Langsung ke konten utama

DUNIA TASAWWUF




DUNIA TASAWWUF
1.       Wali Badal
Pertanyaan:
Apakah sosok wali Badal benar-benar ada? Adakah dalil yang mendasarinya? Jamaah Ahad Dluha, Gubeng.
Jawaban:
Al-Hafidz as-Suyuthi berkata:
لَمْ يَرِدْ فِي الْكُتُبِ السِّتَّةِ ذِكْرُ الْأَبْدَالِ إِلَّا فِي هَذَا الْحَدِيْثِ عِنْد أَبِي دَاوُدَ وَقَدْ أَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ فِي الْمُسْتَدْرَكِ وَصَحَّحَهُ، وَوَرَدَ فِيْهِمْ أَحَادِيْثُ كَثِيرَةٌ خَارِجَ السِّتَّةِ جَمَعْتُهَا فِي مُؤَلَّفٍ اِنْتَهَى (عون المعبود - ج 9 / ص 322)
“Penjelasan tentang wali Badal tidak ada dalam kutubus sittah (6 kitab hadis; Bukhari, Muslim, Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi, Sunan an-Nasai dan Sunan Ibnu Majah), kecuali 1 hadis riwayat Abu Dawud (No 3737) dan diriwayatkan oleh al-Hakim dan ia menilainya sahih (dan riwayat Ahmad No 27446). Namun ada banyak hadis tentang wali Badal yang diriwayatkan oleh selain 6 kitab hadis tersebut” (‘Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud 9/322)
Hadis yang disampaikan oleh para ahli hadis tentang wali Badal diantaranya adalah:
لَنْ تَخْلُوَ اْلأَرْضُ مِنْ أَرْبَعِيْنَ رَجُلاً مِثْلَ خَلِيْلِ الرَّحْمَنِ فَبِهِمْ تُسْقَوْنَ وَبِهِمْ تُنْصَرُوْنَ مَا مَاتَ مِنْهُمْ أَحَدٌ إِلاَّ أَبْدَلَ اللهُ مَكَانَهُ آخَرَ (أخرجه الطبرانى فى الأوسط رقم 4101 . قال الهيثمى والمناوي : إسناده حسن)
“Dunia tidak akan sepi dari 40 orang laki-laki yang seperti Nabi Ibrahim, kekasih Allah. Karena mereka inilah kalian diberi hujan dan diberi pertolongan. Tidak ada satupun yang mati dari mereka kecuali Allah menggantikannya dengan orang lain” (HR Thabrani No 4101, al-Hafidz al-Haitsami dan al-Munawi berkata: Sanadnya hasan. Dan masih banyak hadis lain yang disahihkan oleh para ahli hadis)
Dari hadis inilah diambil definisi tentang wali Badal, yaitu seorang wali yang digantikan manakala salah seorang dari mereka ada yang wafat, sehingga jumlah 40 wali badal tidak berkurang.
Setidaknya ada dua ulama ahli hadis telah mengarang sebuah kitab khusus yang menjelaskan dalil-dalil keberadaan para wali Badal, diantaranya adalah al-Hafidz as-Suyuthi dalam al-Khabar ad-Daal fi wujudi al-Quthbi wa al-Autaad wa an-Nujabaa’ wa al-Abdaal, dan al-Hafidz as-Sakhawi (Murid al-Hafidz Ibnu Hajar) dalam Nadzmu al-La’al fi al-Kalaami ala al-Abdaal, dan secara khusus beliau menetapkan satu Bab tentang al-Abdaal (wali Badal) dalam kitab hadisnya al-Maqaashid al-Hasanah (1/43) dengan menyebut beberapa hadis yang hasan dan dlaif. Diantaranya riwayat Abu Nuaim dalam al-Hilyah, bahwa sahabat bertanya:
يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنَا عَلَى أَعْمَالِهِمْ قَالَ يَعْفُوْنَ عَمَّنْ ظَلَمَهُمْ وَيُحْسِنُوْنَ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْهِمْ وَيَتَوَاصَلُوْنَ فِيْمَا أَتَاهُمُ اللهُ
عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai Rasulullah, tunjukkan kepada kami tentang perilaku mereka (wali Badal) ! Rasulullah menjawab: Mereka pemaaf terhadap orang yang mendzaliminya, mereka berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadanya, dan mereka saling menyambung dalam pemberian dari Allah kepada mereka”
2.       Tahapan Suluk Dalam Tasawuf
Pertanyaan:
Dari sebuah buku, misalnya karya Ust. Hartono Jais sering dijumpai klaim dan tuduhan bahwa tata cara dalam Tariqah maupun Tasawuf telah menyimpang dari ajaran Islam. Benarkah tuduhan tersebut? Wahyudiono, Sby
Jawaban:
Dalam ilmu Tasawwuf ada istilah ‘al-Maqamat’ atau tahapan/tingkatan yang akan dilalui oleh seseorang untuk mencapai ‘makrifat’ atau mengenal Allah. Perjalanan panjang menuju tujuan tersebut disebut dengan ‘suluk’.
Maqamat tersebut menurut al-Ghazali adalah: Taubat → Sabar → Fakir → Zuhud (tidak cinta dunia secara berlebihan) → Tawakkal → Mahabbah (cinta) → Makrifat → Ridla.
Sedangkan menurut ath-Thusi adalah: Taubat → Wara’ (menjauhi syubhat dab haram) → Zuhud → Fakir → Sabar → Ridla → Tawakkal → Makrifat.
Jenjang Tasawuf menurut al-Kalabadzi adalah: Taubat →   Zuhud    Sabar    Fakir    Tawadlu’    Takwa  → Tawakkal → Ridla → Mahabbah (cinta) → Makrifat.
Dan dalam metode Syaikh al-Qusyairi adalah: Taubat → Wara’ → Zuhud →  Tawakkal → Ridla.
Suluk tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله تعالى عليه إِنَّ اللهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ (رواه البخارى 6502)
“Sesungguhnya Allah berfirman (Hadis Qudsi): Barangsiapa yang memusuhi seorang wali maka Aku mengizinkan ber-perang. Tidak ada yang seorang hamba yang mendekatkan diri kepadaKu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hambaku tiada berhenti mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangan yang dipukulnya, langkah kakinya. dan jika ia meminta maka sunggu Aku kabulkan, dan jika ia berlindung kepadaKu, niscaya Aku lindungi” (HR al-Bukhari)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
قَالَ الطُّوفِيُّ: هَذَا الْحَدِيثُ أَصْلٌ فِي السُّلُوكِ إِلَى اللهِ وَالْوُصُول إِلَى مَعْرِفَتِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَرِيقِهِ، إِذْ الْمُفْتَرَضَاتُ الْبَاطِنَةُ وَهِيَ الْإِيمَان وَالظَّاهِرَة وَهِيَ الْإِسْلَامُ وَالْمُرَكَّبُ مِنْهُمَا وَهُوَ الْإِحْسَانُ فِيهِمَا كَمَا تَضَمَّنَهُ حَدِيثُ جِبْرِيلَ، وَالْإِحْسَانُ يَتَضَمَّنُ مَقَامَاتِ السَّالِكِينَ مِنْ الزُّهْدِ وَالْإِخْلَاصِ وَالْمُرَاقَبَةِ وَغَيْرِهَا، وَفِي الْحَدِيثِ أَيْضًا أَنَّ مَنْ أَتَى بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِ وَتَقَرَّبَ بِالنَّوَافِلِ لَمْ يُرَدَّ دُعَاؤُهُ لِوُجُوْدِ هَذَا الْوَعْدِ الصَّادِقِ الْمُؤَكَّدِ بِالْقَسَمِ (فتح الباري لابن حجر - ج 18 / ص 342)
“Ath-Thufi berkata: Hadis ini adalah dalil dasar dalam melakukan suluk (tahapan/jenjang) menuju Allah dan sampai pada makrifat (mengenal) Allah dan mencintainya. Sebab kewajiban-kewajiban batin seperti iman, dan kewajiban-kewajiban fisik yaitu Islam, dan yang tersusun dari keduanya, yaitu Ihsan sebagaimana dalam hadis yang disampaikan dalam kisah Malaikat Jibril. Sementara Ihsan mengandung tahapan-tahapan yang dilalui oleh pelaksana, seperti zuhud, ikhlas, diawasi oleh Allah dan lainnya. Dalam hadis ini juga dijelaskan bahwa orang yang melakukan ibadah wajib dan mendekatkan diri dengan ibadah sunah donya tidak akan ditolak, sebab telah ada janji yang dikuatkan dengan sumpah” (Fathul Bari 18/342)
Sedangkan subtansi ajaran dalam Tasawuf adalah membersihkan hati dari akhlak yang buruk dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا [الشمس/7-10]
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Asy-Syams 7-10)
3.       Siapa Sultanul Auliya?
Pertanyaan:
Sudah tidak asing di lingkungan kita saat sebelum mengawali doa berwasilah dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang terkadang disebutkan julukan Sulthan al-Auliya’. Apa yang dimaksud gelar itu? Jamaah La Tansa, Kertajaya Surabaya
Jawaban:
Banyak para ulama ahli hadis yang menegaskan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah salah satu wali Allah. al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali (murid Ibnu Qayyim), ketika mengulas biografi Syaikh Abdul Qadir, berkata: “Ia adalah syaikh masa itu, panutan para wali, pemimpin (sultan) para masyayikh, pemuka ahli tarekat di masanya, pemilik kedudukan (disisi Allah) dan karamah…” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah 1/118)
Begitu pula al-Hafidz adz-Dzahabi berkata: “Syaikh Abdul Qadir adalah seorang Imam, berpengetahuan, zuhud, wali, panutan, syaikhul Islam, bendera para wali….” (Siyar A’lam an-Nubalaa’ 20/439). Di halaman berikutnya adz-Dzahabi berkata: “Disebutkan bahwa dia adalah wali Quthub” (20/446)
Siapa wali Quthub itu? Ibnu Khaldun berkata: “Dalam ilmu Tasawuf ada istilah Quthub, yaitu pimpinan wara wali” (Muqaddimah Ibnu Khaldun 1/285)
Tidak sedikit dari para ulama yang menyebut gelar ‘Quthub’ ini pada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, diantaranya al-Hafidz as-Suyuthi (Lubbu al-Bab 1/04), Ahli Fikih Ibnu Hajar asy-Syafii (Fatawa al-Haditsiyah 1/752), Ahli Hadis Syaikh as-Sindi (Hasyiyah Ibnu Majah 7/243), Ahli Hadis Syaikh Mulla Ali al-Qari (Syarah Musnad Abi Hanifah 1/454 dan Syarah Misykat al-Mashabih 5/230), Ahli Tafsir al-Alusiy (Ruh al-Ma’ani 5/262), Syaikh ath-Thahawi al-Hanafi (Hasyiyah ath-Thahawi 2/5), dan lain sebagainya.
Darimana istilah Quthub tersebut? al-Hafidz Ibnu Hajar menjawab:
وَقَالَ شَيْخُهُ ابْنُ حَجَرٍ فِي فَتَاوِيْهِ: اْلأَبْدَالُ وَرَدَتْ فِي عِدَّةِ أَخْبَارٍ مِنْهَا مَا يَصِحُّ وَمَا لاَ وَأَمَّا الْقُطْبُ فَوَرَدَ فِي بَعْضِ اْلآثَارِ (فيض القدير - ج 3 / ص 220)
“Istilah wali Badal telah ada dalam hadis-hadis, ada sebagian yang sahih dan ada yang tidak sahih. Dan Quthub telah ada dalam sebagian atsar sahabat/tabiin” (al-Hafidz al-Munawi, Faidl al-Qadiir 3/220)

4.       Bertemu Rasulullah Secara Nyata
Pertanyaan:
Sering kita dengar di masyarakat bahwa ada sebagian kyai yang mengaku melihat Rasulullah Saw ketika membaca salawat bersama. Bernarkah hal tersebut ataukah termasuk takhayyul dan khurafat? Abu Rifa’I, Sby.
Jawaban:
Kita tidak boleh menuduh takhayyul atau khurafat terhadap kisah yang seolah tidak masuk akal, sebelum meninjaunya dengan dalil-dalil yang sahih. Dalam riwayat sahih, Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَسَيَرَانِى فِى الْيَقَظَةِ وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِى (رواه البخاري رقم 6995  ومسلم رقم 6057)    
“Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpi, maka akan melihatku dalam keadaan terjaga (nyata). Dan setan tidak bisa menyerupai dengan saya” (HR al-Bukhari No 6995 dan Muslim No 6057)
Dari hadis ini para ulama memang berbeda pendapat dalam menafsiri kandungan  maksudnya. Namun al-Hafidz as-Suyuthi berkata: “Ada sekelompok ulama yang menafsiri bisa melihat Rasulullah Saw di dunia secara nyata dan bisa berdialog dengan beliau, hal ini adalah sebagai karamah bagi para wali Allah” (ad-Diibaj Syarah Muslim 5/285)
Ada banyak sosok sahabat yang pernah berjumpa dengan Rasulullah Saw setelah wafat, misalnya saat Khalifah Utsman didatangi oleh Rasulullah Saw menjelang wafatnya ketika dikepung oleh pemberontak:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ قَالَ أَتَيْتُ عُثْمَانَ لأُسَلِّمَ عَلَيْهِ وَهُوَ مَحْصُوْرٌ فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَرْحَبًا بِأَخِي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله تعالى عليه اللَّيْلَةَ فِي هَذِهِ الْخَوْخَةِ قَالَ وَخَوْخَةٌ فِي الْبَيْتِ فَقَالَ يَا عُثْمَانُ حَصَرُوْكَ قُلْتَ نَعَمْ قَالَ عَطَشُوْكَ قُلْتَ نَعَمْ فَأَدْلَى دَلْوًا فِيْهِ مَاءٌ فَشَرِبْتُ حَتَّى رَوِيْتُ حَتَّى إِنِّي لاَجِدُ بُرْدَهُ بَيْنَ ثَدْيِي وَبَيْنَ كَتْفِي وَقَالَ لِي: إِنْ شِئْتَ نَصَرْتُ عَلَيْهِمْ وَإِنْ شِئْتَ أَفْطَرْتَ؟ فَاخْتَرْتُ أَنْ أُفْطِرَ عِنْدَهُ " فَقُتِلَ ذَلِكَ الْيَوْمَ (البداية والنهاية ج 7 / ص 182 وتاريخ دمشق - (ج 39 / ص 386)
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Salam: Saya mendatangi Utsman untuk menyelamatkannya saat ia terkepung. Saya masuk ke rumahnya, Utsman berkata: Selamat datang saudaraku. Semalam saya melihat Rasulullah di jendela rumah ini. Rasulullah berkata: Wahai Utsman, apakah mereka mengepungmu? Saya menjawab: Ya, wahai Rasulullah. Beliau berkata: Apakah mereka membuatmu haus? Saya menjawab: Ya. Kemudian Nabi membawakan timba yang berisi air, saya meminumnya hingga saya merasa segar dan saya rasakan dinginnya air itu di susu dan pundak saya. Nabi berkata: Jika kamu mau, saya menolongmu dari mereka. Jika kamu ingin berbuka (meninggal), maka berbukalah! Saya memilih berbuka (wafat) bersama Nabi. Kemudian Utsman terbunuh di hari itu” (al-Hafidz Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wa an-Nihaayah 7/204 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqy 39/386).
Begitu pula sahabat Dhamrah bin Tsa’labah (Diriwayatkan oleh Thabrani. Al-Hafidz al-Haitsami berkata ‘sanadnya hasan’) dan sahabat-sahabat yang lain. Bahkan secara khusus as-Suyuthi mengarang sebuah kitab ‘Tanwir al-Halak’ (dimuat dalam kitab beliau al-Haawii lil Fataawii) yang menjelaskan dimungkinkannya berjumpa dengan Nabi Saw yang disertai dalil dan kisah yang sahih. Pendapat ini juga didukung oleh fatwa ulama al-Azhar, Syaikh Athiyyah Shaqar.
5.       Nabi Khidir Masih Hidup?
Pertanyaan:
Benarkah bahwa Nabi Khidir masih hidup sampai saat ini? Suadi Amin, Pemirsa tv9
Jawaban:
Nabi Khidir disebutkan secara implisit oleh Allah dalam Surat al-Kahfi: 65. Berdasarkan hadis-hadis sahih yang dimaksud 'Hamba' tersebut adalah Nabi Khidir yang memiliki nama Balya ibni Malkan. Syaikh Athiyah, Mufti Al-Azhar berkata:
تَحَدَّثَ الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ عَنْ عَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ تَقَابَلَ مَعَهُ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَكَانَ بَيْنَهُمَا مَا جَاءَ فِى سُوْرَةِ الْكَهْفِ {فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا} الآية: 65 وَتَحَدَّثَتِ السُّنَّةُ النَّبَوِيَّةُ الصَّحِيْحَةُ كَمَا رَوَاهُ الْبُخَارِى وَأَحْمَدُ وَالتُّرْمُذِى عَنْ هَذَا الْعَبْدِ الصَّالِحِ بِاسْمِ "الْخِضْرِ" لأَنَهَ جَلَسَ عَلَى فَرْوَةٍ بَيْضَاءَ هِىَ وَجْهُ اْلأَرْضِ فَإِذَا هِىَ تَهْتَزُّ مِنْ تَحْتِهِ خَضْرَاءُ (فتاوى الأزهر 10/ 425)
“Al-Quran mengisahkan seorang hamba diantara hamba-hamba Allah yang berjumpa dengan Nabi Musa, yang dijelaskan dalam surat al-Kahfi yang artinya: ‘Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami’. Hadis-hadis sahih, seperti al-Bukhari, Ahmad dan Turmudzi menjelaskan tentang ‘hamba’ ini adalah Khidir (hijau). Disebiut Khidir karena jika ia duduk di atas tanah yang tandus, maka akan tumbuh pepohonan yang hijau” (Fatawa al-Azhar 10 / 425)
Terkait apa benar masih hidup sampai sekarang? Para ulama berbeda pendapat. Menurut Hasan al Bashri dan Imam Bukhari, Nabi Khidir dan Nabi Ilyas telah wafat sebelum mencapai usia 100 tahun.
Namun mayoritas ulama mengatakan Nabi Khidir masih hidup. Menurut Imam Nawawi: "Nabi Khidir masih hidup, ada di tengah-tengah kita saat ini". Bahkan Mufti al-Azhar Syaikh Athiyah Shaqr mengutip dari al-Qurthubi (11/45) mentarjih bahwa ini adalah pendapat yang sahih (Fatawa al-Azhar 10/425)
Indikasi tersebut menurut Syaikh al-Azhar, Syaikh 'Athiyyah meliputi (1) Banyaknya kabar dari para ulama yang berkumpul bersama Nabi Khidir. (2) Adanya sebuah riwayat mmenjelang wafatnya Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa Nabi Khidir turut berta'ziyah, dan Sayidina Ali bertanya kepada orang lain:
فَقَالَ: هَلْ تَدْرُونَ مَنْ هَذَا؟ هَذَا الْخِضْرُ صلى الله تعالى عليه وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ. (رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَبِي عُمَرَ عن مُحَمَّدٍ بْنِ جَعْفَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ : كَانَ أَبِي، يَذْكُرُ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ عَلِيٍّ، أَنَّهُ دَخَلَ عَلَيْهِ ... فَذَكَرَهُ بِسَنَدٍ رِجَالُهُ ثِّقَاتٌ اهـ (إتحاف الخيرة المهرة 2/ 526)
"Tahukah kalian siapa dia? Dia adalah Khidir" (HR al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah dan Ibn Sa'd dalam Thabaqat al-Kubra).
Al-Hafidz al-Bushiri menilai perawinya terpercaya, namun beberapa ulama lain menilainya dlaif. dan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Khidir dan Nabi Ilyas selalu berjumpa di musim haji di Mina, namun riwayat ini disepakati oleh para ahli hadis sebagai riwayat yang sangat lemah.
Sementara di lingkungan Nahdlatul Ulama, masalah ini telah diputuskan dalam Bahtsul Masail Di Pon. Pes. Zainul Hasan Genggong Kraksan Probolinggo 27-29 Juli 1984, yaitu:
Pertanyaan:
Masih hidupkah Nabi Khidlir itu? dan bagaimana orang
yang mengaku bertemu dengan Nabi Khidlir? padahal di dalam Al Qur’an ada ayat: وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ
Jawaban:
Tentang masih hidup dan matinya Nabi Khidlir u terdapat perbedaan pendapat, akan tetapi kebanyakan Ulama’ menyatakan masih hidup. Adapun kemungkinan bertemu dengan Nabi Khidlir AS itu bisa saja terjadi.
Dasar Pengambilan Hukum:
Tafsir al-Khazin, Juz III, Hlm. 209
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِى أَنَّ الْخَضِرَ أَحَيٌّ أَمْ مَيِّتٌ، وَقِيْلَ إِنَّهُ حَيٌّ وَهُوَ قَوْلُ اْلأَكْثَرِيْنَ مِنَ الْعُلَمَاءِ، وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ عِنْدَ مَشَايِخِ الصُّوْفِيَّةِ وَأَهْلِ الصَّلاَحِ وَالْمَعْرِفَةِ. وَالْحِكَايَةُ فِى رُؤْيَتِهِ وَاْلإِجْتِمَاعِ بِهِ وَوُجُوْدِهِ فِى الْمَوَاضِعِ الشَّرِيْفَةِ وَمَوَاطِنِ الْخَيْرِ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ تُحْصَى.
"Terjadi perbedaan pendapat di antar para Ulama’ apakah Nabi Khidlir masih hidup atau sudah mati? dikatakan bahwa Nabi Khidlir masih hidup dan itu perkataan/ pendapat kebanyakan para Ulama’. Dan itu merupakan kesepakatan bagi para guru-guru sufi (ahli tasawuf) dan ahli kebaikan serta ahli ma’rifat. Dan juga cerita tentang terlihatnya Nabi Khidlir dan berkumpulnya. Dan masih nampak pada tempat-tempat yang mulya dan tempat-tempat baik yang banyak tidak terhitung".[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا