Sistem Bermadzhab
1. Sumber Hukum Islam
Dalam menyelesaikan persoalan hukum,
golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah berpedoman kepada al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama, kemudian
didukung dengan
ijma’ dan qiyas. Empat dalil ini yang harus menjadi rujukan setiap Muslim dalam mengambil
suatu keputusan hukum.
Imam al-Syafi`i D dalam kitabnya al-Risalah menegaskan.
“Seseorang tidak boleh mengatakan ini halal
atau ini haram, kecuali
ia telah mengetahui dalilnya. Sedangkan mengetahui dalil itu didapat dari al-Qur’an, hadits,
ijma’ atau qiyas.” (Imam al-Syafi’i, al-Risalah, hal. 36).
Pedoman ini dipetik dari firman Allah SWT:
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اَطِيْعُوْا اللهَ وَاَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ. وَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فىِ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِااللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً (النساء:
59)
“Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah
kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul serta Ulil-Amri di antara
kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka
kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. al-Nisa’: 59).
Menjelaskan ayat ini,
Syaikh Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwa, “Perintah untuk taat kepada Allah
SWT dan Rasul-Nya,
merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulil-Amri, merupakan anjuran untuk
mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab
merekalah yang menjadi Ulil--Amri dalam masalah hukum agama bagi kaum Muslimin.
Dan perintah untuk mengembalikan
semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk
mengikuti qiyas ketika tidak
ada dalil nash (al-Qur’an dan hadits) dan ijma’.” (Abdul Wahhab
Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 21).
Ketika memutuskan suatu persoalan hukum,
empat dalil ini digunakan
secara berurutan. Artinya, yang pertama kali harus dilihat adalah al-Qur’an.
Kemudian meneliti hadits Nabi J. Jika tidak ada, maka melihat ijma’ ulama. Dan yang terakhir adalah menggunakan qiyas
para fuqaha.
Hirarki (urutan) ini sesuai dengan
orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya. Imam Saifuddin Ali bin Muhammad
al-Amidi (551-631 H/1156-1233 M) menjelaskan dalam kitabnya al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam bahwa yang asal dalam
dalil syar’i adalah al-Qur’an, sebab ia datang langsung dari Allah SWT sebagai musyarri’ (pembuat
hukum). Sedangkan urutan kedua adalah
sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelas dari firman dan hukum Allah SWT
dalam al-Qur’an. Dan sesudah itu adalah ijma’, karena ijma’ selalu berpijak pada dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Yang
terakhir adalah qiyas, sebab proses
qiyas selalu berpedoman pada nash (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan Ijma’. (Al-Amidi,
al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz I, hal 208).
Dari sini dapat diketahui bahwa sumber
hukum Islam tidak hanya terbatas
pada al-Qur'an dan hadits. Masih ada ijma’ dan qiyas yang digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara
langsung dalam al-Qur'an dan hadits sebagai dalil utama.
Al-Qur'an
Al-Qur’an adalah:
اَللَّفْظُ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ J لِلإِعْجَازِ بِسُوْرَةٍ مِنْهُ اَلْمُتَعَبَّدِ بِتِلاَوَتِهِ (السيوطي، الكوكب الساطع، 1/69)
“Al-Qur’an adalah lafazh yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad J sebagai mukjizat dengan
satu surat saja, dan merupakan ibadah apabila membacanya”. (Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’, juz I, hal 69).
Allah SWT menjamin bahwa al-Qur'an terjaga
dari berbagai upaya tangan-tangan kotor yang ingin merubah untuk menyisipkan
walau hanya satu huruf. Sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر:
9)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. al-Hijr: 9).
Secara keseluruhan al-Qur’an terdiri dari
6.666 ayat, 114 surat dan terbagi
dalam 30 juz. Hal tersebut telah diuji dengan menggunakan metode ilmiah oleh para ahli filologi (ahli tentang manuskrip) dunia. Dr Muhammad Mushthafa al-A’zhami mengutip keterangan dari Prof.
Hamidullah:
Universitas Munich (Jerman) telah
mendirikan dalam abad yang lalu sebuah Lembaga Penelitian al-Qur’an. Sesudah beberapa generasi, tatkala
direkturnya yang sekarang, Prof. Pretzell datang ke Paris pada tahun 1933, beliau menceritakan pada saya bahwa mereka telah
mengumpulkan empat puluh dua (42) ribu salinan al-Qur’an
dari salinan
yang berbeda, sebagian lengkap, sebagian lainnya berupa fragmen-fragmen, sebagian asli, kebanyakan
foto-foto yang asli
dari segala penjuru dunia. Pekerjaan secara terus menerus membandingkan setiap kata dari setiap
salinan al-Qur’an itu untuk mengetahui apakah ada variasinya (perbedaannya). Tak lama sebelum Perang Dunia Kedua,
sebuah laporan awal dan percobaan diterbitkan, sehingga tentu saja menyalin kekeliruan dalam naskah al-Qur’an, tetapi
ternyata tidak terdapat variasinya (tidak ada yang berbeda). Selama perang
berlangsung, lembaga ini kena bom dan semuanya binasa, direktur, personalia, dan
perpustakaan. (Mukjizat al-Qur’an, hal. 57).
Sunnah
Sumber hukum Islam yang kedua adalah
al-Sunnah, yakni:
مَااُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ J مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْر (المنهل اللطيف في اصول الحديث الشريف: 51)
“Yakni segala sesuatu yang disandarkan pada
Nabi J, baik berupa perbuatan, ucapan serta pengakuan Nabi J”. (Al-Manhal al-Lathif fi
Ushul al-Hadits al-Syarif, hal.
51).
Sunnah terbagi menjadi tiga.
1. Sunnah
Qawliyyah. Yakni semua ucapan Nabi J yang menerangkan tentang suatu hukum, seperti perintah Nabi
J untuk berpuasa Ramadhan apabila telah
melihat bulan (ru’yah).
2. Sunnah Fi‘liyyah. Yaitu semua perbuatan Nabi J yang terkait
dengan hukum, seperti tata cara shalat yang beliau kerjakan.
3. Sunnah
Taqririyyah. Yaitu pengakuan Nabi
J atas apa yang diperbuat oleh para sahabat,
seperti pengakuan Nabi J pada seorang sahabat
yang bertayammum karena tidak ada air. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,
hal. 105).
Kitab-kitab yang mencatat al-Sunnah itu
banyak sekali. Namun tidak semua dapat dijadikan pedoman
dan standar. Karena itulah para ulama membagi
kitab-kitab hadits pada tiga tingkatan besar.
1. Kitab-kitab
yang hanya memuat hadits mutawatir, hadits shahih yang ahad (tidak sampai pada
tingkatan mutawatir, karena diriwayatkan oleh sedikit orang), serta hadits hasan.
Misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta Kitab al-Muwaththa’
karangan Imam Malik.
2. Kitab-kitab yang muatan haditsnya tidak
sampai pada tingkatan pertama.
Yaitu kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang diyakini tidak mudah
memasukkan sembarang hadits dalam kitab-kitab mereka, namun masih ada
kemungkinan hadits yang mereka tulis masuk pada kategori dha’if.
Misalnya adalah Jami’ al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Musnad Ahmad bin
Hanbal dan Mujtaba al-Nasa’i.
3. Kitab hadits
yang banyak memuat hadits dha‘if, namun kebanyakan para perawinya tidak diketahui keadaannya, apakah tergolong fasiq atau tidak. Contoh untuk golongan ketiga ini adalah Mushannaf Ibn Abi
Syaibah, Musnad al-Thayalisi, Musnad ‘Abd bin Humaid, Sunan al-Baihaqi,
al-Thabarani, al-Thahawi dan Mushannaf ‘Abdurrazaq.
4. Kitab-kitab
yang banyak mengandung hadits dha‘if, seperti kitab hadits karya Ibn
Mardawaih, Ibn Syahin, Abu al-Syaikh dan lain-lain. Jenis keempat ini tidak dapat dijadikan pedoman, karena kebanyakan
sumber mereka adalah orang-orang yang kurang dapat
dipercaya, karena selalu
mengedepankan hawa nafsunya. (Dr. Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa
Mushthalahuh, hal. 116-117).
Salah satu keistimewaan hadits Nabi J adalah bahwa hadits Nabi J telah dilengkapi dengan berbagai macam ilmu
untuk menjaga kemurniannya. Para ulama salaf yang telah memberikan pagar-pagar
beton yang kokoh dan tak mungkin bisa dijebol oleh siapapun juga untuk menjaga kemurnian hadits nabi. Al-Sunnah telah
dilengkapi dengan
berbagai perangkat ilmu seperti musthalah al-hadits, ‘ulum al-rijal, al-jarh
wa al-ta’dil, ‘ulum naqd al-matn dan sebagainya.
Oleh karena itu betapapun banyak upaya untuk melemahkan
keimanan umat Islam pada sunnah Nabi J, tetapi usaha tersebut tidak menampakkan hasil bahkan menuai kegagalan. [1]
Ijma’
Ijma’ adalah:
اَمَّا اْلإِجْمَاعُ فَهُوَ اِتِّفَاقُ عُلَمَاءِ اَهْلِ الْعَصْرِ عَلَى حُكْمِ الْحَادِثَة (الورقات في أصول الفقه: 44)
“Yang dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan hukum
yang terjadi ketika itu.” (Al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, hal. 44).
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad bin
Idris al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dalam kitab Tanqih
al-Fushul Fi
al-Ushul (hal. 82), dalil lain
yang menunjukkan keberadaan ijma’ dalam hukum Islam adalah firman Allah SWT
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (النساء: 115)
“Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. al-Nisa’: 115).
Contoh ijma’ adalah
kesepakatan para sahabat tentang adzan dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh di bulan Ramadhan
dan semacamnya.
Para ulama membagi ijma’ menjadi dua macam,
yakni:
1. Ijma’ sharih. Terjadi ketika para imam mujtahid
menyampaikan pendapatnya. Dan
ternyata pendapat mereka sama.
2. Ijma’ sukuti. Yakni ketika sebagian mujtahid
menyampaikan hasil ijtihad, tetapi yang lain diam, dan
tidak menyampaikan pendapatnya. Dalam hal ini diam berarti
setuju. (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 23).
Qiyas
Al-Imam Ibnu al-Hajib al-Maliki (570-646
H/1174-1249 M) menjelaskan definisi qiyas, sebagai berikut:
قَالَ اِبْنُ الْحَاجِبٍ: هُوَ مُسَاوَاةُ الْفَرْعِ اْلأَصْلَ فِي عِلَّةِ حُكْمِه (الخضري بك، اصول الفقه: 289)
“Ibnu al-Hajib mengatakan, “Qiyas adalah
menyamakan hukum cabang (far‘) kepada
asal karena ada (kesamaan) illat (sebab)
hukumnya.” (Al-Khudhari Bik, Ushul al-Fiqh, hal. 289).
Dalam kitab Tanqih al-Fushul fi al-Ushul
(hal. 89), dijelaskan bahwa dalil qiyas adalah firman Allah SWT:
فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي اْلأَبْصَارِ (الحشر: 2)
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. al-Hasyr: 2).
Contoh qiyas adalah perintah untuk
meninggalkan segala
jenis pekerjaan pada saat adzan Jum’at dikumandangkan. Hal ini disamakan dengan
perintah untuk meninggalkan jual-beli
pada saat-saat tersebut, yang secara langsung
dinyatakan dalam al-Qur’an, yakni firman Allah SWT:
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْ إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوْا الْبَيْعَ (الجمعة: 9)
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila
kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada hari jum‘at, maka bergegaslah kamu untuk dzikir kepada Allah (mengerjakan shalat jum‘at) dan tingggalkanlah jual-beli.” (QS. al-Jumu‘ah: 9).
Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat
memahami bahwa slogan sebagian kelompok “kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah”, adalah sekedar klaim dari pengusung slogan tersebut agar mereka tampak sebagai
kelompok yang paling islami. Padahal kenyataannya madzhab yang empat dan para pengikutnya juga menggunakan
al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum utama. Baru
ketika tidak ditemukan nash secara tersurat maka digunakan ijma’, qiyas dan metode istinbat yang lain. [2]
Kalau kita terpaku hanya kepada teks
al-Qur’an ataupun as-Sunnah
saja kita tidak akan menemukan teks yang secara jelas menetapkan keharaman
narkoba. Maka kemungkaran akan semakin merajalela. Jadi disamping menggunakan al-Qur’an ataupun as-Sunnah
sebagai sumber hukum utama, kita juga harus menggunakan sumber-sumber yang lain seperti ijma’, qiyas, dan lain
sebagainya.
[1] Ketika
Goldziher dalam bukunya yang berbahasa Jerman Muhammedanische Studien mencoba
mengacak teori ilmu hadits yang sudah baku, maka kemudian hadirlah Dr. Muhammad
Mushthafa al-A’zhami, dengan sebuah
disertasinya untuk membela kebenaran hadits secara ilmiyah, yang
berjudul Dirasah fi al-Hadits al-Nabawi Wa Tarikh Tadwinihi, yang dipertahankan
di hadapan para pakar ilmu ke-Islaman orientalis di Universitas Cambridge pada tahun 1966, di antaranya Prof. A.J.
Arberry dan lulus dengan predikat sangat memuaskan (Cum Laude).
Dengan demikian runtuhlah upaya Goldziher
dan para koleganya tersebut. Lebih jelas lihat, Muqaddimah Dirasah fi
al-Hadits al-Nabawi Wa Tarikh Tadwinihi.
[2] Dalam keharaman narkoba misalnya kita harus
menggunakan metode qiyas
(analogi) agar sampai pada kesimpulan bahwa narkoba itu haram dengan
cara menemukan kesamaan illat (penyebab) keharaman khamer dan narkoba bahwa
keduanya sama-sama memabukkan.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik