Langsung ke konten utama

hukum menjawab adzan ketika sedang mengajar

📚 hukum menjawab adzan ketika sedang mengajar 📚


✒ ​Ada sebuah pertanyaan kepada penulis, yang kurang lebih bunyinya seperti ini:


~ Saya menjumpai ada dua model kebiasaan, ustadz, yang berlaku di kalangan kita:


1. Saat ta’lim (mengajar) dikala adzan berkumandang maka berhenti sejenak untuk menjawab adzan


2. Ta’lim tetap lanjut kala adzan berkumandang dengan alasan kalau litta’lim tidak apa-apa


▶ Yang saya tanyakan adakah keterangan dalam kitab-kitab salaf untuk nomer 2 Sekalian alasan yang nomer 1 juga boleh ustad. 


✅ Jawaban penulis adalah kurang lebihnya seperti demikian: (Bila salah mohon koreksinya!)


~ Ketika terdengar suara adzan dikumandangkan saat proses belajar mengajar sedang berlangsung, sebaiknya proses belajar mengajar berhenti sejenak guna menjawab adzan, sebab menjawab adzan hukumnya sunah bagi orang yang mendengarkan adzan berkumandang untuk menjawab adzan tersebut, baik bagi orang yang sedang dalam keadaan berwudhu atau tidak, kecuali bagi orang yang sedang melakukan hubungan intim dan sedang qodhil hajat (buang air besar/kecil).


~ Sedangkan menanggapi sebagian orang yang tetap melanjutkan mengajar saat terdengar suara adzan dikumandangkan, berikut ini kami kutipkan penjelasan Imam sya’roni dalam kitab al-Uhud al-Muhammadiyyah, beliau berkata;


“Kita telah terikat perjanjian umum dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjawab orang yang sedang adzan sebagaimana telah dijelaskan dalan As-Sunnah, dan untuk tidak membicarakan sesuatu yang tak ada gunanya atau membicarakan hal lain, untuk menunjukkan sikap sopan santun kita pada Nabi Muhammad yang telah menetapkan syari’at.


Sebab segala sesuatu itu ada waktunya; menjawab adzan ada waktunya, untuk ilmu ada waktunya, tasbih ada waktunya, membaca al-qur’an juga ada waktunya sendiri. Sebagaimana pada waktu membaca fatihah kita tidak boleh menggantinya dengan istighfar, tempatnya rukuk dan sujud tidak boleh ditempati membaca, begitu juga tempatnya tasyahud tidak boleh ditempati untuk hal lain, dan begitu seterusnya. Pahamilah hal ini!


Perjanjian ini (kesunahan menjawab adzan) telah banyak ditinggalkan oleh para penuntut ilmu agama, apalagi selain mereka!, mereka tidak lagi mau menjawab adzan, bahkan terkadang meninggalkan sholat jama’ah sampai sholat jama’ah selesai dikerjakan. Sedangkan mereka sedang asyik muthola’ah (mempelajari) ilmu nahwu, ushul atau fiqih, dan mereka berkata: “Ilmu lebih dikedepankan daripada hal lain secara mutlak”, ucapan itu tentu saja tidak benar, sebab terdapat perincian dalam masalah tersebut, karena tak semua ilmu lebih dikedepankan daripada sholat jama’ah, sebagaimana telah diketahui oleh orang yang pernah “mencium bau” tingkatan-tingkatan perintah-perintah syari’at.


👉 Karena itulah, tuanku, Syaikh Ali Al-Khowwash rahimahullah keika mendengar adzan berkumandang berkata: “Hayya ‘alas sholah” (Mari mengerjakan sholat), badan beliau gemetar dan hampir meleleh karena merasakan haibatullah (kewibawaan), beliau menjawab adzan dengan hudhur dan khusyu’ yang sempurna, semoga Allah meridhoi beliau. Ketahuilah hal itu, semoga Allah memberikanmu petunjuk.”


~ Dari kutipan penjelasan Imam Sya’roni diatas kiranya kita telah dapat mengambil kesimpulan bahwasanya melanjutkan mengajar saat mendengar adzan berrkumandang dengan alasan bahwa tidak menjawab adzan karena sedang mengajar itu tidak dibenarkan, karena ilmu tak selalu lebih didahulukan dari ibadah-ibadah lainnya, dan lagi semua amal kebaikan itu ada waktunya sendiri-sendiri. Wallahu a’lam.


☑ Referensi:


1. Nihayatuz Zain, juz 1 hal 97


و) سنّ (لسامعهما) أَي الْمُؤَذّن والمقيم (أَن يَقُول وَلَو غير متوضىء) أَو جنبا أَو حَائِضًا أَو نفسَاء خلافًا للسبكي حَيْثُ قَالَ يسن للمحدث لَا للْجنب وَالْحَائِض وَخِلَافًا لِابْنِهِ وَهُوَ التَّاج السُّبْكِيّ حَيْثُ قَالَ تجيب الْحَائِض لطول أمدها بِخِلَاف الْجنب (مثل قَوْلهمَا) والمجامع وقاضي الْحَاجة يجيبان بعد فرَاغ شغلهما كغيرهما مَا لم يطلّ الْفَصْل عرفا وَإِلَّا لم تسْتَحب لَهما الْإِجَابَة


2. I’anatut Tholibin, juz 1 hal.279


(( فائدة )) ﻗﺎﻝ اﻟﻘﻄﺐ اﻟﺸﻌﺮاﻧﻲ ﻓﻲ اﻟﻌﻬﻮﺩ اﻟﻤﺤﻤﺪﻳﺔ: ﺃﺧﺬ ﻋﻠﻴﻨﺎ اﻟﻌﻬﺪ اﻟﻌﺎﻡ ﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺃﻥ ﻧﺠﻴﺐ اﻟﻤﺆﺫﻥ ﺑﻤﺎ ﻭﺭﺩ ﻓﻲ اﻟﺴﻨﺔ، ﻭﻻ ﻧﺘﻼﻫﻰ ﻋﻨﻪ ﻗﻂ ﺑﻜﻼﻡ ﻟﻐﻮ ﻭﻻ ﻏﻴﺮﻩ ﺃﺩﺑﺎ ﻣﻊ اﻟﺸﺎﺭﻉ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -. ﻓﺈﻥ ﻟﻜﻞ ﺳﻨﺔ ﻭﻗﺘﺎ ﻳﺨﺼﻬﺎ، ﻓﻺﺟﺎﺑﺔ اﻟﻤﺆﺫﻥ ﻭﻗﺖ، ﻭﻟﻠﻌﻠﻢ ﻭﻗﺖ، ﻭﻟﻠﺘﺴﺒﻴﺢ ﻭﻗﺖ، ﻭﻟﺘﻼﻭﺓ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻗﺖ. ﻛﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻌﺒﺪ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻣﻮﺿﻊ اﻟﻔﺎﺗﺤﺔ اﺳﺘﻐﻔﺎﺭا، ﻭﻻ ﻣﻮﺿﻊ اﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭاﻟﺴﺠﻮﺩ ﻗﺮاءﺓ، ﻭﻻ ﻣﻮﺿﻊ اﻟﺘﺸﻬﺪ ﻏﻴﺮﻩ. ﻭﻫﻜﺬا ﻓﺎﻓﻬﻢ. ﻭﻫﺬا اﻟﻌﻬﺪ ﻳﺒﺨﻞ ﺑﻪ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﻃﻠﺒﺔ اﻟﻌﻠﻢ ﻓﻀﻼ ﻋﻦ ﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻓﻴﺘﺮﻛﻮﻥ ﺇﺟﺎﺑﺔ اﻟﻤﺆﺫﻥ، ﺑﻞ ﺭﺑﻤﺎ ﺗﺮﻛﻮا ﺻﻼﺓ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﺨﺮﺝ اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻨﻬﺎ ﻭﻫﻢ ﻳﻄﺎﻟﻌﻮﻥ ﻓﻲ ﻋﻠﻢ ﻧﺤﻮ ﺃﻭ ﺃﺻﻮﻝ ﺃﻭ ﻓﻘﻪ، ﻭﻳﻘﻮﻟﻮﻥ: اﻟﻌﻠﻢ ﻣﻘﺪﻡ ﻣﻄﻠﻘﺎ، ﻭﻟﻴﺲ ﻛﺬﻟﻚ ﻓﺈﻥ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﺗﻔﺼﻴﻞ، ﻓﻤﺎ ﻛﻞ ﻋﻠﻢ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻘﺪﻣﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ اﻟﻮﻗﺖ ﻋﻠﻰ ﺻﻼﺓ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﻌﺮﻭﻑ ﻋﻨﺪ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺷﻢ ﺭاﺋﺤﺔ ﻣﺮاﺗﺐ اﻷﻭاﻣﺮ اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ. ﻭﻛﺎﻥ ﺳﻴﺪﻱ ﻋﻠﻲ اﻟﺨﻮاﺹ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺇﺫا ﺳﻤﻊ اﻟﻤﺆﺫﻥ ﻳﻘﻮﻝ: ﺣﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﺼﻼﺓ. ﻳﺮﺗﻌﺪ ﻭﻳﻜﺎﺩ ﻳﺬﻭﺏ ﻣﻦ ﻫﻴﺒﺔ اﻟﻠﻪ ﻋﺰﻭﺟﻞ، ﻭﻳﺠﻴﺐ اﻟﻤﺆﺫﻥ ﺑﺤﻀﻮﺭ ﻗﻠﺐ ﻭﺧﺸﻮﻉ ﺗﺎﻡ، ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ. ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺫﻟﻚ ﻭاﻟﻠﻪ ﻳﺘﻮﻟﻰ ﻫﺪاﻙ.


{ والله اعلم بالصواب } مجاهدین الفقیر الی ربه

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا