SYARAT MUFTI DAN MUSTAFTI
(وِمِنْ شَرْطِ الْمُفْتِيِّ) وَهُوَ الْمُجْتَهِدُ
(أَنْ يَكُوْنَ عَالِماً بِالْفِقْهِ أَصْلاً وَفَرْعاً خِلَافاً وَمَذْهَباً)
أَيْ بِمَسَائِلِ الْفِقْهِ قَوَاعِدِهِ وَفُرُوْعِهِ وَبِمَا فِيْهَا مِنَ
الْخِلَافِ لِيَذْهَبَ إِلَى قَوْلٍ مِنْهُ وَ لَا يُخَالِفُهُ بِأَنْ يُحْدِثَ
قَوْلًا آخَرَ لِاسْتِلْزَامِ
اتِّفَاقِ مَنْ قَبْلَهُ
لِعَدَمِ
|
|
Di antara syarat seorang mufti, yakni
seorang mujtahid, adalah harus menguasai ilmu fiqh, baik ushul ataupun
furu’-nya, perbedaan ulama dan seputar madzhab. Maksudnya, menguasai
masalah-masalah fiqh, kaidah-kaidah dan cabang-cabang fiqh, serta masalah
yang di dalamnya terdapat perbedaan ulama, agar bisa memilih dan pendapatnya
tidak bertentangan dengan cara memunculkan pendapat baru.
Sebab dengan ini
akan
|
ذِهَابِهِمْ إِلَيْهِ عَلَى نَفْيِهِ
(وَأَنْ يَكُوْنَ كَامِلَ الْآلَةِ فِي
الْاِجْتِهَادِ عَارِفاً بِمَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي اسْتِنْبَاطِ
الْأَحْكَامِ مِنَ النَّحْوِ وَالْلُغَةِ وَمَعْرِفَةُ الرِّجَالِ الرَّاوِيْنَ)
لِلْأَخْبَارِ لِيَأْخُذَ بِرِوَايَةِ الْمَقْبُوْلِ مِنْهُمْ دُوْنَ
الْمَجْرُوْحِ
(وَتَفْسِيْرِ الْآيَاتِ الْوَارِدَةِ فِي
الْأَحْكَامِ وَالْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْهَا) لِيُوَافِقَ ذَلِكَ فِي
اجْتِهَادِهِ وَلَايُخُالِفُهُ
وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ قَوْلِهِ عَارِفًا الخ مِنْ
جُمْلَةِ آلَةِ الْإِجْتِهَادِ وَمِنْهَا مَعْرِفَتُهُ بِقَوَاعِدِ الْأُصُوْلِ
وَغَيْرِ ذَلِكَ
|
|
menetapkan pendapat yang sudah sepakat
ditiadakan oleh ulama sebelumnya. Hal ini karena mereka tidak memilih
pendapat baru tersebut.
Dan disyaratkan
lagi, seorang mufti haruslah lengkap sarana ijtihadnya, memiliki pengetahuan
tentang segala hal yang dibutuhkan dalam rangka menggali hukum, mulai dari
ilmu nahwu, lughat dan mengenal para perawi hadits. Sehingga ia dapat
mengambil riwayat dari perawi yang diterima, bukan perawi yang cacat.
Dan mengetahui
pentafsiran ayat-ayat hukum dan hadits-hadits yang menjelaskan hukum, supaya
hasil ijtihadnya dapat sesuai dengan al-Qur`an dan al-Hadits dan tidak
menyalahinya.
Apa
yang diungkapkan oleh pengarang, berawal dari ungkapan beliau عاَرِفاً dan
seterusnya adalah sebagian dari perabot ijtihad, dan di antaranya lagi adalah
harus mengetahui kaidah-kaidah ushul dan lain sebagainya.
|
Penjelasan :
Mufti (orang yang memberi fatwa masalah syara’) harus
memenuhi beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
Mengerti akan masalah-masalah fiqh baik dari sisi
ashlnya maupun far’nya, sisi khilaf ulama maupun madzhab.
Sempurna perangkat ijtihadnya dan mengerti akan segala
hal yang dibutuhkan dalam rangka menggali hukum, diantaranya adalah harus
mengerti akan ilmu nahwu, lughoh, mengerti akan perowi-perowi hadits, faham
akan tafsir al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi terutama yang berkenaan dengan
hukum-hukum syari’at.
Pertanyaan :
Apakah dalam syarat memiliki kefahaman akan ilmu
nahwu dan fiqh harus kefahaman yang setara dengan pakar-pakarnya, seperti Imam
Syibawaih, al-Nawawi, al- Akhfasy, ar-Rofi’i dan lain-lain ?
Jawab :
Tidak disyaratkan bagi mufti untuk sampai pada
derajat yang setara dengan pakar-pakarnya.
Referensi :
(كاَمِلَ الآلَةِ)
اَلْمُرَادُ أَنْ تَكُوْنَ آلَةُ اْلإِجْتِهَادِ بِكَمَالِهَا حَاصِلَةً عِنْدَهُ
وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يَبْلُغَ فِي النَّحْوِ وَالْفِقْهِ اَلدَّرَجَةَ
اَلْعُلْيَا بَلْ يَكْفِي بُلُوْغُهُ فِيْهَا اَلدَّرَجَةَ اَلْوُسْطَى وَهُوَ
مَايَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْهَا فِي اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ (حاَشَيَةُ
الدِّمْيَاطِيِّ عَلَى شَرْحِ الوَرَقاَتِ صـ 22)
“Ungkapan pengarang sempurna perabotnya) yang dikehendaki adalah adanya
perabot ijtihad haruslah sempurna hasil pada mufti, dan tidak disyaratkan dalam
nahwu dan fiqh untuk mencapai derajat tertinggi, namun cukup sampai pada
derajat sedang, yaitu sesuatu yang sudah cukup untuk digunakan sebagai sarana
menggali hukum”.
وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ
يَكُوْنَ مُتَبَحِّرًا فِيْ هَذِهِ الْعُلُوْمِ حَتَّى يَكُوْنَ فِيْ اللُّغَةِ
كَالْخَلِيْلِ وَفِيْ النَّحْوِ كَسِيْبَوَيْهِ بَلْ يَكْفِيْ مَعْرِفَتُهُ
لِجُمَلٍ مِنْ كُلِّ عِلْمٍ مِنْهَا وَهُوَ أَمْرٌ سَهْلٌ فِيْ هَذَا الزَّمَانِ
كَمَا قَالَهُ ابْنُ الصَّبَاغِ فَإِنَّ الْعُلُوْمَ قَدْ دُوِّنَتْ وَجُمِعَتْ
(اَلنَّفَحَاتُ صـ 157)
“Tidak adanya syarat adanya mujtahid harus mahir
sekali dalam ilmu-ilmu di atas, sehingga dalam ilmu lughat seperti imam Khalil
dan dalam ilmu nahwu seperti imam Sibawaih. Namun cukup mengetahui secara
global dari setiap ilmu di atas. Dan hal ini adalah perkara mudah di jaman ini,
seperti komentar Ibnu as-Shabagh. Karena ilmu telah dibukukan dan dikumpulkan”.
Pertanyaan :
Sejauh manakah standar mengetahui akan perawi
hadits yang disyaratkan bagi seorang mufti ?
Jawab :
Standarnya tidak harus mengerti secara langsung
atau riwayat dari syaikhnya, namun dapat dicukupkan dengan berpedoman terhadap
karya-karya ahli hadits sebagaimana Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan
lain-lain.
Referensi :
(قَوْلُهُ وَمَعْرِفَةُ الرِّجَالِ) وَيَكْفِي فِي زَمَانِنَا
اَلرُّجُوْعُ إِلَى أَهْلِ الْحَدِيْثِ كَالْإِمَامِ أَحْمَدَ وَالْبُخَارِيِّ
وَمُسْلِمٍ وَغَيْرِهِمْ فَيَعْتَمِدُ عَلَيْهِمْ فِي التَّعْدِيْلِ
وَالتَّجِرْيحِ (حاَشَيَةُ الدِّمْيَاطِيِّ
عَلَى شَرْحِ الوَرَقاَتِ صـ 22)
“(Ungkapan
pengarang mengetahui perawi-perawi hadits) dan sudah cukup pada jaman kita ini,
untuk merujuk terhadap ahli hadits. Sebagaimana Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam
Muslim dan selainnya. Maka bagi mufti sudah cukup dengan berpedoman pada
mereka, dalam masalah keadilan dan kecacatan perawi hadits”.
(وَمِنْ شَرْطِ الْمُسْتَفْتِي أَنْ يَكُوْنَ مِنْ أَهْلِ التَّقْلِيْدِ
فَيُقَلِّدُ اَلْمُفْتِي فِي الْفُتْيَا)
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ اَلشَّخْصُ مِنْ أَهْلِ
التَّقْلِيْدِ بِأَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْإِجْتهَادِ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ
يَسْتَفْتِيَ كَمَا قَالَ (ولَيْسَ لِلْعَالِمِ) أَيْ اَلْمُجْتَهِدُ (أَنْ
يُقَلِّدَ) لِتَمَكُّنِهِ مِنَ الْإِجْتِهَادِ
|
|
Di antara syarat orang yang meminta
fatwa, haruslah termasuk ahli taqlid, maka (jika tergolong ahli taqlid),
ia harus mengikuti seorang mufti dalam fatwanya.
Jika seseorang
tidak termasuk ahli taqlid, yaitu termasuk ahli ijtihad, maka ia tidak
diperbolehkan meminta fatwa. Sebagaimana ucapan pengarang: “tidak
diperbolehkan bagi seorang alim, yakni mujtahid, bertaqlid kepada mujtahid
lain, sebab ia mampu melakukan ijtihad sendiri”.
|
Penjelasan :
Mustafti adalah orang yang mencari fatwa kepada orang lain
atau orang yang meminta fatwa tentang masalah hukum syariat.
Orang yang diperbolehkan untuk bertanya atau
meminta fatwa adalah orang yang belum mencapai derajat mujtahid atau masih
termasuk ahli taqlid. Sehingga termasuk di dalamnya adalah orang yang
masih bodoh ataupun sudah memiliki keilmuan namun belum sampai derajat
mujtahid.
Maka, jika seseorang termasuk golongan mustafti
wajib baginya untuk meminta fatwa kepada mufti. Sedangkan orang alim
(mujtahid), yaitu seseorang yang secara keilmuan sudah mencapai derajat
mujtahid mutlaq, maka baginya tidak boleh bertaqlid. Baik telah
berijtihad namun belum sampai menemukan hasil, atau sama sekali belum
berijtihad.[1][70]
Pertanyaan :
Ulama sepakat bahwa mujtahid mutlaq seperti
as-Syafi’i boleh berfatwa. Apakah selain mujtahid mutlaq diperbolehkan
berfatwa?
Jawab :
Pada dasarnya semua mujtahid selain mujtahid
mutlaq diperbolehkan untuk berfatwa. Namun ada perincian sebagai berikut :
§ Mujtahid muthlaq, ulama sepakat boleh
berfatwa.
§ Mujtahid madzhab, menurut pendapat Ashah
diperbolehkan berfatwa sesuai dengan Imam mujtahidnya. Imam at-Tajj as-Subukiy
berkomentar dalam kitab al-Mukhtashar, bahwa mujtahid madzhab diperbolehkan
berfatwa tanpa ada khilaf.
§ Mujtahid fatwa, terjadi khilaf, dan
menurut pendapat ashah boleh berfatwa. Dalam Jam’ul Jawami’ diceritakan adanya
pendapat lain yang memperbolehkan berfatwa bagi seseorang yang masih dalam
derajat taqlid (muqallid) walaupun belum mampu untuk men-tafri’
(mengembangkan cabang fiqh) dan men-tarjih (menilai unggul sebuah
pendapat).
Referensi :
(قَوْلُهُ فَيُقَلِّدُ)......وَأَمَّا مُجْتَهِدُ الْمَذْهَبِ
فَيَجُوْزُ لَهُ عَلىَ الأَصَحِّ الإِفْتاَءُ بِمَذْهَبِ إِمَامٍ مُجْتَهِدٍ
اِطَّلَعَ عَلىَ مَأْخَذِهِ وَاعْتَقَدَهُ مُطْلَقًا وَإِنْ وُجِدَ المُجْتَهِدُ هَكَذَا
حَكَي اَلْخِلاَفَ الآمُدِيُّ فِيْهِ لَكِنْ الَّذِيْ قَالَهُ التَّاجُ
السُّبُكِيُّ فيِ شَرْحِ المُخْتَصَرِ وَتَبِعَهُ جَمْعٌ أَنَّهُ لاَ خِلاَفَ
فِيْهِ وَإِنَّمَا الخِلاَفُ فيِ المُجْتَهِدِ الفَتْوَى فَالأَصَحُّ فِيْهِ
جَوَازُ الإِفْتَاءِ أَيْ عِنْدَ عَدَمِ المُجْتَهِدِ لِلْحَاجَةِ إِلَيْهِ مَعَ
وُجُوْدِهِ وَحَكىَ فِي جَمْعِ الجَوَامِعِ قَوْلاً آخَرَ بِجَوَازِ إِفْتاَءِ
المُقَلِّدِ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى التَّفْرِيْعِ وَالتَّرْجِيْحِ لِأَنَّهُ
نَاقِلٌ لِماَ يُفْتِى بِهِ عَنْ إِمَامِهِ وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحْ بِنَقْلِهِ
عَنْهُ قَالَ الشَّارِحُ فيِ شَرْحِهِ وَهَذَا الوَاقِعُ فِي الأَعْصَارِ
المُتَأَخِّرَةِ إنْتَهَى (اَلنَّفَحَاتُ صـ 159)
“(Ucapan
pengarang : maka ia harus bertaqlid)…. adapun mujtahid Madzhab, maka baginya
menurut pendapat Ashah boleh untuk berfatwa sesuai madzhab imam mujtahid yang
ia saksikan dalil pengambilannya dan diyakininya mutlak, walaupun ditemukan
adanya mujtahid muthlaq. Beginilah selanjutnya al-Amudiy menceritakan adanya
khilaf dalam masalah ini, namun sebagaimana yang diungkapkan oleh at-Tajj
as-Syubuki dalam Syarh al-Mukhtashar dan di ikuti oleh segolongan Ulama
bahwasanya tidak ada khilaf dalam masalah ini. Yang sebenarnya terjadi khilaf
adalah dalam masalah mujtahid fatwa, maka menurut pendapat Ashah boleh untuk
berfatwa yakni ketika tidak ditemukannya mujtahid muthlaq, karena dibutuhkan
beserta wujudnya mujtahid. Diceritakan dalam Jam’ul Jawami’ sebuah pendapat
lain yaitu diperbolehkannya berfatwa bagi muqallid walaupun ia tidak mampu
untuk mentafri’ dan mentarjih, sebab ia adalah seorang yang mengambil pendapat
(an-naqil) pada apa yang difatwakan oleh Imamnya, meskipun ia tidak secara
jelas menyebutkan pengambilannya dari Imam tersebut. Pensyarah dalam Syarahnya
menyatakan inilah yang terjadi pada masa akhir ini”.
Pertanyaan :
Apa syarat bagi seorang mufti yang dapat
dimintai fatwanya?
Jawab :
Disyaratkan harus mujtahid yang adil, diyakini
serta masyhur keahlian dan sifat adilnya. Atau yang diduga kuat memiliki
keahlian. Begitu juga selain orang yang adil jika diyakini kebenarannya dengan
beberapa qarinah (tanda-tanda) ataupun meyakininya atas hal-hal yang
sudah jelas.
Referensi :
(قَوْلُهُ الْمُفْتِيُّ) أَيِ الْمُجْتَهِدُ الْعَدْلُ
الْمَعْلُوْمُ أَهْلِيَّتِهِ وَعَدَالَتِهِ اشْتَهَرَ بِهِمَا أَوِ الْمَظْنُوْنُ أَهْلِيَّتُهِ
بِأَنِ انْتَصَبَ لِلْفُتْيَا وَالنَّاسُ يَسْتَفْتُوْنَهُ وَإِنْ كَانَ قَاضِيًا
وَكَذَا غَيْرُ الْعَدْلِ إِذَا عُلِمَ بِالْقَرَائِنِ صِدْقُهِ أَوِ اعْتَقَدَهُ
فِيْمَا يَظْهَرُ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 160)
“(Ucapan
pengarang : mufti), yakni mujtahid yang adil, yang diyakini serta masyhur
keahlian dan sifat adilnya. Atau yang diduga kuat memiliki keahlian, seperti
orang yang sudah didaulat berfatwa dan sering dimintai fatwa manusia. Begitu
juga selain orang yang adil jika diyakini kebenarannya dengan beberapa qarinah
(tanda-tanda) ataupun meyakininya atas hal-hal yang sudah jelas”.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik