Langsung ke konten utama

QIYAS (ANALOGI)

QIYAS (ANALOGI)

وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَهُوَ رَدُّ الْفَرْعِ إِلَى الْأَصْلِ بِعِلَّةٍ تَجْمَعُهُمَا فِى الْحُكْمِ كَقِيَاسِ الْأَرُزِّ عَلَى الْبُرِّ فِى الرِّبَا بِجَامِعِ الطُّعْمِ

Qiyas adalah menyamakan kasus cabangan terhadap kasus asal karena adanya ‘illat (kausa) yang menyatukan keduanya dalam suatu hukum. Sebagaimana mengqiyaskan al-aruz (beras) terhadap al-burr (gandum) di dalam hukum riba, dikarenakan adanya jami’ (titik temu) al-thu’mu (makanan).

Penjelasan :
Qiyas merupakan salah satu dari empat dalil syara’. Qiyas juga dijadikan sebagai hujjah dalam masalah-masalah agama dan selainnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT.
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang memiliki pandangan”. (QS. Al-Hasyr : 02) [1][66]

Arti qiyas secara lughat (bahasa) dapat diartikan at-taqdir (mengukur), seperti :
قِسْتُ اَلثَّوْبَ بِالذِّرَاعِ
Aku mengukur baju dengan ukuran dzira`
Dan dapat juga diartikan at-tasybiih (menyerupakan), seperti :
يُقَاسُ اَلْمَرْءُ بِالْمَرْءِ
“Seseorang diserupakan dengan orang lain” [2][67]  

Sedangkan secara istilah, qiyas adalah menyerupakan suatu kasus cabangan (al-far’u) dengan kasus asal (al-ashlu) didalam sebuah hukum dikarenakan adanya suatu ‘illat yang menyatukan keduanya.
Rukun qiyas ada empat
1.         Al-Ashlu (kasus asal).
2.         Al-Far’u (kasus cabangan).
3.         Hukmul ashli (hukum kasus asal).
4.         ‘Illatul hukmil ashli (alasan hukum kasus asal).[3][68]

Pertanyaan :
Apakah yang dikehendaki dengan al-Ashlu?
Jawab :
Al-Ashlu (kasus asal) adalah suatu kasus yang telah diketahui ketetapan hukumnya. Kasus asal ini dikenal pula dengan nama al-maqis ‘alaih (kasus yang diqiyasi).
Referensi :
(قَوْلُهُ إِلَى الْأَصْلِ) وَهُوَ الْمَحَلُّ الَّذِيْ عُلِمَ ثُبُوْتُ الْحُكْمِ فِيْهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 137)
“(Ungkapan Pengarang terhadap kasus asal), kasus asal adalah obyek kasus yang telah diketahui ketetapan hukumnya”

Pertanyaan :
Apakah pengertian al-far’u?
Jawab :
Al-far’u (kasus cabangan) adalah suatu kasus yang dikehendaki untuk ditetapkan hukumnya. Kasus cabangan ini dikenal pula dengan nama al-Maqis (yang diqiyaskan).
Referensi :
(قَوْلُهُ رَدُّ الفَرْعِ) وَهُوَ الْمَحَلُّ الَّذِيْ أُرِيْدَ إِثْبَاتُ الْحُكْمِ فِيْهِ  (اَلنَّفَحَاتُ صـ 137)
“(Ungkapan Pengarang mengembalikan kasus cabangan), kasus cabangan adalah obyek kasus yang dikehendaki untuk dicarikan ketetapan hukumnya”

Pertanyaan :
Apakah yang dikehendaki dengan hukmul ashli itu ?
Jawab :
Hukmul ashli (hukum kasus asal) adalah hukum yang telah ditetapkan terhadap kasus asal, baik berdasarkan al-Qur`an, al-Hadits maupun al-Ijma`.
Referensi :
الْحُكْمُ هُوَ مَا وَرَدَ بِهِ الْنَصُّ أَوِ الْإِجْمَاعُ عِنْدَ مَنْ يَعْتَبِرُ الْإِجْمَاعَ الْأَصْلَ اَلَّذِي اُعْتُبِرَتْ فِيْهِ الْمُشَابَهَةُ الَّتِيْ أَوْجَبَتْ الْقِيَاسَ )أُصُوْلُ الفِقْهِ لِأَبِي زَهْرَةَ صـ 232(
“Hukum asal adalah suatu hukum yang terdapat dalam kasus asal yang ditetapkan melalui nash ataupun ijma’ menurut ulama yang mengakuinya sebagai dalil asal yang didalamnya dipertimbangkan adanya sisi keserupaan yang menetapkan terhadap qiyas.”

Pertanyaan :
Apakah yang dimaksud dengan ‘illatul hukmil ashli itu ?
Jawab :
‘Illatul hukmil ashli (alasan hukum kasus asal) adalah alasan dari ditetapkannya hukum pada kasus asal.
Referensi :
الْعِلَّةُ هِيَ الَّتِي لِأَجْلِهَا ثَبَتَ الْحُكْمُ وَقِيلَ : الصِّفَةُ الْجَالِبَةُ لِلْحُكْمِ (البَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ الثَّانِي صـ 265)
“‘Illat adalah suatu sifat yang mana dengannya sebuah hukum ditetapkan, dan menurut pendapat lain, ‘illat adalah sebuah sifat yang dapat menarik terhadap suatu hukum”.

Pertanyaan :
Bagaimanakah gambaran operasionalisasi dan contoh qiyas?
Jawab :
Contoh, menyamakan al-aruz (beras) dengan al-burr (gandum) dalam masalah ribawi, dikarenakan antara al-aruz dengan al-burr ada satu kesamaan sebagai makanan (al-thu’mu). Dari contoh di atas diketahui bahwasanya ;
§  Al-Aruz adalah al-far’u, al-maqis (kasus cabangan, yang diqiyaskan).
§  Al-Burr adalah al-ashlu, al-maqis ‘Alaih (kasus asal, yang diqiyasi).
§  Ribawi adalah hukmul ashli (hukum kasus asal).
§  At-Thu’mu (makanan) adalah ‘illatul hukmil ashli (alasan hukum dari kasus asal).
Referensi :
وَاعْلَمْ أَنَّ أَرْكَانَ اْلقِيَاسِ أَرْبَعَةٌ مَقِيْسٌ عَلَيْهِ وَمَقِيْسٌ وَمَعْنًى مُشْتَرَكٌ بَيْنَهُمَا وَحُكْمٌ ِللْمَقِيْسِ عَلَيْهِ يَتَعَدَّى بِوَاسِطَةِ الْمُشْتَرَكِ إِلَى اْلمَقِيْسِ فَاْلأَرُزُّ هَذَا اْلمَقِيْسُ وَاْلبُرُّ الْمَقِيُسُ عَلَيْهِ لِوُرُوْدِ النَّصِّ فِيْهِ وَالرِّبَا حُكْمُ المَقِيْسِ عَلَيْهِ الَّذِيْ يَتَعَدَّى بِوَاسِطَةِ الْمُشْتَرَكِ الَّذِيْ هُوَ الطَّعْمُ إِلَى اْلمَقِيْسِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 137)
“Ketahuilah sesungguhnya rukun qiyas ada empat : maqis ‘alaih (yang diqiyasi), maqis (yang diqiyaskan), makna yang bersekutu diantara maqis dan maqis ‘alaih (‘illat), hukum yang ditetapkan terhadap maqis ‘alaih yang akan  menjalar terhadap maqis dengan lantaran adanya sifat yang bersekutu (‘illat). Maka beras dalam contoh ini adalah al-maqis (yang diqiyaskan) sedang al-Burr (gandum) adalah al-maqis ‘alaih (yang diqiyasi) dikarenakan telah ditetapkan dalil nash dalam kasus ini dan riba adalah hukum yang terdapat dalam maqis ‘alaih yang menjalar terhadap maqis dengan perantara al-musytarak (sesuatu sifat yang bersekutu, ‘illat) yaitu at-thu’mu”.

Pertanyaan :
Apa sebenarnya maudhu’ (sasaran) dari qiyas?
Jawab :
Sasaran (maudhu’) dari qiyas adalah mencari hukum dari beberapa kasus cabangan yang masih didiamkan hukumnya dari beberapa kasus asal yang berupa dalil nash dengan adanya ‘illat yang diperoleh dari ma’na dalil nash tersebut untuk mempertemukan kasus cabangan dengan kasus asal.
Referensi :
الْبَابُ الثَّانِي فِي مَوْضُوعِهِ قَالَ الرُّويَانِيُّ : وَمَوْضُوعُهُ طَلَبُ أَحْكَامِ الْفُرُوعِ الْمَسْكُوتِ عَنْهَا مِنْ الْأُصُولِ الْمَنْصُوصَةِ بِالْعِلَلِ الْمُسْتَنْبَطَةِ مِنْ مَعَانِيهَا لِيَلْحَقَ كُلُّ فَرْعٍ بِأَصْلِهِ (البَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ السَّادِسُ صـ 217).
“Bab yang kedua di dalam menerangkan maudhu’ (sasaran, obyek) qiyas, Imam Ar-Rauyani berkomentar “sasaran dari qiyas adalah mencari hukum-hukum kasus cabangan yang masih didiamkan syara’ dari beberapa asal dengan berbekal beberapa ‘illat yang didapat dari makna dalil nash, supaya kasus cabangan dapat ditemukan, disamakan dengan kasus asal”.

(وَهُوَ يَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ إِلَى قِيَاسِ عِلَّةٍ وَقِيَاسِ دَلَالَةٍ وَقِيَاسِ شَبَهٍ

Qiyas terbagi menjadi tiga macam; qiyas ‘illah, qiyas dalalah, dan qiyas syabh.
Qiyas ‘illah adalah suatu qiyas yang didasarkan  terhadap  ‘illat  (yang terdapat

فَقِيَاسُ الْعِلَّةِ مَاكَانَتْ اَلْعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ) بِحَيْثُ لاَيَحْسُنُ عَقْلاً تَخَلُّفُهُ عَنْهَا كَقِيَاسِ الضَّرْبِ عَلَى التَّأْفِيْفِ لِلْوَالِدَيْنِ فِى التَّحْرِيْمِ لِعِلَّةِ الْإِيْذَاءِ

pada kasus asal) yang dapat menetapkan suatu hukum (terhadap far’u), sekira secara akal tidak dianggap baik adanya hukum tersebut tidak ditetapkan ketika ‘illat ditemukan (di dalam far’u), sebagaimana mengqiyaskan memukul terhadap kedua orang tua terhadap berkata keras atau kasar karena ditemukan adanya ‘illat idza`(menyakitkan)

Penjelasan :
Al-Qiyas terbagi menjadi tiga macam :
1.      Qiyas ‘illat, 2.  Qiyas dalalah, 3.  Qiyas syabah.
Qiyas ‘illat yang juga dapat disebut dengan qiyas ma’na adalah suatu bentuk pengqiyasan dengan berdasarkan sebuah ‘illat yang mengharuskan tetapnya hukum terhadap kasus cabangan. Seperti mengqiyaskan berkata kasar (yang diharamkan lewat dalil al-Qur`an) dengan pekerjaan lain, seperti memukul. Contoh qiyas ‘illah adalah mengqiyaskan memukul kedua orang tua terhadap haramnya berkata kasar (seperti ah, cih). Allah SWT berfirman dalam QS. al-Isra`:23:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah,cih”. [QS. Al-Israa` 23].

Dari ayat di atas Allah mengharamkan berkata ‘ah’, ‘cih’ terhadap kedua orang tua, dikarenakan perkataan tersebut menyebabkan idzaa` (menyakitkan hati) keduanya. Sedangkan ‘illat idza` ini juga ditemukan dalam memukul, Bahkan bentuk idzaa` yang terdapat dalam memukul lebih sempurna dibanding berkata ‘ah’, ‘cih’. Sehingga secara akal tidak layak jika hukum haram berkata ‘ah’, ‘cih’ terhadap kedua orang tua tidak ditetapkan pula terhadap memukul kepada keduanya[4][69].

Pertanyaan :
Penetapan haramnya memukul orang tua apakah hanya melalui jalan qiyas ‘illat ?
Jawab :
Tidak, pada dasarnya ulama berbeda pendapat dalam metode penetapan keharaman memukul orang tua, yakni;
1.      Metode qiyas, ini menurut riwayat Imam ar-Razi dan lainnya.
2.      Metode mafhum muwafaqah (kecocokan kefahaman), menurut suatu pendapat (qil) dan di-nuqil dalam kitab al-Burhan dari mayoritas ulama ushul.
3.      Metode manthuq (tekstual), yaitu mengarahkan perkataan kotor pada setiap bentuk hal yang menyakitkan, menurut suatu pendapat (qil).
Referensi :
وَمَا أَفَادَهُ هَذَا اْلكَلَامُ مِنْ أَنَّ ثُبُوْتَ الْحُكْمِ فِيْ اْلفَرْعِ فِيْ هَذَا اْلقَسْمِ بِطَرِيْقِ اْلقِيَاسِ مَا حَكَاهُ الرَّازِيْ وَغَيْرُهُ وَقِيْلَ بِطَرِيْقِ مَفْهُوْمِ اْلمُوَافَقَةِ وَنَقَلَهُ فِي اْلبُرْهَانِ عَنْ مُعْظَمِ اْلأُصُوْلِيِيْنَ وَقِيْلَ بِطَرِيْقِ الْمَنْطُوْقِ بِأَنْ نُقِلَ اَلتَّـأْفِيْفُ مَثَلًا عُرْفًا إِلَى أَنْوَاعِ اْلإِيْذَاءِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 138)
“Kefahaman dari ungkapan ini,  yaitu tetapnya hukum pada far’u dalam pembagian ini adalah dengan metode qiyas adalah pendapat yang diriwayatkan oleh ar-Razi dan selainnya. Dan menurut satu pendapat adalah dengan metode mafhum muwafaqah, dan pendapat ini di nuqil dalam kitab al-Burhan dari mayoritas ulama ushul. Dan metode manthuq (tekstual), yaitu mengarahkan perkataan kotor terhadap setiap bentuk hal yang menyakitkan, menurut suatu pendapat (qil)”.

(وَقِيَاسُ الدَّلَالَةِ هُوَ اَلْإِسْتِدْلَالُ بِأَحَدِ اْلنَّظَرَيْنِ عَلَى الآخَرِ وَهُوَ أَنْ تَكُوْنَ اَلْعِلَّةُ دَالَّةً عَلَى الْحُكْمِ وَ لَاتَكُوْنَ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ) كَقِيَاسِ مَالِ الصَّبِيِّ عَلَى مَالِ اْلبَالِغِ فِي وُجُوْبِ الزَّكَاةِ فِيْهِ بِجَامِعِ أَنَّهُ مَالٌ نَامٍ وَيَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لَا يَجِبُ فِيْ مَالِ الصَّبِيْ كَمَا قَالَ بِهِ أَبُوْ حَنِيْفَةَ فِيْهِ

Qiyas dalalah adalah mengambil dalil dengan salah satu dari dua hal yang memiliki kesamaan atas hal yang lain, yaitu jika adanya ‘illat menunjukkan atas hukum namun tidak menetapkan terhadap hukum. Seperti mengqiyaskan hartanya anak kecil terhadap hartanya orang dewasa (baligh) dalam kasus zakat, dikarenakan adanya titik temu sama-sama harta yang berkembang. Dan dapat juga diperbolehkan bahwasanya hartanya anak kecil tidak wajib untuk dizakati, sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah
Penjelasan :
Qiyas dalalah adalah sebuah bentuk pengqiyasan yang didasarkan atas suatu ‘illat, namun ‘illat di sini tidak sampai menetapkan terhadap hukum, tetapi hanya sebatas sebagai petunjuk keberadaan hukum.
Contoh qiyas dalalah adalah mengqiyaskan harta anak kecil (shobiy) dengan harta orang dewasa (baligh) dalam hal wajibnya zakat dengan ‘illat sama-sama termasuk harta yang berkembang (an-numuw). Namun ‘illat yang juga ditemukan pada far’u (harta anak kecil) ini tidak bisa serta merta menetapkan kewajiban zakat atas hartanya. Hanya saja ‘illat tersebut digunakan sebagai bukti kewajiban zakat atas hartanya. Sehingga dikatakan bahwa harta anak kecil wajib dizakati dengan diqiyaskan terhadap harta orang dewasa, karena keduanya sama-sama harta yang berkembang.

Pertanyaan :
Apa konsekwensi dari penjelasan di atas ?
Jawab :
Konsekwensinya, Dikarenakan ‘illat dalam qiyas dalalah ini tidak sampai menetapkan hukum, tapi hanya sebatas sebagai bukti atau petunjuk atas hukum, maka tidak dianggap buruk secara akal jika hukum kasus cabangan (far’u) tidak sama dengan hukum kasus asal. Sebagaimana dalam kasus harta anak kecil di atas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwasanya harta anak kecil tidak wajib dizakati, karena diqiyaskan dengan masalah haji, yaitu wajib atas orang dewasa namun tidak wajib atas anak kecil.
Referensi :
وَهَذَا النَّوْعُ غَالِبُ أَنْوَاعِ اْلأَقِيْسَةِ وَهُوَ مَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ فِيْهِ لِعِلَّةٍ مُسْتَنْبَطَةٍ يَجُوْزُ أَنْ يَتَرَتَّبَ الْحُكْمُ عَلَيْهَا فِي اْلفَرْعِ وَيَجُوْزُ أَنْ يَتَخَلَّفَ وَهَذَا النَّوْعُ أَضْعَفُ مِنَ اْلأَوَّلِ فَإِنَّ اْلعِلَّةَ فِيْهِ دَالَةٌ عَلَى الْحُكْمِ وَلَيْسَتْ ظَاهِرَةً فِيْهِ ظُهُوْرًا لَا يَحْسُنُ مَعَهُ تَخَلُّفُ الْحُكْمِ وَذَلِكَ كَقِيَاسِ مَالِ الصَّبِيْ عَلَى مَالِ الْبَالِغِ فِيْ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ فِيْهِ بِجَامِعِ أَنَّهُ  دَفْعُ حَاجَةِ اْلفَقِيْرِ بِجُزْءٍ مِنْ مَالٍ نَامٍ كَمَا قَالَ النَّاظِمُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى "كَقَوْلِنَا مَالُ الصَّبِيِّ تَلْزَمُ * زَكَاتُهُ كَبَالِغٍ أَيْ لِلْنُّمُوِّ فَالْجَامِعُ كَوْنُهُ مَالًا نَامِيًا كَمَا عَلِمْتَ وَهَذَا هُوَ عِلَّةُ الْحُكْمِ وَيُمْكِنُ تَخَلُّفُهُ عَنْهَا فِيْ مَالِ الصَّبِيِّ فَيُقَالُ مِنْ غَيْرِ اسْتِقْبَاحٍ لَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِيْهِ كَمَا قَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ بِالْقِيَاسِ عَلَى الْحَجِّ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَى اْلبَالِغِ وَلَا يَجِبُ عَلَى الصَّبِيِّ . (لَطَائِفُ الإِشاَرَاتِ صـ 53)
“Qiyas jenis ini adalah yang paling sering dari berbagai macam bentuk qiyas, yaitu suatu qiyas yang mana ketetapan hukumnya disebabkan adanya ‘illat yang digali dari nash yang diperbolehkan untuk menjalarkannya pada far’u, dan juga boleh untuk tidak menjalar pada far’u. Jenis qiyas ini lebih lemah dibanding qiyas yang pertama. Karena ‘illat pada qiyas ini adalah ‘illat yang menunjukkan atas hukum, namun tidak jelas yang sekiranya tidak dianggap baik untuk menyalahi hukum kasus asal. Sebagaimana mengqiyaskan harta anak kecil pada harta orang dewasa, dalam hal wajib zakat, dengan adanya persamaan (al-Jami’) mampu memenuhi kebutuhan orang fakir dengan satu bagian dari harta yang dapat berkembang. Sebagaimana ungkapan an-Nadhim “sebagaimana ungkapan kita harta anak kecil wajib dizakati sebagaimana harta orang dewasa, maksudnya karena harta tersebut berkembang. Maka titik temu (al-Jami’) nya adalah sama–sama harta yang berkembang. Dan ini adalah ‘illat dari ditetapkannya hukum. Dan memungkinkan juga untuk menyalahinya, maka dapat dikatakan (tanpa ada unsur mengejek) “tidak wajib zakat atas harta anak kecil” sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Abu Hanifah dengan diqiyaskan terhadap haji, sesungguhnya haji wajib atas orang dewasa dan tidak wajib atas anak kecil”.

Pertanyaan :
Mengapa dinamakan dengan qiyas dalalah?
Jawab :
Sebab al-Jami’ (titik temu) yang terdapat pada qiyas ini bukanlah  jati diri ‘illat itu sendiri (nafsul ‘illat), namun hanya sebatas dalil (petunjuk) saja.
Referensi :
النَّوْعُ الرَّابِعُ قِيَاسُ الدَّلَالَةِ  وهو أَنْ يَكُونَ الْجَامِعُ وَصْفًا لَازِمًا من لَوَازِمِ الْعِلَّةَ أو أَثَرًا من آثَارِهَا أو حُكْمًا من أَحْكَامِهَا سُمِّيَ بِذَلِكَ لِكَوْنِ الْمَذْكُورِ في الْجَمِيعِ دَلِيلَ الْعِلَّةِ لَا نَفْسَ الْعِلَّةِ (البَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ الرَّابِعُ صـ 44)
“Macam ke empat adalah qiyas ad-dalalah, yaitu bilamana al-Jami’ (titik temu)nya berupa sifat lazim (menetap) dari beberapa kelaziman ‘illat, atau dampak (atsar) dari beberapa dampak illat, atau hukum dari beberapa hukumnya ‘illat. Dinamakan qiyas ad-dalaalah dikarenakan hal tersebut adalah petunjuk (dalil) dari ‘illat bukan ‘illatnya sendiri”.

Pertanyaan :
Apakah perbedaan antara qiyas illat dengan qiyas dilalah?
Jawab :
Dalam qiyas dilalah, ‘illat tidak mewajibkan adanya hukum karena secara akal tidak dianggap cacat seumpama hukum yang terdapat pada asal tidak terjadi pada far’u.
Versi Jam’u al-Jawami’, qiyas ‘illat adalah suatu pengqiyasan dengan langsung menyebutkan ‘illatnya. Dimana ‘illat tersebut menjadi titik temu antara asal dan far’u. Seperti nabidz adalah haram sebagaimana khamr, karena memabukkan. Sedangkan qiyas dalalah ialah suatu pengqiyasan dengan menyebutkan sifat yang selalu melekat pada ‘illat yang sebenarnya, atau menyebutkan salah satu dari pengaruh ‘illat, atau menyebutkan salah satu hukum ‘illat.
Referensi :
(قَوْلُهُ وَيَجُوْزُ ) هَذَا بَيَانٌ لِلْفَارِقِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِيَاسِ الْعِلَّةِ أَيْ أَنَّهُ وَإِنْ وُجِدَتْ الْعِلَّةُ هُنَا فِيْ كُلٍّ مِنَ الْمَقِيْسِ وَالْمَقِيْسِ عَلَيْهِ لَكِنْ الْعِلَّةُ هُنَا غَيْرُ مُوْجِبَةٍ لِلْحُكْمِ لِأَنَّ الْعَقْلَ يَجُوْزُ تَخَالُفَ الْحُكْمِ عَنِ الْفَرْعِ مِنْ غَيْرِ قُبْحٍ لِكَوْنِ مَالِكِ الْمَالِ فِيْ الْفَرْعِ صَبْيًّا فَيَحْتَمِلُ وُجُوْدُ فَرْقٍ بَيْنَ مَالِ الصَّبِيِّ وَمَالِ الْبَالِغِ بِأَنَّ الْمَالِكَيْنِ مَخْتَلِفَانِ فِيْ التَّكْلِيْفِ وَعَدَمِهِ هَذَا وَفِيْ جَمْعِ الْجَوَامِعِ أَنَّ قِيَاسَ الْعِلَّةِ مَا صَرَّحَ فِيْهِ بِهَا كَأَنْ يُقَالَ يَحْرُمُ النَّبِيْذُ كَالْخَمْرِ لِلْإِسْكَارِ وَقِيَاسَ الدِّلَالَةِ مَا جُمِعَ فِيْهِ بِلَازِمِهَا أَوْ بِأَثَرِهَا أَوْ بِحُكْمِهَا مِثَالُ الْأَوَّلِ أَنْ يُقَالَ النَّبِيْذُ حَرَامٌ كَالْخَمْرِ بِجَامِعِ الرَّائِحَةِ الْمُشْتَدَّةِ هِيَ لَازِمَةٌ لِلْإِسْكَارِ وَمِثَالُ الثَّانِيْ بِمُثَقَّلٍ يُوْجِبُ الْقِصَاصَ كَالْقَتْلِ بِمُحَدِّدِ بِجَامِعِ الْإِثْمِ وَهُوَ أَثَرُ الْعِلَّةِ الَّتِيْ هِيَ الْقَتْلُ الْعَمْدُ الَعُدْوَانُ وَمِثَالُ الثَّالِثُ تُقْطَعُ الْجَمَاعَةُ بِوَاحِدٍ كَمَا يُقْتَلُوْنَ بِهِ بِجَامِعِ وُجُوْدِ الدِّيَّةِ عَلَيْهِمْ فِيْ ذَلِكَ حَيْثُ كَانَ غَيْرَ عَمْدٍ وَهُوَ حُكْمُ الْعِلَّةِ الَّتِيْ هِيَ الْقَطْعُ مِنْهُمْ فِيْ صُوْرَةِ الْأُوْلَى وَالْقَتْلُ مِنْهُمْ فِيْ صُوْرَةِ الثَّانِيَةْ (النَّفَحَاتُ صـ 138)
“(perkataan pengarang : diperbolehkan) ini merupakan perbedaan antara qiyas dilalah dengan qiyas ilat. Walaupun kedua qiyas tersebut sama-sama adanya ilat dalam maqis dan maqis alaih, hanya saja dalam qiyas dilalah ilatnya tidak mewajibkan adanya hukum karena secara akal tidak dianggap cacat seumpama hukum yang terdapat pada asal tidak terjadi pada far’u. Hal ini karena pemilik harta dalam far’u ialah anak kecil sedang dalam asal ialah orang dewasa. Sehingga mungkin ada perbedaan antara hartanya anak kecil dengan orang dewasa, yakni keduanya berbeda dalam taklif dan tidaknya. Sedangkan keterangan dalam kitab jam’ul jawami’ mengenai masalah perbedaan qiyas ilat dengan qiyas dilalah sebagai berikut: “Qiyas illat yaitu suatu suatu pengqiyasan dengan langsung menyebutkan ilatnya, yang ilat tersebut menjadi titik temu di antara asal dan far’u, seperti nabidz adalah haram seperti khamr, karena memabukkan. Sedangkan qiyas dilalah ialah suatu pengqiyasan dengan menyebutkan sifat yang selalu melekat pada ilat yang sebenarnya, atau menyebutkan salah satu dari pengaruh ilat, atau menyebutkan salah satu hukum ilat. Contoh pertama mengqiyaskan nabidz dengan khamr dengan adanya titik temu berupa bau menyengat yang merupakan sifat yang melekat pada ilat yakni (ilat yang berupa iskar). Contoh kedua adanya qisos pembunuhan dengan memakai benda tumpul dengan diqiyaskan pada pembunuhan dengan benda tajam dengan titik temu yang berupa dosa besar. Dosa besar bukanlah ilat yang sebenarnya tapi sebuah pengaruh dari ilat dan ilat sebenarnya ialah pembunuhan dengan sengaja secara penganiyaan. Contoh yang ketiga dipotong tangannya beberapa orang karena mereka memotong tangan seseorang. Diqiyaskan dengan dibunuhnya beberapa orang karena mereka membunuh satu orang, dengan titik temu berupa wajibnya membayar diyat (jika pembunuhanya tidak disengaja). Wajibnya membayar diyat sebenarnya bukan ilat tapi hukum dari ilat. Dan yakni ilat sebenarnya ialah memotongan dalam kasus pertama (pemotongan tangan) dan membunuh dalam kasus kedua (pembunuhan)”

(وَقِياَس الشَّبَهِ هُوَ اْلفَرْعُ اْلمُرَدِّدُ بَيْنَ أَصْلَيْنِ فَيُلْحَقُ بِأَكْثَرِهِمَا شِبْهًا) كَمَا فِي اْلعَبْدِ إِذَا أُتْلِفَ فَإِنَّهُ مُرَدِّدٌ فِي الضَّمَانِ بَيْنَ اْلإِنْسَانِ الْحُرِّ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ آدَميٌّ وَبَيْنَ اْلبَهِيْمَةِ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ مَالٌ وَهُوَ بِالْمَالِ أَكْثَرُ شِبْهًا مِنَ الْحُرِّ بِدَلِيْلِ أَنَّهُ يُبَاعُ وَيُوْرَثُ وَيُوْقَفُ وَتُضَمَّنُ أَجْزَاؤُهُ بِمَا نَقَصَ مِنْ قِيْمَتِهِ

Qiyas syabah adalah qiyas dimana al-far’u berkutat antara dua kasus asal, maka al-far’u disamakan dengan kasus asal yang lebih banyak keserupaannya. Seperti dalam kasus ‘abd (budak) ketika mengalami kerusakan, maka dalam hal dhaman (ganti rugi) budak tersebut mempunyai kemiripan antara orang merdeka (al-hurr) dan binatang (al-bahimah) dari statusnya sebagai harta benda. Dan kemiripan dengan harta benda lebih banyak dibanding kemiripan dengan orang merdeka. Dengan bukti, budak bisa diperjualbelikan, diwariskan dan diwakafkan. Sehingga juz dari budak diganti sesuai kadar harganya yang berkurang (akibat luka tersebut).

Penjelasan :
Qiyas Syabah adalah sebuah bentuk pengqiyasan dimana  al-far’u jika dilihat dari segi sifat-sifat yang ada memiliki keserupaan dengan dua ashl. Dan selanjutnya ­al-far’u disamakan dengan salah satu ashl yang memiliki lebih banyak kemiripan dengannya.
Sebagaimana dalam kasus budak yang memiliki dua sifat yaitu ; harta sebab ia dimiliki oleh tuannya dan manusia karena ia juga memiliki sifat sebagai manusia. Maka ketika ia dibunuh lantas apakah ia diserupakan dengan binatang ternak ataukah disamakan dengan manusia?. Dalam kasus ini mayoritas ulama cenderung memilih menyamakan budak dengan binatang ternak dikarenakan sisi kesamaan antara budak dengan binatang ternak lebih banyak dibanding jika disamakan dengan manusia merdeka. Sebab seorang budak boleh untuk diperjualbelikan, diwakafkan dan diwaris sebagaimana binatang ternak. Sehingga konsekwensinya bagi orang yang membunuh budak tersebut harus membayar denda (dhaman) sebesar nominal (qimah) dari harga budak tersebut, sebagaimana jika ia merusak harta benda orang lain.

وَمِنْ شَرْطِ الْفَرْعِ أَنْ يَكُوْنَ  مُنَاسِبًا لِلْأَصْلِ فِيْمَا يُجْمَعُ بِهِ بَيْنَهُمَا لِلْحُكْمِ أَيْ أَنْ يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا بِمُنَاسِبٍ لِلْحُكْمِ

Di antara syarat kasus cabangan adalah harus serasi, cocok dengan kasus asal di dalam alasan (‘illat) yang menyatukan keduanya dalam satu hukum. Artinya keduanya dikumpulkan dengan illat yang serasi dengan hukumnya.

Penjelasan :
Far’u disyaratkan harus serasi (munasabah) dengan ashl dalam ‘illat yang menyatukannya. Seperti dalam kasus nabidz (tuak) yang diqiyaskan dengan khamr. Far’u dalam hal ini adalah nabidz memiliki kesamaan, keserasian dengan ashl yakni khamr dalam masalah iskar (memabukkan).

Pertanyaan :
Dalam ungkapan pengarang, sisi munasabah (keserasian) manakah yang dikehendaki?
Jawab :
Dalam perkataan pengarang tidak secara jelas menentukan sisi munasabah antara far’u dengan ashl. Namun, Syaikh Ahmad bin Abdul Lathif dalam an-Nafahat menyatakan bahwa yang dikehendaki dari munasabah adalah munasabah dari sisi ‘illatnya. Maksudnya, ‘illat hukumnya harus serasi, sama antara ashl dan far’u.
Contoh, seperti ‘illat iskar (memabukkan) yang terdapat pada hukum haramnya khamr, ternyata juga serasi dengan apa yang terdapat dalam nabidz (perasan selain anggur).
Referensi :
(قَوْلُهُ أَنْ يَكُوْنَ مُنَاسِبًا لِلْأَصْلِ) أَيْ الْمَحَلِّ الْمُشَبَّهِ بِهِ فَيَظْهُرُ مِنْ هَذِهِ اْلعِبَارَاةِ اِشْتِرَاطُ أَنْ يَكُوْنَ بَيْنَ الْفَرْعِ وَاْلأَصْلِ مُنَاسَبَةٌ لَكِنْ لَا يُفْهَمُ مِنْ كَلَامِهِ صَرِيْحًا بَيَانُ كَوْنِ اْلمُنَاسَبَةِ بَيْنَهُمَا فِيْمَاذَا وَاْلأَظْهَرُ أََنَّ اْلمُرَادَ الْمُنَاسَبَةُ فِي اْلعِلَّةِ أَيْ بِأَنْ يَكُوْنَ عِلَّةُ الْحُكْمِ مُنَاسِبًا لِكُلٍّ مِنَ اْلأَصْلِ وَاْلفَرْعِ كِاْلإِسْكَارِ الَّذِيْ هُوَ عِلَّةُ الْحُكْمِ بِالْحُرْمَةِ فَهُوَ مُنَاسِبٌ لِلْأَصْلِ وَهُوَ الْخَمْرُ وَالْفَرْعُ وَهُوَ النَّبِيْذُ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 141)
“(Ungkapan pengarang : adanya far’u harus serasi dengan ashl), yakni kasus yang diserupai, maka jelas dari ungkapan ini persyaratan harus adanya keserasian antara far’u dan ashl, namun dari ungkapan Beliau ini belum dapat difahami secara jelas adanya penjelasan mengenai dari sisi mana keserasian antara keduanya?...yang paling dhahir, bahwasanya yang dikehendaki dari keserasian ini adalah keserasian dalam ‘illatnya, maksudnya ‘illat hukum haruslah serasi dengan setiap ashl dan far’u. Sebagaimana iskar (memabukkan) yang merupakan ‘illat hukum haram adalah sebuah sifat yang serasi dengan ashl yakni khamr dan far’u yakni an-nabiidz (tuak)”.  

وَمِنْ شَرْطِ اْلأَصْلِ أَنْ يَكُوْنَ  ثَابِتًا بِدَلِيْلٍ مُتَّفَقٍ عَلَيْهِ بَيْنَ الْخَصْمَيْن ِ لِيَكُوْنَ الْقِيَاسُ حُجَّةً عَلَى الْخَصْمِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَصْمٌ فَالشَّرْطُ ثُبُوْتُ حُكْمِ اْلأَصْلِ بِدَلِيْلٍ يَقُوْلُ بِهِ الْقَائِسُ

Di antara syarat kasus asal adalah harus berdasarkan dalil yang telah disepakati oleh kedua belah fihak yang berbeda pendapat, agar qiyas dapat dijadikan hujjah atas fihak yang menentang. Kemudian jika tidak ditemukan fihak yang menentang, maka disyaratkan tetapnya hukum kasus asal haruslah dengan dalil yang diakui orang yang melakukan qiyas.

Penjelasan :
Kasus asal disyaratkan hukumnya harus ditetapkan melalui dalil nash maupun ijma’ dan dalil tersebut juga harus disepakati oleh kedua belah fihak yang berselisih, yakni berselisih di dalam tetapnya hukum kasus asal terhadap kasus cabangan. Hal ini disyaratkan supaya qiyas dapat dijadikan sebagai hujjah atas fihak yang menentang.
Namun, jika tidak ada fihak yang menentang, maka disyaratkan hukum tersebut ditetapkan berdasarkan dalil yang diakui oleh al-qais (orang yang melakukan qiyas).

Pertanyaan :
Mengapa harus disyaratkan sedemikian rupa?
Jawab :
Semua itu disyaratkan agar qiyas betul-betul dapat dijadikan sebagai hujjah atas fihak yang mengingkarinya.
Referensi :
وَإِنَّمَا اُشْتُرِطَ هَذَا الشَّرْطُ لِيَكُوْنَ الْقِيَاسُ حُجَّةً عَلَى الْخَصْمِ الْمُنْكِرِ لِذَلِكَ الْحُكْمِ فِي الْفَرْعِ وَإِنْ أَمْكَنَ الْخَصْمُ مِنْهُ فَلَا يَكُوْنَ حُجَّةً عَلَيْهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 143)
“Disyaratkannya hal di atas supaya qiyas dapat dijadikan sebagai hujjah atas fihak yang menentang, sebab bila fihak yang menentang dapat mencegah terjadinya qiyas tentu qiyas tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah”.

Pertanyaan :
Apakah dalil yang dijadikan pijakan dalam ketetapan hukum kasus asal harus berdasar pada dalil nash dan ijma’ saja?
Jawab :
Tidak, namun pada dasarnya yang boleh melakukan qiyas tidak harus seorang mujtahid muthlaq, tapi seorang muqallid (orang yang mengikut pada mujtahid) juga diperbolehkan melakukan qiyas. karena nash mujtahid baginya bagaikan dalil nash bagi mujtahid.
Referensi :
قَدْ يَرِدُ عَلَيْهِ مَا لَوْ كَانَ الْحُكْمُ مُتَّفَقًا عَلَيْهِ لَا بِالدَّلِيْلِ بَلْ بِالتَّقْلِيْدِ فَإِنَّ الْقِيَاسَ لَا يَخْتَصُّ بِالْمُجْتَهِدِ الْمُطْلَقِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ غَيْرُ وَاحِدٍ ...إِلَى أَنْ قَالَ... وَيُجَابُ عَنِ اْلأَوَّلِ بِأَنَّ التَّقْلِيْدَ دَلِيْلٌ لِلْمُقَلِّدِ فَإِنَّ نَصَّ الْمُجْتَهِدِ بِالنِّسْبَهِ لَهُ كَنَصِّ الشَّارِعِ بِالنِّسْبَةِ لِلْمُجْتَهِدِ (اَلنَّفَحَاتُ ص 143)
“Dan terkadang muncul permasalahan yang menyebutkan seandainya hukum kasus asal disepakati namun tidak dengan dalil nash, akan tetapi dengan metode taqlid, sebab sesungguhnya qiyas tidak hanya ditentukan terhadap mujtahid  muthlaq saja, sebagaimana yang dijelaskan oleh bukan hanya seorang ulama saja …. Dan dijawab dari permasalahan pertama ini bahwa saya taqlid adalah dalil bagi muqallid, sebab nash mujtahid baginya bagaikan nash as-syari’ bagi mujtahid”.

(وَمِنْ شَرْطِ الْعِلَّةِ أَنْ تَطْرُدَ فِي مَعْلُوْلَاتِهَا فَلَا تَنْتَقِضُ لَفْظًا وَ لَا مَعْنًى)
فَمَتَى اِنْتَقَضَتْ لَفْظًا بِأَنْ صَدَقَتْ اَلْأَوْصَافُ الْمُعَبَّرُ بِهاَ عَنْهَا فِيْ صُوْرَةٍ بِدُوْنِ الْحُكْمِ أَوْ مَعْنًى بِأَنْ وُجِدَ الْمَعْنَى الْمُعَلَّلُ بِهِ فِيْ صُوْرَةٍ  بِدُوْنِ الْحُكْمِ فَسَدَ الْقِيَاسُ
اَلْأَوَّلُ كَأَنْ يُقَاَلَ فِي اْلقَتْلِ بِالْمُثَقَّلِ أَنَّهُ قَتْلُ عَمْدٍ عُدْوَانٍ فَيَجِبُ بِهِ الْقِصَاصُ كَالْقَتْلِ بِالْمُحَدَّدِ فَيَنْتَقِضُ ذَلِكَ بِقَتْلِ الْوَالِدِ وَلَدَهُ  فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ بِهِ قِصَاصٌ
وَالثَّانِيْ كَأَنْ يُقَالَ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي اْلمَوَاشِي لِدَفْعِ حَاجَةِ الْفَقِيْرِ فَيُقَالُ يَنْتَقِضُ ذَلِكَ بِوُجُوْدِهِ فِي الْجَوَاهِرِ وَلَا زَكَاةَ  فِيْهاَ

Di antara syarat ‘illat adalah ‘illat haruslah berlaku terhadap seluruh kasus yang di’illati. Maka tidak diperbolehkan terjadi kerusakan baik dari sisi lafadz maupun makna.
Dan tatkala ‘illat mengalami kerusakan dari sisi lafadz, yakni sifat-sifat yang dijadikan sebagai ‘illat ditemukan pada sebuah kasus, namun tanpa adanya penetapan hukum. Ataupun kerusakan dari sisi makna, yakni makna yang dijadikan sebagai ‘illat ditemukan pada sebuah kasus, namun tanpa disertai penetapan hukum. Maka qiyas semacam ini dinyatakan rusak (fasad).
Yang pertama, seperti digambarkan dalam kasus pembunuhan memakai benda tumpul, dinyatakan sebagai pembunuhan terencana disertai penganiayaan, maka mewajibkan hukum Qishas, seperti dalam pembunuhan dengan benda tajam. ‘illat ini menjadi rusak dengan adanya kasus pembunuhan orang tua terhadap anaknya, dimana pembunuhan ini  tidak menetapkan wajib Qishas.
Yang kedua, sebagaimana dikatakan, wajib mengeluarkan zakat ternak dikarenakan untuk membantu kebutuhan orang fakir. ‘Illat ini menjadi rusak sebab ditemukan dalam intan berlian, namun tidak ada kewajiban zakat di dalamnya.
Penjelasan :
‘Illat disyaratkan harus berlaku pada setiap kasus yang di’illati. Maksudnya, ‘illat harus menyertai setiap hukum di manapun berada. Sebagaimana ‘illat iskar (memabukkan) harus ada dalam setiap kasus yang dihukumi haram dengan diqiyaskan terhadap khamr, seperti harus ada pada nabidz, narkoba, sabu-sabu dan lain-lain. Maka tidak diperbolehkan terjadinya cacat baik dari segi lafadz maupun makna.
Cacat dari segi lafadz adalah bilamana ‘illat dari segi lafadznya ditemukan pada suatu kasus, namun hukum kasus asal tidak dapat diterapkan karena adanya suatu pencegah (mani’). Seperti dikatakan membunuh seseorang dengan menggunakan mutsaqqal (benda tumpul) menetapkan hukum qishas sebagaimana pembunuhan dengan muhaddad (benda tajam) dengan adanya ‘illat yang berupa tiga sifat, yaitu; al-qatl (pembunuhan), al-‘amdu (disengaja) dan al-‘udwan (mengandung unsur penganiayaan). Namun ‘illat ini ternyata cacat ketika dihadapkan pada kasus pembunuhan orang tua terhadap anaknya. Dalam kasus ini ternyata orang tua tidak diqishas meskipun terdapat tiga unsur ‘illat, pembunuhan, disengaja dan mengandung unsur penganiayaan. Maka dari segi lafadznya yaitu al-qatl (pembunuhan), al-‘amdu (disengaja) dan al-‘udwan (mengandung unsur penganiayaan), tidak dapat dijadikan ‘illat dalam masalah qishas.
Sedangkan cacat dari segi makna adalah jika makna dari ‘illat hukum ditemukan pada suatu kasus, namun hukum tidak diterapkan. Semisal kewajiban mengeluarkan zakat pada hewan ternak karena ada unsur daf’u hajatil faqir (membantu kebutuhan faqir).  Namun berlian yang juga mengandung unsur daf’u hajatil faqir tidak terkena hukum wajib zakat.
Dapat disimpulkan bahwa kerusakan (cacat) ‘illat bermuara pada wujudnya ‘illat namun tanpa disertai adanya hukum.

Pertanyaan :
Kalau memang muaranya sama, yaitu wujudnya ‘illat namun tanpa wujudnya hukum, lantas mengapa pengarang membedakannya dalam dua hal lafdzi dan ma’nawiy?
Jawab :
Pada dasarnya dalam hal ini jika melihat tidak adanya hukum dari segi lafadz, maka dinamakan cacat lafdzi dan jika dilihat dari segi ma’nawiy, maka dinamakan cacat ma’nawiy. Walaupun jika terjadi cacat dari salah satunya, maka juga menetapkan juga cacat pada segi yang lain.
Referensi :
قَالَ اِبْنُ قَاسِمٍ لِقَائِلٍ أَنْ يَقُوْلَ لَاحَاجَةَ لِاعْتِبَارِ انْتِفَاءِ الْإِنْتِقَاضِ لَفْظًا لِلْإِسْتِغْنَاءِ عَنْهُ بِاعْتِبَارِ الْإِنْتِقَاضِ مَعْنىً لِأَنَّهُ يَشْمِلُهُ لِصِدْقِ وُجُوْدِ الْمَعْنَى الْمُعَلَّلِ بِهِ بِدُوْنِ الْحُكْمِ فِيْمَا فَسَّرَ بِهِ الْإِنْتِقَاضُ لَفْظًا ...إِلَى أَنْ قَالَ ... وَيُجَابُ عَنِ الْمُصَنِّفِ بِأَنَّهُ إِنَّمَا قُسِمَ الْإِنْتِقَاضُ إِلَى الْلَفْظِيِّ وِالْمَعْنَوِيِّ لِأَنَّهُ إِنْ نُظِرَ إِلَى نَخَلُّفِ الْحُكْمِ عَنِ اللَّفْظِ فَهُوَ اللَّفْظِيُّ وَ إِنْ نُظِرَ إِلَى نَخَلُّفِهِ عَنِ الْمَعْنَى فَهُوَ الْمَعْنَوِيُّ وَإِنْ لَزِمَ مِنْ تَخَلُّفِهِ عَنْ أَحَدِهِمَا تَخَلُّفُهُ عَنِ الْآخَرِ لِأَنَّهُ يَلْزَمُ مِنْ تَخَلُّفِ الْحُكْمِ عَنِ الدَّالِّ الَّذِيْ هُوَ الْلَفْظُ تَخَلُّفُهُ عَنِ الْمَدْلُوْلِ الَّذِيْ هُوَ الْمَعْنَى وَبِالْعَكْسِ فَسُمِّيَ لَفْظِيًّا مِنْ حَيْثُ النَّظْرِ إِلَى الْلَفْظِ وَمَعْنَوِيًا مِنْ حِيْثُ النَّظْرِ إِلَى الْمَعْنَى فَلَعَلَّهُ مُجَرَّدُ اِصْطِلَاحٍ لَهُ (اَلنَّفَحَاتُ ص 144)
“Ibnu Qasim berkomentar bagi seseorang dapat menyatakan bahwa tidak dibutuhkan menganggap kecacatan sejenis lafadz dikarenakan sudah dicukupkan dengan adanya kecacatan ma’nawiy. Sebab kecacatan ma’nawiy sudah memuat terhadap kececatan lafdzi, karena bisa saja adanya ma’na dari kasus yang  di’illati tanpa adanya hukum didalam kasus yang dijelaskan mushannif dengan istilah cacat lafdziy ….. dapat ditanggapi dari sisi ungkapan mushannif, bahwa mushannif membagi cacat dalam dua bagian, yaitu cacat lafdzi dan cacat ma’nawiy, sebab bila dilihat dari tidak adanya hukum dari segi lafadz, maka dinamakan cacat lafdzi dan jika dilihat dari segi ma’nawiy, maka dinamakan cacat ma’nawiy. Walaupun jika terjadi cacat dari salah satunya, maka juga menetapkan cacat pulapada segi yang lain. Sebab setiap terjadi ketiadaan hukum dari sesuatu yang menunjukkan (lafadz), maka itu berarti pula ketiadaan hukum dari sesuatu yang ditunjukkan (makna)nya, begitupun sebaliknya. Maka dinamakan sejenis lafdzi dari segi lafadz dan sejenis ma’na dari segi ma’nanya. Sehingga kemungkinan ini hanyalah istilah semata dari mushannif”. 

(وَمِنْ شَرْطِ الْحُكْمِ أَن يَكُوْنَ  مِثْلَ الْعِلَّةِ فِي النَّفْيِ وَالْإِثْبَاتِ) أَيْ تَابِعًا  لَهَا  فِي ذَلِكَ  إِنْ  وُجِدَتْ  وُجِدَ

Di antara syarat hukum haruslah menyamai ‘illat dalam segi wujud dan tidaknya. Maksudnya menyamai ‘illat di dalam hal wujud dan tidaknya, Jika ‘illat ditemukan maka ditemukan  pula  hukum

وَإِنْ انْتَفَتْ انْتَفَى
(وَالْعِلَّةُ هِيَ الْجَالِبَةُ لِلْحُكْمِ) بِمُنَاسَبَتِهَا لَهُ (وَالْحُكْمُ هُوَ الْمَجْلُوْبُ لِلْعِلَّةِ) لمِاَ ذُكِرَ

dan jika ‘illat tidak ada maka tidak ada hukum pula.
Dan ‘illat adalah sesuatu yang mendatangkan hukum sebab adanya keserasian pada hukum. Sedangkan hukum adalah sesuatu yang didatangkan oleh ‘illat, karena alasan tersebut di atas.

Penjelasan :
Hukum kasus asal disyaratkan harus selalu menyertai ‘illat, baik tatkala ditemukannya ‘illat ataupun tidak. Sebagaimana isykaar yang menjadi ‘illat dari hukum diharamkannya khamr, maka tatkala ‘illat isykaar ditemukan pada sesuatu, maka hukum haram harus ditetapkan juga. Hal ini senada dengan sebuah kaidah :
فَإِنَّ الْحُكْمَ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ وَسَبَبِهِ وُجُودًا وَعَدَمًا
“Sesungguhnya hukum selalu menyertai ‘illat dan sebabnya dari segi wujud dan tidaknya”.

Dan selaras dengan ungkapan mushannif :
وَالْعِلَّةُ هِيَ الْجَالِبَةُ لِلْحُكْمِ بِمُنَاسَبَتِهَا لَهُ وَالْحُكْمُ هُوَ الْمَجْلُوْبُ لِلْعِلَّةِ لمِاَ ذُكِرَ
“‘Illat adalah yang mendatangkan hukum sedangkan hukum adalah yang didatangkan oleh ‘illat”.


[1][66] Lathaif al-Isyarah hal 51
[2][67] Lathaif al-Isyarah hal 52
[3][68] Lathaif al-Isyarah hal 137 
[4][69] An-Nafahat hal 137

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا

Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy

 *Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy* Maklum diketahui bahwa ketika seseorang mengadakan acara walimah, maka penganten, bahkan ibu penganten dan keluarga terdekat, merias wajah dengan make up yang cukup tebal. Acara walimah ini biasanya memakan waktu berjam-jam bahkan tak jarang belum selesai sampai waktu shalat tiba. Maka bagaimanakah tata cara thaharah dan shalat bagi wanita yang memakai riasan ini? Solusi 1: Menghapus riasan wajah dan shalat sesuai waktunya Perlu diketahui bahwa salah satu syarat sah wudhu adalah tidak terdapat hal yang menghalangi tersampainya air wudhu ke anggota badan yang wajib dibasuh, tentu penggunaan make up yang tebal sudah pasti menghalangi air wudhu. Maka bagi wanita yang memakai riasan pengantin tersebut tidak boleh berwudhu kecuali sudah menghapus bersih riasan yang ada di wajah, sehingga yakin jika air wudhu benar-benar mengenai anggota wudhu, tidak cukup hanya dengan mengalirkan air tanpa terlebih dahulu menghapus make up nya seperti yan