أذن البنات الأطفال؛ لأن فيه منفعة للزينة وكان يفعل ذلك من وقته - صلى الله عليه وسلم - إلى يومنا هذا من غير نكير والحامل لا تفعل ما يضر بالولد ولا ينبغي لها أن تحتجم ما لم يتحرك الولد فإذا تحرك فلا بأس ما لم تقرب الولادة فإذا قربت فلا تحتجم لأنه يضره وأما الفصد فلا تفعله مطلقا ما دامت حبلى؛ لأنه يخاف على الولد منه وكذا يجوز فصد البهائم وكيها وكل علاج فيه منفعة لها وجاز قتل ما يضر من البهائم كالكلب العقور والهرة إذا كانت تأكل الحمام والدجاج لإزالة الضرر ويذبحها ولا يضر بها؛ لأنه لا يفيد فيكون معذبا لها بلا فائدة
(البحر الرائع شرح كنز الدقائق ج ٨ ص ٥٥٤)
وأما الأقلف فتقبل شهادته إذا كان عدلا، ولم يكن تركه الختان رغبة عن السنة لعمومات الشهادة؛ ولأن إسلامه إذا كان في حال الكبر فيجوز أنه خاف على نفسه التلف، فإن لم يخف ولم يختتن تاركا للسنة لم تقبل شهادته، كالفاسق والذي يرتكب المعاصي: أن شهادته لا تجوز، وإن كنا لا نستيقن كونه فاسقا في تلك الحال.
(بدائع الصناىع ج ٦ ص ٢٦٩)
(MADZHAB MALIKI)
(وكره ختانه فيه) : أي في السابع لأنه من فعل اليهود إلى أن قال : (والختان) للذكر (سنة مؤكدة) ، وقال الشافعي: واجب.
(والخفاض في الأنثى مندوب كعدم النهك) «لقوله - صلى الله عليه وسلم - لمن تخفض الإناث: اخفضي ولا تنهكي» أي لا تجوري في قطع اللحمة الناتئة بين الشفرين فوق الفرج، فإنه يضعف بريق الوجه ولذة الجماع، والله أعلم.
[الختان والخفاض]
قوله: [لمن تخفض الإناث] : أي وهي أم عطية فإنه قال لها: «اخفضي ولا تنهكي فإنه أسرى للوجه وأحظى عند الزوج» أي لا تبالغي، وأسرى أي أشرف للونه، وأحظى أي ألذ عند الجماع، لأن الجلدة تشتد مع الذكر عند كمالها فتقوى الشهوة لذلك، قال الخرشي: ويستحب أن يسبق إلى جوف المولود الحلاوة كما فعل - عليه الصلاة والسلام - لعبد الله بن طلحة. تتمة:
إن بلغ الشخص قبل الختان وخاف على نفسه من الختان فهل يتركه أو لا؟ قولان أظهرهما الترك، لأن بعض الواجبات يسقط بخوف الهلاك، فالسنة أحرى ولا يجوز للبالغ أن يكشف عورته لغيره لأجل الختان، بل إن لم يمكنه الفعل بنفسه سقطت السنة، وسقوطها عن الأنثى أولى بذلك، فإن ولد مختونا فقيل يمر الموسى، فإن بقي ما يقطع قطع، وقيل قد كفى المؤنة واستظهر كذا في الحاشية.
(حاشية الصاوي على شرح الصغير ج ٢ ص ١٥٢)
(و) كره (ختانه يومها) ؛ لأنه من فعل اليهود، وإنما يندب زمان أمره بالصلاة، وهو في الذكور سنة، وأما خفاض الأنثى فمندوب ويندب أن لا تنهك أي لا تجور في قطعها الجلدة.
(الشرح الكبير الشيخ الدردير ج ٢ ص ١٢٦)
(و) كره (ختانه) أي المولود (يومها) أي العقيقة وأحرى يوم ولادته مالك " - رضي الله عنه - "؛ لأنه من فعل اليهود لا من عمل الناس، ويندب زمن أمره بالصلاة. ابن عرفة ولا ينبغي أن يجاوز به عشر سنين إلا وهو مختون والراجح أن ختن الذكر سنة وخفض الأنثى مستحب، أي قطع جزء من الجلدة بأعلى الفرج ولا تستأصل لخبر أم عطية «اخفضي ولا تنهكي فإنه أسرى للوجه وأحظى عند الزوج» ، أي لا تبالغي وأسرى أي أشرق للون الوجه وأحظى أي ألذ عند الجماع؛ لأن الجلدة تشتد مع الذكر مع كمالها فتقوي الشهوة لذلك.
(Minahul Jalil jus 2 hal 492)
Nb:maaf tidak saya terjemahkan semua karena terlalu banyak, pemaparan diatas sudah sangat cukup bagi orang yang berada ilmu.
#Ahmad_sulton Abdulloh baqir
Bani Hasan wong tawong
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik