HADITS
SHAHIH YANG DI-DHA'IF-KAN KAUM WAHABI
oleh
Idrus Ramli
Takhrij
Hadits “Ya Muhammad”
Kaum
Wahabi berpandangan bahwa istighatsah dengan Nabi SAW atau orang shalih yang
sudah wafat termasuk syirik akbar, murtad dan keluar dari Islam. Na’udzu billah
min dzalik. Sementara kaum Muslimin sejak generasi sahabat, tabi’in dan
generasi sesudahnya membolehkan istighatsah dengan Nabi SAW atau orang shalih
yang sudah wafat. Di antara dalil yang menganjurkan dan membolehkan istighatsah
adalah hadits mauquf dari Ibnu Umar RA yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam
al-Adab al-Mufrad. Mengingat atsar atau hadits mauquf ini tidak menyenangkan
bagi kaum Wahabi, sebagian Wahabi menolak keshahihan hadits tersebutsecara tidak
ilmiah, dan bahkan sebagian mereka ada yang mengejek kitab al-Adab al-Mufrad
karya al-Imam al-Bukhari. Oleh karena itu, tulisan berikut ini akan mengkaji
hadits Ibnu Umar RA tersebut secara ilmiah. Al-Bukhari meriwayatkan sebagai
berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي
الله عنه أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ
عِقَالٍ.
“Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar RA, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa,
maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang
paling Anda cintai!” Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu
kaki beliau sembuh.”
Hadits
di atas diriwayatkan melalui lima jalur dari Abi Ishaq al-Sabi’i.
Pertama,
diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad.
Jalur ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]).
Kedua,
diriwayatkan oleh Zuhair bin Muawiyah dari Abi Ishaq, dari Abdurrhman bin
Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh Ali bin al-Ja’d (al-Musnad, [2539, h. 369]),
Ibnu Sa’ad (al-Thabaqat, [IV/154]), Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits
[II/674]), Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [172, h. 115]), Ibnu
Asakir (Tarikh Madinah Dimasyq, [XXXI/177]), dan al-Mizzi (Tahdzib al-Kamal,
[XVII/142]).
Ketiga,
diriwayatkan oleh Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin Hanasy. Jalur ini
diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [170, h. 115]).
Keempat,
diriwayatkan oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abi Ishaq, dari Abi Syu’bah. Jalur
ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [168, h.
114]).
Kelima,
diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abi Ishaq, dari laki-laki yang mendengar Ibnu
Umar. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits, [h.
674]).
Derajat
Hadits
Al-Bukhari
meriwayatkan hadits Ibnu Umar di atas (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]), dari
Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, dari Sufyan al-Tsauri, dari Abu Ishaq
al-Sabi’i, dari Abdurrahman bin Sa’ad al-Qurasyi al-‘Adawi. Semua perawi hadits
ini tsiqah, dipercaya. Sufyan al-Tsauri mendengar hadits tersebut dari Abu
Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath (berubah hafalannya). Sedangkan
Abdurrahman bin Sa’ad, dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i (Taqrib al-Tahdzib,
[3877]) dan Ibnu Hibban (al-Tsiqat, [4026, V/99]). Dengan demikian hadits di
atas bernilai shahih tanpa keraguan. Bahkan Ibnu Taimiyah (al-Kalim al-Thayyib,
[h. 173]) dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (al-Wabil al-Shayyib, [h. 302]) menganggap
istighatsah “Ya Muhammad”, sebagai ucapan yang baik (kalimah thayyibah). Beliau
juga menganjurkan agar ucapan istighatsah “Ya Muhammad” tersebut diamalkan oleh
orang yang kakinya terkena mati rasa.
Bersama
Kaum Wahabi
Hadits
shahih di atas, merupakan dalil yang sangat tegas tentang kebolehan
istighatsah. Dan tentu saja, kaum Wahabi berupaya menepis keshahihan hadits
tersebut dengan berbagai alasan. Dalam upaya menolak keshahihan hadits di atas,
kaum Wahabi terbagi menjadi dua aliran. Pertama, kaum awam seperti Mahrus Ali –
dalam Sesat Tanpa Sadar-nya -, yang menolak hadits di atas, dengan alasan
hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain (bukan jalur di atas) yang
sangat lemah. Tentu saja, kelompok awam ini tidak perlu dilayani. Kelompok ini
karena keawamannya dalam bidang ilmu hadits, akan menolak setiap hadits shahih,
yang diriwayatkan melalui jalur lain yang lemah. Kelompok awam ini tidak
segan-segan mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari karena telah
meriwayatkan hadits Ibnu Umar RA di atas.
Kedua,
kaum alim seperti al-Albani dan lain-lain yang berusaha merekayasa kedha’ifan
hadits di atas secara “ilmiah”. Kelompok ini yang akan kita layani. Dalam
mengomentari hadits di atas al-Albani berkata dalam catatan al-Kalim al-Thayyib:
ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي اْلأَدَبِ الْمُفْرَدِ (٩٦٤) وَابْنُ السُّنِّيُّ (١٦٨)،
وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ هَذَا وَثَّقَهُ النَّسَائِيُّ، فَالْعِلَّةُ مِنْ
أَبِيْ إِسْحَاقَ، مِنْ اخْتِلاَطِهِ وَتَدْلِيْسِهِ، وَقَدْ عَنْعَنَهُ فِيْ
كُلِّ الرِّوَايَاتِ عَنْهُ.
Hadits
dha’if, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (964) dan Ibnu
al-Sunni (168). Abdurrahman bin Saad ini dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i. Jadi
illat (alasan) kedha’ifan hadits ini terletak pada Abu Ishaq, karena faktor
ikhtilath (berubah hafalannya) dan tadlis (menyamarkan riwayat). Ia telah
meriwayatkannya secara mu’an’an (memakai redaksi “dari”) dalam semua riwayat.”
(Al-Albani, al-Kalim al-Thayyib, h. 173).
Berdasarkan
pernyataan al-Albani di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan kedhaifan hadits
tersebut terletak pada perawi Abu Ishaq Amr bin Abdullah al-Sabi’i, yang 1)
ikhtilath, dan 2) melakukan tadlis (menyamarkan riwayat).
Alasan
Ikhtilath
Sekarang
kita akan mengkaji secara ilmiah, kedua faktor di atas yang menjadi alasan
Wahabi dalam mendha’ifkan atsar Ibnu Umar di atas. Pertama, seputar faktor
ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini
adalah, benarkah mendha’ifkan atsar Ibnu Umar tersebut dengan alasan
ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i? Jawabannya, tentu tidak benar karena tiga
alasan:
Pertama,
alasan ikhtilath hanya bisa digunakan ketika perawi dari Abu Ishaq al-Sabi’i
menerima hadits di atas setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, seperti
riwayatnya Zuhair bin Muawiyah, al-Haitsam bin Hanasy dan Abu Bakar bin Ayyasy
yang meriwayatkan hadits dari Abu Ishaq setelah Abu Ishaq ikhtilath. Sedangkan
hadits Ibnu Umar tersebut juga diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abu
Ishaq, sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Oleh karena itu, al-Albani hanya
mengomentari riwayat hadits di atas, yang melalui jalur al-Haitsam bin Hanasy
dalam al-Kalim al-Thayyib karya Ibnu Taimiyah. Al-Albani tidak memberikan
komentar terhadap riwayat Sufyan al-Tsauri ketika men-ta’liq al-Adab al-Mufrad
karya al-Bukhari. Dengan kecerdikannya, al-Albani hanya mengalihkan pembaca
agar merujuk kepada al-Kalim al-Thayyib, yang dimungkinkan dilakukan
pendha’ifan karena faktor ikhtilath-nya Abu Ishaq. Sedangkan, riwayat
al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad tidak mungkin didha’ifkan dengan dalih
ikhtilath. Di sini jelas sekali nilai kejujuran al-Albani dalam kajian ilmu
hadits.
Kedua,
seandainya kita menerima klaim al-Albani bahwa al-Haitsam bin Hanasy menerima
hadits tersebut setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, para ulama ahli hadits
justru menolak dan tidak mempersoalkan asumsi ikhtilath-nya Abu Ishaq
al-Sabi’i. Dalam konteks ini al-Hafizh al-Dzahabi berkata:
عَمْرٌو بْن عَبْدِ اللهِ
أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ مِنْ أَئِمَّةِ التَّابِعِيْنَ بِالْكُوْفَةِ وَأَثْبَاتِهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ
شَاخَ وَنَسِيَ وَلَمْ يَخْتَلِطْ.
Amr
bin Abdullah Abu Ishaq al-Sabi’i, termasuk imam kaum tabi’in di Kufah dan kuat
hapalannya, hanya saja ia mengalami masa tua, lupa dan tidak pernah ikhtilath.
(Al-Dzahabi, [Mizan al-I’tidal, III/270]).
Pernyataan
al-Dzahabi di atas telah menepis adanya dugaan ikhtilath terhadap Abu Ishaq.
Al-Hafizh
al-Dzahabi juga memasukkan Abu Ishaq dalam kategori para perawi tsiqah yang
dipersoalkan, tetapi haditsnya tidak dapat ditolak (harus diterima). Dalam hal
ini al-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim
bima la Yujibu Raddahum sebagai berikut:
أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ ثِقَةٌ إِمَامٌ
لَكِنَّهُ كَبُرَ وَسَاءَ حِفْظُهُ وَمَا اخْتَلَطَ.
Abu
Ishaq al-Sabi’i, perawi tsiqah dan imam, akan tetapi ia mengalami masa tua,
hapalannya buruk dan hafalannya tidak berubah (ikhtilath). (Al-Hafizh
al-Dzahabi, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum, [h.
203]).
Seandainya
klaim ikhtilath-nya Abu Ishaq kita terima, para ulama memasukkan ikhtilath-nya
Abu Ishaq dalam kategori kelompok pertama, yaitu ikhtilath yang tidak
menimbulkan kedha’ifan dalam riwayat dan tidak menurunkan martabat perawi,
adakalanya karena masa ikhtilath-nya yang sebentar dan sedikit, dan adakalanya
karena ia tidak meriwayatkan hadits ketika mengalami ikhtilath, sehingga
haditsnya selamat dari kekeliruan. Dalam konteks ini al-Hafizh Shalahuddin
al-‘Ala’i berkata:
وَلَمْ يَعْتَبِرْ أَحَدٌ مِنَ
اْلأَئِمَّةِ مَا ذُكِرَ مِنِ اخْتِلاَطِ أَبِيْ
إِسْحَاقَ، اِحْتَجُّوْا بِهِ مُطْلَقًا، وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى
أَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِطْ فِيْ شَيْءٍ
مِنْ حَدِيْثِهِ فَهُوَ أَيْضًا مِنَ الْقِسْمِ اْلأَوَّلِ.
Tidak
seorang pun dari para imam yang mempersoalkan apa yang disebutkan tentang
ikhtilath-nya Abu Ishaq. Bahkan mereka berhujjah dengan Abu Ishaq secara
mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah ikhtilath dalam haditsnya. Ia
juga termasuk dalam bagian bertama. (Al-Hafizh al-‘Ala’i, [al-Mukhtalithin, h.
94]).
Berdasarpan
paparan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa penolakan kaum Wahabi seperti
al-Albani terhadap riwayat Abu Ishaq karena alasan ikhtilath, tidak dapat
diterima, karena para imam tidak mempersoalkan ikhtilath yang dinisbatkan
terhadap Abu Ishaq al-Sabi’i. Disamping itu Sufyan al-Tsauri meriwayatkan
hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath.
Alasan
Tadlis
Setelah
kita mengkaji faktor ikhtilath yang ada pada Abu Ishaq, sekarang kita mengkaji
penolakan kaum Wahabi terhadap riwayat Abu Ishaq dengan alasan kedua, yaitu
faktor tadlis.
Secara
kebahasaan, tadlis artinya menyamarkan. Sedangkan mudallis adalah perawi yang
melakukan tadlis. Dalam ilmu mushthalah al-hadits, tadlis terbagi menjadi dua.
Pertama) penyamaran sanad atau tadlis isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan
hadits dari orang yang semasa, dengan mengesankan bahwa ia mendengar langsung
hadits tersebut darinya, padahal ia tidak mendengarnya secara langsung, seperti
dengan berkata “fulan berkata”, “dari fulan”, dan sesamanya.
Kedua,
penyamaran guru atau tadlis syuyukh, yaitu menyebut gurunya dengan nama,
kunyah, nisbat atau sifat yang tidak dikenal oleh orang lain.
Yang
menjadi persoalan terkait dengan Abu Ishaq al-Sabi’i di sini adalah tadlis
bagian pertama, yaitu tadlis isnad. Dalam ilmu mushthalah al-hadits
diterangkan, perawi yang dikenal melakukan tadlis, apabila dalam periwayatannya
tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengar secara langsung dari guru yang
disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal. Apabila ia menjelaskan bahwa ia
mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya
diterima dan dijadikan hujjah. Dalam konteks ini, Abu Ishaq termasuk perawi
mudallis (melakukan penyamaran sanad). Selama ia tidak menjelaskan bahwa
riwayatnya ia terima secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka
riwayatnya dianggap mursal dan lemah.
Pertanyaannya
di sini adalah, setelah Abu Ishaq terbukti sebagai perawi yang mudallis, lalu
dalam hadits tersebut ia meriwayatkan secara mu’an’an, maka dapatkah hadits di
atas dinilai dha’if? Jawabannya, hadits tersebut tidak bisa dinilai dha’if,
karena kelemahan riwayat Abu Ishaq sebab faktor mu’an’an di atas telah
diselamatkan oleh riwayat Syu’bah darinya. Dalam konteks ini al-Imam Syu’bah
berkata:
عَنِ النَّضْرِ بْنِ شُمَيْلٍ قَالَ: سَمِعْتُ شُعْبَةَ يَقُوْلُ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، اْلأَعْمشِ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ وَقَتَادَةَ. (الحافظ محمد بن طاهر
المقدسي، مسألة التسمية ص/٤٧، والحافظ
ابن حجر، النكت على مقدمة
ابن الصلاح ص/٦٣٠).
Al-Nadhar
bin Syumail berkata: “Aku mendengar Syu’bah berkata: “Aku cukupkan kalian dari
tadlis-nya tiga orang, al-A’masy, Abu Ishaq dan Qatadah.” (Al-Hafizh Ibnu
Thahir, [Mas’alah al-Tasmiyah, 47], dan Ibnu Hajar [al-Nukat ‘ala Ibn
al-Shalah, 630]).
Ulama
Wahabi kontemporer, Mushthafa al-‘Adawi berkata:
مَا حُكْمُ عَنْعَنَةِ اْلأَعْمَشِ وَقَتَادَةَ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيِّ؟ ج: يَلْزَمُ أَنْ يُصَرّحَ كُلٌّ مِنْهُمْ بِالتَّحْدِيْثِ فَإِنَّهُمْ مُدَلِّسُوْنَ، لَكِنْ
إِذَا رَوَى عَنْهُمْ شُعْبَةُ فَلاَ تَضُرُّ
عَنْعَنَتُهُم، فَإِنَّهُ قَالَ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، ثُمَّ ذَكَرَهُمْ وَقَدْ قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ
فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ مِنْ فَتْحِ
الْبَارِيْ: إِنَّ رِوَايَةَ شُعْبَةَ عَنْ
أَيِّ مُدَلِّسٍ تَجْبُرُ عَنْعَنَةَ ذَلِكَ الْمُدَلِّسِ (هَذَا مَضْمُوْنُ كَلاَمِهِ).
Soal:
Bagaimana hukum ‘an’anah-nya al-A’masy, Qatadah dan Abi Ishaq al-Sabi’i? Jawab:
Mereka harus menjelaskan secara tahdits (menerima langsung dari gurunya) karena
mereka perawi mudallis. Akan tetapi apabila Imam Syu’bah meriwayatkan dari
mereka, maka ‘an’anah mereka tidak berba-haya. Karena Syu’bah telah berkata:
“Aku cukupkan kalian dari tadlisnya tiga orang.” Kemudian menyebut ketiganya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan di beberapa tempat dalam Fath al-Bari,
bahwa riwayat Imam Syu’bah dari perawi mudallis, dapat mengangkis ‘an’anah-nya
mudallis tersebut. Ini kesimpulan ucapan beliau. (Mushthafa al-‘Adawi, [Syarh
‘Ilal al-Hadits, h. 56]).
Paparan
di atas menyimpulkan, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i yang
dikenal mudallis dapat menyelamatkan riwayatnya dari kelemahan karena faktor
tadlis. Sementara Ibrahim al-Harbi telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar RA di
atas melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Syu’bah dari Abu Ishaq
al-Sabi’i. Dalam Gharib al-Hadits, al-Harbi berkata:
١) حَدَّثنَا عَفَّانُ حَدَّثنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبى
إٍسْحِاقَ عَمَّنْ سمِعَ ابن عُمَرَ
قَالَ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقَيِلَ : اذْكُرَ أَحَبَّ
النَّاسٍ . قَالَ : يَا مُحَمَّدُ. ۲)
حَدَّثنَا أَحْمَدُ بنُ
يُونُسَ حَدَّثنَا زُهِيْرٌ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بنِ سَعْدٍ : جِئْتُ ابنُ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ . فَقُلْتُ : مَالِرِجْلِكَ ؟
قَالَ : اجْتَمَعَ عَصَبُهَا قُلْتُ : ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ فَبَسَطَهَا.
1)
Telah bercerita kepada kami Affan, telah bercerita kepada kami Syu’bah, dari
Abi Ishaq, dari seseorang yang mendengar Ibnu Umar. Orang tersebut berkata:
“Kaki Ibnu Umar terkena mati rasa.” Lalu
dikatakan kepadanya, “Sebutkan orang yang paling kamu cintai.” Ibnu Umar
berkata: “Ya Muhammad.” 2) Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Yunus, telah
bercerita kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad: “Aku
mendatangi Ibnu Umar, lalu kakinya terkena mati rasa. Aku berkata: “Ada apa
dengan kakimu?” Ia menjawab: “Ototnya berkumpul.” Aku berkata: “Panggil orang
yang paling kamu cintai.” Ia berkata: “Ya Muhammad.” Ia pun bisa membentangkan
kakinya.” (Al-Imam al-Harbi, [Gharib al-Hadits, h. 673-674]).
Dalam
riwayat di atas, Ibrahim al-Harbi meriwayatkan hadits Ibnu Umar, melalui dua
jalur, salah satunya melalui jalur Imam Syu’bah. Dengan demikian, hadits Ibnu
Umar di atas diselamatkan dari kelemahan dengan alasan tadlis-nya Abu Ishaq.
Hadits tersebut harus dikatakan shahih sesuai dengan kaedah ilmu hadits yang
berlaku.
Di
sini ada dua hal yang perlu dijelaskan. Pertama, mungkin kaum Wahabi akan
menggugat, bahwa dalam riwayat Syu’bah di atas, terdapat perawi mubham (tidak
jelas namanya), sehingga hadits ini tidak bisa dinilai shahih. Gugatan tersebut
dapat dijawab, bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah di atas telah
dijelaskan dalam riwayat lain, yaitu riwayat al-Harbi sendiri dalam Gharib
al-Hadits melalui jalur Zuhair, dan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad
melalui Sufyan al-Tsauri, bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin
Sa’ad, perawi yang dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i dan Ibnu Hibban. Para ulama
menjelaskan kesamaran seorang perawi dapat diketahui dari jalur lain yang menjelaskan
namanya. (Al-Hafizh al-Suyuthi, [Tadrib al-Rawi, h. 468]). Oleh karena itu,
setelah menceritakan riwayat Syu’bah, Ibrahim al-Harbi menceritakan riwayat
Zuhair untuk menjelaskan nama perawi mubham dalam riwayat Syu’bah, yaitu
Abdurrahman bin Sa’ad.
Kedua,
mungkin kaum Wahabi ada yang menggugat, bahwa Zuhair meriwayatkan hadits
tersebut dari Abi Ishaq setelah Abi Ishaq mengalami ikhtilath. Gugatan ini
dapat dijawab, bahwa riwayat Zuhair telah sesuai dan dikuatkan dengan riwayat
Sufyan al-Tsauri yang meriwayatkan hadits tersebut sebelum Abu Ishaq mengalami
ikhtilath. Dengan demikian, periwayatan Zuhair dari Abi Ishaq setelah ikhtilath
dapat diselamatkan dari kelemahan.
Berdasarkan
paparan di atas, kiranya di sini dapat disimpulkan bahwa semua argumen kaum
Wahabi yang berupaya melemahkan hadits Ibnu Umar RA di atas tidak proporsional
dan menemukan kegagalan. Hadits Ibnu Umar RA di atas adalah hadits shahih tanpa
keraguan berdasarkan kaedah ilmu hadits yang diterapkan oleh para ulama ahli
hadits. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik