DALIL SEPUTAR KEMATIAN
1.
Doa
Setelah Salat Janazah
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya berdoa (tahlil)
setelah salat Janazah? Jamaah Masjid Istikmal,
Jawaban:
Jika pertanyaan ini disampaikan pada ulama
Wahabi, maka sudah pasti dihukumi bid’ah yang sesat. Namun apa yang telah
menjadi tradisi di lingkungan kita dan telah dilakukan oleh para ulama adalah
terdiri dari 2 hal, yaitu mendoakan dan menghadiahkan bacaan al-Quran.
Dalil pertama:
عَنِ ابْنِ أَبِى
مُلَيْكَةَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ لَمَّا وُضِعَ عُمَرُ عَلَى
سَرِيرِهِ اكْتَنَفَهُ النَّاسُ يَدْعُونَ وَيُصَلُّونَ -أَوْ قَالَ يُثْنُونَ
وَيُصَلُّونَ- عَلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُرْفَعَ وَأَنَا فِيهِمْ فَلَمْ يَرُعْنِى
إِلاَّ رَجُلٌ قَدْ زَحَمَنِى وَأَخَذَ بِمَنْكِبِى فَالْتَفَتُّ فَإِذَا عَلِىُّ بْنُ
أَبِى طَالِبٍ فَتَرَحَّمَ عَلَى عُمَرَ ثُمَّ قَالَ مَا خَلَّفْتُ أَحَدًا
أَحَبَّ إِلَىَّ أَنْ أَلْقَى اللهَ بِمِثْلِ عَمَلِهِ مِنْكَ وَايْمُ اللهِ إِنْ
كُنْتُ لأَظُنُّ لَيَجْعَلَنَّكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مَعَ صَاحِبَيْكَ وَذَلِكَ
أَنِّى كُنْتُ أَكْثَرُ أَنْ أَسْمَعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله تعالى عليه يَقُولُ
«ذَهَبْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَدَخَلْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ
وَعُمَرُ وَخَرَجْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ». فَكُنْتُ أَظُنُّ
لَيَجْعَلَنَّكَ اللهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ (ابن ماجه رقم 103)
“Ibnu Abbas berkata: Ketika janazah Umar diletakkan di atas
keranda, maka orang-orang mengerumuninya, mendoakannya dan mensalatinya. Atau
Ibnu Abbas berkata: Mereka memujinya dan mendoakan rahmat untuknya, sebelum
janazahnya diangkat (ke kuburan), dan saya diantara kerumunan mereka. Saya
tidak merasakan apa-apa kecuali seseorang yang berdesakan kepada saya dan
memegang pundak saya, saya menoleh ternyata Ali bin Abi Thalib. Ali kemudian
mendoakannya. Ia berkata: Saya tidak menggantikan seseorang yang paling saya
cintai untuk bertemu dengan Allah yang seperti amalmu. Demi Allah saya
menyangka Allah akan menjadikanmu bersama kedua sahabatmu (Rasulullah dan Abu
Bakar). Saya sering mendengar Rasulullah Saw bersabda: Saya akan berangkat
bersama Abu Bakar dan Umar. Saya akan masuk bersama Abu Bakar dan Umar. Dan
Saya akan keluar bersama Abu Bakar dan Umar. Saya menyangka Allah akan
menjadikanmu bersama kedua sahabatmu (Ibnu
Majah 103)
Syaikh as-Sindi
berkata:
قَوْله (يَثْنُونَ
وَيُصَلُّونَ) أَيْ
يَتَرَحَّمُونَ عَلَيْهِ وَيَحْتَمِل عَلَيْهِ بَعْد صَلاَةِ الْجَنَازَةِ (حاشية
السندي على ابن ماجه - 1/89)
“Maksud perkataan Ibnu Abbas: ‘Mereka memujinya dan mendoakan
rahmat untuknya’, bisa jadi dilakukan setelah salat janazah” (Hasyiah Ibni Majah 1/89)
Apa indikasi bahwa
doa tersebut dilakukan setelah salat janazah? Yaitu perkataan Ibnu Abbas:
“Sebelum janazahnya diangkat (ke kuburan)”. Dengan demikian melakukan doa
setelah salat janazah adalah boleh, karena dilakukan para sahabat, termasuk
Amiril Mu’minin Sayidina Ali bin Abi Thalib
Dalil kedua, terkait
menghadiahkan pahala bacaan al-Quran setelah salat janazah dibenarkan oleh
ulama Wahabi, Syaikh Abudllah al-Faqih:
هُنَاكَ عَادَةٌ فِي
إِحْدَى مَنَاطِقِ الْجَزَائِرِ يَقْرَؤُوْنَ الْفَاتِحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ
بَعْدَ صَلاَةِ الْجَنَازَةِ وَأَنَا إِمَامٌ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ، فَبَعْدَ
صَلاَةِ الْجَنَازَةِ أَنْصَرِفُ وَأَنَا فِي حَرَجٍ. فَهَلْ قِرَاءَةُ
الْفَاتِحَةِ عَلَى الْمَيِّتِ بِدْعَةٌ أَمْ هِيَ سُنَّةٌ؟
الْحَمْدُ للهِ
وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَمَّا
بَعْدُ: فَالْتِزَامُ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ أَوْ
غَيْرِهَا مِنْ سُوَرِ الْقُرْآنِ عَقِبَ صَلاَةِ الْجَنَازَةِ بِدْعَةٌ لَكِنْ
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ، سَوَاءٌ الْفَاتِحَةُ أَوْ غَيْرُهَا وَإِهْدَاءُ ثَوَابِ
قِرَاءَتِهَا إِلَى الْمَيِّتِ جَائِزٌ وَثَوَابُهَا يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ
–إِنْ شَاءَ اللهُ- مَا لَمْ يَقُمْ بِالْمَيِّتِ مَانِعٌ مِنَ اْلاِنْتِفَاعِ
بِالثَّوَابِ وَلاَ يَمْنَعُ مِنْهُ إِلاَّ الْكُفْرُ (فتاوى الشبكة الإسلامية معدلة رقم الفتوى 18949 حكم قراءة الفاتحة
بعد صلاة الجنازة 3 / 5370)
“Pertanyaan: Ada sebuah tradisi di sebagian tempat yang
membiasakan membaca al-Fatihah untuk mayit setelah salat Janazah, saya yang
menjadi imam di masjid, setelah salat janazah saya langsung keluar, namun
terasa terbebani. Apakah membaca Fatihah untuk mayit bid’ah atau sunah?
Jawaban: Membaca al-Fatihah atau yang lain terus menerus setelah salat janazah
adalah bid’ah, namun membaca al-Quran baik al-Fatihah atau lainnya, dan
menghadiahkan bacaannya kepada mayit, akan sampai kepadanya –Insya Allah-
selama tidak ada yang menghalanginya, yaitu kekufuran (beda agama).” (Fatawa al-Islamiyah 3/5370)
Sementara jawaban
dalam fatwa yang mengatakan membaca al-Fatihah secara terus menerus dikatakan
bid’ah adalah tidak benar. Sebab membaca al-Fatihah untuk orang yang telah
wafat juga telah diamalkan oleh para ulama:
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ
طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا فِيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ
الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ
وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي غُرْبَةٍ بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ
وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ
الدُّعَاءِ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ
وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير الرازي : مفاتيح الغيب 18 /
183)
"(al-Razi berkata) Saya berwasiat
kepada pembaca kitab saya dan yang mempelajarinya agar secara khusus membacakan
al-Fatihah untuk anak saya dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang
meninggal nan jauh dari teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan
saya sendiri melakukan hal tersebut"
(Tafsir al-Razi 18/233-234)
2.
Sedekah
Keluarga Kepada Pelayat
Pertanyaan:
Keluarga yang ditinggal mati sudah barang tentu dalam keadaan
sedih, mengapa mereka repot-repot memberi hidangan kepada orang yang
bertakziyah? Adakah tuntunannya?
Jawaban:
Dalam hadis yang sudah masyhur, Rasulullah
memerintahkan kepada orang lain untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja’far
yang baru ditinggal mati. Begitu pula yang berlaku di lingkungan kita, yang
memasak, bersedekah beras, memberi santunan, adalah para tetangga maupun
kerabat orang yang ditinggal mati. Maka dalam hal ini sudah sesuai dengan
perintah Rasulullah Saw.
Sementara adakah dalil bagi keluarga
memberikan hidangan bagi para pentakziyah? Berikut diantara dalilnya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيْسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ
كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ
رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ قَالَ:
خَرَجْنَا
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله تعالى عليه فِى جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صلى الله تعالى عليه وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوْصِى الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ
قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ
دَاعِى امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِىءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ
الْقَوْمُ فَأَكَلُوْا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله تعالى عليه
يَلُوْكُ لُقْمَةً فِى فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ
إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتِ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّى
أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيْعِ يَشْتَرِى لِى شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ
إِلَى جَارٍ لِى قَدِ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَىَّ بِهَا بِثَمَنِهَا
فَلَمْ يُوْجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَىَّ بِهَا
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله تعالى عليه أَطْعِمِيْهِ الأُسَارَى (رواه احمد
رقم 22876 وابو داود رقم 2894 والدارقطني رقم 4763 والبيهقي فى السنن الكبرى رقم
7003)
"(Setelah
Rasulullah mengikuti pemakaman seoarang Sahabat) Rasulullah telah ditunggu oleh
utusan istri sahabat tersebut dan memberi hidangan
kepada Rasul. Kemudian beliau memakannya dan para sahabat juga turut
menikmatinya. Setelah beberapa santapan, Rasulullah bersabda: Saya mencium
daging kambing ini diambil tanpa seizin pamiliknya. Wanita itu kemudian
berkata: Saya telah mengutus seseorang untuk membeli kambing ke Baqi', tetapi
ia tidak menemukannya. Kemudian saya menyuruhnya membeli kepada tetangga tetapi
juga tidak menemukannya. Namun istrinya membawakan kambing tersebut. Rasulullah
Saw bersabda: Berikanlah makanan ini kepada para tawanan! (HR Ahmad No 22876, Abu Dawud No 2894, al-Daruquthni No
4763, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra No 7003)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
إِسْنَادُهُ
صَحِيْحٌ (تلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير للحافظ ابن حجر 2 /
296)
"Sanadnya
sahih" (Talkhis al-Habir
II/296)
Teks (دَاعِي اِمْرَأَةٍ) adalah nakirah (umum), namun
banyak ahli hadis yang menyatakan bahwa wanita tersebut adalah istri dari
sahabat yang meninggal, sebagaimana yang disampaikan oleh Syamsul Haq al-'Adhim
dalam syarah Sunan Abu Dawud ini:
(دَاعِي اِمْرَأَةٍ) كَذَا فِي
النُّسَخِ الْحَاضِرَةِ وَفِي الْمِشْكَاةِ دَاعِي اِمْرَأَتِهِ بِاْلإِضَافَةِ
إِلَى الضَّمِيْرِ قَالَ الْقَارِيّ أَيْ زَوْجَةُ الْمُتَوَفَّى (عون المعبود
شرح سنن أبي داود لشمس الحق العظيم 9 /
151)
"Dalam beberapa cetakan berbentuk
nakirah (دَاعِي
اِمْرَأَةٍ). Dan dalam kitab al-Misykat diidlafahkan pada dlamir (دَاعِي اِمْرَأَتِهِ). Al-Qari berkata: Wanita tersebut
adalah istri dari sahabat yang meninggal" ('Aun al-Ma'bud IX/151)
Sebagaimana telah
dimaklumi dalam ilmu dasar Ushul Fiqh, bahwa jika ada dalil hadis yang masih
umum dan global, sementara ditemukan riwayat lainnya yang lebih khusus dan
terperinci, maka hadis yang umum tadi diarahkan pada hadis yang lebih
khusus.
Otoritas Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam Kuwait
memberi kesimpulan dari hadis ini:
فَهَذَا
يَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ صُنْعِ أَهْلِ الْمَيِّتِ الطَّعَامَ وَالدَّعْوَةِ
إِلَيْهِ وَزَادَ الْمَالِكِيَّةُ أَنَّ مَا يَصْنَعُهُ أَقَارِبُ الْمَيِّتِ مِنَ
الطَّعَامِ وَجَمْعِ النَّاسِ إِلَيْهِ إِنْ كَانَ لِقِرَاءَةِ قُرْآنٍ
وَنَحْوِهَا مِمَّا يُرْجَى خَيْرُهُ لِلْمَيِّتِ فَلاَ بَأْسَ بِهِ وَأَمَّا
إِذَا كَانَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَيُكْرَهُ (الموسوعة الفقهية الكويتية (44 / 9)
لوزارة الأوقاف والشئون الإسلامية الكويت الطبعة من 1404 - 1427 هـ)
"Hadis ini
(riwayat 'Ashim bin Kulaib) menunjukkan diperbolehkannya bagi keluarga yang
meninggal untuk membuat makanan dan mengundang orang lain. Ulama Malikiyah
menambahkan bahwa makanan yang dibuat oleh keluarga mayit dan mengumpulkan
orang-orang apabila untuk membaca al-Quran atau lainnya yang dapat berguna bagi
mayit, maka hukumnya tidak apa-apa. Bila dilakukan tidak untuk hal tersebut,
maka hukumnya makruh[1]" (Ensiklopedi Fikih Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam
Kuwait 44/9)
Dengan demikian hadis ini adalah nash yang jelas bahwa
Rasulullah Saw dan para sahabatnya berkenan hadir ke rumah duka setelah
pemakaman dan beliau beserta para sahabat memakan hidangan dari kelurga yang
meninggal dunia. Syaikh al-Thahthawi kemudian membandingkan antara riwayat
atsar dari Jarir bin Abdillah tentang larangan membuat makanan oleh
keluarga mayat dengan hadis sahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah memenuhi
undangan seorang istri sahabat yang wafat dan memakan hidangannya, pada
akhirnya al-Thahthawi menyimpulkan:
فَهَذَا
يَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ صُنْعِ أَهْلِ الْمَيِّتِ الطَّعَامَ وَالدَّعْوَةِ
إِلَيْهِ بَلْ ذُكِرَ فِي الْبَزَّازِيَّةِ أَيْضًا مِنْ كِتَابِ اْلاِسْتِحْسَانِ
وَإِنِ اتَّخَذَ طَعَامًا لِلْفُقَرَاءِ كَانَ حَسَنًا اهـ (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح شرح
نور الإيضاح 1 / 410)
"Hadis ini (riwayat 'Ashim bin Kulaib)
menunjukkan diperbolehkannya bagi keluarga yang meninggal untuk membuat makanan
dan mengundang orang lain. Bahkan
disebutkan dalam kitab al-Bazzaziyah juga secara metode Istihsan, yaitu bila
membuatkan makanan untuk orang-orang fakir maka hukumnya bagus" (Hasyiyah al-Thahthawi I/410)
=====================================
3. Tahlil 7 Hari dan 40 Hari
Pertanyaan:
Betulkah tradisi selametan di lingkungan
Nahdliyin setelah kematian, baik 7 hari, 40 hari dan seterusnya adalah warisan
agama Hindu dan Budha?
Jawaban:
Anggapan tersebut tidak benar. Sebab dalam
riwayat Tabiin disebutkan kebiasaan bersedekan untuk orang yang telah wafat
selama 7 hari. Berikut redaksinya:
حَدَّثَنَا
أَبُوْ بَكْرِ بْنِ مَالِكِ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلَ ثَنَا
أَبِي ثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ
(الثَّوْرِيّ) قَالَ قَالَ طَاوُوْسٌ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي
قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أْنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ
اْلأَيَّامَ (المطالب العلية للحافظ ابن حجر 5 / 330 وحلية الأولياء لابي نعيم
الاصبهاني ج 4 / 11 وصفة الصفوة لأبي
الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد بن الجوزي 1 / 20 والبداية والنهاية لابن كثير 9
/ 270 وشرح صحيح البخارى لابن بطال 3 / 271 وعمدة القاري شرح صحيح البخارى للعيني
12 / 277)
"Imam Ahmad
mengutip pernyataan Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan
ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi
sedekah pada 7 hari tersebut" (Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah V/330, Abu Nuaim
dalam Hilyat al-Auliya' IV/11, Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah I/20, Ibnu
Katsir (murid Ibnu Taimiyah, ahli Tafsir) dalam al-Bidayah wa al-Nihayah
IX/270, Ibnu Baththal dalam Syarah al-Bukhari III/271 dan al-Aini dalam Umdat
al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari XII/277)
Jalaluddin
al-Suyuthi berkata:
فَائِدَةٌ
رَوَى أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ فِي الزُّهْدِ وَأَبُوْ نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ
عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا
يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ إِسْنَادُهُ
صَحِيْحٌ وَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ وَذَكَرَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ عَنْ
عُبَيْدِ بْنِ عَمِيْرٍ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعًا وَالْمُنَافِقَ
أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَسَنَدُهُ صَحِيْحٌ أَيْضًا وَذَكَرَ ابْنُ رَجَبَ فِي
اْلقُبُوْرِ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ اْلأَرْوَاحَ عَلَى الْقُبُوْرِ سَبْعَةَ
أَيَّامٍ مِنْ يَوْمِ الدَّفْنِ لاَ تُفَارِقُهُ وَلَمْ أَقِفْ عَلَى سَنَدِهِ (الديباج
على مسلم بن الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
"Ahmad meriwayatkan dalam kitab Zuhud
dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah dari Thawus bahwa 'sesungguhnya orang-orang yang
mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang
untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut'. Sanad riwayat ini sahih dan
berstatus hadis marfu'. Ibnu Juraij menyebutkan dalam kitab al-Mushannaf dari
Ubaid bin Amir bahwa 'orang mukmin mendapatkan ujian (di kubur) selama 7 hari,
dan orang munafik selama 40 hari'. Sanadnya juga sahih. Ibnu Rajab menyebutkan
dalam kitab al-Kubur dari Mujahid bahwa 'arwah berada dalam kubur selama 7 hari
sejak dimakamkan dan tidak berpisah'. Tetapi saya tidak menemukan
sanadnya" (al-Dibaj Syarah sahih Muslim II/490)
Al-Hafidz As-Suyuthi
berkata:
إِنَّ سُنَّةَ اْلإطْعَامِ
سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إلَى اْلآنَ بِمَكَّةَ
وَالْمَدِيْنَةِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ
إِلَى اْلآنَ وَإِنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إلَى الصَّدْرِ
اْلأَوَّلِ (الحاوي للفتاوي للسيوطي - ج 3 / ص 288)
“Anjuran memberi makanan 7 hari, telah sampai kepada saya bahwa
hal itu berlangsung hingga sekarang di Makah dan Madinah. Secara Dzahir hal itu
tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat hingga sekarang, dan mereka
meneruskannya secara turun temurun dari masa Awal” (al-
Haawii 3/288)
Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki, pengarang kitab
Inarat al-Duja, memberi jawaban atas pertanyaan tentang kebiasaan di
Jawa saat takziyah dan tahlil pada hari-hari tertentu, bahwa tradisi semacam
itu bisa menjadi bid'ah yang diharamkan jika bertujuan untuk meratapi mayit,
dan jika tidak bertujuan seperti itu dan tidak mengandung unsur haram lainnya,
maka masuk kategori bid'ah yang diperbolehkan. Di akhir fatwa beliau berkata:
اِعْلَمْ اَنَّ
الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ
بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ
وَقَدَّمُوْهُ ِلاَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ "اصْنَعُوْا
ِلاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا" وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ
وَرَجَاءَ ثَوَابِ اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ
الشَّرْقَاوِيَ قَالَ فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ
وَالصَّحِيْحُ اَنَّ سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ
الْمُؤْمِنُ سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ
اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ دَفْنِهِ اهــ
بِحُرُوْفِهِ (بلوغ الامنية بفتاوى النوازل العصرية مع انارة الدجى شرح نظم
تنوير الحجا 215-219)
"Ketahuilah, pada
umumnya orang-orang Jawa jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka
datang pada keluarganya dengan membawa beras mentah, kemudian memasaknya
setelah proses serah terima, dan dihidangkan untuk keluarga dan para pelayat,
untuk mengamalkan hadis: 'Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far' dan untuk
mengharap pahala sebagaimana dalam pertanyaan (pahala tahlil untuk mayit),
bahkan pahala sedekah untuk mayit. Hal ini berdasarkan pendapat Syaikh
al-Syarqawi dalam syarah kitab Tajrid al-Bukhari yang berbunyi: Pendapat yang
sahih bahwa pertanyaan dalam kubur hanya satu kali. Ada pendapat lain bahwa
orang mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7 hari dan orang kafir selama 40
hari tiap pagi. Oleh karenanya para ulama terdahulu menganjurkan memberi makan
untuk orang mukmin selama 7 hari setelah
pemakaman" (Bulugh al-Amniyah dalam kitab Inarat al-Duja 215-219)
Seorang ulama dari kalangan Hanafiyah, Syaikh
al-Thahthawi (1231 H), mengutip pendapat dari Syaikh Burhan al-Halabi yang
membantah hukum makruh dalam selametan 7 hari:
قَالَ
فِي الْبَزَّازِيَّةِ يُكْرَهُ اِتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي اْليَوْمِ اْلأَوَّلِ
وَالثَّالِثِ وَبَعْدَ اْلأُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ فِي
الْمَوَاسِمِ وَاتِّخَاذُ الدَّعْوَةِ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَجَمْعِ
الصُّلَحَاءِ وَالْقُرَّاءِ لِلْخَتْمِ أَوْ لِقِرَاءَةِ سُوْرَةِ اْلأَنْعَامِ
أَوِ اْلإِخْلاَصِ اهـ قَالَ الْبُرْهَانُ الْحَلَبِي وَلاَ يَخْلُوْ عَنْ
نَظَرٍ ِلأَنَّهُ لاَ دَلِيْلَ عَلَى اْلكَرَاهَةِ (حاشية الطحطاوي على
مراقي الفلاح شرح نور الإيضاح 1 / 409)
"Disebutkan dalam
kitab al-Bazzaziyah bahwa makruh hukumnya membuat makanan di hari pertama,
ketiga dan setelah satu minggu, juga memindah makanan ke kuburan dalam
musim-musim tertentu, dan membuat undangan untuk membaca al-Quran, mengumpulkan
orang-orang sholeh, pembaca al-Quran untuk khataman atau membaca surat al-An'am
dan al-Ikhlas. Burhan al-Halabi berkata: Masalah ini tidak lepas dari
komentar, sebab tidak ada dalil untuk menghukuminya makruh[2]" (Hasyiyah al-Thahthawi I/409)
=====================================
4.
Talqin Mayit
Pertanyaan:
Benarkah hadis tentang Talqin di kuburan adalah dlaif
sehingga tidak boleh diamalkan? Rully S,
Jawaban:
Hadis yang semakna dengan Talqin memiliki banyak jalur,
sebagaimana dijelaskan ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian atas
hadis Talqin:
وَإِسْنَادُهُ
(التلقين) صَالِحٌ وَقَدْ قَوَّاهُ الضِّيَاءُ فِي أَحْكَامِهِ وَأَخْرَجَهُ
عَبْدُ الْعَزِيزِ فِي الشَّافِي وَالرَّاوِي عَنْ أَبِي أُمَامَةَ سَعِيدٌ
اْلأَزْدِيُّ بَيَّضَ لَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَلَكِنْ لَهُ شَوَاهِدُ مِنْهَا
مَا رَوَاهُ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ مِنْ طَرِيْقِ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ
وَضَمْرَةَ بْنِ حَبِيْبٍ وَغَيْرِهِمَا قَالُوْا إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ
قَبْرُهُ وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُقَالَ
لِلْمَيِّتِ عِنْدَ قَبْرِهِ يَا فُلاَنُ قُلْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ قُلْ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قُلْ رَبِّي اللهُ
وَدِيْنِي اْلإِسْلاَمُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ ثُمَّ يَصْرِفُ. وَرَوَى
الطَّبَرَانِيُّ (في المعجم الكبير رقم 3171) مِنْ حَدِيْثِ الْحَكَمِ بْنِ
الْحَارِثِ السُّلَمِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَهُمْ "إذَا دَفَنْتُمُوْنِي
وَرَشَشْتُمْ عَلَى قَبْرِي الْمَاءَ فَقُوْمُوْا عَلَى قَبْرِي وَاسْتَقْبِلُوا
الْقِبْلَةَ وَادْعُوْا لِي" رَوَى ابْنُ مَاجَهْ (1553) مِنْ
طَرِيْقِ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ فِي حَدِيْثٍ سَبَقَ
بَعْضُهُ وَفِيْهِ فَلَمَّا سَوَّى اللَّبِنَ عَلَيْهَا قَامَ إلَى جَانِبِ الْقَبْرِ ثُمَّ قَالَ
اللَّهُمَّ جَافِ الْأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهَا وَصَعِّدْ رُوْحَهَا وَلَقِّهَا
مِنْكَ رِضْوَانًا وَفِيْهِ أَنَّهُ رَفَعَهُ وَرَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ (في
المعجم الكبير 13094) اهـ (التلخيص الحبير
في تخريج أحاديث الرافعي الكبير للحافظ ابن حجر 2 / 310-311)
“Sanad hadis ini layak (diamalkan). Hadis
ini dikuatkan oleh al-Dliya' dalam kitab al-Ahkam, juga diriwayatkan oleh Abdul
Aziz dalam kitab al-Syafi. Perawi dari Abu Umamah adalah Said al-Azdi yang
dinilai bersih oleh Ibnu Abi Hatim. Hadis ini juga dikuatkan beberapa riwayat,
diantaranya oleh Said bin Manshur dari jalur Rasyid bin Sa'd, Dlamrah bin Habib
dan sebagainya. Mereka berkata: Jika kuburan telah diratakan dan orang-orang
telah meninggalkannya, para ulama salaf menganjurkan mentalqin pada mayit di
dekat kuburnya: Wahai fulan, katakan :Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah, sebanyak tiga kali. Katakan: Allah adalah Tuhanku, Islam adalah agamaku
dan Muhammad adalah nabiku. Kemudian pergi dari kubur. Al-Thabrani meriwayatkan
(al-Mu'jam al-Kabir No 3171) dari al-Hakam bin Harits al-Sulami, ia berkata:
Jika kalian telah menguburkan dan menyiramkan air di atas kuburku, maka
berdirilah diatas kuburkan, menghadaplah ke kiblat dan berdoalah untukku. Ibnu
Majah juga meriwayatkan (1553) dari jalur Said bin Musayyab, bahwa setelah
tanah dirata-kan ia berdiri di ujung kubur dan berdoa: Ya Allah lapangkan tanah
dari tubuhnya, naikkan runya, pertemukanlah ia dengan keridlaan dari-Mu. Hadis ini dinilai marfu' dan diriwayatkan
oleh al-Thabrani (al-Mu'jam al-Kabir No 13094)" (al-Talkhish al-Habir II/310-311)
Ahli hadis al-'Ajluni berkata:
قَوَّاهُ
الضِّيَاءُ فِي أَحْكَامِهِ ثُمَّ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ أَيْضًا بِمَا لَهُ
مِنَ الشَّوَاهِدِ وَنَسَبَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ الْعَمَلَ بِهِ لأَهْلِ الشَّامِ
وَابْنُ الْعَرَبِي لأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَغَيْرُهُمَا لِقُرْطُبَةَ (كشف
الخفاء ومزيل الالباس عما اشتهر من الاحاديث على ألسنة الناس للمحدث العجلوني 1 /
316)
"Hadis ini dikuatkan oleh al-Dliya' dalam kitab al-Ahkam, juga dikuatkan
oleh Ibnu Hajar berdasarkan dalil-dali penguat. Imam Ahmad menisbatkan amaliyah
Talqin dilakukan oleh ulama Syam, Ibnu al-Arabi menisbatkannya pada ulama Madinah,
yang lainnya menisbatkannya pada ulama Cordoba (Spanyol)" (Kasyf al-Khafa' I/316)
Ulama yang dikagumi
oleh kelompok anti talqin, Ibnu Taimiyah, tidak pernah menyalahkan amaliyah
talqin diatas:
(وَسُئِلَ)
عَنْ تَلْقِيْنِ الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ دَفْنِهِ هَلْ
صَحَّ فِيْهِ حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ عَنْ
صَحَابَتِهِ؟ وَهَلْ إذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شَيْءٌ يَجُوزُ فِعْلُهُ أَمْ لاَ؟
(فَأَجَابَ) هَذَا التَّلْقِيْنُ الْمَذْكُورُ قَدْ نُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ
الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ أَمَرُوْا بِهِ كَأَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ
وَغَيْرِهِ. وَرُوِيَ فِيْهِ حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله تعالى عليه
لَكِنَّهُ مِمَّا لاَ يُحْكَمُ بِصِحَّتِهِ وَلَمْ يَكُنْ كَثِيْرٌ مِنَ
الصَّحَابَةِ يَفْعَلُ ذَلِكَ فَلِهَذَا قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ
مِنْ الْعُلَمَاءِ إنَّ هَذَا التَّلْقِيْنَ لاَ بَأْسَ بِهِ فَرَخَّصُوْا فِيْهِ
وَلَمْ يَأْمُرُوْا بِهِ وَاسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ
وَكَرِهَهُ طَائِفَةٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَغَيْرِهِمْ (مجموع
الفتاوى لابن تيمية 24 / 296)
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang talqin di
kibur setelah pemakaman. Apakah hadisnya sahih dari Rasulullah Saw atau dari
sahabat? Dan jika tidak ada dalilnya apakah boleh melakukannya atau tidak? Ibnu
Taimiyah menjawab: Talqin ini diriwayatkan dari kelompok sahabat, bahwa mereka
memerintahkan talqin, seperti Abu Umamah dan lainnya. Talqin juga diriwayatkan
dari Rasulullah Saw tetapi tidak sahih,
dan banyak sahabat yang tidak melakukannya. Oleh karenanya, Imam Ahmad dan
lainnya berkata: Talqin ini boleh. Mereka memberi dispensasi dan tidak
memerintahkannya. Sementara sekelompok ulama dari kalangan Syafiiyah dan Ahmad
menganjurkannya. Dan sekelompok ulama dari kalangan Malikiyah dan lainnya
menilainya makruh" (Majmu' al-Fatawa
XXIV/296)
=========================================
5.
Subtansi Haul Ulama
Pertanyaan:
Kalender-kalender pesantren biasanya mencantumkan tanggal
wafatnya pendiri atau pengasuh pondok tersebut yang sekaligus memberitahukan
acara haul kyai tersebut. Apa sebenarnya makna haul dan tujuannya? Amin, Sby
Jawaban:
Tujuan 'mengenang' kembali seorang ulama dalam biografi
ataupun tradisi yang sering dilakukan oleh warga Nahdliyin dalam mengadakan
haul ulama dengan menyebutkan kisahnya selama hidupnya adalah untuk 'meneladani
keshalehannya'. Hal ini
sudah dilakukan sejak zaman sahabat:
عَنْ سَعْدٍ قَالَ أُتِيَ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ h يَوْمًا بِطَعَامِهِ فَقَالَ قُتِلَ
مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَكَانَ خَيْرًا مِنِّي فَلَمْ يُوجَدْ لَهُ مَا يُكَفَّنُ
فِيهِ إِلاَّ بُرْدَةٌ وَقُتِلَ حَمْزَةُ أَوْ رَجُلٌ آخَرُ خَيْرٌ مِنِّي فَلَمْ
يُوجَدْ لَهُ مَا يُكَفَّنُ فِيهِ إِلاَّ بُرْدَةٌ لَقَدْ خَشِيْتُ أَنْ يَكُونَ
قَدْ عُجِّلَتْ لَنَا طَيِّبَاتُنَا فِي حَيَاتِنَا الدُّنْيَا ثُمَّ جَعَلَ
يَبْكِي (رواه البخاري رقم 1195)
"Diriwayatkan dari Sa'd bahwa
Abdurrahman bin Auf suatu hari disuguhi makanan. Ia berkata: "Mush'ab bin
Umair telah terbunuh, ia lebih baik dariku, tak ada yang dapat dibuat kafan
untuknya kecuali kain selimut. Hamzah juga telah terbunuh, ia lebih baik
dariku, tak ada yang dapat dibuat kafan untuknya kecuali kain selimut. Sungguh
saya khawatir amal kebaikan-kebaikan kami segera diberikan di kehidupan dunia
ini". Kemudian Abdurrahman bin Auf menangis" (Riwayat Bukhari No 1195)
Dalam hal ini
al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip dari ahli hadis:
قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ
وَفِيْهِ أَنَّهُ يَنْبَغِي ذِكْرُ سِيَرِ الصَّالِحِيْنَ وَتَقَلُّلِهِمْ فِي
الدُّنْيَا لِتَقِلَّ رَغْبَتُهُ فِيْهَا (فتح الباري لابن حجر 7/ 354)
"Ibnu Baththal telah berkata: Dalam
riwayat ini dianjurkan menyebut kisah-kisah orang saleh dan kesederhanannya
terhadap duniawi. Tujuannya agar tidak cinta dunia" (Fathul Bari 7/354)
Abdullah Ibn Mubarak
berkata:
قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ
رَحِمَهُ اللهُ: (سِيَرُ الصَّالِحِيْنَ جُنْدٌ مِنْ جُنُوْدِ اللهِ يُثَبِّتُ
اللهُ بِهَا قُلُوْبَ عِبَادِهِ) وَمِصْدَاقُ ذَلِكَ مِنَ اْلقُرْآنِ قَوْلُ اللهِ
تَعَالَى: {وَكُلاًّ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ
بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى
لِلْمُؤْمِنِينَ} [هود:120]... يَحْتَاجُ اْلإِنْسَانُ إِلَى زِيَارَةِ مَنْ
يُبْكِيْهِ، وَإِذَا لَمْ يَجِدْهُ فِي اْلأَحْيَاءِ، اِطَّلَعَ عَلَى سِيْرَتِهِ
فِي اْلأَمْوَاتِ (دروس للشيخ محمد الحسن الددو الشنقيطي 5/ 28)
"Sejarah orang-orang shaleh adalah
salah satu pasukan Allah, yang dapat mengokohkan hati hamba-hamba Allah.
Sebagaimana dalam firman Allah: Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan
kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam
surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman [Hud: 120]… Seseorang butuh untuk berkunjung kepada
sosok manusia yang dapat membuatnya menangis. Jika tidak menemu-kannya di
kalangan yang masih hidup, maka pelajarilah dari sejarah orang-orang yang telah
wafat" (Syaikh Hasan asy-Syanqithi)
Dalam riwayat hadis
disebutkan:
وَفِي الْحَدِيْثِ: ذِكْرُ
اْلاَنْبِيَاءِ مِنَ الْعِبَادَةِ وَذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ
الْمَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ الْقُبُوْرِ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ (رواه
الديلمي عن معاذ).
“Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa:
"Mengingat para Nabi adalah bagian dari ibadah. Mengingat orang shaleh
menjadi sebab terhapusnya dosa. Mengingat mati adalah sedekah. Dan mengingat
kubur dapat mendekatkan kalian ke surga"
(HR Dailami, sanadnya dlaif)
Sufyan bin Uyainah
berkata:
عِنْدَ ذِكْرِ
الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ (سفيان بن عيينة ذكره ابن الجوزي في مقدمة
صفوة الصفوة)
"Mengingat orang shaleh menjadi sebab
turunnya rahmat" (Sufyan bin Uyainah dikutip oleh Ibnu
Jauzi dalam Muqaddimah Shifat ash-Shafwah)
Ibnu Taimiyah juga
berkata:
يَلْتَذُّ الْمُؤْمِنُوْنَ
بِمَعْرِفَةِ اللهِ وَذِكْرِهِ بَلْ وَيَلْتَذُّوْنَ بِذِكْرِ اْلأَنْبِيَاءِ
وَالصَّالِحِيْنَ وَلِهَذَا يُقَالُ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ
الرَّحْمَةُ بِمَا يَحْصُلُ فِي النُّفُوْسِ مِنَ الْحَرَكَةِ إِلَى مَحَبَّةِ
الْخَيْرِ وَالرَّغْبَةِ فِيْهِ وَالْفَرَحِ بِهِ وَالسُّرُوْرِ (ابن تيمية في
الصفدية 2/ 269)
"Orang-orang beriman merasakan nikmat dengan mengenal Allah
dan mengingat-Nya, bahkan mereka merasa nikmat dengan mengingat para Nabi dan
orang Shaleh. Karenanya ada ungkapan 'Mengingat orang shaleh menjadi sebab
turunnya rahmat'. Hal ini disebabkan adanya semangat di dalam hati untuk
mencintai kebaikan, termotifasi dan rasa senang terhadapnya" (Ibnu Taimiyah, kitab ash-Shafadiyah 2/269)
================================================
6.
Dalil Membaca Surat Yasin Untuk Orang Mati
Pertanyaan:
Adakah dalil membaca al-Quran baik sebelum atau sesudah
meninggalnya seseorang? Abd Hamid, Jamaah Mushalla Fatihul Ulum, Sby
Jawaban:
Berikut riwayat dari kitab Musnad Ahmad mengenai
pembacaan Yasin di samping orang yang akan meninggal yang telah menjadi
amaliyah ulama terdahulu dan terus diamalkan oleh warga NU:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ
حَدَّثَنِي أَبِي ثَنَا أَبُوْ الْمُغِيْرَةِ ثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي
الْمَشِيْخَةُ اَنَّهُمْ حَضَرُوْا غُضَيْفَ بْنَ الْحَرْثِ الثَّمَالِيَ حِيْنَ
اشْتَدَّ سَوْقُهُ فَقَالَ هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يَقْرَأُ يس قَالَ فَقَرَأَهَا
صَالِحُ بْنُ شُرَيْحٍ السُّكُوْنِي فَلَمَا بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ مِنْهَا قُبِضَ
قَالَ فَكَانَ الْمَشِيْخَةُ يَقُوْلُوْنَ إِذَا قُرِئَتْ عِنْدَ الْمَيِّتِ
خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا قَالَ صَفْوَانُ وَقَرَأَهَا عِيْسَى بْنُ الْمُعْتَمِرِ
عِنْدَ بْنِ مَعْبَدٍ (مسند أحمد بن حنبل رقم 17010)
"Para guru bercerita bahwa mereka
mendatangi Ghudlaif bin Hars al-Tsamali ketika penyakitnya sangat parah.
Shafwan berkata: Adakah diantara anda sekalian yang mau membacakan Yasin?
Shaleh bin Syuraih al-Sukuni yang membaca Yasin. Setelah ia membaca 40 dari
Surat Yasin, Ghudlaif meninggal. Maka para guru berkata: Jika Yasin dibacakan
di dekat mayit maka ia akan diringankan (keluarnya ruh) dengan Surat Yasin
tersebut. (Begitu pula) Isa bin Mu'tamir membacakan Yasin di dekat Ibnu Ma'bad"
(Musnad Ahmad No 17010)
Al-Hafidz Ibnu Hajar menilai atsar ini:
وَهُوَ حَدِيْثٌ حَسَنُ
اْلإِسْنَادِ (الإصابة في تمييز الصحابة للحافظ ابن حجر 5 / 324)
"Riwayat ini sanadnya adalah
hasan" (al-Ishabat fi Tamyiz al-Shahabat V/324)
Ahli hadis al-Hafidz
Ibnu Hajar juga menilai riwayat amaliyah ulama salaf membaca Yasin saat
Ghudlaif akan wafat sebagai dalil penguat (syahid) dari hadis riwayat Ma'qil
bin Yasar yang artinya: Bacakanlah Surat Yasin di dekat orang yang meninggal.”
(Raudlah al-Muhadditsin X/266)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
memastikan Ghudlaif ini adalah seorang sahabat:
هَذَا مَوْقُوْفٌ حَسَنُ
اْلإِسْنَادِ وَغُضَيْفٌ صَحَابِىٌّ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ وَالْمَشِيْخَةُ
الَّذِيْنَ نَقَلَ عَنْهُمْ لَمْ يُسَمُّوْا لَكِنَّهُمْ مَا بَيْنَ صَحَابِىٍّ
وَتَابِعِىٍّ كَبِيْرٍ وَمِثْلُهُ لاَ يُقَالُ بِالرَّأْىِ فَلَهُ حُكْمُ
الرَّفْعُ (روضة المحدثين للحافظ ابن حجر 10 / 266)
"Riwayat sahabat ini sanadnya adalah hasan. Ghudlaif adalah
seorang sahabat menurut mayoritas ulama. Sementara 'para guru' yang dikutip
oleh Imam Ahmad tidak disebut namanya, namun mereka ini tidak lain antara
sahabat dan tabi'in senior. Hal ini bukanlah pendapat perseorangan, tetapi
berstatus sebagai hadis yang disandarkan pada Rasulullah (marfu')" (Raudlah al-Muhadditsin X/266)
Demikian halnya dengan
atsar di bawah ini:
حَدَّثَنَا
وَكِيْعٌ عَنْ حَسَّانَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ عَنْ أُمَيَّةَ الأَزْدِيِّ عَنْ
جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ عِنْدَ الْمَيِّتِ سُوْرَةَ الرَّعْدِ
(مصنف ابن أبي شيبة رقم 10957)
"Diriwayatkan
dari Jabir bin Zaid bahwa ia membaca surat al-Ra'd di dekat orang yang telah
meninggal" (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No 10967)
Bahkan ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar
memperkuat riwayat tersebut:
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِى
شَيْبَةَ مِنْ طَرِيْقِ أَبِى الشَّعْثَاءِ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ مِنْ
ثِقَاتِ التَّابِعِيْنَ أَنَّهُ يَقْرَأُ عِنْدَ الْمَيِّتِ سُوْرَةَ الرَّعْدِ
وَسَنَدُهُ صَحِيْحٌ (روضة المحدثين للحافظ ابن حجر 10 / 266)
"Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dari jalur Jabir bin Zaid, ia termasuk Tabi'in yang terpercaya,
bahwa ia membaca surat al-Ra'd di dekat orang yang telah meninggal. Dan Sanadnya adalah sahih!" (Raudlat al-Muhadditsin X/226)
Riwayat lain yang
menguatkan adalah:
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ
غِيَاثٍ عَنِ الْمُجَالِدِ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ الأَنْصَارُ
يَقْرَؤُوْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ بِسُوْرَةِ الْبَقَرَةِ (مصنف ابن أبي شيبة رقم
10953)
"Diriwayatkan
dari Sya'bi bahwa sahabat Anshor membaca surat al-Baqarah di dekat orang yang
telah meninggal" (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No 10963)
Sedangkan setelah
wafat, diriwayatkan dari Sayidina Umar:
عَنْ أَبِي خَالِدٍ
اْلاَحْمَرِ عَنْ يُوْنُسَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ عُمَرَ قَالَ اُحْضُرُوْا
أَمْوَاتَكُمْ فَأَلْزِمُوْهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَغْمِضُوْا
أَعْيُنَهُمْ إِذَا مَاتُوْا وَاقْرَؤُوْا عِنْدَهُمُ الْقُرْآنَ (أخرجه
عبد الرزاق (3/386 ، رقم 6043) ، وابن أبى شيبة (2/448 ، رقم 10882)
“Diriwayatkan dari Khalid, dari Yunus, dari al-Hasan dari Umar,
ia berkata: “Datangilah orang yang meninggal, tuntunlah dengan kalimat Lailaaha
illa Allah, pejamkan matanya jika telah mati, dan bacakanlah al-Quran di dekatnya” (Riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 3/386 No 6043 dan Ibnu
Syaibah 2/448 No 0882, juga diriwayatkan oleh Said bin Manshur)
==============================================
7.
Doa
Dengan Bacaan Al Fatihah
Pertanyaan:
Sebagian besar umat
Islam Indonesia sering melakukan doa dengan bacaan al-Fatihah, apakah terkait
pembukaan acara, mengirim doa untuk para almarhum, ziarah kubur dan sebagainya.
Adakah dasar pembacaan al-Fatihah dalam doa? Faizin, Sby.
Jawaban:
Al-Quran menyebutkan
bahwa ada 7 ayat yang diulang-ulang (as-Sab'u al-Matsani. QS al-Hijr: 87), para
ahli tafsir sepakat bahwa yang dimaksud 7 ayat tersebut adalah surat
al-Fatihah.
Dalam
riwayat Bukhari (2276) dan Muslim (5863) Abu Said al-Khudri yang dimintai
tolong oleh sekelompok suku yang pimpinannya sakit karena tersengat hewan. Abu
Said mengobatinya dengan doa al-Fatihah. Inilah riwayat tersebut:
عَنْ
أَبِى سَعِيْدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله
تعالى عليه كَانُوْا فى سَفَرٍ فَمَرُّوْا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ
فَاسْتَضَافُوْهُمْ فَلَمْ يُضِيْفُوْهُمْ فَقَالُوْا لَهُمْ هَلْ فِيْكُمْ رَاقٍ
فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ لَدِيْغٌ أَوْ مُصَابٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ
فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ
قَطِيْعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ
لِلنَّبِىِّ صلى الله تعالى عليه فَأَتَى النَّبِىَّ صلى الله تعالى عليه فَذَكَرَ
ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَاللهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ فَتَبَسَّمَ وَقَالَ وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ثُمَّ قَالَ
خُذُوْا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوْا لِى بِسَهْمٍ مَعَكُمْ (رواه مسلم رقم 5863
والبخاري رقم 5736)
"Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri
bahwa beberapa sahabat Rasulullah Saw berada dalam perjalanan lalu melewati
salah satu suku Arab. Mereka bertamu namun tidak disuguhi apapun. Penduduk suku
bertanya: Apakah diantara kalian ada yang bias mengobati (ruqyah)? Sebab kepala
suku kami terkena bias atau musibah. Salah seorang sahabat menjawab: Ya.
Kemudian ia mendatanginya dan mengobatinya (ruqyah) dengan surat al-Fatihah.
Pemimpin tersebut sembuh dan memberikannya bagian dari kambing, namun ia
(sahabat) menolaknya, dan ia berkata: Saya akan menyampaikannya dahulu kepada
Nabi Saw. Ia pun mendatangi Nabi Saw dan menceritakan kisah diatas kepada Nabi.
Ia berkata: Wahai Rasulullah, Demi Allah. Saya hanya melakukan ruqyah dengan
surat al-Fatihah. Rasulullah Saw tersenyum dan berkata: Darimana kamu tahu
bahwa al-Fatihah adalah ruqyah? Nabi Saw bersabda: Ambillah (kambing) dari
mereka. Dan berilah saya bagian bersama kalian" (HR Muslim No 5863 dan al-Bukhari No 5736)
Imam Nawawi
menganjurkan membaca al-Fatihah di dekat orang yang sakit dengan beristinbath
pada hadis diatas:
(فَصْلٌ) فِيْمَا يُقْرَأُ عِنْدَ الْمَرِيْضِ يُسْتَحَبُّ أَنْ
يُقْرَأَ عِنْدَ الْمَرِيْضِ بِالْفَاتِحَةِ لِقَوْلِهِ صلى الله تعالى عليه فِي
الْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ فِيْهَا وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ (التبيان
في آداب حملة القرآن للشيخ النووي 1 / 183)
"Dianjurkan membaca al-Fatihah di
dekat orang yang sakit, berdasarkan sabda Rasulullah Saw dalam hadis sahih
tentang al-Fatihah: Darimana kamu tahu bahwa al-Fatihah adalah ruqyah?" (al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Quran I/183)
Begitu pula ahli
tafsir, Fakhruddin al-Razi, berwasiat agar dibacakan al-Fatihah khususnya untuk
salah satu putranya yang telah wafat:
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ
طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا فِيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ
الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ
لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي غُرْبَةٍ بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ
بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ
لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير
الرازي الكبير مفاتيح الغيب
لفخر الدين الرازي 18 / 183)
"(Al-Razi berkata) Saya berwasiat
kepada pembaca kitab saya dan yang mempelajarinya agar secara khusus membacakan
al-Fatihah untuk anak saya dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang
meninggal nan jauh dari teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan
saya sendiri akan mendoakan mereka yang telah berdoa untuk saya" (Tafsir al-Razi 18/233-234)
Bahkan Ibnu
Taimiyah, ulama yang menjadi panutan kelompok anti tahlil, senantiasa
mengulang-ulang bacaan al-Fatihah lebih banyak dari kaum Nahdliyin, hal ini
disampaikan oleh muridnya sendiri, Umar bin Ali al-Bazzar, yang menulis
biografi Ibnu Taimiyah:
وَكُنْتُ
اَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ
الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ – أَعْنِي مِنَ
الْفَجْرِ اِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ – فِي تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا (الأعلام
العالية في مناقب ابن تيمية لعمر بن علي البزار 38)
"Saya mendengar apa yang dibaca dan yang dijadikan dzikir
oleh Ibnu Taimiyah. Saya melihatnya membaca al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan
ia menghabiskan seluruh waktunya –yakni mulai salat Subuh sampai naiknya
matahari– untuk mengulang-ulang bacaan al-Fatihah" (al-A'lam al-'Aliyah 38)
==============================
8.
Menjawab
Dalil 'Tidak Sampainya Kiriman Pahala'
Pertanyaan:
Berdasarkan dalil yang saya ketahui dari
Al-Quran: "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya" (an-Najm 39). Ini menunjukkan bahwa kiriman pahala
kepada orang yang wafat tidak akan sampai. H Agus Arifin
Jawaban:
Terimakasih Bapak
Agus Arifin. Ayat tersebut adalah potongan ayat yang memiliki hubungan makna
dengan ayat sebelumnya, yaitu:
أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا
فِي صُحُفِ مُوسَى (36) وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى (37) أَلَّا تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى [النجم/36-39]
"Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam
lembaran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain" (an-Najm 36-38)
Jadi di masa Nabi
Musa dan Ibrahim seseorang yang tidak bersalah diberi hukuman atas kesalahan
orang lain. Misalnya, orang tuanya dihukum karena anaknya mencuri. Kemudian
Allah meluruskan bahwa yang demikian itu tidak benar.
Dalam ayat ini juga
popular disebut bahwa Imam Syafii mengatakan tidak sampainya bacaan al-Quran
kepada orang yang telah wafat. Padahal al-Hafidz Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa
Za'farani bertanya kepada Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan, beliau
menjawab "Tidak apa-apa" (al-Imta' 85)
Syaikh asy-Syanqithi
mengutip riwayat secara mutawatir (akurat) bahwa Imam Syafii berziarah ke makam
Laits bin Sa'd. Saat berziarah ke makam tersebut Imam Syafii mengkhatamkan
al-Quran (Qam'u Ahli Zaigh). Jadi, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu
Hajar dari fatwa Imam Syafii diatas menunjukkan bahwa mengirim pahala kepada
orang yang wafat akan sampai karena hal tersebut bagian dari doa. Yaitu:
وَقَالَ
الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ
اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا (الروح لابن القيم 1 /
11)
"Al-Za'farani (perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada
Imam Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak
apa-apa" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim,
I/11)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata:
وَهَذَا نَصٌّ غَرِيْبٌ
عَنِ الشَّافِعِي وَالزَّعْفَرَانِي مِنْ رُوَاةِ الْقَدِيْمِ وَهُوَ ثِقَةٌ
وَإِذَا لَمْ يَرِدْ فِي الْجَدِيْدِ مَا يُخَالِفُ مَنْصُوْصَ الْقَدِيْمِ فَهُوَ
مَعْمُوْلٌ بِهِ يَلْزمَ ُمِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُوْنَ الشَّافِعِي قَائِلاً بِوُصُوْلِ
ثَوَابِ الْقُرْآنِ لأَنَّ الْقُرْآنَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ (الإمتاع للحافظ بن
حجر العسقلاني 1 / 85)
"Ini penjelasan yang asing dari
al-Syafi'i. Al-Za'farani adalah perawi Qaul Qadim, ia orang terpercaya. Dan
jika dalam Qaul Jadid tidak ada yang bertentangan dengan penjelasan Qaul Qadim,
maka Qaul Qadim inilah yang diamalkan. Dengan begitu asy-Syafii mengatakan
sampainya pahala al-Quran, sebab Quran adalah dzikir yang paling mulia (yaitu
boleh membaca al-Quran di kuburan)"
(al-Imta', Ibnu Hajar, I/11)
==========================================
9.
"Menjawab
Dalil Tidak Sampainya Bacaan al-Quran II"
Pertanyaan:
Kami menerima SMS
yang berbunyi: "Menjawab Tidak Sampainya… (Biswah 31 Agustus) Benar-benar
tidak mantap. Karena pertanyaan dari al-Quran tidak nyambung bahkan
membandingkan pendapat Ibnu Hajar / Syafii tidak berdasarkan al-Quran / Hadis.
Tolong lebih dijelaskan. Maturnuwun, Supyan, Sby.
Jawaban:
Terima kasih Bapak
Supyan. Kami sebelumnya menjelaskan Surat an-Najm: 39 yang sering dijadikan
dalil tidak sampainya pahala bacaan al-Quran adalah tidak tepat, karena ayat
tersebut secara khusus disyariatkan kepada kaum Nabi Musa dan Nabi Ibrahim,
sebagaimana dalam ayat sebelumnya 36-37. Bukan kepada Nabi Muhammad Saw.
Dalam ayat lain
dijelaskan bahwa nenek moyang dan keturunannya dapat masuk surga karena ada 1
keluarga dari mereka yang masuk surga terlebih dulu, yaitu ar-Ra'd: 22-23:
أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى
الدَّارِ (22) جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ
وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ )الرعد/22،
23(
“Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),
(yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan
orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya…”
Dan Surat Ghafir: 8:
رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ
جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ
وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ [غافر/8]
"Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga `Adn
yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara
bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua".
Para ulama menilai
bahwa an-Najm: 39 telah dihapus (nasakh) dengan kedua ayat ini.
Sementara dalam
hadis-hadis sahih Rasulullah Saw selalu menjawab sampainya pahala ibadah dan
tak pernah menolak ketika para sahabat bertanya, baik pahala sedekah, pahala
puasa dan pahala haji (HR Bukhari-Muslim). Seandainya menghadiahkan bacaan
al-Quran tidak sampai, maka sudah pasti Rasulullah Saw akan memberi
pengecualian. Tetapi sekali lagi, Rasulullah tidak pernah mengecualikannya.
Berikut adalah
hadis-hadis sahih berkaitan melakukan ibadah untuk orang yang sudah wafat:
Hadis Pertama: ‘Puasa Atas Nama Orang Mati’
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي
الله تعالى عنه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله تعالى عليه فَقَالَ
يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ،
أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى (رواه
البخاري رقم 1953 ومسلم رقم 3749)
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa ada seorang laki-laki datang
kepada Rasullah Saw, ia berkata: “Wahai Rasul, ibu saya meninggal dan punya
tanggungan puasa 1 bulan. Apakah saya tunaikan puasa atas nama beliau?”
Rasulullah Saw menjawab: “Ya. Dan hutang kepada Allah lebih berhak untuk
ditunaikan” (HR Bukhari No 1953 dan Muslim No 3749)
Hadis Kedua: ‘Haji Atas Nama Orang Mati’
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي
الله تعالى عنه أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ صلى
الله تعالى عليه فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، فَلَمْ تَحُجَّ
حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّى عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ
كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللهَ، فَاللهُ أَحَقُّ
بِالْوَفَاءِ (رواه البخاري رقم 1852 ومسلم رقم 2753)
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa ada seorang wanita datang
kepada Rasullah Saw, ia berkata: “Wahai Rasul, ibu saya meninggal dan bernadzar
untuk haji. Apakah saya tunaikan melakukan haji atas nama beliau?” Rasulullah
Saw menjawab: “Ya. Hajilah atas nama beliau. Apakah kamu melihat jika ibumu
memiliki hutang, bukankah kamu tunaikan? Tunaikanlah pada Allah. Dan hutang
kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan”
(HR Bukhari No 1852 dan Muslim No 2753)
Hadis Ketiga: ‘ٍSedekah Atas Nama Orang Mati’
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي
الله تعالى عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله تعالى عليه إِنَّ
أُمَّهُ تُوُفِّيَتْ أَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ. قَالَ
فَإِنَّ لِى مِخْرَافًا وَأُشْهِدُكَ أَنِّى قَدْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا (رواه
البخاري رقم 2770)
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa ada seorang lelaki berkata
kepada Rasullah Saw: “Wahai Rasul, ibu saya meninggal, apakah bisa bermanfaat
jika saya bersedekah atas nama beliau?” Rasulullah Saw menjawab: “Ya.” Lelaki
itu berkata: “Saya memiliki sebidang tanah, saksikanlah saya bersedekah atas
nama ibu saya” (HR Bukhari No 2770)
Tidak pernah
sekalipun Rasulullah Saw menolak kirim pahala kepada orang yang telah wafat.
Semua dijawab oleh Rasulullah dengan “Ya”. Seandainya ada yang tidak sampai,
maka niscaya akan dijelaskan oleh Rasulullah Saw. Baik kiriman dzikir, bacaan
al-Quran dan sebagainya.
Bahkan Rasulullah
Saw menjelaskan dalam hadis sahih, bahwa kalimat dzikir adalah sedekah:
عَنْ
أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا
مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله تعالى عليه قَالُوا للنَّبِيِّ صلى الله تعالى عليه يَارَسُولَ الله ذَهَبَ أَهْلُ الدُّ ثُّورِ
باْلأُجُوْرِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ
كَمَا نَصُومُ وَ يَتَصَدَّ قُونَ بِفُضَولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ
جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ
تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ
تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً (رواه مسلم رقم 1674)
"Dari Abu Dzarr t, ada beberapa sahabat bertanya kepada Nabi r, "Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya bisa (beruntung)
mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka
berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta
mereka. Nabi r menjawab, "Bukankah Allah I telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan?
Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir
adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap bacaan La ilaaha
Illallah adalah sedekah." (HR.
Muslim,[1674]).
Dan sesuai
kesepakatan ulama Ahlisunnah, ‘Sedekah sampai kepada orang yang telah wafat’
=======================================
10. Kesaksian Jelang Pemakaman
Pertanyaan:
Sudah menjadi tradisi di masyarakat yang
hendak memakamkan janazah, terlebih dahulu dilakukan 'permin-taan kesaksian'
terhadap orang yang wafat. Apakah hal ini ada dalilnya? Pemirsa "Hujjah
Aswaja" TV 9
Jawaban:
Benar, bahwa
kebiasaan meminta kesaksian untuk janazah bukan sesuatu yang bid'ah karena
berdasarkan hadis-hadis sahih.
Pertama adalah hadis riwayat al-Bukhari (No 1278)
dan Muslim (No 1578):
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ h يَقُولُ: مَرُّوا بِجَنَازَةٍ فَأَثْنَوْا
عَلَيْهَا خَيْرًا فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله تعالى عليه وَجَبَتْ. ثُمَّ
مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا فَقَالَ وَجَبَتْ. فَقَالَ عُمَرُ
بْنُ الْخَطَّابِ h مَا وَجَبَتْ قَالَ هَذَا أَثْنَيْتُمْ
عَلَيْهِ خَيْرًا فَوَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ
شَرًّا فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللهِ فِى الأَرْضِ (رواه
البخاري ومسلم)
"Dari Anas bin Malik ia berkata: Para sahabat berjumpa
dengan janazah lalu mereka memuji dengan kebaikan. Nabi bersabda:
"Wajib". Dan mereka berjumpa dengan janazah lain lalu mereka menyebut
kejelekannya. Nabi bersabda: "Wajib". Umar bertanya tentang hal itu,
Nabi menjawab: "Kalian memujinya (janazah pertama), maka wajib surga
baginya. Dan kalian menyebut kejelekannya (janazah kedua), maka wajib neraka
baginya. Kalian adalah saksi-saksi Allah di bumi"
Kedua adalah sabda Rasulullah Saw:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ
يَشْهَدُ لَهُ أَرْبَعَةُ أَهْلِ أَبْيَاتٍ مِنْ جِيْرَانِهِ اْلأَدْنِيْنَ
أَنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ مِنْهُ إِلاَّ خَيْرًا إِلاَّ قَالَ اللهُ قَدْ
قَبِلْتُ عِلْمَكُمْ فِيْهِ وَغَفَرْتُ لَهُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ (أخرجه أحمد
رقم 13565 قال الهيثمى رجاله رجال الصحيح)
“Tak seorang muslim pun yang mati yang disaksikan oleh 4
tetangga rumah terdekatnya bahwa mereka tidak mengetahui kecuali kebaikan si
mayit, melainkan Allah berfirman: Aku terima (kesaksian) yang kalian ketahui
tentang dia, dan Aku ampuni yang tak kalian ketahui" (HR Ahmad No 13565. Disahihkan
oleh al-Hafidz al-Haitsami, Majma' az-
Zawaid III/4)
========================================================================================================================
11. Mengantar Janazah Dengan Tahlil
Pertanyaan:
Telah menjadi sebuah
tradisi di sebagian masyarakat yang mengantar janazah ke pemakaman dengan
iringan bacaan tahlil secara bersama-sama. Sementara ada penjelasan dari
beberapa kitab yang menganjurkan untuk tidak mengucapkan kalimat dan untuk
merenungi kematian. Bagaimanakah hukum tersebut? Robi', Sby.
Jawaban:
Benar apa yang
disampaikan Bapak Robi' bahwa dalam mengiring janazah dianjurkan untuk diam dan
menghayati kematian. Namun saat ini justru banyak orang yang ngobrol bahkan bicara
sendiri-sendiri. Maka dengan berdzikir saat mengantar janazah ke pemakaman
hukumnya adalah diperbolehkan, berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
لَمْ يَكُنْ يُسْمَعُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله تعالى عليه وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ
الْجَنَازَةِ إِلاَّ قَوْلُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُبْدِيًا وَرَاجِعًا
“Tidak didengar dari Rasulullah Saw yang mengiringi janazah
kecuali ucapan La ilaha illa Allah, baik ketika berangkat atau pulang”
Hadis ini
diriwayatkan oleh Ibnu 'Adi dalam kitab al Kamil sebanyak dua kali
(I/271 dan IV/299). Ahli hadis al Hafidz az Zaila'i memberi penilaian terhadap
hadis diatas dengan kategori hadis dlaif yang ringan (dlu'fan yasiran),
tidak sampai mengarah pada hadis yang sangat lemah (Nashbu ar Rayah
II/292). Begitu pula penilaian ahli hadis al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab ad Dirayah I/238.
Dengan demikian
hukum mengantar janazah dengan iringan bacaan tahlil adalah diperbolehkan,
bahkan dapat menjadi lebih baik jika saat mengantar terjadi saling bicara
sendiri-sendiri. Sebab dengan bacaan tersebut masuk dalam perintah Allah dalam
firmannya yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya." (al Ahzab: 41)
========================================================================================================================
12. Mengamalkan Hadis Dlaif
Pertanyaan:
Kami mohon
penjelasan yang kongkrit mengenai hadis dlaif dan hukum mengamalkannya. Sebab kami
sering mendapatkan teguran dari teman-teman kami, bahwa apa yang telah kami
lakukan konon bersumber dari hadis yang dlaif dan tidak boleh dilakukan,
seperti talqin mayit dan sebagainya. Benarkah hal itu? Ahmad Syukron, Sby.
Jawaban:
Saat ini sedang marak
kelompok tertentu yang tidak mau mengamalkan hadis dlaif, padahal sejak dahulu
para ulama ahli hadis menerima hadis dlaif untuk diamalkan dalam masalah
keutamaan amal.
Sebuah hadis
dikategorikan menjadi dlaif dikarenakan dua factor, yaitu dakhili / internal,
kedlaifan dalam diri perawi (seperti lemah ingatannya, tidak diketahui perilaku
dan sebagainya) atau factor khoriji / eksternal, berupa terputusnya sanad (mata
rantai para perawi yang menghubungkan hadis sampai pada Nabi Saw).
Ahli hadis Ibnu
Hajar mengutip pendapat ulama yang telah dijadikan kesepakatan, yaitu:
وَقَدْ ثَبَتَ عَنِ
اْلإِمَامِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ مِنَ اْلأَئِمَّةِ أَنَّهُمْ قَالُوْا إِذَا
رَوَيْنَا فِي الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ شَدَّدْنَا وَإِذَا رَوَيْنَا فِي
الْفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا (القول المسدد فى الذب عن المسند للحافظ أحمد بن علي بن حجر- ج 1 /
ص 11)
وَيُحْكَى عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِى اِنَّهُ قَالَ : اِذَا رَوَيْنَا فِى الثَّوَابِ
وَالْعِقَابِ وَفَضَائِلِ اْلاَعْمَالِ تَسَاهَلْنَا فِى اْلاَسَانِيْدِ وَتَسَامَحْنَا
فِى الرِّجَالِ وَاِذَا رَوَيْنَا فِى الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَاْلاَحْكَامِ
تَشَدَّدْنَا فِى اْلاَسَانِيْدِ وَانْتَقَدْنَا فِى الرِّجَالِ (دلائل
النبوة للبيهقى 1 - 34)
“Imam Ahmad dan Imam yang lain (seperti Ibnu Mubarak) berkata:
Jika kami meriwayatkan hadis tentang halal-haram (hukum), maka kami sangat
selektif (dalam hal sanad), dan jika kami meriwayatkan hadis yang berkaitan
dengan keutamaan-keutamaan, maka kami tidak begitu selektif (tetapi tidak
sampai pada taraf hadis palsu)” (Ibnu
Hajar, al Qaul al Musaddad I/11, dan al Baihaqi, Dalail an Nubuwwah I/34)
Al-Hafidz as-Sakhawi
berkata:
فَقَدْ رَوَيْنَا مِنْ
طَرِيْقِ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَحْمَدَ بِاْلإِسْنَادِ الصَّحِيْحِ
إِلَيْهِ قَالَ سَمِعْتُ
أَبِي يَقُوْلُ لاَ تَكَادُ تَرَى أَحَدًا يَنْظُرُ فِي الرَّأْيِ إِلاَّ وَفِي
قَلْبِهِ غِلٌّ وَالْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الرَّأْيِ (فتح
المغيث - ج 1 / ص 82)
“Kami benar-benar meriwayatkan melalui Abdullah bin Ahmad dengan
sanad sahih yang sampai kepadanya, Abdullah berkata: Saya mendengar bahwa bapak
saya berkata: Tidaklah kamu temukan seseorang perpandangan dengan sebuah
pendapat kecuali di dalam hatinya ada dendam/khianat. Hadis dlaif lebih saya
senangi daripada hasil pendapat” (Fath
al-Mughits 1/82)
Namun beberapa
syarat dalam mengamalkan hadis dlaif.
وَشَرْطُ جَوَازِ الْعَمَلِ
بِهِ: أَنْ لاَ يَشْتَدَّ ضُعْفُهُ، بِأَنْ لاَ يَخْلُوَ طَرِيْقٌ مِنْ طُرُقِهِ
مِنْ كَذَّابٍ أَوْ مُتَّهَمٍ بِالْكِذْبِ، وَأَنْ يَكُوْنَ دَاخِلاً تَحْتَ
أَصْلٍ كُلِّيٍ كَمَا إِذَا وَرَدَ حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ بِصَلاَةِ رَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الزَّوَالِ مَثَلاً، فَإِنَّهُ يُعْمَلُ بِهِ لِدُخُوْلِهِ تَحْتَ
أَصْلِيٍّ كُلِّيٍّ؛ وَهُوَ قَوْلُهُ صلى الله تعالى عليه "الصَّلاَةُ خَيْرُ
مَوْضُوْعٍ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَسْتَكْثِرَ فَلْيَسْتَكْثِرْ" رَوَاهُ
الطَّبْرَانِي فِي اْلأَوْسَطِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَيْ خَيْرُ شَيْءٍ
وَضَعَهُ اللهُ تَعَالَى (شرح الأربعين النووية في الأحاديث الصحيحة النبوية لابن دقيق العيد - ج 1 / ص 4)
“1. bukan hadis yang sangat dlaif .2. Memiliki kesesuaian
dengan dalil yang
lain (tidak bertentangan
dengan dalil
lain)”
Ulama yang lain
menambahkan syarat lain: “3. Terkait dengan keutamaan ibadah (bukan masalah
hukum). 4. Dilakukan dalam rangka ihtiyath (berhati-hati). Jika semua syarat
terpenuhi maka boleh mengamalkan hadis dlaif.
=========================================================
13.
Baca al-Quran di Kuburan
Pertanyaan:
Kuburan bukanlah tempat beribadah, mengapa banyak umat
Islam mengaji di kuburan? Abu Hafidzi, Sby.
Jawaban:
Membaca al-Quran di kuburan bukanlah sesuatu yang bid'ah
atau bahkan sesuatu yang haram. Hal
ini berdasarkan hadis di bawah ini:
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ
عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي أُسَامَةَ الْحَلَبِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي
ح وَحَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ دُحَيْمٍ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي ح
وَحَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
بَحْرٍ قَالُوْا حَدَّثَنَا مُبَشِّرُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ حَدَّثَنِي عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ الْعَلاَءِ بْنِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ لِي
أَبِي يَا بَنِيَّ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَلْحِدْنِي فَإِذَا وَضَعْتَنِي فِي
لَحْدِي فَقُلْ بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ثُمَّ سِنَّ عَلَيَّ
الثَّرَى سِنًّا ثُمَّ اقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ
وَخَاتِمَتِهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله تعالى عليه يَقُوْلُ
ذَلِكَ (رواه الطبراني في الكبير رقم 15833)
"Dari Abdurrahman bin 'Ala' dari
bapaknya, bahwa: Bapakku berkata kepadaku: Jika aku mati, maka buatkan liang
lahat untukku. Setelah engkau masukkan aku ke liang lahat, bacalah: Dengan nama
Allah dan atas agama Rasulullah. Kemudian ratakanlah tanah kubur perlahan, lalu
bacalah di dekat kepalaku permulaan dan penutup surat al-Baqarah. Sebab aku
mendengar Rasulullah bersabda demikian"
(HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 15833)
Al-Hafidz al-Haitsami berkata:
وَرِجَالُهُ مُوَثَّقُوْنَ (مجمع
الزوائد ومنبع الفوائد للحافظ الهيثمي 3/66)
"Perawinya
dinilai sebagai orang-orang terpercaya" (Majma' al-Zawaid III/66)
Begitu pula dengan riwayat hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله تعالى عليه يَقُوْلُ
إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ
وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ
بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم
13613 والبيهقي في الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)
"Diriwayatkan
dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika
diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah
dimakam-kan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembuka al-Quran (Surat
al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya" (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 13613,
al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Maid 4/449)
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis
tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ
وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح
الباري لابن حجر 3 / 184)
"HR al-Thabrani
dengan sanad yang hasan" (Fath al-Bari III/184)
Dalam kedua hadis
ini Rasulullah Saw tidak menentukan waktu pembacaan al-Quran saat pemakaman
saja. Dan kalaulah membaca al-Quran di kuburan dilarang, maka sudah pasti
Rasulullah tidak akan memperbolehkannya dan hanya mengkhususkan ketika
pemakaman saja. Dan sudah barang tentu hal semacam ini tidak boleh terjadi
sebagaimana dalam kaidah fikih:
اِنَّ
الْبَيَانَ لاَ يُؤَخَّرُ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ
"Penjelasan tentang hukum tidak boleh ditunda di saat
penjelasan itu dibutuhkan"
(al-Talkhish fi Ushul al-Fiqh, II/208)
Lalu dari mana pihak yang anti tahlil
melarang membaca al-Quran di kuburan, padahal Rasulullah sendiri tidak
menyatakan yang demikian itu dalam hadis-hadisnya?
Hadis di atas juga
diperkuat oleh amaliyah sahabat Abdullah bin Umar bin Khattab yang merupakan
salah satu sahabat Rasulullah yang meriwayatkan ribuan hadis setelah Abu
Hurairah dan Ibnu Abbas:
أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ
اللهِ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا أَبُوْ الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوْبَ
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ سَأَلْتُ يَحْيَى بْنَ مَعِيْنٍ عَنِ
الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ حَدَّثَنَا مُبَشِّرُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ
الْحَلَبِىُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحَمْنِ بْنِ الْعَلاَءَ بْنِ اللَّجْلاَجِ عَنْ
أَبِيْهِ أَنَّهُ قَالَ لِبَنِيْهِ إِذَا أَدْخَلْتُمُوْنِى قَبْرِى فَضَعُوْنِى
فِى اللَّحْدِ وَقُوْلُوْا بِاسْمِ اللهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله
تعالى عليه وَسُنُّوْا عَلَىَّ التُّرَابَ سَنًّا وَاقْرَءُوْا عِنْدَ رَأْسِى
أَوَّلَ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتَهَا فَإِنِّى رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَسْتَحِبُّ
ذَلِكَ (رواه البيهقي في السنن الكبرى رقم 7319 والدعوات الكبير رقم 638)
"Diriwayatkan
dari Abdurrahman bin 'Ala' bahwa bapaknya berkata pada anak-anaknya: Jika
kalian telah memasukkan aku ke dalam kubur, maka letakkan aku di liang lahat.
Dan ucapkanlah: Dengan nama Allah dan atas sunnah Rasulullah Saw. Dan
ratakanlah tanah secara perlahan, lalu bacalah di dekat kepalaku permulaan dan
penutup surat al-Baqarah. Sebab aku melihat Ibnu Umar menganjurkan
demikian" (Riwayat al-Baihaqi dalam al-Kabir No 7319 dan al-Da'awat No 638)
Ibnu Jum'ah berkata:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله
تعالى عنه أَنَّهُ اسْتَحَبَّ أَنْ يُقْرَأَ عَلَى الْقَبْرِ بَعْدَ الدَّفْنِ
أَوَّلَ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (خلاصة
الأحكام في مهمات السنن وقواعد الإسلام لابن جمعة الحزامي الشافعي 2 / 1028)
"Diriwayatkan
dari Ibnu Umar bahwa beliau menganjurkan membaca permulaan dan penutup surat
al-Baqarah di atas kuburan setelah dimakamkan. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi
dengan sanad yang hasan" (Khulashat al-Ahkam II/1028)
Atsar ini juga disahihkan oleh madzhab Hanbali:
وَفِي الْمَبْدَعِ مِنْ
كُتُبِ الْحَنَابِلَةِ وَقَدْ صَحَّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا
دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا. اهـ مِنْ
هِدَايَةِ الرَّاغِبِ (فتاوى حسنين مخلوف 1 / 444)
"Di dalam kitab al-Mabda' dari
kalangan Hanbali disebutkan: Sungguh telah sahih dari Ibnu Umar bahwa beliau
berwasiat setelah dimakamkan untuk dibacakan pembukaan surat al-Baqarah dan
penutupnya di dekat kuburnya. Dikutip dari kitab Hidayat al-Raghib" (Fatawa Hasanain Makhluf 1/444)
Kendatipun Ibnu
Taimiyah dikenal sebagai ulama yang tidak menganjurkan membaca al-Quran di
kuburan, tetapi ia tidak menampik dengan argumen riwayat Ibnu Umar diatas
sebagai dalil diperbolehkannya membaca al-Quran di kuburan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ
وَصَّى أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ دَفْنِهِ بِفَوَاتِحِ الْبَقَرَةِ وَخَوَاتِمِهَا
وَالرُّخْصَةُ إمَّا مُطْلَقًا وَإِمَّا حَالَ الدَّفْنِ خَاصَّةً (جامع
المسائل لابن تيمية 3 / 132)
"Dari Ibnu Umar bahwa beliau berwasiat
setelah dimakamkan untuk dibacakan pembukaan surat al-Baqarah dan penutupnya.
Dispensasi ini bisa jadi secara mutlak (boleh baca al-Quran di kuburan kapan
saja), dan bisa jadi khusus ketika pemakaman saja"
(Ibnu
Taimiyah, Jami' al-Masail III/132)
Dalil lainnya adalah
menggunakan Qiyas Aulawi:
قُلْتُ وَقَدِ اسْتَدَلَّ
بَعْضُ عُلَمَائِنَا عَلَى قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ عَلَى الْقَبْرِ بِحَدِيْثِ
الْعَسِيْبِ الرُّطَبِ الَّذِي شَقَّهُ النَّبِيُّ صلى الله تعالى عليه
بِاثْنَيْنِ ثُمَّ غَرَسَ عَلَى هَذَا وَاحِدًا وَعَلَى هَذَا وَاحِدًا ثُمَّ
قَالَ لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا خَرَّجَهُ
الْبُخَارِي (218) وَمُسْلِمٌ (703) ... قَالُوْا وَيُسْتَفَادُ مِنْ هَذَا غَرْسُ
اْلأَشْجَارِ وَقِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ عَلَى الْقُبُوْرِ وَإِذَا خُفِّفَ عَنْهُمْ
بِاْلأَشْجَارِ فَكَيْفَ بِقِرَاءَةِ الرَّجُلِ الْمُؤْمِنِ الْقُرْآنَ؟ (التذكرة
للقرطبي 1 / 84 وشرح الصدور للحافظ جلال الدين السيوطي 305)
"Saya (al-Qurthubi) berkata: Sebagian
ulama kalangan kita menggali dalil membaca al-Quran di kubur dengan hadis
tentang pohon kurma yang masih basah, yang dibelah oleh Rasulullah Saw menjadi
dua, kemudian masing-masing ditanam di atas dua kuburan. Rasulullah Saw
bersabda: 'Semoga pohon ini meringankan siksa kedua (mayit), selama belum
mengering' (HR al-Bukhari No 218 dan Muslim No 703). Ulama berkata: Diambil
faedah dari hadis ini mengenai menanam tanaman dan membaca al-Quran di kubur. Jika orang yang meninggal saja mendapat
keringanan (siksa) dengan tanaman, lalu bagaimana dengan bacaan al-Quran dari
orang yang beriman?” (al-Qurthubi dalam al-Tadzkirah I/84 dan Jalaluddin al-Suyuthi
dalam Syarh al-Shudur 305)
Imam Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi'iyah
tentang membaca
al-Quran di kuburan:
وَيُسْتَحَبُّ
(لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ
عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع
شرح المهذب للشيخ النووي 5 / 311)
"Dan dianjurkan
bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan mendoakan ahli
kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh al-Syafi'i dan
disepakati oleh ulama Syafi'iyah" (al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab
V/311)
Ternyata Ibnu Qoyyim, murid Ibnu Taimiyah, mengklaim
bahwa membaca al-Quran di kuburan telah menjadi tradisi bagi para sahabat
Anshar di Madinah:
وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ
الشَّعْبِي قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ
اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ (الروح لابن
القيم - 1 / 11)
"Al-Khallal mengutip dari al-Sya'bi
bahwa jika salah seorang dari sahabat Anshar meninggal, maka mereka bergiliran
membaca al-Quran di kuburannya"
(al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
Ibnu Qoyyim juga
mengutip fatwa Imam Ahmad yang awalnya melarang membaca al-Quran di kuburan
kemudian Imam Ahmad meralatnya bahkan menganjurkan hal tersebut:
قَالَ الْخَلاَّلُ
وَأَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِى عَلِىُّ بْنُ
مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقًا قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ
وَمُحَمَّدٍ بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِى فِي جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ
جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا
هَذَا إِنَّ اْلقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ
الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ ِلأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ يَا أَبَا
عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِي مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ
عَنْهُ شَيْئًا ؟ قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِي مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ اْلعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ
يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ
سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِي بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ
لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ (الروح لابن القيم 1 / 10)
"Ali bin Musa
al-Haddad (orang yang sangat jujur) berkata: Saya bersama Ahmad bin Hanbal dan
Muhammad Ibnu Qudamah al-Jauhari menghadiri pemakaman janazah. Setelah
dimakamkan, ada orang laki-laki buta membaca al-Quran di dekat kubur tersebut.
Ahmad berkata kepadanya: Wahai saudara! Membaca di dekat kubur adalah bid'ah.
Setelah kami keluar dari kuburan, Muhammad ibnu Qudamah bertanya kepada Ahmad
bin Hanbal: Wahai Abu Abdillah. Apa penilaianmu tentang Mubasysyir al-Halabi?
Ahmad menjawab: Ia orang terpercaya. Ibnu Qudamah bertanya lagi: Apakah engkau
meriwayatkan hadis dari Mubasysyir? Ahmad bin Hanbal menjawab: Ya. Saya
mendapatkan riwayat dari Mubasysyir bin Abdirrahman dari ayahnya, bahwa ayahnya
berpesan agar setelah dimakamkan dibacakan di dekat kepalanya dengan pembukaan
al-Baqarah dan ayat akhirnya. Ayahnya berkata bahwa ia mendengar Ibnu Umar
berwasiat seperti itu juga. Kemudian Imam Ahmad berkata kepada Ibnu Qudamah:
Kembalilah, dan katakan pada lelaki tadi agar membacanya!" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
============================================================
14.
Khataman al-Quran di Kuburan
Pertanyaan:
Sudah menjadi tradisi di lingkungan kami jika ada warga
yang wafat, maka setiap sore ada sekitar 30 orang yang mengkhatamkan al-Quran
di makamnya, masing-masing membaca 1 juz. Bolehkah hal yang demikian?
Syafiuddin, Sampang Madura
Jawaban:
Membaca al-Quran di kuburan didasarkan pada hadis riwayat
Thabrani (Baca bab: ”Membaca al-Quran di Kuburan). Dan terkait mengkhatamkan
al-Quran di kuburan sudah dilakukan oleh para ulama Salaf. Ulama Syafiiyah,
Imam Nawawi berkata:
قَالَ الشَّافِعِي
وَاْلأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ
قَالُوْا فَإِنْ خَتَمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا (الأذكار النووية 1 / 162 والمجموع للشيخ
النووي 5 / 294)
"Imam Syafii dan
ulama Syafi'iyah berkata: Disunahkan membaca sebagian dari al-Quran di dekat
kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran keseluruhan, maka
hal itu dinilai bagus" (al-Adzkar I/162 dan al-Majmu' V/294)
Imam ahli Qira’ah,
Ibnu al-Jazari berkata:
سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ
نَفِيْسٍ الضَّرِيْرَ شَيْخَنَا يَقُوْلُ قَرَأْتُ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى
الله تعالى عليه أَلْفَ خَتْمَةٍ (غاية النهاية في طبقات القراء لابن الجزري ج 1 / ص 40)
“Diriwayatkan bahwa guru kami, Ahmad bin Navis (Ahli al-Quran di Mesir), yang buta berkata: Saya membaca di
dekat makam Nabi Saw sebanyak 1000 kali khataman” (Ghayat an-Nihayah 1/40)
Khataman secara
massal juga sudah dilakukan oleh ulama Hanabilah:
وَكَانَتْ
جَنَازَتُهُ (أَبِي جَعْفَرٍ الْهَاشِمِيِّ اْلاِمَامِ، شَيْخِ الْحَنْبَلِيَّةِ)
مَشْهُوْدَةً، وَدُفِنَ إِلَى جَانِبِ قَبْرِ اْلاِمَامِ أَحْمَدَ، وَلَزِمَ
النَّاسُ قَبْرَهُ مُدَّةً حَتَّى قِيْلَ: خُتِمَ عَلَى قَبْرِهِ عَشْرَةُ آلاَفِ
خَتْمَةٍ (سير أعلام النبلاء ج 18 / ص 547 والبداية
والنهاية " 12 / 129)
“Dan janazah Syaikh Abi Ja’far al-Hasyimi,
syaikh ulama Hanbali disaksikan banyak orang. Ia dimakamkan disekat kubur Imam
Ahmad. Orang-orang beridiam di kuburnya selama beberapa waktu, hingga dikatakan
telah dibacakan al-Quran di kubrnya sebanyak 10.000 kali khataman” (al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam
an-Nubala’ 18/547 dan al-Hafidz Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayag
12/129)
Begitu pula di makam Nashr bin Ibrahim
al-Maqdisi:
تُوُفِّيَ
أَبُوْ الْفَتْحِ الزَّاهِدُ فِي يَوْمِ الثُّلاَثَاءِ التَّاسِعِ مِنَ الْمُحَرَّمِ
سَنَةَ تِسْعِيْنَ وَأَرْبَعِمِائَةٍ وَخَرَجْنَا بِجَنَازَتِهِ بَعْدَ صَلاَةِ
الظُّهْرِ فَلَمْ يُمْكِنَّا دَفْنُهُ إِلَى قَرِيْبِ الْمَغْرِبِ لأَنَّ النَّاسَ
حَالُوْا بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ وَكَانَ الْخَلْقُ مُتَوَفِّرًا ذُكِرَ
الدِّمَشْقِيُّوْنَ أَنَّهُمْ لَمْ يَرَوْا جَنَازَةً مِثْلَهَا وَأَقَمْنَا عَلَى
قَبْرِهِ سَبْعَ لَيَالٍ نَقْرَأُ كُلَّ لَيْلَةٍ عِشْرِيْنَ خَتْمَةً (تاريخ دمشق ج 62 / ص 18وسير الاعلام
19 / 140)
“Ketika al-Imam Nashr bin Ibrahim
al-Maqdisi, yang terkenal zuhud, wafat pada Selasa 9 Muharram, 490 H, penduduk
Damaskus membaca al-Qur’an di makamnya selama 7 hari, setiap malam 20 khataman” (al-Hafidz Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi 62/18 dan
al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ 19/140)
Begitu juga di kuburan Ibnu Taimiyah:
وَخُتِمَتْ لَهُ خَتْمَاتٌ كَثِيْرَةُ بِالصَّالِحِيَّةِ
وَبِالْبَلَدِ، وَتَرَدَّدَ النَّاسُ إِلَى قَبْرِهِ أَيَّامًا كَثِيْرَةً لَيْلاً
وَنَهَارًا يَبِيْتُوْنَ عِنْدَهُ وَيُصْبِحُوْنَ، وَرُئِيَتْ لَهُ مَنَامَاتٌ
صَالِحَةٌ كَثِيْرَةٌ، وَرَثَاهُ جَمَاعَةٌ بِقَصَائِدَ جَمَّةٍ (البداية
والنهاية 14/ 156)
“Ibnu Taimiyah
dikhatamkan bacaan al-Quran berkali-kali baik di makamnya atau di kota.
Orang-orang mondar-mandir ke kuburnya berkali-kali selama beberapa hari yang
lama, malam atau siang. Mereka menginap di dekat kuburnya sampai Subuh. Mereka
menjumpai mimpi-mimpi yang baik tentang Ibnu Taimiyah, dan para jamaah
melantunkan kasidah yang beraneka ragam” (Al-Hafidz Ibnu Katsir al-Bidayah wa an-Nihayah
14/156-157)
==============================================
15.
Takbir Saat Khataman al-Quran
Pertanyaan:
Sering saya jumpai
saat khataman al-Quran, setelah membaca surata dl-Dluha dan seterusnya
dísela-selai bacaam takbir antara satu surat dengan surat berikutnya. Adakah
dalil hal tersebut? Pemirsa tv9
Jawaban:
Sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh al-Hafidz
as-Suyuthi bahwa Ibnu Abbas membaca al-Quran kepada Ubay bin Ka’b, maka Ubay
menyuruh Ibnu Abbas untuk membaca takbir setelah membaca adl-Dluha dan surat
sesudahnya. Dan sudah diketahui bahwa Ubay bin Ka’b adalah salah satun sahabat
yang direkomendasikan oleh Rasulullah untuk mengajarkan al-Quran, Rasulullah
Saw bersabda:
خُذُوا
الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَسَالِمٍ وَمُعَاذٍ
وَأُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ (رواه
البخارى 4999 ومسلم 6488)
“Ambillah al-Quran dari 4 orang, Abdullah
bin Masud, Salim (budak yang dimerdekakan Abu Khudzaifah), Mu’adz dan Ubay bin
Ka’b” (HR al-Bukhari No
4999 dan Muslim No 6488)
Al-Hafidz as-Suyuthi menjelaskan masalah ini secara
konperhensif:
مَسْئَلَةٌ
يُسْتَحَبُّ التَّكْبِيْرُ مِنَ الضُّحَى إِلَى آخِرِ الْقُرْآنِ وَهِيَ قِرَاءَةُ
الْكُوْفِيِّيْنَ… وَأَخْبَرَ مُجَاهِدٌ أَنَّهُ قَرَأَ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ
فَأَمَرَهُ بِذَلِكَ وَأَخْبَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَرَأَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ
كَعْبٍ فَأَمَرَهُ بِذَلِكَ، كَذَا أَخْرَجْنَاهُ مَوْقُوْفاً. ثُمَّ أَخْرَجَهُ
الْبَيْهَقِي مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنِ ابْنِ أَبِي بَزَّةَ مَرْفُوْعاً.
وَأَخْرَجَهُ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ: أَعْنِي الْمَرْفُوْعَ الْحَاكِمُ فِي
مُسْتَدْرَكِهِ وَصَحَّحَهُ، وَلَهُ طُرُقٌ كَثِيْرَةٌ عَنِ الْبَزِّي. وَعَنْ
مُوْسَى بْنِ هَارُوْنَ قَالَ: قَالَ لِي الْبَزِّي: قَالَ لِي مُحَمَّدُ بْنُ
إِدْرِيْسَ الشَّافِعِي: إِنْ تَرَكْتَ التَّكْبِيْرَ فَقَدْتَ سُنَّةً مِنْ
سُنَنِ نَبِيِّكَ (الإتقان في علوم
القرآن ج 1 / ص 131)
“Disunahkan membaca takbir dari surat
adl-Dluha hingga akhir al-Quran. Ini adalah cara qira’ah ulama Kufah… Mujahid
meriwayatkan bahwa ia membaca al-Quran kepada Ibnu Abbas, lalu Ibnu Abbas
menyuruh membaca takbir. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ia membaca al-Quran
kepada Ubay bin Ka’b dan diperintahkan membaca takbir. al-Baihaqi meriwayatkan
dari jalur sanad yang berbeda, begitu pula al-Hakim dan ia menilainya sahih,
dan memiliki banyak jalur riwayat. Muhammad bin
Idris bin asy-Syafii berkata: Jika kamu meninggalkan baca takbir, maka
kamu kehilangan 1 diantara suunah-sunah Nab- mu” (al-Itqan 1/131)[]
[2]
Burhan al-Halabi memperbolehkan hal tersebut.
Ini menunjukkan bahwa di masa itu sudah ada tradisi mengundang ulama dan orang
lain untuk membaca al-Quran yang dihadiahkan bagi para al-Marhum.
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik