. Dzikir dengan Cara
Berjama’ah
Membaca dzikir dengan cara berjama’ah
sehabis menunaikan shalat maupun dalam momen tertentu seperti dalam
acara istighatsah, tahlilan dan lain-lain adalah perbuatan yang tidak bertentangan dengan ajaran
agama, bahkan termasuk perbuatan yang dituntun oleh agama. Tidak sedikit
ayat-ayat al-Qur’an yang menunjuk terhadap dzikir secara berjama’ah. Misalnya
ayat:
فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ ( البقرة:
152)
“Ingatlah
(berdzikirlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS.
al-Baqarah: 152).
Allah SWT juga berfirman:
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً (الأحزاب: 41-42)
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah
(dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi
dan petang.” (QS. al-Ahzab: 41-42).
Tidak sedikit pula hadits-hadits Rasulullah J yang menunjukkan keutamaan dzikir dengan cara
berjama’ah. Rasulullah J bersabda:
عَنْ أَنَسٍ D قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ :J إِذَا مَرَرْتُمْ
بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ (أخرجه أحمد،3/150، والترمذي، 3510)
“Dari Anas
D, ia berkata, Rasulullah J bersabda: “Apabila kalian melewati taman surga, maka berdzikirlah
bersama mereka.”
Mereka bertanya: “Apa yang dimaksud taman surga wahai Rasulullah?” Beliau J menjawab:
“Kumpulan orang-orang yang
berdzikir.” (HR.
Ahmad [3/150] dan al-Tirmidzi [3510]).
Rasulullah
J juga bersabda:
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ D قَالَ: إِنَّا لَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ J إِذْ قَالَ: ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ وَقُوْلُوْا لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَفَعَلْنَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِJ: اللّهُمَّ إِنَّكَ بَعَثْتَنِيْ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ وَأَمَرْتَنِيْ بِهَا وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ ثُمَّ قَالَ: اَبْشِرُوْا فَإِنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَكُمْ (أخرجه الحاكم، 1844، وأحمد، 4/124، والطبراني في الكبير، 7163، والبزار،10، قال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد، 1/163، ورجاله موثقون)
“Dari Syaddad bin Aus D, ia berkata: “Pada saat kami bersama Rasulullah T, tiba-tiba beliau bersabda: “Angkatlah tangan kalian dan katakanlah,
tiada tuhan selain Allah”. Kami pun melakukannya. Lalu Rasulullah J bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku dengan membawa
kalimat ini, Engkau memerintahkan
aku dengan kalimat tersebut, dan Engkau menjanjikan
aku surga dengan kalimat tersebut, sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji.” Kemudian
beliau J bersabda: “Bergembiralah kalian, karena
Allah telah mengampuni kalian.” (HR. al-Hakim [1844], Ahmad [4/124], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7163] dan
al-Bazzar [10]. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid
[1/163], “Para perawi hadits ini dapat dipercaya”).
Redaksi
perintah berdzikir dalam dua ayat di atas dan dua hadits
di bawahnya memakai bentuk jamak, “udzkuruu, sabbihuu, farta’uu,
hilaq al-dzikri (dzikir berjama’ah) dan quuluu”, menunjukkan
bahwa perintah berdzikir tersebut yang utama dilakukan
secara bersama-sama yakni secara berjama’ah. Hal tersebut sesuai
dengan apa yang disampaikan oleh para ulama. Al-Imam Ibnu Abidin berkata
dalam kitabnya:
“Al-Imam al-Ghazali menyamakan
dzikir sendirian dan dzikir berjama’ah dengan adzan sendirian
dan adzan berjama’ah, di mana suara adzan yang dilakukan sekelompok orang
secara berjama’ah akan membelah udara melebihi suara
adzan seorang diri. Demikian pula, dzikir berjama’ah akan
lebih berpengaruh terhadap hati seseorang dalam menyingkap
tabir yang menyelimuti hati, dari pada dzikir seorang
diri.” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, juz V, hal. 263).
Bahkan lebih jauh lagi, al-Imam al-Sya’rani mengemukakan sebagai
berikut:
“Para ulama salaf dan khalaf telah bersepakat tentang disunnahkannya
dzikir berjama’ah di masjid-masjid atau lainnya,
tanpa ada yang menentang dari seorang pun, kecuali
apabila suara keras mereka dapat mengganggu orang yang
tidur, shalat atau membaca al-Qur’an.” (Hasyiyah
al-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, hal. 208).
Berangkat
dari keutamaan dzikir berjama’ah yang telah disepakati
oleh para ulama salaf dan khalaf tersebut, berdasarkan
al-Qur’an dan al-Hadits para ulama dalam setiap kurun waktu selalu melakukan
dzikir berjama’ah. Termasuk pula Ibnu Taimiyah yang rutin melakukan dzikir
berjama’ah dan membaca surah
al-Fatihah setiap selesai shalat shubuh sampai dengan terbitnya matahari sebagaimana diriwayatkan oleh
muridnya, Umar bin Ali al-Bazzar yang menjadi saksi mata sebagai
berikut:
فَإِذَا فَرَغَ أَيْ
اِبْنُ تَيْمِيَةَ مِنَ الصَّلاَةِ أَثْنَى عَلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ
وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ ...
ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ
الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ
ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا
الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالَى لَهُ وَلَهُمْ
وَلِلْمُسْلِمِيْنَ... فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا
وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ – أَعْنِي مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ –
فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا... وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ
بَصِيْرَتِهِ. (عمر بن علي
البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).
“Apabila
Ibnu Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah
bersama-sama jama’ah yang hadir dengan doa yang warid (datang dari Nabi b), Allahumma anta al-salam ...
Kemudian dia menghadap kepada jama’ah, lalu bersama mereka membaca tahlil yang
warid, lalu membaca subhanallah, alhamdulillah dan Allahu akbar, masing-masing
33 kali, dan melengkapi yang keseratus dengan membaca tahlil yang warid,
kemudian dia berdoa untuk dirinya, jama’ah dan seluruh kaum Muslimin. Selanjutnya dia membaca surat al-Fatihah, mengulang-ulanginya –yakni sejak terbitnya fajar
hingga matahari naik ke atas. Hal
tersebut sebagai bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Umar bin Ali al-Bazzar, al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyyah, hal. 37-39).[]
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik