DUNIA TASAWWUF
1. Wali Badal
Pertanyaan:
Apakah sosok wali
Badal benar-benar ada? Adakah dalil yang mendasarinya? Jamaah Ahad Dluha,
Gubeng.
Jawaban:
Al-Hafidz as-Suyuthi
berkata:
لَمْ
يَرِدْ فِي الْكُتُبِ السِّتَّةِ ذِكْرُ الْأَبْدَالِ إِلَّا فِي هَذَا
الْحَدِيْثِ عِنْد أَبِي دَاوُدَ وَقَدْ أَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ فِي
الْمُسْتَدْرَكِ وَصَحَّحَهُ، وَوَرَدَ فِيْهِمْ أَحَادِيْثُ كَثِيرَةٌ خَارِجَ
السِّتَّةِ جَمَعْتُهَا فِي مُؤَلَّفٍ اِنْتَهَى (عون المعبود - ج 9 / ص 322)
“Penjelasan tentang wali Badal tidak ada
dalam kutubus sittah (6 kitab hadis; Bukhari, Muslim, Musnad Ahmad, Sunan Abu
Dawud, Sunan Turmudzi, Sunan an-Nasai dan Sunan Ibnu Majah), kecuali 1 hadis
riwayat Abu Dawud (No 3737) dan diriwayatkan oleh al-Hakim dan ia menilainya
sahih (dan riwayat Ahmad No 27446). Namun
ada banyak hadis tentang wali Badal yang diriwayatkan oleh selain 6 kitab hadis
tersebut” (‘Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud
9/322)
Hadis yang
disampaikan oleh para ahli hadis tentang wali Badal diantaranya adalah:
لَنْ
تَخْلُوَ اْلأَرْضُ مِنْ أَرْبَعِيْنَ رَجُلاً مِثْلَ خَلِيْلِ الرَّحْمَنِ
فَبِهِمْ تُسْقَوْنَ وَبِهِمْ تُنْصَرُوْنَ مَا مَاتَ مِنْهُمْ أَحَدٌ إِلاَّ
أَبْدَلَ اللهُ مَكَانَهُ آخَرَ (أخرجه الطبرانى فى الأوسط رقم 4101 . قال
الهيثمى والمناوي : إسناده حسن)
“Dunia tidak akan sepi dari 40 orang
laki-laki yang seperti Nabi Ibrahim, kekasih Allah. Karena mereka inilah kalian
diberi hujan dan diberi pertolongan. Tidak ada satupun yang mati dari mereka
kecuali Allah menggantikannya dengan orang lain” (HR Thabrani No 4101, al-Hafidz al-Haitsami dan al-Munawi
berkata: Sanadnya hasan. Dan masih banyak hadis lain yang disahihkan oleh para
ahli hadis)
Dari hadis inilah
diambil definisi tentang wali Badal, yaitu seorang wali yang digantikan
manakala salah seorang dari mereka ada yang wafat, sehingga jumlah 40 wali
badal tidak berkurang.
Setidaknya ada dua
ulama ahli hadis telah mengarang sebuah kitab khusus yang menjelaskan
dalil-dalil keberadaan para wali Badal, diantaranya adalah al-Hafidz as-Suyuthi
dalam al-Khabar ad-Daal fi wujudi al-Quthbi wa al-Autaad wa an-Nujabaa’ wa
al-Abdaal, dan al-Hafidz as-Sakhawi (Murid al-Hafidz Ibnu Hajar) dalam Nadzmu
al-La’al fi al-Kalaami ala al-Abdaal, dan secara khusus beliau menetapkan
satu Bab tentang al-Abdaal (wali Badal) dalam kitab hadisnya al-Maqaashid
al-Hasanah (1/43) dengan menyebut beberapa hadis yang hasan dan dlaif.
Diantaranya riwayat Abu Nuaim dalam al-Hilyah, bahwa sahabat bertanya:
يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنَا عَلَى أَعْمَالِهِمْ
قَالَ يَعْفُوْنَ عَمَّنْ ظَلَمَهُمْ وَيُحْسِنُوْنَ إِلَى مَنْ أَسَاءَ
إِلَيْهِمْ وَيَتَوَاصَلُوْنَ فِيْمَا أَتَاهُمُ اللهُ
عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai Rasulullah, tunjukkan kepada kami
tentang perilaku mereka (wali Badal) ! Rasulullah menjawab: Mereka pemaaf
terhadap orang yang mendzaliminya, mereka berbuat baik kepada orang yang
berbuat buruk kepadanya, dan mereka saling menyambung dalam pemberian dari
Allah kepada mereka”
2. Tahapan Suluk Dalam Tasawuf
Pertanyaan:
Dari sebuah buku,
misalnya karya Ust. Hartono Jais sering dijumpai klaim dan tuduhan bahwa tata
cara dalam Tariqah maupun Tasawuf telah menyimpang dari ajaran Islam. Benarkah
tuduhan tersebut? Wahyudiono, Sby
Jawaban:
Dalam ilmu Tasawwuf
ada istilah ‘al-Maqamat’ atau tahapan/tingkatan yang akan dilalui oleh
seseorang untuk mencapai ‘makrifat’ atau mengenal Allah. Perjalanan panjang
menuju tujuan tersebut disebut dengan ‘suluk’.
Maqamat tersebut
menurut al-Ghazali adalah: Taubat → Sabar → Fakir → Zuhud (tidak cinta
dunia secara berlebihan) → Tawakkal → Mahabbah (cinta) → Makrifat → Ridla.
Sedangkan menurut ath-Thusi
adalah: Taubat → Wara’ (menjauhi syubhat dab haram) → Zuhud → Fakir → Sabar →
Ridla → Tawakkal → Makrifat.
Jenjang Tasawuf
menurut al-Kalabadzi adalah: Taubat →
Zuhud → Sabar
→ Fakir →
Tawadlu’ → Takwa
→ Tawakkal → Ridla → Mahabbah (cinta) → Makrifat.
Dan dalam metode
Syaikh al-Qusyairi adalah: Taubat → Wara’ → Zuhud → Tawakkal → Ridla.
Suluk tersebut
didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله تعالى عليه إِنَّ اللهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى
وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ
أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ
إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ
الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِى
يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِى
لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ (رواه البخارى 6502)
“Sesungguhnya Allah berfirman (Hadis Qudsi): Barangsiapa yang
memusuhi seorang wali maka Aku mengizinkan ber-perang. Tidak ada yang seorang
hamba yang mendekatkan diri kepadaKu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang
telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hambaku tiada berhenti mendekatkan diri
kepadaKu dengan ibadah sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya
maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangan yang dipukulnya,
langkah kakinya. dan jika ia meminta maka sunggu Aku kabulkan, dan jika ia
berlindung kepadaKu, niscaya Aku lindungi”
(HR al-Bukhari)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata:
قَالَ الطُّوفِيُّ: هَذَا الْحَدِيثُ
أَصْلٌ فِي السُّلُوكِ إِلَى اللهِ وَالْوُصُول إِلَى مَعْرِفَتِهِ وَمَحَبَّتِهِ
وَطَرِيقِهِ، إِذْ الْمُفْتَرَضَاتُ الْبَاطِنَةُ وَهِيَ الْإِيمَان وَالظَّاهِرَة
وَهِيَ الْإِسْلَامُ وَالْمُرَكَّبُ مِنْهُمَا وَهُوَ الْإِحْسَانُ فِيهِمَا كَمَا
تَضَمَّنَهُ حَدِيثُ جِبْرِيلَ، وَالْإِحْسَانُ يَتَضَمَّنُ مَقَامَاتِ
السَّالِكِينَ مِنْ الزُّهْدِ وَالْإِخْلَاصِ وَالْمُرَاقَبَةِ وَغَيْرِهَا، وَفِي
الْحَدِيثِ أَيْضًا أَنَّ مَنْ أَتَى بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِ وَتَقَرَّبَ
بِالنَّوَافِلِ لَمْ يُرَدَّ دُعَاؤُهُ لِوُجُوْدِ هَذَا الْوَعْدِ الصَّادِقِ
الْمُؤَكَّدِ بِالْقَسَمِ (فتح الباري لابن حجر - ج 18 / ص 342)
“Ath-Thufi berkata: Hadis ini adalah dalil dasar dalam melakukan
suluk (tahapan/jenjang) menuju Allah dan sampai pada makrifat (mengenal) Allah
dan mencintainya. Sebab kewajiban-kewajiban batin seperti iman, dan
kewajiban-kewajiban fisik yaitu Islam, dan yang tersusun dari keduanya, yaitu
Ihsan sebagaimana dalam hadis yang disampaikan dalam kisah Malaikat Jibril.
Sementara Ihsan mengandung tahapan-tahapan yang dilalui oleh pelaksana, seperti
zuhud, ikhlas, diawasi oleh Allah dan lainnya. Dalam hadis ini juga dijelaskan
bahwa orang yang melakukan ibadah wajib dan mendekatkan diri dengan ibadah
sunah donya tidak akan ditolak, sebab telah ada janji yang dikuatkan dengan
sumpah” (Fathul Bari 18/342)
Sedangkan subtansi
ajaran dalam Tasawuf adalah membersihkan hati dari akhlak yang buruk dan
menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
(7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9)
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا [الشمس/7-10]
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya” (Asy-Syams 7-10)
3.
Siapa
Sultanul Auliya?
Pertanyaan:
Sudah tidak asing di
lingkungan kita saat sebelum mengawali doa berwasilah dengan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani yang terkadang disebutkan julukan Sulthan al-Auliya’. Apa yang
dimaksud gelar itu? Jamaah La Tansa, Kertajaya Surabaya
Jawaban:
Banyak para ulama
ahli hadis yang menegaskan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah salah
satu wali Allah. al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali (murid Ibnu Qayyim), ketika
mengulas biografi Syaikh Abdul Qadir, berkata: “Ia adalah syaikh masa itu, panutan
para wali, pemimpin (sultan) para masyayikh, pemuka ahli tarekat di masanya,
pemilik kedudukan (disisi Allah) dan karamah…” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah
1/118)
Begitu pula
al-Hafidz adz-Dzahabi berkata: “Syaikh Abdul Qadir adalah seorang Imam,
berpengetahuan, zuhud, wali, panutan, syaikhul Islam, bendera para wali….”
(Siyar A’lam an-Nubalaa’ 20/439). Di halaman berikutnya adz-Dzahabi berkata:
“Disebutkan bahwa dia adalah wali Quthub” (20/446)
Siapa wali Quthub
itu? Ibnu Khaldun berkata: “Dalam ilmu Tasawuf ada istilah Quthub, yaitu
pimpinan wara wali” (Muqaddimah Ibnu Khaldun 1/285)
Tidak sedikit dari para ulama yang menyebut
gelar ‘Quthub’ ini pada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, diantaranya al-Hafidz
as-Suyuthi (Lubbu al-Bab 1/04), Ahli Fikih Ibnu Hajar asy-Syafii (Fatawa
al-Haditsiyah 1/752), Ahli Hadis Syaikh as-Sindi (Hasyiyah Ibnu Majah 7/243),
Ahli Hadis Syaikh Mulla Ali al-Qari (Syarah Musnad Abi Hanifah 1/454 dan Syarah
Misykat al-Mashabih 5/230), Ahli Tafsir al-Alusiy (Ruh al-Ma’ani 5/262), Syaikh
ath-Thahawi al-Hanafi (Hasyiyah ath-Thahawi 2/5), dan lain sebagainya.
Darimana istilah Quthub tersebut? al-Hafidz Ibnu Hajar menjawab:
وَقَالَ
شَيْخُهُ ابْنُ حَجَرٍ فِي فَتَاوِيْهِ: اْلأَبْدَالُ وَرَدَتْ فِي عِدَّةِ
أَخْبَارٍ مِنْهَا مَا يَصِحُّ وَمَا لاَ وَأَمَّا الْقُطْبُ فَوَرَدَ فِي بَعْضِ
اْلآثَارِ (فيض القدير - ج 3 / ص 220)
“Istilah wali Badal telah ada dalam
hadis-hadis, ada sebagian yang sahih dan ada yang tidak sahih. Dan Quthub telah
ada dalam sebagian atsar sahabat/tabiin”
(al-Hafidz al-Munawi, Faidl al-Qadiir 3/220)
4. Bertemu Rasulullah Secara Nyata
Pertanyaan:
Sering kita dengar
di masyarakat bahwa ada sebagian kyai yang mengaku melihat Rasulullah Saw ketika
membaca salawat bersama. Bernarkah hal tersebut ataukah termasuk takhayyul dan
khurafat? Abu Rifa’I, Sby.
Jawaban:
Kita tidak boleh
menuduh takhayyul atau khurafat terhadap kisah yang seolah tidak masuk akal,
sebelum meninjaunya dengan dalil-dalil yang sahih. Dalam riwayat sahih,
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ
رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَسَيَرَانِى فِى الْيَقَظَةِ وَلاَ يَتَمَثَّلُ
الشَّيْطَانُ بِى (رواه البخاري رقم 6995 ومسلم رقم 6057)
“Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpi, maka akan melihatku dalam
keadaan terjaga (nyata). Dan setan tidak bisa menyerupai dengan saya” (HR al-Bukhari No 6995 dan Muslim No 6057)
Dari hadis ini para
ulama memang berbeda pendapat dalam menafsiri kandungan maksudnya. Namun al-Hafidz as-Suyuthi
berkata: “Ada sekelompok ulama yang menafsiri bisa melihat Rasulullah Saw di
dunia secara nyata dan bisa berdialog dengan beliau, hal ini adalah sebagai
karamah bagi para wali Allah” (ad-Diibaj Syarah Muslim 5/285)
Ada banyak sosok
sahabat yang pernah berjumpa dengan Rasulullah Saw setelah wafat, misalnya saat
Khalifah Utsman didatangi oleh Rasulullah Saw menjelang wafatnya ketika
dikepung oleh pemberontak:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
سَلاَمٍ قَالَ أَتَيْتُ عُثْمَانَ لأُسَلِّمَ عَلَيْهِ وَهُوَ مَحْصُوْرٌ
فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَرْحَبًا بِأَخِي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
تعالى عليه اللَّيْلَةَ فِي هَذِهِ الْخَوْخَةِ قَالَ وَخَوْخَةٌ فِي الْبَيْتِ
فَقَالَ يَا عُثْمَانُ حَصَرُوْكَ قُلْتَ نَعَمْ قَالَ عَطَشُوْكَ قُلْتَ نَعَمْ
فَأَدْلَى دَلْوًا فِيْهِ مَاءٌ فَشَرِبْتُ حَتَّى رَوِيْتُ حَتَّى إِنِّي لاَجِدُ
بُرْدَهُ بَيْنَ ثَدْيِي وَبَيْنَ كَتْفِي وَقَالَ لِي: إِنْ شِئْتَ نَصَرْتُ
عَلَيْهِمْ وَإِنْ شِئْتَ أَفْطَرْتَ؟ فَاخْتَرْتُ أَنْ أُفْطِرَ عِنْدَهُ "
فَقُتِلَ ذَلِكَ الْيَوْمَ (البداية والنهاية ج 7 / ص 182 وتاريخ دمشق - (ج 39
/ ص 386)
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Salam: Saya mendatangi Utsman
untuk menyelamatkannya saat ia terkepung. Saya masuk ke rumahnya, Utsman
berkata: Selamat datang saudaraku. Semalam saya melihat Rasulullah di jendela
rumah ini. Rasulullah berkata: Wahai Utsman, apakah mereka mengepungmu? Saya
menjawab: Ya, wahai Rasulullah. Beliau berkata: Apakah mereka membuatmu haus?
Saya menjawab: Ya. Kemudian Nabi membawakan timba yang berisi air, saya
meminumnya hingga saya merasa segar dan saya rasakan dinginnya air itu di susu
dan pundak saya. Nabi berkata: Jika kamu mau, saya menolongmu dari mereka. Jika
kamu ingin berbuka (meninggal), maka berbukalah! Saya memilih berbuka (wafat)
bersama Nabi. Kemudian Utsman terbunuh di hari itu” (al-Hafidz Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wa an-Nihaayah 7/204
dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqy 39/386).
Begitu pula sahabat
Dhamrah bin Tsa’labah (Diriwayatkan oleh Thabrani. Al-Hafidz al-Haitsami
berkata ‘sanadnya hasan’) dan sahabat-sahabat yang lain. Bahkan secara khusus
as-Suyuthi mengarang sebuah kitab ‘Tanwir al-Halak’ (dimuat dalam kitab beliau
al-Haawii lil Fataawii) yang menjelaskan dimungkinkannya berjumpa dengan Nabi
Saw yang disertai dalil dan kisah yang sahih. Pendapat ini juga didukung oleh
fatwa ulama al-Azhar, Syaikh Athiyyah Shaqar.
5.
Nabi
Khidir Masih Hidup?
Pertanyaan:
Benarkah bahwa Nabi
Khidir masih hidup sampai saat ini? Suadi Amin, Pemirsa tv9
Jawaban:
Nabi Khidir
disebutkan secara implisit oleh Allah dalam Surat al-Kahfi: 65. Berdasarkan
hadis-hadis sahih yang dimaksud 'Hamba' tersebut adalah Nabi Khidir yang
memiliki nama Balya ibni Malkan. Syaikh Athiyah, Mufti Al-Azhar berkata:
تَحَدَّثَ الْقُرْآنُ
الْكَرِيْمُ عَنْ عَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ تَقَابَلَ مَعَهُ مُوْسَى عَلَيْهِ
السَّلاَمُ وَكَانَ بَيْنَهُمَا مَا جَاءَ فِى سُوْرَةِ الْكَهْفِ {فَوَجَدَا
عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ
لَدُنَّا عِلْمًا} الآية: 65 وَتَحَدَّثَتِ السُّنَّةُ النَّبَوِيَّةُ
الصَّحِيْحَةُ كَمَا رَوَاهُ الْبُخَارِى وَأَحْمَدُ وَالتُّرْمُذِى عَنْ هَذَا
الْعَبْدِ الصَّالِحِ بِاسْمِ "الْخِضْرِ" لأَنَهَ جَلَسَ عَلَى
فَرْوَةٍ بَيْضَاءَ هِىَ وَجْهُ اْلأَرْضِ فَإِذَا هِىَ تَهْتَزُّ مِنْ تَحْتِهِ
خَضْرَاءُ (فتاوى الأزهر 10/ 425)
“Al-Quran mengisahkan seorang hamba
diantara hamba-hamba Allah yang berjumpa dengan Nabi Musa, yang dijelaskan
dalam surat al-Kahfi yang artinya: ‘Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di
antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami’. Hadis-hadis
sahih, seperti al-Bukhari, Ahmad dan Turmudzi menjelaskan tentang ‘hamba’ ini
adalah Khidir (hijau). Disebiut Khidir karena jika ia duduk di atas tanah yang
tandus, maka akan tumbuh pepohonan yang hijau” (Fatawa al-Azhar 10 / 425)
Terkait apa benar
masih hidup sampai sekarang? Para ulama berbeda pendapat. Menurut Hasan al
Bashri dan Imam Bukhari, Nabi Khidir dan Nabi Ilyas telah wafat sebelum
mencapai usia 100 tahun.
Namun mayoritas
ulama mengatakan Nabi Khidir masih hidup. Menurut Imam Nawawi: "Nabi
Khidir masih hidup, ada di tengah-tengah kita saat ini". Bahkan Mufti
al-Azhar Syaikh Athiyah Shaqr mengutip dari al-Qurthubi (11/45) mentarjih bahwa
ini adalah pendapat yang sahih (Fatawa al-Azhar 10/425)
Indikasi tersebut
menurut Syaikh al-Azhar, Syaikh 'Athiyyah meliputi (1) Banyaknya kabar dari
para ulama yang berkumpul bersama Nabi Khidir. (2) Adanya sebuah riwayat
mmenjelang wafatnya Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa Nabi Khidir turut
berta'ziyah, dan Sayidina Ali bertanya kepada orang lain:
فَقَالَ: هَلْ تَدْرُونَ
مَنْ هَذَا؟ هَذَا الْخِضْرُ صلى الله تعالى عليه وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ. (رَوَاهُ مُحَمَّدُ
بْنُ يَحْيَى بْنِ أَبِي عُمَرَ عن مُحَمَّدٍ بْنِ جَعْفَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ :
كَانَ أَبِي، يَذْكُرُ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ عَلِيٍّ، أَنَّهُ دَخَلَ
عَلَيْهِ ... فَذَكَرَهُ بِسَنَدٍ رِجَالُهُ ثِّقَاتٌ اهـ (إتحاف الخيرة المهرة 2/ 526)
"Tahukah kalian siapa dia? Dia adalah Khidir" (HR
al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah dan Ibn Sa'd dalam Thabaqat al-Kubra).
Al-Hafidz al-Bushiri
menilai perawinya terpercaya, namun beberapa ulama lain menilainya dlaif. dan
riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Khidir dan Nabi Ilyas selalu berjumpa di
musim haji di Mina, namun riwayat ini disepakati oleh para ahli hadis sebagai
riwayat yang sangat lemah.
Sementara di
lingkungan Nahdlatul Ulama, masalah ini telah diputuskan dalam Bahtsul Masail
Di Pon. Pes. Zainul Hasan Genggong Kraksan Probolinggo 27-29 Juli 1984, yaitu:
Pertanyaan:
Masih hidupkah Nabi
Khidlir itu? dan bagaimana orang
yang mengaku bertemu dengan Nabi Khidlir?
padahal di dalam Al Qur’an ada ayat: وَمَا
جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ
Jawaban:
Tentang masih hidup
dan matinya Nabi Khidlir u terdapat perbedaan pendapat, akan tetapi kebanyakan Ulama’
menyatakan masih hidup. Adapun kemungkinan bertemu dengan Nabi Khidlir AS itu
bisa saja terjadi.
Dasar Pengambilan Hukum:
Tafsir al-Khazin, Juz III, Hlm. 209
وَاخْتَلَفَ
الْعُلَمَاءُ فِى أَنَّ الْخَضِرَ أَحَيٌّ أَمْ مَيِّتٌ، وَقِيْلَ إِنَّهُ حَيٌّ
وَهُوَ قَوْلُ اْلأَكْثَرِيْنَ مِنَ الْعُلَمَاءِ، وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
عِنْدَ مَشَايِخِ الصُّوْفِيَّةِ وَأَهْلِ الصَّلاَحِ وَالْمَعْرِفَةِ.
وَالْحِكَايَةُ فِى رُؤْيَتِهِ وَاْلإِجْتِمَاعِ بِهِ وَوُجُوْدِهِ فِى
الْمَوَاضِعِ الشَّرِيْفَةِ وَمَوَاطِنِ الْخَيْرِ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ تُحْصَى.
"Terjadi perbedaan pendapat di antar
para Ulama’ apakah Nabi Khidlir masih hidup atau sudah mati? dikatakan bahwa
Nabi Khidlir masih hidup dan itu perkataan/ pendapat kebanyakan para Ulama’.
Dan itu merupakan kesepakatan bagi para guru-guru sufi (ahli tasawuf) dan ahli
kebaikan serta ahli ma’rifat. Dan juga cerita tentang terlihatnya Nabi Khidlir
dan berkumpulnya. Dan masih nampak pada tempat-tempat yang mulya dan
tempat-tempat baik yang banyak tidak terhitung".[]
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik