Langsung ke konten utama

HARAM DAN MUBAH


HARAM DAN MUBAH

(وَأَمَّا الْحَظْرُ وَالإِبَاحَةُ فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ إِنَّ الأَشْيَاءَ) بَعْدَ البِعْثَةِ (عَلَى الْحَظْرِ) أي عَلَى صِفَةٍ هِيَ اَلْحَظْرُ إِلاَّ مَا أَبَاحَتْهُ الشَّرِيعَةُ فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ فِي الشَّرِيعَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى الإِبَاحَةِ فَيُتَمَسَّكُ بِالأَصْلِ وَهُوَ الْحَظْرُ

Bahwa tentang al-Hadlru (haram) dan mubah, sebagian ulama menyatakan, “sesungguhnya segala sesuatu setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW, menetapi atas hukum haram”. Artinya, menetapi atas sebuah sifat yaitu haram, kecuali sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat. Bila dalam syariat tidak ditemukan dalil yang menunjukkan hukum mubah, maka hukum asal berupa haram yang dijadikan pedoman.

(وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ بِضِدِّهِ وَهُوَ أَنَّ الأَصْلَ فِي الأَشْيَاءِ) بَعْدَ الْبِعْثَةِ أَنَّهَا عَلَى (الْإِبَاحَةِ إِلاَّ مَا حَظَرَهُ الشَّرْعُ) وَالصَّحِيْحُ اَلتَّفْصِيْلُ وَهُوَ أَنَّ الْمَضَارَّ عَلَى التَّحْرِيْمِ وَالْمَنَافِعَ عَلَى الْحِلِّ أَمَّا قَبْلَ الْبِعْثَةِ فَلاَ حُكْمَ يَتَعَلَّقُ بِأَحَدٍ لِانْتِفَاءِ الرَّسُوْلِ اَلْمُوْصِلِ لَهُ إِلَيْهِ

Sebagian dari ulama berkomentar sebaliknya, yakni hukum asal dari segala sesuatu setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah mubah, kecuali hal-hal yang telah diharamkan oleh syara’.
Pendapat yang shahih adalah diperinci bahwa (hukum asal) segala hal yang membahayakan adalah haram, dan segala hal yang bermanfaat adalah halal.
Adapun sebelum terutusnya Nabi Muhammad SAW, maka tidak ada hukum yang berkaitan dengan seseorang. Dikarenakan tidak adanya Rasul yang menyampaikan hukum kepadanya.

Penjelasan :
Ulama terjadi perbedaan dalam menanggapi permasalahan hukum asal dari segala hal setelah bi’tsah (diutusnya Nabi Muhammad SAW). Secara garis besar perbedaan ini dapat digolongkan dalam dua kelompok.
Sebagian ulama menyatakan bahwasanya hukum asal dari segala hal adalah haram selama tidak ada dalil yang menyatakan boleh (ibahah). Sehingga bila ada suatu perkara yang belum ada ketetapan hukumya, maka hukumnya adalah haram.
Sebagian yang lain menyatakan bahwasanya hukum asal dari segala hal adalah boleh (ibahah) selama tidak ada dalil yang menyatakan haram. Sehingga bila ada suatu perkara yang belum ada ketetapan hukumya, maka hukumnya adalah boleh.
Perbedaan ini akan nyata bila kita terapkan dalam sebuah contoh. Sebagaimana televisi, dalam hal ini menonton televisi menurut pendapat pertama hukumnya adalah haram, sedangkan menurut pendapat kedua hukumnya adalah boleh.
Namun pendapat yang Shahih adalah yang menyatakan hukum dari segala hal adalah dipilah-pilah (tafshil), yakni segala hal yang membahayakan, baik pada dirinya maupun pada diri orang lain, maka hukumnya adalah haram. Dan hal-hal yang memberikan manfaat, baik pada dirinya ataupun pada orang lain, maka hukumnya adalah boleh.
Maka hukum menonton televisi, menurut pendapat ini adalah terperinci. Yaitu, jika menonton tersebut memberikan dampak negatif, maka haram. Dan jika memberikan dampak yang positif, maka boleh.
Ulama juga terjadi perbedaan pendapat dalam menyikapi permasalahan hukum ketika masa fathrah (masa kekosongan dari seorang rasul pembawa Syari’at). Secara garis besar perbedaan tersebut dapat digolongkan dalam dua golongan ;
Menurut kaum Asya’irah (pengikut faham Imam Asy’ari), orang-orang yang hidup sebelum bi’tsah (diutusnya Nabi Muhammad SAW) tidak akan mendapat siksa. Dan menurut kaum Mu’tazilah, mereka tetap dituntut untuk menjalankan hukum syariat dengan menggunakan analisa rasio (akal). Maka, apa saja yang menurut pertimbangan akal dinilai baik, maka hukumnya boleh. Sebaliknya apa yang menurut pertimbangan akal buruk, maka hukumnya adalah haram, meskipun berada di masa fathrah.

Pertanyaan :
Apakah Nabi Muhammad SAW sebelum diutus menjadi rasul juga diperintahkan untuk menjalankan sebuah syari’at?
Jawab :
Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat.
1.        Mentiadakan adanya tuntutan untuk menjalankan syari’at tertentu kepada Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Nabi.
2.        Menetapkan adanya tuntutan untuk menjalankan syari’at tertentu kepada Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Nabi.
3.        Tawaqquf (menangguhkan masalah ini sampai ada nash yang jelas) pendapat inilah yang dipilih (al-mukhtar).
Referensi :
أَمَّا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ البِعْثَةِ فَاخْتَلَفَ اَلْعُلَمَاءُ فِيْهِ هَلْ هُوَ مُتَعَبِّدٌ بِشَرْعٍ أَوْلاَ فَمِنْهُمْ مَنْ نَفَى ذَلِكَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَثْبَتَهُ وَالْمُخْتَارُ اَلْوَقْفُ تَأْصِيْلاً وَتَفْرِيْعًا (اَلنَّفَحَاتُ ص 148)
“Adapun Nabi Muhammad SAW, para ulama berbeda pendapat apakah Beliau dituntut beribadah dengan sebuah syara’ ataukah tidak. Sebagian ulama menafikan hal tersebut, sebagian yang lain menetapkannya, namun pendapat yang dipilih adalah menangguhkan masalah ini.”
Pertanyaan :
Apakah yang dikehendaki dari hukum boleh hanya terbatas dalam mubah saja?
Jawab :
Tidak. Boleh (mubah) yang dikehendaki disini adalah boleh yang mencakup terhadap hukum wajib, sunnah dan makruh.
Referensi :
وَالْمُرَادُ بِالْإِبَاحَةِ هُنَا اَلْجَوَازُ بِالْمَعْنَى اَلشَّامِلِ لِلْوُجُوْبِ وَالنَّدْبِ وَالْكَرَاهَةِ (اَلنَّفَحَاتُ ص 148)
“Yang dikehendaki dengan boleh disini adalah boleh yang mencakup terhadap hukum wajib, sunah dan makruh”.

Pertanyaan :
Apakah dalil yang dipakai oleh pendapat shahih hukum asal sesuatu yang membahayakan adalah haram?
Jawab :
Dalil yang dijadikan landasan adalah hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya : “janganlah engkau berbuat kerusakan pada dirimu dan janganlah engkau membuat kerusakan pada orang lain”.
Referensi :
(قَوْلُهُ عَلَى التَّحْرِيْمِ)....ذَلِكَ لِقَوْلِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارًا أَيْ لاَ تَضَرُّوا أَنْفُسَكُمْ وَلاَ تَضَرُّوا غَيْرَكُمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 148)
“(ungkapan Pengarang atas hukum haram) ….. hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW “janganlah engkau berbuat kerusakan pada dirimu dan janganlah engkau membuat kerusakan pada orang lain”.

(وَمَعْنَى اسْتِصْحَابُ الْحَالِ) اَلَّذِيْ يُحْتَجَّ بِهِ كَمَا سَيَأْتِيْ (أَنْ يُسْتَصْحَبَ الْأَصْلُ) أَيِ الْعَدَمُ الْأَصْلِيُّ (عِنْدَ عَدَمِ الدَّلِيْلِ الشَّرْعِيِّ) بِأَنْ لَمْ يَجِدِه الْمُجْتَهِدُ بَعْدَ   الْبَحْثِ    الشَّدِيْدِ   عَنْهُ    بِقَدْرِ

Pengertian istishhabul hal yang dapat dijadikan hujjah, sebagaimana keterangan yang akan datang, adalah melanjutkan hukum asal, yaitu ketiadaan hukum yang secara asal, tatkala tidak ditemukannya dalil syar’i, sekira seorang Mujtahid setelah melakukan pembahasan yang secara mendalam dengan mengerahkan segala   kemampuannya,   sebagaimana  ia

الطَّاقَةِ كَأَنْ لَمْ يَجِدْ دَلِيْلًا عَلَى وُجُوْبِ صَوْمِ رَجَبَ فَيَقُوْلُ لَايَجِبُ بِاسْتِصْحَابِ الْأَصْلِ أَيِ الْعَدَمِ الْأَصْلِيِّ وَهُوَ حُجَّةٌ جَزْمًا
وَأَمَّا الْإِسْتِصْحَابُ الْمَشْهُوْرُ الَّذِيْ هُوَ ثُبُوْتُ أَمْرٍ فِي الزَّمَانِ الثَّانِيْ لِثُبُوْتِهِ فِي الْأَوَّلِ فَحُجَّةٌ عِنْدَنَا دُوْنَ الْحَنَفِيَّةِ فَلَا زَكَاةَ عِنْدَنَا فِيْ عِشْرِيْنَ دِيْنَارًا نَاقِصَةً تَرُوْجُ بِرَوَاجِ الْكَامِلَةِ بِالْإِسْتِصْحَابِ

tidak mampu menemukan dalil atas kewajiban melaksanakan puasa Rajab, lantas ia berkata, “ Puasa Rajab hukumnya tidak wajib dengan memberlakukan hukum asal, yakni ketiadaan hukum secara asal”. Dan istishhabul hal adalah hujjah secara pasti (tanpa ada perbedaan).
Adapun istishhab (yang masyhur dikalangan fuqaha`) yaitu tetapnya sesuatu pada masa kedua dikarenakan telah wujud pada masa pertama, adalah hujjah nenurut kita (Syafi’iyyah), bukan menurut kalangan Hanafiyyah. Maka menurut kita tidak wajib zakat dalam dua puluh dinar yang belum sempurna yang dapat laku sebagaimana dua puluh Dinar yang sempurna.

Penjelasan :
Istishhab secara lughat adalah thalabul Mushahabah (tuntutan kebersamaan). Sedangkan al-istishhab secara istilah terjadi perbedaan.
Definisi pertama, membersamakan hukum asal tatkala tidak adanya dalil syara’. Maksudnya, seorang mujtahid ketika dihadapkan pada suatu masalah, setelah melakukan kajian yang mendalam tidak menemukan adanya dalil syara’ yang menjelaskannya, maka baginya boleh untuk menetapkan hukum asal (yakni ketiadaan secara asal). Seperti ketika mujtahid dihadapkan pada masalah apakah hukum melaksanakan puasa bulan Rajab? maka setelah mengkaji dari dalil syari’, ternyata tidak ada nash yang menjelaskannya, maka hukum puasa Rajab tersebut dikembalikan kepada hukum asalnya, yakni tidak adanya kewajiban untuk menjalankannya. Ulama sepakat definisi inilah yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Definisi kedua adalah tetapnya suatu perkara pada zaman yang kedua, karena telah ditetapkan pada zaman yang pertama. Definisi ini dianggap sebagai hujjah menurut kalangan Syafi’iyyah dan Malikiyyah, tidak menurut kalangan Hanafiyyah. Perbedaan ini dapat terlihat secara nyata bila kita gambarkan dalam sebuah kasus ketika nilai emas yang kurang dari dua puluh dinar dapat laku dijual setinggi harga emas dua puluh dinar yang sempurna. Maka menurut kalangan Syafi’iyyah dan Maalikiyyah emas tersebut tidak wajib dizakati. Sebab sejak zaman yang lampau (az-zaman al-awwal) emas tersebut tidak wajib untuk dizakati, dan hukum tersebut terus ditetapkan pada zaman sekarang (az-zaman at-tsaaniy).

Pertanyaan :
Sejauh manakah yang dikehendaki dengan ‘tidak adanya dalil syara’’ sebagaimana dalam definisi pertama?
Jawab :
Yang dikehendaki adalah tidak adanya dalil syara’ menurut hasil analisa dan kajian yang dilakukan oleh mujtahid, meskipun pada kenyataannya ada dalil syara’ yang menegaskannya.
Referensi :
(قَوْلُهُ عِنْدَ عَدَمِ الدَّلِيْلِ الشَّرْعِيِّ)....وَالْمُرَادُ بِعَدَمِ الدَّلِيْلِ بِاعْتِبَارِ مَا يَظْهُرُ لِلْمُجْتَهِدِ لَا بِالنَّظَرِ لِلْوَاقِعِ وَنَفْسِ الْأَمْرِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 151)
“(perkataan pengarang : yang berupa tidak ditemukanya dalil)….yang di maksud tidak ditemukannya dalil ialah dari sisi apa yang nampak pada mujtahid bukan dari sisi kenyataan dan yang sebenarnya”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا

Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy

 *Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy* Maklum diketahui bahwa ketika seseorang mengadakan acara walimah, maka penganten, bahkan ibu penganten dan keluarga terdekat, merias wajah dengan make up yang cukup tebal. Acara walimah ini biasanya memakan waktu berjam-jam bahkan tak jarang belum selesai sampai waktu shalat tiba. Maka bagaimanakah tata cara thaharah dan shalat bagi wanita yang memakai riasan ini? Solusi 1: Menghapus riasan wajah dan shalat sesuai waktunya Perlu diketahui bahwa salah satu syarat sah wudhu adalah tidak terdapat hal yang menghalangi tersampainya air wudhu ke anggota badan yang wajib dibasuh, tentu penggunaan make up yang tebal sudah pasti menghalangi air wudhu. Maka bagi wanita yang memakai riasan pengantin tersebut tidak boleh berwudhu kecuali sudah menghapus bersih riasan yang ada di wajah, sehingga yakin jika air wudhu benar-benar mengenai anggota wudhu, tidak cukup hanya dengan mengalirkan air tanpa terlebih dahulu menghapus make up nya seperti yan