URUTAN DALIL-DALIL
(وَأَمَّا الْأَدِلَّةُ
فَيُقَدَّمُ الْجَلِيُّ مِنْهَا عَلَى الْخَفِيِّ) وَذَلِكَ كَالظَّاهِرِ
وَالْمُؤَوَّلِ فَيُقَدَّمُ اَللَّفْظُ فِي الْمَعْنَى الْحَقِيْقِيِّ عَلَى
مَعْنَاهُ الْمَجَازِيِّ (وَالْمُوْجِبُ لِلْعِلْمِ عَلَى الْمُوْجِبِ
لِلظَّنِّ) وَذَلِكَ كَالْمُتَوَاتِرِ وَالْآحَادِ فَيُقَدَّمُ الْأَوَّلُ
إِلَّا
|
|
Adapun beberapa
dalil, maka didahulukan dalil yang jelas daripada yang samar. Seperti dalil dhahir
dan yang ditakwil. Juga didahulukan lafadz dalil yang digunakan dalam makna
hakiki atas dalil yang digunakan dalam makna majaz.
Dalil yang menetapkan keyakinan
didahulukan atas dalil yang menetapkan dugaan. Hal tersebut seperti dalil
mutawatir dan dalil
ahad, maka
|
أَنْ يَكُوْنَ عَامًّا فَيُخَصُّ بِالثَّانِيِّ
كَمَا تَقَدَّمَ مِنْ تَخْصِيْصِ الْكِتَابِ بِالسُّنَّةِ
(وَالنُّطْقُ) مِنْ كِتَابٍ وَسُنَّةٍ (عَلَى
الْقِيَاسِ) إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ النُّطْقُ عَامًّا فَيُخَصُّ بِالْقِيَاسِ
كَمَا تَقَدَّمَ
(وَالْقِياَسُ الجَلِيُّ عَلىَ الخَفِيِّ) وَذَلِكَ
كَقِياَسِ العِلَّةِ عَلىَ قِيَاسِ الشَّبَهِ
(فَإِنْ وُجِدَ فِي النُّطْقِ) مِنْ كِتَابٍ
أَوْسُنَّةٍ (مَا يُغَيِّرُ اَلْأَصْلَ) أَيِ الْعَدَمَ الْأَصْلِيَّ الَّذِيْ
يُعَـبَّرُ عَنِ اسْتِصْحَابِهِ بِاسْتِصْحَابِ الْحَالِ فَوَاضِحٌ أَنَّهُ
يُعْمَلُ بِالنُّطْقِ (وَإِلاَّ) أَيْ وَإِنْ لَمْ يُوْجَدْ ذَلِكَ
(فَيُسْتَصْحَبُ الْحَالُ) أَيِ الْعَدَمُ الْأَصْلِيُّ أَيْ يُعْمَلُ بِهِ
|
|
didahulukan yang pertama, kecuali
apabila dalil pertama menunjukkan umum (‘am), maka ditakhsis dengan
dalil kedua, sebagaimana keterangan terdahulu tentang takhshish al-Kitab
dengan as-Sunnah.
Dalil ucapan baik
al-Kitab ataupun as-Sunnah didahulukan atas al-qiyas, kecuali jika dalil
ucapan tersebut ‘am (umum), maka ditakhshish dengan al-qiyas,
sebagaimana keterangan yang telah lewat.
Qiyas jaliy didahulukan
atas khafiy. Hal ini seperti qiyas illat didahulukan atas qiyas
syabah.
Jika dalam dalil
ucapan baik al-Kitab maupun as-Sunnah ditemukan sesuatu yang dapat merubah
hukum asal, yaitu ketiadaan secara asal yang penetapannya disebut istishhabul
hal, maka sangat jelas bahwa yang digunakan adalah dalil ucapan.
Namun
jika hal tersebut tidak ditemukan, maka wajib untuk melanjutkan keadaan asal
(istishhabul hal), yaitu ketiadaan secara asal. Maksudnya hukum asal
inilah yang diamalkan.
|
Penjelasan :
Dalam menentukan dalil, seorang mujtahid harus
faham terhadap urutan dalil yang harus didahulukan ketika terjadi pertentangan
antara dua dalil. Perinciannya sebagai berikut,
1. Dalil yang maknanya jelas (al-jaliy)
didahulukan atas dalil yang maknanya kurang jelas (al-khafiy). Contoh,
a. Dalil dhahir didahulukan atas dalil yang mu’awwal,
b. Dalil yang menggunakan makna hakiki didahulukan
atas dalil yang menggunakan makna majazi.
2. Dalil yang menetapkan terhadap al-‘ilm
(keyakinan) didahulukan atas dalil yang menetapkan dhan (dugaan).
Contoh, dalil mutawatir didahulukan atas dalil ahad. Kecuali jika dalil
mutawatir menunjukkan makna umum, maka harus ditakhshis dengan dalil ahad yang
menunjukkan makna khusus.
3. Dalil ucapan (al-Kitab atau as-Sunnah)
didahulukan atas dalil Qiyas. Kecuali jika dalil ucapan menunjukkan makna umum,
maka harus ditakhshis dengan dalil qiyas yang menunjukkan makna khusus.
4. Qiyas al-jaliy didahulukan atas qiyas khafiy.
Contoh, qiyas ‘illat dengan qiyas syabah.
5. Dalil ucapan (al-Kitab atau as-Sunnah) ditemukan
merubah hukum asal (al-‘adam al-ashliy), maka yang digunakan adalah
dalil ucapan. Namun jika tidak ditemukan, maka wajib melanjutkan hukum asal (istishhabul
hal).
Pertanyaan :
Apa yang dikehendaki dengan dalil al-Jaliy
dan dalil al-Khafiy?
Jawab :
Yang dikehendaki dengan al-Jaliy adalah dalil yang jelas dalam menunjukkan terhadap makna yang
dikehendaki, sebagaimana menggunakan makna Shalat untuk setiap pekerjaan dan
perkataan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sedang yang
dikehendaki dengan al-Khafiy adalah
dalil yang tidak jelas dalam menunjukkan terhadap makna yang dikehendaki.
Referensi :
وَالْمُرَادُ بِالْجَلِيِّ
مِنْهَا مَاكَانَ ظَاهِرًا فِي الْمُرَادِ بِأَنْ يَتَبَادَرَ مِنْهُ
كَاسْتِعْمَالِ الصَّلاَةِ فِي اْلأَقْوَالِ وَاْلأَفْعَالِ وَبِالْخَفِيِّ
مَاكَانَ غَيْرَ ظَاهِرٍ فِي الْمُرَادِ (اَلنَّفَحَاتُ ص 152)
“Yang
dikehendaki dengan al-Jaliyyi adalah dalil yang jelas dalam menunjukkan
terhadap makna yang dikehendaki, sebagaimana menggunakan makna Sholat untuk
setiap pekerjaan dan perkataan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam. Sedang yang dikehendaki dengan al-Khofiyyi adalah dalil yang tidak jelas
dalam menunjukkan terhadap makna yang dikehendaki”.
Pertanyaan :
Gambarkan kasus ketika istishhabul hal
bertentangan dengan dalil ucapan !
Jawab :
Yaitu, seumpamanya kita mendapati suatu perkara yang
bermanfaat, maka berdasar atas istishhabul hal barang tersebut boleh
untuk kita manfaatkan. Namun jika kita menemukan dalil nash menyatakan bahwa
barang tersebut dihukumi haram, maka istishhabul hal harus kita
tinggalkan dan dalil nash wajib diamalkan.
Referensi :
(قَوْلُهُ مَايُغَيِّرُ اَلْأَصْلَ) وَذَلِكَ كَأَنْ نَجِدَ
شَيْئًا وَنَجِدَ فِيْهِ نَفْعًا فَنَحْكُمُ عَلَيْهِ بِأَنَّ الْأَصْلَ فِيْهِ
اَلْجَوَازُ وَعَدَمُ الْحُرْمَةِ فَإِنْ وَجَدْنَا فِيْهِ مَايُغَيِّرُهُ مِنُ
النَّصِّ إِلَى خِلاَفِ هَذَا الْأَصْلِ عَمِلْنَا بِهِ وَطَرَحْنَا اَلْأَصْلَ
فَلِذَا قَالَ فَوَاضِحٌ إلخ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 154)
“(ungkapan
Pengarang sesuatu yang merubah terhadap asal) hal tersebut sebagaimana jika
kita menemukan sesuatu yang mengandung suatu manfaat, maka kita memberikan
hukum padanya bahwa hukum asalnya adalah jawaz (boleh) yaitu tidak haram, dan
bila kita ternyata menemukan dalil nash yang menyatakan bahwa sesuatu tersebut
dihukumi haram, maka kita harus menjalankan sesuai nash dan kita harus
meninggalkan hukum asal. Sebab inilah Pengarang mengungkapkan fawaadhihun ilaa
akhiri qoulihi (maka sudah jelas hingga akhir ungkapan beliau)”.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik