TAHLIL DAN SELAMATAN 7, 40, 100, 1000
hari dan HAUL
Banyak yang mengklaim bahwa selametan 3,7, 40, dsb, merupakan
tradisi hindu. Tapi kita tidak tahu apakah mmang seperti itu.? Kalau saja benar
apa yang mereka klaim , mka selamatan kematian yg dilakukan oleh sebagian umat
islam tidaklah mutlak haram dan berdosa, seb ab apa yg mereka lakukan tidak ada
unsur ingin menyamai orang hindu. Hukum haram menyerupai orang kafir apabila
ada niat menyerupai orang kafir. Sementara tidak ada orang islam yang melakukan
selametan kematian berniat ingin mnyerupai orang hindu.
فتاوى الأزهر - (ج 5 / ص 472)
تشبه المسلم بالكافرالمفتي عبد المجيد سليم .
جمادى الآخرة 1347 هجرية - 26 نوفمبر 1928 م
المبادئ
1- الكفر شىء عظيم فلا يحكم به على مؤمن متى وجدت
رواية أنه لا يكفر .
ولا يكفر مسلم إلا إذا اتفق العلماء على أن ما
أتى به يوجب الردة .
2- لا
يكفر المسلم متى كان لكلامه أو فعله احتمال ولو بعيدا يوجب عدم تكفيره .
3- لا
يخرج الرجل من الإيمان إلا جحود ما أدخله فيه .
4- ما
يتيقن بأنه ردة يحكم بها عليه، وما يشك فى أنه ردة لا يحكم به ن لأن الإسلام
الثابت لا يزول بالشك .
5- مناط
التكفير هو التكذيب أو الاستخفاف بالدين .
6- مجرد
لبس البرنيطة ليس كفرا، لأنه لا دلالة فيه على الاستخفاف بالدين ولا على التكذيب
بشىء مما علم من الدين بالضرورة حتى يكون ذلك ردة إلا إذا وجد من لابسها شىء يدل
دلالة قطعية على الاستخفاف أو التكذيب بشىء مما علم من الدين بالضرورة بأن ذلك
يكون ردة .
7- كل من
حبذ واستحسن ماهو كفر إذا وجد مه ما يدل على ذلك دلالة قطعية يحكم بكفره .
8- لابس
البرنيطة قصد التشبه بغير المسلمين مع عدم ما يدل على الاستخفاف أو التكذيب بشىء
مما علم من الدين بالضرورة يكون آثما ولا يحكم بكفره .
9- قول
الرسول - صلى الله عليه وسلم - من تشبه بقوم فهو منهم يحمل على أنه يكون كافرا
مثلهم إن تشبه بهم فيما هو كفر كتعظيم يوم عيدهم تبجيلا لدينهم، أو لبس شعارهم
قاصدا الاستخفاف بالدين وإلا فإنه يكون آثما مثلهم فقط .
10- يحرم
التشبه بأهل الكتاب فيما كان مذموما وبقصد التشبه بهم .
11- لبس
القبعة وغيرها بدون قصد التشبه بالكفار بل قصدا لدفع برد أو حر فلا إثم فى ذلك
أبدا مادام لم يوجد منهم استخفاف أو تكذيب
============
Al-Qur’an menganjurkan berdo’a untuk orang yang telah wafat
SEKALIGUS MENJELASKAN BAHWA UKHUWAH ISLAMIYAH TIDAK TERPUTUS KARENA KEMATIAN
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا
لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ [الحشر/10]
"Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo'a, "Ya Tuhan kami,
ampunilah kami dan orang-orang yang wafat mendahului kami dengan membawa iman. Dan janganlah Engkau
memberikan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya
Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS.
Al-Hasyr: 10)
Nabi SAW mendoakan orang yang wafat
قَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَتْ
عَائِشَةُ وَا رَأْسَاهْ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاكِ
لَوْ كَانَ وَأَنَا حَيٌّ فَاَسْتَغْفِرَ لَكِ وَأَدْعُوَ لَكِ. (رواه البخاري
ـ 5666)
Berkata al-Qasim bin Muhammad: Pada suatu ketika Siti A’isyah t
mengeluh sembari berkata alangkah sakitnya kepalaku, lalu Nabi r
bersabda: Jika itu terjadi (engkau sakit kemudian meninggal) dan aku masih
hidup maka aku akan memohonkan ampun dan berdoa untukmu. (HR. Bukhari, 5666)
Pahala sedekah sampai pada orang yang
telah wafat
عَنْ عاَ ئِشَةَ أَنَّ
رَجُلاً أَ تَى النَّبِيَّ صَلَّى الله عليه
وسلِّم فَقَالَ , يَا رَسُولَ الله إِنَّ اُمِّي
افْتُلِتَتْ نَفْسُـهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ
اَفَلَهَا اَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم, 1672 )
"Dari 'Aisyah-radhiyallahu 'anha,
"Seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, "Ibu saya meninggal dunia
secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga jika ia dapat berwasiat, tentu ia akan berwasiat
untuk bersedekah. Apakah ia akan mendapat
pahala jika saya bersedekah atas namanya? "Nabi SAW menjawab,
"Ya"." (HR. Muslim, [1672])
Sedekah bisa berupa Dzikir atau Tahlil
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ rقَالُوا للنَّبِيِّ صلى
الله عليه وسـلم يَارَسُـولَ الله ذَهَبَ أَهْلُ الدُّ ثُّورِ باْلأُجُوْرِ
يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ
وَ يَتَصَدَّ قُونَ بِفُضَولِ أَمْوَا لِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ
تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ
تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً (رواه مسلم, 1674).
"Dari Abu Dzarr t, ada
beberapa sahabat bertanya kepada Nabi r,
"Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak
pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami
shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan
kelebihan harta mereka. Nabi r menjawab, "Bukankah Allah I telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan?
Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir
adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap bacaan La ilaaha
Illallah adalah sedekah." (HR.
Muslim,[1674]).
Bacaan al-Qur’an, doa dan istighfar
pahalanya itu sampai pada almarhum yang dituju
اقالَ الْإِمَامُ الْقُرْطُبِيُّ رَحِمَهُ
اللهُ, وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى وُصُوْلِ ثَوَابِ الصَّدَقَةِ
لِلأَمْوَاتِ فَكَذَلِكَ الْقَوْلُ فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَالدُّعَاءِ
وَالْإِسْتِغْفَارِ إِذْ كُلٌّ صَدَقَةٌ بِدَلِيْلِ قَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ
وَالسَّلَامُ كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ (رَوَاهُ الْبُخَارِي وَمُسْلِم)
فَلَمْ يُخَصَّ الصَّدَقَةُ بِالْمَالِ (مختصر تذكرة القرطبي: 25)
Imam Al-Qurthubi berkata, Para Ulama
telah sepakat mengenai sampainya pahala sedekah kepada orang yang telah
meninggal dunia. Begitu juga mengenai bacaan al-qur’an, doa dan istighfar,
karena semua itu adalah sedekah. Sebagaimana sabda Rasulullah r, “setiap kebaikan adalah sedekah”(HR. Bukhari dan Muslim) Nabi r tidak mengkhususkan sedekah itu hanya berupa harta benda saja (namun
juga bisa berupa bacaan al-quran, doa, dan istighfar dan lain sebagainya). (Mukhtashar
Tadzkirah Al-Qurthubi, 25)
Hujjah bacaan surat Yasiin untuk orang
yang meninggal
عَنْ مَعْقِلٍ بْنِ
يَسَارٍ t
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ u
قَالَ: اِقْرَؤُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ ، يَعْنِى يَس . (رواه أحمد، 20300)
Dari Ma’qil bin Yasar, Rasulullah r bersabda: “Bacalah Surat Yasin untuk mayit
kalian." (HR. Ahmad, 20300).
Hadist tersebut menurut Al-Hafidz
Al-Syuyuti dalam Tadrib al-Rawi Juz 1, hal. 341-342, dinilai sebagai Hadist
Shahih.
قَالَ لِي أَبِي: إِذَا
اَنَا مِتُّ
فَأَلْـحِدْنِي,
فَإِذَا وَضَعْتَنِي فِي لَـحْدِي فَقُلْ: بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ
اللهِ ثُمَّ سُنَّ عَلَيَّ الثَّرَى سَنًّا, ثُمَّ اقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي
بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا, فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ u يَقُوْلُ ذَلِكَ (رَوَاهُ الطَبْرَانِي وَقَالَ الحَافِظْ
الهَيْثَمِي: رَوَاهُ الطَّبْرَانِي فِي الكَبِيْرِ وَرِجَالُهُ مَوْثُوْقُوْنَ).
Ayahku al-‘Ala’ berkata
kepadaku: wahai anakku, jika aku mati maka buatkanlah liang lahat untukku, dan
jika engkau telah meletakkanku di liang lahat maka ucapkanlah: بسم الله وعلى ملة رسول
الله kemudian timbunlah aku dengan tanah, lalu
bacakan di dekat kepalaku permulaan surat al-baqarah dan akhir surat
al-baqarah, karena aku telah mendengar Rasulullah r
mengatakan hal itu.
(HR. Ath-Thabrani dan al-Hafizh
al-Haytsami mengatakan: “perawi-perawinya adalah orang-orang terpercaya”).
Imam Syafi’i mensunnahkan membaca
Al-Qur’an untuk orang wafat
قَالَ الشَّافِعيُّ رَحِمَهُ الله: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنَ القُرْآنِ
، وَإِنْ خَتَمُوْا القُرْآنَ كُلَّهُ
كَانَ حَسَنًا.
(دليل الفالحين 6: 103)
“disunnahkan membaca sebagian ayat Al-Quran di dekat mayit, dan
lebih baik lagi jika meraka (pelayat) membaca Al-Quran sampai Khatam. (Dalil al-Falihin, juz VI, hal 103)
Imam Syafi’i suka membaca
Al-Qur’an ketika ziarah kubur
Al-Qur’an ketika ziarah kubur
وَقَدْ تَوَاتَرَ أَنَّ الشَّافِعِيَّ زَارَ
الَّليْثَ بْنَ سَعْدٍ وَأثْنَى خَيْرًا وَقَرَأَ عِنْدَهُ خَتْمَةً وَقَالَ
أَرْجُوْ أَنْ تَدُوْمَ فَكَانَ الأَمْرُكَذَالِكَ
Artinya:
"Telah tersiar berita berturut-turut, bahwa Imam Syafi'I
bersiarah ke kubur Al-Laitsu bin Saad, dan memuji-muji atasnya serta membaca
(Al-Qur'an) disisinya satu kali khatam, dan berkata: aku harap semoga terus-menerus ada pembacaan(dikubur),
maka begitulah pembacaan itu terus-menerus dikerjakan. (Qom’u Ahli Zaighi
wal Ilhad, 45)
Kata Ibn Taimiyyah:
Pahala Tahlil sampai kepada orang yang telah meninggal dunia
Pahala Tahlil sampai kepada orang yang telah meninggal dunia
وَسُئِلَ: عَمَّنْ "هَلَّلَ سَبْعِيْنَ
أَلْف مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُوْنُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنَ
النَّارِ" حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ؟ أَمْ لاَ؟ وَاِذَا هَلَّلَ الْانْسَانُ وَاَهْدَاهُ
إِلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إِلَيْهِ ثَوَابُهُ اَمْ لَا؟ فَأَجَابَ:
إِذَا هَلَّلَ الْاِنْسَانُ هَكَذَا: سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْ اَقَلَّ اَوْ
اَكْثَرَ. وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَفَعَهُ اللهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا
حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَا ضَعِيْفًا. وَاللهُ أَعْلَمُ. (مجموع فتاوى ابن تيمية,
24/323).
“Syaikh Ibn Taimiyyah ditanya, tentang orang yang membaca tahlil
70.000 kali dan dihadiahkan kepada mayit,
agar diselamatkan oleh Allah dari siksa api neraka, apakah hal itu
berdasarkan hadits shahih atau tidak? Dan apabila seseorang membaca tahlil lalu dihadiahkan kepada mayit,
apakah pahalanya sampai atau tidak?” Syaikh Ibn Taimiyyah menjawab, “Apabila
seseorang membaca tahlil 70.000 kali baik lebih atau kurang, lalu pahalanya
dihadiahkan kepada mayit, maka hal tersebut bermanfaat bagi mayit, dan ini bukan
hadits shahih dan bukan hadits dha’if. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa Ibn
Taimiyyah, juz 24, hal. 323)
Kata Ibn Qoyyim yang menyatakan hadiah
pahala itu tidak sampai adalah Ahli Bid’ah
وَذَهَبَ أَهْلُ اْلبِدَعِ مِنْ أَهْلِ
اْلكَلَامِ أَنَّهُ لَايَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ شَىءٌ اَلْبَتَّةَ لَا دُعَاءٌ
وَلَا غَيْرُهُ (اَلْرُوْحُ: 117)
“Para ahli bid’ah dari kalangan Ahli Kalam berpendapat bahwa
menghadiahkan pahala baik berupa do’a atau lainnya sama sekali tidak sampai
kepada orang yang telah meninggal dunia ” (Al-Ruh,
117)
Dr. Muhammad Bakar Ismail melansir
penjelasan Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah
(Panutan Kaum Wahabi)
(Panutan Kaum Wahabi)
وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى
فِي سُوْرَةِ النَّجْمِ: ﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى﴾. فَاِنَّ هَذَا
التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ, فَلَوْلَا اَنَّهُ كَانَ بَارًا
بِـهِمْ فِي حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّـمُوا عَلَيْهِ وَلاَ تَطَوَّعُوا مِنْ أَجْلِهِ
فَهُوَ فِي الْـحَقِيْقَة ثَـمْرَةٌ مِنِ ثِـمَارِ بِرّهِ وَاِحْسَانِهِ
Dalil-dalil tersebut tidak bertentangan
dengan ayat yang artinya: Bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya” (QS. Al-Najm, 39)
“Sesungguhnya hadiah pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur
dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri karena seandainya jika ia tidak
berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan
menghadiahkan pahala untuknya. Karena itu, sejatinya apa yang dilakukan
orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari
perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (al-Fiqh al-Wadlih,
juz 1, hal. 449).
Selamatan tujuh hari kematian
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ
الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ
يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْاَيَّامَ. (رواه الإمام أحمد في كتاب الزهد, الحاوي
للفتاوى, 2/178)
“Dari Sufyan, berkata, “Imam Thawus
berkata, “sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama
tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan
yang pahalanya untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.” (HR.
al-Imam Ahmad dalam kitab al-Zuhud, al-Hawii Lilfataawi juz 2, hal. 178)
============
Kata Syaikh Nawawi al-Bantani 7, 40,
100, 1000 hari dan haul itu tradisi yang tidak dilarang oleh agama
وَالتَّصَدُقُ عَنِ الْمَيِّتِ بِوَجْهِ
شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ اَوْ
اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ وَتَقْيِيْدٌ بِبَعْضِ الْأَيَّامِ مِنَ الْعَوَائِدِ
فَقَطْ, كَمَا اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدُ اَحْمَدْ دَحْلَانُ, وَقَدْ جَرَتْ
عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدَّقُ عَنِ الْمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي
سَابِعٍ وَفِي تَمَامِ الْعِشْرِيْنَ وَفِي الْأَرْبَعِيْنَ وَفِي الْمِائَةِ
وَبَعْدَ ذَلِكَ يَفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي يَوْمِ الْمَوْتِ كَمَا
اَفَادَ شَيْخُنَا يُوْسُفُ السُّنْبُلَاوِيْنِي. (نهاية الزين, 281 )
Bersedekah atas nama mayit dengan cara
yang sesuai dengan syara’ adalah dianjurkan, tanpa ada ketentuan harus tujuh
hari, lebih tujuh hari atau kurang tujuh hari. Sedangkan penentuan sedekah pada
hari-hari tertentu itu hanya merupakan kebiasaan masyarakat saja. Sebagaimana difatwakan oleh
sayyid Ahmad Dahlan. Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan
bersedekah untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, dua
puluh dan ketika genap empat puluh hari
serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya.
Sebagaimana disampaikan oleh Syeikh kita Yusuf al-Sunbulawini. (Nihayah
al-Zain,281)
Imam Ahmad bin Hanbal D,
dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari itu
adalah perbuatan sunnah, karena merupakan salah satu bentuk doa untuk mayit
yang sedang diuji di dalam kubur selama tujuh hari. Sebagaimana yang dikutip
oleh Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi:
“Berkata
Imam Ahmad bin Hanbal, Hasyim bin al-Qasim
meriwayatkan kepada kami, ia berkata, al-Asyja’i
meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, Imam Thawus berkata, “Orang yang
meninggal dunia diuji selama tujuh hari
di dalam kubur mereka. Maka kemudian kalangan salaf mensunnahkan
bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu.” (Al-Hawi li
al-Fatawi, juz II, hal 178 ).
Lebih jauh,
Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut merupakan
perbuatan sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.
“Kesunnahan memberikan
sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku
hingga sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad
X Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi J sampai sekarang ini, dan
tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat J).” (Al-Hawi li
al-Fatawi, juz II, hal. 194)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang penentuan hari
dalam tahlilan itu dapat dibenarkan.
Pada dasarnya , permasalahan peringatan hari ke tiga, atau
ketujuh bagi orang mati , dengan mempersiapkan makanan untuk dihidangkan pada
orang fakir hukumnya ditafsil
>>jika bertujuan hanya sekedar mengikuti adat sebuah daerah maka hukumnya
bid’ah madzmummah yang tidak diharamkan, namun sedekah makanan itu tetap
mendapatkan pahala.
>>Bila bertujuan untuk menolak ucapannya orang-orang bodoh
dengan sebab tidak melaksanakan acara diatas, maka hukumnya sunnah dan mendapatkan
pahala.
NB: Dalam hal ini yang paling berpengaruh adalah niat.
Referensi
الفتاوى الفقهية الكبرى - (ج 3 / ص 95)
( وَسُئِلَ ) أَعَادَ اللَّهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا
يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إلَى الْمَقْبَرَةِ
وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِينَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ
مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ
وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ
الشَّهْرِ مِنْ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوتِ النِّسَاءِ اللَّاتِي
حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوا بِذَلِكَ إلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ
الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوتًا عِنْدَهُمْ
خَسِيسًا لَا يَعْبَئُونَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوا بِذَلِكَ الْعَادَةَ
وَالتَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُونُ
الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ وَهَلْ يُوَزَّعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ
الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ
وَعَنْ الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ
لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ .
( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ جَمِيعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي
السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا إنْ
فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ
شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ
التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلَاةِ بِوَضْعِ يَدِهِ
عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوهُ بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيهِ لَوْ
انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ
مِنْ ذَلِكَ مِنْ التَّرِكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُورٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا
أَوْ كَانُوا كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ بَلْ مَنْ
فَعَلَهُ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَمَنْ فَعَلَهُ مِنْ
التَّرِكَةِ غَرِمَ حِصَّةَ غَيْرِهِ الَّذِي لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ إذْنًا صَحِيحًا
==============
Boleh menentukan waktu untuk beramal
shalih
عَنْ ابْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا
وَرَاكِبًاوَكَانَ عَبْدُاللهِ رضي الله
عنه يَفْعَلُهُ (رواه البخاري، 1193)
"Dari Ibnu Umar t, Beliau
berkata: Nabi r selalu
mendatangi Masjid Quba setiap hari sabtu dengan berjalan kaki dan
berkendaraan," Abdullah bin Umar t juga
sering melakukannya." (Shahih Bukhari, 1193)
Al-Hafidz Ibn. Hajar dalam mengomentari
hadist tarsebut menyatakan:
وَفِيْ هَذَ االْحَدِيْثِ دَلَالَةٌ عَلَى
جَوَازِتَخْصِيْصِ بَعْضِ اْلأَيَّامِ بِبَعْضِ اْلأَعْمَالِ
الصَّالِحَةِوَاْلمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ
"Hadist ini menunjukkan kebolehan
menentukan hari-hari tertentu dengan sebagian amal shaleh dan melakukannya
secara terus-menerus. (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al- Bari,juz 3 hal.69).
Kata Syaikh Bakri Syatha tentang makan
di rumah duka itu bid’ah
نَعَمْ، مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ
الْاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعِ الطَّعَامِ، مِنَ الْبِدَعِ
الْمُنْكَرَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا وَلِىُّ الْأَمرِ. (إعانة
الطالبين، ج 1، ص 242)
Benar
apa yang dilakukan banyak orang berkumpul dirumah duka dan menyuguhkan
makanan termasuk bid’ah dan pemerintah yang melarangnya akan mendapatkan
pahala.
Tetapi hal tersebut bukan tahlilan, bisa dibaca pada paragraf berikutnya
وِمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرِة وَالْمَكْرُوْهِ
فِعْلُهَا: مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ
وَالْجَمْعِ وَالْأَرْبَعِيْنَ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كَانَ
مِنْ مَالٍ مَحْجُوْرٍ، أَوْ مِنْ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنُ، أَوْيَتَرَتَّبُ
عَلَيْهِ ضَرَرٌ، أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ. (إعانة الطالبين، ج 1، ص 242)
Termasuk bid’ah mungkarah dan makruh melakukannya: apa yang
dilakukan banyak orang berkumpul sambil menampakkan kesedihan dan
peringatan arba’in bahkan semua itu haram jika yang disuguhkan berupa
harta yan ditahan atau hak mayyit yang masih mempunyai hutang, atau menimbulkan
darurat, dst.
عَنِ اْلوَاقِدِيِّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَزُوْرُ الشُّهَدَاءَ بِأُحُدٍ فِي كُلِّ
حَوْلٍ, وَإِذَا بَلَغَ الشَّعْبَ رَفَعَ صَوْتَهُ فَيَقُوْلُ : سَلاَمٌ
عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ ثُمَّ أَبُوْ بَكْرٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كُلَّ حَوْلٍ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَالِكَ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا (أَخْرَجَهُ
اْلبَيْهَقِيُّ : شَرْحُ الصُّدُوْرِ 92)
“Dari Al-Waqidi Rasulullah SAW setiap haul (setahun
sekali) berziarah ke makam para asyuhada’ perang uhud. Ketika Nabi SAW sampai di
suatu tempat bernama Sya’b, beliau mengeraskan suaranya dan berseru:
سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ
عُقْبَى الدَّارِ
“Keselamatan bagimu atas kesabaranmu, alangkah baiknya tempatmu
di alam akhirat”. Abu Bakr RA juga melakukan seperti itu, demikian juga Umar
dan Ustman bin ‘Affan RA” (Syarh Al-Shudur, 92)
Boleh merangkai bacaan ayat-ayat
Al-Qur’an, Shalawat, Tahlil, Dll
عَنْ
أَنَسٍ
t عَنِ النَّبِيِ r قَالَ: إِنَّ لِلهِ سَيَّارَةً
مِنَ الْمَلَائِكَةِ يَطْلُبُوْنَ حِلَقَ الذِّكْرِ فَإِذَا أَتَوْا عَلَيْهِمْ
وَحَفُّوْا بِهِمْ ثُمَّ بَعَثُوْا رَائِدَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ إِلَى رَبِّ
الْعِزَّةِ تَبَارَكَ اللهُ تَعَالَى فَيَقُوْلُوْنَ: رَبَّنَا أَتَيْنَا عَلَى
عِبَادٍ مِنْ عِبَادِكَ
يُعَظِّمُوْنَ آلاَءَكَ وَيَتْلُوْنَ كِتَابَكَ وَيُصَلُّوْنَ عَلَى نَبِيِّكَ
مَحَمَّدٍ r وَيَسْأَلُوْنَكَ لِآخِرَتِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ فَيَقُوْلُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى: غَشُّوْهُمْ بِرَحْمَتِي فَيَقُوْلُوْنَ: يَارَبِّ إِنَّ
فِيْهِمْ فُلَانًا الْخَطَّاءَ إِنَّمَا اعْتَنَقَهُمْ اِعْتِنَاقًا فَيَقُوْلُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى: غَشُّوْهُمْ رَحْمَتِي فَهُمُ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى
بِهِمْ جَلِيْسُهُمْ. (رواه البزار قال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد: إسناده
حسن, والحديث صحيح أو حسن عند الحافظ ابن حجر, كما ذكره في فتح الباري 11/212)
Dari Anas t Nabi r bersabda: sesungguhnya Allah memiliki para malaikat yang selalu
mengadakan perjalanan mencari majelis-majelis dzikir. Apabila para malaikat itu
mendatangi orang-orang yang sedang berdzikir dan mengelilingi mereka, maka mereka
mengutus pemimpin mereka ke langit menuju Tuhan Maha Agung – Yang Maha Suci dan
Maha Luhur. Para malaikat itu berkata: wahai tuhan kami, kami telah mendatangi
hamba-hamba-Mu yang mengagungkan nikmat-nikmat-Mu, membaca kitab-Mu,
bershalawat kepada Nabi-Mu Muhammad r dan memohon kepada-Mu akhirat dan dunia mereka. Lalu Allah menjawab:
naungi mereka dengan rahmat-Ku, mereka adlah kaum yang tidak akan sengsara
karena orang itu ikut duduk bersama mereka. (HR. Al-Bazar. Al-Hafizh
al-Haitsami berkata dalam Majma al-Zawaid [16769, juz 10, hal 77]: “Sanad
hadits ini hasan”. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, “Hadits ini shahih dan hasan”).
وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى اَهْلِ
الذِّكْرِ يَقُوْلُ لَهُمْ: هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ
بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُوْنَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُوْنَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ
لِلْمُسْلِمِيْنَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُوْنَ التَّسْبِيْحَ
وَالتَّحْمِيْدَ وَالتَّهْلِيْلَ وَالتَّكْبِيْرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّوْنَ
عَلَى النَّبِيِّ r؟ فَأَجَابَ:
الاِجْتِمَاعُ لذِّكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ
وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْاَوْقَاتِ فَفِي
الصَّحِيْحِ عَن النَّبِيِّ r أَنَّهُ قَالَ: (إِنَّ
لِلهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِيْنَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مُرُّوا بِقَوْمِ
يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوْا إِلَى حَاجَتِكُمْ) وَذَكَرَ
الْحَدِيْثَ وَفِيْهِ (وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيَحْمَدُوْنَكَ)...
وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنَ الصَّلَاةِ أَوِ
الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَي النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ
اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ: فَهَذَا سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ r وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ
عِبَادِ اللهِ قَدِيْمًا وَحَدِيْثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية, 22/520).
Ibn Taimiyah ditanya tentang seseorang yang memprotes ahli
dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka “Dzikir kalian ini bid’ah,
mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah. Mereka memulai dan menutup dzikiirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum
muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan
antara tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata
illa billaah) dan bershalawat kepada Nabi r ?” Lalu Ibnu Taimiyah menjawab: berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan
al-Qur’an dan berdoa adalah amal soleh, termasuk qurban dan ibadah yang paling
utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi r bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak malaikat yang selalu
bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang
berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat
kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka
bertashbih dan bertahmid kepada-Mu” …Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan
wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi
dan sore serta sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi
Rasulullah r dan hamba-hamba Allah yang shaleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’
Fatawa Ibn Taimiyah, Juz 22, hal 520).
=========
Tidak tercela orang miskin yang
bersedekah
وَالَّذِينَ
تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ
إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [الحشر/9]
“Dan orang-orang yang telah menempati
Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang
mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr: 9)
وَقَالَ عَمَّارٌ
ثَلَاثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الْإِيْمَانَ الْإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ
وَبَذْلُ السَّلَامِ لِلْعَلَمِ وَالْإِنْفَاقُ مِنَ الْإِقْتَارِ (رواه البخاري)
“Anwar berkata: tiga perkara, siapa yang
mengumpulkannya maka telah menyempurnakan imannya. Yaitu menyadari kewajiban
dirinya, mengucapkan salam kepada siapa pun dan bersedekah dalam keadaan fakir”
(HR. Al-Bukhari)
Menghidangkan Makanan Kepada Penta’ziah
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَيُّ اْلإِسْلاَمِ
خَيْرٌ قَالَ: تُطْعِمُ الطَّعَامَ, وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ
وَمَنْ لاَ تَعْرِف (رواه البخاري)
Dari Abdullah bin Amr RA, ada seorang
laki-laki bertanya pada Nabi SAW, “Perbuatan apakah yang paling baik di dalam
ajaran orang islam?” Rasulullah SAW menjawab, “menyuguhkan makanan dan
mengucapkan salam, baik kepada orang yang engkau kenal atau tidak”
(HR. al-Bukhari)
وَعَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: حِيْنَ
طُعِنَ عُمَرُ أَمَرَ صُهَيْبًا أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلَاثًا, وَأَمَرَ
بِأَنْ يَجْعَلَ لِلنَاسِ طَعَامًا, (ذكر الحافظ ابن حجر في كتابه "المطالب
العالية في زوائد المسانيد الثمانية" (1/199), وقال إسناده حسن )
Dari al-Ahnaf bin Qais dia berkata: ketika sayyidina Umar RA
menjelang wafat (karena ditikam dengan pisau oleh Abu lu’lu’ah al-Majusi)
beliau menugas Suhaib untuk melaksanakan shalat dengan orang banyak tiga kali
dan memerintahkan agar menyuguhkan makanan untuk mereka. (dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab al-Mathalib al-’Aliyah,
Juz I, hal. 199, dengan sanad yang hasan)
---------
Membakar Dupa
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا أجْمَرْتُم الْمَيِّتَ فَأَجْمِرُوهُ ثَلَاثًا (رواه أحمد)
Apabila engkau mengukup mayyit,
ulangilah tiga kali. (HR. Ahmad)
أخرجه أحمد (3/331 رقم 14580) والبزار كما فى
كشف الأستار (1/385 رقم 813) قال الهيثمى (3/26) : رجاله رجال الصحيح . والبيهقى
(3/405 رقم 6494) . وأخرجه أيضًا : ابن حبان (7/301 رقم 3031) ، والحاكم (1/506 ،
رقم 1310) ، وقال : صحيح على شرط مسلم . ووافقه الذهبى
Membaca Shalawat ketika bubar acara
عن جابر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :
مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا ثُمَّ تَفَرَّقُوْا عَنْ غَيْر صَلَاةٍ عَلَى النبي
صلى الله عليه و سلم إلا تَفَرَّقُوا عَلَى أَنْتَنَ مِنْ رِيْحِ الْجِيْفَةِ
(رواه النسائي ج 6 / ص 109)
Dari Jabir RA bahwa Rsulullah SAW bersabda, “Apabila suatu kaum
berkumpul kemudian mereka bubar tanpa membaca shalawat kepada Nabi SAW, maka
sama dengan bubarnya orang dari tempat bangkai yang berbau busuk. (HR. Nasa’i, Juz VI, hal. 109)
Mengantar jenazah dengan membaca Tahlil
عن ابن
عمر رضي الله عنه, قَالَ لَمْ نَكُنْ نَسْمَعُ مِنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْـجَنَازَةِ, إِلَّا قَوْلُ: لَا
إِلَهَ إِلَّا الله, مُبْدِيًّا, وَرَاجِعًا. أخرجه ابن عدى في الكامل. (نصب
الراية في تخريج أحاديث الهداية, 2/ 212)
Ibn Umar RA berkata, “Tidak pernah
terdengar dari Rasulullah SAW ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan: La
Ilaaha Illallah, pada waktu berangkat dan pulangnya” (HR. Ibnu ‘Adi)
===============================
TALQIN MAYYIT
وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيْرِ
وَابْنُ مَنْدَةَ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ: "إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ,
فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ, فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ
قَبْرِهِ, ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلاَن َبِنْ فَلاَنَةْ, فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ
وَلاَ يُجِيْبُ, ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنَ بِنْ فَلاَنَةَ, فَإِنَّهُ يَسْتَوِي
قَاعِدًا, ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنَ بِنْ فُلاَنَةَ, فَإِنَّهُ يَقُوْلُ:
أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللهُ, وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ, فَلْيَقُلْ: اُذْكُرْ مَا
خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةُ اللهِ أَنْ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ,
وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا,
وَبِاْلاِسْلاَمَ دِيْنًا, وَبِمُمَحَمَّدٍ نَبِيَّا, وَبِالْقُرْآنَ إِمَامًا, فَإِنَّ
مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ, وَيَقُوْلُ:
انْطَلِقْ بِنَا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ, فَيَكُوْنُ
اللهُ حَجِيْجَهُ دُوْنَهُمَا", فَقَالَ رَجُلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ, فَإِنْ
لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ: فَيَنْسُبُهُ اِلَى حَوَّاءَ, يَا فُلاَنَ بِنْ
حَوَّاءَ". (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي, أحكام تمني الموت ص 19)
“Al-Thabrani telah meriwayatkan dalam Al-Muj’am al-Kabir dan Ibn
Mandah, dari Abu Umamah dari Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang
saudaramu meninggal dunia, lalu kalian meratakan tanah di atas makamnya, maka
hendaklah salah seorang kamu berdiri di bagian kepalanya dan katakanlah, “Wahai
fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya ia mendengar tapi tidak menjawab
panggilan itu. Kemudian katakan, “Wahai fulan bin
fulanah”, maka ia akan duduk dengan sempurna. Kemudian katakan, “Wahai fulan
bin fulanah”, maka sesungguhnya ia berkata, “Berilah kami petunjuk, semoga
Allah mengasihimu”, tetapi kalian tidak merasakannya. Lalu katakan, “Ingatlah
janji yang kamu pegang ketika keluar dari dunia, yaitu bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad utusan Allah, bahwa kamu rela menerima Allah
sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Al Qur’an sebagai
pemimpin.” Maka pada saat itu, Malaikat Munkar dan nakir akan saling
berpegangan tangan dan berkata, “Mari kita pergi. Kita tidak duduk di samping
orang yang telah dituntun jawabannya.” Nantinya Allah akan memberikan jawaban
terhadap kedua malaikat itu.” Seorang laki-laki
bertanya, “Wahai Rasulullah, jika Ibu mayit itu tidak diketahui?” Beliau
menjawab, “Nisbatkan kepada Hawwa, “Wahai fulan bin hawwa”. (Syeikh Muhammad
bin Abdul Wahab Al-Najdi, Ahkam Tamanni Al-Maut, hal 19)
Kaum wahabi menolak tanpa dasar
Kitab Ahkam Tamanni Al-Maut adalah karya Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, pendiri aliran wahabi. Kitab ini diterbitkan oleh Universitas Ibn
Saud, Riyadh, Saudi Arabia (1402 H/ 1982 M) dan telah diteliti oleh Syeikh
Abdurrahman bin Muhammad Al-Sadhan dan Syeikh Abdullah bin Abdurrahman
Al-Jibrin, dua ulama senior kaum Wahabi yang kharismatik di Saudi Arabia.
Terbitnya kitab Ahkam Tamanni Al-Maut ini menggemparkan dunia pemikiran
Wahabi, karena tanpa disadari oleh mereka, isi kitab yang mereka terbitkan ini
mengandung hadits-hadits yang bertentangan dengan ajaran dan ideologi kaum
Wahabi selama ini. Akhirnya, tanpa dalil yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, Syeikh Shalih Al-Fauzan
–tokoh Wahabi yang sangat fanatik-, berfatwa bahwa kitab ini palsu, bukan tulisan
pendiri Wahabi.
Komentar ahli hadits tentang hadits
talqin
Komentar al-Hafidz Ibnu Hajar al-
‘Asqallani tentang hadits Al-Thabrani tersebut
dalam kitabnya Al-Talkhish Al-Habir (2/ 135)
وَاِسْنَادُهُ صَالِحٌ وَقَدْ قَوَّاهُ
الضِّيَاءُ فِي اَحْكَامِهِ
Sanad hadits ini shalih (kuat) dan
al-Dhiya’ menilainya kuat dalam kitab Ahkam-nya
Kata Al-Suyuthi dalam Alfiyahnya
وَخُذْهُ حَيْثُ حَافِظٌ عَلَيْهِ نَصْ اَوْ مِن
مُصَنَّفٍ بِجَمْعِهِ يُخَصْ
Yang menentukan hadits itu shahih atau dha’if itu seorang
hafidz, baik dalam pernyataannya maupun kitab yang ditulisnya
==========
Ziarah Kubur
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا (رواه ومسلم،
رقم 594)
“Rasulullah SAW bersabda: aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah” (HR. Muslim [594])
قَالَ اِبْنُ حَزَمٍ اِنَّ زِيَارَةَ
الْقُبُوْرِ وَاجِبَةٌ وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً فِى الْعُمْرِ لِوُرُوْدِ
اْلاَمْرِ بِهِ (العسقلانى، فتح البارى، ج 3 ص 188)
Kata Ibn Hazm wajib ziarah kubur
walaupun sekali seumur hidup, karena adanya perintah tentang hal itu .( fathul
bari juz 3 hal 188)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَال زَارَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ
(رواه مسلم رقم 2304)
“Dari Abi Hurairah, berkata bahwa
Rasulullah SAW berziarah ke pesarean ibundanya
dan beliau menangis serta membuat orang di sekitarnya menangis” (HR. Muslim
[2304])
Ziarah ke makam wali merupakan tradisi ulama salaf
سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُوْلُ: اِنِّي
لِأَتَبَرَّكُ بِأَبِي حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ اِلَى قَبْرِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ
فَإِذَا عُرِضَتْ لِي حَاجَةٌ صَلَيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ اِلَى قَبْرِهِ
وَسَأَلْتُ اللهَ تَعَالَى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ.(تاريخ بغداد,ج1 ص122)
Saya mendengar Imam Syafi’i RA berkata: “Sesungguhnya aku
mengambil barakah dari Imam Abu Hanifah dan aku berziarah ke makamnya setiap
hari. Jika aku dihadapkan pada suatu kebutuhan, aku shalat dua rakaat kemudian
mendatangi makam beliau, dan memohon kepada Allah SWT untuk mengabulkan
kebutuhanku.” (Tarikh Baghdad, juz 1 hal 122)
Sunnah saling bersedekah makanan
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم: يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا
وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ (رواه مسلم:4785)
“Dari Abi Dzarr RA ia
berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Dzar, jika kamu
memasak kuah, maka perbanyaklah airnya, dan bagi-bagikanlah kepada tetanggamu.”
(Shahih Muslim, 4785)
قَالَ شَيْخُنَا الْعَارِفُ الشَّعْرَاوِي:
كَانَ التَّابِعُوْنَ يُرْسِلُوْنَ الْهَدِيَّةَ لِأَخِيْهِمْ وَيَقُوْلُوْنَ
نَعْلَمُ غِنَاكَ عَنْ مِثْلِ هَذَا وَإِنَّمَا أَرْسَلْنَا ذَلِكَ لِتَعْلَمَ
أَنَّكَ مِنَّا عَلَى بَالٍ (المناوى، فيض القدير، ج 3 ص273)
“Syaikh kami al-Arif al-Sya’rawi
menyatakan bahwa para tabi’in memiliki kebiasaan memberikan hadiah
kepada saudara-saudaranya. Mereka berkata, “Kami tahu bahwa engkau tidak
membutuhkan benda yang kami berikan ini. tapi kami memberikannya kepadamu agar
kamu tahu bahwa kami masih peduli dan menganggapmu sebagai sahabat.” (Faidh
al-Qadir, juz III, hal 272)
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik