QIYAS (ANALOGI)
وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَهُوَ رَدُّ الْفَرْعِ إِلَى
الْأَصْلِ بِعِلَّةٍ تَجْمَعُهُمَا فِى الْحُكْمِ كَقِيَاسِ الْأَرُزِّ عَلَى
الْبُرِّ فِى الرِّبَا بِجَامِعِ الطُّعْمِ
|
|
Qiyas
adalah menyamakan kasus cabangan terhadap kasus asal karena adanya ‘illat
(kausa) yang menyatukan keduanya dalam suatu hukum. Sebagaimana
mengqiyaskan al-aruz (beras) terhadap al-burr (gandum) di dalam
hukum riba, dikarenakan adanya jami’ (titik temu) al-thu’mu
(makanan).
|
Penjelasan
:
Qiyas merupakan salah
satu dari empat dalil syara’. Qiyas juga dijadikan
sebagai hujjah dalam masalah-masalah agama dan selainnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT.
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Maka ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang memiliki
pandangan”. (QS. Al-Hasyr : 02) [1][66]
Arti qiyas secara lughat (bahasa) dapat
diartikan at-taqdir (mengukur), seperti :
قِسْتُ اَلثَّوْبَ بِالذِّرَاعِ
“Aku mengukur
baju dengan ukuran dzira`“
Dan dapat juga
diartikan at-tasybiih (menyerupakan),
seperti :
يُقَاسُ اَلْمَرْءُ بِالْمَرْءِ
Sedangkan secara istilah, qiyas adalah
menyerupakan suatu kasus cabangan (al-far’u) dengan kasus asal (al-ashlu)
didalam sebuah hukum dikarenakan adanya suatu ‘illat yang menyatukan
keduanya.
Rukun qiyas ada empat
1.
Al-Ashlu (kasus asal).
2.
Al-Far’u (kasus
cabangan).
3.
Hukmul ashli (hukum kasus asal).
Pertanyaan :
Apakah yang dikehendaki dengan al-Ashlu?
Jawab :
Al-Ashlu (kasus asal) adalah suatu kasus yang telah diketahui
ketetapan hukumnya. Kasus asal ini dikenal pula dengan nama al-maqis ‘alaih
(kasus yang diqiyasi).
Referensi :
(قَوْلُهُ إِلَى الْأَصْلِ) وَهُوَ الْمَحَلُّ الَّذِيْ عُلِمَ
ثُبُوْتُ الْحُكْمِ فِيْهِ
(اَلنَّفَحَاتُ
صـ 137)
“(Ungkapan
Pengarang terhadap kasus asal), kasus asal adalah obyek kasus yang telah
diketahui ketetapan hukumnya”
Pertanyaan :
Apakah pengertian al-far’u?
Jawab :
Al-far’u (kasus
cabangan) adalah suatu kasus yang dikehendaki untuk ditetapkan hukumnya. Kasus
cabangan ini dikenal pula dengan nama al-Maqis (yang diqiyaskan).
Referensi :
(قَوْلُهُ رَدُّ الفَرْعِ) وَهُوَ الْمَحَلُّ الَّذِيْ أُرِيْدَ
إِثْبَاتُ الْحُكْمِ فِيْهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 137)
“(Ungkapan
Pengarang mengembalikan kasus cabangan), kasus cabangan adalah obyek kasus yang
dikehendaki untuk dicarikan ketetapan hukumnya”
Pertanyaan :
Apakah yang dikehendaki dengan hukmul ashli itu
?
Jawab :
Hukmul ashli (hukum kasus asal) adalah hukum yang telah ditetapkan
terhadap kasus asal, baik berdasarkan al-Qur`an, al-Hadits maupun al-Ijma`.
Referensi :
الْحُكْمُ هُوَ مَا وَرَدَ
بِهِ الْنَصُّ أَوِ الْإِجْمَاعُ عِنْدَ مَنْ يَعْتَبِرُ الْإِجْمَاعَ الْأَصْلَ
اَلَّذِي اُعْتُبِرَتْ فِيْهِ الْمُشَابَهَةُ الَّتِيْ أَوْجَبَتْ الْقِيَاسَ )أُصُوْلُ الفِقْهِ لِأَبِي زَهْرَةَ صـ 232(
“Hukum asal
adalah suatu hukum yang terdapat dalam kasus asal yang ditetapkan melalui nash
ataupun ijma’ menurut ulama yang mengakuinya sebagai dalil asal yang didalamnya
dipertimbangkan adanya sisi keserupaan yang menetapkan terhadap qiyas.”
Pertanyaan
:
Apakah yang dimaksud dengan ‘illatul hukmil ashli
itu ?
Jawab :
‘Illatul hukmil
ashli (alasan hukum kasus asal) adalah alasan dari
ditetapkannya hukum pada kasus asal.
Referensi :
الْعِلَّةُ
هِيَ الَّتِي لِأَجْلِهَا ثَبَتَ الْحُكْمُ وَقِيلَ : الصِّفَةُ الْجَالِبَةُ
لِلْحُكْمِ (البَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ الثَّانِي صـ 265)
“‘Illat adalah suatu
sifat yang mana dengannya sebuah hukum ditetapkan, dan menurut pendapat lain,
‘illat adalah sebuah sifat yang dapat menarik terhadap suatu hukum”.
Pertanyaan
:
Bagaimanakah gambaran operasionalisasi dan contoh
qiyas?
Jawab :
Contoh, menyamakan al-aruz
(beras) dengan al-burr (gandum) dalam
masalah ribawi, dikarenakan antara al-aruz
dengan al-burr ada satu kesamaan
sebagai makanan (al-thu’mu). Dari contoh di atas diketahui bahwasanya ;
§ Al-Aruz adalah al-far’u,
al-maqis (kasus cabangan, yang diqiyaskan).
§ Al-Burr adalah
al-ashlu, al-maqis ‘Alaih (kasus asal, yang diqiyasi).
§ Ribawi adalah hukmul ashli (hukum kasus asal).
§ At-Thu’mu (makanan)
adalah ‘illatul hukmil ashli (alasan hukum dari kasus asal).
Referensi
:
وَاعْلَمْ أَنَّ أَرْكَانَ
اْلقِيَاسِ أَرْبَعَةٌ مَقِيْسٌ عَلَيْهِ وَمَقِيْسٌ وَمَعْنًى مُشْتَرَكٌ
بَيْنَهُمَا وَحُكْمٌ ِللْمَقِيْسِ عَلَيْهِ يَتَعَدَّى بِوَاسِطَةِ الْمُشْتَرَكِ
إِلَى اْلمَقِيْسِ فَاْلأَرُزُّ هَذَا اْلمَقِيْسُ وَاْلبُرُّ الْمَقِيُسُ
عَلَيْهِ لِوُرُوْدِ النَّصِّ فِيْهِ وَالرِّبَا حُكْمُ المَقِيْسِ عَلَيْهِ
الَّذِيْ يَتَعَدَّى بِوَاسِطَةِ الْمُشْتَرَكِ الَّذِيْ هُوَ الطَّعْمُ إِلَى
اْلمَقِيْسِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 137)
“Ketahuilah
sesungguhnya rukun qiyas ada empat : maqis ‘alaih (yang diqiyasi), maqis (yang
diqiyaskan), makna yang bersekutu diantara maqis dan maqis ‘alaih (‘illat),
hukum yang ditetapkan terhadap maqis ‘alaih yang akan menjalar terhadap maqis dengan lantaran
adanya sifat yang bersekutu (‘illat). Maka beras dalam contoh ini adalah
al-maqis (yang diqiyaskan) sedang al-Burr (gandum) adalah al-maqis ‘alaih (yang diqiyasi) dikarenakan telah
ditetapkan dalil nash dalam kasus ini dan riba adalah hukum yang terdapat dalam
maqis ‘alaih yang menjalar terhadap maqis dengan perantara al-musytarak (sesuatu
sifat yang bersekutu, ‘illat) yaitu at-thu’mu”.
Pertanyaan :
Apa sebenarnya maudhu’ (sasaran) dari qiyas?
Jawab :
Sasaran (maudhu’) dari qiyas adalah mencari
hukum dari beberapa kasus cabangan yang masih didiamkan hukumnya dari beberapa
kasus asal yang berupa dalil nash dengan adanya ‘illat yang diperoleh dari
ma’na dalil nash tersebut untuk mempertemukan kasus cabangan dengan kasus asal.
Referensi :
الْبَابُ الثَّانِي فِي
مَوْضُوعِهِ قَالَ الرُّويَانِيُّ : وَمَوْضُوعُهُ طَلَبُ أَحْكَامِ الْفُرُوعِ الْمَسْكُوتِ
عَنْهَا مِنْ الْأُصُولِ الْمَنْصُوصَةِ بِالْعِلَلِ الْمُسْتَنْبَطَةِ مِنْ
مَعَانِيهَا لِيَلْحَقَ كُلُّ فَرْعٍ بِأَصْلِهِ (البَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ
السَّادِسُ صـ 217).
“Bab yang kedua
di dalam menerangkan maudhu’ (sasaran, obyek) qiyas, Imam Ar-Rauyani
berkomentar “sasaran dari qiyas adalah mencari hukum-hukum kasus cabangan yang
masih didiamkan syara’ dari beberapa asal dengan berbekal beberapa ‘illat yang
didapat dari makna dalil nash, supaya kasus cabangan dapat ditemukan, disamakan
dengan kasus asal”.
(وَهُوَ
يَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ إِلَى قِيَاسِ عِلَّةٍ وَقِيَاسِ
دَلَالَةٍ وَقِيَاسِ شَبَهٍ
|
|
Qiyas terbagi
menjadi tiga macam; qiyas ‘illah, qiyas dalalah, dan qiyas syabh.
Qiyas ‘illah
adalah suatu qiyas yang didasarkan
terhadap ‘illat (yang terdapat
|
فَقِيَاسُ الْعِلَّةِ مَاكَانَتْ اَلْعِلَّةُ فِيْهِ
مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ) بِحَيْثُ لاَيَحْسُنُ عَقْلاً تَخَلُّفُهُ عَنْهَا
كَقِيَاسِ الضَّرْبِ عَلَى التَّأْفِيْفِ لِلْوَالِدَيْنِ فِى التَّحْرِيْمِ
لِعِلَّةِ الْإِيْذَاءِ
|
|
pada kasus asal) yang dapat menetapkan
suatu hukum (terhadap far’u), sekira secara akal tidak dianggap baik
adanya hukum tersebut tidak ditetapkan ketika ‘illat ditemukan (di
dalam far’u), sebagaimana mengqiyaskan memukul terhadap kedua orang
tua terhadap berkata keras atau kasar karena ditemukan adanya ‘illat idza`(menyakitkan)
|
Penjelasan
:
Al-Qiyas terbagi menjadi tiga macam :
1. Qiyas ‘illat, 2. Qiyas dalalah,
3. Qiyas syabah.
Qiyas ‘illat
yang juga dapat disebut dengan qiyas ma’na adalah suatu bentuk
pengqiyasan dengan berdasarkan sebuah ‘illat yang mengharuskan tetapnya hukum
terhadap kasus cabangan. Seperti mengqiyaskan berkata kasar (yang diharamkan lewat dalil al-Qur`an)
dengan pekerjaan lain, seperti memukul. Contoh qiyas ‘illah adalah mengqiyaskan
memukul kedua orang tua terhadap haramnya berkata kasar (seperti ah, cih).
Allah SWT berfirman dalam QS. al-Isra`:23:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
"ah,cih”. [QS. Al-Israa` 23].
Dari ayat di atas Allah mengharamkan berkata ‘ah’,
‘cih’ terhadap kedua orang tua, dikarenakan perkataan tersebut menyebabkan idzaa` (menyakitkan hati) keduanya.
Sedangkan ‘illat idza` ini juga ditemukan dalam memukul, Bahkan bentuk idzaa` yang terdapat dalam memukul lebih
sempurna dibanding berkata ‘ah’, ‘cih’. Sehingga secara akal tidak layak jika
hukum haram berkata ‘ah’, ‘cih’ terhadap kedua orang tua tidak ditetapkan pula
terhadap memukul kepada keduanya[4][69].
Pertanyaan :
Penetapan haramnya memukul orang tua apakah hanya
melalui jalan qiyas ‘illat ?
Jawab :
Tidak, pada dasarnya ulama berbeda pendapat dalam
metode penetapan keharaman memukul orang tua, yakni;
1.
Metode qiyas, ini menurut riwayat Imam ar-Razi dan lainnya.
2.
Metode mafhum muwafaqah (kecocokan kefahaman), menurut suatu
pendapat (qil) dan di-nuqil dalam kitab al-Burhan dari
mayoritas ulama ushul.
3.
Metode manthuq (tekstual), yaitu mengarahkan perkataan kotor pada
setiap bentuk hal yang menyakitkan, menurut suatu pendapat (qil).
Referensi :
وَمَا أَفَادَهُ هَذَا
اْلكَلَامُ مِنْ أَنَّ ثُبُوْتَ الْحُكْمِ فِيْ اْلفَرْعِ فِيْ هَذَا اْلقَسْمِ
بِطَرِيْقِ اْلقِيَاسِ مَا حَكَاهُ الرَّازِيْ وَغَيْرُهُ وَقِيْلَ بِطَرِيْقِ
مَفْهُوْمِ اْلمُوَافَقَةِ وَنَقَلَهُ فِي اْلبُرْهَانِ عَنْ مُعْظَمِ
اْلأُصُوْلِيِيْنَ وَقِيْلَ بِطَرِيْقِ الْمَنْطُوْقِ بِأَنْ نُقِلَ
اَلتَّـأْفِيْفُ مَثَلًا عُرْفًا إِلَى أَنْوَاعِ اْلإِيْذَاءِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ
138)
“Kefahaman dari
ungkapan ini, yaitu tetapnya hukum pada
far’u dalam pembagian ini adalah dengan metode qiyas adalah pendapat yang
diriwayatkan oleh ar-Razi dan selainnya. Dan menurut satu pendapat adalah
dengan metode mafhum muwafaqah, dan pendapat ini di nuqil dalam kitab al-Burhan
dari mayoritas ulama ushul. Dan metode manthuq (tekstual), yaitu mengarahkan
perkataan kotor terhadap setiap bentuk hal yang menyakitkan, menurut suatu
pendapat (qil)”.
(وَقِيَاسُ الدَّلَالَةِ هُوَ اَلْإِسْتِدْلَالُ
بِأَحَدِ اْلنَّظَرَيْنِ عَلَى الآخَرِ وَهُوَ أَنْ تَكُوْنَ اَلْعِلَّةُ
دَالَّةً عَلَى الْحُكْمِ وَ لَاتَكُوْنَ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ) كَقِيَاسِ
مَالِ الصَّبِيِّ عَلَى مَالِ اْلبَالِغِ فِي وُجُوْبِ الزَّكَاةِ فِيْهِ
بِجَامِعِ أَنَّهُ مَالٌ نَامٍ وَيَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لَا يَجِبُ فِيْ مَالِ
الصَّبِيْ كَمَا قَالَ بِهِ أَبُوْ حَنِيْفَةَ فِيْهِ
|
|
Qiyas dalalah
adalah mengambil dalil dengan salah satu dari dua hal yang memiliki kesamaan
atas hal yang lain, yaitu jika adanya ‘illat menunjukkan atas hukum namun
tidak menetapkan terhadap hukum. Seperti mengqiyaskan hartanya anak kecil
terhadap hartanya orang dewasa (baligh) dalam kasus zakat, dikarenakan adanya
titik temu sama-sama harta yang berkembang. Dan dapat juga diperbolehkan
bahwasanya hartanya anak kecil tidak wajib untuk dizakati, sebagaimana
pendapat Imam Abu Hanifah
|
Penjelasan
:
Qiyas dalalah
adalah sebuah bentuk pengqiyasan yang didasarkan atas suatu ‘illat, namun
‘illat di sini tidak sampai menetapkan terhadap hukum, tetapi hanya sebatas
sebagai petunjuk keberadaan hukum.
Contoh
qiyas dalalah adalah mengqiyaskan harta anak kecil (shobiy) dengan harta
orang dewasa (baligh) dalam hal wajibnya zakat dengan ‘illat sama-sama termasuk
harta yang berkembang (an-numuw). Namun
‘illat yang juga ditemukan pada far’u (harta anak kecil) ini tidak bisa serta
merta menetapkan kewajiban zakat atas hartanya. Hanya saja ‘illat tersebut digunakan sebagai bukti
kewajiban zakat atas hartanya. Sehingga dikatakan bahwa harta anak kecil wajib
dizakati dengan diqiyaskan terhadap harta orang dewasa, karena keduanya
sama-sama harta yang berkembang.
Pertanyaan :
Apa konsekwensi dari penjelasan di atas ?
Jawab :
Konsekwensinya, Dikarenakan ‘illat dalam qiyas dalalah
ini tidak sampai menetapkan hukum, tapi hanya sebatas sebagai bukti atau
petunjuk atas hukum, maka tidak dianggap buruk secara akal jika hukum kasus
cabangan (far’u) tidak sama dengan hukum kasus asal. Sebagaimana dalam kasus
harta anak kecil di atas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwasanya harta anak
kecil tidak wajib dizakati, karena diqiyaskan dengan masalah haji, yaitu wajib
atas orang dewasa namun tidak wajib atas anak kecil.
Referensi :
وَهَذَا النَّوْعُ غَالِبُ
أَنْوَاعِ اْلأَقِيْسَةِ وَهُوَ مَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ فِيْهِ لِعِلَّةٍ
مُسْتَنْبَطَةٍ يَجُوْزُ أَنْ يَتَرَتَّبَ الْحُكْمُ عَلَيْهَا فِي اْلفَرْعِ
وَيَجُوْزُ أَنْ يَتَخَلَّفَ وَهَذَا النَّوْعُ أَضْعَفُ مِنَ اْلأَوَّلِ فَإِنَّ
اْلعِلَّةَ فِيْهِ دَالَةٌ عَلَى الْحُكْمِ وَلَيْسَتْ ظَاهِرَةً فِيْهِ ظُهُوْرًا
لَا يَحْسُنُ مَعَهُ تَخَلُّفُ الْحُكْمِ وَذَلِكَ كَقِيَاسِ مَالِ الصَّبِيْ
عَلَى مَالِ الْبَالِغِ فِيْ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ فِيْهِ بِجَامِعِ أَنَّهُ دَفْعُ حَاجَةِ اْلفَقِيْرِ بِجُزْءٍ مِنْ
مَالٍ نَامٍ كَمَا قَالَ النَّاظِمُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى "كَقَوْلِنَا
مَالُ الصَّبِيِّ تَلْزَمُ * زَكَاتُهُ كَبَالِغٍ أَيْ لِلْنُّمُوِّ فَالْجَامِعُ
كَوْنُهُ مَالًا نَامِيًا كَمَا عَلِمْتَ وَهَذَا هُوَ عِلَّةُ الْحُكْمِ وَيُمْكِنُ
تَخَلُّفُهُ عَنْهَا فِيْ مَالِ الصَّبِيِّ فَيُقَالُ مِنْ غَيْرِ اسْتِقْبَاحٍ
لَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِيْهِ كَمَا قَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ بِالْقِيَاسِ عَلَى
الْحَجِّ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَى اْلبَالِغِ وَلَا يَجِبُ عَلَى الصَّبِيِّ .
(لَطَائِفُ الإِشاَرَاتِ صـ 53)
“Qiyas jenis ini
adalah yang paling sering dari berbagai macam bentuk qiyas, yaitu suatu qiyas
yang mana ketetapan hukumnya disebabkan adanya ‘illat yang digali dari nash
yang diperbolehkan untuk menjalarkannya pada far’u, dan juga boleh untuk tidak
menjalar pada far’u. Jenis qiyas ini lebih lemah dibanding qiyas yang pertama.
Karena ‘illat pada qiyas ini adalah ‘illat yang menunjukkan atas hukum, namun
tidak jelas yang sekiranya tidak dianggap baik untuk menyalahi hukum kasus
asal. Sebagaimana mengqiyaskan harta anak kecil pada harta orang dewasa, dalam
hal wajib zakat, dengan adanya persamaan (al-Jami’) mampu memenuhi kebutuhan
orang fakir dengan satu bagian dari harta yang dapat berkembang. Sebagaimana
ungkapan an-Nadhim “sebagaimana ungkapan kita harta anak kecil wajib dizakati
sebagaimana harta orang dewasa, maksudnya karena harta tersebut berkembang.
Maka titik temu (al-Jami’) nya adalah sama–sama harta yang berkembang. Dan ini
adalah ‘illat dari ditetapkannya hukum. Dan memungkinkan juga untuk
menyalahinya, maka dapat dikatakan (tanpa ada unsur mengejek) “tidak wajib
zakat atas harta anak kecil” sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Abu Hanifah
dengan diqiyaskan terhadap haji, sesungguhnya haji wajib atas orang dewasa dan
tidak wajib atas anak kecil”.
Pertanyaan :
Mengapa dinamakan dengan qiyas dalalah?
Jawab :
Sebab al-Jami’ (titik temu) yang terdapat pada qiyas
ini bukanlah jati diri ‘illat itu
sendiri (nafsul ‘illat), namun hanya sebatas dalil (petunjuk) saja.
Referensi :
النَّوْعُ الرَّابِعُ قِيَاسُ
الدَّلَالَةِ وهو أَنْ يَكُونَ الْجَامِعُ
وَصْفًا لَازِمًا من لَوَازِمِ الْعِلَّةَ أو أَثَرًا من آثَارِهَا أو حُكْمًا من
أَحْكَامِهَا سُمِّيَ بِذَلِكَ لِكَوْنِ الْمَذْكُورِ في الْجَمِيعِ دَلِيلَ
الْعِلَّةِ لَا نَفْسَ الْعِلَّةِ (البَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ الرَّابِعُ صـ
44)
“Macam ke empat
adalah qiyas ad-dalalah, yaitu bilamana al-Jami’ (titik temu)nya berupa sifat
lazim (menetap) dari beberapa kelaziman ‘illat, atau dampak (atsar) dari
beberapa dampak illat, atau hukum dari beberapa hukumnya ‘illat. Dinamakan
qiyas ad-dalaalah dikarenakan hal tersebut adalah petunjuk (dalil) dari ‘illat
bukan ‘illatnya sendiri”.
Pertanyaan :
Apakah perbedaan antara qiyas illat dengan qiyas
dilalah?
Jawab :
Dalam qiyas dilalah, ‘illat tidak mewajibkan
adanya hukum karena secara akal tidak dianggap cacat seumpama hukum yang
terdapat pada asal tidak terjadi pada far’u.
Versi Jam’u al-Jawami’, qiyas ‘illat adalah
suatu pengqiyasan dengan langsung menyebutkan ‘illatnya. Dimana ‘illat tersebut
menjadi titik temu antara asal dan far’u. Seperti nabidz adalah haram
sebagaimana khamr, karena memabukkan. Sedangkan qiyas dalalah ialah suatu
pengqiyasan dengan menyebutkan sifat yang selalu melekat pada ‘illat yang
sebenarnya, atau menyebutkan salah satu dari pengaruh ‘illat, atau menyebutkan
salah satu hukum ‘illat.
Referensi :
(قَوْلُهُ وَيَجُوْزُ ) هَذَا
بَيَانٌ لِلْفَارِقِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِيَاسِ الْعِلَّةِ أَيْ أَنَّهُ وَإِنْ
وُجِدَتْ الْعِلَّةُ هُنَا فِيْ كُلٍّ مِنَ الْمَقِيْسِ وَالْمَقِيْسِ عَلَيْهِ
لَكِنْ الْعِلَّةُ هُنَا غَيْرُ مُوْجِبَةٍ لِلْحُكْمِ لِأَنَّ الْعَقْلَ يَجُوْزُ
تَخَالُفَ الْحُكْمِ عَنِ الْفَرْعِ مِنْ غَيْرِ قُبْحٍ لِكَوْنِ مَالِكِ الْمَالِ
فِيْ الْفَرْعِ صَبْيًّا فَيَحْتَمِلُ وُجُوْدُ فَرْقٍ بَيْنَ مَالِ الصَّبِيِّ
وَمَالِ الْبَالِغِ بِأَنَّ الْمَالِكَيْنِ مَخْتَلِفَانِ فِيْ التَّكْلِيْفِ
وَعَدَمِهِ هَذَا وَفِيْ جَمْعِ الْجَوَامِعِ أَنَّ قِيَاسَ الْعِلَّةِ مَا
صَرَّحَ فِيْهِ بِهَا كَأَنْ يُقَالَ يَحْرُمُ النَّبِيْذُ كَالْخَمْرِ
لِلْإِسْكَارِ وَقِيَاسَ الدِّلَالَةِ مَا جُمِعَ فِيْهِ بِلَازِمِهَا أَوْ
بِأَثَرِهَا أَوْ بِحُكْمِهَا مِثَالُ الْأَوَّلِ أَنْ يُقَالَ النَّبِيْذُ
حَرَامٌ كَالْخَمْرِ بِجَامِعِ الرَّائِحَةِ الْمُشْتَدَّةِ هِيَ لَازِمَةٌ
لِلْإِسْكَارِ وَمِثَالُ الثَّانِيْ بِمُثَقَّلٍ يُوْجِبُ الْقِصَاصَ كَالْقَتْلِ
بِمُحَدِّدِ بِجَامِعِ الْإِثْمِ وَهُوَ أَثَرُ الْعِلَّةِ الَّتِيْ هِيَ
الْقَتْلُ الْعَمْدُ الَعُدْوَانُ وَمِثَالُ الثَّالِثُ تُقْطَعُ الْجَمَاعَةُ
بِوَاحِدٍ كَمَا يُقْتَلُوْنَ بِهِ بِجَامِعِ وُجُوْدِ الدِّيَّةِ عَلَيْهِمْ فِيْ
ذَلِكَ حَيْثُ كَانَ غَيْرَ عَمْدٍ وَهُوَ حُكْمُ الْعِلَّةِ الَّتِيْ هِيَ
الْقَطْعُ مِنْهُمْ فِيْ صُوْرَةِ الْأُوْلَى وَالْقَتْلُ مِنْهُمْ فِيْ صُوْرَةِ
الثَّانِيَةْ (النَّفَحَاتُ صـ 138)
“(perkataan pengarang : diperbolehkan) ini merupakan perbedaan antara qiyas
dilalah dengan qiyas ilat. Walaupun kedua qiyas tersebut sama-sama adanya ilat
dalam maqis dan maqis alaih, hanya saja dalam qiyas dilalah ilatnya tidak
mewajibkan adanya hukum karena secara akal tidak dianggap cacat seumpama hukum
yang terdapat pada asal tidak terjadi pada far’u. Hal ini karena pemilik harta
dalam far’u ialah anak kecil sedang dalam asal ialah orang dewasa. Sehingga
mungkin ada perbedaan antara hartanya anak kecil dengan orang dewasa, yakni
keduanya berbeda dalam taklif dan tidaknya. Sedangkan keterangan dalam kitab
jam’ul jawami’ mengenai masalah perbedaan qiyas ilat dengan qiyas dilalah
sebagai berikut: “Qiyas illat yaitu suatu suatu pengqiyasan dengan langsung
menyebutkan ilatnya, yang ilat tersebut menjadi titik temu di antara asal dan
far’u, seperti nabidz adalah haram seperti khamr, karena memabukkan. Sedangkan
qiyas dilalah ialah suatu pengqiyasan dengan menyebutkan sifat yang selalu
melekat pada ilat yang sebenarnya, atau menyebutkan salah satu dari pengaruh
ilat, atau menyebutkan salah satu hukum ilat. Contoh pertama mengqiyaskan
nabidz dengan khamr dengan adanya titik temu berupa bau menyengat yang
merupakan sifat yang melekat pada ilat yakni (ilat yang berupa iskar). Contoh
kedua adanya qisos pembunuhan dengan memakai benda tumpul dengan diqiyaskan
pada pembunuhan dengan benda tajam dengan titik temu yang berupa dosa besar.
Dosa besar bukanlah ilat yang sebenarnya tapi sebuah pengaruh dari ilat dan
ilat sebenarnya ialah pembunuhan dengan sengaja secara penganiyaan. Contoh yang
ketiga dipotong tangannya beberapa orang karena mereka memotong tangan
seseorang. Diqiyaskan dengan dibunuhnya beberapa orang karena mereka membunuh
satu orang, dengan titik temu berupa wajibnya membayar diyat (jika pembunuhanya
tidak disengaja). Wajibnya membayar diyat sebenarnya bukan ilat tapi hukum dari
ilat. Dan yakni ilat sebenarnya ialah memotongan dalam kasus pertama
(pemotongan tangan) dan membunuh dalam kasus kedua (pembunuhan)”
(وَقِياَس الشَّبَهِ هُوَ اْلفَرْعُ اْلمُرَدِّدُ
بَيْنَ أَصْلَيْنِ فَيُلْحَقُ بِأَكْثَرِهِمَا شِبْهًا) كَمَا فِي اْلعَبْدِ
إِذَا أُتْلِفَ فَإِنَّهُ مُرَدِّدٌ فِي الضَّمَانِ بَيْنَ اْلإِنْسَانِ
الْحُرِّ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ آدَميٌّ وَبَيْنَ اْلبَهِيْمَةِ مِنْ حَيْثُ
أَنَّهُ مَالٌ وَهُوَ بِالْمَالِ أَكْثَرُ شِبْهًا مِنَ الْحُرِّ بِدَلِيْلِ
أَنَّهُ يُبَاعُ وَيُوْرَثُ وَيُوْقَفُ وَتُضَمَّنُ أَجْزَاؤُهُ بِمَا نَقَصَ
مِنْ قِيْمَتِهِ
|
|
Qiyas syabah
adalah qiyas dimana al-far’u berkutat antara dua kasus asal, maka al-far’u
disamakan dengan kasus asal yang lebih banyak keserupaannya. Seperti dalam
kasus ‘abd (budak) ketika mengalami kerusakan, maka dalam hal dhaman
(ganti rugi) budak tersebut mempunyai kemiripan antara orang merdeka
(al-hurr) dan binatang (al-bahimah) dari statusnya sebagai harta
benda. Dan kemiripan dengan harta benda lebih banyak dibanding kemiripan
dengan orang merdeka. Dengan bukti, budak bisa diperjualbelikan, diwariskan
dan diwakafkan. Sehingga juz dari budak diganti sesuai kadar harganya yang
berkurang (akibat luka tersebut).
|
Penjelasan
:
Qiyas Syabah adalah
sebuah bentuk pengqiyasan dimana al-far’u
jika dilihat dari segi sifat-sifat yang ada memiliki keserupaan dengan dua
ashl. Dan selanjutnya al-far’u disamakan dengan
salah satu ashl yang memiliki lebih banyak kemiripan dengannya.
Sebagaimana dalam kasus budak yang memiliki dua sifat
yaitu ; harta sebab ia dimiliki oleh tuannya dan manusia karena ia juga
memiliki sifat sebagai manusia. Maka ketika ia dibunuh lantas apakah ia
diserupakan dengan binatang ternak ataukah disamakan dengan manusia?. Dalam
kasus ini mayoritas ulama cenderung memilih menyamakan budak dengan binatang
ternak dikarenakan sisi kesamaan antara budak dengan binatang ternak lebih
banyak dibanding jika disamakan dengan manusia merdeka. Sebab seorang budak
boleh untuk diperjualbelikan, diwakafkan dan diwaris sebagaimana binatang ternak.
Sehingga konsekwensinya bagi orang yang membunuh budak tersebut harus membayar
denda (dhaman) sebesar nominal (qimah) dari harga budak tersebut,
sebagaimana jika ia merusak harta benda orang lain.
وَمِنْ شَرْطِ الْفَرْعِ أَنْ يَكُوْنَ مُنَاسِبًا لِلْأَصْلِ فِيْمَا يُجْمَعُ بِهِ
بَيْنَهُمَا لِلْحُكْمِ أَيْ أَنْ يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا بِمُنَاسِبٍ لِلْحُكْمِ
|
|
Di
antara
syarat kasus cabangan adalah harus serasi, cocok dengan kasus asal di dalam
alasan (‘illat) yang menyatukan keduanya dalam satu hukum. Artinya keduanya
dikumpulkan dengan illat yang serasi dengan hukumnya.
|
Penjelasan :
Far’u disyaratkan harus serasi (munasabah) dengan ashl
dalam ‘illat yang menyatukannya. Seperti dalam kasus nabidz (tuak) yang
diqiyaskan dengan khamr. Far’u dalam hal ini adalah nabidz
memiliki kesamaan, keserasian dengan ashl yakni khamr dalam
masalah iskar (memabukkan).
Pertanyaan :
Dalam ungkapan pengarang, sisi munasabah
(keserasian) manakah yang dikehendaki?
Jawab :
Dalam perkataan pengarang tidak secara jelas
menentukan sisi munasabah antara far’u dengan ashl. Namun, Syaikh Ahmad
bin Abdul Lathif dalam an-Nafahat
menyatakan bahwa yang dikehendaki dari munasabah adalah munasabah
dari sisi ‘illatnya. Maksudnya, ‘illat hukumnya harus serasi, sama antara ashl
dan far’u.
Contoh, seperti ‘illat iskar (memabukkan) yang terdapat pada hukum haramnya khamr,
ternyata juga serasi dengan apa yang terdapat dalam nabidz (perasan selain anggur).
Referensi :
(قَوْلُهُ أَنْ يَكُوْنَ
مُنَاسِبًا لِلْأَصْلِ) أَيْ الْمَحَلِّ الْمُشَبَّهِ بِهِ فَيَظْهُرُ مِنْ هَذِهِ
اْلعِبَارَاةِ اِشْتِرَاطُ أَنْ يَكُوْنَ بَيْنَ الْفَرْعِ وَاْلأَصْلِ
مُنَاسَبَةٌ لَكِنْ لَا يُفْهَمُ مِنْ كَلَامِهِ صَرِيْحًا بَيَانُ كَوْنِ
اْلمُنَاسَبَةِ بَيْنَهُمَا فِيْمَاذَا وَاْلأَظْهَرُ أََنَّ اْلمُرَادَ
الْمُنَاسَبَةُ فِي اْلعِلَّةِ أَيْ بِأَنْ يَكُوْنَ عِلَّةُ الْحُكْمِ مُنَاسِبًا
لِكُلٍّ مِنَ اْلأَصْلِ وَاْلفَرْعِ كِاْلإِسْكَارِ الَّذِيْ هُوَ عِلَّةُ
الْحُكْمِ بِالْحُرْمَةِ فَهُوَ مُنَاسِبٌ لِلْأَصْلِ وَهُوَ الْخَمْرُ
وَالْفَرْعُ وَهُوَ النَّبِيْذُ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 141)
“(Ungkapan
pengarang : adanya far’u harus serasi dengan ashl), yakni kasus yang diserupai,
maka jelas dari ungkapan ini persyaratan harus adanya keserasian antara far’u
dan ashl, namun dari ungkapan Beliau ini belum dapat difahami secara jelas
adanya penjelasan mengenai dari sisi mana keserasian antara keduanya?...yang
paling dhahir, bahwasanya yang dikehendaki dari keserasian ini adalah
keserasian dalam ‘illatnya, maksudnya ‘illat hukum haruslah serasi dengan
setiap ashl dan far’u. Sebagaimana iskar (memabukkan) yang merupakan ‘illat
hukum haram adalah sebuah sifat yang serasi dengan ashl yakni khamr dan far’u
yakni an-nabiidz (tuak)”.
وَمِنْ شَرْطِ اْلأَصْلِ أَنْ يَكُوْنَ ثَابِتًا بِدَلِيْلٍ مُتَّفَقٍ عَلَيْهِ
بَيْنَ الْخَصْمَيْن ِ لِيَكُوْنَ الْقِيَاسُ حُجَّةً عَلَى الْخَصْمِ فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ خَصْمٌ فَالشَّرْطُ ثُبُوْتُ حُكْمِ اْلأَصْلِ بِدَلِيْلٍ يَقُوْلُ
بِهِ الْقَائِسُ
|
|
Di antara syarat
kasus asal adalah harus berdasarkan dalil yang telah disepakati oleh kedua
belah fihak yang berbeda pendapat, agar qiyas dapat dijadikan hujjah atas
fihak yang menentang. Kemudian jika tidak ditemukan fihak yang menentang,
maka disyaratkan tetapnya hukum kasus asal haruslah dengan dalil yang diakui
orang yang melakukan qiyas.
|
Penjelasan
:
Kasus asal
disyaratkan hukumnya harus ditetapkan melalui dalil nash maupun ijma’ dan dalil
tersebut juga harus disepakati oleh kedua belah fihak yang berselisih, yakni
berselisih di dalam tetapnya hukum kasus asal terhadap kasus cabangan. Hal ini disyaratkan supaya qiyas dapat dijadikan
sebagai hujjah atas fihak yang menentang.
Namun, jika tidak ada fihak yang menentang, maka
disyaratkan hukum tersebut ditetapkan berdasarkan dalil yang diakui oleh al-qais
(orang yang melakukan qiyas).
Pertanyaan :
Mengapa harus disyaratkan sedemikian rupa?
Jawab :
Semua itu disyaratkan agar qiyas betul-betul dapat
dijadikan sebagai hujjah atas fihak yang mengingkarinya.
Referensi :
وَإِنَّمَا اُشْتُرِطَ هَذَا
الشَّرْطُ لِيَكُوْنَ الْقِيَاسُ حُجَّةً عَلَى الْخَصْمِ الْمُنْكِرِ لِذَلِكَ
الْحُكْمِ فِي الْفَرْعِ وَإِنْ أَمْكَنَ الْخَصْمُ مِنْهُ فَلَا يَكُوْنَ حُجَّةً
عَلَيْهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 143)
“Disyaratkannya
hal di atas supaya qiyas dapat dijadikan sebagai hujjah atas fihak yang
menentang, sebab bila fihak yang menentang dapat mencegah terjadinya qiyas
tentu qiyas tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah”.
Pertanyaan :
Apakah dalil yang dijadikan pijakan dalam ketetapan
hukum kasus asal harus berdasar pada dalil nash dan ijma’ saja?
Jawab :
Tidak, namun pada dasarnya yang boleh melakukan qiyas
tidak harus seorang mujtahid muthlaq, tapi seorang muqallid
(orang yang mengikut pada mujtahid) juga diperbolehkan melakukan qiyas. karena
nash mujtahid baginya bagaikan dalil nash bagi mujtahid.
Referensi :
قَدْ يَرِدُ عَلَيْهِ مَا
لَوْ كَانَ الْحُكْمُ مُتَّفَقًا عَلَيْهِ لَا بِالدَّلِيْلِ بَلْ بِالتَّقْلِيْدِ
فَإِنَّ الْقِيَاسَ لَا يَخْتَصُّ بِالْمُجْتَهِدِ الْمُطْلَقِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ
غَيْرُ وَاحِدٍ ...إِلَى أَنْ قَالَ... وَيُجَابُ عَنِ اْلأَوَّلِ بِأَنَّ
التَّقْلِيْدَ دَلِيْلٌ لِلْمُقَلِّدِ فَإِنَّ نَصَّ الْمُجْتَهِدِ بِالنِّسْبَهِ
لَهُ كَنَصِّ الشَّارِعِ بِالنِّسْبَةِ لِلْمُجْتَهِدِ (اَلنَّفَحَاتُ ص 143)
“Dan terkadang
muncul permasalahan yang menyebutkan seandainya hukum kasus asal disepakati
namun tidak dengan dalil nash, akan tetapi dengan metode taqlid, sebab
sesungguhnya qiyas tidak hanya ditentukan terhadap mujtahid muthlaq saja, sebagaimana yang dijelaskan
oleh bukan hanya seorang ulama saja …. Dan dijawab dari permasalahan pertama
ini bahwa saya taqlid adalah dalil bagi muqallid, sebab nash mujtahid baginya
bagaikan nash as-syari’ bagi mujtahid”.
(وَمِنْ شَرْطِ الْعِلَّةِ
أَنْ تَطْرُدَ فِي مَعْلُوْلَاتِهَا فَلَا تَنْتَقِضُ لَفْظًا وَ لَا مَعْنًى)
فَمَتَى اِنْتَقَضَتْ لَفْظًا بِأَنْ صَدَقَتْ
اَلْأَوْصَافُ الْمُعَبَّرُ بِهاَ عَنْهَا فِيْ صُوْرَةٍ بِدُوْنِ الْحُكْمِ
أَوْ مَعْنًى بِأَنْ وُجِدَ الْمَعْنَى الْمُعَلَّلُ بِهِ فِيْ صُوْرَةٍ بِدُوْنِ الْحُكْمِ فَسَدَ الْقِيَاسُ
اَلْأَوَّلُ كَأَنْ يُقَاَلَ فِي اْلقَتْلِ
بِالْمُثَقَّلِ أَنَّهُ قَتْلُ عَمْدٍ عُدْوَانٍ فَيَجِبُ بِهِ الْقِصَاصُ
كَالْقَتْلِ بِالْمُحَدَّدِ فَيَنْتَقِضُ ذَلِكَ بِقَتْلِ الْوَالِدِ
وَلَدَهُ فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ بِهِ
قِصَاصٌ
وَالثَّانِيْ كَأَنْ يُقَالَ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي
اْلمَوَاشِي لِدَفْعِ حَاجَةِ الْفَقِيْرِ فَيُقَالُ يَنْتَقِضُ ذَلِكَ بِوُجُوْدِهِ
فِي الْجَوَاهِرِ وَلَا زَكَاةَ فِيْهاَ
|
|
Di
antara syarat ‘illat adalah ‘illat haruslah berlaku terhadap seluruh
kasus yang di’illati. Maka tidak diperbolehkan terjadi kerusakan baik dari
sisi lafadz maupun makna.
Dan
tatkala ‘illat mengalami kerusakan dari sisi lafadz, yakni sifat-sifat yang
dijadikan sebagai ‘illat ditemukan pada sebuah kasus, namun tanpa adanya
penetapan hukum. Ataupun kerusakan dari sisi makna, yakni makna yang
dijadikan sebagai ‘illat ditemukan pada sebuah kasus, namun tanpa disertai
penetapan hukum. Maka qiyas semacam ini dinyatakan rusak (fasad).
Yang
pertama, seperti digambarkan dalam kasus pembunuhan memakai benda tumpul,
dinyatakan sebagai pembunuhan terencana disertai penganiayaan, maka
mewajibkan hukum Qishas, seperti dalam pembunuhan dengan benda tajam. ‘illat
ini menjadi rusak dengan adanya kasus pembunuhan orang tua terhadap anaknya,
dimana pembunuhan ini tidak menetapkan
wajib Qishas.
Yang
kedua, sebagaimana dikatakan, wajib mengeluarkan zakat ternak dikarenakan untuk
membantu kebutuhan orang fakir. ‘Illat ini menjadi rusak sebab ditemukan
dalam intan berlian, namun tidak ada kewajiban zakat di dalamnya.
|
Penjelasan :
‘Illat disyaratkan harus berlaku pada setiap kasus
yang di’illati. Maksudnya, ‘illat harus menyertai setiap hukum di manapun
berada. Sebagaimana ‘illat iskar
(memabukkan) harus ada dalam setiap kasus yang dihukumi haram dengan diqiyaskan
terhadap khamr, seperti harus ada pada nabidz, narkoba, sabu-sabu dan
lain-lain. Maka tidak diperbolehkan terjadinya cacat baik dari segi lafadz
maupun makna.
Cacat dari segi lafadz adalah bilamana ‘illat dari
segi lafadznya ditemukan pada suatu kasus, namun hukum kasus asal tidak dapat
diterapkan karena adanya suatu pencegah (mani’). Seperti dikatakan
membunuh seseorang dengan menggunakan mutsaqqal (benda tumpul)
menetapkan hukum qishas sebagaimana pembunuhan dengan muhaddad
(benda tajam) dengan adanya ‘illat yang berupa tiga sifat, yaitu; al-qatl
(pembunuhan), al-‘amdu (disengaja) dan al-‘udwan (mengandung
unsur penganiayaan). Namun ‘illat ini ternyata cacat ketika dihadapkan pada
kasus pembunuhan orang tua terhadap anaknya. Dalam kasus ini ternyata orang tua
tidak diqishas meskipun terdapat tiga unsur ‘illat, pembunuhan, disengaja dan
mengandung unsur penganiayaan. Maka dari segi lafadznya yaitu al-qatl
(pembunuhan), al-‘amdu (disengaja) dan al-‘udwan (mengandung
unsur penganiayaan), tidak dapat dijadikan ‘illat dalam masalah qishas.
Sedangkan cacat dari segi makna adalah jika makna dari
‘illat hukum ditemukan pada suatu kasus, namun hukum tidak diterapkan. Semisal
kewajiban mengeluarkan zakat pada hewan ternak karena ada unsur daf’u hajatil faqir (membantu kebutuhan
faqir). Namun berlian yang juga
mengandung unsur daf’u hajatil faqir
tidak terkena hukum wajib zakat.
Dapat disimpulkan bahwa kerusakan (cacat) ‘illat
bermuara pada wujudnya ‘illat namun tanpa disertai adanya hukum.
Pertanyaan :
Kalau memang muaranya sama, yaitu wujudnya
‘illat namun tanpa wujudnya hukum, lantas mengapa pengarang membedakannya dalam
dua hal lafdzi dan ma’nawiy?
Jawab :
Pada dasarnya dalam hal ini jika melihat tidak
adanya hukum dari segi lafadz, maka
dinamakan cacat lafdzi dan jika
dilihat dari segi ma’nawiy, maka
dinamakan cacat ma’nawiy. Walaupun
jika terjadi cacat dari salah satunya, maka juga menetapkan juga cacat pada
segi yang lain.
Referensi :
قَالَ اِبْنُ قَاسِمٍ
لِقَائِلٍ أَنْ يَقُوْلَ لَاحَاجَةَ لِاعْتِبَارِ انْتِفَاءِ الْإِنْتِقَاضِ
لَفْظًا لِلْإِسْتِغْنَاءِ عَنْهُ بِاعْتِبَارِ الْإِنْتِقَاضِ مَعْنىً لِأَنَّهُ
يَشْمِلُهُ لِصِدْقِ وُجُوْدِ الْمَعْنَى الْمُعَلَّلِ بِهِ بِدُوْنِ الْحُكْمِ
فِيْمَا فَسَّرَ بِهِ الْإِنْتِقَاضُ لَفْظًا ...إِلَى أَنْ قَالَ ... وَيُجَابُ
عَنِ الْمُصَنِّفِ بِأَنَّهُ إِنَّمَا قُسِمَ الْإِنْتِقَاضُ إِلَى الْلَفْظِيِّ
وِالْمَعْنَوِيِّ لِأَنَّهُ إِنْ نُظِرَ إِلَى نَخَلُّفِ الْحُكْمِ عَنِ اللَّفْظِ
فَهُوَ اللَّفْظِيُّ وَ إِنْ نُظِرَ إِلَى نَخَلُّفِهِ عَنِ الْمَعْنَى فَهُوَ
الْمَعْنَوِيُّ وَإِنْ لَزِمَ مِنْ تَخَلُّفِهِ عَنْ أَحَدِهِمَا تَخَلُّفُهُ عَنِ
الْآخَرِ لِأَنَّهُ يَلْزَمُ مِنْ تَخَلُّفِ الْحُكْمِ عَنِ الدَّالِّ الَّذِيْ
هُوَ الْلَفْظُ تَخَلُّفُهُ عَنِ الْمَدْلُوْلِ الَّذِيْ هُوَ الْمَعْنَى
وَبِالْعَكْسِ فَسُمِّيَ لَفْظِيًّا مِنْ حَيْثُ النَّظْرِ إِلَى الْلَفْظِ
وَمَعْنَوِيًا مِنْ حِيْثُ النَّظْرِ إِلَى الْمَعْنَى فَلَعَلَّهُ مُجَرَّدُ
اِصْطِلَاحٍ لَهُ (اَلنَّفَحَاتُ ص 144)
“Ibnu Qasim
berkomentar bagi seseorang dapat menyatakan bahwa tidak dibutuhkan menganggap kecacatan
sejenis lafadz dikarenakan sudah dicukupkan dengan adanya kecacatan ma’nawiy.
Sebab kecacatan ma’nawiy sudah memuat terhadap kececatan lafdzi, karena bisa
saja adanya ma’na dari kasus yang
di’illati tanpa adanya hukum didalam kasus yang dijelaskan mushannif
dengan istilah cacat lafdziy ….. dapat ditanggapi dari sisi ungkapan mushannif,
bahwa mushannif membagi cacat dalam dua bagian, yaitu cacat lafdzi dan cacat
ma’nawiy, sebab bila dilihat dari tidak adanya hukum dari segi lafadz, maka
dinamakan cacat lafdzi dan jika dilihat dari segi ma’nawiy, maka dinamakan
cacat ma’nawiy. Walaupun jika terjadi cacat dari salah satunya, maka juga
menetapkan cacat pulapada segi yang lain. Sebab setiap terjadi ketiadaan hukum
dari sesuatu yang menunjukkan (lafadz), maka itu berarti pula ketiadaan hukum
dari sesuatu yang ditunjukkan (makna)nya, begitupun sebaliknya. Maka dinamakan
sejenis lafdzi dari segi lafadz dan sejenis ma’na dari segi ma’nanya. Sehingga
kemungkinan ini hanyalah istilah semata dari mushannif”.
(وَمِنْ شَرْطِ الْحُكْمِ أَن يَكُوْنَ مِثْلَ الْعِلَّةِ فِي النَّفْيِ
وَالْإِثْبَاتِ) أَيْ تَابِعًا
لَهَا فِي ذَلِكَ إِنْ
وُجِدَتْ وُجِدَ
|
|
Di antara syarat
hukum haruslah menyamai ‘illat dalam segi wujud dan tidaknya. Maksudnya
menyamai ‘illat di dalam hal wujud dan tidaknya, Jika ‘illat ditemukan maka
ditemukan pula hukum
|
وَإِنْ انْتَفَتْ انْتَفَى
(وَالْعِلَّةُ هِيَ الْجَالِبَةُ لِلْحُكْمِ)
بِمُنَاسَبَتِهَا لَهُ (وَالْحُكْمُ هُوَ الْمَجْلُوْبُ لِلْعِلَّةِ) لمِاَ
ذُكِرَ
|
|
dan jika ‘illat
tidak ada maka tidak ada hukum pula.
Dan
‘illat adalah sesuatu yang mendatangkan hukum sebab adanya keserasian pada
hukum. Sedangkan hukum adalah sesuatu yang didatangkan oleh ‘illat, karena
alasan tersebut di atas.
|
Penjelasan :
Hukum kasus asal disyaratkan harus selalu
menyertai ‘illat, baik tatkala ditemukannya ‘illat ataupun tidak. Sebagaimana
isykaar yang menjadi ‘illat dari hukum diharamkannya khamr, maka tatkala
‘illat isykaar ditemukan pada sesuatu, maka hukum haram harus ditetapkan juga.
Hal ini senada dengan sebuah kaidah :
فَإِنَّ الْحُكْمَ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ وَسَبَبِهِ وُجُودًا وَعَدَمًا
“Sesungguhnya
hukum selalu menyertai ‘illat dan sebabnya dari segi wujud dan tidaknya”.
Dan selaras dengan ungkapan mushannif :
وَالْعِلَّةُ هِيَ الْجَالِبَةُ لِلْحُكْمِ بِمُنَاسَبَتِهَا لَهُ
وَالْحُكْمُ هُوَ الْمَجْلُوْبُ لِلْعِلَّةِ لمِاَ ذُكِرَ
“‘Illat adalah yang
mendatangkan hukum sedangkan hukum adalah yang didatangkan oleh ‘illat”.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik